Tugas Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Studi Ulum Al-Qur`an
Oleh:
Kelas 1B IAT
Kelompok 11
Dosen Pengampu:
Dr. H. Ahmad Syukran MA
ْ ﱠ ّ
ﻦ اﻟﱠﺮِﺣْﻴِﻢ-,ِﻢ اﷲ اﻟﱠﺮ#ْ!ِ
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Makalah ini akan membahas tentang hubungan (munâsabah) antara satu ayat/ surat
dengan ayat/surat yang lain. lmu ini lahir dari anggapan bahwa urutan ayat-ayat dan surat
surat itu tauqifi. Dari anggapan seperti ini, para ulama bertanya tanya mengapa ayat ini
jatuh setelah ayat itu, adakah hikmah di balik semua itu. Perta-nyaan-per tanyaan ini yang
menyebabkan lahirnya pengetahuan tentang Munasabah Al-Qur`an. Untuk mengenalnya
lebih jauh, makalah ini akan menjelaskan tentang, pengertian- munâsabah, pandangan para
ulama, sejarah munâsabah, pandangan tokoh ulama tentang munâsabah, metode menggali
munâsabah, macam-macam munasabah, bentuk bentuk munâsabah dan urgensi
munâsabah. Sebagaimana penulis ringkas dalam 3 rumusana masalah sebagaimana berikut
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Munâsabah Al-Qur`an?
2. Ada berapa Macam -Macam Munâsabah dalam Al-Qur`an?
3. Apa Urgensi Munâsabah dalam Al-Qur`an?
C. Tujuan Masalah
1. Mendeskripsikan Pengertian Munâsabah Al-Qur`an
2. Mendeskripsiian Macam -Macam Munâsabah dalam Al-Qur`an
3. Mendeskripsikan Urgensi Munâsabah dalam Al-Qur`an
2
BAB II
PEMBAHASAN
dengan kata al-muqarabah ( )اﳌﻘﺎ رﺑﺔdan al-musyakalah ()اﳌﺸﺎ ﳇﺔ, yang masing-masing
berarti berdekatan dan persamaan.1 Kata qaraba sendiri berarti dekat. orang yang berasal
dari nasab yang sama disebut qarabah (kerabat) karena kedekatannya. Dari kata nasab
itulah dibentuk menjadi al munasabah ( ﺒﺔ% )اﳌﻨﺎﺳdalam arti muqarabah ()اﳌﻘﺎرﺑﺔ, kedekatan
satu sama lain.
Adapun yang dimaksud munâsabah dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Qur`an sesuai
dengan pengertian harfiahnya di atas ialah: segi-segi hubungan atau persesuaian Al-Qur`an
antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuknya. Yang dimaksud dengan segi
hubungan dan persesuaian adalah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna
yang mempertalikan satu bagian dengan bagian lain. Sedangkan yang dimaksud bagian
dengan bagian lain adalah semisal antara kata/kalimat, antar ayat dengan ayat, antar awal
surat dengan akhir surat, antar surat denhgan surat lain, dan begitulah seterusnya hingga
tergambar bahwa Al-Qur`an itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.2
Sedangkan secara terminologi (istilah), munâsabah dapat didefinisikan sebagai berikut:
• Menurut az-Zarkasyi (w. 794 H)3:
َ َ ُ َ َ َ ُ َ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ َ َ َ ُ َ َ ٌ َ ْ ُ ْ ٌ َ ُ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َﱠ
ﻓﻮا ِﺗ ِﺢRQِ ﻚ اﻟ َﻤﻨﺎﺳﺒﺔOِ اﻟﻌﻘﻮ ِل ﺗﻠﻘﺘﻪ ِﺑﺎﻟﻘﺒﻮ ِل وﻛﺬFED اﻟﻤﻨﺎ ﺳﺒﺔ أﻣﺮ ﻣﻌﻘﻮل ِإذاﻋ ِﺮض
ٌfeّ ص ﺣ ٌ َ ْ ٌ َ َ ُ َ َْ ََ َ َ ً ْ َ َ َ ي َو َﺧ َﻮاﺗ َﻤ َﻬﺎ َو َﻣ ْﺮﺟﻌVUا
ِ ِ ﺎc ﺎم أ وD ﻨ ﻬ ﻤ ﺎaﻂ ﺑ
َ ﺑ ا ر ﺎ ﻣ ^ ] ﻌ ﻣ \ [ إَِ - ﻢ ﻠ D أ ﷲ ا و - ﺎ ﻬ ِ َِ ِ َ
َ َ ﱠ ْ ّ ُ َﱠ َ َ َ َْ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ْ َِ ْ َ
ﻟﺴ{ ِﺐyx ^]ِ ﻫvِ uز ِم اonsrﻗﺎ ِت َأ ِو اonﻚ ِﻣﻦ أﻧﻮا ِع اﻟﻌOِ ذkji أوR[ِ أو ﺧﻴﺎhEِ أو ﻋﻘ ٌ
َ ُ ﱠ َ ُ َﱠ ْ َ ّﱠ َ ﱠ ُ ْ ْ ﱠ ّ
ﻟﻤ َﺮﺗ ِﺐyx Rˆِ ز ِم ا†‡ﺎ ِرonsr„ ِﻮ ِه أ ِو اƒَواﻟ ُﻤ َﺴ ِ{ ِﺐ َواﻟ ِﻌ} ِ~ َواﻟ َﻤﻌﻠ ْﻮ ِل َواﻟﻨﻈ َﺮ ْﻳ ِﻦ َواﻟ ِﻀﺪ ْﻳ ِﻦ َو
ََ ُ ْ َ َ
kِ Œ‡† َﺑﺎ ِب اRQِ ِﺐ اﻟ ُﻮﺟﻮ ِد اﻟ َﻮا ِﻗ ُﻊa ﺗ ْﺮ ِﺗFَ ED
1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur`an, (Depok: Raja Grafindo, 2014), Cet. ke- 2, h. 236- 237
2
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur`an, (Depok:Raja Grafindo, 2014), Cet ke- 2, h. 237
3
Badr, Al-Imam Badr ad-Din Muhammad Ibn Abdillah Az Zarkasyi, Tahqiq Abul Fadhl ad-Dimyathi, al
Burhan fi `Ulumil Qur`an, Kairo: Dar `al-Hadits, 2006, h. 36
3
“Munâsabah adalah suatu perkara yang dapat dipahami oleh akal. Tatkala
dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya. Dan demikianlah
juga munasabah dalam pembukaan ayat-ayat serta penutupnya dan tempat
kembalinya -wallahu’alam- kepada makna yang mengikat antara keduanya
baik Am atau Khash, sesuatu yang indrawi atau aqli (rasional), ataukah
imajinatif, atau bisa berbagai macam hubungan yang lainnya atau talazum
dzihni seperti sebab dan penyebabnya, illat (alasan) dan ma’lulnya (hal yang
dibuat alasannya), juga dua pandangan atau persepektip yang bersamaan,
atau dua yang bertolak belakang, dan semisalnya, atau talazum khariji
(eksternal) seperti urutan-urutan dalam penyusunan surat yang berkenaan
dengan wahyu ”
Oleh sebab itu menurut Imam az-Zarkasyi, al-munâsabah adalah hal logis yang masuk
akal dan bisa diterima. Mencari kedekatan antara dua hal adalah mencari hubungan atau
kaitan antara keduanya seperti hubungan sebab akibat, persamaan, perbedaannya, dan
hubungan-hubungan lainnya yang bisa ditemukan antara dua hal.4
4
Al-Imam Badr ad-Din Muhammad Ibn Abdillah Az Zarkasyi, al Burhan fi `Ulumil Qur`an, (Riyadh: Dar
`Alam al-Kutub, 2003), Vol. 1, Juz 1, h.35. menurut as-Syuyuthi di samping berarti al-muqorabah, al-munasabah
juga berarti al-musyakalah (keserupaan). Lihat al-Hafidz Jalal ad-Din Abd ar-Rahman as-Suyuthi, al-Itqan fi `ulum
Al-Qur`an (Beirut: Al-Maktabah al-`Ashiriyah, 2003), juz 3, h.323
5
Al-Qathan, Manna Khalil, Mabahits fii Ulumul Quran, (Kairo: Maktabah Wahbah) hal: 92
6
Rahmat Shalihin, “Munasabah Al-Quran: Studi Menemukan Tema Yang Saling Berkorelasi Dalam Konteks
Pendidikan Islam”, dalam Journal of Islamic and Law StudiesVolome 2, Nomor 1, Juni 2018, h. 4-6
4
Jadi, dalam kontaks `Ulum Al-Qur`an, munasâbah berarti menjelaskan
korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau
khusus; rasional (`aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi
berupa sebab-akibat, `illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.7
7
Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur`an, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), h. 83.
5
dinyatakan adh-Dhahabi, besarnya perhatian an-Naisaburi terhadap munâsabah nampak
dari ungkapan As-Syuyuti (w. 911 H) yaitu8;
“Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk di atas kursi apabila dibacakan Al-Qur`an
kepadanya, beliau berkata: Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini, dan apa
rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini? Beliau mengkritik para ulama
Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui”.
Tindakan an-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu
itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuaian, baik antar ayat
maupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya. Satu hal yang jelas, beliau
dipandang sebagai bapak Ilmu Munasabah. Dalam perkembangannya, Ilmu Munasabah
meningkat menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu Al-Qur`an. Ulama-ulama yang datang
kemudian menyusun pembahasan ilmu munasabah secara khusus.9
Pengetahuan tentang munasâbah ini sangat bemanfaat dalam memahami keserasian
antar makna, mukjizat Al-Qur`an secara retorik, kejelasan keterangannya, keteraturan
susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan firman
Allah:
ْ َ ْ َ ْ ُ ٰ ٰ ٌ ُ ْ َ ْ ٰ ٰ ُ ٗ ُﱠ ُ ّ َ ْ ْ ﱠ
« - ۙkٍ jن ” ِﻜﻴ ٍﻢ ﺧ ِﺒ¥u ﺐ ا” ِﻜﻤﺖ اﻳﺘﻪ ﺛﻢ ﻓ ِﺼﻠﺖ ِﻣﻦžاﻟۤﺮۗ ِﻛ
“Alif Lam Ra. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian
dijelaskan secara terperinci, (yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang
Mahabijaksana, Mahateliti,” (QS. Hûd [11]:1). 10
8
As-Suyuthi, al-Hafidz Jalal ad-Din Abd ar-Rahman as-Suyuthi, al-Itqan fi `ulum Al-Qur`an (KSA: Majma
Malik Fahd,), hal. 1837-1838
9
Ulumul Qur`an, http://jakhinjj.blogspot.com/2016/04/makalah-ilmu-munasabah.html, diakses 24-11-21,
pkl 14.30.
10
Ulumul Qur`an, http://jakhinjj.blogspot.com/2016/04/makalah-ilmu-munasabah.html, diakses 24-11-21,
pkl 14.30.
6
“mengapa ayat ini ditempatkan atau dibuat dengan ayat itu”? dan “apa hikmahnya
meletakkan surat ini dengan surat itu”?11
• Tokoh lain yang berjasa adalah ar-Razi Al-Imam Fahruddin (w. 606 H), pengarang
kitab Mafatihul Ghaib fi-Tafsiril Qur`an (Kunci-kunci kagaiban dalam menafsirkan
Al-Qur`an)
• Al Qadhi Abu Bakr Ibn al-`Arabi (w. 543 H) yang antara lain menulis kitab Sirajul-
Muridin wa-Sirajul-Muhtadin (Lentera orang-orang yang meraih petunjuk)
• Sebagian ulama ada yang menysun kitab secara khusus tentang ilmu munasabah. Yaitu
al Allamah Abu Ja`far bin Zubair (w. 807 H) dengan karyanya “al Burhan fi-
Munasabati Tartibi Suwaril Qur`an”. (Bukti tentang korelasi tertib surat-surat Al-
Qur`an)
• Syekh Burhanuddin al-Biqa`I (w 885 H) dalam karyanya yang berjudul “Nazmud
Durâr fî-Tunasubil ay was suwâr”, dan juga kitab Asrarut Tanzil, memuat semua
semua kitab tersebut dan juga mengumpulkan persesuaian antar setiap ayat dan surat
yang disertai oleh kandungan penjelasantentang sisi kemukjizatan dan ushlub
balaghah, dan kini terkenal dengan kitab “tanasuqud durâr fî tanasubis suwar” 12.
Ulama berbeda pendapat menyangkut ada atau tidaknya hubungan (munâsabah) ada
yang menolak dan ada yang menerima. Yang menolak dengan alasan, bahwa ayat Al-
Qur`an turun dalam masa yang berbeda-beda dan tidak mungkin ada kaitan antara uraian
masa lalu dan masa kemudian. Sedangkan para ulama pendukung munâsabah menyatakan
bahwa tidak semua ayat atau bagiannya harus dicarikan munâsabah-nya. Ayat yang disusul
pengecualiannya tidak perlu dicarikan munasabahnya, seperti pada ayat 3 surah Al-`Ashr
(103) dengan ayat kedua.13
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihad.
Artinya, pengetahuan tentang ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan
riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabat. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari
munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur
mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, terkadang seorang
mufasir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak.
11
Endad Musaddad, “Munâsabah dalam Al-Qur`an”, dalam Jurnal al-Qalam, Vol. 22 No. 3 September-
Desember, 2005, h. 414
12
Imam Jalaluddin Asy Suyuthi, Samudera Ulumul Qu`ran, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2008), Vol, 3.
Cet-1, h.527
13
M. Qurais Shihab, Kidah Tafsir, (Ciputata: Lentera Hati, 2019), Cet- IV, h. 210-211
7
Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri. Dalam
hal ini,
Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abd as-Salam (w. 660 H) berkata “Munâsabah adalah sebuah
ilmu yang baik, tetapi dalam menetapkan keterkaitan antar kata secara baik itu
disyaratkan hanya dalam hal yang bagian awal dengan bagian akhirnya memang
bersatu dan terkoneksi. Sedangkan, apabila terjadi pada berbagai sebab yang
berbeda, keterkaitan salah satunya dengan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang
mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Kalaupun
itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan korelasi yang lemah. Itu semua mengingat
Al-Qur`an diturunkan dalam waktu lebih dari dua puluh tahun, mengenai berbagai
hukum dan dengan beragam sebab. Oleh karenanya, tidak mudah
menginterkoneksikan antara yang satu dengan lain”
Mengetahui munâsabah atau pertautan antara beberapa ayat dalam Al-Qur`an bukanlah
merupakan hal-hal yang ditetapkan oleh Al-Qur`an itu sendiri atau Al-Hadits, melainkan
sepenuhnya bertitik tolak dari ijtihad dan kepandaian serta kejelian si mufassir dalam
menerangkan i’jaz-i’jaz dan rahasia-rahasia Al-Qur`an. Oleh karena itu, sangat sulit untuk
menentukan criteria yang dapat dijadikan pedoman tatkala menentukan kriteria umum
yang dapat dijadikan rujukan. Umpamanya, jika munâsabah itu seiring dengan konteks
redaksi ayat serta tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah linguistic Arab, munâsabah
itu dapat diterima.14 Ilmu munâsabah tidaklah perlu dipaksakan penggunaannya, orang
yang tetap melakukan pendekatan demikian maka berarti dia memaksakan hal-hal yang
diluar kemampuannya.15
14
Rahmat Shalihin, “Munâsabah Al-Qur`an: Studi Menemukan Tema Yang Saling Berkorelasi Dalam
Konteks Pendidikan Islam”, dalam Journal of Islamic and Law StudiesVolome 2, Nomor 1, Juni 2018, h. 6-8
15
Muhammad Amin Suma, “Ulumul Qur`an”, (Depok:Raja Grafindo, 2014), Cet ke- 2, h. 254
16
Tauqifi adalah penyusunan Al-Qur`an yang hanya berasal dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah saw
serta tidak ada campur tangan para sahabat
8
Segi lain yang perlu diperhatikan adalah Langkah-langkah berguna untuk mengetahui
munâsabah surat/ ayat Al-Qur`an. langkah-langkah ini menurut asy-Syuyuti (w. 911 H)
telah digunakan oleh sebagian ulama mutaakhirin yang meliputi:
a. Hendaknya memperhatikan tujuan yang dibahas oleh surat
b. Hendaknya memperhatikan inti uraian dari surat-surat sesuai dengan tujuan yang
dibahas dalam surat
c. Memperhatikan tingkat uraian dengan mencari apakah ada hubungan atau tidak
d. Ketika menarik konklusi perlu diperhatikan ungkapan yang terkesan berlebihan.
Keempat Langkah ini merupakan cara terbaik untuk menetapkan /mencari adanya
hubungan (munâsabah) ayat/surat dalam Al-Qur`an.17
Ketika prinsip-prinsip di atas diterapkan terhadap surah itu anda lihat bahwa
surah tersebut memenuhi semua prinsip tersebut, berdasarkan bahwa persoalan-
persoalan yang dibicarakan surah itu adalah:
a) Permintaan agar Al-Qur’an diimani (ayat 1)
b) Pengingkaran orang-orang musyrik terhadap Nabi Muhammad SAW., karena
beliau hanya manusia biasa (ayat 2)
17
Fauzul Iman, “Munâsabah Al-Qur`an”, dalam Jurnal al-Qalam, No. 63 /XII/1997, h. 54
9
c) Ketidakpercayaan para penolak kebangkitan (ayat 3)
d) Jawaban atas ketidakpercayaan mereka dengan menyebutkan kesempurnaan
pengetahuan Allah tentang mereka dan bagaimana mereka berada dalam kubur,
dan bagaiamana sikap mereka sebenarnya mengenai masalah tsb. (Ayat 4, 5)
e) Pemaparan argumen-argumen tentang adanya kebangkitan, yaitu ayat 6 sampai
11. Setelah itu ayat 15 sampai 18, dan ayat 38.
f) Permintaan kepada kaum musyrikin yang mendustakan kerasulan Nabi Saw.
dan kebangkitan agar mengambil pelajaran dari permusnahan beberapa ummat
masa lampau yang mereka kenal, beserta ancaman bahwa peristiwa itu dapat
terjadi pada mereka (ayat 12 sampai 14 dan ayat 36).
g) Pernyataan tentang akhirat dan ancaman azab bagi orang-orang kafir, yang
dimulai dengan sakratul maut, sampai kepada balasan yang diberikan kepada
orang-orang yang beriman dan mereka yang kafir (ayat 19 sampai 30 dan ayat
41 sampai 44)
h) Janji nikmat akhirat bagi orang mukmin (ayat 31 sampai 35)
i) Menghibur Nabi berkenaan pendustaan orang-orang kafir terhadapnya, dan
memerintahkan kepadanya untuk menaati Tuhannya, menangguhkan para
pendusta sampai hari kiamat, sedangkan Nabi Muhammad Saw. tidak diminta
untuk memamksa mereka agar memeluk islam, tetapi hanya memperingatkan
mereka dengan Al-Qur’an (39-40 dan ayat 45)18
E. MACAM-MACAM MUNÂSABAH
1. Munâsabah antara satu kalimat dengan kalimat sebelumnya dalam satu ayat.
Munâsabah jenis ini mencari hubungan atau kaitan antara satu kalimat dengan
kalimat sebelumnya dalam satu ayat. misalnya:
ُ َ± ََ ْ ُْ ﱠ َ ُ ْ َ ﱠ ُ َ ْ ُُْ َ ± ْ ُ َْ
ِ ® ﺗﻠﻘﻮا ِﺑﺎ ْﻳ ِﺪ ْﻳﻜ ْﻢ ِا[\ اﻟﺘﻬ¯ﻜ ِﺔۛ واﺣ ِﺴﻨﻮاۛ ِان اﷲUﷲ َو
„ﺐﱡ° ِ َﺳ ِ{ ْﻴ ِﻞ اRْ Qِ َواﻧ ِﻔﻘﻮا
َْ ْ ُْ
µ – ‘jاﻟﻤﺤ ِﺴ ِﻨ
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah.
Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS: Al-Baqarah [2]:
195).
18
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: Qaf, 2017), Cet.1, h. 830.
10
Apakah ada kaitan langsung perintah berinfak (dan belanjakan hartamu) dengan
larangan membinasakan diri (dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan), atau masing-masing bagian dari ayat tersebut. 19
“Kami memberi Musa Kitab (Taurat) dan menjadikannya sebagai petunjuk bagi
Bani Israil (dengan firman), “Janganlah kamu mengambil pelindung selain
Aku.” (QS. Al-Isra’ [17]: 2)
Apa hubungan antara peristiwa Isrâ’ Nabi Muhammad saw yang disebutkan pada
ayat pertama dengan diberikannya kitab Taurat kepada Nabi Musa as pada ayat yang
kedua? Menurut Quraish Shihab sebagaimana yang dikutip oleh Yunahar Ilyas dalam
bukunya yakni, ayat pertama menyebutkan anugerah Allah SWT kepada Nabi
Muhammad saw yang mengisra’kan beliau dalam waktu yang sangat singkat,
sedangkan ayat kedua menyebutkan anugerah-Nya kepada Nabi Musa as yang
mengisra`kan beliau dari Mesir ke Negeri yang diberkahi pula yaitu Palestina tetapi
memakan waktu yang lama. Penyebutan Nabi Musa as juga mempunyai kaitan yang
jelas dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, karena beliau yang berulang-ulang
mengusulkan agar Nabi Muhammad saw memohon keringanan atas kewajiban shalat
50 kali sehari semalam.20
19
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 211
20
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 212-213
11
kategori manusia ditinjau dari segi keimanannya. Ayat 1-5 berbicara tentang orang-
orang yang bertaqwa yaitu orang-orang yang memadukan dalam diri mereka aspek
Iman, Islam, dan Ihsan. Ayat berikutnya 6-7 berbicara tentang orang-orang kafir, yaitu
orang yang lahir batin mengingkari Allah SWT. Ayat selanjutnya 8-20 berbicara
tentang orang-orang munafik, yang di luar mengaku beriman, tetapi di dalam
mengingkari Allah SWT.21
“Apa yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Hadid [57]: 1
ࣖ ﰟ َ ِرﺑ َّﻚ اﻟَْﻌِﻈ ْ ِﲓ
ِ ْ 8ِ ِّﺒْﺢ%ﻓَ َﺴ
“Maka, bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahaagung.”
(QS. Al-Waqi’ah [56]: 96)
Ayat akhir surah Al-Waqi’ah berisi perintah untuk bertasbih (maka bertasbihlah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Maha Agung), sedangkan ayat pertama surah
Al-Hadid menyatakan telah (Bertasbihlah kepada Allah semua yang berada di langit
dan yang berada di bumi). Terlihat ada keserasian antara dua ayat tersebut.22
21
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h, 213
22
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h, 213
12
Guna melakukan pembinaan dan mempertahankan Tauhid secara konsekuen
diperlukan pembinaan dalam keluarga. Dan salah satu keluarga yang menjadi teladan
adalah keluarga Imran (Ali `Imrân). Salah satu sebab penting keberhasilan sebuah
keluarga adalah peran kaum perempuan (An-Nisâ`) terutama ibu. Sebuah keluarga
tentu memerlukan kecukupan ekonomi terutama untuk makan dan minum. Makanan
dan minuman yang dibutuhkan tentu saja makanan yang halal lagi baik dan bergizi
seperti diisyaratkan dalam Surat Al-Mâidah yang berarti hidangan makanan.23
F. Bentuk-Bentuk Munasabah
Dilihat dari segi bentuk hubungan antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya dalam
satu ayat atau bentuk hubungan antara satu ayat dengan ayat berikutnya, maka munasabah
dapat dibagi dalam kategori berikut ini.
1. Zhahir al-Irtibath
Persesuaian yang nyata atau persesuaian dan persambungan antar bagian Al-Quran
dengan yang lain tampak jelas dan kuat karena kaitan antara ayat satu dengan ayat yang
lain erat sekali hingga yang satu tidak bisa sempurna jika dipisahkan dengan ayat lain.
Adakalanya hubungan antar satu kalimat dengan kalimat berikutnya atau satu ayat
dengan ayat berikutnya tampak nyata. Adakalanya kalimat atau ayat yang kedua bisa
berupa ta’kid (penegasan), tafsir (penjelasan), I’tirad (bantahan), Tasydid (Penekanan)
terhadap kalimat atau ayat yang pertama. Satu bagian ayat tergantung dengan bagian
sebelumnya, tidak bisa dipisahkan, satu ayat tergantung dengan ayat sesudahnya, juga
tidak bisa dipisahkan. Kalau dipisahkan maknanya menjadi tidak sempurna, bahkn
tidak bisa menimbulkan pemahaman yang keliru. Misalnya ayat 4 surat Al-Ma’un:
َ ّ َ ّْ ٌ َ
ۙ‘jْ ﻠ ُﻤﺼ ِﻠOِ ﻓ َﻮ ْﻳﻞ
23
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h, 214-215
13
“(yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberi)
bantuan”. (QS. Al-Ma’un [107]: 5-7
2. Khafiy al-Irthibath
Adakalanya hubungan antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya atau antara
satu ayat dengan ayat berikutnya tidak tampak nyata. Masing-masing berdiri sendiri,
tidak tergantung dengan kalimat atau ayat sesudahnya. Kesempurnaan makna kalimat
pertama atau ayatpertama tidak tergantung dengan kalimat atau ayat berikutnya. Kalau
dipisahkan maknanya tetap sempurna. Irthibath jenis ini hanya dapat diketahui setelah
dikaji dan didalami dengan baik. Ada dua bentuk Irthibath yang tidak tampak, yakni
Irthibat Ma’thufah dan Ghairu Ma’tufah.24
a. Irthibat Ma`thufah,
yakni Irthibath antara satu bagian dengan bagian yang lain dari ayat menggunakan
huruf ‘athaf. Bagian kedua bisa berupa Nadzir (bandingan) dan Syariq (mitra) dan
bisa juga berupa al-Madhadah (lawan katanya).
Untuk Nazhir (bandingan) dan Syarik (mitra) sebagaimana contoh berikut ini: QS.
Al- Hadid [57]: 4.
ُ َ َ ُ َ َْ ْ َْ َ َ ٰ َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ﱠ َﱠ ُﱠ ٰ ٰ ﱠ ََ َ ْ ُ َ ﱠ
\Qِ اﻟﻌﺮ ِشۗ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﺎ ﻳ ِﻠﺞFED ِﺳﺘ ِﺔ اﻳﺎ ٍم ﺛﻢ اﺳﺘﻮىRQِ ®رضUﻠﻖ اﻟﺴﻤﻮ ِت واc يvِ uﻫﻮ ا
ُ َ ُ ُ ُ َْ ََ َ ََ َ ُُْ ْ َ ََ َْ ُ َ ﱠ
ْج ﻓ ْﻴ َﻬﺎۗ َو ُﻫ َﻮ َﻣ َﻌﻜ ْﻢ ا ْﻳ َﻦ َﻣﺎ ﻛ ْ ُﺘﻢ َْْ
ۗ ِ ل ِﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎۤ ِء وﻣﺎ ﻳﻌﺮÐِ ¿‡ﺮج ِﻣﻨﻬﺎ وﻣﺎ ﻳ° ®ر ِض وﻣﺎUا
ٌۗkjْ ﷲ ﺑ َﻤﺎ َﺗ ْﻌ َﻤ ُﻠ ْﻮ َن َﺑﺼُ ± َوا
ِ ِ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian,
Dia bersemayam di atas ʻArasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar darinya serta apa yang turun dari langit dan apa
yang naik ke sana.710) Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
24
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 216
25
Amroeni Drajat, Ulumul Qur`an, (Cimanggis, Kencana, 2017), Cet. 1, h. 60
14
Dicari bandingan atau nazhir antara satu ayat dengan ayat lainnya, misalnya:
َ ُ ٰ َ َ ْ ْ ً َ ْ َ َْ ّ ﱠ َ َ َ ْ َ َ َ
ﻜ ِﺮﻫ ْﻮنO ‘jْ ِﺘﻚ ِﺑﺎ†„ ِﻖۖ َو ِان ﻓ ِﺮ ْﻳﻘﺎ ِّﻣ َﻦ اﻟ ُﻤﺆ ِﻣ ِﻨaﻚ َر ﱡﺑﻚ ِﻣ ْﻦۢ َﺑÑﻛﻤﺎٓ اﺧ َﺮ
2) Al-Madhadah
Petunjuk makna lain yang dapat digunakan untuk mencari munasabah antara
ayat yang tidak ada huruf athafnya adalah dengan mencari lawannya,
contohnya:
َ ْ ُ ْ ُ َ ْ ُ ْ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ َ ْ َ َْ َ ْ ْ َ َ ٌ َ َ ْ ُ َ َ َْ ﱠ ﱠ
ﻮنÕ® ﻳﺆ ِﻣU ﻢ ام ﻟﻢ ﺗﻨ ِﺬرﻫﻢÊÉﻠﻴ ِﻬﻢ ءاﻧﺬرD ﻛﻔﺮوا ﺳﻮاۤءÇÆvِ uِان ا
Di awal surat disebutkan tentang Kitab Suci AL-Qur’an dan sifat orang-orang
beriman yang mendapat peyunjuk dari Allah SWT. Setelah itu dijelaskan sifat
yang berlawanan, yaitu sikap orang-orang kafir yang mengingkarinya.
Ayat ini menceritakan doa Nabi Ibrahim kepada Allah SWT. Kemudian
pembicaraan berpindah kepada menceritakan hari kiamat. “Pada hari itu tidak
berguna lagi harta dan anak-anak “, QS, As-Syu`ara` (26): 72-76 menceritakan
sifat-sifat berhala yang disembah oleh umatnya. Nabi Ibrahim. Berkata,
“Apakah berhala itu mendengar Ketika kamu memanggilnya? Ataukah berhala
itu dapat memebrikan manfaat atau mudharat kepadamu? Mereka menjawab,
seperti inilah kami dapati nenek moyang kami. Ibrahim berkata, “Apakah kamu
tidak pernah pikirkan apa yang kamu sembah oleh nenek moyangmu? Pada
ayat 77-82, pembicaraan mulai bergeser kepada membicarakan sifat-sofat
Allah SWT.26
26
Amroeni Drajat, Ulumul Qur`an, (Cimanggis, Kencana, 2017), Cet. 1, h. 60
15
Kaitan antara satu ayat dengan ayat sebelumnya dapat dilihat dari sisi
Istithrad, seperti dalam contoh berikut ini:
َ َ ٰ ْﱠ ًْ ُ ُ َ َ َ ْ َْ ْ َ َ ٰ
ۗkٌ jْ c ﻚOِ َ×ﺎ ُس اﻟﺘﻘ ٰﻮى ذrِﺎۗ َوÙØ َ×ﺎ ًﺳﺎ ﱡﻳ َﻮا ِر ْي َﺳ ْﻮ ٰء ِﺗﻜ ْﻢ َو ِرrِ ْ»ﻜ ْﻢÖD ﺎÕrٓ اد َم ﻗﺪ اﻧ َﺰfْ ]ِ ٰﻳ َﺒ
َ َ َﱠ ﱠ ﱠ± ٰ ْ َ ٰ
ﷲ ﻟﻌﻠ ُﻬ ْﻢ َﻳﺬﻛ ُﺮ ْون ِ ﻚ ِﻣﻦ ا ٰﻳ ِﺖ اOِ ذ
“Wahai anak cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutupi auratmu dan bulu (sebagai bahan pakaian untuk
menghias diri). (Akan tetapi,) pakaian takwa itulah yang paling baik.
Yang demikian itu merupakan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Allah
agar mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raf [7]: 26)
ً ْ َ ْ ُ ْ ْ ُ ْ َ َﱠ َﱠ
ْ َ ْ ْ َ ّ ً ُ ُ ٰ ْ َ َ َ َ ٰ ْ َ ْ ُ َ ْ َٰ َ
Û - ۗon و ِﻛﻴRŸ® ﺗﺘ ِﺨﺬوا ِﻣﻦ د ِوUٓ ِا·¸اۤ ِءﻳﻞ اf]ِ ﺐ وﺟﻌﻠﻨﻪ ﻫﺪى ِﻟﺒž ِﻜO\ اÀﻨﺎ ﻣﻮaواﺗ
“Dan Kami berikan kepada Musa, Kitab (Taurat) dan Kami jadikannya
petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), “Janganlah kamu
mengambil (pelindung) selain Aku”. (QS. Al-Isrâ’ [17]: 2).
27
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 223
16
telah memperlihatkan kepadamu sekalian tanda-tanda kebesaranKu melalui
perjalanan isra`mi`raj agar engkau ceritakan kepada ummmatmu seebagai
peringatan. Kami beritakan kepadamu kisah Nabi Musa dan ummatnya agar
menjadi pelajaran bagi umatmu. Munasabah yang lain dapat dikatana, “kami
telah memperjalankan engkau dari masjid Haram ke Masjid Aqsha
sebagaimana telah kami memperjalankan Musa dari Mesir Ketika dikejar-kejar
oleh Fir`aun, kemudian ayat berikutnya:
ُ َ ً َ َ َ ُٗ ﱠ َْ َ َ َ ُ
Þ - ن ﻋ ْﺒﺪا ﺷﻜ ْﻮ ًراyx ﻠﻨﺎ َﻣ َﻊ ﻧ ْﻮ ٍحۗ ِاﻧﻪ-, ذ ِّرﱠﻳﺔ َﻣ ْﻦ
28
Amroeni Drajat, Ulumul Qur`an, (Cimanggis, Kencana, 2017), Cet. 1, h. 61
17
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat,
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah memberi
petunjuk menuju cahaya-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nûr: 35
Ada 5 Takhallus dalam ayat ini. Setelah menjelaskan sifat cahaya (nûr)
dan perumpamaanya, lalu berpindah kepada pembicaraan tentang kaca
(zujazah) dan sifatnya, kemudia kembali pembicaraan tentang cahaya dan
minyak yang membuatnya menyala, kemudian berpindah kepada
pembicaraan tentang pohon (Syajarah), kemudian berpindah lagi kepada
pembicaraan tentang sifat minyak (zait), kemudian berpindah lagi kepada
sifat cahaya (nûr) yang berlipat ganda, kemudian berpindah kepada
pembicaraan tentang nikmat-nikmat Allah SWT berupa petunjuk kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya. 29
29
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 224
30
Najibah Nida Nurjannah, “Urgensi Munasabah Ayat dalam Penafsiran Al-Qur’an”, dalam Jurnal Al-
Fath, Vol. 14, No. 1, 2020, h. 126
18
Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau
surat. Ketiga, ilmu munasabah sangat membantu seorang mufassir dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an, ehingga menjelaskan keutuhan makna ayat-ayat Al-Qur’an,
sehingga menjelaskan keutuhan makna ayat atau kelompok ayat.31
Ilmu munasabah Al-Qur’an mempunyai beberapa fungsi (faedah), yaitu:
1. Dapat membantu memahami adanya takwil ayat.
2. Dapat mengetahui makna-makna Al-Qur`an, I’jaznya, menetapkan penjelasan,
keteraturan kalamnya dan keindahan uslubnya.
3. Dapat mengetahui kedudukan suatu ayat yang terkadang sebagai ta’kid ayat
sebelumnya, atau sebagai tafsiran, atau selingan.
4. Dapat mengetahui kondisi dan situasi yang merupakan latar belakang
(background)nya suatu peristiwa.
5. Dapat mengetahui ‘alaqah antara khitam suatu surat dengan fatihah surat
berikutnya, atau fatihah dengan khitam satu surat.32
31
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 225-226
32
Pengertian Munasabah beserta Fungsi dan Bentuknya, https://www.ayoksinau.com/pengertian-
munasabah. Diakses tgl 22-11-21, Pukull 13.00
19
BAB III
PENUTUP / KESIMPULAN
Adapun secara garis besar dapat disimpulkan dari makalah tentang munasabah, maka
dapat diambil beberapa poin yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini. Terkait
pengertian dari munasabah sendiri yakni secara harfiah bermakna berarti perhubungan,
pertalian, pertautan, persesuain, kecocokan, dan kepantasan. Sedangkan secara terminologi,
ahli-ahli ilmu Al-Qur`an memaknainya dengan segi-segi hubungan atau persesuaian Al-
Qur`an antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuknya.
Macam-macam munasabah, sebagaimana yang dikutip oleh penulis, terbagi menjadi 5
macam, yakni munasabah antara satu kalimat dengan kalimat sebelumnya dalam satu ayat,
munasabah antara satu ayat dengan ayat sesudahnya, munasabah antara kelompok ayat dengan
kelompok ayat sebelumnya, dan munasabah antara saty surat dengan surat lainnya.
Ada tiga arti penting dari munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami dan
menafsirkan Al-Qur’an. Pertama. Dari sisi Balaghah, korelasi antara ayat dengan ayat
menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an utuh dan indah. Bila dipenggal maka keserasian, kehalusan,
dan keindahan kalimat yang teruntai di dalam setiap ayat akan menjadi hilang. Kedua, ilmu
munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat. Ketiga, ilmu
munasabah sangat membantu seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an,
ehingga menjelaskan keutuhan makna ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga menjelaskan keutuhan
makna ayat atau kelompok ayat.
20
DAFTAR PUSTAKA:
Amin, Suma, Muhammad, Ulumul Qur`an, Depok: Raja Grafindo, 2014 237
Badr, Al-Imam Badr ad-Din Muhammad Ibn Abdillah Az Zarkasyi, Tahqiq Abul Fadhl
Ad-Dimyathi, al Burhan fi `Ulumil Qur`an, Kairo: Dar `Al-Hadits, 2006,
Jalaluddin, Imam, Asy Suyuthi, Samudera Ulumul Qu`ran, Surabaya: PT. Bina Ilmu
Offset, 2008.
Musaddad, Endad, “Munasabah dalam Al-Qur`an”, dalam Jurnal al-Qalam, Vol. 22 No.
3 September-Desember, 2005
Nida, Najibah, Nurjannah, “Urgensi Munasabah Ayat dalam Penafsiran Al-Qur’an”, dalam
Jurnal Al-Fath, Vol. 14, No. 1, 2020
21