Anda di halaman 1dari 74

Islam di Simpang Jalan

Judul asli : Islam at the Crossroads


Penulis: Muhammad Asad (Leopold Weiss)
Cetakan pertama: Delhi (India), 1935
Edisi Indonesia: Islam di Simpang Jalan

Cetakan pertama: YAPI, Surabaya, 1967


Cetakan kedua: PUSTAKA, Bandung, 1981
Hak cipta: Muhammad Asad
All rights reserved.
Penterjemah: M. Hashem

Daftar Isi
Pendahuluan
I. Jalan Islam Yang Terbuka [hal 6]
II. Semangat Barat [hal 16]
III. Bayangan Perang Salib [hal 28]
IV. Tentang Pendidikan [hal 44]
V. Tentang Meniru [hal 51]
VI. Hadits dan Sunnah [hal 55]
VII. Jiwa Sunnah [62]
Kesimpulan
Tentang Penulis

Sumber : http://media.isnet.org

-2Alhamdu lillahi wahdahu wasshalatu wassalamu 'ala man la nabiyya ba'dahu.

Kata Pendahuluan
Jarang ummat manusia terjerumus dalam kecemasan intelektual seperti yang
terjadi pada zaman kita kini. Kita bukan saja dihadapkan pada tumpukan
masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan-pemecahan baru yang tidak
tanggung-tanggung, tetapi juga sudut pandangan di mana masalah-masalah itu
tampil di hadapan kita berlainan dengan segala yang pernah kita kenal
sebelumnya.
Di negeri mana saja, masyarakat telah mengalami perubahan-perubahan
fundamental. Jalannya perubahan ini di mana-mana berlainan; tetapi di setiap
negeri kita dapat melihat energi desak yang sama, yang tidak mengizinkan kita
berhenti atau bersikap ragu-ragu.
Dunia Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Di sini kita lihat pula kebiasaankebiasaan dan idea-idea lama menghilang dan munculnya kebiasaan dan ideaidea baru. Kemana tujuan perkembangan baru ini? Sejauh mana
pencapaiannya? Sejauh mana kesesuaiannya dengan misi kultural Islam?
Isi buku ini sekali-kali tidak bendak berhebat-hebat dengan memberikan suatu
jawaban yang panjang lebar atas seluruh lingkup pertanyaan di atas. Karena
ruangnya yang terbatas maka hanya satu dari masalah-masalah yang
menghadang kaum Muslimin sekarang, yaitu sikap yang harus kita ambil
terhadap peradaban Barat, telah kami pilih untuk dibicarakan. Namun cakupan
yang sangat luas dari pokok masalah ini memerlukan kita untuk meluaskan
penyelidikan tentang aspek-aspek dasar agama Islam, terutama berkenaan
dengan prinsip Sunnah. Di sini tidak mungkin untuk memberikan lebih dari garisgaris besar melulu dari satu tema yang cukup luas untuk berjilid-jilid buku tebal.
Tetapi betapapun juga --atau barangkali justru karena itu-- saya merasa yakin
bahwa sketsa singkat ini akan merupakan suatu rangsangan bagi orang lain
untuk pemikiran lebih jauh atas masalah yang begitu penting ini.
Dan sekarang tentang diri saya sendiri; apabila seorang muallaf berkata kepada
mereka, kaum Muslimin berhak mengetahui betapa dan mengapa ia memeluk
agama Islam.
Dalam tahun 1922 saya meninggalkan negeri saya, Austria, untuk membuat
perjalanan melalui Afrika Utara dan Asia sebagai koresponden istimewa suatu
koran Eropa dan sejak waktu itu saya melalukan hampir seluruh waktu saya di
Timur Tengah. Perhatian saya terhadap bangsa-bangsa yang saya hubungi
pada mulanya hanya sebagai perhatian seorang asing. Saya melihat di sini suatu
tata masyarakat yang secara fundamental berbeda dengan pandangan hidup
orang Eropa; dan sejak semula telah tumbuh dalam diri saya perasaan simpati
atas kehidupan yang lebih tenang --saya seharusnya mengatakan: lebih insani--

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

-3dan konsepsi hidup yang lebih damai dibanding dengan mode hidup yang
tergesa-gesa dan mekanis di Eropa. Rasa simpati ini berangsur-angsur
membawa saya pada satu penyelidikan mengenai sebab-sebab perbedaan
mode hidup semacam itu, dan saya jadi tertarik pada ajaran-ajaran agama Islam.
Pada saat itu perhatian saya tidak cukup untuk menarik saya memeluk agama
Islam, tetapi hal itu membuka pandangan baru pada saya tentang masyarakat
manasia yang sedang maju, yang progresif, terorganisir dengan seminimal
mungkin konflik ke sesama dan perasaan persaudaraan sungguh-sungguh yang
maksimal. Namun sebenarnya kehidupan kaum Muslimin sekarang tampak
sangat ketinggalan dari kemungkinan-kemungkinan ideal yang diberikan dalam
ajaran-ajaran agama Islam. Segala yang dalam masa kemurnian Islam
dahulunya merupakan pendorong gerak maju di kalangan kaum Muslimin,
sekarang telah berubah menjadi sikap masa bodoh dan kemacetan; segala yang
dalam zaman kejayaan Islam dahulunya merupakan rahmat dan kesiapsiagaan
untuk berkorban, sekarang berubah menjadi kepicikan dan kehidupan
seenaknya di antara kaum Muslimin.
Terdesak oleh penemuan akan kenyataan ini dan dibingungkan oleh
ketidaksesuaian antara dulu dan kini, saya berusaha memecahkan masalah
yang dihadapkan kepada saya ini dari titik pandangan yang lebih dekat: saya
berusaha membayangkan diri saya dalam lingkungan Islam. Hal itu hanyalah
experimen intelektual melulu: dan ini menerangkan kepada saya, dalam waktu
yang sangat singkat, penyelesaian masalah ini dengan sebenarnya. Saya
menyadari bahwa satu-satunya sebab kemunduran sosial dan kultural kaum
Muslimin terletak dalam kenyataan bahwa mereka secara berangsur angsur
melalaikan jiwa ajaran-ajaran Islam. Islam masih ada pada mereka, tetapi tinggal
jasad tanpa jiwanya. Satu-satunya unsur yang dahulu tegak mengokohkan dunia
Islam sekarang menjadi sebab kelemahannya; masyarakat Islam telah dibangun
sejak dari permulaannya hanya atas dasar agamawi, dan pelemahan-pelemahan
unsur itu tentu melemahkan struktur kulturalnya --dan bahkan mungkin akan
menyebabkan musnahnya.
Makin saya mengerti betapa kongkrit dan betapa praktisnya ajaran-ajaran Islam,
makin tebal hasrat saya bertanya mengapa kaum Muslimin telah meninggalkan
penerapannya yang riil. Saya bicarakan hal ini dengan banyak pemuka-pemuka
Islam, hampir pada semua negeri antara Lybia dan Pamir, antara Selat Bosporus
dan Laut Arabia. Hal itu hampir mengikat persoalan saya seluruhnya yang
akhirnya meliputi segala urusan-urusan intelektual saya dalam dunia Islam.
Godaan pertanyaan itu terus menebal dalam jiwa saya --sehingga saya, seorang
bukan-muslim berkata kepada seorang Muslim seakan-akan saya hendak
membela Islam dari kekeliruan dan sikap masa bodoh mereka. Saya tidak
melihat kemajuannya, hingga pada suatu hari --waktu itu musim semi tahun 1925
di pegunungan Afghanistan-- seorang gubernur propinsi yang muda usia berkata
kepada saya: "Tetapi anda seorang Muslim, hanya anda sendiri tidak
mengetahuinya". Saya terkejut oleh kata-kata itu dan berdiam diri.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

-4-

Tetapi ketika saya kembali ke Eropa lagi dalam tahun 1926, saya menyadari
bahwa satu-satunya konsekuensi yang logis dari sikap saya itu adalah memeluk
agama Islam.
Demikianlah keadaan-keadaan yang berhubungan dengan menjadi Muslimnya
saya. Sejak saat itu berulang-ulang saya bertanya pada diri: "Mengapa engkau
memeluk agama Islam?" Dan saya harus mengaku: saya tidak tahu jawabannya
yang memuaskan. Bukan karena sesuatu yang khusus pada ajaran-ajarannya
yang menarik saya, tetapi seluruh strukturnya yang mengagumkan, struktur
ajaran moral dan program hidup yang praktis yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Bahkan hingga pada saat ini belum dapat juga saya mengatakan aspek Islam
yang mana yang lebih menarik saya dibanding dengan aspek lainnya. Islam
tampak pada saya sebagai suatu karya arsitektur yang sempurna. Segala
bagian-bagiannya terpadu secara harmonis untuk saling mengisi dan saling
menopang, tidak ada yang berlebih-lebihan dan tidak ada yang kurang,
merupakan satu perimbangan yang mutlak dan satu komposisi yang padu.
Barangkali perasaan bahwa segala sesuatu dalam ajaran dan rumusan Islam
adalah pada "tempatnya yang tepat" telah menciptakan kesan yang paling kuat
pada saya; mungkin kesan-kesan lain juga ada bersama-sama dengan kesan itu,
sukar saya uraikan sekarang. Alhasil, soal cinta, dan cinta terpadu dalam
berbagai unsur, dari hasrat manusia dan kesunyiannya, dari tujuan-tujuan luhur
manusia dan kekurangannya, dari kekuatan-kekuatan dan kelemahan manusia.
Demikianlah halnya, Islam datang dalam jiwa saya sebagai datangnya pencuri di
malam hari, tetapi tidak seperti pencuri, ia datang pada saya untuk menetap
selama-lamanya.
Sejak itu saya terus belajar sekuat tenaga saya tentang Islam. Saya pelajari alQur'an dan Hadits; saya pelajari bahasa al-Qur'an dan sejarah Islam serta
sebagian besar kitab-kitab yang ditulis oleh lawan dan kawan. Saya tinggal lebih
lima tahun di Hejaz dan Najd, kebanyakan di Madinah, supaya saya dapat
mengalami sesuatu dari alam sekitar yang asli di mana agama ini dikhotbahkan
oleh Nabi berbangsa Arab itu. Karena Hejaz merupakan pusat pertemuan kaum
Muslimin seluruh dunia, saya beroleh kesempatan untuk membanding
pandangan agamawi dan pandangan sosial dalam dunia Islam pada zaman ini.
Studi perbandingan ini menciptakan keyakinan kuat dalam diri saya bahwa Islam
sebagai satu landasan spiritual dan sosial, walaupun terbelakang karena sikap
masa bodoh kaum Muslimin, tetap merupakan satu tenaga penggerak yang luar
biasa hebatnya yang pernah dialami ummat manusia; dan mulai saat ini
perhatian saya terpusat pada problema regenerasi Islam.
Buku kecil ini adalah sumbangan sederhana kepada tujuan besar itu. Buku ini
tidak berpura-pura sebagai tinjauan dingin tentang peristiwa-peristiwa; ini
merupakan pernyataan tentang suatu perkara Islam versus Barat, seperti yang
saya lihat. Dan buku ini tidak ditulis untuk orang-orang yang memandang Islam

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

-5hanya sebagai satu dari antara yang banyak, yang banyak sedikitnya merupakan
bantuan menolong bagi kehidupan sosial; buku ini ditulis bagi mereka yang
dalam hatinya masih hidup pancaran sinar api yang berkobar dalam diri para
sahabat Nabi --api yang pernah membuat Islam agung sebagai satu tata
masyarakat dan capaian kultural.
Delhi, Maret 1934
Muhammad Asad.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

6
I. Jalan Islam yang Terbuka
Salah satu slogan yang paling khas dari zaman kita ini adalah "menaklukkan
ruang". Alat-alat perhubungan telah dikembangkan jauh melampaui impian
generasi-generasi sebelumnya; dan alat-alat baru ini telah menggerakkan
peralihan barang-barang yang jauh lebih cepat dan jauh lebih luas daripada yang
pernah dikenal dalam sejarah ummat manusia sebelumnya. Perkembangan ini
menyebabkan
saling
bergantungnya
bangsa-bangsa
dalam
bidang
perekonomian. Tidak ada satu bangsa atau satu golongan sekarang yang dapat
bertahan untuk tetap terpencil dari bagian dunia lainnya. Perkembangan
ekonomi tidak lagi terbatas secara lokal; sifatnya telah menjadi seluas dunia.
Sekurang-kurangnya dalam kecenderungannya mengabaikan batas-batas politik
dan jarak-jarak geografis. Ini membawa dengan sendirinya --dan boleh jadi ini
bahkan lebih penting daripada, segi material masalah itu-- keperluan yang terus
bertambah dari suatu penyaluran bukan saja barang-barang dagangan tetapi
juga pikiran dan nilai-nilai kultural. Tetapi sementara kedua kekuatan itu,
kekuatan ekonomik dan kultural, sering berjalan bergandengan, ada perbedaan
dalam hukum dinamikanya. Hukum-hukum dasar ekonomi menuntut bahwa
pertukaran barang antara bangsa-bangsa berlaku timbal balik; ini berarti bahwa
tidak ada satu bangsa yang dapat berlaku sebagai pembeli saja sedang bangsabangsa lain tetap sebagai penjual; lambat laun masing-masing dari bangsa itu
harus melakukan dua peranan sekaligus, saling memberi dan menerima, baik
secara langsung atau melalui perantaraan pelaku-pelaku lain dalam panggung
kekuatan-kekuatan ekonomik. Tetapi dalam bidang kultural hukum besi
pertukaran ini tidak mesti berlaku, sekurang-kurangnya tidak selalu tampak; ini
berarti bahwa penyaluran idea-idea dan pengaruh-pengaruh kultural tidak mesti
berdasar di atas prinsip memberi dan menerima. Adalah berhubungan dengan
sifat manusia bahwa bangsa-bangsa dan peradaban yang secara politik dan
ekonomi lebih kuat menjadi suatu penarik yang kuat atas golongan yang lebih
lemah atau kurang aktif dan mempengaruhinya dalam bidang intelektual dan
kemasyarakatan, sedang yang kuat itu sendiri tidak terpengaruh. Demikianlah
keadaan sekarang mengenai perhubungan antara Barat dan dunia Islam.
Dari sudut pandangan peninjau historik pengaruh yang kuat dan sepihak yang
dilakukan peradaban Barat atas dunia Islam pada saat ini sama sekali tidak
mengherankan, karena ini merupakan hasil suatu proses sejarah yang panjang;
untuk itu kami berikan beberapa analogi di bagian lain. Tetapi sementara ahli
sejarah itu mungkin puas sekedar itu, bagi sebagian kita masalah ini tetap tidak
terpecahkan. Bagi kita yang bukan hanya sekedar penonton-penonton yang
tertarik tetapi merupakan pelaku-pelaku yang sebenarnya dari drama ini, bagi
kita yang memandang diri kita sebagai pengikut-pengikut Nabi Muhammad saw.,
masalah ini sebenarnya mulai dari sini. Kita percaya bahwa Islam, tidak seperti
agama-agama lain, Islam bukan hanya sikap spiritual, daripada jiwa yang dapat
diterapkan pada berbagai-bagai bingkai kultural yang berbeda-beda, tetapi
merupakan satu orbit yang lengkap dan satu sistem kemasyarakatan dengan
pandangan-pandangan yang mempunyai batasan yang terang. Apabila, seperti

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

7
halnya sekarang, suatu peradaban asing meluaskan pengaruhnya ke tengahtengah kita dan menyebabkan perubahan-perubahan tertentu dalam tubuh
kultural kita sendiri, kita wajib menerangkan pada diri kita apakah pengaruh
asing itu berjalan ke arah kemungkinan-kemungkinan kultural kita sendiri atau
bertentangan; apakah pengaruh asing itu berperan sebagai serum yang
menguatkan tubuh kultur Islam atau sebagai racun.
Jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat diperoleh melalui analisa. Kita harus
menemukan kekuatan-kekuatan dasar dari kedua peradaban ini --peradaban
Islam dan Barat modern-- dan kemudian menyelidiki sejauh mana kerja sama
antara keduanya dapat dilaksanakan. Dan karena peradaban Islam pada
hakekatnya adalah peradaban agama, pertama-tama kita harus berusaha
memberikan definisi pengaruh umum agama dalam kehidupan manusia.
Apa yang kita namakan "sikap agamawi" adalah akibat alami dari konstitusi
intelektual dan biologik. Manusia tidak sanggup menerangkan pada dirinya
sendiri rahasia hidup, rahasia lahir dan mati, rahasia ketidakterbatasan dan
keabadian. Pemikirannya terhenti di hadapan dinding-dinding yang tak
tertembus. Oleh karena itu ia hanya dapat melakukan dua hal. Yang satu adalah
meninggalkan segala usaha untuk memahami hidup secara keseluruhan. Dalam
hal ini manusia akan bersandar atas bukti pengalaman-pengalaman lahir saja
dan akan membatasi kesimpulan-kesimpulannya pada bidangnya. Dengan
demikian ia hanya sanggup mengerti fragmen-fragmen tunggal daripada hidup,
yang mungkin bertambah jumlahnya dan bertambah jelasnya secepat atau
selambat pertambahan pengetahuan manusia tentang alam, tetapi
bagaimanapun juga selalu hanya akan tetap tinggal fragmen-fragmen --cakupan
dari keseluruhannya tetap di luar perlengkapan metodik pemikiran manusia.
Inilah jalan yang ditempuh ilmu-ilmu pengetahuan alam. Kemungkinan lainnya -yang mungkin bergandengan dengan jalan ilmiah-- adalah jalan agama. Agama
membimbing manusia dengan jalan pengalaman batin, kebanyakan secara
intuitif, kepada penerimaan keterangan yang seragam tentang hidup pada
umumnya atas dasar pandangan bahwa ada satu Kuasa Kreatif yang maha
tinggi yang mengatur alam semesta menurut suatu rencana sebelumnya di atas
dan di luar kesanggupan pengertian manusia. Seperti baru dikatakan, konsepsi
ini tidak perlu menjauhkan manusia dari penyelidikan tentang fakta-fakta dan
fragmen-fragmen hidup seperti yang dapat disaksikan dengan peninjauan lahir.
Tidak mesti ada suatu antagonisme antara pengertian lahir yang ilmiah dan
penerimaan pengertian batin yang religius. Tetapi yang disebut penerimaan
pengertian religius dalam kenyataannya adalah satu-satunya kemungkinan
pemikiran untuk memahami seluruh hidup sebagai kesatuan esensi dan
kekuatan dasar; singkatnya, sebagai satu keseluruhan yang berimbang, yang
harmonis. Kata "harmonis" walaupun sudah sangat sering disalahgunakan,
adalah sangat penting dalam hubungan ini karena ia mencakup sikap yang
bersangkutan dalam manusia sendiri. Orang religius tahu bahwa segala apa
yang terjadi padanya dan dalam dirinya tidak pernah dapat merupakan hasil
permainan buta dari kekuatan-kekuatan tanpa kesadaran-kesadaran dan tujuan;

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

8
ia percaya bahwa itu datang dari kehendak Tuhan yang sadar semata-mata dan
oleh karena itu secara organik terpadu dengan rencana semesta alam. Dalam
jalan ini manusia diberi kesanggupan untuk memecahkan pertentangan pahit
antara wujud manusia --self-- dan dunia obyektif tentang fakta-fakta dan wajahwajah lahir yang disebut alam. Makhluk manusia dengan segala mekanisma
jiwanya yang rumit, dengan segala hasrat-hasrat dan ketakutan-ketakutannya,
perasaan-perasaan dan ketidakpastian spekulatifnya, melihat dirinya dihadapkan
pada suatu alam di mana kemurahan dan kekejaman, bahaya dan
ketenteraman, tercampur aduk dalam satu cara yang dahsyat yang tak
teruraikan dan seperti bekerja atas garis-garis yang tampaknya berbeda dari
metoda-metoda dan struktur pikiran manusia. Falsafah intelektual murni atau
ilmu pengetahuan eksperimental melulu tidak pernah sanggup memecahkan
konflik ini. Inilah justeru titik di mana agama melangkah masuk.
Dalam sinar persepsi religius dan pengalaman, wujud manusia yang sadar-diri
dan alam yang bisu yang tampaknya tampaknya tidak bertanggungjawab dibawa
ke dalam satu hubungan harmonis spiritual: karena keduanya, kesadaran
individu manusia dan alam yang melingkungi dia serta yang ada dalam dirinya,
tidaklah lain daripada manifestasi-manifestasi yang setara, kalaupun berbeda,
dari Kehendak Kreatif yang Satu dan sama. Maka manfaat besar yang diberikan
agama seperti itu atas manusia adalah penyadaran bahwa ia selalu, dan tidak
pernah dapat terlepas, dari satu kesatuan yang terencana baik dari gerak abadi
Pencipta: suatu bagian tertentu dalam organisme yang tidak terbatas dari bagan
Rencana Universal. Konsekuensi psikologik dari konsepsi ini adalah suatu
perasaan yang dalam dari kepastian spiritual --yang berimbang antara harap dan
takut yang membedakan manusia religius yang positif -apapun agamanya- dari
manusia tidak religius.
Posisi dasar ini sama-sama terdapat pada seluruh agama-agama besar, apapun
doktrin-doktrin spesifiknya; dan yang sama pula bagi semua agama-agama
besar itu adalah panggilan moral kepada manusia untuk menyerahkan dirinya
kepada Kehendak Tuhan yang nyata itu. Tetapi Islam, dan hanya Islam saja,
melampaui penerangan dan dorongan teoritik ini. Islam tidak saja mengajarkan
kepada kita bahwa hidup pada keseluruhannya adalah satu dalam hakekatnya -karena berasal dari Tuhan Yang Maha Esa-- tetapi Islam pun menunjukkan
kepada kita jalan praktis betapa setiap orang dari kita dapat berkembang, dalam
batas-batas individualnya, kesatuan pikiran dan tindakan, baik dalam wujudnya
maupun dalam kesadarannya. Untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi itu,
dalam Islam, manusia tidak dipaksa untuk menyangkali dunia; tidak ada
kekerasan dituntut untuk membuka pintu rahasia menuju pemurnian spiritual,
tidak ada penekanan atas pikiran untuk percaya pada dogma-dogma yang tak
dapat dimengerti untuk menjamin penyelamatan. Hal-hal semacam itu sama
sekali asing bagi Islam karena Islam bukanlah doktrin mistik dan bukan pula
falsafah. Islam adalah program hidup sesuai dengan hukum-hukum alam yang
telah ditetapkan Allah atas penciptaan-Nya; dan hasil capaiannya yang paling
tinggi ialah koordinasi yang sempurna daripada aspek-aspek spiritual dan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

9
material kehidupan insani. Dalam ajaran-ajaran Islam kedua aspek ini bukan saja
"dipertemukan" satu sama lain dalam pengertian tidak meninggalkan konflik yang
menempel antara kehidupan jasadi dan moral manusia, tetapi kenyataan dari
kerjasamanya dan paduannya yang tak dapat dipisahkan ditekankan sebagai
basis hidup yang alami.
Ini, saya pikir, adalah hikmah dari bentuk shalat yang khas dalam Islam, dimana
konsentrasi spiritual dan gerak jasmani tertentu saling terkordinasi. Kritikuskritikus yang bersifat bermusuhan terhadap Islam selalu menilik cara shalat itu
sebagai bukti atas tuduhan mereka bahwa Islam adalah agama formalisma dan
lahiriah. Dan dalam kenyataannya ummat agama lain, yang memisahkan
"rohani" dan "jasadi" hampir dalam cara yang sama sebagai tukang susu
memisahkan krim dari susu, tidak mudah memahami bahwa dalam susu Islam
asli, yang tidak dicedok, kedua unsur itu walaupun berbeda dalam konstitusinya,
namun sama-sama hidup secara harmonis dan sama menyatakan dirinya.
Dalam kata-kata lain shalat dalam Islam terdiri dari konsentrasi mental dan
gerak-gerik jasadi karena kehidupan insani sendiri adalah paduan semacam itu,
dan karena kita diharapkan untuk mendekati Allah melalui keseluruhan dari
segala karunia yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita.
Suatu gambaran lebih lanjut dari sikap ini dapat dilihat dalam ibadah thawaf,
upacara mengelilingi Ka'bah di Makkah. Karena upacara itu termasuk dalam
upacara wajib bagi setiap orang yang menjalankan ibadah haji ke kota suci itu
tujuh kali mengelilingi Ka'bah, dan karena pelaksanaan ibadah ini adalah satu
dari ketiga pokok terpenting dari ibadah haji, maka patutlah kita bertanya: Apa
hikmahnya ini? Apakah perlu kita menyatakan pengabdian kita dalam cara
formal semacam itu?
Jawabannya sangat jelas. Apabila kita bergerak mengikuti satu lingkaran, maka
dengan begitu kita menempatkan obyek itu sebagai titik pusat tindakan kita.
Ka'bah, ke mana setiap Muslim menghadapkan mukanya setiap shalat,
melambangkan keesaan Tuhan. Gerak jasadi orang-orang yang menjalankan
ibadah haji dalam thawaf itu melambangkan aktivitas hidup manusia, bukan saja
pikiran-pikiran pengabdian kita tetapi juga kehidupan praktek kita, tindakan dan
usaha-usaha kita, harus mengandung idea tentang Allah dan keesaan-Nya
sebagai pusatnya --sesuai dengan kata-kata al-Qur'an:
"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku." (Qur'an Suci, 51: 56).
Jadi konsepsi-konsepsi ibadah dalam Islam berbeda dari konsepsi agamaagama lain. Di sini konsepsi ibadah itu tidak dibatasi pada praktek-praktek yang
bersifat ibadah murni seperti shalat, puasa, tetapi juga mencakup seluruh
praktek kehidupan manusia. Apabila tujuan hidup kita adalah mengabdi kepada
Allah maka perlulah kita memandang hidup ini, dalam keseluruhan aspekaspeknya, sebagai satu tanggung jawab moral yang kompleks. Maka seluruh

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

10
tindakan kita, bahkan yang tampaknya kecil, harus dilakukan sebagai tindakan
pengabdian, yaitu dilakukan dengan sadar sebagai bagian dari rencana universal
Tuhan. Hal-hal semacam ini merupakan suatu ideal jauh bagi manusia yang
berkesanggupan biasa; tetapi bukankah tujuan agama adalah memberikan idealideal kedalam kehidupan nyata?
Posisi Islam dalam pandangan ini tidak mungkin keliru. Islam pertama-tama
mengajarkan kepada kita bahwa pengabdian permanen kepada Allah dalam
segala tindakan yang aneka ragam dari kehidupan manusia adalah maksud
sesungguhnya daripada hidup ini; dan kedua, bahwa maksud ini tetap tidak akan
mungkin tercapai selama kita membagi hidup kita dalam dua bagian, yaitu yang
spiritual dan material: keduanya harus terpadu bersama-sama dalam kesadaran
dan tindakan kita, kedalam satu keseluruhannya yang harmonis. Pengertian kita
tentang keesaan Allah harus direfleksikan kedalam perjuangan kita ke arah
kordinasi dan penyeragaman dari berbagai aspek kehidupan kita.
Suatu konsekuensi logis dari sikap ini adalah perbedaan selanjutnya antara
Islam dan semua sistem agama yang dikenal lainnya. Ini akan diperoleh dalam
kenyataan bahwa Islam, sebagai satu ajaran, menjamin untuk memberi batasan
bukan saja hubungan metafisik antara manusia dan Penciptanya tetapi juga -dan dengan tekanan yang hampir tidak kurang kuatnya-- hubungan duniawi
antara individual dan lingkungan masyarakatnya. Kehidupan duniawi tidaklah
hanya dianggap sebagai kulit kerang kosong, sebagai bayangan tidak berarti dari
hari akhirat yang akan datang, tetapi sebagai satu keseluruhan positif yang padu.
Allah sendiri adalah Satu dan Esa, bukan saja dalam hakekat tetapi juga dalam
tujuan; dan oleh karena itu ciptaan-ciptaan-Nya adalah satu kesatuan, mungkin
dalam hakekatnya, tetapi pasti dalam tujuannya.
Ibadah kepada Allah dalam pengertian yang luas yang diterangkan di atas,
menurut Islam, memberi arti hidup manusia. Dan konsepsi ini saja yang
menunjukkan kepada kita kemungkinan bagi manusia mencapai kesempurnaan
dalam kehidupan duniawi manusia individual. Dari segala sistem agama hanya
Islam saja yang menyatakan bahwa kesempurnaan individual dapat dicapai
dalam kehidupan duniawi kita. Islam tidak menangguhkan menepati ini hingga
sesudah penindasan apa yang disebut hasrat-hasrat 'jasadi' seperti ajaran
Kristen; tidak pula Islam menjanjikan suatu rangkaian belenggu reinkarnasi atas
tingkat yang terus menaik seperti dalam Hinduisme; tidak pula Islam setuju
dengan ajaran Budhisme yang mengajarkan bahwa penyempurnaan dan
penyelamatan hanya dapat dicapai melalui pemusnahan wujud individual dan
hubungan emosionalnya dengan dunia. Tidak, Islam memberi tekanan dalam
penegasan bahwa manusia dapat mencapai kesempurnaan dalam kehidupan
duniawi individualnya dan dengan membuat kegunaan penuh dari segala
kemungkinan-kemungkinan duniawi dari hidupnya.
Untuk menjauhkan salah pengertian, kata "sempurna" harus diberi batasan
dalam pengertian yang dipergunakan di sini. Sejauh berhubungan dengan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

11
makhluk manusia, yang terbatas secara biologik, kita tidak dapat memandang
idea kesempurnaan yang "mutlak" karena segala yang mutlak hanya termasuk
milik sifat Allah saja. Kesempurnaan manusia dalam pengertian psikologik dan
moral harus mengandung arti relatif dan individual. "Sempurna" di sini tidak
berarti memiliki segala sifat-sifat yang dapat dibayangkan, bahkan tidak pula
mengandung arti pengambilan secara progresif akan sifat-sifat baru dari luar,
tetapi semata-mata pengembangan sifat-sifat dari individual yang telah ada dan
positif dalam cara demikian rupa sehingga membangkitkan kekuatan-kekuatan
yang ada dalam dirinya yang apabila tidak demikian akan tetap tidur. Berhubung
dengan aneka ragam yang alami dari gejala-gejala hidup, sifat-sifat asli manusia
berbeda dalam setiap diri individual. Oleh karena itu maka akan keliru apabila
kita menganggp bahwa seluruh makhluk manusia harus atau bahkan dapat
berjuang ke arah tipe kesempurnaan yang satu dan sama --tepat sebagaimana
akan keliru untuk mengharapkan seekor kuda pacuan sempurna dan seekor
kuda beban sempurna akan memiliki sifat-sifat yang sama. Keduanya mungkin
sempurna dan memuaskan secara individual, tetapi keduanya akan berbeda,
karena karakter aslinya berbeda.
Demikian pula halnya dengan makhluk manusia. Apabila kesempurnaan harus
diberi ukuran dalam tipe tertentu --seperti Kristen memberi ukuran dalam tipe
pertapa suci-- manusia akan harus menyerah atau mengubah atau menindas
perbedaan-perbedaan individual mereka. Tetapi ini jelas akan memperkosa
hukum Ilahi tentang aneka ragam individual yang menempati segala kehidupan
di atas muka bumi ini. Oleh karena itu Islam, yang bukan agama penindasan,
memberikan kepada manusia, suatu wilayah yang sangat luas dalam kehidupan
perorangan dan kemasyarakatan, sehingga sifat-sifat yang aneka ragam itu,
tabiat-tabiat dan kecenderungan psikologik dari individu-individu yang berbedabeda akan mendapatkan jalannya ke arah perkembangan positif sesuai dengan
pembawaan individualnya masing-masing. Dengan demikian seseorang mungkin
bersifat pertapa, atau ia boleh menikmati ukuran penuh dari kemungkinankemungkinan penyaluran nafsunya dalam batas-batas yang dibenarkan oleh
hukum; ia mungkin seorang pengembara di padang-padang gurun tanpa bekal
makanan untuk hari esok atau seorang kaya yang dikelilingi harta kekayaannya.
Selama ia secara jujur dan sadar patuh pada hukum-hukum perintah dan
larangan Allah, ia bebas membentuk hidup individualnya ke arah bentuk apa
yang diarahkan oleh alam insaninya. Kewajibannya adalah membuat dirinya
sebaik mungkin sehingga ia dapat menghormati anugerah hidup yang
dikaruniakan Penciptanya kepadanya, dan menolong hidup sesamanya dengan
jalan perkembangan dirinya sendiri, dalam usaha-usaha spiritual, sosial dan
material mereka. Tentang bentuk dari kehidupan individualnya sekali-kali tidak
dipastikan oleh suatu ukuran. Ia bebas membuat pilihannya dari antara segala
kemungkinan-kemungkinan halal yang tidak terbatas yang terbuka baginya.
Basis dari "liberalisme" ini dalam Islam terdapat dalam konsepsi bahwa alam
insani asli pada hakekatnya baik, berlawanan dengan idea Kristen bahwa
manusia dilahirkan dengan dosa, atau ajaran Hindu bahwa manusia asalnya

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

12
rendah dan tidak suci dan terpaksa dengan pahitnya melalui rantai transmigrasitransmigrasi reinkarnasi yang panjang menuju tujuan terakhir kesempurnaan,
ajaran Islam menegaskan bahwa manusia dilahirkan suci dan --dalam pengertian
yang diterangkan di atas-- sempurna secara potensial. Ini dikatakan dalam alQur'an:
"Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam struktur yang sebaikbaiknya,"
tetapi dalam nafas yang sama ayat itu dilanjutkan:
"dan kemudian kami turunkan dia pada kerendahan yang serendah-rendahnya;
kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh " (Qur'an Suci, 95: 4-6).
Dalam ayat ini dilahirkan doktrin bahwa manusia pada aslinya baik dan suci dan
dinyatakan pula bahwa ketiadaan iman kepada Allah dan tidak adanya amal baik
akan menghancurkan kesempurnaan aslinya. Sebaliknya manusia dapat
mempertahankan atau memperoleh lagi kesempurnaan asli individual itu apabila
ia menyadari dengan insaf akan keesaan Allah dan berserah diri pada Hukumhukum Ilahi. Jadi menurut Islam kejahatan itu sama sekali bukan hakiki atau asli;
kejahatan itu adalah akibat yang diperoleh dari kehidupan manusia
kemudiannya, dan disebabkan oleh penyalahgunaan sifat-sifat asli dan positif
yang telah dikaruniakan Allah pada setiap individu makhluk manusia. Sifat-sifat
itu adalah, seperti telah dikatakan lebih dahulu, berbeda dalam diri setiap diri
individu tetapi selalu sempurna secara potensial dalam diri sendiri; dan
perkembangannya yang penuh adalah mungkin dalam jangka waktu kehidupan
manusia individu di muka bumi ini. Kita memang membenarkan bahwa
kehidupan sesudah mati, berhubung dengan kondisinya yang diubah tentang
perasaan-perasaan kesadaran, akan memberikan pada kita sifat-sifat dan
kesanggupan-kesanggupan lain yang sama sekali baru yang masih
memungkinkan suatu kemajuan baru bagi jiwa manusia, tetapi ini hanya
menyangkut kita dalam kehidupan kita di hari kemudian saja. Dalam kehidupan
di dunia ini juga, ajaran Islam secara definitifif menegaskan, bahwa kita --setiap
orang dari kita-- dapat mencapai ukuran kesempurnaan yang penuh dengan
jalan mengembangkan sifat-sifat yang secara positif memang telah ada, yang
membentuk individualitas-individualitas.
Dari segala agama hanya Islam yang memberikan kemungkinan bagi manusia
untuk menikmati ukuran sepenuhnya kehidupan duniawinya tanpa sekejap pun
meninggalkan tujuan spiritualnya. Betapa berbeda hal ini dari konsepsi Kristen.
Menurut konsepsi Kristen, manusia jungkir balik dalam belenggu dosa warisan
yang dilakukan oleh Adam dan Hawa dan oleh karena itu seluruh hidup dianggap
--sekurang-kurangnya dalam teori dogmatik-- sebagai lembah sengsara dan
kesedihan. Hidup merupakan medan pertempuran dua kekuatan: kejahatan yang
diwakili oleh setan, dan kebaikan yang diwakili oleh Yesus Kristus. Setan
berusaha dengan segala godaan-godaan jasadi untuk menghalang kemajuan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

13
jiwa menuju terang abadi; jiwa adalah milik Kristus sedang jasad adalah
lapangan tempat pengaruh setan. Orang dapat menerangkan dengan cara lain:
dunia materi pada hakekatnya adalah jahat sedang dunia ruh adalah Ilahi dan
baik. Segala sesuatu dalam alam insani yang material, --atau "carnal", seperti
istilah yang lebih disukai dalam theologia Kristen-- adalah hasil langsung dari
penyerahan Adam kepada nasihat Pangeran Gelap dan Jasadi dari neraka. Oleh
karena itu maka untuk memperoleh keselamatannya manusia harus
memalingkan hatinya dari dunia daging ini ke arah hari kemudian, dunia spiritual,
dimana "dosa manusia" ditebus oleh pengorbanan Kristus di tiang salib.
Sekalipun umpamanya dogma ini tidak ditaati dalam prakteknya --dan tidak
pernah dipraktekkan-- adanya ajaran ini saja cenderung untuk menghasilkan
suatu perasaan permanen dari kesadaran buruk dalam diri orang yang punya
kecenderungan religius. Ia dilemparkan kedalam suatu gelanggang perjuangan
antara panggilan penting untuk meninggalkan dunia dan desakan alami dari
hatinya untuk menikmati hidup ini. Idea tentang dosa yang tak terelakkan karena
diwariskan, dan tentang penebusan dosa --yang tidak dapat dipahami oleh
pikiran umum-- melalui penderitaan Yesus di tiang salib, menegakkan tembok
pemisah antara hasrat spiritual manusia dan hasratnya yang sejati untuk hidup.
Dalam Islam kita tidak mengenal dosa warisan; kita memandang hal itu tidak
sesuai dengan idea keadilan Allah. Allah tidak membuat seorang anak
bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan ayahnya dan betapa Ia akan
membuat generasi-generasi ummat manusia yang tak terhitung jumlahnya akan
bertanggungjawab atas dosa karena pelanggaran yang dilakukan oleh nenek
moyangnya yang jauh? Tidaklah diragukan bahwa tidak mungkin menyusun
keterangan falsafah tentang anggapan aneh ini, tetapi bagi pikiran yang
menjangkau jauh hal itu akan tetap sebagai hal yang dibuat-buat dan tidak akan
memuaskan seperti konsepsi tentang Tritunggal itu sendiri. Dan karena tidak ada
dosa warisan maka tidak ada pula penebusan dosa universal dalam ajaran
Islam. Setiap Muslim adalah penebus dosanya sendiri; ia memiliki segala
kemungkinan-kemungkinan sukses dan kegagalan spiritual dalam dirinya
sendiri.
Dikatakan dalam al-Qur'an tentang keperibadian manusia:
"Bagi dia apa yang telah diterimanya, dan terhadap dia kejahatan yang
dilakukannya." (Qur'an Suci, 2: 286)
Ayat lainnya mengatakan:
"Tidak ada yang akan diperhitungkan bagi manusia, selain yang telah
diusahakannya." (Qur'an Suci, 53:39).
Tetapi apabila Islam tidak memiliki aspek hidup yang suram seperti yang
dilahirkan oleh Kristen, betapapun juga Islam tidak mengajarkan kepada kita

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

14
untuk memberikan pada kehidupan duniawi nilai yang dilebih-lebihkan seperti
yang diberikan oleh peradaban Barat modern. Sementara pandangan Kristen
mengandung pengertian bahwa kehidupan duniawi adalah buruk, Barat modern -seperti dibedakan dari Kristen-- memuja hidup dalam cara tepat sama seperti si
rakus memuja makannya; ia menelannya tetapi ia tidak punya respek
terhadapnya. Sebaliknya Islam memandang kehidupan duniawi dengan tenang
dan dengan respek. Ia tidak memujanya, tetapi memandangnya sebagai suatu
tangga dalam perjalanan menuju kehidupan yang lebih tinggi. Tetapi justru
karena ia adalah tangga, dan tangga yang perlu pula, manusia tidak berhak
untuk menghinanya atau bahkan menganggap remeh nilai kehidupan
duniawinya. Perjalanan kita melintasi dunia ini adalah satu bagian yang pasti dan
positif dalam rencana Allah. Oleh karena itu kehidupan manusia bernilai sangat
tinggi sekali; tetapi ia tidak boleh melupakan bahwa itu hanyalah nilai
instrumental, sebagai alat saja. Bagi Islam tidak ada tempat bagi optimisme
materialistik Barat modern yang mengatakan "Kerajaanku hanya di dunia ini
saja" --tidak pula ada tempat bagi sikap benci pada hidup seperti ucapan Kristen:
"Kerajaanku bukanlah daripada dunia ini." Islam menempuh jalan tengah; alQur'an mengajarkan manusia berdoa:
"Tuhan kami, berikanlah kiranya kepada kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan
di akhirat." (Quran Suci, 2:201)
Demikianlah penilaian penuh tentang dunia ini dan kebaikannya sama sekali
bukan merupakan halangan bagi usaha-usaha spiritual kita. Harta benda
dikehendaki tetapi bukan merupakan tujuan itu sendiri. Tujuan dari segala
kegiatan praktek kita selalu harus berupa penciptaan dan pemeliharaan syaratsyarat perorangan dan sosial yang dapat bermanfaat bagi perkembangan tingkat
moral dalam diri manusia. Sesuai dengan prinsip ini Islam membimbing manusia
ke arah kesadaran tanggung jawab moral dalam segala hal yang dilakukannya,
besar ataupun kecil. Perintah "Injil" yang terkenal: "Berikan kepada Kaisar
kepunyaan Kaisar dan berikan kepada Tuhan kepunyaan Tuhan" tidak ada
tempatnya dalam struktur agama Islam, karena Islam tidak mengakui adanya
konflik antara tuntutan-tuntutan moral dalam kehidupan kita. Dalam segala hal
hanya ada satu pilihan: pilihan antara benar dan salah, tidak ada lain. Dari
situlah datangnya desakan kuat atas perbuatan sebagai satu unsur moralitas
yang tidak dapat dilepaskan.
Setiap individu Muslim harus memandang dirinya secara pribadi
bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di sekitar dia dan berjuang
untuk menegakkan kebenaran dan memberantas kejahatan pada setiap saat dan
pada setiap arah. Dasar atas sikap ini terdapat dalam ayat al-Qur'an:
"Kamu adalah ummat terbaik yang telah dilahirkan kepada ummat manusia:
kamu menganjurkan kebenaran dan mencegah kemungkaran, dan kamu
beriman kepada Allah." (Qur'an Suci, 3:110).

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

15
Inilah pembenaran moral terhadap peperangan Islam, suatu pembenaran
terhadap penaklukan-penaklukan Islam dan tentang apa yang sering ditunjukkan
sebagai "imperialisme". Islam adalah "imperialisme" apabila anda akan
memaksakan istilah itu; tetapi "imperialisme" semacam ini tidak terdorong oleh
cinta akan kekuasaan, tidak ada hubungan dengan egoisme ekonomi dan
egoisme nasional, tidak ada sangkut paut dengan keserakahan untuk
memperbesar kesenangan kaum Muslimin atas kerugian orang lain; tidak pula itu
dimaksudkan sebagai pemaksaan atas orang-orang tidak beriman ke dalam
rangkulan Islam. Sebagaimana halnya, itu hanya dimaksudkan untuk
pembangunan dunia demi perkembangan spiritual manusia sebaik mungkin.
Karena menurut ajaran Islam, pengetahuan moral secara otomatis memaksakan
tanggung jawab moral atas manusia. Pemisahan platonik melulu antara baik dan
buruk tanpa desakan untuk mengangkat kebaikan dan memberantas keburukan
adalah immoralitas kasar dalam sendirinya. Dalam Islam moralitas hidup dan
mati bersama perjuangan manusia untuk menegakkan kejayaan moralitas itu di
muka bumi.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

16

II. Semangat Barat


Dalam pasal yang lalu telah diusahakan memberikan suatu garis besar dasar
moral Islam. Kita sadari dengan mudah bahwa peradaban Islam adalah theokrasi
dalam bentuk yang paling sempurna. Di sini pertimbangan religius mengatasi
segala-galanya dan mendasari segala-galanya. Apabila kita bandingkan ini
dengan sikap peradaban Barat, kita beroleh kesan yang kuat akan adanya
perbedaan pandangan yang sangat besar.
Dalam kegiatan-kegiatan dan usaha-usahanya peradaban Barat dikuasi oleh
pertimbangan kemanfaatan praktis dan ekspansi dinamik saja. Tujuannya selalu
adalah membuat eksperimen-eksperimen dengan kemungkinan-kemungkinan
daripada hidup dan penemuan potensialitas-potensialitas hidup itu, tanpa
memberikan sifat realitas moral sendiri pada hdiup ini. Bagi Eropa dan Amerika
modern masalah arti dan tujuan hidup telah sejak lama kehilangan kepentingan
praktisnya. Yang penting bagi mereka hanya pertanyaan bentuk-bentuk apa
yang dapat diambil kehidupan dan apakah ummat manusia seperti itu sedang
maju menuju penguasaan terhadap alam. Pertanyaan terakhir ini dijawab Barat
modern dengan membenarkannya, dan dalam hal ini sejalan dengan Islam.
Dalam al-Qur'an Allah berfirman perihal Adam dan ummatnya:
"Sesungguhnya Aku akan menempatkan khalifah di muka bumi," (Qur'an Suci,
2:30).
Ini jelas berarti bahwa manusia ditakdirkan untuk berkuasa dan maju di atas
dunia. Tetapi ada perbedaan antara pandangan-pandangan Barat tentang sifat
perkembangan manusia. Barat modern percaya akan kemungkinan perbaikan
spiritual yang progresif dari ummat manusia dalam pengertian kolektifnya,
dengan capaian-capaian praktis dan perkembangan pemikiran ilmiah. Tetapi
pandangan Islam bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan konsepsi
kemanusiaan Barat yang materialistik dinamik ini. Islam memandang
kemungkinan-kemungkinan keseluruhan kolektif "ummat manusia" sebagai satu
kuantitas statik; seperti sesuatu yang telah diletakkan secara definitifif seperti itu
dalam susunan alam itu sendiri. Islam tidak pernah membenarkan bahwa alam
insani --dalam pengertian supe-rindividualnya secara umum-- akan mengalami
suatu proses perubahan maju dan perbaikan dalam cara yang serupa seperti
tumbuhnya pohon: karena dasar dari alam insani itu, jiwa manusia, bukanlah
kuantitas biologik. Kekeliruan fundamental dari pikiran Eropa modern, yang
memandang pertambahan pengetahuan dan kesenangan material sebagai
identik dengan perbaikan spiritual dan moral ummat manusia, hanya mungkin
karena kesalahan fundamental yang sama dalam menerapkan hukum-hukum
biologik pada fakta-fakta non-biologik. Pada akarnya terletak ketidakpercayaan
Barat akan adanya apa yang kita gambarkan sebagai "ruh". Islam yang berdasar
atas konsepsi kerohanian memandang ruh sebagai satu realitas yang tidak perlu
diragukan atau diperdebatkan. Walaupun tidak mesti saling bertentangan,

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

17
kemajuan material dan kemajuan spiritual tidaklah satu dan sama; walaupun
saling berhubungan, keduanya adalah aspek-aspek dari hidup manusia yang
jelas berbeda; dan dua bentuk kemajuan ini tidak mesti saling bergantung.
Memang mungkin, tetapi tidak selalu keduanya harus berkembang serentak.
Sementara dengan jelas mengakui kemungkinan itu dan menegaskan dengan
keras wajarnya kemajuan lahir, yaitu kemajuan material ummat manusia sebagai
satu badan kolektif, sejelas itu pula Islam tidak membenarkan kemungkinan
perbaikan spiritual manusia sebagai satu keseluruhan dengan jalan hasil-hasil
capaian kolektifnya. Unsur dinamika dari perbaikan spiritual terbatas pada
makhluk perorangan dan satu-satunya batas waktu yang mungkin dari
perkembangan spiritual dan moral manusia adalah antara kelahiran dan matinya
orang individu secara perseorangan. Kita tidak mungkin maju menuju
kesempurnaan sebagai badan kolektif. Setiap orang harus berjuang menuju
tujuan spiritual itu sebagai individu perseorangan; dan setiap orang harus mulai
dan mengakhirinya dengan dirinya sendiri.
Pandangan individualistik yang tegas tentang tujuan spiritual manusia ini
diimbangi dan dikuatkan secara langsung, dengan konsepsi sosial Islam yang
keras serta kerjasama kemasyarakatan. Kewajiban masyarakat ialah mengatur
kehidupan lahir dalam cara demikian rupa sehingga individu orang seorang
mendapat halangan seminimal mungkin dan mendapat dorongan semaksimal
mungkin dalam perjuangan spiritualnya. Inilah sebabnya, maka hukum Islam,
syari'ah, berurusan dengan kehidupan manusia dalam segi spiritual maupun
materialnya, dan keduanya dengan aspek-aspek individual dan aspek-aspek
sosialnya.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, konsepsi seperti itu hanya mungkin atas
dasar kepercayaan positif akan adanya ruh manusia, dan sehubungan dengan
itu kepercayaan akan tujuan transendental daripada kehidupan manusia. Tetapi
bagi Barat modern dengan sikap mengabaikan dan setengah menolak adanya
ruh, masalah-masalah tujuan hidup tidak lagi mengandung kepentingan praktis.
Barat telah meninggalkan segala pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan
kerohanian.
Apa yang kita namakan sikap religius selalu berdasarkan atas kepercayaan
bahwa ada suatu hukum moral kerohanian yang mencakup segala-galanya dan
bahwa makhluk manusia harus tunduk kepada perintah-perintah hukum moral
itu. Peradaban Barat modern tidak mengakui perlunya penyerahan manusia
kepada apapun kecuali tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial dan kebangsaan.
Dewanya yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan,
comfort. Dan falsafahnya yang nyata dan hidup dilahirkan dalam kemauan untuk
berkuasa demi untuk kekuasaan itu sendiri. Keduanya diwarisi dari peradaban
Romawi Kuno.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

18
Dengan menyebut peradaban Romawi --sekurang-kurangnya sedikit banyak-secara genetik mewariskan materialisme Barat Modern, mungkin kedengaran
ganjil bagi orang-orang yang telah mendengar perbandingan berulang-ulang
tentang imperium Romawi dan imperium Islam. Bagaimana mungkin terdapat
perbedaan yang tegas antara konsepsi Islam yang fundamental dan konsensi
Barat modern apabila dalam jaman lampau ekspresi-ekspresi antara keduanya
bersamaan? Jawabannya yang sederhana adalah: keduanya sebenarnya tidak
bersamaan. Perbandingan populer yang demikian seringnya dikutip adalah salah
satu dari lagu lama sejarah yang sumbang; dengan pengetahuan dangkal dan
palsu anggapan itu mengisi pikiran generasi sekarang. Tidak ada persamaan
antara imperium Islam dan imperium Romawi kecuali bahwa keduanya
membentang di atas wilayah-wilayah luas dan bangsa-bangsa yang aneka
ragam --karena selama kehidupannya kedua imperium ini diarahkan oleh
tenaga-tenaga penggerak yang sama sekali berbeda dan barus memenuhi
tujuan-tujuan historik yang sama sekali berbeda dan harus memenuhi tujuantujuan historik yang berbeda. Bahkan dalam segi terbentuknya kita melihat
perbedaan yang besar sekali antara imperium Islam dan imperium Romawi.
Imperium Romawi memerlukan waktu hampir seribu tahun untuk tumbuh ke arah
keluasan wilayah yang besar dan ke arah kematangan politik; sedang imperium
Islam meloncat dan tumbuh hingga kepenuhannya dalam waktu singkat yang
hanya memakan waktu sekitar delapan puluh tahun. Tentang hal
kemundurannya masing-masing, perbedaan itu malah lebih terang. Keruntuhan
imperium Romawi, yang akhirnya ditutup sama sekali oleh migrasi bangsabangsa Hun dan Goth, hanya berlangsung selama satu abad saja --dan
berlangsung demikian sempurnanya sehingga tidak ada sesuatu daripadanya
yang tinggal kecuali karya kesusasteraan dan arsitektur. Imperium Byzantium,
yang biasanya dianggap pewaris tunggal dari kebudayaan Romawi, hanyalah
ahli waris sejauh ia terus memerintah atas sebagian dari wilayah yang dahulu
merupakan bagian dari imperium Romawi. Struktur sosial dan organisasi
politiknya hampir tidak berhubungan sama sekali. Sebaliknya imperium Islam,
seperti tercakup dalam kekhalifahan, memang mengalami kerusakan dan
perubahan bentuk dinasti dalam perjalanan kehidupannya yang panjang, tetapi
strukturnya pada hakekatnya tetap sama. Serangan-serangan dari luar, bahkan
serangan-serangan orang Mongol --yang jauh lebih ganas daripada yang dialami
imperium Romawi di tangan bangsa-bangsa Hun dan Goth-- tidaklah sanggup
untuk menggoncangkan organisasi kemasyarakatan dan kehidupan politik yang
tidak terpatahkan dari imperium khalifah-khalifah, walaupun jelas bahwa hal itu
turut menyebabkan kemacetan ekonomi dan intelektual pada masa-masa
kemudiannya. Berlainan dengan masa satu abad yang diperlukan untuk
kehancuran imperium Romawi, imperium Islam dari khalifah-khalifah itu
memerlukan waktu hampir seribu tahun dalam kemunduran yang perlahan-lahan
hingga kehancuran politik terakhir dengan lenyapnya Kekhalifahan Usmaniyah,
diikuti oleh kebobrokan sosial yang sedang kita saksikan sekarang.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

19
Segala ini memaksakan kesimpulan pada kita bahwa kekuatan batin dan
kesehatan sosial dari dunia Islam lebih tinggi daripada segala yang pernah
dialami ummat manusia hingga saat ini dengan jalan organisasi sosial. Bahkan
peradaban Cina yang tiada ragu telah memperlihatkan kekuatan-kekuatan
bertahan selama berabad-abad tidak dapat dipergunakan sebagai perbandingan
di sini. Cina terletak di ujung satu benua yang hingga pada akhir abad yang lalu -yaitu sehingga kebangkitan Jepang modern-- berada di luar capaian kekuatan
apapun; peperangan dengan orang Mongol pada jaman Jengis Khan dan
keturunan-keturunannya hampir tidak menyentuh imperium Cina; tetapi imperium
Islam membentang hingga tiga benua dan sepanjang masa itu dikelilingi oleh
kekuatan-kekuatan yang memusuhi dengan gaya hidup yang besar. Sejak
permulaan sejarah bagian bumi yang dinamakan Timur Tengah dan Timur Dekat
merupakan gunung api dari pertentangan-pertentangan tenaga-tenaga rasial dan
kebudayaan; tetapi pertahanan organisasi Islam tidak terpadamkan, sekurangkurangnya hingga pada saat ini. Kita tidak perlu mencari keterangan yang jauh
tentang pemandangan yang mengagumkan ini: ajaran agama dari al-Qur'an-lah
yang memberi dasar yang kuat, dan teladan hidup Nabi Muhammad saw.-lah
yang menjadi pita baja yang melingkari struktur sosial yang agung itu. Imperium
Romawi tidak memiliki unsur spiritual semacam itu untuk mempertahankan
kesatuannya, dan oleh karena itu ia runtuh demikian cepat.
Tetapi masih ada satu perbedaan lagi antara kedua imperium lama itu.
Sementara dalam imperium Islam tidak ada bangsa yang diistimewakan, dan
kekuasaan ditundukkan kepada penyiaran idea yang dianggap oleh pembawapembawa suluhnya sebagai kebenaran agamawi yang luhur, idea yang
mendasari imperium Romawi adalah penaklukan demi kekuasaan dan
eksploitasi atas bangsa-bangsa lain untuk kepentingan negara induk sendiri.
Untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik bagi golongan yang
diistimewakan, tidak ada keganasan yang terlalu buruk bagi bangsa Romawi,
tidak ada ketidakadilan yang terlalu keji: "Keadilan Romawi" yang terkenal itu
adalah keadilan bagi orang-orang Romawi saja. Jelaslah sikap semacam itu
hanya mungkin atas dasar satu konsepsi hidup dan peradaban yang sama sekali
materialistik --tentulah materialisme yang diperindah oleh rasa intelektual, tetapi
betapapun juga tetap asing bagi segala nilai-nilai spiritual. Orang-orang Romawi
dalam kenyataannya tidak pernah mengenal agama. Dewa-dewa mereka yang
tradisional itu adalah tiruan samar dari mitologia Yunani, hanyalah roh-roh samar
yang diterima dengan diam-diam untuk kepentingan konvensi sosial. Dewa-dewa
itu sama sekali tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan nyata.
Apabila ditanyai, dewa-dewa itu harus memberikan orakel melalui perantaraanperantaraan pendeta-pendeta mereka; tetapi dewa-dewa itu tidak pernah,
diharapkan untuk menentukan hukum-hukum moral pada manusia atau untuk
mengarahkan tindakan-tindakan manusia. Dari bumi inilah tumbuh kebudayaan
Barat. Tiada diragukan bahwa ia banyak menerima pengaruh-pengaruh lain
dalam rentangan perkembangannya, dan hal itu secara alami mengubah dan
mengalihkan bentuk warisan kebudayaan Romawi dalam lebih dari satu segi

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

20
pandangan. Tetapi kenyataan tetap tinggal bahwa segala apa yang nyata dalam
etika dan pandangan hidup Barat sekarang langsung dapat diikuti jejaknya
hingga kepada peradaban Romawi kuno karena suasana intelektual dan sosial
Romawi kuno sepenuhnya bersifat utilitarian dan anti agama --dalam
kenyataannya, apabila bukan dalam pengakuan terbuka-- demikianlah suasana
Barat modern. Tanpa memiliki bukti yang menyangkal agama ketuhanan, dan
bahkan tanpa mengakui perlunya bukti semacam itu, pemikiran Barat modern,
sementara bersikap toleran dan bahkan kadang-kadang menekankan perlunya
agama sebagai satu konvensi sosial pada umumnya, melepaskan etika agamawi
dari wilayah pertimbangan praktis. Peradaban Barat tidak dengan tegas
menyangkal adanya Tuhan tetapi hanya tidak ada tempat dan tiada manfaat
adanya Tuhan dalam sistem intelektualnya sekarang. Dunia Barat telah
mengambil
keuntungan
dari
kesulitan
intelektual
manusia
--yaitu
ketidaksanggupannya menggenggam keseluruhan hidup. Tampaknya Barat
modern hanya akan memberikan sifat kepentingan praktis atas idea-idea yang
terletak dalam bidang pengetahuan-pengetahuan empiris atau sekurangkurangnya diharapkan untuk mempengaruhi hubungan-hubungan sosial manusia
dalam cara yang dapat dirasakan. Dan tentang pertanyaan akan adanya Tuhan
secara prima facie tidak termasuk pada salah satu dari kedua kategori ini. Pikiran
Barat pada prinsipnya cenderung untuk mengesampingkan Tuhan dari wilayah
pertimbangan praktis.
Timbul pertanyaan: bagaimana sikap semacam itu dapat dipertemukan dengan
jalan pikiran Kristen? Bukankah agama Kristen --yang dianggap sumber pokok
peradaban Barat-- suatu kepercayaan yang berdasarkan etika transendental?
Tentu saja agama Kristen berdasarkan etika transendental. Namun adalah satu
kekeliruan yang sangat besar sekali apabila orang memandang peradaban Barat
bersumber dari agama Kristen. Dasar intelektual yang real dari Barat modern
harus diperoleh dari konsepsi hidup Romawi sebagai satu dasar pandangan
akan perlunya melulu, tanpa sesuatu pandangan kerohanian. Ini dapat
dinyatakan sebagai berikut: "Karena kita tidak tahu apapun yang definitif --yaitu
dengan jalan eksperimen dan pemikiran ilmiah-- tentang asal kehidupan
manusia, maka lebih baik kita memusatkan segala tenaga untuk perkembangan
kemungkinan-kemungkinan material dan intelektual kita tanpa mengizinkan diri
kita dihalangi oleh etika kerohanian dan dalil-dalil moral atas dasar anggapananggapan yang menantang bukti ilmiah." Tidak akan terdapat keraguan bahwa
sikap ini, yang demikian khas dalam peradaban Barat modern, adalah sama
tidak dapat diterima bagi agama Kristen maupun bagi Islam atau agama apapun,
karena pandangan itu tidak religius dalam hakekatnya sendiri. Oleh karena itu
untuk menggambarkan hasil-hasil capaian peradaban Barat modern atas
kekuatan yang dianggap dari ajaran-ajaran Kristen adalah sangat memalukan.
Agama Kristen telah memberikan sangat sedikit sumbangan pada
perkembangan ilmiah dan material dimana kebudayaan Barat sekarang
mengatasi segala sesuatu lainnya. Sesungguhnya hasil-hasil capaian itu timbul
dari perjuangan intelektual Barat melawan gereja Kristen dan pandangan hidup
Kristen.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

21
Selama berabad-abad semangat Barat ditekan oleh sistim religus yang
menganut permusuhan terhadap alam. Nada kepertapaan yang memenuhi Bibel
dari ujung ke ujung, tuntutan untuk menyerah secara pasif atas kesalahan yang
menimpa, penyangkalan terhadap seks sebagai sesuatu yang berdasar atas
kejatuhan Adam dan Hawa di surga, dosa warisan dan penebusannya melalui
penyaliban Yesus, segala ini menuju pada satu penafsiran hidup manusia tidak
atas dasar jenjang positif tetapi hampir sebagai kejahatan yang tak terelakkan -sebagai penghalang "edukatif" pada jalan kemajuan spiritual. Teranglah bahwa
kepercayaan semacam itu tidak membangkitkan gairah bersemangat untuk
usaha-usaha berhubung dengan ilmu pengetahuan dan perbaikan syarat-syarat
kehidupan duniawi. Dan sesungguhnya selama masa yang sangat panjang
intelek Eropa ditaklukkan oleh konsepsi kehidupan manusia yang muram itu.
Selama abad-abad pertengahan ketika gereja sedang berkuasa, Eropa tidak
memiliki gaya hidup dan tiada tempat apapun bagi dunia penyelidikan ilmiah.
Eropa masa itu bahkan kehilangan hubungan dengan hasil-hasil capaian
falsafah Romawi dan Yunani dari mana kultur Eropa dahulu bersumber. Intelek
Eropa berontak lebih dari satu kali; tetapi berulang-ulang pemberontakan intelek
itu dipatahkan oleh gereja. Sejarah jaman abad-abad pertengahan penuh
dengan perjuangan sengit antara genius Eropa dan semangat gereja.
Pembebasan pikiran Eropa dari belenggu intelektual yang telah dipasang gereja
Kristen terjadi dalam jaman renaissance dan sangat besar sekali disebabkan
oleh dorongan-dorongan dan ide-ide kultural baru yang telah disalurkan Islam ke
Barat selama beberapa abad.
Segala sesuatu yang terbaik dari kultur Yunani kuno dan masa Hellenisma
kemudian telah dihidupkan oleh orang-orang Arab dalam usaha penyelidikan
mereka dan diperbaiki dalam abad-abad setelah berdirinya awal imperium Islam.
Saya tidak mengatakan bahwa penyerapan pikiran Hellenistik itu berupa manfaat
yang tidak dapat disanggah terhadap bangsa Arab dan kaum Muslimin pada
umumnya --karena keadaannya tidak demikian. Tetapi sementara segala jerih
payah orang-orang Arab menghidupkan kembali kultur Hellenisma itu mungkin
menyebabkan kerugian bagi kaum Muslimin pada umumnya dengan jalan
memperkenalkan falsafah Aristoteles dan neoplatonisme ke dalam theologia dan
yurisprudensi Islam, hal itu justru merupakan dorongan yang sangat besar bagi
Eropa. Zaman abad-abad pertengahan telah menyia-nyiakan kekuatan-kekuatan
produktif Barat. Ilmu pengetahuan macet, tahyul berkuasa paling tinggi,
kehidupan moral primitif dan rendah sehingga hampir tidak dapat diterima akal
pada zaman ini. Pada titik itu pengaruh kultural dunia Islam --mula-mula melalui
pengalaman perang salib di Timur dan universitas-universitas Islam yang
cemerlang di Spanyol dan kemudian melalui hubungan-hubungan perdagangan
yang dibangun Republik Genua dan Venesia-- mulai berkumandang di pintu
peradaban Eropa yang terkunci. Di hadapan mata sarjana-sarjana dan ahli-ahli
pikir Eropa yang silau muncul suatu kebudayaan baru --indah, progresif, penuh
gairah hidup dan penuh memiliki perbendaharaan kultural yang telah lama
dihilangkan dan dilupakan Eropa. Yang telah dilakukan oleh orang-orang Arab itu

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

22
jauh melebihi pembangkitan kembali kebudayaan Yunani kuno saja. Mereka
telah menciptakan suatu dunia ilmiah mereka sendiri yang sama sekali baru dan
memperkembangkan hingga pada masa itu jalan-jalan penelitian ilmiah dan
falsafah. Semua ini mereka salurkan melalui berbagai saluran ke dunia Barat.
Dan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa zaman ilmu pengetahuan modern
dalam masa kita ini tidak dilahirkan di kota-kota Eropa Kristen tetapi di pusatpusat Islam seperti di Damsyik, Baghdad, Kairo, Kordoba, Nishapur,
Samarkand.
Akibat pengaruh ini atas Eropa sangat besar. Dengan kedatangan peradaban
Islam fajar intelektual baru bersinar di dunia Barat dan diresapi dengan hidup
segar serta kehausan akan kemajuan. Bukan saja penghargaan atas nilainya
maka ahli sejarah Eropa menamakan regenerasi itu renaissance --yakni
kelahiran kembali. Renaisans itu sebenarnya adalah kelahiran kembali Eropa.
Arus regenerasi yang memancar dari kebudayaan Islam menimbulkan otak-otak
Eropa yang terbaik untuk berjuang dengan kekuatan baru melawan supremasi
gereja Kristen yang berbahaya.
Pada permulaannya pertandingan ini mengandung pandangan lahir dari
gerakan-gerakan reformasi, yang timbul hampir serentak di berbagai negara
Eropa dengan tujuan untuk menerapkan jalan pemikiran Kristen kepada
tuntutan-tuntutan hidup yang baru ini. Gerakan-gerakan ini sehat dalam caranya
dan apabila mereka beroleh sukses spiritual yang nyata mungkin mereka
menghasilkan suatu kesesuaian antara ilmu pengetahuan dan pemikiran religius
di Eropa. Tetapi sebagaimana yang terjadi, kesalahan yang disebabkan oleh
gereja zaman abad-abad pertengahan sudah terlalu jauh untuk dapat diperbaiki
oleh reformasi saja yang lagi pula dengan cepat menurun menjadi perjuanganperjuangan politik antara golongan-golongan yang berkepentingan. Alih-alih
daripada beroleh perbaikan yang sebenarnya, agama Kristen hanya terdesak
pada sikap bertahan dan berangsur-angsur terpaksa mengambil sikap
apologetik. Gereja --baik Katholik maupun Protestan-- sebenarnya tidak pernah
melepaskan komedi-komedi mentalnya, dogma-dogma yang tak dapat dipahami,
sikap menghinanya terhadap dunia, dukungannya pada kekuasaan-kekuasaan
yang ada atas kerugian ummat manusia yang tertindas; gereja hanya mencoba
memalsukan kegagalan-kegagalan yang parah ini dan dengan demikian
"menerangkannya" dengan jalan keterangan-keterangan kosong. Tidaklah
mengherankan bahwa ketika tahun-tahun dan abad-abad itu maju, pegangan
dan pemikiran religius menjadi makin lama makin lemah di Eropa, hingga pada
abad ke delapan belas kekuasaan gereja dengan tegas dilemparkan ke luar
gelanggang oleh revolusi Perancis dan akibat-akibat kultural di negara-negara
lain.
Pada waktu itu lagi tampak seakan-akan kebudayaan spiritual baru yang bebas
dari kegelapan tirani theologia skolastik abad-abad pertengahan beroleh
kesempatan tumbuh di Eropa. Dan kenyataannya pada akhir abad ke delapan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

23
belas dan awal abad ke sembilan belas kita bertemu dengan beberapa tokoh
spiritual Eropa yang terbaik dan paling kuat dalam bidang falsafah, kesenian,
kesusasteraan dan ilmu pengetahuan. Tetapi konsepsi hidup spiritual religius ini
tetap terbatas pada beberapa orang perorangan. Massa besar orang-orang
Eropa, sesudah demikian lama terpenjara dalam dogma-dogma agama yang
tidak ada hubungan dengan usaha-usaha alami manusia, tidak dapat dan tidak
mau mendapatkan jalan mereka kembali kepada orientasi religius setelah sekali
belenggu-belenggu itu dihancurkan.
Barangkali faktor intelektual yang paling penting yang menghalangi regenerasi
religius di Eropa adalah konsepsi yang ada pada waktu itu bahwa Yesus adalah
Anak laki-laki Tuhan. Orang-orang Kristen yang berpikiran filosofis tentu saja
tidak pernah menerima ide keanakan itu dalam pengertian harfiahnya; mereka
mengartikan keanakan Yesus itu sebagai manisfestasi dari rahmat Tuhan dalam
bentuk manusia. Tetapi sayang tidak setiap orang berpikiran filosofis. Bagi
sebagian terbesar dari orang-orang Kristen ungkapan "anak" mengandung arti
yang langsung, walaupun selalu ada bau mistik yang ditempelkan ke situ. Bagi
mereka keanakan Yesus itu dengan sangat alaminya menuju kepada
kepercayaan akan Tuhan sebagai manusia, yang mengambil rupa orang tua
yang baik dengan janggut putih yang lebat: dan bentuk ini, diabadikan dalam
lukisan-lukisan yang tak terhitung banyaknya yang bernilai seni yang tinggi,
tinggal mengesan dalam bawah-sadar pikiran orang-orang Eropa. Sepanjang
masa ketika dogma gereja paling berkuasa di Eropa tidak banyak
kecenderungan untuk mempersoalkan konsepsi aneh ini. Tetapi dengan
hancurnya belenggu intelektual abad-abad pertengahan, cara berpikir orangorang Eropa tidak dapat mempertemukan dirinya dengan satu Tuhan-Bapak
yang dimanusiakan; sebaliknya pemanusiaan Tuhan itu telah menjadi satu faktor
penghalang yang tegak dalam konsepsi rakyat umum tentang Tuhan. Sesudah
suatu masa kebangunan pemikiran, ahli-ahli pikir Eropa secara naluri mundur
lagi dari konsepsi tentang Tuhan seperti yang digambarkan dalam ajaran gereja,
dan karena ini adalah satu-satunya konsepsi yang mereka kenal, maka mereka
mulai menolak ide tentang Tuhan sendiri dan bersama dengan itu mereka
menolak agama.
Lagi pula fajar zaman industri dengan kecemerlangan kemajuan material yang
menyilaukan mulai mengarahkan manusia kepada kepentingan-kepentingan
baru dan dengan demikian menyumbangkan kekosongan religius yang
mengikutinya di Eropa. Dalam masa lowong itu perkembangan peradaban Barat
beroleh giliran tragik-tragik dari sudut pandangan setiap orang yang memandang
agama sebagai realitas yang paling kuat dalam kehidupan manusia. Setelah
terbebas dari bentuk penghambatan dahulunya berupa agama Kristen, pikiran
Eropa modern melangkahi batas itu dan membentengi dirinya dengan
berangsur-angsur dalam suatu sikap tegas menentang setiap bentuk tuntutan
atas manusia. Dari ketakutan bawah sadar kalau-kalau sekali lagi dilimpahi
dengan kekuatan-kekuatan yang menuntut kekuasaan spiritual, Eropa menjadi

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

24
juara dari segala sesuatu yang anti agama dalam prinsip dan dalam tindakan.
Eropa kembali kepada warisan Romawi lama.
Oleh karena itu orang tidak dapat disalahkan atas bantahan bahwa bukanlah
superioritas potensial dari agama Kristen atas kepercayaan-kepercayaan lain
yang memungkinkan Barat untuk mencapai hasil-hasil materialnya yang
cemerlang: karena hasil-hasil yang dicapai ini tidak dapat dipikirkan tanpa
perjuangan historik kekuatan-kekuatan intelektual Eropa melawan prinsip-prinsip
gereja Kristen sendiri. Konsepsi hidup materialisme sekarang ini adalah
pembalasan dendam Eropa terhadap "kerohanian" gereja yang telah kesasar
dari kebenaran kebenaran hidup alami.
Bukanlah urusan kita untuk masuk lebih jauh ke dalam hubungan intern antara
agama Kristen dan peradaban Barat modern. Saya hanya berusaha
menunjukkan tiga dari sebab-sebab, mungkin sebab-sebab utama, mengapa
peradaban Barat itu begitu sempurna anti agama dalam konsepsi-konsepsi dan
metoda-metodanya: pertama adalah warisan peradaban Romawi dengan
sikapnya yang sama sekali materialistik berhubung dengan kehidupan manusia
dan nilai-nilai yang terpadu padanya; yang kedua, pemberontakan alam insani
melawan sikap benci pada dunia daripada agama Kristen dan sikap Kristen
menindas hasrat-hasrat alami dan usaha-usaha yang halal daripada manusia
(yang diikuti oleh sekutu-sekutu gereja dengan pemegang-pemegang kuasa
politik dan ekonomi dan pengesahannya dengan diam-diam atas setiap
eksploitasi yang dapat dirancangkan pemegang-pemegang kuasa itu); dan yang
ketiga, konsepsi ketuhanan yang anthropomorfis. Pemberontakan terhadap
agama ini sepenuhnya berhasil --demikian berhasilnya sehingga berbagai sekte
dan gereja Kristen berangsur-angsur terpaksa menyesuaikan beberapa doktrin
mereka dengan kondisi-kondisi sosial dan intelektual Eropa. Alih-alih daripada
mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial dari penganut-penganutnya
sebagai kewajiban agama yang utama, agama Kristen telah mengundurkan diri
dalam peranan satu konvensi yang ditolerir dan menjadi jubah bagi usaha-usaha
politik. Bagi rakyat banyak agama Kristen sekarang hanya mempunyai arti formal
sebagaimana halnya dengan dewa-dewa Romawi kuno yang tidak diizinkan dan
tidak pula dipandang mempunyai pengaruh nyata apapun atas masyarakat.
Tentu masih banyak individu di Barat yang merasa dan berpikir secara religius
dan berusaha mati-matian untuk mempertemukan kepercayaan mereka dengan
jiwa kebudayaannya --tetapi mereka hanya pengecualian. Rata-rata orang Barat
--baik ia seorang demokrat atau fascis, kapitalis atau komunis, seorang pekerja
kasar atau intelektual-- hanya mengenal satu "agama" yang positif yaitu
pengabdian pada kemajuan material, kepercayaan bahwa tidak ada tujuan lain
daripada hidup ini selain dari membuat hidup ini terus menjadi mudah, seperti
ungkapan orang sekarang, "bebas dari alam." Kelenteng "agama" itu adalah
pabrik-pabrik raksasa, bioskop-bioskop, laboratorium-laboratorium kimia, rumahrumah dansa, karya-karya hydro-elektrik; pendeta-pendetanya adalah bankirbankir, insinyur-insinyur, bintang-bintang film, industriawan-industriawan, ahli-ahli
penerbangan. Akibat yang tak terelakkan dari perburuan terhadap kekuasaan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

25
dan kesenangan ini adalah terciptanya golongan-golongan yang bermusuhan
yang dipersenjatai hingga ke gigi-giginya dan telah memutuskan untuk saling
menghancurkan kapan dan di mana saja kepentingan mereka masing-masing
berbenturan. Dan pada segi kebudayaan akibatnya adalah penciptaan suatu tipe
manusia yang moralitasnya terbatas pada masalah kepentingan praktis melulu
dan kriterianya yang tertinggi tentang baik dan buruk adalah sukses material.
Dalam transformasi yang seksama itu kehidupan sosial Barat sekarang sedang
mengalami moralitas utilitarian baru yang makin lama makin tampak. Segala
sifat-sifat kebajikan yang mengandung arti langsung pada kesejahteraan material
masyarakat itu --umpamanya efisiensi teknik, patriotisme, rasa kelompok
nasional-- diangkat dan sering dibesar-besarkan dengan kaburnya dalam
nilainya; sedang kebajikan-kebajikan yang hingga kini dinilai dari sudut
pandangan etika melulu, seperti kecintaan anak, kesetiaan dalam perkawinan,
dengan cepatnya kehilangan arti pentingnya --karena hal itu tidak memberikan
manfaat material yang dapat dirasakan pada masyarakat. Zaman dimana
dorongan atas keakraban ikatan kekeluargaan adalah menentukan bagi
kesejahteraan golongan atau klan sedang diatasi di Barat oleh satu zaman
organisasi kolektif di bawah pokok-pokok yang jauh lebih luas. Dan dalam suatu
masyarakat yang pada hakekatnya teknologik dan sedang diorganisir dalam
langkah-langkah yang terus bertambah cepat atas garis-garis mekanik melulu,
perilaku anak terhadap ayahnya tidak mengandung arti sosial yang penting
selama individu-individu itu berperilaku dalam batas-batas kesopanan umum
yang diletakkan oleh masyarakat pada saling hubungan di antara anggotaanggotanya. Akibatnya ayah Barat makin kehilangan kekuasaan atas anaknya
dan secara logis sekali si anak kehilangan respek pada ayahnya. Hubungan
timbal balik di antara mereka perlahan-lahan diatasi dan --atas segala tujuantujuan praktis-- menjadi lapuk oleh dalil-dalil masyarakat ekonomi yang
mempunyai kecenderungan untuk menghapus segala hak-hak istimewa atas
seorang individu terhadap lainnya, dan --juga hak istimewa yang disebabkan
ikatan kekeluargaan.
Sejajar dengan ini berjalanlah penghancuran terhadap moralitas seksual "lama."
Kejujuran seksual dan disiplin seksual dengan cepatnya menjadi bagian dari
masa lalu di Barat modern, karena hal-hal itu terutama didasari oleh etika, dan
pertimbangan-pertimbangan etika tidak mengandung pengaruh langsung yang
dapat dirasakan dalam kesejahteraan material daripada masyarakat itu. Dan
dengan demikian disiplin dalam hubungan-hubungan seksual dengan cepat
kehilangan arti pentingnya dan diganti oleh suatu moralitas baru yang
menyerukan kebebasan individual tidak terbatas jasad manusia. Di masa depan
batas seksual satu-satunya, paling banyak, diambil dari pertimbangan-timbangan
jumlah penduduk dan perbaikan ras.
Bukanlah tanpa kepentingan untuk meninjau betapa evolusi anti agama yang
digambarkan di atas telah dibawa kepada klimaksnya yang logis di Soviet Rusia,
dimana dalam segi kulturalnya tidak menunjukkan suatu perkembangan yang

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

26
berbeda secara hakiki dari dunia Barat lainnya. Sebaliknya tampak bahwa
eksperimen komunis tidak lain daripada puncak dan pemenuhan dari hal-hal anti
religius yang tegas dan --pada akhirnya-- tendensi-tendensi anti spiritual dari
peradaban Barat modern. Bahkan mungkin pertentangan yang tajam sekarang
antara Barat kapitalis dan komunisme pada akarnya hanya disebabkan oleh
perbedaan langkah dimana gerakan-gerakan paralel pada hakekatnya sedang
menuju ke tujuan yang sama. Persamaan isinya tiada ragu akan lebih disebutsebut di masa depan; tetapi bahkan tampak dalam kecenderungan fundamental
dari kapitalisme Barat maupun komunisme untuk menaklukkan individualitas
spiritual manusia dan etikanya kepada tuntutan-tuntutan material melulu dari
jaringan mesin kolektif yang disebut "masyarakat" di mana individu hanyalah
berupa satu jeruji daripada satu roda.
Satu-satunya konklusi yang mungkin disimpulkan daripadanya adalah bahwa
peradaban semacam itu akan menjadi racun maut bagi setiap kebudayaan yang
berdasar nilai-nilai keagamaan. Pertanyaan asal kita, apakah mungkin untuk
menerapkan jalan pemikiran dan jalan hidup Islam pada tuntutan-tuntutan hidup
peradaban Barat dan sebaliknya, harus dijawab dengan "tidak." Dalam Islam
tujuan pertama dan paling utama adalah kemajuan moral manusia, dan oleh
karena itu pertimbangan-pertimbangan etika mengatasi pertimbanganpertimbangan kemanfaatan material. Di Barat di mana pertimbanganpertimbangan kemanfaatan material menguasai segala manifestasi-manifestasi
kegiatan manusia, dan etika sedang diundurkan ke latar belakang yang kabur
dari kehidupan masyarakat dan dipojokkan kepada keadaan teoritis melulu;
tanpa sedikitpun kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat. Berbicara tentang
etika --dalam keadaan-keadaan semacam itu-- tidak jauh bedanya dari bersikap
munafik; dan dengan demikian orang-orang yang jujur secara intelektual di
antara pemikir-pemikir Barat secara subyektif dibenarkan, apabila dalam
pemikiran-pemikiran mereka atas nasib peradaban Barat, mereka mengelakkan
setiap singgungan --pada etika kerohanian. Bagi orang-orang yang kurang jujur -seperti juga orang-orang yang kurang tegas dalam sikap moral mereka-konsepsi etika kerohanian mereka hidup terus sebagai satu faktor pemikiran
yang tidak rasional, sama halnya dengan seorang ahli matematika terpaksa
menggunakan angka-angka "tidak rasional" tertentu yang dalam sendirinya tidak
menunjukkan apapun yang dapat dirasakan, tetapi betapapun juga diperlukan
untuk menjembatani celah kayalan karena batas-batas struktural pikiran
manusia.
Sikap penyimpangan kepada etika semacam itu tentu saja tidak dapat
dipertemukan dengan pandangan keagamaan; dan oleh karena itu dasar moral
kebudayaan Barat modern tidak dapat dipertemukan dengan Islam.
Ini sama sekali tidak harus membuang kemungkinan bagi kaum Muslimin untuk
menerima dorongan-dorongan tertentu dari Barat dalam bidang eksakta dan ilmu
pengetahuan yang telah diterapkan; tetapi hubungan kulturalnya harus mulai dan
berakhir di situ saja. Untuk melangkah lebih jauh dan meniru jiwa kebudayaan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

27
Barat, mode hidup dan organisasi kemasyarakatannya, tidaklah mungkin tanpa
memberikan pukulan maut terhadap kehidupan Islam sebagai bentuk
pemerintahan ketuhanan dan agama yang praktis.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

28

III. Bayangan Perang Salib


Terlepas dari ketidaksesuaian spiritual antara Islam dan Barat modern, masih
ada satu sebab lagi mengapa kaum Muslimin harus mengelakkan diri dari meniru
peradaban Barat modern; pengalaman sejarahnya diwarnai oleh sikap
permusuhan yang aneh terhadap Islam.
Dalam ukuran tertentu masalah ini juga adalah warisan dari Eropa lama. Orangorang Yunani dan Romawi menganggap diri mereka sendiri sajalah yang
"beradab," sedang segala sesuatu yang asing, khususnya segala yang tinggal di
bagian timur Laut Tengah, diberi cap "barbar" atau biadab. Sejak masa itu orangorang Barat percaya bahwa kelebihan ras mereka diatas segala bangsa manusia
lainnya merupakan bukti yang tak terbantah; dan pandangan yang bernada
melecehkan ras-ras atau bangsa-bangsa bukan Eropa adalah salah satu segi
yang menonjol dari sifat peradaban Barat.
Tetapi ini saja tidak cukup untuk menerangkan perasaan-perasaan Eropa
terhadap Islam. Rasa ketidaksenangan mereka terhadap Islam lebih pekat dari
perasaan ketidaksenangan mereka terhadap berbagai agama dan kultur asing
lainnya. Perasaan ini telah merupakan suatu kebencian yang berakar dalam dan
hampir fanatik; dan ini tidak bersifat intelektual melulu tetapi mengandung warna
emosional yang tebal. Eropa mungkin tidak menerima doktrin-doktrin falsafah
Budha dan Hindu, tetapi Eropa selalu akan mempertahankan pemikiran reflektif
yang berimbang berhubung dengan sistem-sistem itu. Namun, segera, apabila ia
menghadapi Islam maka keseimbangan itu terganggu dan suatu prasangka
emosional segera menjalar masuk. Dengan sangat sedikit pengecualian, bahkan
orientalis-orientalis Eropa yang paling menonjolpun terlibat dalam sikap memihak
yang tidak ilmiah dalam penulisan-penulisan mereka tentang Islam. Dalam
penyelidikan-penyelidikan mereka hampir selalu tampak seakan-akan Islam tidak
dapat diperlakukan sebagai bahan obyek penyelidikan ilmiah saja, tetapi sebagai
seorang tertuduh yang berdiri di hadapan hakim-hakimnya. Sebagian dari
orientalis-orientalis itu memainkan peranan penuntut umum yang bersikeras
mempertahankan tuduhannya; yang lainnya seperti dewan pembela yang secara
peribadi telah yakin bahwa klientnya bersalah dan hanya dengan separuhseparuh hati membela untuk "hal-hal yang meringankan." Teknik deduksideduksi dan kesimpulan-kesimpulan yang dianut oleh kebanyakan orientalis
Eropa itu selalu mengingatkan kita kepada sistem pengadilan inquisisi yang
terkenal kejahatannya itu, yang didirikan oleh gereja terhadap lawan-lawannya
pada zaman abad-abad pertengahan; mereka hampir tidak pernah menyelidiki
fakta-fakta historik dengan pikiran terbuka, tetapi hampir dalam segala hal
mereka mulai dengan kesimpulan-kesimpulan sebelumnya yang telah didiktekan
oleh prasangka. Mereka memilih bukti-bukti sesuai dengan kesimpulan yang
secara a priori hendak mereka capai. Apabila tidak mungkin memiliki bukti
semacam itu, mereka memotong-motong bagian-bagian bukti dari rangkaian
konteksnya atau "menafsirkan" pernyataan-pernyataannya dalam semangat

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

29
kejahatan yang tidak ilmiah tanpa memberikan sedikit perhatian pada
penyaksian pihak lain, yaitu kaum Muslimin sendiri.
Hasil dari cara semacam itu adalah gambaran tentang Islam dan hal-hal yang
bersangkutan dengan Islam yang telah dirusak secara dahsyat yang kita baca
dalam penulisan-penulisan orientalis-orientalis Barat. Kegiatan merusak itu tidak
terbatas pada sesuatu negara Eropa tertentu: hal semacam itu terdapat di
Inggris dan Jerman, di Rusia dan Perancis, di Italia dan negeri Belanda -singkatnya dari negeri mana saja orientalis-orientalis Eropa memalingkan
matanya kepada Islam. Tampaknya mereka seperti dikilik-kilik oleh semacam
perasaan kebencian yang menyenangkan bilamana saja ada kesempatan -secara nyata atau khayali-- menimbulkan kritik melawan Islam. Dan karena
orientalis-orientalis itu bukanlah suatu ras istimewa dari Eropa tetapi hanyalah
wakil-wakil peradaban dan alam sekitar mereka, kita hanya dapat sampai pada
satu kesimpulan bahwa pikiran Eropa, pada keseluruhannya, karena sesuatu
sebab, berprasangka terhadap agama dan kebudayaan Islam. Salah satu dari
sebab-sebab itu mungkin berasal dari pandangan kuno yang membagi-bagi
seluruh dunia ini menjadi "Eropa" dan "barbar"; dan sebab lain, yang lebih
langsung berhubungan dengan Islam, dapat diperoleh dengan melihat ke
belakang, ke masa silam sejarah zaman abad-abad pertengahan.
Tabrakan besar yang pertama antara sekutu Eropa di satu pihak dan Islam di
pihak lain, yaitu peperangan Salib, terjadi bersama-sama dengan awal
permulaan peradaban Eropa. Pada waktu itu peradaban Eropa masih dalam
persekutuan dengan gereja, baru saja mulai melihat jalannya sendiri sesudah
abad-abad gelap yang telah mengikuti kejatuhan Romawi. Kesusasteraan pada
saat itu baru melalui suatu masa berkuncup di musim semi. Kesenian mulai
bangun perlahan-lahan dari ketidurannya yang disebabkan migrasi-migrasi
peperangan bangsa-bangsa Goth, Hun dan Avar. Eropa baru muncul dari
keadaan-keadaan kasar permulaan abad-abad pertengahan; Eropa baru beroleh
suatu kesadaran kultural baru, dan mulai saat itu baru memperoleh cita rasa
yang meningkat. Dan tepat pada masa yang sangat kritis sekali itu peperangan
peperangan salib membawanya ke dalam kontak permusuhan dengan dunia
Islam. Sesungguhnyalah telah ada peperangan-peperangan antara kaum
Muslimin dan Eropa sebelum zaman perang Salib itu: orang-orang Arab
menaklukkan Sisilia dan Spanyol serta menyerang Perancis Selatan. Tetapi
peperangan-peperangan itu terjadi sebelum kebangkitan Eropa kepada
kesadaran kultural yang baru, dan oleh karena itu pada waktunya sekurangkurangnya dari segi pandangan Eropa, mengandung karakter aliran setempat
dan belum dipahami sepenuhnya dalam segala kepentingannya. Peperangan
Salib adalah yang pertama dan paling utama yang menentukan sikap Eropa
terhadap Islam untuk abad-abad panjang kemudian. Peperangan salib itu
menentukan karena hal itu terjadi pada masa kanak-kanaknya Eropa, suatu
masa dimana segala gaya kulturalnya yang khas sedang menegaskan dirinya
untuk pertama kalinya dan masih dalam proses pembentukan. Seperti halnya
pada individu perorangan; demikian pula pada bangsa-bangsa, kesan dahsyat

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

30
dari masa kanak-kanak bertahan, dalam sadar atau tidak sadar, sepanjang
hidupnya kemudian. Mereka demikian terserap sehingga mereka hanya dapat
dengan susah payah, dan jarang sepenuhnya terlepas dari pengalamanpengalaman intelektual zaman kemudian yang lebih reflektif dan lebih emosional.
Demikianlah keadaannya dengan peperang an Salib. Peperangan itu
menghasilkan satu dari kesan-kesan Eropa yang paling dalam dan paling
permanen dalam psikologi massa Eropa. Gairah universal yang dibangkitkannya
pada masanya tidak dapat dibandingkan dengan segala yang pernah dialami
Eropa sebelumnya, dan hampir tak dapat dibandingkan dengan pengalamanpengalamannya sesudah itu. Suatu gelombang rangsangan menyapu seluruh
benua itu, suatu kegirangan yang melangkah ke luar batas-batas negara-negara,
bangsa-bangsa dan golongan-golongan, sekurang-kurangnya pada satu waktu.
Masa itulah yang pertama-tama dalam sejarahnya Eropa merasa satu --dan
itulah persatuan melawan dunia Islam. Dengan tidak hendak terseret kepada
kelebih-lebihan yang tidak patut, kita dapat mengatakan bahwa Eropa modern
lahir dari semangat peperangan Salib. Sebelum waktu itu terdapat Anglo-Saxon
dan Jerman, Perancis dan Normandia, Italia dan Denmark; tetapi selama
peperangan Salib konsep baru dari "peradaban Eropa," satu tujuan sama bagi
seluruh bangsa-bangsa Eropa, telah diciptakan: dan kebencian terhadap
Islamlah yang tegak seperti tuhan-bapak di balik ciptaan baru itu ".
Adalah satu dari ironi besar sejarah bahwa bapak pertama kesadaran kolektif
dari dunia Barat ini, konstitusi intelektual kita namakan dia, disebabkan oleh
gerakan-gerakan yang ditopang sepenuhnya tanpa reserve oleh gereja Kristen,
sedang hasil-hasil yang diperoleh karena itu oleh dunia Barat hanya mungkin
melalui pemberontakan intelektual menentang hampir segala sesuatu yang telah
ditegakkan dan sedang ditegakkan gereja. Hal itu merupakan suatu
perkembangan tragik, baik dari segi pandangan gereja Kristen sendiri maupun
dari segi pandangan Islam. Tragik bagi gereja karena sesudah permulaan yang
menyilaukan, gereja kehilangan pegangannya terhadap alam pikiran Eropa. Dan
tragik bagi Islam karena Islam harus menanggung api peperangan Salib itu,
dalam aneka bentuk dan dalam berbagai samaran, selama abad-abad panjang
kemudian.
Dan kekejaman-kekejaman yang tak terpikirkan, penghancuran dan penghinaan
yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan Salib yang "suci-suci" itu pada negerinegeri Islam, mereka menaklukkannya dan sesudah itu mereka kalah, timbullah
bibit-bibit beracun dari permusuhan panjang yang mulai saat itu memahitkan
hubungan antara Timur dan Barat. Kalau tidak demikian maka tidak ada satu
keperluan terpadu pada perasaan semacam itu. Walaupun kebudayaan Islam
dan kebudayaan Barat seluruhnya berbeda dalam dasar-dasar spiritual dan
tujuan-tujuan sosialnya, keduanya tentu sanggup bersikap toleran dan hidup
berdampingan dalam hubungan bersahabat. Kemungkinan ini bukan saja
diberikan dalam teori tetapi juga dalam kenyataan. Di pihak kaum Muslimin
selalu ada harapan ikhlas untuk toleransi dan respek. Ketika khalifah Harun alRasyid mengirimkan dutanya kepada Kaisar Karel, terutama ia terdorong oleh

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

31
hasrat ini dan bukan untuk mengambil keuntungan material dari persahabatan
dengan orang-orang Frank. Pada masa itu Eropa terlalu primitif dalam kulturnya
untuk dapat menilai kesempatan ini secara penuh, tetapi jelas mereka tidak
memperlihatkan rasa tidak suka. Tetapi kemudian, secara tiba-tiba, peperangan
Salib muncul di cakrawala dan menghancurkan hubungan antara Islam dan
Barat. Bukan karena hal-hal ini lumrah sebagai akibat peperangan: demikian
banyak peperangan telah berlangsung antara bangsa-bangsa dan kemudian
dilupakan dalam perjalanan sejarah ummat manusia, dan sekian banyak
permusuhan telah berubah menjadi persaudaraan. Tetapi setan yang
ditimbulkan peperangan Salib tidak terbatas pada gemerencing pedang: setan itu
pertama dan terutama berupa setan intelektual. Kejahatan itu terjadi dari
peracunan pikiran Barat terhadap dunia Islam melalui penyalahtafsiran yang
dilakukan dengan sengaja yang ditempa oleh gereja terhadap ajaran-ajaran
Islam. Pada masa peperangan Saliblah pengertian memalukan tentang Islam
sebagai satu agama sensualisme yang kasar dan keganasan keji, agama
upacara-upacara formalitas --alih-alih dari agama pembersihan hati-- memasuki
pikiran Eropa dan tinggal tetap dalam pikiran mereka; pada waktu itulah pertama
kalinya Nabi Muhammad saw. disebut "Mahound" (nabi palsu) di Eropa.
Benih permusuhan telah ditaburkan. Gairah peperangan Salib segera beroleh
kelanjutannya di mana-mana di Eropa: ia memberi semangat pada orang-orang
Kristen Spanyol untuk berjuang melepaskan negeri itu dari "belenggu orangorang biadab". Penghancuran terhadap Spanyol Islam meminta waktu berabadabad untuk diselesaikan. Tetapi justru karena sebab lama berlangsungnya
peperangan itu, perasaan anti Islam dari Eropa diperdalam dan tumbuh menjadi
permanen. Ini berakibat pada pelenyapan unsur Muslimin di Spanyol sesudah
penghukuman-penghukuman paling buas dan paling keji yang pernah disaksikan
dunia dan kemenangan ini digemakan oleh kegembira-riaan Eropa --walaupun
efeknya kemudian adalah kehancurkan kultur yang paling jaya dan
penindasannya oleh kebodohan dan kekasaran zaman abad-abad pertengahan.
Sebelum peristiwa-peristiwa itu beroleh waktu untuk hilang, peristiwa yang
penting sekali, yang memperburuk hubungan antara dunia Barat dan Islam:
kejatuhan Konstantinopel ke tangan orang Turki. Bagi mata orang Eropa di
Konstantinopel masih ada gemerlap palsu Yunani dan Romawi yang diwariskan
pada Byzantium, dan kota ini dipandang sebagai kubu terhadap "orang-orang
barbar" dari Asia. Dengan akhir kejatuhan pintu gerbang itu, Eropa terbuka bagi
arus pasang Islam. Dalam abad-abad penuh peperangan yang menyusulnya,
permusuhan Eropa terhadap Islam bukan saja menjadi soal kultural tetapi juga
kepentingan politik; dan ini memperkuat intensitas permusuhan ini.
Eropa beroleh keuntungan yang lumayan dari semua kontak dan konflik-konflik
ini. Renaissance, kebangkitan kebudayaan dan pengetahuan Barat, berhutang
besar pada sumber-sumber Islam, terutama dari orang-orang Arab, yang bagian
besarnya disebabkan karena kontak material antara Timur dan Barat. Eropa
yang beroleh untung daripadanya dalam lapangan kultur, jauh lebih banyak

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

32
daripada yang pernah diperoleh Islam; tetapi Eropa tidak pernah mengakui
hutangnya kepada kaum Muslimin dengan mengurangi kebencian lamanya
terhadap Islam. Sebaliknya kebencian itu timbul bersama perjalanan waktu dan
diperkeras menjadi adat. Ia membayangi perasaan umum dimana saja kata-kata
"Islam" disebut, ia memasuki wilayah peribahasa populer, ia dipatri ke dalam hati
setiap orang Eropa laki-laki dan perempuan. Dan yang paling menonjol, ia hidup
terus melewati segala perubahan-perubahan kultural. Waktu timbul reformasi,
ketika perpecahan-perpecahan membagi Eropa dan sekte-sekte saling
berperang: kebencian terhadap Islam sama bagi mereka semua. Suatu masa
pernah datang ketika perasaan keagamaan mulai lenyap di Eropa: tetapi
kebencian terhadap Islam tinggal menetap. Adalah satu fakta yang paling khas
bahwa filosof dan pujangga besar Perancis, Voltaire, satu dari musuh-musuh
keras gereja dan agama Kristen dalam abad kedelapan belas, pada saat yang
sama juga adalah pembenci fanatik terhadap Islam dan Nabinya. Beberapa
puluh tahun kemudian datanglah waktu di mana orang-orang terpelajar Barat
mulai mempelajari kultur-kultur asing dan untuk mendekatinya secara simpatik:
tetapi dalam perkara Islam, cemoohan tradisional menjalar sebagai prasangka
tidak rasional kedalam penyelidikan-penyelidikan ilmiah mereka, dan jurang
kultural yang sayangnya telah diletakkan sejarah antara Eropa dan dunia Islam
tetap tak beroleh jembatan. Kebencian terhadap Islam telah menjadi bagian
pokok --dari pikiran Eropa. Memang orientalis-orientalis pertama di zaman
modern adalah dari misionari Kristen yang beroperasi di negeri-negeri Islam, dan
gambar yang telah dirusak yang mereka tarik dari ajaran dan sejarah Islam
diperhitungkan untuk mempengaruhi Eropa dalam sikap mereka terhadap
"orang-orang biadab" itu: tetapi penyimpangan pikiran ini menetap bahkan
hingga pada zaman sekarang ini ketika pengetahuan orientalism telah lama
dilepaskan dari pengaruh-pengaruh misionari dan tidak memiliki semangat
religius sebagai landasannya. Prasangka mereka terhadap Islam hanyalah naluri
warisan, suatu keganjilan pandangan berdasarkan kesan yang disebabkan
peperangan Salib dengan segala akibat pada pikiran Eropa awal itu.
Tetapi bagi ahli ilmu jiwa penyeretan semacam itu sama sekali tidak
mengejutkan. Ahli ilmu jiwa tahu dengan pasti sekarang bahwa seseorang dapat
dengan sempurna kehilangan kepercayaan-kepercayaan agamanya yang telah
diberikan kepadanya pada masa kanak-kanaknya sedang sesuatu takhyul aneh
yang mulanya berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang sekarang
telah dikesampingkan tetap kuat dan menantang segala keterangan rasional
sepanjang hidup orang itu. Demikianlah halnya sikap Eropa terhadap Islam.
Walaupun asal akarnya adalah perasaan religius, kebencian anti Islam terseret
kepada pandangan hidup yang lebih materialistik, sehingga kebencian lama itu
sendiri menetap sebagai faktor bawah sadar dalam pikiran Eropa. Tingkat
kekuatannya tentu saja berbeda-beda pada setiap individu, tetapi adanya tidak
dapat dibantah. Jiwa peperangan salib --dalam bentuk yang pasti sangat
dilancungkan-- masih berkelana di Eropa, dan sikap peradabannya terhadap
dunia Islam mengandung jejak-jejak yang nyata dari hantu yang tidak mau mati
itu.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

33
Dalam lingkungan-lingkungan Islam kita sering mendengar penegasan bahwa
kebencian Eropa terhadap Islam karena konflik-konflik dahsyat di masa lampau
sedang berkurang berangsur-angsur pada zaman kita ini. Bahkan dikira bahwa
Eropa sudah menunjukkan tanda-tanda kecenderungan kepada Islam sebagai
ajaran agama dan ajaran sosial dan banyak kaum Muslimin yang dengan sangat
sungguh-sungguh percaya bahwa masuknya orang-orang Eropa secara besarbesaran ke dalam Islam segera akan terjadi. Kepercayaan ini bukan tidak
beralasan bagi kita yang berpegangan bahwa dari segala sistem-sistem
agamawi hanya Islam saja yang dapat tegak dengan jaya di hadapan ujian kritik
yang adil. Lagi pula telah dikatakan oleh Nabi bahwa akhirnya Islam akan
diterima oleh seluruh ummat manusia. Tetapi di pihak lain, tidak ada bukti yang
kecil sekalipun bahwa hal ini akan terjadi di waktu akan datang yang dapat
dirasakan. Sejauh berhubungan dengan peradaban Barat, hal itu hanya mungkin
terjadi sesudah serentetan gejolak sosial dan mental yang dahsyat yang akan
menghancurkan penipuan-diri kultural Eropa sekarang dan mengubah
mentalitasnya sehingga memungkinkan ia menjadi cakap dan sedia menerima
keterangan religius tentang kehidupan. Sekarang dunia Barat masih tenggelam
seluruhnya dalam pemujaan hasil-hasil capaian materialnya dan dalam
kepercayaan bahwa keenakan, dan hanya keenakan saja, yang merupakan
tujuan yang patut diperjuangkan. Materialismenya, penolakannya terhadap
pandangan pikiran religius tentulah sedang bertambah kuat dan tidak berkurang
seperti hendak dipercayakan oleh sebagian peninjau Muslimin yang optimis.
Telah dikatakan bahwa pengetahuan modern mulai mengakui adanya satu
kesatuan tenaga kreatif dibalik kerangka alam yang tampak; dan ini dalam
anggapan orang-orang yang optimis itu adalah fajar kesadaran religius baru di
dunia Barat. Tetapi dugaan ini hanya mengungkapkan rahasia suatu salah
paham pikiran ilmiah Eropah.
Tidak ada ahli ilmu pengetahuan yang sungguh-sungguh pernah menolak atau
dapat menolak bahwa semesta alam ini disebabkan pada asalnya oleh satu
sebab dinamik yang tunggal. Tetapi masalahnya selalu adalah sifat-sifat yang
dapat diberikan pada "sebab" itu. Segala sistem kerohanian religius menegaskan
bahwa itulah tenaga yang memiliki kesadaran dan budi mutlak, suatu kekuatan
yang menciptakan dan mengatur semesta alam ini sesuai dengan satu rencana
dan tujuan, tanpa ia sendiri dibatasi oleh hukum apapun: singkatnya, adalah
Allah. Tetapi ilmu pengetahuan modern semacam itu tidak dipersiapkan dan
tidak cenderung untuk maju sejauh itu (dan memang ini bukan wilayah sains)
dan meninggalkan soal kebebasan dan tidak bergantung --dalam kata lain, soal
keilahian-- dari tenaga kreatif itu sangat terbuka. Sikapnya kira-kira begini:
"Mungkin demikian, tetapi aku tidak mengetahuinya dan aku tidak punya jalan
ilmiah untuk mengetahuinya."
Di masa depan falsafah ini barangkali akan berkembang menjadi semacam
agnotisisme pantheistik dimana ruh dan benda, tujuan dan wujud, pencipta dan
ciptaan, dianggap satu dan sama. Sukarlah untuk mengakui bahwa kepercayaan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

34
semacam itu dapat dianggap satu langkah maju menuju konsepsi Islam yang
positif tentang Tuhan: karena hal itu tidak merupakan suatu perpisahan dengan
materialisme, tetapi hanya satu peningkatannya pada taraf intelektual yang lebih
tinggi dan lebih muluk.
Sebagai kenyataan Eropa tidak pernah lebih jauh dari Islam daripada di masa
sekarang ini. Permusuhan aktifnya terhadap agama kita mungkin sedang
mundur; tetapi ini bukan karena suatu penilaian terhadap ajaran-ajaran Islam,
melainkan karena kelemahan kultural dan perpecahan dari dunia Islam yang
sedang tumbuh. Eropa sekali pernah takut kepada Islam dan ketakutan ini
memaksa Eropa mengambil sikap permusuhan terhadap segala sesuatu yang
bercorak Islam bahkan dalam soal-soal spiritual dan sosial pun juga. Tetapi pada
saat ketika Islam telah kehilangan segala peranannya sebagai satu faktor yang
berhadap-hadapan dengan kepentingan-kepentingan politik Eropa, sangatlah
alami bahwa dengan berkurangnya ketakutan itu Eropa sewajarnya pula
menghilangkan sebagian intensitas perasaan anti Islamnya. Kalau hal-hal ini
telah menjadi kurang menonjol dan kurang aktif, ini tidak harus membawa kita
pada kesimpulan bahwa Eropa dalam batinnya sedang datang lebih mendekat
pada Islam: ini hanya menunjukkan sikap tidak acuhnya pada Islam.
Sekali-kali tidaklah peradaban Barat mengubah sikap mentalnya yang khas.
Eropa sekarang sama kuatnya menentang kosepsi hidup religius sebagaimana
sebelumnya; dan seperti telah saya katakan, tidak ada bukti meyakinkan bahwa
suatu perubahan akan tampak terjadi dalam waktu singkat di masa depan.
Adanya misi Islam di Barat dan kenyataan bahwa sebagian orang Eropa dan
Amerika telah memeluk agama Islam sama sekali bukan alasan. Dalam masa
dimana materialisme sedang jaya diatas segala basis, hanyalah alami saja
bahwa di sana-sini beberapa orang yang masih merindukan regenerasi spiritual
mendengar penuh semangat pada kepercayaan apapun yang berdasarkan
konsepsi-konsepsi religius. Dalam pandangan ini misi Islam tidak berdiri sendiri
di Barat. Di sana terdapat sekte-sekte mistik Kristen yang tak terhitung
jumlahnya dengan tendensi-tendensi "revivalist", di sana ada gerakan theosofi
yang agak kuat, di sana ada kelenting-kelenting Budha serta misi-misi dan ada
pemeluk-pemeluk agama baru pada berbagai kota-kota Eropa. Justru dengan
menggunakan argumen-argumen yang sama dengan argumen dari misi-misi
Islam itu, misi-misi agama Budha dapat mengakui (dan memang mereka
mengakui) bahwa Eropa sedang "datang mendekat" pada Budhisme.
Penerimaan agama oleh beberapa orang kedalam Budhisme atau agama Islam
sekali-kali tidak membuktikan bahwa kedua aliran kepercayaan itu
sesungguhnya telah mulai mempengaruhi kehidupan Barat dalam bandingan
yang patut dinilai. Orang malah dapat maju lebih jauh lagi bahwa tidak ada dari
misi itu yang telah sanggup membangkitkan lebih dari sekedar rasa ingin tahu
terutama karena perkosaan yang dibuat oleh kepercayaan-kepercayaan atas
pikiran-pikiran bangsa yang cenderung pada romantika. Tentu saja ada
kekecualian-kekecualian dan sebagian dari pemeluk agama ini adalah orangorang yang dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran; tetapi kekecualian

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

35
tidaklah cukup untuk mengubah aspek satu peradaban. Sebaliknya apabila kita
bandingkan jumlah pemeluk-pemeluk baru yang terkecuali ini dengan jumlah
orang-orang Barat yang setiap hari mengalir masuk pada kepercayaankepercayaan sosial materialistik seperti Marxisme dan Fascisme, kita akan
sanggup untuk menilai lebih benar tentang kecenderungan-kecenderung
kebudayaan Barat modern.
Mungkin, seperti telah ditunjukkan sebelumnya, bahwa ketegangan sosial dan
ekonomi yang terus tumbuh dan mungkin juga satu rangkaian baru dari
peperangan-peperangan dunia dalam dimensi-dimensi yang hingga kini belum
dikenal serta terror-terror ilmiah akan membawa sorotan dahsyat terhadap
penipuan diri materialistik dari peradaban Barat, sehingga ummatnya akan mulai
sekali lagi dalam kesederhanaan dan kesungguhan, untuk mencari kebenarankebenaran spiritual; dan kemudian memungkinkan khotbah Islam di Barat. Tetapi
perubahan-perubahan itu masih tersembunyi di balik cakrawala masa depan;
karena itu adalah optimisme menipu diri yang berbahaya bagi kaum Muslimin
untuk berbicara tentang pengaruh Islam seakan-akan sedang dalam perjalanan
untuk menaklukkan semangat Eropa. Pembicaraan semacam itu pada
hakekatnya tidak lain daripada kepercayaan Mahdi kuno dalam samarannya
yang "rasional" --kepercayaan akan satu kekuatan yang tiba-tiba muncul dan
membuat bangunan Islam yang sedang goncang tiba-tiba menjadi jaya.
Kepercayaan itu berbahaya karena enak dan mudah dan cenderung untuk
meninabobokkan kita, menjauh dari kenyadaran akan kenyataan bahwa secara
kultural kita belum sampai ke mana-mana, sedang pengaruh Barat sekarang ini
makin mencekam dalam dunia Islam; bahwa kita sedang tidur sementara
pengaruh-pengaruh Barat membongkar dan menghancurkan masyarakat Islam
di mana-mana. Menghasratkan perluasan penyebaran Islam tidaklah sama
dengan membangun harapan palsu di atas hasrat itu.
Kita sedang memimpikan sinar Islam memancar ke wilayah-wilayah jauh,
sementara dalam wilayah sekitar kita sendiri pemuda Islam sedang
meninggalkan medan harapan kita.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

36

III. Bayangan Perang Salib


Terlepas dari ketidaksesuaian spiritual antara Islam dan Barat modern, masih
ada satu sebab lagi mengapa kaum Muslimin harus mengelakkan diri dari meniru
peradaban Barat modern; pengalaman sejarahnya diwarnai oleh sikap
permusuhan yang aneh terhadap Islam.
Dalam ukuran tertentu masalah ini juga adalah warisan dari Eropa lama. Orangorang Yunani dan Romawi menganggap diri mereka sendiri sajalah yang
"beradab," sedang segala sesuatu yang asing, khususnya segala yang tinggal di
bagian timur Laut Tengah, diberi cap "barbar" atau biadab. Sejak masa itu orangorang Barat percaya bahwa kelebihan ras mereka diatas segala bangsa manusia
lainnya merupakan bukti yang tak terbantah; dan pandangan yang bernada
melecehkan ras-ras atau bangsa-bangsa bukan Eropa adalah salah satu segi
yang menonjol dari sifat peradaban Barat.
Tetapi ini saja tidak cukup untuk menerangkan perasaan-perasaan Eropa
terhadap Islam. Rasa ketidaksenangan mereka terhadap Islam lebih pekat dari
perasaan ketidaksenangan mereka terhadap berbagai agama dan kultur asing
lainnya. Perasaan ini telah merupakan suatu kebencian yang berakar dalam dan
hampir fanatik; dan ini tidak bersifat intelektual melulu tetapi mengandung warna
emosional yang tebal. Eropa mungkin tidak menerima doktrin-doktrin falsafah
Budha dan Hindu, tetapi Eropa selalu akan mempertahankan pemikiran reflektif
yang berimbang berhubung dengan sistem-sistem itu. Namun, segera, apabila ia
menghadapi Islam maka keseimbangan itu terganggu dan suatu prasangka
emosional segera menjalar masuk. Dengan sangat sedikit pengecualian, bahkan
orientalis-orientalis Eropa yang paling menonjolpun terlibat dalam sikap memihak
yang tidak ilmiah dalam penulisan-penulisan mereka tentang Islam. Dalam
penyelidikan-penyelidikan mereka hampir selalu tampak seakan-akan Islam tidak
dapat diperlakukan sebagai bahan obyek penyelidikan ilmiah saja, tetapi sebagai
seorang tertuduh yang berdiri di hadapan hakim-hakimnya. Sebagian dari
orientalis-orientalis itu memainkan peranan penuntut umum yang bersikeras
mempertahankan tuduhannya; yang lainnya seperti dewan pembela yang secara
peribadi telah yakin bahwa klientnya bersalah dan hanya dengan separuhseparuh hati membela untuk "hal-hal yang meringankan." Teknik deduksideduksi dan kesimpulan-kesimpulan yang dianut oleh kebanyakan orientalis
Eropa itu selalu mengingatkan kita kepada sistem pengadilan inquisisi yang
terkenal kejahatannya itu, yang didirikan oleh gereja terhadap lawan-lawannya
pada zaman abad-abad pertengahan; mereka hampir tidak pernah menyelidiki
fakta-fakta historik dengan pikiran terbuka, tetapi hampir dalam segala hal
mereka mulai dengan kesimpulan-kesimpulan sebelumnya yang telah didiktekan
oleh prasangka. Mereka memilih bukti-bukti sesuai dengan kesimpulan yang
secara a priori hendak mereka capai. Apabila tidak mungkin memiliki bukti
semacam itu, mereka memotong-motong bagian-bagian bukti dari rangkaian
konteksnya atau "menafsirkan" pernyataan-pernyataannya dalam semangat

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

37
kejahatan yang tidak ilmiah tanpa memberikan sedikit perhatian pada
penyaksian pihak lain, yaitu kaum Muslimin sendiri.
Hasil dari cara semacam itu adalah gambaran tentang Islam dan hal-hal yang
bersangkutan dengan Islam yang telah dirusak secara dahsyat yang kita baca
dalam penulisan-penulisan orientalis-orientalis Barat. Kegiatan merusak itu tidak
terbatas pada sesuatu negara Eropa tertentu: hal semacam itu terdapat di
Inggris dan Jerman, di Rusia dan Perancis, di Italia dan negeri Belanda -singkatnya dari negeri mana saja orientalis-orientalis Eropa memalingkan
matanya kepada Islam. Tampaknya mereka seperti dikilik-kilik oleh semacam
perasaan kebencian yang menyenangkan bilamana saja ada kesempatan -secara nyata atau khayali-- menimbulkan kritik melawan Islam. Dan karena
orientalis-orientalis itu bukanlah suatu ras istimewa dari Eropa tetapi hanyalah
wakil-wakil peradaban dan alam sekitar mereka, kita hanya dapat sampai pada
satu kesimpulan bahwa pikiran Eropa, pada keseluruhannya, karena sesuatu
sebab, berprasangka terhadap agama dan kebudayaan Islam. Salah satu dari
sebab-sebab itu mungkin berasal dari pandangan kuno yang membagi-bagi
seluruh dunia ini menjadi "Eropa" dan "barbar"; dan sebab lain, yang lebih
langsung berhubungan dengan Islam, dapat diperoleh dengan melihat ke
belakang, ke masa silam sejarah zaman abad-abad pertengahan.
Tabrakan besar yang pertama antara sekutu Eropa di satu pihak dan Islam di
pihak lain, yaitu peperangan Salib, terjadi bersama-sama dengan awal
permulaan peradaban Eropa. Pada waktu itu peradaban Eropa masih dalam
persekutuan dengan gereja, baru saja mulai melihat jalannya sendiri sesudah
abad-abad gelap yang telah mengikuti kejatuhan Romawi. Kesusasteraan pada
saat itu baru melalui suatu masa berkuncup di musim semi. Kesenian mulai
bangun perlahan-lahan dari ketidurannya yang disebabkan migrasi-migrasi
peperangan bangsa-bangsa Goth, Hun dan Avar. Eropa baru muncul dari
keadaan-keadaan kasar permulaan abad-abad pertengahan; Eropa baru beroleh
suatu kesadaran kultural baru, dan mulai saat itu baru memperoleh cita rasa
yang meningkat. Dan tepat pada masa yang sangat kritis sekali itu peperangan
peperangan salib membawanya ke dalam kontak permusuhan dengan dunia
Islam. Sesungguhnyalah telah ada peperangan-peperangan antara kaum
Muslimin dan Eropa sebelum zaman perang Salib itu: orang-orang Arab
menaklukkan Sisilia dan Spanyol serta menyerang Perancis Selatan. Tetapi
peperangan-peperangan itu terjadi sebelum kebangkitan Eropa kepada
kesadaran kultural yang baru, dan oleh karena itu pada waktunya sekurangkurangnya dari segi pandangan Eropa, mengandung karakter aliran setempat
dan belum dipahami sepenuhnya dalam segala kepentingannya. Peperangan
Salib adalah yang pertama dan paling utama yang menentukan sikap Eropa
terhadap Islam untuk abad-abad panjang kemudian. Peperangan salib itu
menentukan karena hal itu terjadi pada masa kanak-kanaknya Eropa, suatu
masa dimana segala gaya kulturalnya yang khas sedang menegaskan dirinya
untuk pertama kalinya dan masih dalam proses pembentukan. Seperti halnya
pada individu perorangan; demikian pula pada bangsa-bangsa, kesan dahsyat

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

38
dari masa kanak-kanak bertahan, dalam sadar atau tidak sadar, sepanjang
hidupnya kemudian. Mereka demikian terserap sehingga mereka hanya dapat
dengan susah payah, dan jarang sepenuhnya terlepas dari pengalamanpengalaman intelektual zaman kemudian yang lebih reflektif dan lebih emosional.
Demikianlah keadaannya dengan peperang an Salib. Peperangan itu
menghasilkan satu dari kesan-kesan Eropa yang paling dalam dan paling
permanen dalam psikologi massa Eropa. Gairah universal yang dibangkitkannya
pada masanya tidak dapat dibandingkan dengan segala yang pernah dialami
Eropa sebelumnya, dan hampir tak dapat dibandingkan dengan pengalamanpengalamannya sesudah itu. Suatu gelombang rangsangan menyapu seluruh
benua itu, suatu kegirangan yang melangkah ke luar batas-batas negara-negara,
bangsa-bangsa dan golongan-golongan, sekurang-kurangnya pada satu waktu.
Masa itulah yang pertama-tama dalam sejarahnya Eropa merasa satu --dan
itulah persatuan melawan dunia Islam. Dengan tidak hendak terseret kepada
kelebih-lebihan yang tidak patut, kita dapat mengatakan bahwa Eropa modern
lahir dari semangat peperangan Salib. Sebelum waktu itu terdapat Anglo-Saxon
dan Jerman, Perancis dan Normandia, Italia dan Denmark; tetapi selama
peperangan Salib konsep baru dari "peradaban Eropa," satu tujuan sama bagi
seluruh bangsa-bangsa Eropa, telah diciptakan: dan kebencian terhadap
Islamlah yang tegak seperti tuhan-bapak di balik ciptaan baru itu ".
Adalah satu dari ironi besar sejarah bahwa bapak pertama kesadaran kolektif
dari dunia Barat ini, konstitusi intelektual kita namakan dia, disebabkan oleh
gerakan-gerakan yang ditopang sepenuhnya tanpa reserve oleh gereja Kristen,
sedang hasil-hasil yang diperoleh karena itu oleh dunia Barat hanya mungkin
melalui pemberontakan intelektual menentang hampir segala sesuatu yang telah
ditegakkan dan sedang ditegakkan gereja. Hal itu merupakan suatu
perkembangan tragik, baik dari segi pandangan gereja Kristen sendiri maupun
dari segi pandangan Islam. Tragik bagi gereja karena sesudah permulaan yang
menyilaukan, gereja kehilangan pegangannya terhadap alam pikiran Eropa. Dan
tragik bagi Islam karena Islam harus menanggung api peperangan Salib itu,
dalam aneka bentuk dan dalam berbagai samaran, selama abad-abad panjang
kemudian.
Dan kekejaman-kekejaman yang tak terpikirkan, penghancuran dan penghinaan
yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan Salib yang "suci-suci" itu pada negerinegeri Islam, mereka menaklukkannya dan sesudah itu mereka kalah, timbullah
bibit-bibit beracun dari permusuhan panjang yang mulai saat itu memahitkan
hubungan antara Timur dan Barat. Kalau tidak demikian maka tidak ada satu
keperluan terpadu pada perasaan semacam itu. Walaupun kebudayaan Islam
dan kebudayaan Barat seluruhnya berbeda dalam dasar-dasar spiritual dan
tujuan-tujuan sosialnya, keduanya tentu sanggup bersikap toleran dan hidup
berdampingan dalam hubungan bersahabat. Kemungkinan ini bukan saja
diberikan dalam teori tetapi juga dalam kenyataan. Di pihak kaum Muslimin
selalu ada harapan ikhlas untuk toleransi dan respek. Ketika khalifah Harun alRasyid mengirimkan dutanya kepada Kaisar Karel, terutama ia terdorong oleh

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

39
hasrat ini dan bukan untuk mengambil keuntungan material dari persahabatan
dengan orang-orang Frank. Pada masa itu Eropa terlalu primitif dalam kulturnya
untuk dapat menilai kesempatan ini secara penuh, tetapi jelas mereka tidak
memperlihatkan rasa tidak suka. Tetapi kemudian, secara tiba-tiba, peperangan
Salib muncul di cakrawala dan menghancurkan hubungan antara Islam dan
Barat. Bukan karena hal-hal ini lumrah sebagai akibat peperangan: demikian
banyak peperangan telah berlangsung antara bangsa-bangsa dan kemudian
dilupakan dalam perjalanan sejarah ummat manusia, dan sekian banyak
permusuhan telah berubah menjadi persaudaraan. Tetapi setan yang
ditimbulkan peperangan Salib tidak terbatas pada gemerencing pedang: setan itu
pertama dan terutama berupa setan intelektual. Kejahatan itu terjadi dari
peracunan pikiran Barat terhadap dunia Islam melalui penyalahtafsiran yang
dilakukan dengan sengaja yang ditempa oleh gereja terhadap ajaran-ajaran
Islam. Pada masa peperangan Saliblah pengertian memalukan tentang Islam
sebagai satu agama sensualisme yang kasar dan keganasan keji, agama
upacara-upacara formalitas --alih-alih dari agama pembersihan hati-- memasuki
pikiran Eropa dan tinggal tetap dalam pikiran mereka; pada waktu itulah pertama
kalinya Nabi Muhammad saw. disebut "Mahound" (nabi palsu) di Eropa.
Benih permusuhan telah ditaburkan. Gairah peperangan Salib segera beroleh
kelanjutannya di mana-mana di Eropa: ia memberi semangat pada orang-orang
Kristen Spanyol untuk berjuang melepaskan negeri itu dari "belenggu orangorang biadab". Penghancuran terhadap Spanyol Islam meminta waktu berabadabad untuk diselesaikan. Tetapi justru karena sebab lama berlangsungnya
peperangan itu, perasaan anti Islam dari Eropa diperdalam dan tumbuh menjadi
permanen. Ini berakibat pada pelenyapan unsur Muslimin di Spanyol sesudah
penghukuman-penghukuman paling buas dan paling keji yang pernah disaksikan
dunia dan kemenangan ini digemakan oleh kegembira-riaan Eropa --walaupun
efeknya kemudian adalah kehancurkan kultur yang paling jaya dan
penindasannya oleh kebodohan dan kekasaran zaman abad-abad pertengahan.
Sebelum peristiwa-peristiwa itu beroleh waktu untuk hilang, peristiwa yang
penting sekali, yang memperburuk hubungan antara dunia Barat dan Islam:
kejatuhan Konstantinopel ke tangan orang Turki. Bagi mata orang Eropa di
Konstantinopel masih ada gemerlap palsu Yunani dan Romawi yang diwariskan
pada Byzantium, dan kota ini dipandang sebagai kubu terhadap "orang-orang
barbar" dari Asia. Dengan akhir kejatuhan pintu gerbang itu, Eropa terbuka bagi
arus pasang Islam. Dalam abad-abad penuh peperangan yang menyusulnya,
permusuhan Eropa terhadap Islam bukan saja menjadi soal kultural tetapi juga
kepentingan politik; dan ini memperkuat intensitas permusuhan ini.
Eropa beroleh keuntungan yang lumayan dari semua kontak dan konflik-konflik
ini. Renaissance, kebangkitan kebudayaan dan pengetahuan Barat, berhutang
besar pada sumber-sumber Islam, terutama dari orang-orang Arab, yang bagian
besarnya disebabkan karena kontak material antara Timur dan Barat. Eropa
yang beroleh untung daripadanya dalam lapangan kultur, jauh lebih banyak

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

40
daripada yang pernah diperoleh Islam; tetapi Eropa tidak pernah mengakui
hutangnya kepada kaum Muslimin dengan mengurangi kebencian lamanya
terhadap Islam. Sebaliknya kebencian itu timbul bersama perjalanan waktu dan
diperkeras menjadi adat. Ia membayangi perasaan umum dimana saja kata-kata
"Islam" disebut, ia memasuki wilayah peribahasa populer, ia dipatri ke dalam hati
setiap orang Eropa laki-laki dan perempuan. Dan yang paling menonjol, ia hidup
terus melewati segala perubahan-perubahan kultural. Waktu timbul reformasi,
ketika perpecahan-perpecahan membagi Eropa dan sekte-sekte saling
berperang: kebencian terhadap Islam sama bagi mereka semua. Suatu masa
pernah datang ketika perasaan keagamaan mulai lenyap di Eropa: tetapi
kebencian terhadap Islam tinggal menetap. Adalah satu fakta yang paling khas
bahwa filosof dan pujangga besar Perancis, Voltaire, satu dari musuh-musuh
keras gereja dan agama Kristen dalam abad kedelapan belas, pada saat yang
sama juga adalah pembenci fanatik terhadap Islam dan Nabinya. Beberapa
puluh tahun kemudian datanglah waktu di mana orang-orang terpelajar Barat
mulai mempelajari kultur-kultur asing dan untuk mendekatinya secara simpatik:
tetapi dalam perkara Islam, cemoohan tradisional menjalar sebagai prasangka
tidak rasional kedalam penyelidikan-penyelidikan ilmiah mereka, dan jurang
kultural yang sayangnya telah diletakkan sejarah antara Eropa dan dunia Islam
tetap tak beroleh jembatan. Kebencian terhadap Islam telah menjadi bagian
pokok --dari pikiran Eropa. Memang orientalis-orientalis pertama di zaman
modern adalah dari misionari Kristen yang beroperasi di negeri-negeri Islam, dan
gambar yang telah dirusak yang mereka tarik dari ajaran dan sejarah Islam
diperhitungkan untuk mempengaruhi Eropa dalam sikap mereka terhadap
"orang-orang biadab" itu: tetapi penyimpangan pikiran ini menetap bahkan
hingga pada zaman sekarang ini ketika pengetahuan orientalism telah lama
dilepaskan dari pengaruh-pengaruh misionari dan tidak memiliki semangat
religius sebagai landasannya. Prasangka mereka terhadap Islam hanyalah naluri
warisan, suatu keganjilan pandangan berdasarkan kesan yang disebabkan
peperangan Salib dengan segala akibat pada pikiran Eropa awal itu.
Tetapi bagi ahli ilmu jiwa penyeretan semacam itu sama sekali tidak
mengejutkan. Ahli ilmu jiwa tahu dengan pasti sekarang bahwa seseorang dapat
dengan sempurna kehilangan kepercayaan-kepercayaan agamanya yang telah
diberikan kepadanya pada masa kanak-kanaknya sedang sesuatu takhyul aneh
yang mulanya berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang sekarang
telah dikesampingkan tetap kuat dan menantang segala keterangan rasional
sepanjang hidup orang itu. Demikianlah halnya sikap Eropa terhadap Islam.
Walaupun asal akarnya adalah perasaan religius, kebencian anti Islam terseret
kepada pandangan hidup yang lebih materialistik, sehingga kebencian lama itu
sendiri menetap sebagai faktor bawah sadar dalam pikiran Eropa. Tingkat
kekuatannya tentu saja berbeda-beda pada setiap individu, tetapi adanya tidak
dapat dibantah. Jiwa peperangan salib --dalam bentuk yang pasti sangat
dilancungkan-- masih berkelana di Eropa, dan sikap peradabannya terhadap
dunia Islam mengandung jejak-jejak yang nyata dari hantu yang tidak mau mati
itu.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

41
Dalam lingkungan-lingkungan Islam kita sering mendengar penegasan bahwa
kebencian Eropa terhadap Islam karena konflik-konflik dahsyat di masa lampau
sedang berkurang berangsur-angsur pada zaman kita ini. Bahkan dikira bahwa
Eropa sudah menunjukkan tanda-tanda kecenderungan kepada Islam sebagai
ajaran agama dan ajaran sosial dan banyak kaum Muslimin yang dengan sangat
sungguh-sungguh percaya bahwa masuknya orang-orang Eropa secara besarbesaran ke dalam Islam segera akan terjadi. Kepercayaan ini bukan tidak
beralasan bagi kita yang berpegangan bahwa dari segala sistem-sistem
agamawi hanya Islam saja yang dapat tegak dengan jaya di hadapan ujian kritik
yang adil. Lagi pula telah dikatakan oleh Nabi bahwa akhirnya Islam akan
diterima oleh seluruh ummat manusia. Tetapi di pihak lain, tidak ada bukti yang
kecil sekalipun bahwa hal ini akan terjadi di waktu akan datang yang dapat
dirasakan. Sejauh berhubungan dengan peradaban Barat, hal itu hanya mungkin
terjadi sesudah serentetan gejolak sosial dan mental yang dahsyat yang akan
menghancurkan penipuan-diri kultural Eropa sekarang dan mengubah
mentalitasnya sehingga memungkinkan ia menjadi cakap dan sedia menerima
keterangan religius tentang kehidupan. Sekarang dunia Barat masih tenggelam
seluruhnya dalam pemujaan hasil-hasil capaian materialnya dan dalam
kepercayaan bahwa keenakan, dan hanya keenakan saja, yang merupakan
tujuan yang patut diperjuangkan. Materialismenya, penolakannya terhadap
pandangan pikiran religius tentulah sedang bertambah kuat dan tidak berkurang
seperti hendak dipercayakan oleh sebagian peninjau Muslimin yang optimis.
Telah dikatakan bahwa pengetahuan modern mulai mengakui adanya satu
kesatuan tenaga kreatif dibalik kerangka alam yang tampak; dan ini dalam
anggapan orang-orang yang optimis itu adalah fajar kesadaran religius baru di
dunia Barat. Tetapi dugaan ini hanya mengungkapkan rahasia suatu salah
paham pikiran ilmiah Eropah.
Tidak ada ahli ilmu pengetahuan yang sungguh-sungguh pernah menolak atau
dapat menolak bahwa semesta alam ini disebabkan pada asalnya oleh satu
sebab dinamik yang tunggal. Tetapi masalahnya selalu adalah sifat-sifat yang
dapat diberikan pada "sebab" itu. Segala sistem kerohanian religius menegaskan
bahwa itulah tenaga yang memiliki kesadaran dan budi mutlak, suatu kekuatan
yang menciptakan dan mengatur semesta alam ini sesuai dengan satu rencana
dan tujuan, tanpa ia sendiri dibatasi oleh hukum apapun: singkatnya, adalah
Allah. Tetapi ilmu pengetahuan modern semacam itu tidak dipersiapkan dan
tidak cenderung untuk maju sejauh itu (dan memang ini bukan wilayah sains)
dan meninggalkan soal kebebasan dan tidak bergantung --dalam kata lain, soal
keilahian-- dari tenaga kreatif itu sangat terbuka. Sikapnya kira-kira begini:
"Mungkin demikian, tetapi aku tidak mengetahuinya dan aku tidak punya jalan
ilmiah untuk mengetahuinya."
Di masa depan falsafah ini barangkali akan berkembang menjadi semacam
agnotisisme pantheistik dimana ruh dan benda, tujuan dan wujud, pencipta dan
ciptaan, dianggap satu dan sama. Sukarlah untuk mengakui bahwa kepercayaan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

42
semacam itu dapat dianggap satu langkah maju menuju konsepsi Islam yang
positif tentang Tuhan: karena hal itu tidak merupakan suatu perpisahan dengan
materialisme, tetapi hanya satu peningkatannya pada taraf intelektual yang lebih
tinggi dan lebih muluk.
Sebagai kenyataan Eropa tidak pernah lebih jauh dari Islam daripada di masa
sekarang ini. Permusuhan aktifnya terhadap agama kita mungkin sedang
mundur; tetapi ini bukan karena suatu penilaian terhadap ajaran-ajaran Islam,
melainkan karena kelemahan kultural dan perpecahan dari dunia Islam yang
sedang tumbuh. Eropa sekali pernah takut kepada Islam dan ketakutan ini
memaksa Eropa mengambil sikap permusuhan terhadap segala sesuatu yang
bercorak Islam bahkan dalam soal-soal spiritual dan sosial pun juga. Tetapi pada
saat ketika Islam telah kehilangan segala peranannya sebagai satu faktor yang
berhadap-hadapan dengan kepentingan-kepentingan politik Eropa, sangatlah
alami bahwa dengan berkurangnya ketakutan itu Eropa sewajarnya pula
menghilangkan sebagian intensitas perasaan anti Islamnya. Kalau hal-hal ini
telah menjadi kurang menonjol dan kurang aktif, ini tidak harus membawa kita
pada kesimpulan bahwa Eropa dalam batinnya sedang datang lebih mendekat
pada Islam: ini hanya menunjukkan sikap tidak acuhnya pada Islam.
Sekali-kali tidaklah peradaban Barat mengubah sikap mentalnya yang khas.
Eropa sekarang sama kuatnya menentang kosepsi hidup religius sebagaimana
sebelumnya; dan seperti telah saya katakan, tidak ada bukti meyakinkan bahwa
suatu perubahan akan tampak terjadi dalam waktu singkat di masa depan.
Adanya misi Islam di Barat dan kenyataan bahwa sebagian orang Eropa dan
Amerika telah memeluk agama Islam sama sekali bukan alasan. Dalam masa
dimana materialisme sedang jaya diatas segala basis, hanyalah alami saja
bahwa di sana-sini beberapa orang yang masih merindukan regenerasi spiritual
mendengar penuh semangat pada kepercayaan apapun yang berdasarkan
konsepsi-konsepsi religius. Dalam pandangan ini misi Islam tidak berdiri sendiri
di Barat. Di sana terdapat sekte-sekte mistik Kristen yang tak terhitung
jumlahnya dengan tendensi-tendensi "revivalist", di sana ada gerakan theosofi
yang agak kuat, di sana ada kelenting-kelenting Budha serta misi-misi dan ada
pemeluk-pemeluk agama baru pada berbagai kota-kota Eropa. Justru dengan
menggunakan argumen-argumen yang sama dengan argumen dari misi-misi
Islam itu, misi-misi agama Budha dapat mengakui (dan memang mereka
mengakui) bahwa Eropa sedang "datang mendekat" pada Budhisme.
Penerimaan agama oleh beberapa orang kedalam Budhisme atau agama Islam
sekali-kali tidak membuktikan bahwa kedua aliran kepercayaan itu
sesungguhnya telah mulai mempengaruhi kehidupan Barat dalam bandingan
yang patut dinilai. Orang malah dapat maju lebih jauh lagi bahwa tidak ada dari
misi itu yang telah sanggup membangkitkan lebih dari sekedar rasa ingin tahu
terutama karena perkosaan yang dibuat oleh kepercayaan-kepercayaan atas
pikiran-pikiran bangsa yang cenderung pada romantika. Tentu saja ada
kekecualian-kekecualian dan sebagian dari pemeluk agama ini adalah orangorang yang dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran; tetapi kekecualian

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

43
tidaklah cukup untuk mengubah aspek satu peradaban. Sebaliknya apabila kita
bandingkan jumlah pemeluk-pemeluk baru yang terkecuali ini dengan jumlah
orang-orang Barat yang setiap hari mengalir masuk pada kepercayaankepercayaan sosial materialistik seperti Marxisme dan Fascisme, kita akan
sanggup untuk menilai lebih benar tentang kecenderungan-kecenderung
kebudayaan Barat modern.
Mungkin, seperti telah ditunjukkan sebelumnya, bahwa ketegangan sosial dan
ekonomi yang terus tumbuh dan mungkin juga satu rangkaian baru dari
peperangan-peperangan dunia dalam dimensi-dimensi yang hingga kini belum
dikenal serta terror-terror ilmiah akan membawa sorotan dahsyat terhadap
penipuan diri materialistik dari peradaban Barat, sehingga ummatnya akan mulai
sekali lagi dalam kesederhanaan dan kesungguhan, untuk mencari kebenarankebenaran spiritual; dan kemudian memungkinkan khotbah Islam di Barat. Tetapi
perubahan-perubahan itu masih tersembunyi di balik cakrawala masa depan;
karena itu adalah optimisme menipu diri yang berbahaya bagi kaum Muslimin
untuk berbicara tentang pengaruh Islam seakan-akan sedang dalam perjalanan
untuk menaklukkan semangat Eropa. Pembicaraan semacam itu pada
hakekatnya tidak lain daripada kepercayaan Mahdi kuno dalam samarannya
yang "rasional" --kepercayaan akan satu kekuatan yang tiba-tiba muncul dan
membuat bangunan Islam yang sedang goncang tiba-tiba menjadi jaya.
Kepercayaan itu berbahaya karena enak dan mudah dan cenderung untuk
meninabobokkan kita, menjauh dari kenyadaran akan kenyataan bahwa secara
kultural kita belum sampai ke mana-mana, sedang pengaruh Barat sekarang ini
makin mencekam dalam dunia Islam; bahwa kita sedang tidur sementara
pengaruh-pengaruh Barat membongkar dan menghancurkan masyarakat Islam
di mana-mana. Menghasratkan perluasan penyebaran Islam tidaklah sama
dengan membangun harapan palsu di atas hasrat itu.
Kita sedang memimpikan sinar Islam memancar ke wilayah-wilayah jauh,
sementara dalam wilayah sekitar kita sendiri pemuda Islam sedang
meninggalkan medan harapan kita.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

44

IV. Tentang Pendidikan


Selama kaum Muslimin memandang kebudayaan Barat sebagai satu-satunya
kekuatan yang dapat meregenerasi kebudayaannya yang macet, maka mereka
menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan secara tidak
langsung menopang penegasan Barat bahwa Islam adalah satu "kekuatan yang
telah habis dikerahkan."
Dalam pasal-pasal sebelumnya telah diberikan beberapa alasan bagi pendapat
bahwa Islam dan peradaban Barat, karena didirikan di atas konsepsi-konsepsi
hidup yang bertentangan sama sekali, tidak dapat dipertemukan dalam jiwanya.
Karena demikian halnya, betapa kita dapat mengharapkan bahwa pendidikan
angkatan muda Islam atas garis-garis Barat, satu sistem pendidikan yang
seluruhnya didasarkan atas pengalaman-pengalaman dan nilai-nilai kultural
Eropa, akan tetap bebas dari pengaruh-pengaruh anti-Islam?
Kita tidak dibenarkan untuk mengharapkan ini. Kecuali dalam hal-hal yang jarang
dimana pikiran cemerlang yang istimewa dapat menang atas hal-hal yang
bersangkutan dengan pengaruh pendidikan, pendidikan Barat bagi angkatan
muda Islam tentu akan membuang kemauan mereka untuk percaya pada risalah
Nabi, membuang kemauan mereka untuk memandang diri mereka sebagai
orang-orang yang mewakili kebudayaan Islam yang khas itu. Dapat dipastikan
bahwa kepercayaan religius dengan pesat telah kehilangan tempat berpijak di
kalangan inteligensia yang dididik menurut garis-garis Barat. Tentu saja ini tidak
berarti bahwa Islam telah mempertahankan kemurniannya sebagai agama
praktis di kalangan tidak terpelajar; tetapi betapapun juga, pada umumnya dari
golongan ini kita mendapatkan sambutan sentimentil yang jauh lebih besar
terhadap panggilan Islam --dalam jalan pengertian mereka yang sederhana-daripada di kalangan kaum inteligensia yang telah dibaratkan. Menyingkirnya
kaum inteligensia hasil pendidikan Barat ini tidaklah berarti bahwa ilmu
pengetahuan, yang telah dihidangkan untuk santapan mereka telah memberikan
argumentasi ilmiah --menentang kebenaran-kebenaran ajaran-ajaran agama
kita, tetapi bahwa suasana intelektual peradaban Barat modern demikian keras
anti agama, sehingga ia menekan sebagai beban maut atas kemungkinankemungkinan religius dari generasi muda Islam.
Kepercayaan dan ketidakpercayaan religius sangat jarang yang hanya
merupakan masalah argumentasi. Dari beberapa hal salah satunya diperoleh
melalui jalan intuisi, atau marilah kita namakan dia "budi." Tetapi kebanyakan ia
tersalur pada manusia melalui lingkungan kulturalnya. Ingatlah bahwa seorang
anak yang sejak permulaan usianya secara sistematik mendengarkan lagu-lagu
yang dibunyikan dengan sempurna, pendengarannya menjadi biasa untuk
membeda-bedakan nada ritme dan harmoni: dalam usianya yang lebih lanjut ia
akan sanggup, apabila tidak untuk mencipta lagu atau melagukannya, sekurangkurangnya ia akan dapat memahami musik yang sulit sekalipun. Tetapi anak

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

45
yang selama usia mudanya tidak pernah mendengar apapun yang menyerupai
musik, di kemudian hari akan merasa sukar untuk menilai sekalipun hanya
unsur-unsurnya saja. Demikian pula halnya dengan asosiasi-asosiasi religius.
Seperti mungkin ada individu yang tidak beroleh "telinga" untuk musik,
demikianlah --mungkin tetapi tidak bakal-- ada individu-invidu yang "tuli" sama
sekali terhadap suara agama. Tetapi bagi bagian yang terbesar sekali dari
makhluk manusia yang normal alternatif antara percaya dan ketidakpercayaan
religius ditentukan oleh suasana di mana mereka dibesarkan. Itulah maka Nabi
bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam kesucian asli; orang tuanyalah yang
membuat dia menjadi Yahudi, Masehi atau Majusi " (Hadits shahih Bukhari).
Perkataan "orang tua" yang dipergunakan dalam hadits di atas secara logis
dapat diartikan secara umum sebagai alam sekitar --kehidupan keluarga,
sekolah, masyarakat dan sebagainya-- yang menentukan perkembangan
permulaan si anak. Tidak dapat disangkal bahwa dalam keadaan kemunduran
sekarang, suasana agama pada kebanyakan rumah tangga kaum Muslimin
demikian rendah, menurun secara intelektual, sehingga dapat menimbulkan
rangsangan pertama bagi si anak yang sedang tumbuh untuk membelakangi
agama. Tentu ada kemungkinan demikian; tetapi dalam hal pendidikan pemudapemuda Muslimin menurut garis-garis Barat, efeknya bukan saja mungkin, tetapi
sangat boleh jadi sekali, akan menimbulkan sikap anti agama dalam
kehidupannya di kemudian hari.
Tetapi dari sini datang pertanyaan besar: bagaimanakah mestinya sikap kita
terhadap pengajaran modern?
Protes terhadap pendidikan ala Barat bagi kaum Muslimin sama sekali tidak
berarti bahwa Islam menentang pendidikan ilmu pengetahuan. Lawan-lawan
menuduh bahwa Islam tidak mempunyai dasar theologik maupun historik. Kitab
suci al-Qur'an penuh dengan penegasan-penagasan seperti: "supaya kamu jadi
bijaksana", "supaya kamu berpikir", "supaya kamu tahu". Dikatakan di bagian
permulaan kitab suci al-Qur'an:
"Dan Ia mengajarkan Adam akan segala nama-nama itu." (Qur'an Suci, 2: 21)
dan ayat-ayat bersangkutan dengan itu, menunjukkan bahwa karena
pengetahuannya tentang "nama-nama" itu maka dalam pandangan tertentu
manusia bahkan lebih tinggi derajatnya dari malaikat. "Nama-nama" di sini
merupakan pernyataan simbolik untuk kemampuan memberi definisi yang khas
bagi makhluk manusia, yang memungkinkan dia, dalam kata-kata al-Qur'an,
untuk menjadi khalifah Allah di atas bumi. Dan untuk membuat penggunaannya
secara sistematik, manusia harus belajar. Dan sehubungan dengan itu Nabi
s.a.w. bersabda: "Apabila seseorang pergi dalam jalan menuntut ilmu
pengetahuan, Allah akan memudahkan bagi dia jalan ke surga." (Hadits shahih
Muslim) "Kelebihan orang berilmu pengetahuan atas orang yang (hanya)
bersembahyang saja seperti kelebihan derajat bulan pada malam apabila (bulan)

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

46
itu penuh atas segala bintang-bintang." (Musnad Ibn Hambal, Jami' At-Tirmidzi,
Sunan Abi Da'ud, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi).
Tetapi sebenarnya bahkan tidak perlu mengutip ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits
Nabi untuk membela sikap Islam terhadap penuntutan ilmu pengetahuan.
Sejarah Islam membuktikan di luar batas kemungkinan ragu bahwa tidak ada
agama yang pernah memberikan dorongan semangat bagi kemajuan ilmiah
seperti yang diberikan Islam. Dorongan semangat yang diperoleh penyelidikan
ilmu pengetahuan dan pendidikan dari agama Islam berhasil dalam bentuk
capaian kultural yang cemerlang dalam zaman Umayyah dan Abasiyyah dan
zaman pemerintahan Islam di Spanyol. Eropa harus benar-benar mengetahui
bahwa kulturnya tidak kurang berhutang kepada Islam daripada hutangnya pada
renaissance sesudah berabad-abad dalam kegelapan. Saya tidak menyebut ini
supaya kita kaum Muslimin boleh membanggakan diri dalam kenangankenangan jaya itu pada zaman ketika dunia Islam telah meninggalkan tradisinya
sendiri dan jatuh ke dalam kebutaan dan kemiskinan intelektual ini. Dalam
kemelaratan kita sekarang ini kita tidak punya hak untuk membanggakan
kejayaan-kejayaan kita di masa lalu. Tetapi kita harus menyadari bahwa karena
kelalaian kaum Musliminlah, dan bukan karena kekurangan dalam ajaran-ajaran
Islam, yang menyebabkan kemunduran kita sekarang.
Islam tidak pernah jadi penghalang bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Islam
menghargai kegiatan intelektual manusia sampai tingkat demikian tinggi
sehingga menempatkan dia di atas derajat malaikat. Tidak ada agama yang
sampai sejauh itu dalam menegaskan dominasi akal pikiran, dan sebagai
konsekuensinya, juga atas ilmu pengetahuan, diatas segala manifestasimanifestasi hidup lainnya. Apabila kita berpegang teguh pada prinsip-prinsip
agama ini, kita tidak dapat berkehendak untuk melenyapkan pengetahuan
modern dari kehidupan kita. Kita harus punya kemauan untuk belajar dan untuk
maju dan menjadi efisien seperti bangsa-bangsa Barat dalam bidang ilmu
pengetahuan dan ekonomi. Tetapi yang tidak boleh dikehendaki oleh kaum
Muslimin adalah melihat dengan mata Barat, berpikir dengan pikiran Barat;
mereka tidak boleh, kalau mereka berhasrat untuk tetap Muslim, berkehendak
untuk menukar peradaban spiritual Islam dengan eksperimen-eksperimen Barat
yang materialistik.
Pengetahuan itu sendiri tidak Barat dan tidak Timur; pengetahuan itu universal -tepat sebagaimana fakta-fakta alam itu universal. Tetapi sudut pandangan dari
mana fakta-fakta dapat dipandang dan disuguhkan berbeda-beda menurut tabiat
kebudayaan bangsa-bangsa. Biologi atau fisika sendiri umpamanya, tidak
materialistik dan tidak spiritual dalam cakupan dan tujuannya; ilmu pengetahuan
itu bersangkutan dengan observasi, koleksi dan defenisi dari fakta-fakta dan
pengambilan hukum-hukum umum daripadanya. Tetapi kesimpulan-kesimpulan
ini --yaitu falsafah ilmu pengetahuan-- tidak didasarkan atas fakta-fakta dan
observasi-observasi saja, tetapi dipengaruhi dengan sangat luasnya oleh sikap
intentif dan sikap temperamental yang ada sebelumnya kepada hidup dan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

47
problema-problema hidup. Filosof besar Jerman, Kant, mengatakan:
"Tampaknya mengherankan pada mulanya, tetapi sama sekali tidak kurang
pastinya, bahwa pemikiran kita tidak menarik kesimpulan dari alam, tetapi
menerapkan pemikiran kita padanya." Singkatnya hanyalah segi pandangan
subyektif yang menjadi soal di sini karena hal itu dapat mengubah seluruh
penafsiran kita tentang alam semesta, interpretasi-interpretasi yang mungkin
spiritual atau materialistik sesuai dengan pembawaan kita. Barat, walaupun
intelektualismenya sangat indah, telah terbawa dalam arus materialistik dan oleh
karena itu anti-agama dalam konsepsi-konsepsi dan pengiraan-pengiraan
fundamentalnya; dan demikianlah wajarnya sistem pendidikan Barat pada
keseluruhannya. Dengan kata lain, bukan studi tentang pengetahuan empirik
yang merugikan pada realitas kultural Islam, tetapi jiwa peradaban Barat yang
ditempuh kaum Muslimin dalam mendekati ilmu- lmu pengetahuan itu.
Sangat tidak beruntung bahwa sikap tak acuh kita dan kelalalaian kita berabad
panjang sejauh berhubungan dengan penyelidikan ilmiah, telah membuat kita
seluruhnya bergantung pada sumbersumber pengetahuan Barat. Kalau kita
selalu mengikuti prinsip yang menetapkan kewajiban belajar dan menuntut ilmu
pengetahuan pada setiap Muslim, sekarang kita tidak harus mencari ilmu
pengetahuan modern dari Barat dan dalam cara yang sama seperti orang yang
sedang sekarat kehausan di padang pasir melihat bayangan air di cakrawala.
Tetapi karena telah meninggalkan kemungkinan-kemungkinan kita sendiri
selama waktu panjang, maka kita telah jatuh kedalam kebodohan dan
kemiskinan, sementara Eropa melangkah maju dengan pesat. Akan makan
waktu lama untuk menjembatani perbedaan ini, sehingga kita secara alami akan
terpaksa menerima ilmu pengetahuan modern melalui media pendidikan Barat.
Tetapi satu-satunya alat yang harus kita terima adalah hal-hal dan metodametoda ilmiah, dan tidak lain. Dengan kata lain kita tidak harus ragu-ragu untuk
mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan eksakta atas garis-garis Barat, tetapi tidak
boleh kita memasukkan falsafah mereka walaupun sebagian kecil, dalam
pendidikan generasi muda Islam. Tentu saja orang dapat mengatakan bahwa
sekarang ini kebanyakan dari ilmu-ilmu pengetahuan eksakta, fisika atom
umpamanya, telah maju melampaui batas penyelidikan empiris melulu dan telah
memasuki bidang falsafah; dan dalam banyak hal sukar luar biasa untuk menarik
garis batas antara ilmu pengetahuan empiris dan falsafah spekulatif. Ini benar.
Tetapi pada segi lain, inilah justeru tepatnya titik dimana kultur Islam harus
mengesahkan idenditas dirinya lagi. Menjadi kewajiban dan merupakan
kesempatan bagi ahli ilmu pengetahuan Muslimin, ketika sekali mereka
mencapai garis batas penyelidikan ilmiah itu, untuk menggunakan kemampuan
mereka sendiri dalam wilayah pemikiran spekulatif dengan tidak bergantung
pada teori-teori falsafah Barat. Dari sikap mereka sendiri --yang islami-- boleh
jadi mereka akan tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dari
kesimpulan-kesimpulan ahli ilmu pengetahuan Barat modern.
Tetapi apapun yang mungkin disuguhkan oleh masa depan, pastilah mungkin,
bahkan sekarang juga, untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu pengetahuan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

48
tanpa penyerahan membudak pada sikap intelektual Barat. Yang paling
mendesak dari yang diperlukan dunia Islam sekarang bukanlah pandangan
filosofs tetapi sekedar perlengkapan ilmiah dan teknik modern.
Kalau saya harus membuat usul-usul untuk dewan pendidikan ideal yang
dikuasai oleh pertimbangan-pertimbangan Islam saja, saya akan mendesakkan
bahwa dari segala hasil-hasil capaian intelektual Barat hanya ilmu-ilmu
pengetahuan alam (dalam sikap terbatas seperti tersebut di atas) dan ilmu pasti
saja yang harus diajarkan di sekolah-sekolah Islam, sedang pendidikan falsafah
Barat harus bersih dari permulaannya. Dan tentang kesusasteraan Eropah, tentu
saja tidak boleh diambil seluruhnya, tetapi harus ditempatkan pada posisi-posisi
falsafahnya yang semestinya. Cara kesusasteraan ini diajarkan sekarang di
negeri-negeri Islam terang-terang berat sebelah. Membesar-besarkan nilainilainya secara tidak terbatas, secara alami membawa pikiran muda dan belum
matang untuk menghirup semangat peradaban Barat dengan sepenuh hati
sebelum aspek-aspek negatifnya dapat dinilai dengan cukup. Dan dengan
demikian bumi telah dipersiapkan bukan saja bagi pemujaan platonik tetapi juga
peniruan praktis peradaban Barat --yang tidak mungkin dapat berjalan bersama
jiwa Islam. Peranan kesusasteraan Eropa di sekolah-sekolah kaum Muslimin
sekarang harus diambil alih oleh mata pelajaran kesusasteraan Islam yang
berpandangan tajam dan layak, dengan suatu orientasi untuk memberikan kesan
kepada pelajar dengan kedalaman dan kekayaan kultur Islam, dan dengan
demikian untuk meresapkan kedalam dirinya harapan baru bagi masa
depannya.
Apabila mata pelajaran kesusasteraan, dalam bentuk yang sekarang lazim pada
kebanyakan lembaga-lembaga Islam, turut membantu pengasingan pemudapemuda Muslim dari Islam, maka dalam ukuran yang jauh lebih besar sama
benarlah itu dengan interpretasi Eropa tentang sejarah dunia. Dalam interpretasi
Eropa tentang sejarah jelas disuguhkan kepada kita sikap kuno "Romawi lawan
barbar." Interpretasi sejarah mereka bertujuan --tanpa mengakui tujuan itu-untuk membuktikan bahwa bangsa-bangsa Barat dan peradaban mereka lebih
tinggi daripada apapun yang telah dihasilkan dunia; dan dengan demikian ia
memberi semacam pembenaran moral bagi usaha Barat untuk menguasai
seluruh bagian dunia lainnya. Sejak dari zaman Romawi bangsa-bangsa Eropa
telah membiasakan diri memandang perbedaan-perbedaan Timur dan Barat dari
titik pijak norma Eropa yang salah itu. Dalam pertimbangannya, mereka bekerja
atas dasar anggapan bahwa perkembangan ummat manusia hanya dapat dinilai
atas dasar pengalaman-pengalaman kultural Eropa. Sewajarnyalah apabila
pandangan yang disempitkan semacam itu menghasilkan perspektif yang rusak
dan makin jauh, garis-garis observasi menyimpang dari basis kebiasaan
pandangan Eropa, makin sulit bagi orang-orang Eropa untuk menangkap wajah
dan struktur sebenarnya dari obyek-obyek historik yang dipertimbangkannya.
Karena sikap ego-sentrik dari orang-orang Eropa, sejarah deskriptif mereka
tentang dunia, sekurang-kurangnya hingga waktu ini, dalam kenyataannya tidak

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

49
lain dari sejarah Barat yang diperluas. Bangsa-bangsa bukan Eropa hanya
diperhatikan sejauh adanya dan perkembangannya berhubungan langsung
dengan nasib Eropa dalam detail-detailnya yang banyak dan dalam warna-warna
hidup, dan hanya mengizinkan pandangan-pandangan sepintas lalu di sana-sini
pada bagian dunia lainnya; pembaca cenderung untuk menyerah pada ilusi
bahwa kebesaran hasil-hasil capaian Barat dalam pandangan sosial dan
intelektual tidak dapat dibandingkan dengan seluruh bagian dunia lainnya. Maka
nyaris tampak seakan-akan dunia ini diciptakan untuk Eropa dan peradabannya
saja, sedang seluruh peradaban lainnya hanya dimaksudkan.untuk membentuk
satu bingkai yang cocok bagi seluruh kejayaan Barat itu. Satu-satunya efek yang
dapat dicapai pendidikan Barat semacam itu pada pikiran pemuda bukan Eropa
adalah perasaan kurang-harga-diri sejauh berhubungan dengan kultur-kultur
mereka, sejarah masa lalu mereka serta kemungkinan-kemungkinan masa
depan mereka sendiri. Mereka dididik secara sistematik untuk memungkiri masa
depan mereka sendiri --kecuali apabila masa depan mereka itu diserahkan pada
ideal-ideal Barat.
Demi untuk merintangi efek-efek kejahatan ini, pemimpin-pemimpin pemikir
Islam yang bertanggungjawab harus berusaha sekuat mungkin untuk merevisi
pelajaran sejarah dalam lembaga-lembaga Islam. Tentu saja ini satu tugas yang
sukar, dan ini akan meminta satu penyelidikan dan penelitian sejarah sebelum
dihasilkan sejarah dunia baru seperti dilihat dengan mata Muslim. Tetapi
walaupun tugas ini sulit, sama sekali bukanlah mustahil, dan lebih-lebih lagi: hal
ini wajib. Kalau tidak demikian maka generasi muda akan terus disuguhi dengan
arus-bawah kebencian terhadap Islam: dan hasilnya akan memperdalam
perasaan kurang-harga-diri. Perasaan kurang-harga-diri ini tentu saja pasti akan
teratasi apabila kaum Muslimin bersedia mengasimilasi kultur Barat dalam
keseluruhannya dan melenyapkan Islam dari kehidupan mereka. Tetapi apakah
mereka bersedia melakukannya?
Kita percaya, dan perkembangan Barat sekarang ini menguatkan lagi
kepercayaan ini, bahwa etika Islam, konsep-konsepnya tentang moral, keadilan
sosial dan perorangan, tentang kemerdekaan, tidak terbatas lebih tingginya,
tidak terbatas lebih sempurnanya daripada konsep-konsep dan ide-ide yang
berhubungan dengan itu dalam peradaban Barat. Islam telah melenyapkan
kebencian rasial dan membuka jalan bagi persaudaraan dan persamaan sesama
manusia, sedang peradaban Barat masih tetap tidak sanggup melihat kebalik
cakrawala antagonisme rasional dan nasional. Islam tidak pernah mengenal
kelas-kelas dan perjuangan kelas dalam masyarakatnya, tetapi seluruh sejarah
Eropa sejak dari zaman Yunani dan Romawi hingga pada zaman kita sekarang,
penuh dengan perjuangan kelas dan kebencian rasial.
Berkali-kali harus diulang bahwa hanya satu hal saja yang dapat diperoleh
dengan manfaatnya dari Barat, yaitu ilmu-ilmu pengetahuan eksakta dalam
bentuknya yang murni dan yang diterapkan. Keperluan untuk menuntut ilmu
pengetahuan dari luar tidak boleh membawa akibat seorang Muslim memandang

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

50
peradaban Barat lebih tinggi dari kebudayaannya sendiri --kalau tidak demikian
maka ia sebenarnya tidak mengerti apa arti Islam. Kelebihan satu kultur atau
civilisasi atas kultur atau civilisasi lainnya tidak terletak pada pemilikan jumlah
lebih besar ilmu pengetahuan material (walaupun ini lebih disukai), tetapi pada
enersi etiknya, pada kemungkinannya yang lebih besar untuk menerangkan dan
mengkordinasi segala aspek-aspek kehidupan manusia. Dan dalam pandangan
ini Islam mengatasi segala macam kultur. Kita hanya harus mengikuti hukumhukumnya supaya mencapai setinggi mungkin yang dapat dicapai makhluk
manusia. Tetapi kita tidak dapat dan tidak boleh meniru peradaban Barat kalau
kita hendak mempetahankan dan menghidupkan nilai-nilai Islam. Kejahatan yang
disebabkan pengaruh intelektual dari peradaban itu dalam tubuh Islam jauh lebih
besar daripada keuntungan material yang mungkin diberikannya.
Kalau di masa lalu kaum Muslimin lalai dalam penuntutan ilmu pengetahuan,
mereka tidak patut mengharap untuk memperbaiki kesalahan itu sekarang
dengan jalan menerima pengetahuan Barat tanpa terkendali. Segala
kemunduran kita dalam bidang ilmu pengetahuan dan segala kemiskinan kita
tidak dapat dibandingkan dengen efek maut, terhadap kemungkinankemungkinan religius dunia Islam, akibat dari perbuatan kita meniru buta struktur
pendidikan Barat. Apabila kita hendak mempertahankan realitas Islam sebagai
satu faktor kultural maka kita haus waspada terhadap suasana intelektual
peradaban Barat yang kini sedang menaklukkan masyarakat kita dan
kecenderungan-kecenderungan kita. Dengan jalan meniru cara-cara dari mode
hidup Barat kaum Muslimin berangsur-angsur didesak untuk menerima
pandangan Barat: karena meniru pandangan lahir secara berangsur-angsur akan
membawa asimilasi yang bersangkutan dengan pandangan dunia yang
mendasari wajah lahir itu.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

51

V. Tentang Meniru
Peniruan mode hidup Barat --secara individual dan sosial-- oleh kaum Muslimin,
pastilah merupakan bahaya yang terbesar bagi kehidupannya; atau lebih tepat:
yang besar bagi kebangkitan kembali peradaban Islam. Asal dari penyakit
kultural ini (hampir tidak mungkin menyebutnya dengan kata lain) mulai
beberapa puluh tahun lalu dan berhubungan dengan rasa frustrasi kaum
Muslimin yang melihat kekuatan dan kemajuan material Barat dan
mengemukakan kontrasnya dengan masyarakat mereka sendiri yang
menyedihkan. Karena ketidaktahuan kaum Muslimin akan ajaran-ajaran Islam
yang sebenarnya --sangat besar disebabkan oleh sikap berpikir sempit golongan
yang disebut ulama, timbul dalam idea kaum Muslimin bahwa mereka tidak akan
sanggup mengikuti langkah bersama kemajuan bagian dunia lainnya kecuali
apabila mereka menerima hukum-hukum sosial dan ekonomi Barat. Dunia Islam
macet dan banyak orang Muslimin datang pada kesimpulan yang paling dangkal
bahwa sistem sosial dan ekonomi Islam tidak dapat disepakatkan dengan
tuntutan-tuntutan kemajuan, dan oleh karena itu harus disesuaikan dengan garisgaris Barat. Orang-orang "yang telah menerima sinar penerangan" itu tidak ambil
pusing untuk bertanya betapa Islam, sebagai satu ajaran, bertanggungjawab
atas kemunduran kaum Muslimin; mereka tidak mau berhenti untuk menyelidiki
sikap Islam yang sesungguhnya, yaitu sikap al-Qur'an dan Sunnah; mereka
hanya menunjukkan bahwa ajaran-ajaran ahli-ahli agama pada zamannya
adalah dalam kebanyakan hal-hal itu merupakan rintangan bagi kemajuan dan
capaian material. Alih-alih daripada mengarahkan perhatian pada sumbersumber asli ajaran Islam, mereka menyamakan Syari'ah dengan fiqih yang telah
kejang pada masanya, dan mendapatkan bahwa fiqih dalam zaman itu
kekurangan dalam berbagai segi: akibatnya mereka kehilangan kepentingan
praktis pada Syari'ah dan meninggalkannya pada wilayah sejarah dan
pengetahuan-buku. Dan dengan demikian peradaban Barat muncul pada mereka
sebagai satu-satunya jalan keluar dari bencana degenerasi Islam.
Karya-karya sekarang yang lebih bijaksana --diantaranya buku cemerlang
Islamlasmaq oleh Pangeran Sa'id Halim Pasya yang secara konklusif
membuktikan bahwa Syari'ah Islam bukanlah halangan bagi kemajuan modern -datang terlambat untuk membendung kekaguman buta pada Barat oleh sekian
banyak kaum Muslimin. Efek penyembuhan dari karya-karya itu dinetralisir oleh
pasang naik kesusasteraan apologetik yang kurang baik yang --sementara tidak
menyangkal ajaran-ajaran praktis Islam-- berusaha menunjukkan bahwa Syari'ah
dapat dipasang dibawah konsepsi-konsepsi sosial dan ekonomi Barat. Dengan
demikian peniruan peradaban Barat oleh kaum Muslimin mereka anggap patut
dibenarkan dan dirintislah jalan ke arah penyangkalan berangsur-angsur dari
prinsip-prinsip Islam yang paling elementer --selalu di bawah samaran
"kemajuan" Islam-- yang sekarang menandakan evolusi dari beberapa negeri
Islam yang paling maju.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

52
Adalah sia-sia untuk berbantah, seperti banyak dilakukan oleh kaum "intelektual"
Muslim, bahwa tidaklah mengandung konsenkuensi spiritual apapun baik kita
hidup dalam cara ini atau cara itu, baik kita memakai pakaian Eropa atau
memakai pakaian orang tua kita, baik kita konservatif dalam cara kita berpakaian
atau tidak. Tentu saja tidak ada pikiran sempit dalam Islam. Seperti telah
dikatakan dalam pasal permulaan buku ini, Islam memberikan pada manusia
satu wilayah kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas sejauh ia tidak
bertindak bertentangan dengan perintah-perintah agama. Tetapi lepas sama
sekali dari kenyataan bahwa banyak hal yang merupakan bagian struktur sosial
Barat --seperti umpamanya hubungan bebas pria dan wanita atau kepentingan
modal sebagai basis aktivitas ekonomi-- pastilah bertentangan dengan ajaranajaran Islam; karakter asli dari peradaban Barat secara definitif menyingkirkan
orientasi religius manusia, seperti telah saya usahakan memperlihatkannya. Dan
hanya manusia-manusia yang sangat dangkal pandangannya dapat percaya
bahwa kita mungkin meniru satu kebudayaan dalam pandangan lahirnya tanpa
sementara itu dipengaruhi oleh jiwa peradaban itu. Peradaban bukanlah satu
bentuk kosong tetapi satu energi yang hidup. Pada saat kita mulai menerima
bentuk kebudayaan lahir itu maka arus-arus yang terpadu padanya dan
pengaruh-pengaruh dinamiknya mulai bekerja dalam diri kita dan dengan
perlahan-lahan, tidak tampak, membentuk seluruh sikap mental kita. Adalah
dalam penilaian sempurna pengalaman-pengalaman ini maka Nabi bersabda:
"Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia menjadi satu dari mereka." (Musnad
Ibnu Hambal, Sunan Abi Da'ud).
Hadits yang terkenal ini bukan saja satu isyarat moral, tetapi juga merupakan
satu pernyataan obyektif yang menegaskan bahwa tidak mungkin terelakkan
kemungkinan kaum Muslimin terasimilasi oleh peradaban nonmuslim, apapun
yang mereka tiru dalam wajah lahirnya.
Dalam pandangan ini hampir tidak mungkin untuk melihat perbedaan antara
aspek-aspek "penting" dan "tidak penting" dari kehidupan sosial. Tidak ada yang
tidak penting dalam rangkaian ini. Tidak akan ada kesalahan yang lebih besar
daripada menganggap bahwa pakaian umpamanya hanyalah sesuatu yang
bersifat "lahir" melulu dan dengan demikian tidak berakibat apa-apa pada wujud
intelektual dan spiritual manusia. Pada umumnya pakaian adalah hasil dari
perkembangan beradab-abad dari cita rasa manusia dalam arah yang khas.
Modenya berhubungan dengan konsepsi-konsepsi estetik bangsa itu, dan
demikian pula kecenderungan-kecenderungannya. Mode pakaian itu telah dibuat
bentuknya dan terus menerus dibentuk lagi sesuai dengan perubahanperubahan yang dilalui karakter dan kecenderungan-kecenderungan bangsa itu.
Mode Eropa sekarang umpamanya, berhubungan sempurna dengan karakter
intelektual dan moral Eropa. Sementara memakai pakaian Eropa kaum Muslimin
dengan tidak sadar meniru cita rasa Eropa dan memalingkan wujud intelektual
dan moralnya dalam cara demikian rupa yang kesudahannya sesuai dengan
pakaian baru itu. Dan dengan berbuat demikian itu ia menyangkali kemungkinan-

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

53
kemungkinan kultural ummatnya sendiri, ia menentang cita rasa tradisional
mereka, kesukaan dan kebencian mereka, dan mengenakan pakaian budak
intelektual dan moral yang diberikan oleh peradaban asing kepadanya.
Apabila seorang Muslim meniru pakaian, cara dan mode hidup Eropa, ia
berkhianat memihak pada kebudayaan Eropa, betapapun juga sikap purapuranya dalam pengakuannya. Praktis tidak mungkin meniru satu peradaban
asing dalam kerangka intelektual dan estetiknya tanpa menerima penilaian
jiwanya. Dan sama tidak mungkinnya untuk meniru jiwa satu peradaban yang
bertentangan dengan pandangan hidup religius --tetapi tetap sebagai seorang
Muslim yang baik.
Kecenderungan untuk meniru suatu peradaban asing adalah akibat dari satu
perasaan kurang-harga-diri. Perasaan kurang-harga-diri ini, dan hanya ini saja,
yang mendorong kaum Muslimin meniru peradaban Barat. Mereka
memperbandingkan kekuatannya dan kecakapan teknik dan permukaannya
yang cemerlang dengan kemelaratan sedih dari dunia Islam, dan mereka mulai
percaya bahwa dalam masa kita tidak ada jalan selain jalan Eropa.
Mempersalahkan Islam karena kekurangan-kekurangan kita sendiri mulai
menjadi mode. Paling-paling yang disebut kaum intelektual mengambil satu
sikap apologetik dan berusaha meyakinkan diri mereka sendiri dan orang-orang
lain bahwa Islam dapat dipertemukan dengan peradaban Barat.
Untuk mencapai regenerasi Islam, kaum Muslimin harus membebaskan diri
mereka seluruhnya dari jiwa apologia bagi agamanya sebelum mengambil
tindakan-tindakan reformasi. Seorang Muslim harus hidup dengan kepala
terangkat. Ia harus menyadari bahwa ia bersifat khas dan berbeda dari bagian
dunia lainnya dan ia harus belajar merasa bangga karena perbedaannya itu. Ia
harus berusaha, untuk memelihara perbedaan itu sebagai sifat yang mahal dan
menyerukannya dengan bangga kepada dunia --alih-alih daripada sikap
apologetik untuk itu dan mencoba untuk menyerapkan diri ke dalam lingkungan
kultural lain. Ini tidak berarti bahwa kaum Muslimin harus memencilkan diri dari
suara-suara yang datang, dari luar. Selalu boleh menerima pengaruh-pengaruh
baru yang positif dari peradaban asing tanpa harus menghancurkan
peradabannya sendiri. Contoh hal semacam itu adalah renaissance Eropa. Di
sana kita lihat betapa bersedia Eropa menerima pengaruh-pengaruh Arab dalam
isi dan metoda belajar. Tetapi Eropa tidak pernah meniru wajah lahir dan jiwa
kultur Arab dan tidak pernah mengkorbankan kebebasan intelektual dan
estetikanya sendiri. Eropa menggunakan pengaruh-pengaruh Arab hanya
sebagai pupuk atas tanahnya sendiri, tepat seperti orang-orang Arab
menggunakan pengaruh-pengaruh Hellenisme pada masanya. Dalam kedua hal
ini hasilnya adalah yang berupa tumbuhan baru yang kuat dari peradaban asli,
penuh kepercayaan pada diri sendiri. Tidak ada satu peradaban dapat menjadi
makmur, ataupun hidup, sesudah kehilangan kebanggaan ini dan sesudah
kehilangan hubungan dengan masa lalunya sendiri.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

54
Tetapi dunia Islam, dengan kecenderungannya yang meningkat untuk meniru
Eropa dan mengasimilasi idea-idea Barat, berangsur-angsur sedang memotong
ikatan-ikatan yang menyambung dia dengan masa lalunya, dan oleh karena itu
bukan saja kehilangan dasar kulturalnya tetapi juga dasar spiritualnya. Tetapi
banjir dahsyat kebudayaan Barat telah menyapu akar-akar itu menjadi telanjang;
dan pohon itu perlahan-lahan luruh karena kekurangan zat makanan. Daundaunnya gugur, dahannya layu. Pada akhirnya batangnya sendiri dalam bahaya
keruntuhan.
Demikianlah peradaban Barat tidak dapat menjadi jalan yang benar untuk
menghidupkan lagi kaum Muslimin dari kemabukan mental dan sosial yang
disebabkan oleh degenerasi agama praktis menjadi kebiasaan melulu tanpa
hidup dan tanpa kepentingan moral. Maka dimana lagi kaum Muslimin harus
mencari dorongan spiritual dan intelektual yang sangat dibutuhkan pada masamasa ini?
Jawabnya sama sederhananya dengan pertanyaan itu sendiri; sesungguhnya
jawabannya telah termasuk dalam pertanyaan itu sendiri. Seperti telah dikatakan
berulang-ulang sebelumnya, Islam bukan saja satu "kepercayaan hati" tetapi
juga satu program hidup individual dan sosial dengan ketentuan-ketentuan yang
sangat jelas sekali. Ini dapat dihancurkan dengan diasimilasikannya pada kultur
asing yang mempunyai dasar-dasar moral yang berbeda secara hakiki. Sama
seperti itu, dapat diregenerasi pada saat ia dibawa kembali pada realitasnya
sendiri dan diberi nilai dari satu faktor yang menentukan dan membentuk
kehidupan pribadi dan kehidupan sosial dalam segala aspek-aspeknya.
Di tengah-tengah tabrakan ide-ide baru dan arus-arus kultural bersimpang siur,
yang demikian khas bagi zaman kita ini, Islam tidak lagi dapat tinggal dalam
bentuk kosong. Ia telah terbangun dari tidur tersihirnya selama berabad-abad;
tetapi itu berarti kelaparan; ia harus bangkit atau mati. Permasalahan yang
menantang kaum Muslimin sekarang adalah problema musafir yang tiba di
simpang jalan. Ia dapat diam di tempatnya, tetapi ini berarti mati kelaparan. Ia
dapat memilih jalan yang bertanda "Menuju Peradaban Barat" tetapi kalau
demikian maka ia harus meninggalkan masa lalunya untuk selama-lamanya.
Atau ia memilih jalan yang bertanda: "Menuju Realitas Islam". Jalan ini saja yang
dapat tampil bagi mereka yang percaya akan masa lulu mereka dan percaya
akan kemungkinan peralihan ke dalam masa depan yang hidup.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

55

VI. Hadits dan Sunnah


Banyak usul pembangunan kembali telah dimajukan ulama puluhan tahun yang
lalu, dan banyak dokter-dokter kerohanian telah berusaha meramu obat paten
bagi tubuh Islam yang sedang sakit, tetapi hingga sekarang segalanya sia-sia
karena semua dokter-dokter pintar itu --sekurang-kurangnya mereka yang
terdengar sekarang memang telah memberikan resep obat mereka bersama
berbagai vitamin dan perangsang, tetapi semua lupa memberikan resep diet
alami yang seharusnya menjadi dasar perkembangan pertama pasien itu. Diet
ini, satu-satunya yang dapat diterima secara positif, yang dapat diasimilasi oleh
si sehat maupun si sakit, adalah Sunnah Nabi kita Muhammad s.a.w.
Sunnah adalah kunci pengertian kebangkitan Islam lebih dari tiga belas abad
yang silam; dan mengapa ia tidak harus menjadi kunci bagi regenerasi kita
sekarang? Peninjauan daripada Sunnah adalah sama dengan peninjauan
kehidupan dan kemajuan Islam. Mengabaikan Sunnah adalah sama dengan
kekacauan dan kemunduran Islam. Sunnah adalah kerangka besi dari rumah
Islam; dan kalau anda lepaskan kerangka itu dari suatu bangunan akan
terkejutkah anda apabila gedung itu ambruk seperti rumah-rumah kartu?
Kebenaran sederhana, hampir diterima secara bulat oleh seluruh orang-orang
berilmu sepanjang sejarah Islam --kita mengetahuinya dengan baik adalah paling
tidak populer sekarang karena sebab-sebab berhubungan dengan pengaruh
peradaban Barat yang terus berkembang. Walau demikian keadaannya, namun
hal ini tetap benar dan dalam kenyataan merupakan satu-satunya kebenaran
yang dapat menyelamatkan kita dari kekacauan dan kemunduran kita yang
memalukan sekarang ini.
Perkataan Sunnah dipergunakan di sini dalam pengertiannya yang paling luas,
yaitu teladan yang telah diberikan Nabi kepada kita dalam tindakan-tindakan dan
ucapan-ucapan beliau. Hidup beliau yang mengagumkan adalah gambaran yang
hidup dan keterangan dari al-Qur'an dan tidak mungkin kita dapat membuat
keadilan yang lebih besar terhadap Kitab Suci itu kecuali dengan mengikuti
beliau yang menjadi alat wahyu.
Kita telah melihat bahwa salah satu dari hasil-hasil yang dicapai Islam, satusatunya yang membedakannya dari segala sistem-sistem kerohanian, adalah
pertemuan antara segi moral dan segi material dari kehidupan insani. Ini
merupakan satu dari sebab-sebab mengapa Islam pada permulaannya
memperoleh sukses dan demikian jaya dimana saja ia tampil. Ia membawa pada
manusia pesan baru yang tidak perlu direndahkan supaya langit dapat dicapai.
Pandangan Islam yang menonjol ini menerangkan mengapa Nabi kita dalam
tugas suci beliau sebagai Rasul pembimbing ummat manusia demikian
mendalam berurusan dengan kehidupan dalam kecenderungannya sebagai
gejala spiritual dan material. Oleh karena itu maka tidaklah menunjukkan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

56
pengertian yang dalam tentang Islam apabila orang membeda-bedakan perintahperintah dari Nabi yang berbicara tentang hal-hal peribadatan dan kerohanian
dengan yang berhubungan dengan soal-soal kemasyarakatan dan kehidupan
kita sehari-hari. Sanggahan bahwa wajib kita mengikuti perintah-perintah dari
kelompok 'ubudiyah dan kerohanian tetapi tidak wajib mengikuti perintahperintah kelompok kemasyarakatan dan kehidupan sehari-hari adalah sama
dangkal dari segi jiwanya, sama anti-Islam, seperti idea bahwa ketentuanketentuan umum daripada al-Qur'an hanya dimaksudkan bagi orang-orang Arab
awam pada masa turunnya wahyu dan bukan bagi tuan-tuan yang telah maju
dalam abad ke dua puluh. Pada akarnya terletak sikap pandang enteng tentang
risalah Nabi besar itu.
Karena hidup seorang Muslim harus diarahkan atas kerja sama yang penuh dan
tanpa reserve antara wujud rohani dan jasadi, demikianlah pimpinan Nabi kita
merangkul sebagai satu keseluruhan terpadu, satu keseluruhan total
manifestasi-manifestasi moral dan praktek, individual dan sosial. Inilah arti yang
paling dalam daripada Sunnah. Al-Qur'an berkata:
"Apa saja yang diberikan Nabi kepadamu, terimalah; dan barang apa saja yang
dilarangnya, jauhkanlah." (Qur'an Suci, 59:7).
Dan Nabi mengatakan pula: "Orang Yahudi telah terpecah pecah menjadi tujuh
puluh satu firqah, orang Kristen menjadi tujuh puluh dua firqah, dan kaum
Muslimin akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah." (Sunan Abu Da'ud,
Jami' at-Tirmidzi, Sunan ad-Darimi, Musnad Ibnu Hambal) Dalam hubungan ini
dapat disebut bahwa bilangan "tujuh puluh" sering berarti banyak dan tidak mesti
menunjukkan angka hitung yang sesungguhnya. Dengan angka itu terang Nabi
bermaksud mengatakan bahwa firqah-firqah dan perpecahan-perpecahan di
antara kaum Muslimin akan sangat banyak, bahkan lebih dari orang-orang
Yahudi dan Kristen, dan beliau menambahkan: "Mereka semua masuk neraka,
kecuali satu." Ketika para sahabat bertanya satu yang mana yang terpimpin ke
jalan benar itu, Nabi menjawab: "Yaitu yang didasarkan pada Sunnahku dan
sunnah para sahabatku."
Ayat-ayat tertentu membuat pokok ini menjadi terang di luar segala kemungkinan
salah pengertian:
"Tidak, demi Tuhanmu! Mereka belum sebenarnya beriman sebelum mereka
meminta keputusan kepada engkau (Muhammad) dalam perkara-perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menaruh keberatan dalam hatinya
terhadap putusan yang engkau adakan dan mereka patuh dengan
sesungguhnya." (Qur'an Suci, 4:65)
"Katakanlah (Muhammad): Kalau kamu betul-betul mencintai Allah, turutlah aku,
niscaya kamu akan dicintai oleh Allah dan diampuniNya dosamu, dan Allah
pengampun dan penyayang. Katakanlah: Patuhlah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

57
Tetapi kalau mereka berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orangorang yang tidak beriman." (Qur'an Suci, 3:31-32)
Oleh karena itu maka Sunnah Nabi, sesudah al-Qur'an, adalah sumber kedua
dari hukum Islam tentang perilaku masyarakat dan individu. Memang kita harus
memandang Sunnah sebagai satu-satunya keterangan yang kuat dari ajaranajaran al-Qur'an, satu-satunya alat untuk menjauhkan perbedaan-perbedaan
pendapat mengenai tafsirannya dan peneterapannya untuk penggunaan praktis.
Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai arti kiasan dan dapat diartikan
dalam cara berbeda-beda kecuali ada sistem penafsiran yang definitif. Dan oleh
karena itu pula maka banyak hal-hal yang penting secara praktis tidak
dibicarakan secara terurai dalam al-Qur'an. Jiwa yang meliputi al-Qur'an itu
sebenarnyalah seragam seluruhnya; tetapi untuk menarik deduksi sikap praktis
yang harus kita ambil dari padanya tidaklah selalu mudah. Selama kita percaya
bahwa Kitab ini adalah Firman Allah, sempurna dalam bentuk dan tujuannya,
maka satu-satunya kesimpulan logis adalah bahwa ia tidaklah dimaksudkan
untuk dipergunakan terlepas dari pimpinan pribadi Nabi yang tercakup dalam
sistem Sunnah. Dalam pasal berikut akan diusahakan untuk menerangkan
sebab-sebab terkahir untuk menghubungkan al-Qur'an, untuk selama-lamanya,
dengan pribadi Nabi yang membimbing dan memberi inspirasi. Untuk tujuantujuan pasal ini jalan pemikiran yang berikut ini seharusnya sudah cukup. Jalan
pemikiran kita mengatakan bahwa tidak mungkin ada juru tafsir yang lebih baik
dari ajaran-ajaran al-Quran daripada melalui orang pada siapa firman itu
diwahyukan untuk umat manusia
Slogan yang paling sering kita dengar pada zaman kita, "Mari kembali kepada alQuran, tetapi jangan kita menjadi pengikut membudak pada Sunnah", hanya
menunjukkan ketidaktahuan kita tentang Islam. Orang-orang yang berkata
demikian menyerupai orang yang hendak masuk ke satu istana tetapi tidak
hendak menggunakan kunci yang asli, satu-satunya kunci yang cocok untuk
membuka pintu itu.
Sampailah kita sekarang pada soal yang sangat penting tentang keaslian dari
sumber-sumber yang membentangkan kehidupan dan ucapan-ucapan Nabi
Besar kepada kita. Sumber-sumber ini ialah Hadits, catatan turun-temurun
tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi yang dilaporkan dan
disalurkan oleh sahabat-sahabat beliau dan dikumpulkan dengan kritis dalam
abad-abad pertama Islam. Banyak orang Muslimin modern berpaham bahwa
mereka akan sedia mengikuti Sunnah, tetapi mereka berpendapat bahwa
mereka tidak dapat bersandar pada tubuh Hadits di mana Sunnah itu terletak.
Telah menjadi mode dalam zaman kita untuk secara prinsip menolak keaslian
Hadits dan oleh karena itu menolak seluruh struktur Sunnah.
Adakah satu jaminan ilmiah bagi sikap ini? Adakah satu pembenaran ilmiah
untuk menolak Hadits sebagai sumber hukum Islam yang patut dijadikan
panutan?

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

58
Orang sering berpikir bahwa lawan-lawan pikiran orthodoks akan sanggup
mengemukakan argumen-argumen yang sesungguhnya meyakinkan yang akan
mengukuhkan, sekali untuk selamanya, tentang pendapat bahwa hadits-hadits
yang dikatakan berasal dari Nabi tidak dapat dijadikan sandaran. Tetapi tidaklah
demikian halnya. Walau telah dipergunakan segala jalan untuk menantang
keaslian Hadits sebagai satu badan, oleh kritikus-kritikus modern dari Timur dan
dari Barat, tetapi mereka tidak mampu menopang kritik mereka yang bersifat
temperamental melulu dengan hasil penelitian ilmiah. Malah lebih sulit berbuat
demikian karena penyusun-penyusun kumpulan Hadits dahulu, terutama Imam
Bukhari dan Imam Muslim, telah melakukan segala apa yang mungkin dapat
dilakukan manusia untuk menempatkan keaslian setiap Hadits pada ujian yang
paling keras --ujian yang jauh lebih keras dari yang biasa dilakukan ahli-ahli
sejarah Barat terhadap suatu dokumen historik.
Akan jauh keluar batas-batas buku ini untuk membicarakan berpanjang-panjang
di sini tentang metoda penelitian yang keras yang dipergunakan untuk
menyelidiki kebenaran Hadits oleh para muhadditsuun, yaitu orang-orang
berilmu yang mengabdi pada studi tentang Hadits. Untuk maksud kita sekarang
akan cukuplah apabila dikatakan bahwa satu cabang ilmu pengetahuan yang
sempurna telah dikembangkan, obyeknya semata-mata adalah penyelidikan
tentang arti, bentuk dan cara penyaluran Hadits Nabi. Cabang sejarah dari
penegetahuan ini berhasil dalam menegakkan satu rantai tak terputus dari
riwayat hidup mendetail dari pribadi-pribadi yang pernah disebut oleh perawiperawi Hadits. Kehidupan orang-orang laki-laki dan perempuan telah diselidiki
dengan sempurna dari segala segi pandangan, dan hanya orang-orang yang
telah diterima sebagai orang-orang yang terpercaya, yang jalan hidup mereka
dan cara mereka menyalurkan Hadits, sempurna memenuhi standar yang
ditentukan oleh muhadditsuun terkenal dan dipercayai sebagai paling tepat yang
dapat dipikirkan. Oleh karena itu apabila sekarang seseorang hendak
menyangkal akan keaslian satu Hadits tertentu atau keseluruhan sistemnya,
maka tugas untuk membuktikan ketidaktepatannya jatuh pada orang itu sendiri.
Secara ilmiah sama sekali tidak dibenarkan untuk menyangkal kebenaran suatu
sumber historik, kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa sumber itu
bercela. Apabila tidak ada argumen yang dapat diterima, yaitu apabila tidak
dapat diperoleh argumen ilmiah untuk menentang sumber itu sendiri atau
terhadap salah satu atau lebih dari musnad-musnadnya, dan apabila sebaliknya
tidak ada laporan bertentangan tentang hal itu, maka kita harus menerima
kebenaran Hadits itu.
Bayangkan umpamanya apabila orang berbicara tentang peperanganpeperangan Mahmud dan Ghasna di India lalu anda bangkit dan berkata: "Saya
tidak percaya bahwa Mahmud pernah datang ke India. Itu dongengan tanpa
dasar sejarah!" Apa yang akan terjadi dalam hal seperti itu? Seseorang yang
mengenal sejarah segera akan berusaha memperbaiki kekeliruan anda dan akan
mengutip catatan-catatan sejarah yang didasarkan pada laporan-laporan orang
yang hidup di zaman itu tentang sultan yang termasyhur itu, sebagai bukti

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

59
definitif dari fakta bahwa Mahmud pernah di India. Dalam hal ini anda harus
menerima bukti itu --atau anda akan dipandang sebagai orang sakit yang tanpa
alasan yang terang menolak fakta-fakta sejarah yang kuat. Kalau demikian
halnya maka orang akan bertanya-diri: mengapa kritikus-kritikus modern ini tidak
mengemukakan pemikiran jujur yang logis yang sama seperti itu pada masalah
Hadits?
Dasar pertama akan palsunya Hadits berarti telah terjadi kebohongan yang
disengaja pada pihak sumber pertama, yaitu yang bersangkutan dengan para
sahabat, atau penyalur-penyalur kemudian. Tentang para sahabat, kemungkinan
semacam itu dapat dikecualikan secara a priori. Hanya diperlukan tinjauan
psikologik kedalam masalah ini untuk menyingkirkan anggapan-anggapan
semacam itu kedalam wilayah khayal melulu. Kesan cemerlang yang telah
dipancarkan pribadi Nabi pada orang-orang laki-laki dan perempuan di
sekitarnya adalah satu fakta menonjol dari sejarah ummat manusia; lagi pula hal
itu terdokumentasi dengan baik sekali oleh sejarah.
Dapatkah diterima bahwa orang-orang yang siap sedia mengorbankan diri
mereka dan segala yang mereka miliki apabila dikehendaki Rasulullah akan
memainkan tipu daya dengan kata-kata beliau?
Nabi telah berkata: "Barangsiapa dengan sengaja berbohong tentang saya akan
tersedialah tempatnya di neraka". (Shahih Bukhari, Sunan Abi Da'ud, Jami' atTirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, Musnad Ibn Hambal).
Ini diketahui para sahabat; secara mendalam mereka percaya akan kata-kata
Nabi yang mereka pandang sebagai juru bicara dari Allah SWT; dan mungkinkah
dari segi pandangan psikologi bahwa mereka akan mengabaikan perintah yang
sangat tegas ini?
Dalam proses peradilan pidana, pertanyaan pertama yang menantang hakim
adalah cui bono --demi keuntungan siapa-- kejahatan itu mungkin dilakukan?
Prinsip hukum ini dapat dipergunakan juga bagi masalah Hadits. Kecuali haditshadits yang langsung berhubungan dengan tuntutan-tuntutan politik dari
berbagai partai dalam abad pertama sesudah wafatnya Nabi, tidak akan ada
alasan untuk "mengambil keuntungan" bagi seseorang individu untuk
mengatakan bahwa kata-kata Nabi itu palsu. Justru karena pertimbangan
kemungkinan kalau-kalau Hadits diada-adakan untuk sesuatu tujuan individual
maka kedua sarjana yang paling berwenang tentang Hadits, Bukhari dan Muslim,
dengan sangat keras telah mengesampingkan segala hadits-hadits yang
berhubungan dengan politik kepartaian dari kumpulan-kumpulan hadits mereka.
Yang tertinggal adalah di luar prasangka akan memberikan keuntungan peribadi
pada siapapun.
Ada satu argumen dimana keaslian Hadits dapat ditantang. Dapat dimengerti
bahwa baik sahabat yang mendengarnya dari Nabi sendiri atau seseorang dari

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

60
perawi-perawi kemudian --sementara ia benar secara subyektif-- telah
melakukan sesuatu kekeliruan karena salah pengertian tentang kata-kata Nabi
itu, atau suatu kekeliruan ingatan, atau sesuatu sebab psikologik lain. Tetapi
bukti internal, yaitu bukti-bukti psikologik, berbicara menentang setiap
kemungkinan besar dari kekeliruan semacam itu, sekurang-kurangnya pada
pihak para sahabat. Bagi orang-orang yang hidup dengan Nabi, setiap ucapan
dan tindakan beliau sangat berarti sekali, bukan saja karena mereka sangat
tertarik pada kepribadian beliau yang berpengaruh atas diri mereka, tetapi juga
pada kepercayaan mereka bahwa adalah kehendak Allah maka mereka harus
mengatur hidup mereka, bahkan dalam detail-detailnya yang kecil, sesuai
dengan petunjuk dan teladan Nabi. Oleh karena itu tidak dapat mereka
menangkap ucapan beliau secara sepintas ,lalu, tetapi berusaha memeliharanya
dalam ingatan mereka bahkan dengan mengorbankan kesenangan-kesenangan
pribadi sendiri. Diriwayatkan bahwa para sahabat yang secara langsung
berhubungan dengan Nabi membuat kelompok-kelompok diantara sesama
mereka, masing-masing terdiri dari dua orang, satu daripadanya harus selalu
dalam lingkungan Nabi sementara yang seorang sibuk mencari nafkah atau
urusan-urusan lain; dan apa saja yang mereka dengar atau yang mereka lihat
dari guru mereka itu mereka sampaikan pada sesamanya: demikian cemas
mereka kalau-kalau sesuatu ucapan atau perbuatan Nabi akan luput dari
perhatian mereka. Tidaklah boleh jadi bahwa dengan sikap semacam itu mereka
akan lalai menjaga kata-kata dari sesuatu Hadits. Dan kalau mungkin bagi
ratusan sahabat itu untuk memelihara seisi al-Qur'an hingga pada detail-detail
kecil ejaan dalam ingatan mereka, maka pastilah mungkin pula bagi mereka dan
pengikut-pengikut mereka yang langsung untuk menyimpan ucapan Nabi dalam
ingatan mereka tanpa menambahkan atau mengurangi sesuatu.
Lagi pula ahli-ahli Hadits hanya mengakui keaslian sempurna pada hadits-hadits
yang dilaporkan dalam bentuk yang sama melalui rangkaian perawi-perawi yang
berbeda-beda dan tidak saling bergantung. Ini belum pula semua. Untuk
dinyatakan shahih (sehat), suatu hadits harus disepakati pada setiap tingkat
penyaluran oleh bukti yang tidak bergantung paling kurang dari dua penyalur,
dan mungkin lebih, sehingga pada setiap tingkatan laporan itu tidak akan
bersandar pada asal dari satu orang saja. Tuntutan tentang pengesahan ini
demikian tepat sehingga --katakanlah-- satu hadits yang dilaporkan melalui tiga
"generasi" penyalur-penyalur hadits antara sahabat yang bersangkutan dan
penyusun terakhir, sesungguhnya adalah dua puluh orang penyalur atau lebih,
terbagi-bagi sekitar tiga "generasi" yang tercakup di dalamnya.
Dengan segala inipun, tidak juga ada orang Muslim pernah percaya bahwa
hadits-hadits Nabi dapat beroleh status seperti al-Qur'an atau bahkan beroleh
status keaslian yang tak tergugat. Tidak pernah terhenti penelitian kritis tentang
Hadits. Kenyataan bahwa ada terdapat banyak hadits palsu tidak lepas dari
perhatian muhadditsuun, seperti yang dikira dengan dhaifnya oleh kritikuskritikus Barat. Sebaliknya ilmu pengetahuan kritis tentang Hadits dimulai oleh
kepastian membedakan antara yang asli dan yang tidak asli. Imam Bukhari dan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

61
Imam Muslim sendiri, belum lagi ahli-ahli hadits yang lebih kecil, adalah hasil
langsung dari sikap kritis ini. Oleh karena itu maka adanya hadits-hadits palsu
sekali-kali tidak membuktikan apa-apa dalam menolak sistem hadits pada
keseluruhannya --tidak lebih dari satu dongengan seribu satu malam dapat
dipandang sebagai satu argumen menentang status laporan sejarah pada
zaman itu.
Hingga kini tidak ada satupun kritikus yang telah sanggup membuktikan secara
sistematik bahwa tubuh Hadits yang dipandang asli menurut ukuran pengujian
dari ahli-ahli hadits yang paling terkenal sebagai tidak tepat. Penolakan terhadap
hadits-hadits otentik, baik sebagai keseluruhan maupun sebagian-sebagian
sejauh itu hanyalah masalah temperamen melulu, dan telah gagal menegakkan
diri sebagai hasil usaha penelitian yang tidak berprasangka. Tetapi motif dari
sikap oposisi semacam itu diantara kebanyakan kaum Muslimin di zaman kita
dapat dilihat jejaknya dengan mudah. Motifnya terletak pada ketidakmampuan
mereka membawa cara-cara hidup dan cara-cara berpikir kita sekarang yang
terbelakang, menurut semangat Islam yang sebenarnya seperti terpantul dari
Sunnah Rasul. Untuk membenarkan kekurangan-kekurangan mereka sendiri dan
kekurangan alam sekitar mereka, kritikus-kritikus palsu tentang Hadits itu
berusaha membuang perlunya mengikuti Sunnah; karena apabila ini dilakukan,
mereka akan sanggup menafsirkan ajaran-ajaran al-Quran sesuka hati mereka,
atas garis "rasionalisme" yang dangkal --yaitu masing-masing sesuai dengan
kecenderungan dan palingan pikirannya. Dan dengan cara ini kedudukan Islam
yang khas sebagai aturan moral dan aturan praktek, sebagai aturan individual
dan aturan sosial, akan hancur berantakan.
Dalam masa-masa ini, ketika pengaruh peradaban, Barat makin lama makin
terasa di negeri-negeri Islam, satu motif lagi bertambah pada sikap aneh dari
yang disebut kaum "intelektual" Muslimin dalam hal ini. Tidak mungkin hidup
menurut Sunnah Rasul dan mengikuti mode hidup Barat pada saat yang sama
sekaligus. Tetapi generasi kaum Muslimin sekarang telah siap sedia memuja apa
saja yang dari Barat, memuja peradaban asing itu karena asingnya, karena kuat
dan cemerlang secara material. Westernisasi ini adalah sebab yang paling kuat
maka hadits-hadits Nabi kita, dan bersamaan dengan itu struktur Sunnah, telah
menjadi demikian tidak populer sekarang. Begitu terang Sunnah bertentangan
dengan ide-ide fundamental yang mendasari peradaban Barat itu sehingga
mereka yang terpukau pada ide-ide beradaban Barat itu tidak melihat jalan
keluar dari jerat itu kecuali menggambarkan Sunnah sebagai satu aspek Islam
yang tidak mengena dan oleh karena itu tidak mengikat --karena Sunnah
"berdasar pada tradisi-tradisi yang tidak dapat disandari." Sesudah itu menjadi
lebih mudah untuk mengesampingkan ajaran-ajaran al-Qur'an dalam cara
demikian rupa sehingga ajaran-ajaran itu tampak sesuai dengan semangat
peradaban Barat.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

62

VII. Jiwa Sunnah


Hampir sama pentingnya dengan pembenaran formal daripada Sunnah, yaitu
tentang sahnya Hadits, atas dasar pembuktian-pembuktian tentang dapat
dipercayainya Hadits secara historik, adalah pertanyaan tentang pembenaran
spiritual batinnya. Mengapa maka pelaksanaan praktis Sunnah harus dipandang
sebagai sesuatu yang tidak boleh dielakkan untuk satu kehidupan dalam
pengertian Islam yang sebenarnya? Tidak adakah jalan lain menuju realitas
Islam selain melalui sistem luas tentang tindakan-tindakan dan kebiasaankebiasaan, tentang perintah-perintah dan larangan-larangan, sebagian
daripadanya bersifat sepele, tetapi seluruhnya berasal dari teladan hidup Nabi?
Tiada ragu, beliau adalah seorang yang paling besar; tetapi tidakkah keharusan
meniru kehidupannya dalam segala detail-detail formalnya merupakan satu
pelanggaran terhadap kebebasan individual dari keperibadian manusia? Ini
adalah satu keberatan lama yang sering dikemukakan pengeritik-pengeritik
terhadap Islam yang tidak bersikap bersahabat; bahwa perlunya mengikuti
Sunnah dengan keras adalah satu dari sebab-sebab pokok kemunduran dunia
Islam berikutnya, karena sikap semacam itu dikira lambat laun melanggar batas
kebebasan tindakan manusia dan perkembangan masyarakat secara alami.
Adalah yang paling penting bagi masa depan Islam apakah kita sanggup
membantah keberatan ini atau tidak. Sikap kita terhadap masalah Sunnah akan
menentukan sikap masa depan kita kepada Islam.
Kita merasa bangga, dan wajar, akan kenyataan bahwa Islam, sebagai satu
agama, tidak berdasarkan dogmatisme mistik, tetapi selalu terbuka bagi
penyelidikan akal yang kritis. Oleh karena itu kita bukan saja mempunyai hak
untuk mengetahui apakah pelaksanaan terhadap Sunnah telah diletakkan pada
kita, tetapi juga untuk mengerti hikmahnya mengapa maka ditekankan demikian.
Islam membimbing manusia pada penyataan segala aspek-aspek kehidupan.
Karena merupakan alat untuk tujuan itu, agama ini sendiri mewakili satu totalitas
konsepsi-konsepsi kemana tiada sesuatu dapat ditambahkan dan dari mana
tiada sesuatu dapat dikurangkan. Tidak ada tempat bagi elektisisme dalam
Islam. Dimana saja ajaran-ajarannya diakui sebagai yang sesungguhnya
diperintahkan oleh al-Qur'an atau Nabi, kita harus menerimanya dalam
kesempurnaannya; kalau tidak demikian maka nilai-nilainya akan hilang. Adalah
suatu salah paham fundamental untuk berpikir bahwa karena Islam agama
reason, agama akal, agama pemikiran sehat, maka Islam menyerahkan ajaranajarannya terbuka bagi pemilihan individual --suatu pengakuan yang
dimungkinkan oleh salah penerimaan populer tentang "rasionalisme." Adalah
satu jurang besar --dan cukup diakui oleh falsafah sepanjang zaman-- antara
reason dan "rasionalisme" seperti yang umum diartikan pada zaman ini. Fungsi
reason (akal) berkenaan dengan ajaran-ajaran agama bersifat pengontrol;
tugasnya adalah menjaga agar tidak ada sesuatu ditekankan pada pikiran
manusia yang tidak dapat ditanggungnya dengan wajar yaitu tanpa bantuan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

63
sulapan filosofis. Sepanjang berhubungan dengan Islam, akal (reason) yang tak
berprasangka berulang-ulang diberi suatu kepercayaan tanpa kekangan. Ini tidak
berarti bahwa setiap orang yang bertemu dengan Islam harus menerima ajaranajarannya sebagai kewajiban baginya; ini adalah soal temperamen --dan last but
not least-- dari illuminasi spiritual. Tetapi tentu dan pasti tidak ada orang yang
tidak berprasangka akan puas bahwa ada sesuatu dalam Islam yang
bertentangan dengan akal. Tiada diragukan bahwa ada hal-hal dalam Islam yang
terletak di luar batas-batas pengertian insani, tetapi tidak ada yang bertentangan
dengan pengertian manusia.
Peranan akal dalam masalah-masalah agamawi, seperti telah kita lihat, adalah
dalam fungsi suatu kontrol --suatu alat pencatat yang mengatakan "ya" atau
"tidak" sesuai dengan tempatnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan yang
disebut rasionalisme. Rasionalisme tidak puas dengan pencatatan dan kontrol,
tetapi meloncat kedalam bidang spekulasi; ia tidak reseptif dan terlepas sebagai
reason murni, tetapi sangat subyektif dan temperamental. Reason tahu akan
batas-batasnya sendiri; tetapi rasionalisme melanggar batas dalam tuntutannya
untuk mencakup dunia dan segala rahasia-rahasianya dalam lingkungan
individualnya sendiri. Dalam masalah-masalah agamawi ia hampir tidak sama
sekali menerima kemungkinan hal-hal tertentu, temporal atau kekal, yang berada
di luar pengertian manusia; tetapi pada saat itu pula cukup tidak logis untuk
menerima kemungkinan itu pada ilmu pengetahuan --dan dengan demikian
menentang dirinya sendiri.
Penilaian yang berlebih terhadap rasionalisme yang imaginatif ini adalah satu
dari sebab-sebab mengapa demikian banyak kaum Muslimin menolak untuk
berserah diri pada bimbingan Nabi. Tetapi tidak diperlukan seorang filosof besar
sekarang untuk membuktikan bahwa pengertian insani sangat terbatas dalam
kemungkinan-kemungkinannya. Pikiran itu, menurut alamnya, tidak sanggup
memahami ide-ide totalitas. Kita tidak mengetahui apa itu infinitas dan eternitas,
ketidakterbatasan dan kekekalan; kita bahkan tidak tahu apakah hidup itu. Oleh
karena itu dalam problema-problema satu agama yang bertumpu pada dasardasar kerohanian, kita memerlukan seorang penunjuk yang pikirannya memiliki
sesuatu yang lebih dari sifat-sifat pemikiran normal dan rasionalisme subyektif
yang umum bagi kita semua; kita memerlukan seorang yang beroleh wahyu -seorang Nabi. Kalau kita percaya bahwa al-Qur'an adalah kata-kata Allah dan
Muhammad saw. adalah Rasul Allah, maka kita tidak saja terikat secara moral
tetapi juga secara intelektual, untuk mengikuti bimbingannya secara "membuta."
Ungkapan "membuta" di sini tidak berarti bahwa kita harus mengesampingkan
daya pemikiran kita. Sebaliknya kita harus menggunakan daya pemikiran itu
sebaik mungkin menurut kesanggupan dan pengetahuan kita; kita harus
berusaha menemukan arti dan hikmah dan maksud yang terkandung dalam
perintah-perintah yang disalurkan Nabi kepada kita. Tetapi bagaimanapun juga -baik kita sanggup memahami tujuannya yang terakhir atau tidak-- kita harus
mematuhi perintah itu. Ingin saya menggambarkan contoh seorang prajurit yang
menerima perintah dari jenderalnya untuk menduduki satu posisi strategis.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

64
Prajurit yang baik akan mengikuti dan melaksanakan perintah itu dengan serta
merta. Apabila sementara melakukannya ia sanggup menerangkan pada dirinya
sendiri tujuan strategi itu yang sebenarnya dalam pandangan jenderal itu maka
lebih baik baginya dan bagi karirnya; tetapi apabila tujuan yang lebih dalam yang
menjadi dasar perintah jenderal itu tidak segera tampak olehnya, prajurit itu
betapapun juga tidak berhak untuk tidak melakukan atau bahkan menangguhkan
pelaksanaannya sekalipun. Kita kaum Muslimin berpegang bahwa Nabi adalah
komandan yang terbaik yang pernah diperoleh manusia. Kita tentu percaya
bahwa beliau mengetahui wilayah agama dalam aspek spiritual maupun aspek
sosialnya, jauh lebih baik daripada yang pernah dapat kita ketahui.
Dalam memberi perintah kepada kita untuk melakukan ini dan meninggalkan itu,
beliau selalu mempunyai sesuatu tujuan pandangan "strategis" yang menurut
pikiran beliau tidak dapat dielakkan untuk kemaslahatan spiritual dan sosial
manusia. Kadang-kadang tujuan itu tampak jelas dan kadang-kadang, banyak
atau sedikit, tersembunyi dari hadapan mata yang kurang terlatih dari
kebanyakan manusia; kadang-kadang kita dapat memahami tujuan yang paling
dalam dari perintah Nabi dan kadang-kadang hanya tujuan yang dangkal yang
sangat langsung. Bagaimanapun halnya, kita terikat untuk mengikuti perintahperintah Nabi, asal saja keaslian perintah itu telah ditegakkan secara patut.
Tidak ada lainnya yang menjadi soal. Tentu saja ada perintah-perintah Nabi yang
terang dan utama pentingnya dan yang lainnya kurang penting, dan kita harus
mengutamakan yang lebih penting dari yang kurang penting. Tetapi sekali-kali
kita tidak berhak mengabaikan salah satu daripadanya, karena tampak pada kita
"tidak penting sekali" --karena dikatakan dalam al-Qur'an tentang Nabi:
"Ia tidak berkata-kata atas kehendaknya sendiri." (Qur'an Suci, 53: 3).
Ini berarti bahwa beliau hanya berkata-kata apabila timbul keharusan obyektif,
dan beliau melakukannya karena Allah memerintahkan beliau berkata demikian.
Dan karena sebab ini maka wajib kita mengikuti Sunnah Nabi dalam jiwa dan
bentuknya, kalau kita hendak bersikap benar terhadap nur Islam.
Sekali keharusan obyektif ini ditegakkan bagi seorang Muslim untuk mengikuti
Sunnah Nabinya, ia berhak bahkan wajib, untuk menyelidiki peranannya dalam
struktur Islam, religius dan sosial. Apakah arti spiritual dalam sistem hukumhukum yang berdetail dan mengatur peri kelahirannya hingga menjelang maut,
dan mengatur perilakunya dalam fase-fase hidupnya yang paling penting dan
paling berarti? Atau adakah itu tidak berarti apa-apa? Adakah sesuatu kebaikan
dalam Nabi memerintahkan pengikut-pengikut beliau untuk melakukan segala
sesuatu dalam cara beliau melakukannya? Perbedaan apakah yang dapat
dibuatnya, apakah saya makan dengan tangan kanan atau tangan kiri --apabila
keduanya sama bersih? Apakah bedanya saya memelihara janggut saya atau
mencukurnya? Bukankah soal-soal semacam itu hanya soal formalitas melulu?
Adakah itu mengandung sesuatu atas kemajuan manusia atau kemaslahatan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

65
masyarakat? Dan kalau tidak, maka mengapakah hal-hal itu ditekankan pada
kita?
Sudah lama tiba waktunya bagi kita yang percaya bahwa tegak jatuhnya Islam
bersama-sama dengan tegak jatuhnya pelaksanaan Sunnah, untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu.
Hikmahnya yang pertama ialah untuk melatih manusia dalam cara metodik,
untuk hidup secara tetap dalam keadaan sadar, bangun dan menguasai diri.
Dalam kemajuan spiritual manusia, tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan
serampangan adalah seperti balok-balok penghalang dalam medan perlombaan;
penghalang-penghalang itu harus dikurangi hingga minimumnya, karena
tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan serampangan itu memusnahkan
konsentrasi spiritual. Segala sesuatu yang kita lakukan seharusnya ditentukan
oleh kemauan kita dan diletakkan dibawah penguasaan moral kita. Tetapi untuk
dapat berbuat demikian kita harus belajar meninjau diri kita sendiri. Keperluan
pengawasan diri yang permanen ini, bagi seorang Muslim, telah dilahirkan
dengan indahnya oleh 'Umar Ibn Khatthab: "Laporkanlah kepada dirimu sendiri
tanggung jawab tentang dirimu sebelum kau dipanggil melaporkan tanggung
jawabmu. Dan Nabi bersabda: "Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kau melihat
Dia". (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Da'ud, Sunan Ari-Nasa'i).
Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa ide Islam tentang ibadat bukan saja
mencakup kewajiban-kewajiban peribadatan yang wajib, tetapi sebenarnya
meliputi seluruh kehidupan kita. Tujuannya adalah pengesaan wujud rohani dan
jasmani menjadi satu kesatuan tunggal. Oleh karena itu maka usaha kita harus
tegas-tegas ditujukan ke arah melenyapkan faktor-faktor tidak-sadar dan tidak
terkontrol dalam kehidupan kita sejauh yang mungkin bagi manusia. Peninjauan
diri adalah langkah pertama pada jalan ini dan metoda yang pasti untuk melatih
dalam peninjauan diri untuk meletakkan dibawah kontrol tindakan-tindakan
kebiasaan yang tampaknya seakan-akan tidak penting dalam kehidupan kita
sehari-hari. Hal yang kecil-kecil itu, tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan
"tidak penting" itu adalah dalam rangkaian latihan mental yang kita bicarakan di
atas, dalam realitasnya jauh lebih penting daripada kegiatan-kegiatan "besar"
dalam kehidupan kita. Hal-hal yang besar itu, karena besarnya, selalu dapat
dilihat dengan nyata; dan oleh karena itu hal-hal yang besar itu kebanyakan
tetap dalam bidang kesadaran kita. Tetapi hal-hal yang "kecil" dengan mudah
dapat luput dari perhatian dan lepas dari kontrol kita. Oleh karena itu hal-hal
yang kecil adalah obyek-obyek yang jauh lebib berharga dalam mempertajam
kekuatan-kekuatan penguasaan diri kita.
Barangkali dalam hal ini tidak penting dengan tangan apa kita makan atau
apakah kita mencukur janggut atau tidak, tetapi secara psikologis adalah paling
penting melakukan hal-hal menurut satu putusan sistematik: karena dengan
berbuat demikian kita membuat diri kita terkunci pada satu pendekatan yang
lebih dekat pada observasi diri dan kontrol moral. Ini tidak mudah --karena

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

66
kemalasan pikiran tidak kurang nyatanya dari kemalasan jasmani. Apabila anda
meminta kepada orang yang telah membiasakan diri dengan cara duduk terusterusan untuk berjalan jarak jauh maka ia akan segera letih dan tidak akan
sanggup meneruskan perjalanannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang
yang selama hidupnya telah melatih diri berjalan kaki. Bagi dia pekerjaan otot
semacam itu sama sekali tidak berat malah merupakan tindakan jasmani yang
menyenangkan dimana ia telah biasa. Ini merupakan keterangan lebih lanjut
mengapa Sunnah hampir mencakup seluruh segi kehidupan manusia. Apabila
kita secara tetap membawahkan segala tindakan-tindakan kita kepada
pembedaan yang sadar, kekuatan observasi diri kita tumbuh terus-menerus dan
pada suatu saat akan menjadi sifat kita yang kedua. Setiap hari selama latihan
ini maju, kemalasan moral kita berkurang bersama-sama dengan itu.
Penggunaan istilah "latihan" tentu sewajarnya mencakup pengertian bahwa
hasilnya tergantung dari kesadaran pada pelaksanaannya. Pada saat praktek
Sunnah terbelakang menjadi kebiasaan mekanik, maka ia sama sekali
kehilangan nilai pendidikannya. Demikianlah jadinya kaum Muslimin pada abadabad terakhir ini. Ketika para sahabat dan generasi berikutnya berusaha untuk
menyesuaikan segala detail kehidupannya pada contoh Rasul Allah itu, mereka
melakukannya dengan penyerahan yang sadar pada kehendak terarah yang
akan membentuk kehidupannya dalam sinar al-Qur'an. Berhubungan dengan
putusan sadar itu mereka dapat mengambil manfaat dengan jalan latihan melalui
Sunnah hingga sepenuhnya. Bukanlah kesalahan daripada sistem itu apabila
kaum Muslimin yang kemudian tidak membuat penggunaan yang benar dari
jalan jalan psikologik yang dibuka oleh sistem itu. Pengabaian ini boleh jadi -dalam ukuran yang sangat besar-- dipengaruhi oleh Sufisme dengan
kebenciannya yang menonjol, yang banyak atau sedikit, terhadap enersi-enersi
aktif dan penekanannya pada enersi-enersi reseptif dalam diri manusia. Karena
praktek Sunnah telah ditegakkan sebagai satu komponen kehidupan keagamaan
Islam sejak permulaan Islam, Sufisme tidak berhasil dalam mencabut akarakarnya dalam prinsip. Tetapi ia berhasil dalam menetralisir kekuatan aktif itu
dan dengan demikian hingga ukuran tertentu menetralkan kegunaannya hingga
ukuran tertentu. Bagi kaum Sufi, Sunnah itu tinggal sebagai satu ideogram
kepentingan platonik dengan latar belakang mistik; bagi ahli-ahli theologia dan
ahli-ahli hukum sebagai satu sistem hukum-hukum; dan bagi masa Muslimin
tidak lain dari suatu kulit kerang kosong tanpa sesuatu arti yang hidup. Tetapi
walaupun kaum Muslimin telah gagal untuk mengambil manfaat dari ajaranajaran al-Qur'an dan tafsirannya melalui Sunnah Rasul, idea yang mendasari
ajaran-ajaran maupun tafsiran-tafsirannya tetap tinggal utuh dan tidak ada
alasan mengapa ia tidak dapat diterapkan dalam praktek sekali lagi. Tujuan
nyata dari pada Sunnah bukanlah seperti yang dianggap kritikus-kritikus agnostik
itu, untuk mendidik orang ala kaum Parisi dan formalisme gersang, tetapi
mendidik manusia menjadi sadar, teguh, berhati dalam dan siap untuk bertindak.
Kaum pria dan wanita dalam gaya semacam itu adalah para Sahabat Nabi.
Kesadaran permanen, kebangunan batin dan rasa tanggung jawab dalam segala

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

67
yang mereka lakukan- didalamnyalah terletak rahasia efisiensinya yang seperti
mukjizat dan sukses historisnya yang cemerlang.
Inilah yang pertama, dan kita katakanlah aspek individual daripada Sunnah.
Aspeknya yang kedua adalah kepentingan dan manfaat sosial. Hampir tidak
dapat diragukan sedikitpun bahwa kebanyakan dari konflik-konflik sosial
disebabkan oleh salah pengertian manusia antara tindakan-tindakan dan
maksud-maksud diantara sesamanya. Sebab dari salah paham semacam itu
adalah perbedaan-perbedaan ekstrim antara temperamen-temperamen dan
kecenderungan-kecenderungan dari anggota-anggota individu masyarakat.
Temperamen-temperamen yang berbeda memaksakan kebiasaan-kebiasaan
yang berbeda pada manusia, dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda itu, yang
diperkuat oleh pembiasaan-pembiasaan lama bertahun-tahun menjadi
penghalang-penghalang antara individu. Sebaliknya seandainya beberapa
individu kebetulan mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang sama sepanjang
hidupnya, sangat mungkin sekali hubungan mereka menjadi saling simpati dan
pikiran-pikiran mereka siap untuk saling mengerti. Oleh karena itu maka Islam,
yang sama berurusan dengan kemasyarakatan maupun kesejahteraan
individual, menganggapnya; satu titik hakiki bahwa anggota-anggota individual
dari pada masyarakat harus diajak secara sistematik untuk membuat kebiasaankebiasaan dan adat-adat mereka menjadi serupa, betapapun perbedaan status
masing-masing dalam bidang sosial dan ekonomi.
Tetapi di atas segala ini Sunnah dalam keadaannya yang disebut "kaku" malah
memberikan pengabdian lebih besar pada masyarakat; ia membuat masyarakat
menjadi akrab dan stabil dalam bentuk, dan menyingkirkan perkembangan
antagonisme dan konflik-konflik seperti, dengan nama "masalah-masalah sosial,"
telah menyebabkan kekacauan-kekacauan penting dalam masyarakat Barat.
Masalah sosial semacam itu timbul apabila lembaga-lembaga atau kebiasaankebiasaan tertentu terasa tidak sempurna dan oleh karena itu terbuka terhadap
kritik dan perubahan-perubahan ke arah kemajuan. Tetapi bagi mereka yang
merasa dirinya terikat oleh hukum al-Qur'an, dan konsekuensinya terikat oleh
petunjuk-petunjuk Nabi --kondisi-kondisi masyarakat harus mempunyai satu
pandangan yang transendental. Selama tidak ada keraguan atas keasliannya ini,
tidak akan ada timbul hasrat untuk mempersoalkan organisasi sosial dalam halhal fundamentalnya. Hanya dengan demikian kita dapat menerima satu
kemungkinan praktis bagi dalil al-Qur'an bahwa kaum Muslimin harus menjadi
seperti satu "bangunan yang padu." Apabila kita menerapkan prinsip kehidupan
kemasyarakatan kita, maka tidak akan ada perlunya bagi masyarakat untuk
membuang-buang energinya dalam perkara-perkara kecil dan "pembentukan
kembali" yang separuh-separuh yang berhubung sifat alaminya sendiri hanya
dapat beroleh nilai-nilai sepintas lalu. Terlepas dari kekacauan dialektik dan
dibangun atas landasan kuat dari hukum Ilahi itu dan teladan hidup Nabi,
masyarakat Islam dapat menggunakan segala kekuatan-kekuatannya untuk
masalah-masalah kesejahteraan material, moral dan intelektual, dan dengan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

68
demikian membuka jalan bagi individu dalam usaha-usaha spiritualnya. Ini, dan
tiada lainnya, adalah tujuan agamawi yang nyata dari organisasi sosial Islam.
Dan sekarang kita tiba pada aspek ketiga daripada Sunnah, dan perlunya kita
mengikuti Sunnah secara keras.
Dalam sistem ini banyak detail dari kehidupan kita sehari-hari didasarkan pada
teladan yang diberikan Nabi. Dalam segala yang kita lakukan, kita secara
permanen didorong untuk memikirkan perbuatan dan perkataan Nabi yang
bersangkutan dengan itu. Dengan demikian maka pribadi manusia terbesar itu
terserap dalam-dalam pada kebiasaan kehidupan kita sehari-hari, dan pengaruh
spiritualnya menjadi faktor nyata yang terus berlangsung dalam kehidupan kita.
Secara sadar dan dibawah sadar kita terbimbing untuk mempelajari sikap Nabi
dalam hal ini dan hal itu; kita belajar memandang beliau bukan saja sebagai
pembawa pembentangan moral, tetapi juga sebagai penunjuk ke arah kehidupan
sempurna. Disinilah kita harus memutuskan apakah kita harus memandang Nabi
hanya sebagai seorang bijaksana diantara manusia-manusia bijaksana, atau
sebagai Rasul Allah yang paling tinggi yang selalu bertindak atas ilham Ilahi. Titik
pandangan al-Qur'an dalam hal ini terang diatas segala kemungkinan salah
paham. Seorang manusia yang telah direncanakan sebagai Nabi terakhir dan
sebagai rahmat bagi seisi alam tidak dapat tidak pastilah beroleh ilham secara
permanen. Untuk menolak petunjuk ini, atau unsur-unsur tertentu dari bimbingan
itu, akan berarti tidak kurang dari menolak atau memandang enteng bimbingan
Allah sendiri. Ini selanjutnya akan berarti, dalam kelanjutan logis dari pikiran ini,
bahwa seluruh amanat Islam tidak dimaksudkan sebagai pemecahan sempurna
masalah-masalah manusia tetapi hanya sebagai pemecahan alternatif dan
bahwa ia meninggalkan kebebasan pada kita untuk memilih ini atau sesuatu
yang lain, yang barangkali sama benarnya dan sama bermanfaat. Prinsip
seenaknya ini dapat membawa kita kemana-mana tetapi pastilah tidak akan
membawa kita kepada jiwa Islam, yang dikatakan dalam al-Qur'an
"Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu dan telah Aku
sempurnakan nikmat-Ku pada kamu dan telah Aku relakan Islam sebagai agama
kamu." (Qur'an Suci, 5: 3 )
Kita memandang Islam lebih tinggi dari segala sistem-sistem agama manapun
karena Islam mencakup kehidupan dalam seluruh kebulatannya. Islam
mencakup masalah dunia dan akhirat, rohani dan jasmani, perorangan dan
kemasyarakatan; dalam wilayah pertimbangannya, Islam mencakup bukan saja
kemungkinan-kemungkinan luhur dari alam insani, tetapi juga batasan-batasan
dan kelemahan-kelemahannya yang terpadu. Islam tidak menekankan yang tidak
mungkin pada kita tetapi mengarahkan kita bagaimana mengambil manfaat yang
sebaik-baiknya dari segala kemungkinan-kemungkinan kita dalam mencapai
wilayah realitas yang lebih tinggi dimana tidak ada penyimpangan dan dimana
tidak ada tabrakan antara ide dan perbuatan. Islam bukan salah satu dari jalanjalan tetapi jalan; dan manusia yang menyampaikan ajaran ini kepada kita bukan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

69
hanya salah satu diantara penunjuk-penunjuk jalan, tetapi penunjuk jalan.
Mengikuti segala yang dilakukannya dan yang diperintahkannya adalah
mengikuti Islam, meninggalkannya berarti meninggalkan realitas Islam.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

70

Kesimpulan
Sebelum ini saya telah berusaha menunjukkan bahwa Islam, dalam artinya yang
benar, tidak mendapatkan manfaat dengan satu asimilasi peradaban Barat.
Tetapi di pihak lain dunia Muslimin sekarang mempunyai energi demikian
kecilnya yang tertinggal sehingga ia tidak mengajukan perlawanan yang cukup.
Sisa-sisa kehidupan kulturalnya di mana-mana sedang diratakan dengan tanah
di bawah tekanan-tekanan idea-idea dan adat istiadat Barat. Suatu nada
pengunduran diri sedang terdengar; dan pengunduran diri dalam kehidupan
bangsa-bangsa dan kebudayaan berarti mati.
Ada apa dengan Islam? Apakah sesungguhnya Islam, seperti sering hendak
diyakinkan kepada kita oleh lawan-lawan dan orang-orang yang hendak
mengelabui dari dalam barisan kita sendiri, adalah suatu "kekuatan yang telah
habis dikerahkan"? Apakah Islam telah kehabisan kemanfaatannya dan telah
memberikan kepada dunia segala yang harus diberikannya?
Sejarah mengatakan kepada kita bahwa segala kebudayaan dan peradaban
manusia adalah keseluruhan organik dan menyerupai makhluk-makhluk hidup.
Kebudayaan dan peradaban melintas melalui segala tingkat-tingkat kehidupan
organik yang harus dilaluinya; kebudayaan dan peradaban-peradaban dilahirkan,
melalui masa remajanya, masa dewasa dan matang, dan pada akhirnya
datanglah masa gugur. Seperti tumbuh-tumbuhan yang layu dan gugur ke debu,
kultur-kultur mati pada akhir masanya dan memberikan tempat pada kultur-kultur
lain yang lahir dengan segar.
Apakah demikian halnya dengan Islam? Pada pandangan kulit sepintas lalu akan
tampak demikian. Tiada diragukan bahwa kebudayaan Islam telah mengalami
kebangunannya yang cemerlang dan masa berkembangnya; ia mempunyai
kekuatan untuk mengilhami manusia untuk berbuat dan berkurban, ia mengubah
bangsa-bangsa dan mengubah permukaan bumi, dan sudah itu ia berdiri diam
dan macet, kemudian ia menjadi kata kosong dan sekarang kita melihat
kerendahannya yang sangat dan kebobrokannya. Tetapi apakah hanya sekedar
demikian itu?
Apabila kita percaya bahwa Islam bukanlah satu kultur diantara kultur-kultur,
bukan hanya sekedar hasil pemikiran dan usaha manusia, tetapi satu hukum
yang dititahkan Allah SWT untuk diikuti ummat manusia pada sepanjang zaman
dan di setiap tempat, maka aspek itu berubah dengan sempurna. Kalau kultur
Islam merupakan hasil kita mengikuti hukum yang diwahyukan, maka sekali-kali
tidak dapat kita mengatakan bahwa, seperti kultur-kultur lain, ia terbelenggu
dengan rantai waktu dan terbatas pada satu masa tertentu. Yang sesungguhnya
tampak sebagai kebobrokan Islam tidaklah lain dari pada kematian dan
kekosongan hati kita yang terlalu bersikap masa bodoh dan malas untuk
mendengar suara abadi. Tidak terlihat tanda-tanda bahwa ummat manusia,

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

71
dalam keadaan yang telah dicapainya sekarang, telah mengatasi Islam. Ummat
manusia ternyata tidak sanggup untuk menghasilkan satu sistem etika yang lebih
baik dari pada sistem etika Islam; ia ternyata tidak sanggup meletakkan idea
persaudaraan ummat manusia atas dasar tumpuan praktis seperti dihasilkan
Islam dalam konsep supranasional dalam bentuk Ummah; ia ternyata tidak
sanggup menciptakan satu struktur kemasyarakatan dimana konflik-konflik
diturunkan secara efisien ke batas minimal, dalam gagasan kemasyarakatannya
ia tidak sanggup membangunkan keluruhan manusia, perasaan keamanannya,
pengharapan spiritualnya, dan terakhir tetapi pasti bukan terkecil,
kebahagiannya.
Dalam segala hal ini hasil capaian ummat manusia sekarang jauh sangat tidak
mencapai program Islam. Maka dimanakah dasar kebenaran untuk mengatakan
bahwa Islam "telah ketinggalan zaman"? Apakah hanya karena dasar-dasarnya
adalah religius dan orientasi religius sudah bukan modenya sekarang? Tetapi
apabila kita lihat bahwa satu sistem berdasarkan agama telah sanggup
memajukan satu program hidup praktis yang lebih sempurna, lebih konkrit dan
lebih patut bagi konstitusi psikologik dari pada apapun yang telah pernah
dihasilkan akal pikiran dengan jalan pembentukan kembali usul-usul baru -tidakkah ini justru satu argumen yang sangat kuat menopang pandangan
religius?
Kita mempunyai segala alasan untuk percaya bahwa Islam telah dipertahankan
sepenuhnya oleh hasil-hasil capaian positif manusia, karena Islam telah
menghadapinya dan menunjuknya sebagai barang yang sepatutnya lama
sebelum hal itu ditemukan; dan sama seperti itu pula ia telah dipertahankan oleh
kenyataan akan kekurangan-kekurangan, kekeliruan-kekeliruan dan ceruk-ceruk
penghalang perkembangan manusia, karena Islam telah memperingatkan
dengar nyaring dan lantang menentangnya lama sebelum manusia
menyadarinya sebagai kekeliruan-kekeliruan. Sangat terlepas dari kepercayaankepercayaan religius seseorang, semata-mata dari sudut pandang intelektual,
terdapat segala dasar pendorong untuk mengikuti dengan yakin petunjuk praktis
Islam.
Apabila kita pandang kultur dan kebudayaan dari segi pandangan ini maka pasti
kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kebangkitan Islam pasti mungkin. Kita
tidak perlu me-"reform" Islam, seperti dikira oleh sebagian kaum Muslimin,
karena Islam telah sempurna sendirinya. Yang harus kita perbaharui ialah sikap
kita terhadap agama, kemalasan kita, singkatnya kekurangan-kekurangan kita,
bukan kekurangan-kekurangan yang dikira ada pada Islam. Untuk mencapai
kebangkitan Islam kita tidak perlu mencari prinisip-prinsip perilaku baru dari luar,
tetapi kita hanya harus menerapkan perilaku lama yang telah kita tinggalkan.
Tentu kita boleh menerima rangsangan-rangsangan baru dari kebudayaan asing,
tetapi kita tidak dapat mengganti bangunan Islam yang sempurna dengan
sesuatu yang bukan Islam, baik ia datang dari Barat ataupun dari Timur. Islam
sebagai lembaga spiritual dan sosial tidak dapat "diperbaiki." Dalam hal-hal

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

72
demikian setiap perubahan pada konsepsi-konsepsinya atau pada organisasi
sosialnya yang disebabkan oleh gangguan-gangguan kultural asing adalah
dalam realitasnya berarti kemunduran dan merusak dan oleh karena itu harus
sangat disesalkan. Suatu perubahan harus ada, tetapi perubahan itu haruslah
perubahan dari dalam diri kita sendiri --dan perubahan itu harus menuju kepada
Islam, bukan menyimpang dari Islam.
Tetapi dengan segala ini kita tidak boleh menipu diri. Kita tahu bahwa dunia
Islam hampir telah kehilangan realitasnya sebagai satu faktor kultural yang tidak
tergantung. Di sini saya tidak berbicara tentang aspek politik dari kemunduran
kaum Muslimin. Segi yang jauh lebih penting bagi keadaan kita sekarang harus
diperoleh dalam bidang intelektual dan sosial, dalam menghilangnya
kepercayaan kita dan pengoyakan struktur sosial kita. Tampaknya sangat sedikit
yang masih tertinggal dari kesehatan aslinya yang seperti telah kita lihat,
merupakan satu karakter yang demikian khas dari masyarakat Islam awal itu.
Kekacauan kultural dan sosial yang sedang kita alami sekarang menunjukkan
bahwa kekuatan-kekuatan yang mengimbangi yang dahulu menjadi sebab bagi
kebesaran dunia Islam sudah hampir padam sekarang. Kita sedang mengapung
hanyut dan tiada seorangpun tahu ke arah tujuan kultural yang mana. Tidak ada
kebenaran kultural tertinggal, tidak ada kemauan untuk menentang banjir
pengaruh asing yang merusak agama dan masyarakat kita. Kita telah
mengesampingkan ajaran-ajaran moral yang paling baik yang pernah disaksikan
dunia. Kita memungkiri agama kita, sedang bagi orang-orang tua kita dahulu
agama itu merupakan pendorong hidup; kita merasa malu sedang nenek
moyang kita bangga; kita pelit dan mementingkan diri sendiri, sedang mereka
dengan murah hati membukakan diri kepada dunia luar, kita kosong sedang
mereka penuh berisi.
Keluhan ini dikenal oleh setiap Muslim yang berpikir. Setiap orang telah
mendengarnya diulang-ulang berkali-kali. Kalau demikian, orang dapat bertanya:
masih perlukah itu diulang sekali lagi? Saya pikir perlu. Karena bagi kita tidak
akan ada jalan keluar dari rasa malu akan kemunduran kita kecuali satu:
mengakui rasa malu itu, melihatnya siang malam di depan mata kita dan
merasakan kepahitannya, sehingga kita memutuskan untuk menyingkirkan
sebab-sebabnya. Tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan pahit dari diri
kita sendiri dan berpura-pura bahwa dunia Islam sedang bangkit dalam kegiatankegiatan Islami, bahwa misi-misi Islam sedang bekerja di empat benua, bahwa
bangsa Barat makin lama makin menyadari akan keindahan Islam Tidak ada
gunanya berpura-pura tentang semua ini dan menggunakan argumen-argumen
kebetulan untuk meyakinkan diri kita sendiri bahwa kerendahan kita bukanlah
tidak bertumpuan, karena sesungguhnyalah memang sebenarnya demikian.
Tetapi inikah yang akan menjadi akhir kesudahannya? Tidak dapat demikian.
Hasrat kita akan regenerasi, hasrat sekian banyak dari kita untuk menjadi lebih
baik daripada keadaan kita sekarang, memberikan hak kepada kita untuk
mengharapkan bahwa kita belum selesai. Ada jalan menuju regenerasi, dan

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

73
jalan ini dapat dilihat dengan nyata bagi setiap orang yang punya mata untuk
melihat.
Langkah kita yang pertama haruslah membuang jiwa apologia bagi Islam, karena
itu hanyalah satu nama lain bagi pengelabuan intelektual. Dan jenjang kita
selanjutnya adalah mengikuti Sunnah Nabi kita dengan sadar dan sungguhsungguh. Karena Sunnah berarti, tidak lebih dan tidak kurang, ajaran-ajaran
Islam yang diterapkan dalam praktek. Dengan menggunakannya sebagai test
terakhir kedalam tuntutan-tuntutan kehidupan kita sehari-hari, dengan mudah
kita akan mengenal pengaruh-pengaruh dari kebudayaan Barat, yang mana
dapat diterima dan yang mana yang harus ditolak. Sebagai ganti daripada
menyerahkan Islam dengan halusnya kepada norma-norma intelektual asing,
kita harus belajar --sekali lagi-- memandang Islam sebagai norma; dengan
norma inilah kita harus menilai dunia.
Namun benarlah bahwa banyak tujuan-tujuan Islam yang orisinal telah dibawa
kedalam perspektif palsu melalui penafsiran-penafsiran tidak sempurna tetapi
diterima umum, dan dari orang-orang Muslimin yang tidak dalam posisi untuk
kembali sendiri kepada sumber-sumber asli dan dengan demikian memperbaiki
lagi konsepsi-konsepsi mereka, dihadap-hadapkan dengan gambaran Islam dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan agama Islam yang sebagiannya telah
dirusak. Proposisi-proposisi yang tidak dapat dipraktekkan yang sekarang
dikemukakan oleh faham orthodoks seenaknya sendiri sebagai dalil-dalil Islam,
dalam banyak hal tidaklah lain daripada --penafsiran-penafsiran konvensional
dari dalil-dalil atas dasar logika neo-platonisme lama yang mungkin "modern",
yaitu dapat berjalan, dalam abad kedua atau abad ketiga Hijriyah, tetapi
sungguh-sungguh bukan lagi masanya sekarang. Seorang Muslim yang terdidik
secara Barat, kebanyakan tidak mengenal bahasa Arab dan tidak mengenal
masalah-masalah fiqih, secara alami cenderung untuk memandang penafsiranpenafsiran dan konsepsi-konsepsi usang dan subyektif sebagai hasil dari
penafsiran-penafsiran yang benar dari Pembawa Hukum: dan dalam
kekecewaannya atas ketidak-sempurnaannya ia sering menarik diri mundur dari
apa yang dikiranya Syari'ah Islam. Dengan demikian, supaya mereka sekali lagi
menjadi satu kekuatan kreatif dalam kehidupan kaum Muslimin, penilaian
terhadap proposisi-proposisi Islam harus direvisi dalam sorotan sinar pengertian
kita sendiri dari sumber-sumber aslinya dan dibersihkan dari lapisan-lapisan
timbunan tebal penafsiran-penafsiran konvensional yang telah tertimbun selama
berabad-abad dan terasa berkekurangan pada jaman sekarang. Hasil dari usaha
semacam itu mungkin berupa timbulnya satu fiqih baru yang tepat sesuai dengan
Dua Sumber Islam --al-Qur'an dan teladan hidup Nabi-- dan pada saat yang
sama menjawab tuntutan-tuntutan kehidupan jaman ini: tepat seperti bentukbentuk fiqih lama itu menjawab tuntutan-tuntutan hidup dari suatu masa yang
dikuasai falsafah Aristoteles dan Neo-Platonisme dan kondisi-kondisi hidup yang
menguasai pada tingkat-tingkat permulaan itu.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

74
Tetapi hanya apabila kita memperoleh lagi kepercayaan diri sendiri yang telah
hilang itu dapat kita mengharapkan untuk mengubah jalan maju kita sekali lagi.
Tujuan itu tidak pernah akan tercapai apabila kita menghancurkan lembagalembaga sosial kita sendiri dan meniru suatu peradaban asing-asing bukan saja
dalam pengertian historis dan geografis, tetapi juga asing dalam pengertian
spiritual
Seperti halnya sekarang, Islam adalah seperti kapal yang akan karam. Segala
tangan yang dapat membawa pertolongan diperlukan di kapal. Tetapi bahtera
Islam akan selamat apabila kaum Muslimin mendengar dan mengerti panggilan
al-Qur an:
"Sesungguhnya dalam diri Rasul Allah kamu dapati teladan yang paling baik bagi
setiap orang yang mengharap akan menghadap Allah dan hari kemudian." (alQur'an, 33:21)
-----------Muhammad Asad
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*

*
*
*
*

Kelahiran Austria (1900) dengan nama Leopold Weiss


Belajar kitab-kitab suci Yahudi - Kristen dengan bahasa Ibrani - Aramea,
Polandia dan Jerman.
Belajar sejarah, falsafah dan psikologi.
Wartawan United Telegraph di Berlin (1921).
Wartawan Frankfurter Zeitung dan koresponden di Timur Tengah (19221926).
Masuk Islam di Berlin dan memilih nama Muhammad Asad (1926).
Tinggal di Hejaz dan Najd (Saudi Arabia) (1926-1932).
Menjelajah wilayah-wilayah negeri Islam (1932-1947) kecuali Asia Tenggara.
Bersahabat dengan tokoh-tokoh Islam, termasuk Raja Abdul 'Aziz, Ibnu Saud
dan Muhammad Iqbal.
Membatalkan rencana ke Indonesia dan Asia Tenggara karena ditugaskan
membentuk dan mengepalai Departemen Rekonstruksi Islam Pakistan (19471951).
Mengepalai bagian Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Pakistan.
Menjadi Duta Tetap Pakistan untuk PBB
Menulis Islam at the Crossroads (1935), The Road to Mecca (1952) dan The
Message of the Quran.
Muhammad Asad diangkat sebagai warga negara kehormatan di berbagai
negeri Islam; terakhir tinggal di Maroko.

Ebook Collection http://ebyinfo.co.cc

Anda mungkin juga menyukai