Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TARJAMAH AL-QUR’AN

(Pengertian tarjamah, Macam – Macam tarjamah, Hukum tarjamah)


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Qur’an yang
diampu oleh:
Dr. H. Ahmad Syukron, M.A.

Disusun Oleh :
Kelompok 11
Rudi Hartanto (221411057)

PROGRAM PASCASARJANA STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA 1443 H/2021 M

1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Maha bijaksana. Yang telah memberikan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tarjamah Al-Qur’an” ini dengan sebaik – baiknya.

Shalawat dan salam-Nya semoga tetap tersampaikan kepada baginda alam, Nabi Muhammad Saw,
kepada keluarganya, sahabatnya serta kepada kita semua selaku umatnya. Penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendoakan, sehingga makalah ini bisa
terselesaikan.

Harapannya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya, khususnya pembaca yang akan
menjadi generasi di masa yang akan datang. Penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini
masih banyak kekurangan, untuk itu kritikan dan saran sangat kami harapkan untuk menjadikan
pembelajaran dari sebuah kesalahan.

Jakarta, 05 Desember 2021

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................................4

B. Rumusan Masalah....................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................

A. Pengertian Tarjamah ..............................................................................................5

B. Macam – macam Tarjamah.....................................................................................7

C. Hukum Tarjamah......................................................................................................8

D. Bacaan sholat selain Bahasa arab…………………………………………………………………………9

BAB III PENUTUP...........................................................................................................

A. Kesimpulan ..............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................13

3
Latar Belakang

Al Qur’an yang ditururunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat JIbril merupakan
surat dari Allah kepada seluruh manusia. Pesan AlQur’an tidak terbatas pada pewarnaan kehidupan
orang-orang tertentu, untuk lingkungan serta kurun waktu tertentu, akan tetapi diperuntukkan
kepada seluruh umat manusia. Al Qur’an juga perlu diterjemahkan dalam berbagai bahasa agar
mudah dimengerti kaum muslimin. Setiap kaum muslimin mengetahui sejarah pembukuan
Al Qur’an, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menyikapi sebuah ayat dari Al Qur’an. Hal ini
yang menjadi tujuan dari tulisan tentang terjemah Al Qur'an ini. Al Qur'an Al Karim adalah
wahyu illahi yang diturunkan kepada penutup para nabi, Muhammad bin Abdullah SAW baik
secara lafadz, maupun gaya bahasa yang ditulis dalam berbagai mushaf (kitab/buku lengkapnya),
dan diriwayatkan darinya secara Mutawatir.

Al Qur'an merupakan sandaran Islam yang senantiasa dinamis dan mukjizat abadi, yang
mampu mengalihkan dan senantiasa dapat mengalahkan kekuatan manusia manapun, sepanjang
sejarah kehidupan umat manusia ini merupakan aturan Islam yang mencakup dengan fitrah
manusia dan bersumber dari kedalaman hati nurani manusia.

Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Pengertian terjemahan Al Qur'an secara umum dan secara khusus

2. Macam-macam penerjemahan Al Qur'an dan pengertian masing-masing

3. Hukum Tarjamah

4. Bacaan shalat selain Bahasa arab

4
Bab II

PEMBAHASAN

Pengertian Tarjamah

Secara bahasa terjemahan bermakna penjelasan atau keterangan secara istilah terjemahan
bermakna mengungkapkan perkataan atau kalimat dengan menggunakan bahasa lain.
Menerjemahkan Al Qur'an adalah mengungkapkan makna Al Qur'an dengan menggunakan bahasa
lain.

a. Terjemahan harfiah (khusus) yaitu terjemahan dengan kata perkata

b. Terjemahan maknawiyah atau tafsiriyah atau umum, yaitu mengungkapkan makna


perkataan atau kalimat dengan menggunakan bahasa lain tanpa terikat mufrodat (kosakata)
dan tartib (susunan kata). Sebagai contoh, firman Allah:

َ ‫اِنَّا ٓ اَ ْنزَ ْل ٰنهُ قُ ْر ٰانًا‬


َ‫ع َر ِبيًّا لَّ َعلَّ ُك ْم تَ ْع ِقلُ ْون‬
Sesungguhnya kami menjadikan Al Qur'an dalam Bahasa Arab, supaya kamu memahamin (Nya).

(QS : Yusuf ayat 2)

Maka terjemahan harfiyah adalah dengan cara menerjemah kata perkata

Adapun terjemah maknawiyahnya yaitu dengan menerjemahkan makna ayat secara keseluruhan
tanpa memperhatikan makna kata perkata dan tartib(urutan) nya. Penerjemahan semacam
ini lebih dekat kepada makna tafsir ijmah (umum), menurut jumhur ulama terjemahan Al Qur'an
secara harfiah(khusus) adalah hal mustahil, karena dalam metode menerjemahkan semacam ini
ada beberapa syarat yang tidak bisa terpenuhi, diantaranya:

1. Harus ada kesesuaian antara kosakata bahasa asli dengan Bahasa terjemahan
2. Harus ada kesesuaian antara perangkat makna antara bahasa terjemah
3. Adanya kesamaan antara bahasa asli dengan bahasa terjemahan dalam hal susunan kata
dan kalimat, sifat dan kalimat.

5
Menurut sebagian ulama terjemahan harfiah (khusus) ini dapat diterapkan pada
sebagian ayat atau semisalnya. Akan tetap diharamkan, karena terjemah harfiah itu tidak
mungkin dapat mengungkapkan makna secara sempurna dan tidak bisa mempengaruhi jiwa
seperti, pengaruh Al Qur'an yang berbahasa Arab dan tidak ada hal yang mendesak untuk
menggunakan terjemah secara harfiah, karena sudah cukup dengan terjemah secara
maknawiyah (umum).

Berdasarkan uraian diatas, meskipun dirasa memungkinkan menggunakan terjemah


harfiah pada sebagian kata, namun hal itu tetap juga terlarang secara syar’i, kecuali untuk
menerjemahkan suatu kata yang khusus dengan bahasa orang yang diajak bicara supaya dia
memahaminya, tanpa menerjemahkan seluruh susunannya, maka hal ini diperbolehkan. Adapun
menerjemahkan Al Qur'an secara maknawiyah. Maka hal itu diperbolehkan karena tidak
ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal tersebut. Terkadang hal itu justru menjadi wajib ketika
menjadi washilah (perantara) untuk menyampaikan Al Qur'an dan Islam kepada orang-orang
yang tidak bisa berbahasa Arab. Karena menyampaikan hal itu adalah wajib. Segala sesuatu yang
tidak akan menjadi sempurna kecuali dengannya,maka ia menjadi wajib hukumnya. Terjemahan
Al Qur'an secara maknawiyah (umum) diperbolehkan dengan syarat berikut:

Tidak menjadikan terjemahan maknawiyah tersebut sebagai pengganti dari Al Qur'an, sehingga
merasa cukup dengan terjemah maknawiyah saja serta tidak butuh lagi kepada Al Qur'an.

Tujuan Penerjemahan Al Qur'an

1. Untuk mengetahui makna dan isi kandungan dalam Al Qur'an


2. Bisa membantu menghafalkan Al Qur'an (diakui oleh penghafal Al Qur'an)dengan
memahami arti ayat yang akan dihafalkan
3. Mempelajari bahasa Arab terutama dalam menambah kosa kata yangbersumber
dari Al Qur'an.
4. Membantu dalam menyampaikan ceramah (pengajian) kultum.
5. Terjemahan tidak boleh dijadikan sebagai pengganti Al Qur'an.

6
Macam-Macam Terjemahan Al Qur'an dan Pengertian Masing-Masing

1.Terjemah Harfiyah (‫(حرفية‬: Memindah perkataan atau ungkapan dari satubahasa ke bahasa yang
lain,dengan menjaga tatanan dan susunan kosa kata Al-Quran.Terjemah Harfiyah memiliki dua
bagian:

a) Terjemah Harfiyahbil-misli(‫)حرفية بالمثل‬: Menerjemah susunan Al-Quran dengan bahasa


lain, susunan dan kosa katanya menempati pada susunan dan kosa kata Al-Quran. Dan terjemahan
tersebut masih menyimpan nilai-nilai yang dimiliki Al-Quran.

terjemahan model seperti ini mustahil untuk dilakukan karena tidak mungkin aturan bahasa yang
lain mengikuti aturan bahasa Al-Quran yang cukup rumit,dan perlu diketahui bahwa setiap bahasa
memiliki spesifikasi, dan aturan main masing-masing. Kalau memang hal tersebut terjadi
(terjemah Harfiyah bil-misli), maka terjemahan Harfiyan bil-misli secara primer adalah Al-Quran,
hanya saja konteks tulisannya berbeda (antara Al-Quran dan bahasa yang dibuat terjemahan).
Dalam terjemahan ini tidak terdapat penjelasan dan keterangan tambahan, di sini hanya terjadi
pemindahan dari satu bahasa kebahasa lain.

b) Terjemah Harfiah bi ghairi-misli(‫ )حرفية بغيرالمثل‬: Menerjemah susunan Al-Quran dengan


bahasa lain, dengan meninjau kemampuan penerjemah dan keluasan bahasa yang dimiliki
penerjemah. Terjemahan model seperti ini mungkin-mungkin saja secara adat, dan hukumnya
boleh, bila obyek sasarannya adalah perkataan manusia, dan tidak boleh, apabila sasaran
obyeknya adalah Kitabullah Al-Qur’an al-Karim, karena akan merusak dan menggeser makna
dari yang seharusnya

c) Terjemah Tafsiriyah (‫)تفسرية‬: Terjemahan yang dilakukan penerjemah (mutarjim)


dengan lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terdapat dalam bahasa asal di
terjemahkan. Terjemahan ini tidak terikat dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang
diterjemahkan atau biasa disebut dengan penerjemahan bebas

Cara praktek terjemahan semacam ini, dengan cara memahami Makna yang dikehendaki dari
naskah aslinya, kemudian kita mengungkapkan pemahamantersebut dengan gaya bahasa terjemah
yang kita pakai, sesuai dengan tujuan dari makna tersebut. Perbedaan Harfiyah dan Tafsiriyah

ُ ‫ط َها ُك َّل ْالبَسْطِ فَت َ ْقعُدَ َملُ ْو ًما َّم ْح‬


Contoh ayat : (QS:Al-Isra’[17]:29) ‫س ْو ًرا‬ ْ ‫س‬ ُ ‫َو ََل ت َ ْجعَ ْل يَدَكَ َم ْغلُ ْولَةً ا ِٰلى‬
ُ ‫عنُقِكَ َو ََل ت َ ْب‬

7
Jika diterjemahkan dengan terjemahan Harfiyah adalah : “larangan menjadikan tangan terikat
pada leher dan larangan mengenaimelebarkan tangan selebar-lebarnya”. Hal tersebut
menyimpang dari maknaAl-Qur’an.

Jika diterjemahkan dengan terjemahan Tafsiriyah adalah : “janganlah engkau menahan untuk
bersodakoh (kikir), dan jangan pula terlalupemurah (royal)” .6Perbedaan sangat kelihatan antara
terjemahan Harfiyah yang mustahil dan terjemahan Tafsiriyah yang Ulama sepakat akan
kebolehannya

Hukum terjemahan Harfiyah

Jadi mengenai hukum pembuatan terjemah Harfiyah, baik bil-misli atau ghairi-misli. Ulama
sepakat akan keharamannya. Sebab di sana terdapat penyelewengan tujuan diturunkannya
Al-Quran yang primer. Yakni:

1) Menunjukkan atas kebenaran Nabi SAW, terhadap apa yang disampaikan Allah pada Nabi

2) Dan sebagai petunjuk bagi umat manusia, pada apa yang dilakukan mereka baik di dunia
maupun di akhirat. Bila terjemah Harfiyah dilakukan maka kedua fungsi tersebut akan lenyap.
Menurut jumhur ulama terjemah al-qur’an secara harfiyah adalah hal yang mustahil, karena dalam
metode menerjemahkan semacam ini ada beberapa syarat yang tidak bisa terpenuhi, diantaranya;

- Harus ada kesesuaian antara kosa kata bahasa asli dengan Bahasa terjemahan

- Harus ada kesesuaian antar perangkat-perangkat makna antara bahasa asli dengan bahasa
terjemah.

- Adanya kesamaan antara bahasa asli dengan bahasa terjemahan dalam hal susunan kata dan
kalimat, sifat dan idhofah (penyandaran).

Karena terjemah harfiah itu tidak mungkin dapat mengungkapkan makna secara sempurna dan
tidak bisa memberi pengaruh kepada jiwa seperti pengaruh Al-Qur’an yang berbahasa arab, dan
tidak ada yang mendesak untuk menggunakan terjemah secara harfiah, karena sudah cukup
dengan terjemah secara maknawiyah.

8
Hukum terjemah Tafsiriyah

Adapun menerjemahkan al-qur’an secara tafsiriah, maka hal itu diperbolehkan, karena
tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal tersebut. Dan terkadang hal itu justru menjadi
wajib ketika menjadi washilah(perantara) untuk menyampaikan al-qur’an dan islam kepada
orang-orang yang tidak bisa berbahasa arab, karena menyampaikan hal itu adalah wajib,“segala
sesuatu yang tidak akan menjadi sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib hukumnya”.

Akan tetapi diperbolehkannya terjemah al-qur’an secara Tafsiriyah dengan beberapa syarat
berikut :

a) Tidak menjadikan terjemahan Tafsiriyah tersebut sebagai pengganti dari al-qur’an. Oleh
karena itu mesti menuliskan al-qur’an dengan bahasa arab,kemudian meletakkan terjemahan
tersebut di sampingnya, sehinggakedudukannya seperti tafsir bagi ayat al-qur’an.

b) Orang yang menerjemahkan harus benar-benar menguasai kedua bahasatersebut dan


mengetahui makna-makna lafadz syar’i dalam al-qur.an

c) Dan tidaklah diterima terjemah al-qur’an, kecuali dari orang-orang yang dapat dipercaya
untuk melakukannya, yaitu seorang muslim yang istiqomah didalam agamanya.

Bacaan sholat selain Bahasa arab

Pendirian para ulama dalam hal pembacaan al-Qur’an dalam shalat dengan selain bahasa Arab,
terbagi atas dua madzab:
1. Boleh secara mutlak, atau di saat tidak sanggup mengucapkan dengan bahasa Arab.
2. Haram, dan shalat dengan bacaan seperti ini tidak sah.

Pendapat pertama adalah pendapat ulama madzab Hanafi. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa
ia berpendapat, boleh dan sah membaca al-Qur’an dalam shalat dengan bahasa Persia. Dan atas
dasar ini, sebagian shahabat [murid]nya memperbolehkan pula membacanya dalam bahasa Turki,
India dan bahasa-bahasa lainnya. Nampaknya mereka dalam hal ini memandang al-Qur’an
adalah nama bagi makna-makna [substansi, hakekat] yang ditunjukkan oleh lafadz-lafadz Arab.
Sedangkan makna-makna itu tidaklah berbeda-beda karena perbedaan lafadz dan bahasa.

9
Dua orang murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Husain, membatasi hal tersebut
dengan “dalam keadaan darurat”. Mereka membolehkan bagi yang tidak mampu mengucapkan
bahasa Arab, membaca al-Qur’an dalam shalat dengan bahasa asing, tetapi tidak bagi yang tidak
sanggup membacanya dengan bahasa Arab. Dalam Mi’rajud Diraayah dikemukakan, kami
memperbolehkan membaca terjemah al-Qur’an [dalam shalat] bagi yang tidak mampu jika hal itu
tidak termasuk makna, sebab terjemahan tersebut adalah al-Qur’an juga dilihat dari segi
cakupannya terhadap makna. Oleh karena itu makna membacanya lebih baik daripada
meninggalkannya sama sekali karena pembebanan [taklif] itu sesuai dengan kemampuan.

Diriwayatkan, Abu Hanifah telah mencabut kembali “kebolehan secara mutlak” yang dinukil dari
beliau tersebut.

Pendapat kedua adalah pendapat jumhur. Ulama madzab Hanafi, Syafi’i dan Hambali tidak
membolehkan bacaaan terjemahan al-Qur’an dalam shalat, baik yang mampu membaca bahasa
Arab maupun tidak, sebab terjemahan al-Qur’an bukanlah al-Qur’an. Al-Qur’an adalah susunan
perkataan mukjizat, yaitu kalamullah yang menurut-Nya sendiri, ber-“bahasa Arab.” Dan dengan
menerjemahkannya hilanglah kemukjizatannya dan terjemahannya bukanlah kalamullah.

Berkata Qadi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi, salah seorang fuqaha Maliki, ketika menafsirkan firman
Allah :

‫ي‬
ٌّ ‫ع َر ِب‬ ٌّ ‫ت ٰا ٰيتُهٗ ۗ َءاَ ْع َج ِم‬
َ ‫ي َّو‬ ِ ُ‫َولَ ْو َج َع ْل ٰنهُ قُ ْر ٰانًا اَ ْع َج ِميًّا لَّقَالُ ْوا لَ ْو ََل ف‬
ْ َ‫صل‬
“Dan jikalau Kami jadikan al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab, tentulah
mereka mengatakan: ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah [patut al-Qur’an itu]
dalam bahasa asing sedang [Rasul adalah orang] Arab?” (QS : Fushshillat 44)

“Para ulama kita mengatakan, ayat ini membatalkan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan
bahwa menerjemahkan al-Qur’an dengan menggantikan bahasa Arabnya dengan bahasa Persia itu
boleh. Sebab, Allah telah berfirman dalam surah Fushshilat ayat 44. Dalam ayat ini Allah
menafikan jalan bagi bahasa asing untuk masuk ke dalam al-Qur’an. Tetapi mengapakah Abu
Hanifah malah membawanya kepada apa yang dinafikan Allah tersebut?”

10
Lebih lanjut Ibnul ‘Arabi mengatakan: “Bayan dan kemukjizatan hanya bisa direalisasikan dengan
bahasa Arab. Karena itu seandainya al-Qur’an diganti dengan bahasa selain Arab tentulah
penggantiannya itu tidak dinamakan al-Qur’an dan Bayan, juga tidak menimbulkan
kemukjizatan.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar, salah seorang fuqaha Syafi’i, dalam Fathul Baari berkata: “Jika seseorang
sanggup membacanya dalam bahasa Arab, maka ia tidak boleh beralih darinya, dan shalatnya tidak
sah, dengan membaca terjemahan tersebut, walaupun ia tidak sanggup membacanya dengan
bahasa Arab.” Kemudian ia menyebutkan, Syari’ [Allah, Rasul] telah membuat bagi mereka yang
tidak sanggup membaca dengan bahasa Arab, penggantinya, yaitu dzikir.

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, salah seorang fuqaha Hambali, sekalipun ia mempunyai
ijtihad-ijtihad sendiri: “Adapun mendatangkan lafadz untuk menjelaskan makna seperti penjelasan
lafadz-lafadz al-Qur’an maka hal ini tidak mungkin sama sekali. Oleh karen itu para pemimpin
agama berpendapat, tidak boleh membaca al-Qur’an dengan selain bahasa Arab, baik bagi mereka
yang mampu membaca dengan bahasa Arab maupun bagi yang tidak mampu, sebab yang demikian
akan mengeluarkan al-Qur’an dari statusnya sebagai al-Qur’an yang diturunkan Allah.”
(Balaaghatul Qur’an, hal 15)

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidaa’ush Shiraatil Mustaqiim, ketika membicarakan perbedaan
pendapat para fuqaha tentang bacaan-bacaan shalat, bolehlah diucapkan dalam bahasa selain Arab,
berkata: “Adapun al-Qur’an tidak boleh dibaca dengan selain bahasa Arab, baik bagi orang yang
mampu maupun bagi orang yang tidak mampu, menurut jumhur. Inilah pendapat yang benar dan
tidak mengandung keraguan. Bahkan tidak hanya seorang yang berpendapat, tidak boleh
menerjemahkan suatu surah atau bagian-bagian al-Qur’an yang dapat mewujudkan kemukjizatan.”
Ibn Taimiyah menentukan satu surah atau bagian-bagian yang dapat mewujudkan kemukjizatan
itu sebagai isyarat terhadap tantangan al-Qur’an yang paling sedikit.

Agama mewajibkan kepada para pemeluknya agar mempelajari bahasa Arab, karena bahasa ini
adalah bahasa al-Qur’an dan kunci untuk memahaminya. Dan berkata juga Ibnu Taimiyah dalam
al-iqtida’, “Juga, karena bahasa Arab itu sendiri termasuk agama. Dan mengetahuinya adalah
wajib, karena memahami kitab dan sunnah adalah wajib.

11
Keduanya tidak dapat dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Sesuatu, yang kewajiban
tidak dapat dijalankan secara sempurna kecuali dengannya, maka ia adalah wajib.”

Adapun pendapat ulama madzab Hanafi mengenai kebolehan shalat dengan terjemahan al-Qur’an,
maka mereka yang membolehkan memandang kebolehan ini hanya sebagai rukshah [dispensasi]
bagi orang yang tidak mampu. Namun mereka tetap sependapat bahwa terjemahan al-Qur’an
tidaklah dinamakan al-Qur’an.

Kesimpulan

Berdasarkan kesimpulan diatas dapat disimpulkan bahwa pembukuan AlQur'an Al Karim adalah
menjadi keinginan bagi tiap-tiap muslim untuk membaca dan memahami Al Qur'an dalam
bahasanya yang asli, ialah bahasa Arab, tetapi karena tiap orang itu tidak mempunyai kemampuan
atau kesempatan yang sama, maka Al Qur'an diterjemahkan dalam bahasa (barat dan timur).
Terjemahan Al Qur'an terdiri 2 macam yaitu terjemahan harfiah (khusus)dan terjemahan
maknawiyah atau tafsiriyah atau umum. Tujuan dari penerjemahan Al Qur'an yaitu untuk
mengetahui makna dan isi kandungan Al Qur'an. Bisa membantu menghafal Al Qur'an,
mempelajari bahasa Arab, membantu dalam menyampaikan ceramah dan terjemahan tidak boleh
dijadikan sebagai pengganti Al Qur'an.

12
Daftar Pustaka

Anwar, Rosihon.2008.Ulumul Qur’an ,Bandung:Pustaka Setia.

Departemen Agama RI.1992. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang:TanjungMas )

IntiGuesdur,Desakralasi dalam Terjemahan Al-Qur’an,

Dalam http://guesdur.wordpress.com/2012/05/04/desakralisasi-dalam-terjemahan-al-quran/

Jabbar, Abdul. 1995. Sejarah dan Pengembangan Islam. Surabaya: CV. AnikaBahagia Offset

Syaikh, Muhammad. 1432. Kitab Ushul Fi. Mekah: Ibnu Jarzy

Sholih al-utsaimin,Muhammad bin.1432. ushul fi tafsir Daru ibnu jauzy.

Reynazarnazwar.blogspot.com

13

Anda mungkin juga menyukai