Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENGANTAR STUDI HUKUM ISLAM

TENTANG

“MAKNA AL AHKAM AL HAKIM DAN AL MAHKUM ALAIHI DAN AL


MAHKUM FIHI”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
Ratih Elfitri 2214070020

Maulida Adzkia 2214070023

Dimas Zulvalen 2214070010

Dosen pengampu:

Dr. Fathur Rahmi, MA

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH ITIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

1444H/2022M
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah yamg telah

melimpahkan rahmat dan karunianya, sehinga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna

memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Pengantar Studi Hukum Islam, dengan judul:

“Makna Al ahkam al hakim dan Al mahkum alaihi Al mahkum fihi”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak

pihak yang dengan tulis memberikan doa,saran, dan kritik sehingga makalah ini dapat di

selesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih ja dari kata sempurna dikarenakan

terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan

segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya

kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia

pendidikan.

Padang, 6 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................1
1.3 Tujuan Masalah.............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................2
A. Pengertian Al ahkam, Al hakim, Hukum taklify, hukum
wadh‟i..............................................................................................2
B. Pengertian al-mahkum „alaihi dan al-mahkum fihi, serta
persyaratannya.................................................................................9
BAB III PENUTUP................................................................................11
A. KESIMPULAN...........................................................................
B. SARAN......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al ahkam mempelajari hukum syar‟i yang mana dalam istilah ushul, yaitu
pembicaraan syar‟i bersangkut dengan perbuatan mukallaf , untuk memberi nama hukum
yang bersangkutan dengan perbuatan mukallaf atas bentuk permintaan, atau memilih
dengan hukum taklify (yang dibebankan). Al hakim menjadi sumber dari al ahkam.
Hukum taklify adalah hukum yang mengandung tuntutan, hukum taklify ada lima, yaitu
al ijab, an-nadh, at-tahrim, al karahah, al ibahah. Sedangkan hukum wadh‟i adalah firman
yang menjadikan sesuatu sebagai adanya yang lain, hukum wadh‟i ada lima, yaitu sebab,
mani‟, azimah, rukhshah.
Al mahkum fih, perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syar‟i,
sedangkan al mahkum alaih, yaitu perbuatan mukallaf yang menyangkutkan dengan
hukum syar‟i.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana pengertian al ahkam dan al hakim


b. Bagaimana pengertian al mahkum alaih dan al mahkum fihi
c. Apa hukum taklify dan hukum wadh‟i
d. makna dari hukum taklify dan hukum wadh‟i
1.3 Tujuan Masalah

a. Dapat mengetahui pengertian dan makna dari al ahkam, al hakim, al mahkum


fihi, al mahkum alaihi
b. Dapat mengetahui hukum taklify dan wadh‟i beserta contoh dari hukum taklify
dan hukum wadh‟i.

1
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Al Ahkam, Al Hakim, Hukum Taklify, Hukum Wadh’i


1. Pengertian Al ahkam

Al ahkam adalah hukum syar‟i, dalam istilah ushul, yaitu pembicaraan syar‟i bersangkutan
dengan perbuatan mukallaf. Diminta, dipilih dan ditetapkan Tuhan berfirman dalam Al Quran,
tepatilah janji itu. Inilah pembicaraan syar‟i yang bersangkutan dengan memenuhi janji. Disuruh
untuk memperbuatnya. Lagi firman Tuhan yang berbunyi: “Janganlah suatu kaum memperolok-
olok. Diminta supaya ditinggalkan. Adapun hukum syar‟i itu menurut istilah fuqaha, yaitu berita
yang melakukan pembicaraan syar‟i dalam perbuatan. Seperti wajib, haram dan mubah.
Tepatilah janji itu. Melakukan wajib menepati janji. Maka nash itu sendiri yang merupakan
hukum dalam istilah ushul.1

Pendapat lain mengenai pengertian al-ahkam yaitu khitab Allah yang berhubungan
dengan perbutan mukallaf dalam bentuk al-iqtida, al-takhyir dan al-wadh‟i. Yang dimaksud
dengan khitab adalah firman Allah yang berupa perintah atau larangan-larangan. khitab sebagai
al-mukhthab bih, yakni produk dari khitab yang berupa jenis perbuatan hukum. Juhaya S.Pradja
mengatakan bahwa al-iqtidah‟(imperatif) ialah tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan atau
untuk tidak melakukan suatu perbuatan. At-takhyir(fakultatif) ialah apabila hakim membenarkan
pilihan kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbutan atau tidak melakukannya, yang
dimaksud dengan al-ibahah, perbuatannya disebut mubah. Perbuatan hukum yang berupa
aliqtidha dan at-takhyir disebut dengan al-ahkam al-khamsah atau al-hukum at-taklifi.2

2. Pengertian Al Hakim
Al-Hakim yaitu pihak yang menetapkan hukum atau pembuat hukum dan menetapkan
baik buruknya suatu perbuatan. Dalam prinsip hukum islam, hakim adalah Allah Swt. Alasan
bahwa hakim yang pertama harus dibahas, karena tanpa hakim, hukum islam tidak ada. Untuk
menyampaikan hukum atau syariat kepada manusia, hakim yaitu Allah, menciptakan
utusanutusan yang disebut dengan Rasulullah. Sebelum Allah mengutus para rasul, tidak ada
syariat yang berlaku. Dalam hal ini, hanafi mengutarakan dua pendapat, yaitu:
1
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta,Rineka Cipta,1993) ,hal 119-120
2
Beni Ahmd Saebani,, Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung,CV Pustaka Setia) ,hal 265

2
a. Pendapat yang dikemukakan oleh kaum Asy‟ariah, yang dipelopori oleh Abdul Hasan
AaAsy‟ari, yang berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tidak dapat diketahui oleh akal
semata-mata. Oleh karena itu, seluruh bentuk perbuatan manusia yang terjadi sebelum
diangkat utusan-utusan Allah, tidak ada hukumnya atau tidak ada sanksi bagi pelaku
perbuatan tersebut, sebagaimana kufur tidak haram dan iman tidak diwajibkan.
b. Pendapat kaum Mu‟tazilah, yang dipelopori oleh Wasil bin Atha, bependapat bahwa
hukum dan syariat Allah sebelum dibangkitkan utusan-utusan Allah dapat diketahui oleh
akal.
Al-Hakim adalah Allah yang mahasuci dan berdiri sendiri yang menciptakan segala
sesuatu dengan benar tanpa harus ada yang membenarkannya.Dengan demikian,jika ada yang
mengatakan bahwa hukum Allah itu benar,tidak lantas menjadikan hukum Allah itu
benar,karena tanpa pernyataan tersebut,hukum Allah sudah benar.Allah sebagai Al-hakim
atau pembuat hukum,baik Dsat Allah maupun hukum yang diciptakan-nyatelah benar dengan
sendirinya.3

3. Pengertian hukum taklify

Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan
tuntutan pasti,tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan tidak pasti,tuntutan untuk
meninggalkan dengan tuntutan pasti,tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan yang tidak
pasti,tuntutan untuk memilih mengerjakan atau meninggalkan.4 Menurut jumhur ulama,hukum
taklifi ada lima,yaitu:

a. Al-ijab (wajib)

Hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan pasti,


Sesuatu yang dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan mendapatkan dosa.

Contoh firman Allah Swt: َّ ‫َوَأقِي ُموا ال‬


َ‫صاَل ةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوارْ َكعُوا َم َع الرَّا ِك ِعين‬

3
Ibid hal 2
4
Dewi Masyithoh, Fiqh(Jakarta, Kementrian Agama Republik Indonesia,2019),hal 50-55

3
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku‟lah beserta orang-orang yang ruku‟.(QS. Al
Baqarah:43)”.

b. An-nadb (sunnah)

Hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan tidak pasti,
Sesuatu yang dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan
dosa dan tidak mendapatkan pahala.

ٓ
Contoh firman Alllah Swt: ُ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوْ ۗه‬

“Hai orang -orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqarah:282)”

c. At-tahrim

Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan pasti. Sesuatu
yang jika ditinggalkan mendapat pahala dan ditinggalkan mendapatkan dosa.

‫ُوا ٱل ِّزن ٰ َٓى ۖ ِإنَّهۥُ َكانَ ٰفَ ِح َشةً َو َسٓا َء َسبِي ًل‬
۟ ‫َواَل تَ ْق َرب‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina;sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji,dan suatu jalan yang buruk.(QS. Al-Isra‟:32)”

d. Al-karahah (makruh)

Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan tidak pasti.
Sesuatu yang ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak mendapat pahala
dan dosa

Contoh firman Allah Swt

۟ ُ‫وا ع َْن َأ ْشيَٓا َء ن تُ ْب َد لَ ُك ْم تَ ُسْؤ ُك ْم َو ن تَ ْسـَٔل‬


‫وا َع ْنهَا ِحينَ يُنَ َّز ُل ْٱلقُرْ َءانُ تُ ْب َد لَ ُك ْم َعفَا ٱهَّلل ُ َع ْنهَا ۗ َوٱهَّلل ُ َغفُو ٌر َحلِي ٌم‬ ۟ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
۟ ُ‫وا اَل تَ ْسـَٔل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ َ

4
“Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.(QS.Al-Maidah:101)”

e. Al-ibahah (mubah)
Hukum yang mengandung tuntutan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan.

Contoh firman Allah Swt:

ۗ ‫طبَ ِة النِّ َس ۤا ِء اَوْ اَ ْكنَ ْنتُ ْم فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس ُك ْم‬


ْ ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما َعرَّضْ تُ ْم بِ ٖه ِم ْن ِخ‬
َ ‫َواَل جُ ن‬

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu

menyembunyikan(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.(QS.Al-Baqarah:235)”.

4. Pengertian hukum wadh’I


Hukum wadh‟i adalah firman yang menjadikan sesuatu sebagai adanya yang lain
(musabbab) atau sebagai syarat yang lain (masyrut) atau sebagai penghalang (mani‟) adanya
yang lain.5

Berikut pembagian hukum wadh‟i :

a. Sebab
Sebab ialah sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan sebagai pangkal adanya
hukum (musabbab). Artinya dengan adanya sebab, dengan sendirinya akan terwujud hukum atau
musabbab.

Contoh firman Allah SWT:

‫هّٰلل‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫اَل َّزانِيَةُ َوال َّزانِ ْي فَاجْ لِ ُدوْ ا ُك َّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ِماَئةَ َج ْل َد ٍة ۖ َّواَل تَْأ ُخ ْذ ُك ْم بِ ِه َما َرْأفَةٌ فِ ْي ِدي ِْن ِ اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِا‬
َ‫َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۚ ِر َو ْليَ ْشهَ ْـد َع َذابَهُ َما طَ ۤا ِٕىفَةٌ ِّمنَ ْال ُمْؤ ِمنِ ْين‬

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,maka deralah tiap-tiap seseorang
dari keduannya seratus kali dera,dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
5
Ibid hal 2

5
untuk(menjalankan) agama Allah,jika kamu beriman kepada Allah,dan hari akhirat,dan
hendaklah(pelaksanaan)hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang
beriman (QS.An-Nur:2)”.

Menurut Imam Hanafi sebab terdiri dari 6 macam, yaitu:

1) Sebab diluar usaha atau kesanggupan mukallaf, sebagaimana keadaan emergensi atau
darurat menjadi sebab memakan bangkai menjadi tidak berdosa, tergelincirnya matahari
menjadi sebab wajibnya shalat zhuhur, telah dewasanya umur seseorang menjadi sebab ia
terkena beban taklif dan sebagainya.

2) Sebab yang disanggupi dan dapat diusahakan oleh mukallaf. Sebab jenis ini dibagi dua,
yaitu:
• yang termasuk dalam hukum taklifi
• yang termasuk dalam hukum wadh‟I.
3) Mengerjakan sebab berarti menghendaki musabbabnya, karena sebab-sebab itu tidak
dinamakan sebab kalau tidak untuk menghasilkan musabbabnya. Contohnya, seseorang
menikah maka akan melahirkan hukum lain sebagai akibat adanya pernikahan, misalnya
harta bersama, saling mewarisi, adanya dukhul dan sebagainya.
4) Mengerjakan sebab berarti mengerjakan musabbabnya, disadari atau tidak.
5) Orang yang mengerjakan sebab dengan sempurna syarat-syaratnya dan tidak terdapat
halangannya maka orang tersebut tidak bisa mengelakkan diri dari musabbabnya.
6) Sebab-sebab yang dilarang adalah sebab-sebab kerusakan atau keburukan, sebagaimana
kebalikan nya sebab-sebab yang diperintahkan adalah sebab-sebab kebaikan dan
kemaslahatan.
b. Syarat
Syarat yaitu sesuatu yang menyebabkan adanya hukum, dan ketiadaannya berarti tidak
ada hukum (masyrut). Contohnya, syarat sah shalat harus berwudhu terlebih dahulu, syarat sah
shalat harus sesuai dengan rukun shalat.

Syarat dibagi dua, yaitu:

1) Syarat haqiqi, suatu syarat utama bagi pekerjaan lain yang berhubungan langsung
dengannya.
6
2) Syarat jali, yaitu segala hal yang dijadikan syarat oleh perbuatannya untuk mewujudkan
perbuatan lain.
c. Mani‟
Mani‟ (penghalang) yaitu suatu hal menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya
sebab bagi hukum.

Contohnya: seseorang yang sedang shalat tiba-tiba buang angin (kentut), otomatis shalatnya
batal.

d. Azimah
Azimah adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf tanpa adanya uzur.

Contohnya: kewajiban shalat lima waktu sejak semula dan berlaku untuk setiap mukallaf dalam
berbagai keadaan, kewajiban meninggalkan (haram) makan bangkai dan darah sebagai yang
disyariatkan sejak semula dan berlaku untuk setiap mukallaf dalam berbagai keadaan.

e. Rukhshah
Rukhshah adalah hukum yang berkaitan dengan suatu perbuatan karena adanya uzur
sebagai pengecualian dari azimah. Contohnya: memakan daging binatang buas dalam kedaaan
terpaksa.

f. Shah
Pengertian shah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “sah” digunakan
secara mutlak dengan dua pandangan:

1. Dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh dalam kehidupan
dunia atau dengan arti perbuatan itu mempunyai arti secara hukum.Ibadat itu dikatan
shah,dalam arti perbuatan ibadah itu dianggap telah memadai dan telah melepaskan
orang yang melakukannya dari tanggung jawab terhadap Allah SWT,dan telah
menggugurkannya dari kewajiban qadha dalam hal-hal yang dapat di qadha.
2. Kedua dimaksud dengan “shah” bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh atau arti
untuk kehidupan akhirat,seperti berhaknya atas pahala dari Allah SWT. Bila dikatakan

7
perbuatan itu shah berarti dari hasil perbuatan itu diharapkan mendapat pahala di
akhirat.
Pengertian shah sebagaimana berlaku pada hukum taklifi berlaku pula pada hukum
wadhi.Suatu sebab dikatakan shah bila sebab itu dapat menghasilkan musabab atau
hukum.Syarat juga diberi sifat dengan shah bila syarat itu dapat melengkapi sebab atau
melengkapi hukum.Demikian pula syarat ja’li diberi sifat shah bila dapat
mengakibatkan shahnya akad dan lazimnya apa yang dituntut oleh syarat itu dalam hal
ini adalah masyrut atau hukum.
f. Bathal
Bathal yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “batal” yaitu kebalikan dari
shah.Bathal juga mempunyai dua arti dilihat dari segi dalam bidang apa kata bathal itu
digunakan:
1. Bathal digunakan untuk arti “tidak berbekasnya perbutan bagi si pelaku dalam
kehidupan di dunia”. Arti ini berbeda dalam ibadat dengan muamalah dan akad.
Arti bathal dalam ibadat adalah bahwa ibadat itu tidak memadai dan belum
melepaskab tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban qadha.
Muamalat dikatakan batal dalam arti tidak tercapai arti atau faidah yang diharapkan
darinya secara hukum,yaitu adanya peralihan hak milik atau menghalalkan
hubungan yang semula haram.
2. Bathal digunakan untuk “tidak berbekasnya perbuatan itu bagi si pelaku di
akhirat,yaitu tidak menerima pahala. Tidak adanya bekas dari perbuatan bisa terjadi
dalam beberapa kemungkinan sebagai berikut:
a. Perbuatan itu dilakukan tanpa sengaja seperti perbuatan orang tidur.
b. Perbuatan itu dilakukan hanya semata-mata mencari tujuannya yaitu pahala.
c. Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki tanpa dalam bentuk
keterpaksaan.
d. Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki dalam bentuk ikhtiyari.

h. Fasid
Fasid adalah juga kebalkan dari shah. Istilah ini tidak berlaku dikalangan ulama
jumhur karena bagi mereka,fasid mempunyai arti yang sama dengan bathal, baik dalam

8
bidang ibadat maupun muamalah. Pengertian fasid hanya berlaku di kalangan ulama
hanafiyah,itupun hanya dalam bidang mu’amalat,tidak dalam bidang ibadat.

Menurut ulama jumhur akad yang tidak shah itu hanya ada satu macam,tidak berbeda
anatara bathal dan fasid,baik kekurangan pada rukun maupun pada syarat atau sifatnya.

Menurut ulama hanafiyah bila kekurangan atau kesalahan terdapat pada rukun dari
suatu akad,perbutan itu disebut bathal dan tidak memberi bekas apa-apa,karena tidak
terdapat sebab,dan dengan sendirinya tidak membawa akibat hukum. Bila kekurangan atau
kesalahan terdapat pada salah satu syarat di antara syarat yang berkaitan dengan hukum
disebut fasid.6

B. Pengertian Al-Mahkum ‘Alaihi Dan Al-Mahkum Fihi, Serta


Persyaratannya
1. Pengertian Al-Mahkum ‘Alaihi Serta Syaratnya
Mahkum alaihi, yaitu perbuatan mukallaf yang menyangkutkan hukum syar‟i. 7 dan
disyaratkan si mukallaf itu untuk mensahkan taklifnya menurut syariat atas dua syarat:

1. Hendaklah dia mampu memahami dalil taklif bahwa dia mampu memahami
undangundang yang dipaksakan kepadanya itu dari Al-quran dan sunah. Itu sendiri atau
dengan perentara. Orang yang tidak sanggup memahami dalil taklif itu maka tidk
mungkin dia melaksanakan apa yang dipaksakan kepanya itu dan tidak akan berhasil apa
yang dimaksudkannya itu.Kemampuan memahami dalil taklif itu hanya dapat dengan
mempergunakan nash-nash yang disusun oleh ahli-ahli fikir,yaitu dengan menggunakan
akal mereka. Menurut syari‟ seseorang itu dianggap baligh,apabila dia telah
hilm(mermimpi mengeluarkan mani) tanpa dijelaskan cacat yang terdapay padanya. Bila
telah berakal,maka berarti dia telah mampu untuk memikul tanggung jawab hukum.

2. Dia ahli tentang tanggung jawab yang dipikulkan kepanya itu. Ahli menurut bahasa yaitu
baik tindakannya artinya baik penglihatannya itu. Adapun menurut istilah ushul,ahli itu
6
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 1,(Jakarta,Prenadamedia Grup,2008), hal 127-130
7
Ibid hal 2

9
terbagi dua. Ahli wajib dan ahli menjalankannya. Ahli wajib, yaitu baik tindakan
seseorang itu. Karena itu dia tetap mempunyai hak dan kewajban-kewajiban yang
diwajibkan kepadanya itu. Asasnya khusus yang diciptakan Allah kepada seseorang dan
dikhususkan kepda manusia. Adapun keahlian bertindak, yaitu baiknya tindakan
mukallaf. Menurut syariat,ialah perkataan dan perbuatannya.

2. Pengertian Mahkum Fihi Serta Syaratnya


Mahkum fihi yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syar‟i. Syarat
sahnya taklif itu dengan perbuatan.8 Disyaratkannya dalam perbuatan yang sah menurut
syariat itu,taklif itu mempunyai 3 syarat, yaitu:

1. Diketahu bahwa si mukallaf itu mempunyai ilmu yang sempurna,sehingga si mukallaf itu
sanggup melaksanakan menurut apa yang diminta kepadanya. Di atas inilah nash-nash
Al-quran disusun. Artinya yang tidak dinyatakan maksudnya itu. Tidak sah mukallaf itu
diberarti dengannya, kecuali setelah ada pernyataan Rasul terhadapnya.
2. Hendaklah diketahui bahwa taklif itu bersumber dari orang yang mempunyai kekeuasaan
taklif (paksaan). dari orang yang harus diikuti oleh si mukallaf tentang hukumhukumnya.
Dengan ilmunya inilah diarahkan maksudnya untuk mengikut perintahnya itu.
Inilah dia sebab dikemukakan pada permulaan pembahasan tentang dalil syar‟i, apa-apa
yang dijadikan hujah terhadap si mukallaf. Artinya hukum yang menunjukkan kepadanya
itu hukum yang diwajibkan kepada si mukallaf melaksanakannya.

BAB III PENUTUP


A. KESMPULAN
Hasil dari kesimpulan makalah ini, menyimpulkan bahwa al ahkam adalah apa yang
bersumber dari al hakim, menunjukkan atas maksudnya pada perbuatan mukallaf.
Sedangkan al hakim orang yang merupakan sumber dari hakim.
Dan hukum taklify yang berkehendak meminta perbuatan mukallaf atau
memberhentikan dari membuat dan memilih memperbuat atau meninggalkan, dan hukum

8
Ibid hal 2

10
taklify itu ada 5 yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, mubah. Sedangkan hukum wadh‟i
bahwa hukum ini ditetapkan karena adakalanya menjadikan sesuatu itu menjadi sebab bagi
sesuatu yang terbagi menjadi 5 sebab, syarat, mani‟,rukhsah, dan azimah.
Mahkum fih itu perbuatan mukallaf yang menyangkut dengan hukum dan mahkum
alaih itu perbuatan mukallaf yang perbuatannya itu menyangkut (melanggar) hukum.

B. SARAN
Demikian makalah ini dibuat dapat digunakan sebagaimana mestinya. Penulis tentunya
masih menyadari makalah jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus akan
memberbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan
nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang
pembahasan makalah diatas.

DAFTAR PUSTAKA
Khallaf,Wahab,AS,1993,Ilmu ushul fiqh, Jakarta,Rineka cipta

Saebani,Ahmad,B,Ilmu ushul fiqh,Bandung,CV Pustaka setia

Masyithoh,dewi,2019,fiqh,Jakarta, kementrian agama republik indonesia.

11
Syarifuddin,A,2008,Ushul Fiqh,Jakarta,Prenadamedia,Group

12

Anda mungkin juga menyukai