Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PERADABAN ISLAM

“Peradaban Islam Pertengahan Pada Masa Dinasti Islam


yang Lain (Dinasti-Dinasti Kecil)”
Dosen Pengampu : Ratna Sofiana, SH., M.Si

DISUSUN OLEH :

Amar Aditya Basri (20108030001)

Moh. Zainul Wafa (20108030047)

Putri Adreina Ariyanto (20108030089)

Indana Zulfa (20108030108)

Arif Rahman Hakim (20108030146)

MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmatnya kepada kita semua berupa kelancaran persiapan dalam
menyelesaikan makalah berjudul “Peradaban Islam Pertengahan Pada Masa
Dinasti Islam yang Lain (Dinasti-Dinasti Kecil)”.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita


Nabi Muhammad saw, yang telah memberikan petunjuk kepada kita semua dan
semoga kita termasuk umatnya yang mendapat syafa’at di hari kiamat kelak.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Peradaban Islam
yang dibimbing oleh Ibu Ratna Sofiana. Tim penulis mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang mendukung dalam pembuatan makalah ini, terutama
dosen kami yang telah memberikan arahan dalam pembuatan makalah ini.
Adapun kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, tim penulis mengucapkan
mohon maaf yang sebesar-besarnya karena tim penulis dalam proses
pembelajaran, maka dari itu tim penulis menerima kritik, saran dan masukan
terhadap makalah ini agar bisa dibuat tuntunan atau pengarahan untuk membuat
makalah kedepannya yang lebih baik lagi.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan Masalah ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 3
A. Dinasti Thulun....................................................................................................... 3
B. Dinasti Hamdaniyah .............................................................................................. 4
C. Dinasti Buwaihi..................................................................................................... 4
D. Dinasti Seljuk ........................................................................................................ 9
E. Dinasti Ayyubiyah .............................................................................................. 12
F. Dinast Dalhi ........................................................................................................ 16
G. Dinasti Mamluk................................................................................................... 18
BAB III PENUTUPAN ................................................................................................... 21
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eksistensi peradaban manusia dapat menentukan kemajuan atau
kemunduran sebuah peradaban itu sendiri. Kemajuan atau kemunduran
tersebut dapat dilihat dan dianalisa dari berbagai aspek sudut pandang. Salah
satu faktor yang menjadi unsur pembentuk sebuah peradaban yaitu sudut
pandang yang dapat berupa sumber daya manusia, pemimpin, dan gaya
kepemimpinan yang digunakan untuk mengatur segala urusan masyarakatnya
di dalam wilayah kekuasaannya. Peradaban yang diartikan sebagai sesuatu
yang merupakan bukan bagian dari kebutuhan pokok, melainkan hal-hal yang
berada di luar kebutuhan pokok manusia. Merujuk pada apa yang ditulis oleh
Koentjaraningrat, peradaban adalah bagian-bagian yang halus dan indah
seperti seni masyarakat yang telah maju dalam kebudayaan tertentu berati
memiliki peradaban yang tinggi. Penggunaan istilah peradaban sendiri sering
kali digunakan utuk menamai suatu aktivitas masyarakat yang berhubungan
dengan kebudayaan manusia yang bersifat baik, indah, luhur, serta memiliki
manfaat bagi manusia sebagai pemilik kebudayaan tersebut.
Berawal dari hal ini, pemahaman mengenai peradaban berangkat dan
berkembang bahwa yang dimaksud dengan peradaban adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan aktivitas manusia didalamnya, yang bukan merupakan
hal pokok, dan mengandung estetika serta budaya masyarakat setempat. Dan
berbicara tentang peradaban, terdapat beberapa klasifikasi atau
pengelompokan peradaban. Salah satunya yaitu sejarah peradaban Islam yang
menjadi salah satu penyumbang sejarah terbesar di dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perjalanan Dinasti Thulun?
2. Bagaimana sejarah perjalanan Dinasti Hamdaniyah?
3. Bagaimana sejarah perjalanan Dinasti Buwaihi?
4. Bagaimana sejarah perjalanan Dinasti Seljuk?
5. Bagaimana sejarah perjalanan Dinasti Ayyubiyah?

1
6. Bagaimana sejarah perjalanan Dinasti Dalhi?
7. Bagaimana sejarah perjalanan Dinasti Mamluk?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui sejarah perjalanan Dinasti Thulun
2. Mengetahui sejarah perjalanan Dinasti Hamdaniyah
3. Mengetahui sejarah perjalanan Dinasti Buwaihi
4. Mengetahui sejarah perjalanan Dinasti Seljuk
5. Mengetahui sejarah perjalanan Dinasti Ayyubiyah
6. Mengetahui sejarah perjalanan Dinasti Dalhi
7. Mengetahui sejarah perjalanan Dinasti Mamluk

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dinasti Thulun
Awal berdirinya dinasti ini tidak bisa dilepaskan dari seorang tawanan
perang Turki yang kemudian dijadikan sebagai pengawal istana al-Musta’in,
namanya Bayakbek.Pada saat terjadi penggulingan kekuasaan yang dilakukan
oleh al-Mu’tazz, Bayakbek memilih bergabung dengan al-Mu’tazz dan
meninggalkan al-Musta’in.Setelah penggulingan berhasil, ternyata al-Mu’tazz
memberikan jabatan penting bagi mereka yang telah berjasa dalam
penggulingan tersebut. Bayakbek adalah salah satu orang yang berjasa,
sehingga ia menerima jabatan penting tersebut yakni menjadi gubernur Mesir.
Oleh Bayakbek jabatan itu tidak dipegangnya tetapi diberikan kepada
anaknya Ibnu Thulun, yang kemudian ia mendirikan Dinasti Thuluniyah pada
abad IX M.
Pada tahun 254 H Ibnu Thulun secara resmi diangkat sebagai gubernur
Mesir. Selanjutnya, Ibnu Thulun melepaskan diri dari kekhalifahan Bani
Abbasiyah. Bahkan, ia mampu menaklukkan Damaskus, Homs, Hamat,
Aleppo, dan Antiokia. Karena itu ia kemudian tidak hanya menjadikan Mesir
sebagai suatu wilayah yang merdeka, akan tetapi juga berkuasa atas wilayah
Syam. Ia lalu membangun armada laut tangguh yang berpangkalan di Akka
(Acre) sebagai upaya pengontrolan dan pengawasan wilayah-wilayah
kekuasaannya.1
Kemajuan yang Dicapai Dinasti Thulun mencatat berbagai prestasi, antara
lain sebagai berikut:
1) Mendirikan bangunan-bangunan megah, seperti rumah sakit Fustat, masjid
Ibnu Thulun, dan istana khalifah yang kemudian dijadikan sebagai
peninggalan sejarah Islam yang sangat bernilai.
2) Memperbaiki nilometer (alat pengukur air) di pulau Raufah yang sangat
membantu dalam meningkatkan hasil produksi pertanian rakyat Mesir.

1
Ibn Taghri-Birdi, Al-Nujum Al-Zahirah Fi Mulk Mishr Wa Al-Qahirah, (Jilid. II; Leiden: 1855)
hal. 1, Taufik Abdullah, Ensiklopedi Dunia Islam, (Jilid. II; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve.
T.t) hal. 108.

3
3) Berhasil membawa Mesir pada kemajuan, sehingga Mesir menjadi pusat
kebudayaan Islam yang dikunjungi para ilmuwan dari seluruh pelosok
dunia Islam.
Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Thulun adalah sebuah dinasti Islam
yang masa pemerintahannya paling cepat berakhir. Sepeninggal
Khumarawaih, situasi memanas yaitu setelah Abu Asakir al-Jaisy
menggantikan ayahnya yang disebabkan oleh peristiwa pembunuhannya
terhadap pamannya yaitu Mudhar ibnu Ahmad ibnu Thulun.Hal inilah yang
memicu gencarnya perlawanan antara pihaknya dengan para fuqaha dan qadhi
yang pada akhirnya ke-amir-an Jaisy dibatalkan. Lalu diangkatlah Abu Musa
Harun sebagai amir yang baru dalam usia 14 tahun.2 Tampaknya dengan usia
yang relatif belia ini menyebabkan Harun kurang cakap dalam mengendalikan
suasana yang semakin kacau itu. Sementara itu di Syam sendiri,
pemberontakan yang dilakukan oleh Qaramithah juga tidak berhasil
dipadamkan. Segera setelah Harun kalah, kepemimpinannya diambil alih ke
tangan khalifah Syaiban bin Thulun. Namun semakin rapuhnya pertahanan
Dinasti Thuluniyahakhirnya dinasti ini mengakhiri masa pemerintahannya
diusia 38 tahun sejak kemunculannya dan berakhir ketika dikalahkan oleh
pasukan Dinasti Abbasiyah di era khalifah al-Muktafi.

B. Dinasti Hamdaniyah
Dinasti ini didirikan pertama kali di Mesopotamia utara dengan Mosul
sebagai ibu kotanya (929-991), mereka merupakan keturunan Hamdan Ibnu
Hamdun dari suku Taghlib.26 Gerakan keluarga Hamdani ini sebenarnya
sudah ada pada masa khalifah al-Mu’tadhid, yang waktu itu tampil dengan
aksi menentang khalifah Abbasiyah. Gerakan ini gagal dan akibatnya
beberapa anggota keluarganya ditangkap. Namun akhirnya khalifah
Abbasiyah membebaskan mereka, setelah al-Husain ibnu Hamdan
menangkap tokoh khawarij Harun al-Syari. Ketika bani Abbasiyah diperintah
khalifah al-Muqtadir, nasib keluarga Hamdani mengalami perubahan,

2
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009). hal. 276.

4
keluarga ini banyak memperoleh penghargaan dari khalifah, diantaranya
adalah Abu alHaija’ Abdullah ibnu Hamdan dijadikan gubernur Mousul
(Irak) pada tahun 292 H, sedangkan Sa’id pada tahun 312 H juga diangkat
menjadi gubernur Nahawand.3
Kemudian dua putera dari Abu al-Haija’ menjadi penguasa Dinasti
Hamdaniyah. Kedua putranya tersebut adalah Muhammad al-Hasan ibnu
Abdullah yang bergelar Nashir al-Daulat dan Abu al-Mahasin ibnu Abdullah
yang bergelar Saif al-Daulat.Nashir al-Daulat diangkat sebagai pengganti
ayahnya, di tangannya inilah keluarga Hamdaniyah memiliki kekuasaan
otonom di Mousul. Sedangkan, Saif al-Daulat berkuasa di Aleppo (Suriah),
dan ia dikenal sebagai pendiri Dinasti Hamdaniyah di wilayah Aleppo. Hal
ini berarti, Dinasti Hamdaniyah memiliki perbedaan dengan dinasti kecil
yang lain, kalau dinasti kecil lain hanya berpusat pada satu tempat, tetapi
pemerintahan Dinasti Hamdaniyah berpusat pada dua tempat, yaitu cabang
Mousul dan cabang Aleppo. Meskipun Aleppo merupakan bawahan Mousul,
namun pada kenyataannya sering terlihat kedinastian Aleppo lebih
mendominasi, lebih kuat, dan tidak bergantung kepada Mousul.
Kemajuan yang Dicapai Prestasi gemilang yang telah diukir oleh Dinasti
Hamdaniyah lebih tampak pada wilayah politiknya.Dinasti ini mampu
memainkan peran penting sebagai pagar betis untuk mempertahankan
kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang ketika itu berada pada tahap kemunduran.
Bahkan, Dinasti Hamdani ini sebagai suatu kekuatan, yang mampu menahan
pasukan Romawi untuk merebut seluruh wilayah Suriah.Pasukan Hamdani
cukup kuat dalam mempertahankan wilayah Islam. Disamping bidang
tersebut Dinasti Hamdaniyah jugamenaruh perhatiannya yang cukup besar
terhadap dunia intelektual. Hal ini terbukti di masa dinasti ini muncul
sejumlah nama-nama intelektual Muslim, yakni al-Farabi, al-Isfahani, dan

3
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Dunia Islam, (Jilid. II; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, T.t)
hal. 120, At-Thabari jilid.III, hal. 2141.

5
alFiras.Meskipun dinasti ini bukanlah dinasti yang besar, tetapi
pencapaiannya jelas nampak.4
Kemunduran dan Kehancuran Meninggalnya Saif al-Daulat pada tahun
976 M, menyebabkab kepemimpinannyaberalih kepada putranya yaitu Sa’ad
al-Daulat Syarif I yang kemudian secara berturut-turut dipegang oleh Sa’d
Daulat Sa’d, Ali II, Syarif II. Berbeda dengan Saif al-Daulat, para
penggantinya ini kurang memiliki kecakapan dalam memimpin, terutama
dalam mengimbangi kekuatan-kekuatan asing yang besar waktu itu yaitu
Bani Buwaihi, Romawi, dan Fathimiyah. Akhirnya, pada tahun 1004
Mdinasti Hamdaniyah berhasil dikuasai oleh Dinasti Fathimiyah. Syaif Al-
Daulah mencapai kemasyurannya dalam sejarah Arab terutama karena
perhatian dan sokongannya yang besar dalam bidang pendidikan dan dalam
skala yang lebih kecil, karena aksinya membangkitkan kembali semangat
perlawanan terhadap musuh-musuh Islam dari kalangan Kristen setelah
sekian lama tidak dilakukan oleh para penguasa muslim. Setelah
memapankan posisinya di Suriyah Utara, pedang dinasti Hamdaniyah dimulai
pada tahun 947 mulai mengadakan serangan reguler setiap tahun ke Asia
kecil, hingga saat kematiannya dua puluh tahun kemudian, tidak satu
tahunpun terlewatkan tanpa peperangan melawan Yunani. Awalnya
keberuntungan berpihak pada Sayf.Dia berhasil merebut Mar’asy diantara
kota-kota perbatasan lainnya.Tetapi kepemimpinan cemerlang Nicephorus
Phocas dan Jhon Tzimisces, yang keduanya kelak menjadi Kaisar, berhasil
menyelamatkan Bizantium.Pada tahun 961 Nicephorus berhasil merebut
Aleppo, kecuali benteng pertahanannya. Di kota itu ia membunuh tak kurang
dari sepuluh ribu pemuda, membinasakan seluruh tawanan dan
menghancurkan istana Sayf Al-Dawlah. Pada awal masa kekuasaan Kaisar
itu, dua belas ribu orang Banu Habib dari keturunan Nashibin, sepupu-sepupu
Hamdaniyah pergi meninggalkan pemukimannya karena beban pajak yang
terlalu tinggi, lantas memeluk agama Kristen dan bergabung dengan bangsa
Bizantium menyerang kawasan muslim.

4
Ibid.

6
C. Dinasti Buwaihi
Prof. K. Ali dalam bukunya A Study of Islamic History menjelaskan asal
mula Bani Buwaihi hingga memperoleh kesempatan untuk berkuasa di
Baghdad. Bahwa tampilnya Bani Buwaihi dari keturunan Persia itu bermula
dari tiga putera Suza’ Buwaihi: Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi dan
Ahmad bin Buwaihi. Untuk mengatasi problem kemiskinannya, maka
keluarga dari Dailam ini memasuki dinas kemiliteran di negerinya. Prestasi
mereka sangat menonjol, sehingga salah satunya, Ali, diangkat menjadi
gubernur, dan kedua saudaranya diberi juga kekuasaan yang tinggi. Gubernur
Ali mengadakan penaklukan ke Persia, dan setelah raja Mardawij- yang
mempercayainya itu meninggal, ia berusaha meminta legitimasi kekuasannya
kepada khalifah Bani Abbas, dan anak keturunan Buwaihi mendapat
kedudukan penting di sana. Selanjutnya, Ali dengan keluarga Buwaihi itu
mengadakan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sinilah pasukan
Buwaihi dengan mudah memasuki pusat pemerintahan Bani Abbas.5
Kemajuan yang dicapai dinasti Buwaihi mencatat berbagai prestasi, antara
lain sebagai berikut:
1) Kemajuan sistem pendidikan Islam pada masa Dinasti Buwaihi
Sistem pendidikan Islam pada masa Bani Buwaih merupakan
kelanjutan dari perkembangan pemikiran pendidikan dan juga
perkembangan lembaga pendidikan Islam pada zaman sebelumnya, yaitu
zaman Bani Umayyah, dan Zaman Bani Abbas I dan II. Mewarisi
kegemilangan peradaban Bani Abbas I dan II yang sudah mempunyai
banyak kuttab, banyak masjid, juga beberapa rumah sakit yang juga
tempat pendidikan secara praktik bagi mahasiswa yang mempelajari
kedokteran, dan Baitul Hikmah perpustakaan yang paling megah di
zamannya. Meskipun pada masa tersebut kondisi politik tidak stabil dan
silih bergantinya penguasa, tetapi perkembangan dari segi ilmu
pengetahuan dan filsafat tetap berkembang.

5
Anwar Sewang, Sejarah Peradaban Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Parepare,
Sulawesi Selatan 2017. hal. 259.

7
Mahmud Yunus dalam bukunya,Sejarah Pendidikan Islam,
menyebutkan bahwa tujuan pendidikan pada masa bani Abbasiyah hal itu
berarti juga termasuk masa Bani Buwaih, telah lebih kompleks
dibandingkan tujuan pendidikan Islam pada masa bani Umayyah yang
hanya terbatas pada tujuan keagamaan saja. Tujuan-tujuan tersebut yaitu:
tujuan keagamaan dan akhlak, tujuan kemasyarakatan, cinta ilmu
pengetahuan, dan tujuan kebendaan.6
2) Kemajuan dalam bidang Politik pada masa Dinasti Buwaihi
Setelah menguasai Baghdad dan memindahkan Syiraz ke Baghdad,
mereka membangun gedung sendiri ditengah kota dengan nama Dar al-
Mamlakah yang berhadapan langsung dengan istana Kekhalifahan
Abbasiyah. Pada masa pemerintahan al-Muth‟i (946-947) tercapai kata
sepakat antara khalifah dan Amirul Umara bahwa tidak akan saling
berbuat dzalim. Dengan kekuatan militer Bani Buwaihi, beberapa dinasti
kecil sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, diantaranya; Dinasti
Bani Hamdan di wilayah Syiria dan Irak, Dinasti Samaniyah dan
Ikhsidiyah dapat dikendalikan kembali oleh Baghdad.7
Dengan demikian, batas wilayah Dinasti Buwaihi dapat diketahui
dengan jelas, yaitu sebelah timur ke arah selatan dari daerah Ray,
Isfahan, dan daerah Kirman. Kemudian menyebrang dari Persia menuju
Oman sampai Bahrain dan Basrah sampai ke hulu sungai Al-Furat terus
ke Mosul ke hulu Punjam Dailat. Sebelah utara membentang dari Tiflis
sampai Jurjan melintasi Lautan Kaspia.
3) Kemajuan dalam bidang Ekonomi pada masa Dinasti Buwaihi
Dalam bidang ekonomi, Dinasti Buwaihi mengembangkan jalur
pertanian, perdagangan dan jalur perindustrian sebagai sumber keuangan
Negara. Dalam dunia usaha dan perdagangan, dinasti buwaihi
mengadakan pembangunan sarana dan prasarana jalan raya dan jembatan
sebagai prioritas pembangunan jalur transportasi. Untuk memperlancar

6
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hida Karya Agung,1963), hal. 46.
7
Taswiyah, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Diadir Media, 2011), hal. 135.

8
jalur transportasi air, para pasukan yang tergabung dalam kesatuan
Pasukan Zeni (tentara yang membangun jembatan) memperdalam sungai
Ben-demir, sehingga sungai Bendemir dapat dilalui oleh berbagai kapal
sampai ke wilayah Syiraz, yaitu kota terpenting kedua setelah Kota
Baghdad.8
Kemajuan yang telah diperoleh Dinasti Buwaihi tidak bertahan lama sejak
kematian Idhah Al-Daulat pada tahun 373 Hijriyah, keutuhan Dinasti
Buwaihi mengalami kemunduran yang pada akhirnya membawa kearah
kehancuran. Ide kerjasama yang pernah digagas dan dikembangkan oleh
generasi pertama kurang mengakar kepada generasi-generasi selanjutnya.
Kemajuan yang pernah dicapai pada masa pemerintahan Amir Al-Umara
tidak dapat dipertaruhkan oleh para penggantinya.
Persoalan utama yang menjadi penyebab runtuhnya dinasti Buwaihiyah
adalah merosotnya loyalitas kekeluargaan. Perlu diingat kembali bahwa
dinasti Buwaihiyah dalam melaksanakan dan menjaga kekuasaan merupakan
hasil timbal balik hubungan kekeluargaan. Namun, ketika loyalitas
kekeluargaan merosot, dan satu saudara siap berperang melawan saudara
yang lain maka kesatuan kekuatan dinasti pun terpecah-belah.9
D. Dinasti Seljuk
Seljuk (juga disebut Seljuq) atau Turki Seljuk (dalam Bahasa
Turki:Selçuklular; dalam bahasa Persia: ‫سلجوقيان‬Ṣaljūqīyān; dalam Bahasa
Arab ‫سلجوق‬, Saljūq, atau ‫السالجقة‬al-Salājiqa) adalah sebuah dinasti Islam yang
pernah menguasai Asia Tengah dan Timur Tengah dari abad ke 11 hingga
abad ke 14. Mereka mendirikan kekaisaran Islam yang dikenali sebagai
Kekaisaran Seljuk Agung. Kekaisaran ini terbentang dari Anatolia hingga ke
Rantau Punjab di Asia Selatan. Kekaisaran ini juga adalah sasaran utama
Tentara Salib Pertama.10 Dinasti ini didirikan oleh suku Oghuz Turki yang

8
Zaenal Abidin, Modul Pembelajaran Sejarah Peradaban Islam, (Dunia Islam Periode
Pertengahan), Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab:2013, hal.78.
9
Bosworth, C. E., Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung: Mizan. 1993), hal. 90.
10
Syafiq A Maghni, Sejarah Kebudayaan Islam d Kawasan Turki, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), hal. 13.

9
berasal dari Asia Tengah. Dinasti Seljuk juga menandakan penguasaan
Bangsa Turki di Timur Tengah. Pada hari ini, mereka dianggap sebagai
pengasas kebudayaan Turki Barat yang ketara di Azerbaijan, Turki dan
Turkmenistan dan Seljuk juga dianggap sebagai penaung Kebudayaan Persia.
Pada era kekuasaan Seljuk terdapat sejumlah penelitian mengenai
kemajuan ilmu pengetahuan. Ada sejumlah peneliti yang menyebutkan bahwa
pada masa ini terjadi stagnasi di bidang ilmu pengetahuan, sastra, seni, juga
ilmu filsafat di Dunia Islam.11
Ada dua institusi penting yang berkembang pesat pada masa pemerintahan
Dinasti Seljuk, yakni madrasah dan rumah sakit. Pada masa itu, madrasah dan
rumah sakit dibangun di mana-mana. Madrasah, perpustakaan, dan rumah
sakit bermunculan di wilayah-wilayah yang dikuasai Dinasti Seljuk, seperti
kota Baghdad, Merv, Isfahan, Nishapur, Mosul, Damaskus, Kairo, Aleppo,
Amid (Diyarbakir), Konya, Kayseri, dan Malatya.
Insititusi itu berkembang menjadi pusat-pusat kebudayaan Seljuk Islam.
Pada masa pemerintahan Dinasti Seljuk, arsitektur bangunan banyak yang
terbuat dari batu-batuan yang tahan lama. Sehingga berbagai macam
bangunan yang dibangun bangsa Seljuk kebanyakan masih bertahan selama
beberapa abad. Salah satu bukti bahwa ilmu pengetahuan dan sastra tidak
padam pada masa pemerintahan Dinasti Seljuk adalah banyaknya para
ilmuwan dan intelektual Muslim yang terus mengembangkan ilmunya.
Beberapa ilmuwan dan budayawan terkemuka yang lahir pada masa itu
antara lain:12 Al-Juwayni, Abu Ishaq asy-Syirazi, Umar al-Khayyam, Al-
Badi' al-Usthurlabi, Abul-Barakat Hibatullah bin Malka al-Baghdadi, Samuel
al-Maghribi, Syarafuddin ath-Thusi, Kamaluddin bin Yunus, Shihabuddin
Yahya bin Habsy as-Suhrawardi, Fakhruddin ar-Razi, Ibnu ar-Razzaz al-
Jazari, Ibnu al-Atsir, serta Sayfuddin al-Amidi.
Pada era kepemimpinan Sultan Meliksah I (1072 - 1092) pernah berdiri
observatorium besar di kota Isfahan. Ilmuwan, seperti Omer el-Hayyam dan

11
Badri Yatim, Sejarah Peradaban..., hal. 76.
12
Jaih Mubarak, Sejarah..., hal. 96.

10
teman-temannya, memanfaatkan observatorium tersebut untuk melakukan
penelitian hingga akhirnya menghasilkan karya berjudul Zic-i Melikshahi
atau (Buku Tabel Astronomi) dan Takvim-i Jalali (Kalender Jalalaean).
Pada masa itu, seorang ilmuwan bernama El-Bed' al-Usturlabi menuliskan
bukunya yang berjudul al-Zij al-Mahmudi (Buku Tabel Astronomi
Mahmudi). Sedangkan seorang ilmuwan yang bernama Ebu Mansur membuat
karya berjudul el-Zij al-Senceri (Buku Tabel Astronomi Senceri). Istana para
Sultan Seljuk di Baghdad, Isfahan, dan Merv selalu dipenuhi para pelajar,
ilmuwan, juga para penulis. Mereka menuliskan karya-karyanya baik dalam
bahasa Arab maupun bahasa Persia. Bahkan literatur Islam Persia mulai
mendunia di bawah Dinasti Seljuk.
Beberapa penulis besar yang karyanya masih bisa dinikmati pada saat ini
antara lain karya Jalaladdin-i Rumi Hakani, Senayi, Nizami, Attar, Mevlan,
dan Sa'di. Para penulis besar tersebut hidup dan mempersembahkan karya-
karyanya kepada para sultan Dinasti Seljuk. Kondisi ekonomi dan kesehatan
masyarakat yang membaik di bawah kekuasaaan Dinasti Seljuk berhasil
meningkatkan aktivitas dan prestasi masyarakatnya dalam bidang literatur,
seni dan ilmu pengetahuan. Peningkatan aktivitas masyarakat dalam bidang
seni dan ilmu pengetahuan ini mendapat dorongan yang signifikan dari
pemerintah Dinasti Seljuk.
Sejak abad-ke 14 M, ratusan madrasah ditemukan tersebar luas di
Anatolia. Hampir setiap wilayah Anatolia terdapat madrasah. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa Dinasti Seljuk sangat memperhatikan dunia pendidikan
bagi rakyatnya. Gambaran berbeda terlihat di pusat Kekuasaan Islam di
wilayah yang dikuasai bangsa lain, seperti Mesir, Suriah, dan Palestina, di
mana madrasah hanya ditemukan di kota-kota besar saja, tidak seperti di
Anatolia, baik di desa maupun di kota, pemerintah membangun madrasah.
Madrasah-madrasah yang dibangun Dinasti Seljuk tersebut masih banyak
yang berdiri dengan tegak hingga saat ini dan dapat ditemukan di berbagai
kota besar, kota kecil, bahkan di pedesaan yang ada di Anatolia. Imperium ini

11
berakhir pada tahun 656 H/1258 M saat balatentara Mongol menyerang dan
menaklukkan Baghdad.13
E. Dinasti Ayyubiyah
Dinasti Ayyubiyah atau Bani Ayyubiyah (bahasa Arab: ‫ األيوبيون‬al-
Ayyūbīyūn; bahasa Kurdi: ‫خانەدانی ئەيووبيان‬Xanedana Eyûbiyan) adalah
sebuah dinasti Muslim Sunni beretnis Kurdi[2][3][4] yang didirikan oleh
Salahuddin Ayyubi dan berpusat di Mesir. Dinasti tersebut memerintah
sebagian besar wilayah Timur Tengah pada abad ke-12 dan ke-13. Salahuddin
mulai menjabat sebagai wazir di Mesir, pusat kekuasaan Kekhalifahan
Fatimiyah yang berhaluan Syiah pada tahun 1169. Ia kemudian melengserkan
Dinasti Fatimiyah pada tahun 1171.14 Tiga tahun kemudian, setelah kematian
atasannya dari Dinasti Zankiyah, Nuruddin Zanki, Salahuddin dinyatakan
sebagai sultan.[5] Dalam kurun waktu satu dasawarsa kemudian, Ayyubiyah
mengobarkan perang penaklukan di wilayah Timur Tengah. Pada tahun 1183,
mereka telah menguasai Mesir, Syam, Mesopotamia utara, Hijaz, Yaman, dan
pesisir Afrika Utara hingga mencapai perbatasan Tunisia modern. Sebagian
besar wilayah Tentara Salib, termasuk Kerajaan Yerusalem jatuh ke tangan
Salahuddin setelah ia berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang
dalam Pertempuran Hittin pada tahun 1187. Namun, Tentara Salib berhasil
merebut kembali wilayah pesisir Palestina pada dasawarsa 1190-an.
Setelah Salahuddin menjemput ajalnya pada tahun 1193, putra-putranya
saling memperebutkan kekuasaan. Pada akhirnya adik Salahuddin yang
bernama al-Adil berhasil menjadi sultan pada tahun 1200. Semua sultan
Ayyubiyah di Mesir pada masa selanjutnya adalah keturunannya. Pada
dasawarsa 1230-an, amir-amir (para penguasa kecil) di Syam mencoba
memisahkan diri dari Mesir, dan Kesultanan Ayyubiyah pun terpecah hingga
Sultan as-Salih Ayyub berhasil menyatukannya kembali dengan menaklukkan

13
Nuraini H.A Manan 2018, Dinasti Saljuk dalam Sejarah Islam, ADABIYA, Vol. 20 No.2 hal.
18.
14
Moh. Nurhakim, Jatuhnya Sebuah Tamadun: Menyingkap Sejarah Kegembiraan dan
Kehancuran Imperium Khalifah Islam, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,2012),
hal. 121.

12
sebagian besar wilayah Syam (kecuali Aleppo) pada tahun 1247. Pada masa
yang sama, dinasti-dinasti Muslim setempat telah mengusir Ayyubiyah dari
Yaman, Hijaz, dan sebagian wilayah Mesopotamia. Setelah as-Salih Ayyub
tutup usia pada tahun 1249, al-Mu'azzam Turansyah menggantikannya di
Mesir. Namun, al-Mu'azzam Turansyah dilengserkan tidak lama kemudian
oleh para panglima Mamluk yang sebelumnya berhasil menghalau serangan
Tentara Salib ke Delta Nil. Maka kekuasaan Dinasti Ayyubiyah di Mesir pun
berakhir. Upaya para amir Syam (yang dipimpin oleh an-Nasir Yusuf dari
Aleppo) untuk merebut kembali Mesir juga tidak membuahkan hasil. Pada
tahun 1260, bangsa Mongol menjarah Aleppo dan kemudian menaklukkan
wilayah-wilayah Ayyubiyah yang tersisa. Kesultanan Mamluk berhasil
mengusir bangsa Mongol dan membiarkan seorang penguasa Ayyubiyah
berkuasa di Hamat sampai penguasa terakhir wilayah tersebut dilengserkan
oleh Mamluk pada tahun 1341.
Walaupun tidak bertahan lama, Dinasti Ayyubiyah telah memajukan
ekonomi wilayah yang mereka kuasai. Mereka juga mendukung para
cendekiawan dan mendirikan fasilitas-fasilitas pembelajaran yang diperlukan
oleh mereka, sehingga mereka berhasil membangkitkan kembali kegiatan
keilmuwan di dunia Islam. Selain itu, Dinasti Ayyubiyah berupaya
memperkuat dominasi Sunni di wilayah mereka dengan mendirikan sejumlah
madrasah di kota-kota besar.

Kemajuan yang dicapai Dinasti Ayyubiyah mencatat berbagai prestasi,


antara lain sebagai berikut:
1) Kemajuan Ekonomi
Pada masa Sholahuddin memimpin, ia beberapa kali menghadapi
peperangan dari tentara Salib. Peperangan tersebut justru makin menguatkan
hubungan dagangnya dengan Eropa. Produksi barang dagang makin
meningkat khususnya dalam bidang pertanian dan perdagangan. Barang-
barang yang diproduksi di bidang pertanian15 misalnya wijen, kharub, aprikot

15
Muhammad Al-Shayim, Shalahuddin al-Ayyubi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1113), hal. 70.

13
(buahnya mirip buah Persik), dan milet (jenis jewawut). Pendistribusian
bahan-bahan tersebut justru makin meluas setelah terjadinya perang Salib.
Hal tersebut karena mengundang para peziarah kristen yang berkunjung ke
Yerussalem, sedangkan saat itu Yerussalem berada di tangan Islam.
Selain tanaman-tanaman, terdapat juga kerajinan yang terbuat dari
berbagai bahan seperti kaca, tembikar dan emas juga meningkat. Dekorasi
dan seni yang epik juga mengundang perhatian para peziarah. Selain alasan
kemenangan Islam atas Yerussalem, hal yang menyebabkan ekonomi
meningkat pada masa Sholahuddin adalah jalur dagang yang berada di laut
merah saat itu hanya bisa ditempuh oleh Dinasti Ayyubiyah. Sedangkan jalur
tersebut melewati pelabuhan Mesir dan Yaman.
2) Kemajuan Pendidikan
Begitu juga dalam bidang pendidikan. Kemajuan tersebut dibuktikan
dengan adanya pembangunan-pembangunan madrasah. Lembaga-lembaga
pendidikan yang dibangun bukan hanya bertujuan untuk pendidikan formal
semata, melainkan juga untuk penyebaran Islam Sunni. Pembangunan
madrasah terjadi di berbagai kota seperti di Aleppo, Yerussalem, Kairo dan
Iskandariyah.
Bahkan, meski Ayyubiyah menganut teologi Sunni dan bermazhab Syafi’i,
pemerintah juga membangun lembaga pendidikan untuk mazhab-mazhab
fikih lain, seperti Hanafi, Hanbali dan Maliki. Meskipun, pembangunan
lembaga pendidikan mazhab Syafi’i lebih mendominasi. Tapi hal tersebut
menunjukkan bahwa Shalahuddin tidak menutup kesempatan kepada
masyarakat untuk mempelajari mazhab lain.
Kesejahteraan guru dan siswa pada masa itupun sangat terjamin. Para guru
selain dibayar, mereka juga diberi tempat tinggal dan hidup bersama siswa.
Siswa di sana juga diwajibkan untuk tinggal di asrama yang telah disediakan.
Kebijakan ini bertujuan agar siswa mendapatkan kesempatan belajar yang
cukup leluasa. Mereka tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan, melainkan
juga keterampilan lainnya bersama guru.

14
Intensitas pertemuan mereka dengan gurunya juga sangat banyak. Saat itu,
lembaga pendidikan menjadi tempat yang sangat bergengsi. Orang-orang
yang hendak bekerja di pemerintahan harus dipastikan telah lulus dari
lembaga pendidikan tersebut.
3) Kemajuan Kesehatan
Sedangkan kemajuan dalam bidang kesehatan dibuktikan dengan
pembangunan beberapa rumah sakit dan peningkatan pelayanan kesehatan di
beberapa kota. Misal, Shalahuddin membangun dua rumah sakit di Damaskus
dan Kairo. Tidak hanya lembaga kesehatan untuk masyarakat, tetapi juga
dibangun sekolah khusus kesehatan. Pada masanya lahirlah cendekiawan dan
dokter yang juga mengabdi di rumah sakit tersebut seperti Musha bin
Maimun dan Ibnu al-Baithar yang sangat masyhur itu. Beberapa dokter tidak
hanya mengabdi dan bekerja di rumah sakit umum, tetapi juga ada sebagian
yang mengabdi di istana dan bekerja di sana.
4) Kemajuan Arsitektur
Tidak luput juga kemajuan di bidang arsitektur. Pada masa kepemimpinan
Sholahuddin, ia menutup Kairo dan al-Fusthat di dalam tembok kota. Teknik
perbentengan juga banyak ia pelajari dari tentara salib dan Dinasti Fatimiyah.
Masjid al-Firdaus yang dibangun di Aleppo pada tahun 1236 dianggap
sebagai mahakarya dari dinasti ini. Begitu juga dengan pembangunan tembok
di Kairo yang dibangun demi pertahanan militer. Pembangunan dimulai pada
masa Sholahuddin dan diselesaikan pada masa kepemimpinan Khalifah al-
Kamil. Begitulah beberapa kemajuan yang sempat terjadi dan dibangun pada
pemerintahan Dinasti Ayyubiyah sampai akhirnya ia runtuh di tangan Dinasti
Mamluk.
Runtuhnya Dinasti Ayyubiyah dimulai pada masa pemerintahan Sultan as-
Salih. Pada waktu itu, tentara dari kaum budak di Mesir (kaum Mamluk)
memegang kendali pemerintahan. Setelah as-Salih meninggal pada tahun
1249 M, kaum Mamluk mengangkat istri as-Salih, Syajarat ad-Durr sebagai
sultanah. Dengan demikian, berakhirnya kekuasaan Dinasti Ayyubiyah di

15
Mesir.16 Meskipun tentara Mongol hendak menyerbu Mesir. Komando tentara
islam dipegang oleh Qutuz, penglima perang Mamluk. Dalam pertemuan di
Ain Jalut. Qutuz berhasil mengalahkan tentara Mongol dengan gemilang.
Selanjutnya, Qutuz mengambil kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Sejak itu,
berakhirnya kekuasaan Dinasti Ayyubiyah.
F. Dinasti Dalhi
Sebagai penerus dinasti ghurid, Kesultanan Delhi awalnya merupakan
salah satu dari sejumlah kerajaan yang diperintah oleh jenderal budak Turki
Muhammad Ghori (yang telah menaklukkan sebagian besar India utara),
termasuk Yildiz, Aibek dan Qubacha, yang mewarisi dan membagi wilayah
Ghurid di antara mereka sendiri. Setelah lama pertikaian, Mamluk
digulingkan dalam revolusi Khalji yang menandai pemindahan kekuasaan
dari Turki ke bangsawan Indo-Muslim yang heterogen .
Setelah lama pertikaian, Mamluk digulingkan dalam revolusi Khalji yang
menandai pemindahan kekuasaan dari Turki ke bangsawan Indo-Muslim
yang heterogen. Kedua dinasti Khalji dan Tughlaq yang dihasilkan masing-
masing melihat gelombang baru penaklukan Muslim yang cepat jauh ke India
Selatan. Kesultanan akhirnya mencapai puncak jangkauan geografisnya
selama dinasti Tughlaq, menduduki sebagian besar anak benua India. Ini
diikuti oleh penurunan karena penaklukan kembali Hindu, kerajaan Hindu
seperti Kekaisaran Vijayanagara dan Mewar menegaskan kemerdekaan, dan
kesultanan Muslim baru seperti Kesultanan Bengal pecah. Pada tahun 1526,
Kesultanan ditaklukkan dan digantikan olehKerajaan Mughal.
Kesultanan ini terkenal karena integrasi anak benua India ke dalam budaya
kosmopolitan global (seperti yang terlihat secara konkret dalam
perkembangan bahasa Hindustan dan arsitektur Indo-Islam), menjadi salah
satu beberapa kekuatan untuk mengusir serangan oleh bangsa Mongol (dari
Chagatai Khanate) dan untuk menobatkan salah satu dari sedikit wanita
penguasa dalam sejarah Islam, Razia Sultana, yang memerintah 1236-1240.

16
Irwan, Skrpsi: “Peranan Dinasti Ayyubiyah Terhadap Perkembangan Peradaban Islam”
(Makassar: UIN Alauddin,2013), hal. 71.

16
Aneksasi Bakhtiyar Khalji bertanggung jawab untuk penodaan besar-besaran
terhadap Hindu danKuil Buddha (mengakibatkan kemunduran agama Buddha
di India Timur dan Benggala, dan penghancuran universitas dan
perpustakaan).

Prestasi yang dicapai Dinasti Delhi mencatat berbagai prestasi, antara lain
sebagai berikut:
1) Sistem politik
Cendekiawan abad pertengahan seperti Isami dan Barani menyarankan
bahwa prasejarah Kesultanan Delhi terletak di negara bagian Ghaznavid dan
bahwa penguasanya, Mahmud Ghaznavi, memberikan landasan dan inspirasi
integral dalam pembuatan rezim Delhi. Orang-orang Mongol dan orang-orang
Hindu yang kafir adalah "Yang Lain" yang hebat dalam narasi-narasi ini dan
orang-orang Persia dan kelas yang sadar, kebajikan aristokrat dari negara
ideal secara kreatif diabadikan di negara bagian Ghaznavid, yang sekarang
menjadi model untuk Kesultanan Delhi. Dimasukkan ke dalam narasi sejarah,
hal itu memungkinkan akar Kesultanan yang lebih reflektif dan linier dalam
tradisi besar tata negara Muslim.
Sang raja bukanlah Sultan orang-orang Hindu atau, katakanlah, orang-
orang Haryana, melainkan di mata para penulis sejarah Kesultanan, kaum
Muslim membentuk apa yang belakangan disebut sebagai "Staatsvolk". Bagi
banyak pengamat Muslim, pembenaran utama bagi penguasa mana pun di
dunia Islam adalah perlindungan dan kemajuan iman. Bagi para Sultan,
seperti halnya para pendahulu Ghaznavid dan Ghurid mereka, ini berarti
penindasan terhadap Muslim heterodoks, dan Firuz Shahmenganggap penting
fakta bahwa dia telah bertindak melawan ashab-i ilhad-u ibahat (penyimpang
dan latitudinarian). Ini juga melibatkan penjarahan, dan pemerasan upeti dari,
kerajaan Hindu independen.
Kaum musyrik Hindu yang tunduk pada aturan Islam memenuhi syarat
sebagai "masyarakat yang dilindungi" menurut spektrum luas komunitas
Muslim terpelajar di anak benua itu. Bukti yang seimbang adalah bahwa pada
paruh kedua abad keempat belas, jika bukan sebelumnya, jizyah pasti

17
dikenakan sebagai pajak yang diskriminatif terhadap non-Muslim, meskipun
bahkan pada saat itu sulit untuk melihat bagaimana tindakan seperti itu dapat
ditegakkan di luar pusat-pusat utama otoritas Muslim.
2) Demografi
Menurut satu set perkiraan sejarawan modern yang sangat tidak pasti, total
populasi India sebagian besar telah stagnan pada 75 juta selama era Kerajaan
Tengah dari 1 M hingga 1000 M. Selama era Kesultanan Delhi Abad
Pertengahan dari 1000 hingga 1500, India secara keseluruhan mengalami
pertumbuhan populasi yang bertahan lama untuk pertama kalinya dalam
seribu tahun, dengan populasinya meningkat hampir 50% menjadi 110 juta
pada 1500 M.
3) Budaya
Sementara anak benua India telah memiliki penjajah dari Asia Tengah
sejak zaman kuno, apa yang membuat invasi Muslim berbeda adalah bahwa
tidak seperti penjajah sebelumnya yang berasimilasi ke dalam sistem sosial
yang lazim, penakluk Muslim yang sukses mempertahankan identitas Islam
mereka dan menciptakan sistem hukum dan administrasi baru yang ditantang
dan biasanya dalam banyak kasus menggantikan sistem perilaku dan etika
sosial yang ada, bahkan mempengaruhi saingan non-Muslim dan massa
umum untuk sebagian besar, meskipun penduduk non-Muslim dibiarkan
dengan hukum dan kebiasaan mereka sendiri.
G. Dinasti Mamluk
Jika kita membicarakan dinasti Mamluk, dalam wawasan sejarah Islam
dikenal dua nama yang sama. Pertama, dinasti Mamluk yang berpusat di
Mesir. Dinasti ini eksis dari tahun 1250 M sampai dengan 1517 M. Kedua,
dinasti Mamluk yang terdapat di India. Dinasti yang terdapat di India muncul
pada tahun 1206 M sampai dengan 1290 M.
Sebenarnya kedua dinasti ini dapat dikatakan pernah eksis sezaman dan
sama-sama didirikan oleh para budak. Namun, dinasti Mamluk yang terdapat
di Mesir eksis lebih lama, dengan waktu lebih dari dua abad setengah, jauh
lebih lama dibanding dinasti Mamluk yang di India yang hanya eksis kurang

18
lebih delapan dasawarsa. Pada pembahasan kali ini akan dibahas lebih jauh
mengenai Dinasti Mamluk di Mesir atau Daulat al-Atrak, dinasti yang berdiri
pada awal masa-masa kejatuhan umat Islam.
Dinasti Mamluk berdiri pada pertengahan abad ke-13 M. Kehadirannya
memiliki hubungan dengan dinasti sebelumnya, yaitu dinasti Ayyubiyah. Hal
ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam proses pendirian dinasti
Mamluk adalah budak-budak yang bekerja untuk dinasti Ayyubiyah. Kata
Mamluk sendiri bermakna budak. Mereka pada awalnya adalah para tawanan
penguasa dinasti Ayyubiyah yang dijadikan sebagai budak, kemudian para
budak tersebut diberi pendidikan militer dan agama, untuk selanjutnya
dijadikan sebagai tentaranya.
Aybak membangun kekuasaan para Mamluk di Mesir selama tujuh tahun
(1250-1257). Selama masa pemerintahannya ia tidak ditemani rekan
seperjuangannya, Baybar. Karena tidak ada persamaan visi, Baybar pergi
meninggalkan Mesir dan berdiam di Syiria. Menurut pandangan beberapa ahli
sejarah, kepergian Baybars ke Syiria akibat kegagalannya menduduki jabatan
sultan. Pada tahun-tahun pertamanya memerintah, Aybak sibuk mengikis
legitimasi Ayyubiyah di Suriah, memecat raja cilik al-Asyraf, dan mengatasi
pengaruh seorang jenderalnya yang menyaingi kepopulerannya karena sukses
melawan Lous IX.
Pada saat yang bersamaan, ratu tidak hanya berbagi kekuasaan, tapi
mendominasi pemerintahan. Akhirnya, karena mendengar gossip bahwa
sultan berencana untuk menikah lagi, ia memutuskan membunuh Aybek
ketika mandi. Setelah peristiwa itu, dikatakan bahwa al-Dur dipukuli dengan
sepatu kayu oleh beberapa budak wanita istri Aybak yang pertama, dan
tubuhnya kemudian dilemparkan dari atas menara.
Aybak meninggal pada tahun 1257, yang kemudian digantikan oleh
anaknya, Ali yang masih berusia muda. Namun, Ali hanya memerintah
kurang lebih 2 tahun karena pada tahun 1259, ia mengundurkan diri.
Selanjutnya, ia digantikan oleh wakilnya Quthuz.

19
Quthuz mengklaim bahwa ia merupakan cucu keponakan Syah
Khawarizm, yang kemudian ditangkap oleh bangsa Mongol, dan dijual ke
Damasukus, di tempat tersebut ia dibeli Aybak. Setelah Quthuz naik tahta,
Baybar yang mengasingkan diri ke Syiria kembali ke Mesir. Tampilnya
Quthuz sebagai Sultan menggantikan Ali telah memberi kesempatan untuk
kembali ke Mesir.
Kedatangan Baybars yang membawa sejumlah Mamluk disambut oleh
Quthuz. Ia menyambut baik kedatangan Baybar karena jika tetap berada di
Syiria, Baybar diperirakan dapat mengancam kedudukannya di Mesir. Ia
beranggapan akan lebih menguntungkan karena tidak ada lagi saingan yang
lebih senior di kalangan pimpinan Mamluk.

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berkembangnya suatu peradaban dapat dibuktikan dengan adanya
kemajuan dan kemunduran dari suatu dinasti. Kemajuan dan kemunduran itu
sendiri memiliki beberapa faktor, baik itu dari internal maupun eksternal.
Dinasti sendiri juga tidak akan selamanya berjaya dan bertahan, ada kalanya
mereka juga akan hancur dan digantikan oleh dinasti atau sistem yang
lainnya. Pandangan umum yang berkembang dikalangan umat islam bahkan
sebagian ilmuwan barat menilai bahwa periode pertengahan islam merupakan
periode kemunduran Islam dan umatnya. Apalagi pasca-kejatuhan Baghdad
ditangan kaum Mongol tahun 1258 M sampai abad ke-18 dan 19, sering
dinyatakan sebagai masa “Paceklik Peradaban”. Munculnya kerajaan-
kerajaan besar pada periode pertengahan seperti Mamluk, Usmani,
Safawiyah, dan Mughal menandai kembali kemajuan “Peradaban Islam”.
Pada masa ini Islam meraih kejayaannya. Banyak kontribusi keilmuan yang
disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi dalam
pengembangan keilmuan, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa
keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan
kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirya pemerintahan
Abbasiyah.
Syamruddin membagi periode sejarah peradaban Islam dengan dua
fase yaitu fase kemunduran dan fase tiga kerajaan besar. Pertama, fase
kemunduran (1250 – 1500 M). Di masa ini desentralisasi dan disintegrasi
bertambah meningkat. Perbedaan anatara Sunni dan Syi’ah dan juga antara
Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan. Dunia Islam terbagi dua. Bagian
Arab yang berpusat di Mesir terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir
dan Afrika utara. Bagian Persia yang berpusat di Iran terdiri dari Balkan, Asia
kecil, Persia dan Asia Tengah. Kebudayaan Persia mendesak kebudayaan
Arab. Kedua, fase tiga kerajaan besar (1500 - 1700 M) dan masa kemunduran
(1700 – 1800). Ketiga kerajaan besar tersebut adalah kerajaan Usmani di

21
Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Sama seperti
fase sebelumnya, perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali di masa ini.
Ujungnya adalah umat Islam semakin mundur dan statis saat tiga kerajaan
mendapat banyak tekanan. Masa kemunduran, kerajaan Safawi dihancurkan
oleh serangan-serangan bangsa Afghan. Kerajaan Mughal diperkecil oleh
pukulan-pukulan raja-raja India.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ibn Taghri-Birdi, Al-Nujum Al-Zahirah Fi Mulk Mishr Wa Al-Qahirah (Jilid. II;


Leiden: 1855) hal. 1, Taufik Abdullah, Ensiklopedi Dunia Islam (Jilid. II;
Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, T.t) hal. 108.

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 276.

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Dunia Islam (Jilid. II; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van
Hoeve, T.t) hal. 120 liha tAt-Thabari, jilid.III, hal. 2141.

Anwar Sewang, Sejarah Peradaban Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN)
Parepare, Sulawesi Selatan 2017. hal. 259.

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Hida Karya Agung,1963),


hal. 46.

Taswiyah, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Diadir Media, 2011), hal.135.

Zaenal Abidin, Modul Pembelajaran Sejarah Peradaban Islam (Dunia Islam


Periode Pertengahan) Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab:2013,
hal.78.

Bosworth, C. E.. Dinasti-Dinasti Islam. (Bandung: Mizan. 1993), hal. 90.

Syafiq A Maghni, Sejarah Kebudayaan Islam d Kawasan Turki, (Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 1997), hal. 13.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban..., hal. 76.


.
Nuraini H.A Manan 2018. Dinasti Saljuk dalam Sejarah Islam. ADABIYA,
Volume 20 No.2 hal. 18.

Moh. Nurhakim, Jatuhnya Sebuah Tamadun: Menyingkap Sejarah Kegembiraan


dan Kehancuran Imperium Khalifah Islam (Jakarta: Kementerian Agama
Republik Indonesia,2012), hal. 121.

Muhammad Al-Shayim, Shalahuddin al-Ayyubi (Jakarta: Gema Insani Press,


1113), hal. 70.

Irwan, Skrpsi: “Peranan Dinasti Ayyubiyah Terhadap Perkembangan Peradaban


Islam” (Makassar: UIN Alauddin,2013), hal. 71.

Jaih Mubarak, Sejarah..., hal. 96.

23

Anda mungkin juga menyukai