Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TENTANG STEREOTIP DALAM ETIKA KOMUNIKASI

Dosen Pengajar : Intan Kemala,S.Sos.,M.Si.

Disusun oleh :
Kelompok 9
1. Kurnia Sandy 12040316230
2. M.ALFA RIZI 12040310272
3. Mai Yuriga Piqri 12040320231
4. Dinda Rahmi 12040327616
5. Ainul Fitri Al Fajriah 12040320245
6. Sarah Fitriani12040326067

ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kami persembahkan ke hadirat Allah swt, yang telah
menganugerahkan rahmat, taufiq dan hidayah serta inayah-Nya sehingga makalah ini dapat
dirampungkan. Kehadiran makalah ini dipandang untuk mengingat kebutuhan mahasiswa
terhadap referensi mata kuliah Etika Filsafat Komunikasi. sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah sederhana ini dengan baik meskipun jauh dari kata kesempurnaan.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada keharibaan junjungan kita Nabi
besar Muhammad SAW yang telah memberikan bimbingannya, sehingga kita menjadi muslim
yang beriman secara kaffah. Tujuan dalam pembuatan makalah ini untuk memenuhi salah satu
tugas kelompok pada mata kuliah sejarah islam di asia tenggara. Serta membantu mahasiswa/i
atau pembaca untuk menambah wawasan tentang Stereotip Dalam Etika Komunikasi.Akhir kata,
kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Namun, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan dalam pembuatan makalah
selanjutnya. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Pekanbaru 19 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 1
1.3 Tujuan .................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengeretian Stereotip ............................................................................. 3
2.2 Timbulnya Stereotip .............................................................................. 4
2.3 Peran Stereotip dalam Komunikasi ........................................................ 6
2.4 Pembentukan Stereotip .......................................................................... 10
2.5 Melawan Stereotip ................................................................................. 11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 13
3.2 Saran ...................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 14

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, karena terdiri atas banyak jenis suku
bangsa, adat istiadat, bahasa, serta agama yang berbeda-beda. Setiap suku di Indonesia
mempunyai ciri khas kebiasaan hidup yang berbeda. Banyaknya ragam ini, Indonesia
mengakui sebagai budaya yang bernilai tinggi. Namun di satu sisi, ketika karakter sosial dan
budaya bertemu, primordialisme seakan menjadi penghalang yang membuat mereka benar-
benar menjadi dua suku yang berbeda, tidak pernah bersatu. Suatu ikatan oleh kelompok
pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi dapat berperan penting
dalam pembentukan primordial. Namun disi yang lain, sikap primordialisme berfungsi untuk
melestarikan budaya setiap kelompoknya1.
Sedangkan sikap ini dapat mempengaruhi sikap yang cenderung bersifat subyektif
dalam memandang budaya lain oleh individu maupun kelompok. Mereka akan membanding-
bandingkan budaya lain dengan budayanya dengan kacamata sendiri.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa Pengeretian Stereotip?
2. Bagaimana Timbulnya Stereotip?
3. Sebutkan Peran Stereotip dalam Komunikasi?
4. Bagaimana Pembentukan Stereotip?
5. Bagaimana Melawan Stereotip?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengeretian Stereotip?

1
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta
1
2. Untuk Mengetahui Timbulnya Stereotip?
3. Untuk Mengeahui Peran Stereotip dalam Komunikasi?
4. Untuk Mengetahui Pembentukan Stereotip?
5. Untuk Mengetahui Melawan Stereotip?

2
BAB ll
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Stereotip


Istilah stereotip gabungan dari bahasa Yunani yaitu stereos yang artinya tetap, padat,
atau permanen dan typus dari bahasa Latin yang artinya kesan. Dari dua makna kata itu secara
akurat menggambarkan dua atribut penting adari istilah dalam penggunaan masa sekarang,
yakni sebuah kesan yang sifatnya tetap. Istilah ini pada awalnya berasal dari printing trade
yang untuk pertama kali diadopsi pada tahun 1798 oleh Firmin Didot untuk menggambarkan
pelat cetak yang menduplikasikan tipografi mana pun. Pelat cetak duplikat atau stereotipnya
digunakan untuk mencetak, bukan yang asli. Diluar pencetakan, referensi pertama untuk
istilah stereotip terjadi pada tahun 1850 sebagai kata bneda yang berarti citra diabadikan tanpa
perubahan.
Kemudian pada tahun 1922, stereotip pertama kalinya digunakan dalam pengertian
psikologi modern oleh seorang wartawan Amerikaa yakni Walter Lippmann dalam karyanya
Public Opinion. Dalam psikologi sosial stereotip adalah pemikiran yang diadopsi secara luas
tentang jenis individu tertentu atau cara berperilaku tertentu yang dimaksudkan untuk
mewakili keseluruhan kelompok individu.
Whitley dan Kite mengatakanstereotip sebagai keyakinan dan pendapat tentang
karakteristik, sikap dan perilaku anggota berbagai kelompok secara sederhana, penjelasan
langsung seperti halnya mengapa kita terkadang menegaskan stereotip budaya kita sendiri,
dengan menyesuaikan ke dalam profil dan gambaran diri kita seperti apa dan orang harapkan.
Sementara itu menurut Samovar dan Porter stereotip adalah persepsi atau kepercayaan
yang dianut mengenai kelompok atau individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih
dulu terbentuk. Lippman menyebutkan bahwa stereotipe secara kultural menentukan
gambaran yang mendistorsi bagian kognitif individu dan persepinya tentang dunia atas realitas.
Oleh karenanya apa yang hendak ditampilkan atau dibangun oleh media mengenai stereotip
tertentu memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat. Masyarakat akan cenderung
menganggap benar apa yang dikonstruksi oleh media.

3
Dengan stereotip, dapat disimpulkan bahwa seseorang memiliki keseluruhan
karakteristik dankemampuan yang kita asumsikan berlaku untuk semua anggota kelompok
tersebut. Stereotip mengarah pada kategorisasi sosial yang merupakan salah satu alasan untuk
membangun sikap prasangka yang mengarah pada ingroup dan out group. Stereotip adalah
gagasan atau kepercayaan yang dimiliki banyak orang tentang sesuatu atau kelompok yang
didasarkan pada bagaimana penampilan mereka diluar, yang mungkin tidak benar atau hanya
sebagian benar. Memberikan stereotip kepada orang adalah jenis prasangka karena apa yang
tampak diluar merupakan sebagian kecil dari siapa orang itu. Stereotip dapat digunakan
sebagai alasan untuk melakukan diskriminasi terhadap orang lain, atau terkadang untuk efek
lucu di banyak program televisi.
Dalam lingkup komunikasi global, sering kali kita menghakimi orang bule baik dari
eropa maupun amerika sebagai manusia yang kurang sopan hanya dikarenakan ada perbedaan
nilai kesopanan dalam penggunaan tangan kiri dan kanan. Karena dalam budaya Indonesia
hanya tangan kanan yang boleh digunakan dalam memberikan atau menunjuk sesuatu. Tangan
kiri bisa saja digunakan asal diikuti oleh ungkapan penanda kesopanan seperti maaf. Semua
ini membawa kita terjebak dalam stereotip, overgeneralisasi dan prasangka budaya yang
sering menghambat komunikasi dan bisa saja membawa konsekuensi yang lebih parah, yaitu
ketersinggungan. Karena orang tidak begitu saja menerima saat budaya atau gaya hidupnya
dikatakan tidak santun atau kurang patut. Sering sekali kita memberikan penilaian yang salah
tentang orang lain. Pada hal dalam memberikan penilaian tersebut seringkali kita hanya
melibatkan kesan, perasaan, dan intuisi subyektifitas semata. Dengan kata lain, penilaian itu
seringkali hanya dengan meamkai kacamata budaya atau perilaku kita sendiri, untuk
mengukur dan menilai budaya atau perilaku orang lain. Sehingga dapat dipastikan penilaian
yang kita berikan tersebut tidaklah obyektif, karena parameter kebenaran yang kita gunakan
adalah budaya kita sendiri. Sehingga apabila kita berbicara mengenai nilai kesopanan dan
norma hal tersebut akan menjadi sangat relative dalam wacana kebudayaan.

2.2 Timbulnya Stereotip


Orang tua dan orang dewaa lainnya secara tidak langsung menanamkan stereotip sejak
dini. Anak-anak sejak lahir sudah diberi label oleh masyarakat menggunakan nama anak laki-
4
laki untuk anak laki-laki dan perempuan untuk anak perempuan. Demikian juga dengan model
dan warna pakaian untuk mereka2.
Menurut Franzoi (2009 : 199) orang memperlihatkan sikap stereotip dengan
maksud :Berpikir cepat : memberikan informasi dasar untuk tindakan segera dalam suasana
tidak tentu, informasi yang kaya dan berbeda tentang individu yang kita tahu secara pribadi,
menampakkan berfikir sangat bebas untuk tugas lain.Efisien dan memberi peluang kepada
orang lain bergabung secara kognitif dalam aktivitas kebutuhan lain.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan mendorong timbulnya stereotip, yaitu :
1. Keluarga : perlakuan ayah dan ibu terhadap anak laki-laki dan perempuan yang berbeda.
Orang tua mempersiapkan kelahiran bayi yang berbeda atas laki-laki dan perempuan.
Mereka juga menganggap bahwa bayi laki-laki kuat, keras tangisannya, sementara bayi
perempuan lembut dan tangisannya tidak keras.
2. Teman sebaya : teman sebaya memiliki pengaruh yang besar pada stereotip anak sejak
masa prasekolah dan menjadi sangat penting ketika anak di Sekolah Menengah Pertama
maupun Sekolah Menengah atas. Teman sebaya mendorong anak laki-laki bermain
dengan permainan laki-laki seperti sepak bola, sementara anak perempuan bermain
dengan permainan perempuan seperti bermain boneka.
3. Sekolah : Sekolah memberikan sejumlah pesan gender kepada anak-anak. Sekolah
memberikan perlakuan yang berbeda diantara mereka.
4. Masyarakat : Masyarakat mempengaruhi stereotip anak melalui sikap mereka dalam
memandang apa yang telah disediakan untuk anak laki-laki dan perempuan
mengidentifikasi dirinya. Perempuan cenderung perlu bantuan dan laki-laki pemecah
masalah.
5. Media massa : melalui penampilan pria dan wanita yang sering terlihat di iklan-iklan TV
maupun koran. Tidak hanya frequensi yang lebih banyak pada laki-laki daripada
perempuan tetapi juga pada jenis-jenis pekerjaan yang ditampilkan laki-laki lebih
banyak dan lebih bergengsi daripada perempuan.
Ada sejumlah kondisi dimana stereotip merupakan hal yang tak dapat dihindarkan (inevitable),
yakni:

25
Ward, J., & Barker, A. (2013). Undefined by Data: A Survey of Big Data Definitions
5
1. Manusia butuh sesuatu untuk menyederhanakan realitas kehidupan yang bersifat
kompleks.
2. Manusia butuh sesuatu untuk menghilangkan rasa cemas (anxiety) ketika berhadapan
dengan sesuatu yang baru, manusia lalu menggunakan stereotip.
3. Manusia butuh cara yang ekonomis untuk membentuk gambaran dari dunia di
sekitarnya.
4. Manusia tidak mungkin mengalami semua kejadian, karenanya manusia mengandalkan
informasi dari pihak lain (media) sebagai jendela dunia. Maka, terjadilah duplikasi
stereotip.
Dalam masyarakat egaliter, stereotip dipandang sebagai sesuatu yang tidak fair. Penggunaan
stereotip akan menutup ruang untuk melihat individu dengan segala keunikan dan kapabilitas
masing-masing. Sedangkan dalam tataran kelompok, penggunaan stereotip akan
menghilangkan hak individu untuk menentukan diri sendiri, di mana hak ini merupakan nilai
dasar dari pembentukan suatu masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa stereotip
memiliki nilai negatif, yakni:
1. Melanggar nilai-nilai kemanusiaan, yakni kejujuran dan ketulusan.
2. Tidak fair, karena meniadakan perbedaan dan potensi individu.
3. Stereotip mengarahkan pada kebohongan.
4. Stereotip pada media mengakibatkan audiens berpikiran sempit.

2.3 Peran Stereotip Dalam Komunikasi


Stereotip Dalam Komunikasi
Stereotip adalah hasil dari kategorisasi yang kita lakukan, misalnya menggambarkan tentang
jenis karaktristik ras tau etnik lain. Miles Hewstone dan Rupert Brown mengemukakan tiga
aspek esensial dari stereotip. yaitu:
1. Sering kali keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi, dan
kategorisasi itu selalu teridentifikasi dengan mudah melalui karakter atau sifat tertentu,
misalnya perilaku, kebiasaan bertindak, orientasi seksual, maupun etnisitas.
2. Stereotip bersumber dari dari suatu bentuk atau sifat perilaku yang bersifat turun-
temurun sehingga dia seolah-olah melekat untuk semua anggota kelompok.
6
3. Karenya individu yang merupakan anggota dari suatu kelompok diasumsikan memiliki
karakteristik, ciri khas, kebiasaan bertindak yang sama dengan kelompok yang
digeneralisasi itu.
Pengalaman interaksi lintas budaya yang melibatkan begitu banyak warna kulit (ras),
etnis, bahasa ibu, agama dan tentu saja negara bangsa selalu saja menjadi menarik jika
dikaitkan dengan identitas etnis atau etnosentrisme masing-masing. Beragam identitas etnik
tersebut menjadi sumber stereotipe yang muncul dalam relasi antaretnik dimasyarakat.
Pemberian stereotip merupakan hasil dari suatu sebab yang kadang bersifat alamiah dalam
proses hubungan atau komunikasi antar ras tau etnik.Karena itulah sering kali orang
mengemukakan bahwa kita tidak mungkin tidak melakukan stereotip.
Konflik seringkali mendasari munculnya perilaku agresi antar kelompok. Konflik antar
kelompok seringkali dipicu oleh keadaan dari dalam dan luar kelompok, sehingga anggota
kelompok diwarnai oleh prasangka. Salah satu teori prasangka adalah realistic conflict theory
yang memandang prasangka berakar dari kompetisi sejumlah kelompok sosial terhadap
sejumlah komoditas maupun peluang. Jika kompetisi berlanjut, maka masing-masing anggota
akan memandang anggota kelompok lain sebagai musuh. Jika terdapat isyarat agresi, maka
perilaku agresi akan muncul. Konflik-konflik tersebut menunjukkan bahwa interaksi antara
dua etnis berbeda dan laju pembangunan bangsa memperlihatkan porsi yang tidak seimbang.
Fungsi komunikasi antar etnis juga tidak dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu, benteng
pertahanan kebangsaan dalam bentuk identitas dan sistem nilai itu semakin merapuh. Hal itu
berarti komunikasi makin lama makin kehilangan kekuatan dan daya rekatnya. Perbedaan
berlatar belakang multikultural yang dapat memicu konflik tersebut memerlukan komunikasi
untuk membentuk interaksi sosial yang sepaham dan efektif sehingga tingkat saling pengertian
antar etnis atau antar golongan dapat tercipta.3
para peserta komunikasi antarbudaya jelas hambatan yang terbesar. Sebab dengan
berbeda budaya tersebut akan menentukan cara berkomunikasi yang berbeda serta simbol
(bahasa) yang mungkin berbeda pikiran. Kedua, dalam komunikasi yang melibatkan peserta
komunikasi yang berbeda budaya

3
Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, (Redfem: Currency Press, 2017). Lihat juga: Alec Ross, The Industries of the
Futures, (New York: Simon & Schuster, 2017).
7
akan muncul sikap etnosentrisme, yaitu memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri
sebagai pusat segala sesuatu, dan hal lain-lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan
kelompoknya. Ketiga, kelanjutan dari sikap etnosentris ini memunculkan stereotipe, yaitu
sikap generalisasi atas kelompok orang, objek atau peristiwa yang secara luas dianut suatu
budaya. Identitas berfungsi sebagai jembatan antara kebudayaan dan komunikasi. Identitas
penting karena seseorang mengkomunikasikan identitas mereka kepada orang lain, dan
mempelajari diri mereka sendiri melalui komunikasi. Melalui komunikasi dengan keluarga,
teman dan yang lainnya, manusia akan paham mengneai dirinya sendiri dan membentuk
identitas masing-masing sesuai pemahaman tersebut.
1. Apakah ada hubungannya stereotip dengan komunikasi? Hewstone dan Giles
mengajukan empat simpulan tentang proses stereotip, yakni:
2. Proses stereotip merupakan hasil dari suatu kecenderungan kita untuk mengantisipasi
atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok-
kelompok tertentu berdaarkan sifat psikologis yang dimiliki. Semakin negatif
generalisasi itu kita lakukan, maka semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
3. Stereotip berpengaruh terhadap langkah individu dalam proses informasi. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa setiap orang dapat mengingat informasi yang
menyenangkan maupun yang kurang menyenangkan. Sumber dan sasaran informasi
memengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan.
4. Stereotip menciptakan harapan bagaimana anggota sekelompok tertentu (in group)
berhadap tentang perilaku (in group) terhadap kelompok (out group).
5. Stereotip menghambat pola-pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain (out group).
Kita sering berprasangka terhadap pihak lain hanya karena kita menggeneralisasi sifat-
sifat tertentu dari yang mereka miliki. Karena sering kali stereotip memengaruhi pilihan kita
untuk berinteraksi sosial (jarak sosial) dengan orang lain, demikian juga disuatu waktu yang
lain kita melakukan diskriminasi terhadap orang lain berdasarkan stereotip yang dibentuk
sebelumnya. Oleh sebab itu sangat beralasan jika kita mengatakan stereotip memainkan peran
yang sangat kuat dalam menentukan bagaimana seseorang dari in group tertentu berprasangka
terhadap out group dalam suatu situasi dan kondisi tertentu.

8
Dalam perkembangan media massa bagi manusia menumbuhkan perdebatan panjang
antara makna dan dampak media massa pada perkembangan masyarakat. Di dalam
perkembangan teori komunikasi massa, konsep masyarakat massa mendapat relasi kuat
dengan produk budaya massa yang akhirnya akan mempengaruhi bagaimana proses
komunikasi dalam konteks masyarakat massa membentuk dan dibentuk oleh suatu budaya
massa yang ada.
Konten dari media dalam berbagai bentuk berita, hiburan dan iklan terkait dengan
stereotip. Stereotip merupakan alat untuk mengkonstruksi realitas untuk kemudian disebarkan
kepada audiensnya. Hal ini dikarenakan stereotip merupakan alat bagi para individu untuk
mengerti lingkungan sekitar dan pada saat yang sama pula media merupakan jendela bagi
individu untuk melihat dunia luar. Dengan demikian, media merupakan institusi yang
memiliki kemampuan untuk menyeleksi symbol dan image untuk kemudian meniadakan
aspek lain. Efek pertama dari stereotip di media adalah terjadinya diskriminasi dan prasangka.
Dalam masyarakat pluralistik, praktisi media memiliki kewajiban untuk mendorong
perwujudan nilai-nilai keadilan dalam sistem sosial.
Perkembangan media massa bagi manusia sempat menumbuhkan perdebatan panjang
tentang makna dampak media massa pada perkembangan masyarakat.
Pemahaman tentang masyarakat massa sempat mengguncang persepsi anggota masyarakat
mengenai dampak media massa yang cukup signifikan Jalani mengubah tata sosial masyarakat.
Dalam perkembangan teori komunikasi massa, konsep masyarakat massa mendapat relasi kuat
dengan produk budaya massa yang pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana proses
komunikasi dalam konteks masyarakat massa membentuk dan dibentuk oleh budaya massa
yang ada. Bukan kebetulan bahwa dua pemahaman tentang masyarakat massa dengan budaya
massa mempunyai titik permasalahan yang menggantung. Pertanyaan kritis yang perlu
ditampilkan adalah sejauh mana hubungan antara masyarakat massa dengan produk budaya
massa yang ada? Apakah memang di antara dua konsep tersebut mempunyai hubungan antar-
entitas yang berdiri sendiri atau memang dua konsep itu mempunyai hubungan yang saling
mengandaikan?

9
Media massa sendiri dalam masyarakat mempunyai beberapa fungsi sosial, yaitu fungsi
pengawasan media, interpretasi, transmisi nilai dan hiburan, dengan penjelasan sebagai
berikut ini:
1. Fungsi pengawasan media adalah fungsi yang khusus
2. menyediakan informasi dan peringatan kepada masyarakat tentang apa saja di
lingkungan mereka. Media massa memperbarui pengetahuan dan pemahaman manusia
tentang lingkungan sekitarnya.
3. Fungsi interpretasi adalah fungsi media yang menjadi sarana memproses,
menginterpretasikan, dan mengorelasikan seluruh pengetahuan atau hal yang dikerahut
oleh manusia.
4. Fungsi transmisi nilai adalah fungsi media untuk menyebarkan nilai, ide dari generasi
satu ke generasi yang lain.
5. Fungsi hiburan adalah fungsi media untuk menghibur manusia. Manusia cenderung
untuk melihat dan memahami peristiwa atau pengalaman manusia sebagai sebuah
hiburan.

2.4 Pembentukan Stereotip


Samovar mengidentifikasikan tiga saluran sosial yang berperan penting dalam
pembentukan stereotip, yakni :
Pertama adalah lingkungan sosial (keluarga), keluarga adalah agen sosialisasi konsep stereotip
paling penting. Menurut kajian Schneider, orang tua cenderung baik secara langsung maupun
tidak langsung mempromosikan stereotip ini kepada kepada anak-anak mereka . Lingkungan
sosial seperti keluarga dan masyarakat di lingkungan tempat tinggal memberikan pengaruh
besar pada pembentukan stereotip keduanya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam teori
interaksionisme simbolik mengenai konsep diri dan masyarakat bahwa lingkungan kelompok
yang memperlihatkan simbol-simbol memberikan pengaruh terhadap penilaian terhadap diri
individu, sehingga akan ada kecenderungan untuk melakukan tindakan yang sama dengan
kelompok. Karena manusia memahami pengalaman mereka melalui makna-makna yang
ditemukan dalam simbol-simbol dari kelompok utama mereka dan bahasa merupakan bagian
penting dalam kehidupan sosial. Kedua, media massa, melalui iklan, film, komedi, dan
10
sinetron merupakan saluran penting budaya yang mendiseminasikan stereotip budaya. Media
sangat berpengaruh di dalam membentuk, memperkuat, dan membenarkan kepercayaan dan
harapan stereotip terkait pada sejumlah kelompok, secara khusus terjadi ketika pengalaman
pribadi khalayak terhadap kelompok tersebut terbatas. Artinya semakin interaksi sosial
berkurang atau tidak pernah melakukan interaksi dengan budaya lain, pandangan stereotip
akan cenderung meningkat karena khalayak akan sangat bergantung dengan sumber-sumber
sekunder seperti media massa atau pengalaman orang lain.Dampak tayangan media yang
mengandung konten stereotip secara tidak sadar khalayak televisi akan diperkuat dengan
melihat acara tersebut. Stereotip di dalam masyarakat juga berkembang karena ketakutan
berlebihan dari individu budaya tertentu yang merasakan perbedaan nilai-nilai budaya Ketiga,
agama kelompok agama dan praktik keagamaan kelompok mendapatkan stereotip oleh media
baik media mainstream maupun media agama. Dalam film, terutama aksi dan perang film,
Arab sering kali digambarkan sebagai teroris fanatik yang melakukan jihad melawan Barat.
Stereotip muslim sebagai teroris ada sebelum serangan 11 September World Trade Center.

2.5 Melawan Stereotip


Produksi pesan yang ditunjukan bagi pelanggengan diskriminasi dan prejudice tidak
dapat dibenarkan atas pertimbangan etika. Terdapat 3 pendekatan terhadap hal ini, yaitu:
1. Deontologis
Aliran ini digagas oleh Immanuel Kants ini menekankan pada tugas (duty-based) dari
tiap individu, sehingga rasisme dan prejudice bukan lagi pertimbangan universalitas standar
sikap. Deontologis selanjutnya memeriksa motif yang ada pada agen moral, tanpa melihat
konsekuensi yang spesifik digariskan oleh stereotip.

2. Teleologis
Aliran ini disebut juga konsekuensialis, yakni menekankan pada konsekuensi dari
sebuah keputusan. Teleologis tidak melihat motif penyampaian pesan, karena bagi aliran ini
belum tentu pesan yang disampaikan adalah berasal dari kemurnian moral. Bagi aliran ini,
stereotip adalah tindakan yang tidak adil sekaligus menyerang segmentasi sosial, karenanya

11
stereotip mesti ditolak. Yang diperlukan adalah pertimbangan sisi positif dan sisi negatif dari
penyampaian gambaran suatu kelompok.

3. Golden Mean
Pendekatan ini sangat berguna ketika karakter yang distereotipkan justru
merepresentasikan beberapa individu dalam suatu kelompok (seperti sosok gay yang
flamboyan atau gambaran ibu rumah tangga tradisional). Dalam kondisi seperti ini, praktisi
komunikasi harus berhati-hari, yakni tidak menggunakan gambaran yang ada untuk menilai
keseluruhan kelompok, namun juga tetap mengapresiasi diversiras individu. Praktisi
komunikasi harus berusaha menjaga keseimbangan antara indiviclu dan kelompok dimana
individu tersebur berada .

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Istilah stereotip gabungan dari bahasa Yunani yaitu stereos yang artinya tetap, padat,
atau permanen dan typus dari bahasa Latin yang artinya kesan. Dari dua makna kata itu secara
akurat menggambarkan dua atribut penting adari istilah dalam penggunaan masa sekarang,
yakni sebuah kesan yang sifatnya tetap. Stereotip adalah gagasan atau kepercayaan yang
dimiliki banyak orang tentang sesuatu atau kelompok yang didasarkan pada bagaimana
penampilan mereka diluar, yang mungkin tidak benar atau hanya sebagian benar. Memberikan
stereotip kepada orang adalah jenis prasangka karena apa yang tampak diluar merupakan
sebagian kecil dari siapa orang itu. Konten dari media dalam berbagai bentuk berita, hiburan
dan iklan terkait dengan stereotip. Stereotip merupakan alat untuk mengkonstruksi realitas
untuk kemudian disebarkan kepada audiensnya. Hal ini dikarenakan stereotip merupakan alat
bagi para individu untuk mengerti lingkungan sekitar dan pada saat yang sama pula media
merupakan jendela bagi individu untuk melihat dunia luar. Dengan demikian, media
merupakan institusi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi symbol dan image untuk
kemudian meniadakan aspek lain. Efek pertama dari stereotip di media adalah terjadinya
diskriminasi dan prasangka. Dalam masyarakat pluralistik, praktisi media memiliki kewajiban
untuk mendorong perwujudan nilai-nilai keadilan dalam sistem sosial.

3.2 Saran
Demikian makalah yang kami buat,kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini
jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
dan pembaca demi lebih baiknya penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi kita semua.

13
DAFTAR PUSTAKA

Mufid, M. (2009). Etika dan Filsafat Komunikasi. Indonesia: Prenadamedia Group.


Adyapradana, Girindra. 2012.Identitas dan Pembentukan Stereotip Pemain Indonesia
Dalam Online Game.Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume 3 Nomor 1.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2006.Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:
Erlangga.
Edy, Edy Priandono. 2016. Komunikasi Keberagaman. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

14

Anda mungkin juga menyukai