Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ULUMUL QUR`AN OTORISASI


MUNASÂBAH AL-QUR`AN

Tugas Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Studi Ulum Al-Qur`an

Oleh:
Kelas 1B IAT
Kelompok 11

Nurhakim Zaki Djafar (221411050)


Zulfi Ida Syarifah (221411069)

Dosen Pengampu:
Dr. H. Ahmad Syukran MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR


PROGRAM PASCA SARJANA
IMSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ )
JAKARTA
1443 H / 2021 M
KATA PENGANTAR

‫ْ ﱠ‬ ّ
‫ﻦ اﻟﱠﺮِﺣْﻴِﻢ‬-,‫ِﻢ اﷲ اﻟﱠﺮ‬#ْ!ِ

Alhamdulillāhirabbil`ālamīn, Puji syukur kepada Allah SWT berkat hidayah dan


karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“MUNÂSABAH”. Şalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita yaitu Nabi Besar
Muhammad saw, yang telah memberikan tuntunan, bimbingan dan petunjuk bagi umat islam
seluruh alam. Semoga apa yang penulis kerjakan bermanfaat khususnya bagi penulis dan
menjadikan jalan untuk lebih banyak belajar dan mendalami ilmu-ilmu tafsir Al-Qur`an yang
masih banyak sekali yang penulis belum ketahui sehingga penulis bisa menjadikan jalan untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Āmīn Yā Rabbal`Ālamīn.

Tangerang Selatan, 27 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii

BAB I ......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ........................................................................................................................ 2
BAB II........................................................................................................................................ 3

PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3

A. Pengertian Munasabah Al-Qur`an .......................................................................................... 3


B. Sejarah Kemunculan Ilmu Munasabah .................................................................................. 5
C. Pandangan Tokoh Ulama Tentang Munasabah .................................................................... 6
D. Metode Menggali Munasabah.................................................................................................. 8
E. Macam-Macam Munasabah .................................................................................................. 10
F. Bentuk-Bentuk Munasabah ................................................................................................... 13
G. Urgensi dan Fungsi Mempelajari Munasabah ..................................................................... 18
BAB III .................................................................................................................................... 20

PENUTUP / KESIMPULAN ................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA: ............................................................................................................ 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur`an merupakan pedoman umat Islam, petunjuk dan tuntunan yang mengatur
segala kehidupan di dunia dan akhirat kelak. Ia juga sekaligus mukjizat yang diturunkan
kepada nabi Muhammad saw. Yang sampai kepada umatnya, yang kemudian termaktub
dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan tersusun kalam yang dalam
kandungan maknanya berasal dari wahyu. Nabi Muhammad adalah salah seorang manusia
pilihan Tuhan yang tidak hanya diberi otoritas untuk menjelaskan kan dungan Al-Qur`an
yang belum dipahami oleh umatnya, tetapi juga diberi otoritas untuk membuat hukum-
hukum baru yang tidak dijelaskan oleh Al-Qur`an. Lahirnya pengetahuan tentang korelasi
(munâsabah) ini berawal dari kenyataan bahwa sistimatikan Al-Qur`an sebagaimana
terdapat dalam mushaf sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya, itulah
sebabnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf tentang urutan surat dalam
Al-Qur`an. Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi. Golongan
kedua berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad. Kehadiran Al-Qur`an dan misi
risalah Rasulullah saw selalu mengudang perhatian berbagai pihak untuk mengadakan
studi. Aspek kajiannya terus berkembang baik dari aspek ilmiah maupun aspek non ilmiah.
Hal ini barangkali dikarenakan oleh mu’jizat Al-Qur`an. Keajaiban Al-Qur`an seperti air
laut tak pernah kering untuk ditimba. Ia lalu memberikan inspirasi kepada manusia tanpa
habis-habisnya.
Nabi Muhammad saw adalah salah seorang manusia pilihan Tuhan yang tidak hanya
diberi otoritas untuk menjelaskan kan dungan Al-Qur`an yang belum dipahami oleh
umatnya, tetapi juga diberi otoritas untuk membuat hukum-hukum baru yang tidak
dijelaskan oleh Al-Qur`an Sepeninggal Nabi sekalipun tidak berwenang membuat hukum
baru dilanjutkan oleh generasi sahabat, tabi'in dan para ulama yang dipandang cakap
menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur`an. Telah banyak,
sesungguhnya, para ulama yang mengkaji kandungan Al-Qur`an melalui pendekatan atau
metoda keilmuan yang dimiliknya. Salah satunya adalah melalui ilmu Ulum Al-Qur`an.
Ilmu ini, antara lain, sangat terkenal.membahas kandurngan Al-Qur`an' baik dari segi
sejarah (kisah Al-Qur`an), keindahan bahasa, ungkapan, nash mansuh maupun segi
hubungan (korelasi) antar ayat dengan ayat, urutan dan tertib surat-suratnya dan lain-lain.

1
Makalah ini akan membahas tentang hubungan (munâsabah) antara satu ayat/ surat
dengan ayat/surat yang lain. lmu ini lahir dari anggapan bahwa urutan ayat-ayat dan surat
surat itu tauqifi. Dari anggapan seperti ini, para ulama bertanya tanya mengapa ayat ini
jatuh setelah ayat itu, adakah hikmah di balik semua itu. Perta-nyaan-per tanyaan ini yang
menyebabkan lahirnya pengetahuan tentang Munasabah Al-Qur`an. Untuk mengenalnya
lebih jauh, makalah ini akan menjelaskan tentang, pengertian- munâsabah, pandangan para
ulama, sejarah munâsabah, pandangan tokoh ulama tentang munâsabah, metode menggali
munâsabah, macam-macam munasabah, bentuk bentuk munâsabah dan urgensi
munâsabah. Sebagaimana penulis ringkas dalam 3 rumusana masalah sebagaimana berikut

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Munâsabah Al-Qur`an?
2. Ada berapa Macam -Macam Munâsabah dalam Al-Qur`an?
3. Apa Urgensi Munâsabah dalam Al-Qur`an?
C. Tujuan Masalah
1. Mendeskripsikan Pengertian Munâsabah Al-Qur`an
2. Mendeskripsiian Macam -Macam Munâsabah dalam Al-Qur`an
3. Mendeskripsikan Urgensi Munâsabah dalam Al-Qur`an

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Munâsabah Al-Qur`an

Secara harfiah, kata munasabah ( ‫ﺒﺔ‬%‫ )ﻣ"ﺎﺳ‬berarti perhubungan, pertalian, pertautan,


persesuain, kecocokan, dan kepantasan. Kata munâsabah, adalah sinonim (muradif)

dengan kata al-muqarabah ( ‫ )اﳌﻘﺎ رﺑﺔ‬dan al-musyakalah (‫)اﳌﺸﺎ ﳇﺔ‬, yang masing-masing
berarti berdekatan dan persamaan.1 Kata qaraba sendiri berarti dekat. orang yang berasal
dari nasab yang sama disebut qarabah (kerabat) karena kedekatannya. Dari kata nasab

itulah dibentuk menjadi al munasabah ( ‫ﺒﺔ‬%‫ )اﳌﻨﺎﺳ‬dalam arti muqarabah (‫)اﳌﻘﺎرﺑﺔ‬, kedekatan
satu sama lain.
Adapun yang dimaksud munâsabah dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Qur`an sesuai
dengan pengertian harfiahnya di atas ialah: segi-segi hubungan atau persesuaian Al-Qur`an
antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuknya. Yang dimaksud dengan segi
hubungan dan persesuaian adalah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna
yang mempertalikan satu bagian dengan bagian lain. Sedangkan yang dimaksud bagian
dengan bagian lain adalah semisal antara kata/kalimat, antar ayat dengan ayat, antar awal
surat dengan akhir surat, antar surat denhgan surat lain, dan begitulah seterusnya hingga
tergambar bahwa Al-Qur`an itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.2
Sedangkan secara terminologi (istilah), munâsabah dapat didefinisikan sebagai berikut:
• Menurut az-Zarkasyi (w. 794 H)3:
َ َ ُ َ َ َ ُ َ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ ْ ‫َ ْ ُ َ َ َ ُ َ َ ٌ َ ْ ُ ْ ٌ َ ُ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َﱠ‬
‫ ﻓﻮا ِﺗ ِﺢ‬RQِ ‫ﻚ اﻟ َﻤﻨﺎﺳﺒﺔ‬Oِ ‫ اﻟﻌﻘﻮ ِل ﺗﻠﻘﺘﻪ ِﺑﺎﻟﻘﺒﻮ ِل وﻛﺬ‬FED ‫اﻟﻤﻨﺎ ﺳﺒﺔ أﻣﺮ ﻣﻌﻘﻮل ِإذاﻋ ِﺮض‬
ٌfeّ ‫ص ﺣ‬ ٌ َ ْ ٌ َ َ ُ َ َْ ََ َ َ ً ْ َ َ َ ‫ي َو َﺧ َﻮاﺗ َﻤ َﻬﺎ َو َﻣ ْﺮﺟﻌ‬VU‫ا‬
ِ ِ ‫ ﺎ‬c ‫ ﺎم أ و‬D ‫ ﻨ ﻬ ﻤ ﺎ‬a‫ﻂ ﺑ‬
َ ‫ﺑ‬ ‫ا‬ ‫ر‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻣ‬ ^ ] ‫ﻌ‬ ‫ﻣ‬ \ [ ‫إ‬َِ - ‫ﻢ‬ ‫ﻠ‬ D ‫أ‬ ‫ﷲ‬ ‫ا‬ ‫و‬ - ‫ﺎ‬ ‫ﻬ‬ ِ َِ ِ َ
َ ‫َ ﱠ‬ ْ ّ ُ َ‫ﱠ‬ َ َ َ َْ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ْ َِ ْ َ
‫ﻟﺴ{ ِﺐ‬yx ^]ِ ‫ﻫ‬vِ u‫ز ِم ا‬onsr‫ﻗﺎ ِت َأ ِو ا‬on‫ﻚ ِﻣﻦ أﻧﻮا ِع اﻟﻌ‬Oِ ‫ ذ‬kji ‫ أو‬R[ِ‫ أو ﺧﻴﺎ‬hEِ ‫أو ﻋﻘ‬ ٌ
‫َ ُ ﱠ‬ َ ُ َ‫ﱠ‬ ْ َ ‫ّﱠ‬ َ ‫ﱠ‬ ُ ْ ‫ْ ﱠ‬ ّ
‫ﻟﻤ َﺮﺗ ِﺐ‬yx Rˆِ ‫ز ِم ا†‡ﺎ ِر‬onsr‫„ ِﻮ ِه أ ِو ا‬ƒ‫َواﻟ ُﻤ َﺴ ِ{ ِﺐ َواﻟ ِﻌ} ِ~ َواﻟ َﻤﻌﻠ ْﻮ ِل َواﻟﻨﻈ َﺮ ْﻳ ِﻦ َواﻟ ِﻀﺪ ْﻳ ِﻦ َو‬
ََ ُ ْ َ َ
kِ Œ‡†‫ َﺑﺎ ِب ا‬RQِ ‫ ِﺐ اﻟ ُﻮﺟﻮ ِد اﻟ َﻮا ِﻗ ُﻊ‬a‫ ﺗ ْﺮ ِﺗ‬Fَ ED

1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur`an, (Depok: Raja Grafindo, 2014), Cet. ke- 2, h. 236- 237
2
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur`an, (Depok:Raja Grafindo, 2014), Cet ke- 2, h. 237
3
Badr, Al-Imam Badr ad-Din Muhammad Ibn Abdillah Az Zarkasyi, Tahqiq Abul Fadhl ad-Dimyathi, al
Burhan fi `Ulumil Qur`an, Kairo: Dar `al-Hadits, 2006, h. 36

3
“Munâsabah adalah suatu perkara yang dapat dipahami oleh akal. Tatkala
dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya. Dan demikianlah
juga munasabah dalam pembukaan ayat-ayat serta penutupnya dan tempat
kembalinya -wallahu’alam- kepada makna yang mengikat antara keduanya
baik Am atau Khash, sesuatu yang indrawi atau aqli (rasional), ataukah
imajinatif, atau bisa berbagai macam hubungan yang lainnya atau talazum
dzihni seperti sebab dan penyebabnya, illat (alasan) dan ma’lulnya (hal yang
dibuat alasannya), juga dua pandangan atau persepektip yang bersamaan,
atau dua yang bertolak belakang, dan semisalnya, atau talazum khariji
(eksternal) seperti urutan-urutan dalam penyusunan surat yang berkenaan
dengan wahyu ”

Oleh sebab itu menurut Imam az-Zarkasyi, al-munâsabah adalah hal logis yang masuk
akal dan bisa diterima. Mencari kedekatan antara dua hal adalah mencari hubungan atau
kaitan antara keduanya seperti hubungan sebab akibat, persamaan, perbedaannya, dan
hubungan-hubungan lainnya yang bisa ditemukan antara dua hal.4

• Menurut Manna` Al-Qathan5:


َ َ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ََ ْ َ ُْ َ َ ُْ َ َْ َ ْ ُ ْ
َ ْ َ َ َ
‫“ﻳﺎِت‬U‫ ا‬RQِ ‫“ﻳِﺔ‬U‫“ﻳِﺔ وا‬U‫‘ ا‬j‫“ﻳِﺔ اﻟﻮاِ”ﺪِة أو ﺑ‬U‫ ا‬RQِ ~ِ}‫‘ ا†’ْﻤ}ِ~ وا†’ْﻤ‬j‫ِ•ﺎِط ﺑ‬Ž ‫ِ•ْر‬U‫َوﺟﻪ ا‬
ْ
ّ
‫‘ اﻟّﺴﻮرِة َواﻟّﺴﻮرِة‬j‫اﻟﻤﺘﻌﺪدة أو َﺑ‬
“Munâsabah adalah aspek yang punya keterikatan antara satu kalimat dengan
kalimat lain dalam satu ayat, antara ayat satu dengan ayat lain dalam banyak
ayat, atau antara surat dengan surah yang lain (di dalam Al-Qur`an).”

• Menurut Ibn al-`Arabi (w. 638 H)


ْ
َ َ ْ َ ّ َ ُ َ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ َ ‫َﱠ‬ ْ َ َ َْ ْ ُْ ّ َ ُ َ ْ
RŸ‫ ِﺴﻘِﺔ اﻟﻤﻌ ِﺎ‬ž‫ِ•ﻤِﺔ اﻟﻮاِ”ﺪِة ﻣ‬œOyx ‫^ ﺗﻜﻮن‬š‫ِ•ﺎط أي اﻟﻘﺮآِن ﺑﻌِﻀﻬﺎ ِﺑﺒﻌٍﺾ ﺣ‬Ž‫ِإر‬
ِ
ٌ‫ْﻠٌﻢ َﻋﻈْﻴﻢ‬D،RŸ‫ُﻣ ْ َﺘﻈَﻤﺔ اﻟﻤﺒﺎ‬
ِ ِ ِ ِ
“Munâsabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur`an sehingga seolah-olah
merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan
redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.”

• Menurut Al-Biqa`I (w. 885 H).


“Munâsabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di
balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur`an, baik dengan ayat, atau
surat dengan surat”. 6

4
Al-Imam Badr ad-Din Muhammad Ibn Abdillah Az Zarkasyi, al Burhan fi `Ulumil Qur`an, (Riyadh: Dar
`Alam al-Kutub, 2003), Vol. 1, Juz 1, h.35. menurut as-Syuyuthi di samping berarti al-muqorabah, al-munasabah
juga berarti al-musyakalah (keserupaan). Lihat al-Hafidz Jalal ad-Din Abd ar-Rahman as-Suyuthi, al-Itqan fi `ulum
Al-Qur`an (Beirut: Al-Maktabah al-`Ashiriyah, 2003), juz 3, h.323
5
Al-Qathan, Manna Khalil, Mabahits fii Ulumul Quran, (Kairo: Maktabah Wahbah) hal: 92
6
Rahmat Shalihin, “Munasabah Al-Quran: Studi Menemukan Tema Yang Saling Berkorelasi Dalam Konteks
Pendidikan Islam”, dalam Journal of Islamic and Law StudiesVolome 2, Nomor 1, Juni 2018, h. 4-6

4
Jadi, dalam kontaks `Ulum Al-Qur`an, munasâbah berarti menjelaskan
korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau
khusus; rasional (`aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi
berupa sebab-akibat, `illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.7

B. Sejarah Kemunculan Ilmu Munâsabah


Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (munâsabah) ini berawal dari kenyataan bahwa
bahwa sistematika Al-Qur`an sebagaimana terdapat dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak
berdasarkan fakta kronologis turunnya Al-Qur`an. Itulah sebab terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama-ulama salaf tentang urutan surat di dalam Al-Qur`an. Pendapat pertama
bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi saw. Golongan kedua berpendapat bahwa
hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan
bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan
golongan pertama, kecuali surat Al-Anfâl dan Al-Bara`ah yang dipandang bersifat ijtihadi.
Pendapat pertama didukung antara lain oleh al-Qadi Abu Bakar (w. 543 H) dalam satu
pendapatnya, Abu Bakar Ibn al-Anbari (w. 940 H), al-Kirmani, dan Ibn al-Hisar. Pendapat
kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn al-
Faris. Pendapat ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan ini adalah
adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang urutan suratnya bervariasi. Ada yang
menyusunya berdasarkan kronologis turunnya, seperti Mushaf Ali yang dimulai dengan
ayat Al-`Alaq`, sedangkan ayat lainya disusun berdasarkan tempat turunya Makki
kemudian Madani. Adapun Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan surat Al-Baqarah,
kemudian An-Nisâ’, lalu surat Ali `Imrân.
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah korelasi
Al-Qur`an kurang mendapat perhatian dari para ulama’ yang menekuni Ulum Al-Qur`an.
Tokoh yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama yang melopori keberadaan Ilmu
Munasabah ialah Abu Bakar an-Naisaburi (w. 324 H), seorang alim bekebangsaan Irak
yang sangat ahli dalam ilmu syariah dan kesustraan arab. Dalam berbagai kesempatan
perbincangan ayat Al-Qur`an, an-Naisaburi konon selalu mempertanyakan perihal segi
hubungan antara bagian demi bagian dan antara ayat demi ayat Al-Qur`an, serta selalu
mempertayakan apa hikmah yang terjadi di balik rangkaian ayat yang seperti ini? Namun
kitab tafsir an-Naisaburi yang dimaksud sukar dijumpai sekarang. Sebagaimana

7
Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur`an, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), h. 83.

5
dinyatakan adh-Dhahabi, besarnya perhatian an-Naisaburi terhadap munâsabah nampak
dari ungkapan As-Syuyuti (w. 911 H) yaitu8;
“Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk di atas kursi apabila dibacakan Al-Qur`an
kepadanya, beliau berkata: Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini, dan apa
rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini? Beliau mengkritik para ulama
Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui”.

Tindakan an-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu
itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuaian, baik antar ayat
maupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya. Satu hal yang jelas, beliau
dipandang sebagai bapak Ilmu Munasabah. Dalam perkembangannya, Ilmu Munasabah
meningkat menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu Al-Qur`an. Ulama-ulama yang datang
kemudian menyusun pembahasan ilmu munasabah secara khusus.9
Pengetahuan tentang munasâbah ini sangat bemanfaat dalam memahami keserasian
antar makna, mukjizat Al-Qur`an secara retorik, kejelasan keterangannya, keteraturan
susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan firman
Allah:
ْ َ ْ َ ْ ُ ‫ٰ ٰ ٌ ُ ْ َ ْ ٰ ٰ ُ ٗ ُﱠ ُ ّ َ ْ ْ ﱠ‬
« - ۙkٍ j‫ن ” ِﻜﻴ ٍﻢ ﺧ ِﺒ‬¥u ‫ﺐ ا” ِﻜﻤﺖ اﻳﺘﻪ ﺛﻢ ﻓ ِﺼﻠﺖ ِﻣﻦ‬ž‫اﻟۤﺮۗ ِﻛ‬

“Alif Lam Ra. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian
dijelaskan secara terperinci, (yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang
Mahabijaksana, Mahateliti,” (QS. Hûd [11]:1). 10

C. Pandangan Tokoh Ulama Tentang Munâsabah


• Tokoh yang pertama kali memelopori keberadaan munâsabah adalah Abu Bakar
Abdullah Ibn Muhammad al-Naisabury (w. 324 H), seorang ulama mempunyai
spesifikasi dibidang ilmu syari`ah dan Bahasa. Ia mengakui eksistensi Ilmu Munâsabah
ini sehingga melakukan kritik kepada ulama Bagdad yang tidak mau menyokong peran
dan kehadiran munasabah dalam Al-Qur`an. Salah satu kepekaannya adalah, bila
dibacakan kepadanya ayat-ayat Al-Qur`an, ia selalu menganalisis hubungan ayat itu,

8
As-Suyuthi, al-Hafidz Jalal ad-Din Abd ar-Rahman as-Suyuthi, al-Itqan fi `ulum Al-Qur`an (KSA: Majma
Malik Fahd,), hal. 1837-1838
9
Ulumul Qur`an, http://jakhinjj.blogspot.com/2016/04/makalah-ilmu-munasabah.html, diakses 24-11-21,
pkl 14.30.
10
Ulumul Qur`an, http://jakhinjj.blogspot.com/2016/04/makalah-ilmu-munasabah.html, diakses 24-11-21,
pkl 14.30.

6
“mengapa ayat ini ditempatkan atau dibuat dengan ayat itu”? dan “apa hikmahnya
meletakkan surat ini dengan surat itu”?11
• Tokoh lain yang berjasa adalah ar-Razi Al-Imam Fahruddin (w. 606 H), pengarang
kitab Mafatihul Ghaib fi-Tafsiril Qur`an (Kunci-kunci kagaiban dalam menafsirkan
Al-Qur`an)
• Al Qadhi Abu Bakr Ibn al-`Arabi (w. 543 H) yang antara lain menulis kitab Sirajul-
Muridin wa-Sirajul-Muhtadin (Lentera orang-orang yang meraih petunjuk)
• Sebagian ulama ada yang menysun kitab secara khusus tentang ilmu munasabah. Yaitu
al Allamah Abu Ja`far bin Zubair (w. 807 H) dengan karyanya “al Burhan fi-
Munasabati Tartibi Suwaril Qur`an”. (Bukti tentang korelasi tertib surat-surat Al-
Qur`an)
• Syekh Burhanuddin al-Biqa`I (w 885 H) dalam karyanya yang berjudul “Nazmud
Durâr fî-Tunasubil ay was suwâr”, dan juga kitab Asrarut Tanzil, memuat semua
semua kitab tersebut dan juga mengumpulkan persesuaian antar setiap ayat dan surat
yang disertai oleh kandungan penjelasantentang sisi kemukjizatan dan ushlub
balaghah, dan kini terkenal dengan kitab “tanasuqud durâr fî tanasubis suwar” 12.

Ulama berbeda pendapat menyangkut ada atau tidaknya hubungan (munâsabah) ada
yang menolak dan ada yang menerima. Yang menolak dengan alasan, bahwa ayat Al-
Qur`an turun dalam masa yang berbeda-beda dan tidak mungkin ada kaitan antara uraian
masa lalu dan masa kemudian. Sedangkan para ulama pendukung munâsabah menyatakan
bahwa tidak semua ayat atau bagiannya harus dicarikan munâsabah-nya. Ayat yang disusul
pengecualiannya tidak perlu dicarikan munasabahnya, seperti pada ayat 3 surah Al-`Ashr
(103) dengan ayat kedua.13
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihad.
Artinya, pengetahuan tentang ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan
riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabat. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari
munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur
mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, terkadang seorang
mufasir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak.

11
Endad Musaddad, “Munâsabah dalam Al-Qur`an”, dalam Jurnal al-Qalam, Vol. 22 No. 3 September-
Desember, 2005, h. 414
12
Imam Jalaluddin Asy Suyuthi, Samudera Ulumul Qu`ran, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2008), Vol, 3.
Cet-1, h.527
13
M. Qurais Shihab, Kidah Tafsir, (Ciputata: Lentera Hati, 2019), Cet- IV, h. 210-211

7
Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri. Dalam
hal ini,
Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abd as-Salam (w. 660 H) berkata “Munâsabah adalah sebuah
ilmu yang baik, tetapi dalam menetapkan keterkaitan antar kata secara baik itu
disyaratkan hanya dalam hal yang bagian awal dengan bagian akhirnya memang
bersatu dan terkoneksi. Sedangkan, apabila terjadi pada berbagai sebab yang
berbeda, keterkaitan salah satunya dengan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang
mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Kalaupun
itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan korelasi yang lemah. Itu semua mengingat
Al-Qur`an diturunkan dalam waktu lebih dari dua puluh tahun, mengenai berbagai
hukum dan dengan beragam sebab. Oleh karenanya, tidak mudah
menginterkoneksikan antara yang satu dengan lain”

Mengetahui munâsabah atau pertautan antara beberapa ayat dalam Al-Qur`an bukanlah
merupakan hal-hal yang ditetapkan oleh Al-Qur`an itu sendiri atau Al-Hadits, melainkan
sepenuhnya bertitik tolak dari ijtihad dan kepandaian serta kejelian si mufassir dalam
menerangkan i’jaz-i’jaz dan rahasia-rahasia Al-Qur`an. Oleh karena itu, sangat sulit untuk
menentukan criteria yang dapat dijadikan pedoman tatkala menentukan kriteria umum
yang dapat dijadikan rujukan. Umpamanya, jika munâsabah itu seiring dengan konteks
redaksi ayat serta tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah linguistic Arab, munâsabah
itu dapat diterima.14 Ilmu munâsabah tidaklah perlu dipaksakan penggunaannya, orang
yang tetap melakukan pendekatan demikian maka berarti dia memaksakan hal-hal yang
diluar kemampuannya.15

D. Metode Menggali Munâsabah


Menulusuri hubungan antar ayat dengan ayat melalui Ilmu Munâsabah memerlukan
perhatian atau segi-segi khusus yang dimiliki. Upaya ini tidak mudah untuk dilakukan
tanpa adanya seseorang yang memiliki keahlian di bidangnya. Syarat khusus ini penting
dimiliki oleh orang yang berminta meneliti munasabah ayat-ayat / surat-surat Al-Qur`an.
Karena tertib surat dan ayat-ayat Al-Qur`an disusun berdasarkan taukifi. Tidak
diperkenankan seseorang melakukannya berdasarkan rekaan atau dugaan semata tanpa
mengacu pada tertib taufiqi 16apa adanya. Karena itu penggaliannya harus bertumpu pada
metode ini dengan tepat.

14
Rahmat Shalihin, “Munâsabah Al-Qur`an: Studi Menemukan Tema Yang Saling Berkorelasi Dalam
Konteks Pendidikan Islam”, dalam Journal of Islamic and Law StudiesVolome 2, Nomor 1, Juni 2018, h. 6-8
15
Muhammad Amin Suma, “Ulumul Qur`an”, (Depok:Raja Grafindo, 2014), Cet ke- 2, h. 254
16
Tauqifi adalah penyusunan Al-Qur`an yang hanya berasal dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah saw
serta tidak ada campur tangan para sahabat

8
Segi lain yang perlu diperhatikan adalah Langkah-langkah berguna untuk mengetahui
munâsabah surat/ ayat Al-Qur`an. langkah-langkah ini menurut asy-Syuyuti (w. 911 H)
telah digunakan oleh sebagian ulama mutaakhirin yang meliputi:
a. Hendaknya memperhatikan tujuan yang dibahas oleh surat
b. Hendaknya memperhatikan inti uraian dari surat-surat sesuai dengan tujuan yang
dibahas dalam surat
c. Memperhatikan tingkat uraian dengan mencari apakah ada hubungan atau tidak
d. Ketika menarik konklusi perlu diperhatikan ungkapan yang terkesan berlebihan.
Keempat Langkah ini merupakan cara terbaik untuk menetapkan /mencari adanya
hubungan (munâsabah) ayat/surat dalam Al-Qur`an.17

Contoh pada surat Qâf. Penerapan Langkah-langkahnya adalah sebegai berikut:


1) Tujuan surat: menyatakan bahwa kebangkitan untuk menghadap kembali kepada
Tuhan itu pasti.
2) Kesimpulan-kesimpulan pendahuluan (premis) terpenting yang diperlukan tema
(kepastian kebangkitanuntuk menghadap kembali kepada Tuhan) itu adalah:
a) Dalil tentang kekuasaan Allah untuk membngkitkan
b) Penolakan terhadap keraguan mereka mengingkarinya.
c) Penyebutan peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika kebangkitan, kebangkitan,
keadaan manusia pada situasi itu, dan nasib orang mukminin dan orang kafir.

3) Menyusun kesimpulan – kesimpulan pendahuluan itu menjadi: b, a dan c.


4) Membuat beberapa konklusi alternatif yang mungkin terkandung dalam
pembicaraan ketika kesimpulan – kesimpulan pendahuluan itu diperoleh (misalnya
memperhatikan uraian Al-Qur`an mengenai masalah-masalah kebangkitan, siapa
dan bagaimana merek yang mengingkari kebangkitan itu, dan bagaimana kesabaran
Rasulullah saw. menghadapi mereka yang menolak kebangkitan tersebut.

Ketika prinsip-prinsip di atas diterapkan terhadap surah itu anda lihat bahwa
surah tersebut memenuhi semua prinsip tersebut, berdasarkan bahwa persoalan-
persoalan yang dibicarakan surah itu adalah:
a) Permintaan agar Al-Qur’an diimani (ayat 1)
b) Pengingkaran orang-orang musyrik terhadap Nabi Muhammad SAW., karena
beliau hanya manusia biasa (ayat 2)

17
Fauzul Iman, “Munâsabah Al-Qur`an”, dalam Jurnal al-Qalam, No. 63 /XII/1997, h. 54

9
c) Ketidakpercayaan para penolak kebangkitan (ayat 3)
d) Jawaban atas ketidakpercayaan mereka dengan menyebutkan kesempurnaan
pengetahuan Allah tentang mereka dan bagaimana mereka berada dalam kubur,
dan bagaiamana sikap mereka sebenarnya mengenai masalah tsb. (Ayat 4, 5)
e) Pemaparan argumen-argumen tentang adanya kebangkitan, yaitu ayat 6 sampai
11. Setelah itu ayat 15 sampai 18, dan ayat 38.
f) Permintaan kepada kaum musyrikin yang mendustakan kerasulan Nabi Saw.
dan kebangkitan agar mengambil pelajaran dari permusnahan beberapa ummat
masa lampau yang mereka kenal, beserta ancaman bahwa peristiwa itu dapat
terjadi pada mereka (ayat 12 sampai 14 dan ayat 36).
g) Pernyataan tentang akhirat dan ancaman azab bagi orang-orang kafir, yang
dimulai dengan sakratul maut, sampai kepada balasan yang diberikan kepada
orang-orang yang beriman dan mereka yang kafir (ayat 19 sampai 30 dan ayat
41 sampai 44)
h) Janji nikmat akhirat bagi orang mukmin (ayat 31 sampai 35)
i) Menghibur Nabi berkenaan pendustaan orang-orang kafir terhadapnya, dan
memerintahkan kepadanya untuk menaati Tuhannya, menangguhkan para
pendusta sampai hari kiamat, sedangkan Nabi Muhammad Saw. tidak diminta
untuk memamksa mereka agar memeluk islam, tetapi hanya memperingatkan
mereka dengan Al-Qur’an (39-40 dan ayat 45)18

E. MACAM-MACAM MUNÂSABAH
1. Munâsabah antara satu kalimat dengan kalimat sebelumnya dalam satu ayat.
Munâsabah jenis ini mencari hubungan atau kaitan antara satu kalimat dengan
kalimat sebelumnya dalam satu ayat. misalnya:
ُ َ± ‫ََ ْ ُْ ﱠ‬ َ ُ ْ ‫َ ﱠ‬ ُ َ ْ ُُْ َ ± ْ ُ َْ
ِ ‫® ﺗﻠﻘﻮا ِﺑﺎ ْﻳ ِﺪ ْﻳﻜ ْﻢ ِا[\ اﻟﺘﻬ¯ﻜ ِﺔۛ واﺣ ِﺴﻨﻮاۛ ِان اﷲ‬U‫ﷲ َو‬
‫„ﺐﱡ‬° ِ ‫ َﺳ ِ{ ْﻴ ِﻞ ا‬Rْ Qِ ‫َواﻧ ِﻔﻘﻮا‬
َْ ْ ُْ
µ – ‘j‫اﻟﻤﺤ ِﺴ ِﻨ‬
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah.
Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS: Al-Baqarah [2]:
195).

18
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: Qaf, 2017), Cet.1, h. 830.

10
Apakah ada kaitan langsung perintah berinfak (dan belanjakan hartamu) dengan
larangan membinasakan diri (dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan), atau masing-masing bagian dari ayat tersebut. 19

2. Munâsabah Antara Satu Ayat dengan Ayat Sesudahnya


Munasabah jenis ini mencari hubungan antara satu ayat dengan ayat sesudahnya.
Misalnya hubungan antara surat al-Isra’ ayat 1 dan 2. Allah SWT berfirman:
َ ْ َٰ ْ ‫َْْ َ ﱠ‬ ْ َ
ْ َ
َ َْ ْ َ
ْ َ ّ ً َْ
ْ َ ٰ ْ َ ْ ‫ُ ْ ٰ َ ﱠ‬
‫ي ﺑﺮﻛﻨﺎ‬vِu‫®ﻗﺼﺎ ا‬U‫ ِﻣﻦ اﻟﻤﺴِﺠِﺪ ا†„ﺮاِم ِا[\ اﻟﻤﺴِﺠِﺪ ا‬on»r ‫ي ا·¸ى ِﺑﻌﺒِﺪٖه‬ ٓ vِu‫ﺳﺒ َﺤﻦ ا‬
ْ ُ ٗ ‫ﱠ‬ َ ٰ ٗ ُ ٗ َ
kُjْ‫ﻨﺎۗ ِاﻧﻪ ﻫَﻮ اﻟﱠﺴِﻤْﻴُﻊ اﻟَﺒِﺼ‬žِ‫َﻳﻪ ِﻣْﻦ اٰﻳ‬kِ¿Oِ ¾u‫ﺣْﻮ‬
“Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad)
pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi
sekelilingnya425) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(QS. Al-Isrâ’ [17]: 1)
ً ْ َ ْ ُ ْ ْ ُ ‫ْ َ َﱠ َﱠ‬
ْ َ ْ ْ َ ّ ً ُ ُ ٰ ْ َ َ َ َ ٰ ْ َ ْ ُ َ ْ َٰ َ
ۗon‫ وِﻛﻴ‬RŸ‫® ﺗﺘِﺨﺬوا ِﻣﻦ د ِو‬U‫ٓ ِا·¸اِۤءﻳﻞ ا‬f]ِ‫ﺐ وﺟﻌﻠﻨﻪ ﻫﺪى ِﻟﺒ‬ž‫ِﻜ‬O‫\ ا‬À‫ﻨﺎ ﻣﻮ‬a‫واﺗ‬

“Kami memberi Musa Kitab (Taurat) dan menjadikannya sebagai petunjuk bagi
Bani Israil (dengan firman), “Janganlah kamu mengambil pelindung selain
Aku.” (QS. Al-Isra’ [17]: 2)

Apa hubungan antara peristiwa Isrâ’ Nabi Muhammad saw yang disebutkan pada
ayat pertama dengan diberikannya kitab Taurat kepada Nabi Musa as pada ayat yang
kedua? Menurut Quraish Shihab sebagaimana yang dikutip oleh Yunahar Ilyas dalam
bukunya yakni, ayat pertama menyebutkan anugerah Allah SWT kepada Nabi
Muhammad saw yang mengisra’kan beliau dalam waktu yang sangat singkat,
sedangkan ayat kedua menyebutkan anugerah-Nya kepada Nabi Musa as yang
mengisra`kan beliau dari Mesir ke Negeri yang diberkahi pula yaitu Palestina tetapi
memakan waktu yang lama. Penyebutan Nabi Musa as juga mempunyai kaitan yang
jelas dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, karena beliau yang berulang-ulang
mengusulkan agar Nabi Muhammad saw memohon keringanan atas kewajiban shalat
50 kali sehari semalam.20

3. Munâsabah Ayat antar Kelompok Ayat dengan Ayat Sebelumnya


Munasabah jenis ini mencari hubungan antara satu kelompok ayat dengan
kelompok ayat berikutnya. Misalnya surah Al-Baqarah ayat 1-20 tentang beberapa

19
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 211
20
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 212-213

11
kategori manusia ditinjau dari segi keimanannya. Ayat 1-5 berbicara tentang orang-
orang yang bertaqwa yaitu orang-orang yang memadukan dalam diri mereka aspek
Iman, Islam, dan Ihsan. Ayat berikutnya 6-7 berbicara tentang orang-orang kafir, yaitu
orang yang lahir batin mengingkari Allah SWT. Ayat selanjutnya 8-20 berbicara
tentang orang-orang munafik, yang di luar mengaku beriman, tetapi di dalam
mengingkari Allah SWT.21

4. Munâsabah antara Awal Surat dengan Akhir Surat Sebelumnya


Munasabah jenis ini mencari hubungan antara awal satu surat dengan akhir surat
sebelumnya, misalnya awal surat al-Hadid dengan akhir surah Al-Waqi’ah. Allah
SWT berfirman:
َْ َْ ُ َْ ± َ
‫ُْﺰ ا†„ِﻜْﻴُﻢ‬Å‫®ْرِضۚ َوﻫَﻮ اﻟﻌِﺰ‬U‫\ اﻟﱠﺴٰﻤٰﻮِت َوا‬Qِ ‫ﷲ َﻣﺎ‬
ِ ِ ‫َﺳﱠﺒﺢ‬

“Apa yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Hadid [57]: 1
ࣖ ‫ﰟ َ ِرﺑ َّﻚ اﻟَْﻌِﻈ ْ ِﲓ‬
ِ ْ 8ِ ‫ِّﺒْﺢ‬%‫ﻓَ َﺴ‬
“Maka, bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahaagung.”
(QS. Al-Waqi’ah [56]: 96)

Ayat akhir surah Al-Waqi’ah berisi perintah untuk bertasbih (maka bertasbihlah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Maha Agung), sedangkan ayat pertama surah
Al-Hadid menyatakan telah (Bertasbihlah kepada Allah semua yang berada di langit
dan yang berada di bumi). Terlihat ada keserasian antara dua ayat tersebut.22

5. Munâsabah antara Satu Surat dengan Surat lainnya


Munasabah jenis ini mencari hubungan antara nama satu surat dengan nama satu
surat sebelum dan sesudahnya, hubungan antara kandungan satu surat dengan surat
berikutnya, hubungan antara akhir ayat dengan awal surat berikutnya. Salah satu
contohnya adalah munasabah antara surah Al-Fatihah dan surah Al-Baqarah dari segi
nama. Di antara isi penting surah Al-Fatihah adalah tentang Tauhid, baik dari segi
Rububiyyah, Mulkiyah maupun Ilahiyah-Nya. Dengan doktrin Tauhid, seseorang
dilarang menuhankan apa dan siapapun selain Allah SWT termasuk menuhankan Al-
Baqarah sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Israil di bawah inisiatif as-Samiri.

21
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h, 213
22
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h, 213

12
Guna melakukan pembinaan dan mempertahankan Tauhid secara konsekuen
diperlukan pembinaan dalam keluarga. Dan salah satu keluarga yang menjadi teladan
adalah keluarga Imran (Ali `Imrân). Salah satu sebab penting keberhasilan sebuah
keluarga adalah peran kaum perempuan (An-Nisâ`) terutama ibu. Sebuah keluarga
tentu memerlukan kecukupan ekonomi terutama untuk makan dan minum. Makanan
dan minuman yang dibutuhkan tentu saja makanan yang halal lagi baik dan bergizi
seperti diisyaratkan dalam Surat Al-Mâidah yang berarti hidangan makanan.23

F. Bentuk-Bentuk Munasabah

Dilihat dari segi bentuk hubungan antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya dalam
satu ayat atau bentuk hubungan antara satu ayat dengan ayat berikutnya, maka munasabah
dapat dibagi dalam kategori berikut ini.

1. Zhahir al-Irtibath
Persesuaian yang nyata atau persesuaian dan persambungan antar bagian Al-Quran
dengan yang lain tampak jelas dan kuat karena kaitan antara ayat satu dengan ayat yang
lain erat sekali hingga yang satu tidak bisa sempurna jika dipisahkan dengan ayat lain.
Adakalanya hubungan antar satu kalimat dengan kalimat berikutnya atau satu ayat
dengan ayat berikutnya tampak nyata. Adakalanya kalimat atau ayat yang kedua bisa
berupa ta’kid (penegasan), tafsir (penjelasan), I’tirad (bantahan), Tasydid (Penekanan)
terhadap kalimat atau ayat yang pertama. Satu bagian ayat tergantung dengan bagian
sebelumnya, tidak bisa dipisahkan, satu ayat tergantung dengan ayat sesudahnya, juga
tidak bisa dipisahkan. Kalau dipisahkan maknanya menjadi tidak sempurna, bahkn
tidak bisa menimbulkan pemahaman yang keliru. Misalnya ayat 4 surat Al-Ma’un:
َ ّ َ ّْ ٌ َ
ۙ‘jْ ‫ﻠ ُﻤﺼ ِﻠ‬Oِ ‫ﻓ َﻮ ْﻳﻞ‬

“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat,”


Bagaimana mungkin orang-orang shalatt akan celaka, ayat tersebut baru bisa
difahami dengan benar, apabila diteruskan dengan ayat-ayat selanjutnya:
ْ ‫ﱠ‬ َ ‫ﱠ‬
ࣖ ‫ ُﻫ ْﻢ ُﻳ َﺮاۤ ُء ْو َنۙ َو َﻳ ْﻤ َﻨ ُﻌ ْﻮ َن اﻟ َﻤﺎ ُﻋ ْﻮ َن‬Çَ ْÆvِ u‫ ْﻢ َﺳﺎ ُﻫ ْﻮ َنۙ ا‬Êِ Éِ on‫ ُﻫ ْﻢ َﻋ ْﻦ َﺻ‬Çَ ْÆvِ u‫ا‬

23
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h, 214-215

13
“(yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberi)
bantuan”. (QS. Al-Ma’un [107]: 5-7

2. Khafiy al-Irthibath
Adakalanya hubungan antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya atau antara
satu ayat dengan ayat berikutnya tidak tampak nyata. Masing-masing berdiri sendiri,
tidak tergantung dengan kalimat atau ayat sesudahnya. Kesempurnaan makna kalimat
pertama atau ayatpertama tidak tergantung dengan kalimat atau ayat berikutnya. Kalau
dipisahkan maknanya tetap sempurna. Irthibath jenis ini hanya dapat diketahui setelah
dikaji dan didalami dengan baik. Ada dua bentuk Irthibath yang tidak tampak, yakni
Irthibat Ma’thufah dan Ghairu Ma’tufah.24
a. Irthibat Ma`thufah,
yakni Irthibath antara satu bagian dengan bagian yang lain dari ayat menggunakan
huruf ‘athaf. Bagian kedua bisa berupa Nadzir (bandingan) dan Syariq (mitra) dan
bisa juga berupa al-Madhadah (lawan katanya).
Untuk Nazhir (bandingan) dan Syarik (mitra) sebagaimana contoh berikut ini: QS.
Al- Hadid [57]: 4.
ُ َ َ ُ َ َْ ْ َْ َ َ ٰ َ ْ ‫َ ْ َ ْ َ ْ ﱠ َﱠ ُﱠ‬ ٰ ٰ ‫ﱠ‬ ََ َ ْ ‫ُ َ ﱠ‬
\Qِ ‫ اﻟﻌﺮ ِشۗ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﺎ ﻳ ِﻠﺞ‬FED ‫ ِﺳﺘ ِﺔ اﻳﺎ ٍم ﺛﻢ اﺳﺘﻮى‬RQِ ‫®رض‬U‫ﻠﻖ اﻟﺴﻤﻮ ِت وا‬c ‫ي‬vِ u‫ﻫﻮ ا‬
ُ َ ُ ُ ُ َْ ََ َ ‫ََ َ ُُْ ْ َ ََ َْ ُ َ ﱠ‬
ْ‫ج ﻓ ْﻴ َﻬﺎۗ َو ُﻫ َﻮ َﻣ َﻌﻜ ْﻢ ا ْﻳ َﻦ َﻣﺎ ﻛ ْ ُﺘﻢ‬ َْْ
ۗ ِ ‫ل ِﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎۤ ِء وﻣﺎ ﻳﻌﺮ‬Ðِ ¿‫‡ﺮج ِﻣﻨﻬﺎ وﻣﺎ ﻳ‬° ‫®ر ِض وﻣﺎ‬U‫ا‬
ٌۗkjْ ‫ﷲ ﺑ َﻤﺎ َﺗ ْﻌ َﻤ ُﻠ ْﻮ َن َﺑﺼ‬ُ ± ‫َوا‬
ِ ِ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian,
Dia bersemayam di atas ʻArasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar darinya serta apa yang turun dari langit dan apa
yang naik ke sana.710) Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

b. Irthibath Ghairu Ma’tufah


Jika irthibath antara satu bagian dengan bagian lain dari ayat atau antara satu ayat
dengan ayat berikutnya tidak menggunakan huruf athaf maka dalam hal ini untuk
mencari munasabahnya harus dicari qarain maknawiyyah, petunjuk-petunjuk yang
didapatkan dari pengertian maknanya. Petunjuk maknawiyah yang bisa digunakan
antara lain, adalah:
1) At-Tanzhir, yaitu, menghubungkan suatu keserasian dengan keserasian
lain,yang dilakukan oleh pemikir, misalnya QS. Al -Anfal [18]: (4-5)25

24
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 216
25
Amroeni Drajat, Ulumul Qur`an, (Cimanggis, Kencana, 2017), Cet. 1, h. 60

14
Dicari bandingan atau nazhir antara satu ayat dengan ayat lainnya, misalnya:
َ ُ ٰ َ َ ْ ْ ً َ ‫ْ َ َْ ّ ﱠ‬ َ َ َ ْ َ َ َ
‫ﻜ ِﺮﻫ ْﻮن‬O ‘jْ ‫ ِﺘﻚ ِﺑﺎ†„ ِﻖۖ َو ِان ﻓ ِﺮ ْﻳﻘﺎ ِّﻣ َﻦ اﻟ ُﻤﺆ ِﻣ ِﻨ‬a‫ﻚ َر ﱡﺑﻚ ِﻣ ْﻦۢ َﺑ‬Ñ‫ﻛﻤﺎٓ اﺧ َﺮ‬

“(Peristiwa itu) sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu


dengan (berdasar) kebenaran meskipun sesungguhnya sebagian orang-
orang yang beriman, itu tidak menyukainya.” (QS. Al-Anfal [8]: 5)

2) Al-Madhadah
Petunjuk makna lain yang dapat digunakan untuk mencari munasabah antara
ayat yang tidak ada huruf athafnya adalah dengan mencari lawannya,
contohnya:
َ ْ ُ ْ ُ َ ْ ُ ْ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ َ ْ َ َْ َ ْ ْ َ َ ٌ َ َ ْ ُ َ َ َْ ‫ﱠ ﱠ‬
‫ﻮن‬Õ‫® ﻳﺆ ِﻣ‬U ‫ﻢ ام ﻟﻢ ﺗﻨ ِﺬرﻫﻢ‬ÊÉ‫ﻠﻴ ِﻬﻢ ءاﻧﺬر‬D ‫ ﻛﻔﺮوا ﺳﻮاۤء‬ÇÆvِ u‫ِان ا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang kufur itu sama saja bagi mereka,


apakah engkau (Nabi Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri
peringatan, mereka tidak akan beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 6)

Di awal surat disebutkan tentang Kitab Suci AL-Qur’an dan sifat orang-orang
beriman yang mendapat peyunjuk dari Allah SWT. Setelah itu dijelaskan sifat
yang berlawanan, yaitu sikap orang-orang kafir yang mengingkarinya.

3) Al-Istithrad yaitu, Perpindahan dari suatu perkataan ke perkataan lain karena


ada hubungannya. Perpindahan itu terjadi sanat cepat sekali sehingga redaksi
pendenar sering tidak merasakannya, misalnya Al- Syu`ara` [26]:87

Ayat ini menceritakan doa Nabi Ibrahim kepada Allah SWT. Kemudian
pembicaraan berpindah kepada menceritakan hari kiamat. “Pada hari itu tidak
berguna lagi harta dan anak-anak “, QS, As-Syu`ara` (26): 72-76 menceritakan
sifat-sifat berhala yang disembah oleh umatnya. Nabi Ibrahim. Berkata,
“Apakah berhala itu mendengar Ketika kamu memanggilnya? Ataukah berhala
itu dapat memebrikan manfaat atau mudharat kepadamu? Mereka menjawab,
seperti inilah kami dapati nenek moyang kami. Ibrahim berkata, “Apakah kamu
tidak pernah pikirkan apa yang kamu sembah oleh nenek moyangmu? Pada
ayat 77-82, pembicaraan mulai bergeser kepada membicarakan sifat-sofat
Allah SWT.26

26
Amroeni Drajat, Ulumul Qur`an, (Cimanggis, Kencana, 2017), Cet. 1, h. 60

15
Kaitan antara satu ayat dengan ayat sebelumnya dapat dilihat dari sisi
Istithrad, seperti dalam contoh berikut ini:
َ َ ٰ ْ‫ﱠ‬ ًْ ُ ُ َ َ َ ْ َْ ْ َ َ ٰ
ۗkٌ jْ c ‫ﻚ‬Oِ ‫ َ×ﺎ ُس اﻟﺘﻘ ٰﻮى ذ‬rِ‫ﺎۗ َو‬ÙØ‫ َ×ﺎ ًﺳﺎ ﱡﻳ َﻮا ِر ْي َﺳ ْﻮ ٰء ِﺗﻜ ْﻢ َو ِر‬rِ ‫ ْ»ﻜ ْﻢ‬ÖD ‫ﺎ‬Õr‫ٓ اد َم ﻗﺪ اﻧ َﺰ‬fْ ]ِ ‫ٰﻳ َﺒ‬
َ ‫ َ َﱠ ﱠ ﱠ‬± ٰ ْ َ ٰ
‫ﷲ ﻟﻌﻠ ُﻬ ْﻢ َﻳﺬﻛ ُﺮ ْون‬ ِ ‫ﻚ ِﻣﻦ ا ٰﻳ ِﺖ ا‬Oِ ‫ذ‬
“Wahai anak cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutupi auratmu dan bulu (sebagai bahan pakaian untuk
menghias diri). (Akan tetapi,) pakaian takwa itulah yang paling baik.
Yang demikian itu merupakan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Allah
agar mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raf [7]: 26)

Ayat ini merupakan penjelasan lebih lanjut (istithradh) dari ayat


sebelumnya. Sebelumnya diceritakan bagaimana Adam dan Hawa setelah
tergoda oleh Syaithan terbuka aurat keduanya, lalu berusaha menutupinya
dengan daun-daun surga. Dalam ayat 26 ini dijelaskan tiga fungsi pakaian yaitu
untuk menutup aurat, untuk perhiasan, dan untuk menunjukkan ketaqwaan. 27

4) At-Takhallus yaitu, mengalihkan pembicaraan kepada masalah lain yang


kelihatnnya sepintas tidak ada hubungan dengan maslalah pertama, tetapi bila
direnungkan lebih dalam, sebenarnya masih terdapat hubungan. Misalnya QS.
Al-Isra` [17]:1 dengan ayat 2.
‫ﱠ‬ ْ ‫ﱠ‬
ْ‫ي‬vu‫ َ® ْﻗ َﺼﺎ ا‬Uْ ‫ ّﻣ َﻦ ا ْﻟ َﻤ ْﺴﺠﺪ ا†„ َ َﺮام ا[َ\ ا ْﻟ َﻤ ْﺴﺠﺪ ا‬onً »ْ rَ ‫ ْي َا ْ· ٰ¸ى ﺑ َﻌ ْﺒﺪه‬vu‫ُﺳ ْﺒ ٰﺤ َﻦ ا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٖ ِ ِ ٓ َِ
ُ ْ َ
ْ ُ ْ ‫ﱠ‬ َ ُ ٗ‫َٰ ْ َ َ ْ ٗ ُ َ ٗ ْ ٰ َ ﱠ‬
ٰ
« - kj‫ﻨﺎۗ ِاﻧﻪ ﻫﻮ اﻟﺴ ِﻤﻴﻊ اﻟﺒ ِﺼ‬žِ ‫ﻳﻪ ِﻣﻦ اﻳ‬kِ ¿Oِ ¾u‫ﺑﺮﻛﻨﺎ ﺣﻮ‬

“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya


(Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
Maha Mendengar, Maha Melihat” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 1).

ً ْ َ ْ ُ ْ ْ ُ ‫ْ َ َﱠ َﱠ‬
ْ َ ْ ْ َ ّ ً ُ ُ ٰ ْ َ َ َ َ ٰ ْ َ ْ ُ َ ْ َٰ َ
Û - ۗon‫ و ِﻛﻴ‬RŸ‫® ﺗﺘ ِﺨﺬوا ِﻣﻦ د ِو‬U‫ٓ ِا·¸اۤ ِءﻳﻞ ا‬f]ِ ‫ﺐ وﺟﻌﻠﻨﻪ ﻫﺪى ِﻟﺒ‬ž‫ ِﻜ‬O‫\ ا‬À‫ﻨﺎ ﻣﻮ‬a‫واﺗ‬

“Dan Kami berikan kepada Musa, Kitab (Taurat) dan Kami jadikannya
petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), “Janganlah kamu
mengambil (pelindung) selain Aku”. (QS. Al-Isrâ’ [17]: 2).

Bila direnungkan sebenarnya mempunyai hubungan serasi antara keduanya.


Hubungan itu seolah-olah Allah berkat kepada Nabi Muhammads saw. “Kami

27
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 223

16
telah memperlihatkan kepadamu sekalian tanda-tanda kebesaranKu melalui
perjalanan isra`mi`raj agar engkau ceritakan kepada ummmatmu seebagai
peringatan. Kami beritakan kepadamu kisah Nabi Musa dan ummatnya agar
menjadi pelajaran bagi umatmu. Munasabah yang lain dapat dikatana, “kami
telah memperjalankan engkau dari masjid Haram ke Masjid Aqsha
sebagaimana telah kami memperjalankan Musa dari Mesir Ketika dikejar-kejar
oleh Fir`aun, kemudian ayat berikutnya:
ُ َ ً َ َ َ ٗ‫ُ ﱠ‬ َْ َ َ َ ُ
Þ - ‫ن ﻋ ْﺒﺪا ﺷﻜ ْﻮ ًرا‬yx ‫ﻠﻨﺎ َﻣ َﻊ ﻧ ْﻮ ٍحۗ ِاﻧﻪ‬-, ‫ذ ِّرﱠﻳﺔ َﻣ ْﻦ‬

“(Wahai) keturunan orang yang Kami bawa bersama Nuh.


Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba (Allah) yang banyak
bersyukur.”

Bermunasabah dengan ayat sebelumnya, Ketika itu Allah melepaskan


mereka dari bahaya tenggelam. Jika Allah SWT, tidak mnyelamatkan nenek
moyang mereka dahulu, niscaya mereka (bani Israil) tidak ada sekarang.
Dahulu Nabi Nuh adalah hamba Allah yang taat, dan kaum Bnaoi Israil adalah
anak cucunya, seharusnyakamu juga menjadi hamba-hamba Allah yang taat
kepada Allah SWT, seperti nenek moyangmu dullu, 28

Mirip dengan Istithrad adalah takhallus, yaitu perpindahan dari


pembicaraan semula kepada pembicaraan lain tanpa dirasakan oleh pembaca,
karena begitu dekatnya isi pembicaraan kedua dengan yang pertama. Menurut
az-Zamakhsyari (w. 1143) contoh yang paling baik untuk takhallus adalah
surat An-Nûr ayat 35.
َْ ٰ َ ُ َْ َ
ْRQِ ‫® ْر ِضۗ َﻣ َﺜﻞ ُﻧ ْﻮر ٖه ﻛ ِﻤ ْﺸﻜﻮ ٍة ِﻓ ْﻴ َﻬﺎ ِﻣ ْﺼ َﺒﺎ ٌحۗ اﻟ ِﻤ ْﺼ َﺒﺎ ُح‬U‫ﷲ ُﻧ ْﻮ ُر اﻟﱠﺴ ٰﻤ ٰﻮ ِت َوا‬ ُ±‫۞ا‬
َ‫ﱡ ٰ َ َ َْ ُ ْ َﱠ َ ﱠ ﱠ‬ ِ
ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ ‫ُ َ َ َ ﱡ َ َ ُ َ َﱠ َ َ ْ َ ٌ ُ ّ ﱞ ﱡ‬
®U‫¸ ِﻗﻴ ٍﺔ و‬â ®U ‫ﻛ ٍﺔ زﻳﺘﻮﻧ ٍﺔ‬kŒ‫ﻧﻬﺎ ﻛﻮﻛﺐ د ِري ﻳﻮﻗﺪ ِﻣﻦ ﺷﺠﺮ ٍة ﻣ‬yx ‫ﺎﺟﺔ‬Ñ‫ﺎﺟ ٍﺔۗاﻟﺰ‬Ñ‫ز‬
ُ ُ± ُ ٰ َ ُ َ ُ َ َ َ ُ ‫ ُد َز ْﻳ ُﺘ َﻬﺎ‬yœَ ‫َﻏ ْﺮﺑﱠﻴﺔۙﱠﻳ‬
‫ﷲ ِﻟﻨ ْﻮ ِر ٖه َﻣ ْﻦ‬ ‫ ﻧ ْﻮ ٍرۗ َﻳ ْﻬ ِﺪى ا‬FED ‫ۤ ُء َوﻟ ْﻮ ﻟ ْﻢ ﺗ ْﻤ َﺴ ْﺴﻪ ﻧﺎ ٌرۗ ﻧ ْﻮ ٌر‬fْ å ‫ﻳ‬
َِ ْ ± ٍ ِ
َ ّ ُ ± َ
ۙ ‫ ِﻠ ْﻴ ٌﻢ‬D ‫ ٍء‬Rْ é èِ œ‫ﻠﻨﺎ ِسۗ َوا ُﷲ ِﺑ‬Oِ ‫ﺎل‬ç‫® ْﻣ‬U‫ ِ¸ ُب ا ُﷲ ا‬æ‫ﺎۤ ُءۗ َو َﻳ‬Ùَ Ø‫ﱠ‬
َ ‫ﱠ‬ َ ْ

“Allah (pemberi) cahaya (pada) langit dan bumi. Perumpamaan


cahaya-Nya seperti sebuah lubang (pada dinding) yang tidak tembus
yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca
(dan) tabung kaca itu bagaikan bintang (yang berkilauan seperti)
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi,

28
Amroeni Drajat, Ulumul Qur`an, (Cimanggis, Kencana, 2017), Cet. 1, h. 61

17
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat,
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah memberi
petunjuk menuju cahaya-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nûr: 35

Ada 5 Takhallus dalam ayat ini. Setelah menjelaskan sifat cahaya (nûr)
dan perumpamaanya, lalu berpindah kepada pembicaraan tentang kaca
(zujazah) dan sifatnya, kemudia kembali pembicaraan tentang cahaya dan
minyak yang membuatnya menyala, kemudian berpindah kepada
pembicaraan tentang pohon (Syajarah), kemudian berpindah lagi kepada
pembicaraan tentang sifat minyak (zait), kemudian berpindah lagi kepada
sifat cahaya (nûr) yang berlipat ganda, kemudian berpindah kepada
pembicaraan tentang nikmat-nikmat Allah SWT berupa petunjuk kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya. 29

G. Urgensi dan Fungsi Mempelajari Munasabah


Sebagaimana Asbâb an-Nuzûl, munasabah sangat berperan dalam memahami al
Qur’an. Muhammad ‘Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan
yang diungkapkan oleh surat surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan
pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak
memahami sistematika surat semestinyalah ia memperhatikan keseluruhannya,
sebagaimana juga memerhatikan segala permasalahannya”. Di samping itu, para ulama
bersepakat bahwa Al-Quran ini, yang diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan
mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya
memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari
asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya.
Berdasarkan prinsip itu pulalah, az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika ada asbab An-
Nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah.30
Ada tiga arti penting dari munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami
dan menafsirkan Al-Qur’an. Pertama. Dari sisi Balaghah, korelasi antara ayat dengan
ayat menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an utuh dan indah. Bila dipenggal maka keserasian,
kehalusan, dan keindahan kalimat yang teruntai di dalam setiap ayat akan menjadi hilang.

29
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 224
30
Najibah Nida Nurjannah, “Urgensi Munasabah Ayat dalam Penafsiran Al-Qur’an”, dalam Jurnal Al-
Fath, Vol. 14, No. 1, 2020, h. 126

18
Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau
surat. Ketiga, ilmu munasabah sangat membantu seorang mufassir dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an, ehingga menjelaskan keutuhan makna ayat-ayat Al-Qur’an,
sehingga menjelaskan keutuhan makna ayat atau kelompok ayat.31
Ilmu munasabah Al-Qur’an mempunyai beberapa fungsi (faedah), yaitu:
1. Dapat membantu memahami adanya takwil ayat.
2. Dapat mengetahui makna-makna Al-Qur`an, I’jaznya, menetapkan penjelasan,
keteraturan kalamnya dan keindahan uslubnya.
3. Dapat mengetahui kedudukan suatu ayat yang terkadang sebagai ta’kid ayat
sebelumnya, atau sebagai tafsiran, atau selingan.
4. Dapat mengetahui kondisi dan situasi yang merupakan latar belakang
(background)nya suatu peristiwa.
5. Dapat mengetahui ‘alaqah antara khitam suatu surat dengan fatihah surat
berikutnya, atau fatihah dengan khitam satu surat.32

31
Yunahar Ilyas, “Kuliah Ulumul Qur’an”, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet. III, h. 225-226
32
Pengertian Munasabah beserta Fungsi dan Bentuknya, https://www.ayoksinau.com/pengertian-
munasabah. Diakses tgl 22-11-21, Pukull 13.00

19
BAB III

PENUTUP / KESIMPULAN

Adapun secara garis besar dapat disimpulkan dari makalah tentang munasabah, maka
dapat diambil beberapa poin yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini. Terkait
pengertian dari munasabah sendiri yakni secara harfiah bermakna berarti perhubungan,
pertalian, pertautan, persesuain, kecocokan, dan kepantasan. Sedangkan secara terminologi,
ahli-ahli ilmu Al-Qur`an memaknainya dengan segi-segi hubungan atau persesuaian Al-
Qur`an antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuknya.
Macam-macam munasabah, sebagaimana yang dikutip oleh penulis, terbagi menjadi 5
macam, yakni munasabah antara satu kalimat dengan kalimat sebelumnya dalam satu ayat,
munasabah antara satu ayat dengan ayat sesudahnya, munasabah antara kelompok ayat dengan
kelompok ayat sebelumnya, dan munasabah antara saty surat dengan surat lainnya.
Ada tiga arti penting dari munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami dan
menafsirkan Al-Qur’an. Pertama. Dari sisi Balaghah, korelasi antara ayat dengan ayat
menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an utuh dan indah. Bila dipenggal maka keserasian, kehalusan,
dan keindahan kalimat yang teruntai di dalam setiap ayat akan menjadi hilang. Kedua, ilmu
munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat. Ketiga, ilmu
munasabah sangat membantu seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an,
ehingga menjelaskan keutuhan makna ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga menjelaskan keutuhan
makna ayat atau kelompok ayat.

20
DAFTAR PUSTAKA:

Anwar, Rosihan, Ulum Al-Quran, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012

Amin, Suma, Muhammad, Ulumul Qur`an, Depok: Raja Grafindo, 2014 237

Badr, Al-Imam ad-Din Muhammad Ibn Abdillah Az Zarkasyi, al Burhan fi `Ulumil


Qur`an, Riyadh: Dar `Alam al-Kutub, 2003

Badr, Al-Imam Badr ad-Din Muhammad Ibn Abdillah Az Zarkasyi, Tahqiq Abul Fadhl
Ad-Dimyathi, al Burhan fi `Ulumil Qur`an, Kairo: Dar `Al-Hadits, 2006,

Drajat, Amroeni, Ulumul Qur`an, Cimanggis, Kencana, 2017

Harun, Salman, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta: Qaf, 2017

Iman, Fauzul, “Munâsabah Al-Qur`an”, dalam Jurnal al-Qalam, No. 63 /XII/1997

Ilyas, Yunahar, “Kuliah Ulumul Qur’an”, Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014

Jalaluddin, Imam, Asy Suyuthi, Samudera Ulumul Qu`ran, Surabaya: PT. Bina Ilmu
Offset, 2008.

Musaddad, Endad, “Munasabah dalam Al-Qur`an”, dalam Jurnal al-Qalam, Vol. 22 No.
3 September-Desember, 2005

Nida, Najibah, Nurjannah, “Urgensi Munasabah Ayat dalam Penafsiran Al-Qur’an”, dalam
Jurnal Al-Fath, Vol. 14, No. 1, 2020

Rahmat, Shalihin, “Munasabah Al-Quran: Studi Menemukan Tema Yang Saling


Berkorelasi Dalam Konteks Pendidikan Islam”, dalam Journal of Islamic and Law
StudiesVolome 2, Nomor 1, Juni 2018

Pengertian Munâsabah beserta Fungsi dan Bentuknya,


https://www.ayoksinau.com/pengertian-munasabah. Diakses tgl 22-11-21, Pukull
13.00
Qathan, Manna Khalil, Mabahits fii Ulumul Quran, Kairo: Maktabah Wahbah.

Shihab, M. Qurais, Kidah Tafsir, Ciputata: Lentera Hati, 2019

Ulumul Qur`an, http://jakhinjj.blogspot.com/2016/04/makalah-ilmu-munasabah.html,


diakses 24-11-21, pkl 14.30.

21

Anda mungkin juga menyukai