A. Latar Belakang Dan Perkembangan Studi Komunikasi Politik
Kajian komunikasi politik sebagai studi atau ilmu pengetahuan yang muncul pada masa kontemporer. Walaupun sebenarnya peristiwa komunikasi politik telah berlangsung sejak masa Perang Dunia I, namun kajian ini baru dianggap sebagai komunikasi politik pada masa setelah tahun 1980-an. Kajian tentang arti penting komunikasi politik sebenarnya sudah jauh-jauh hari dilakukan oleh para pakar ilmu komunikasi atau politik. Biasanya mereka membahas aspek politik dari komunikasi atau sebaliknya, aspek komunikasi dalam politik. Aristoteles dalam buku Rhetoric misalnya, membahas secara sistematis tentang seni berpidato sebagai bagian penting dari upaya untuk memengaruhi secara politis para pendengarnya (cikal bakal persuasi politik). Niccolo Machiavelli, dalam bukunya Il Principe atau Sang Penguasa, juga membahas cara-cara persuasi di dalam berpolitik. Pemikiran para filsuf di atas lalu berpengaruh terhadap beberapa pakar komunikasi dan politik awal abad ke-20, seperti Hocmuth dan Brigance dengan karya mereka The History and Criticism of America Public Address, dan para editor dari The Quarterly Journal of Speech yang terbit pertama kali pada tahun 1915. Pendekatan Aristoteles yang murni itu sering dikenal sebagai pendekatan "tradisional", yaitu pendekatan yang memfokuskan pada komunikator (sumber komunikasi) sebagai objek pembahasan. Perspektif ini berusaha menganalisis bagaimana menjadi orator yang baik dengan mengatasi problema berpidato pada berbagai kondisi dan situasi, serta bagaimana menganalisis suatu retorika. Dalam pendekatan ini, retorika didefinisikan sebagai "upaya manusia untuk menyebabkan kerja sama lewat penggunaan simbol-simbol" Para ahli dalam tradisi "tradisional" menerima proposisi mengenai prinsip-prinsip retorika yang dapat ditransendensikan dalam episode-episode pembahasan (pidato). Aliran tradisional Aristoteleian identik dengan pemikiran ideal formal, retorika di.analisis berdasar pendekatan normatif, bagaimana seharusnya yang terbaik. Perkembangan selanjutnya adalah adanya pendekatan perspektif "eksperiensial" yang didasarkan pada pengalaman yang berkaitan dengan konteks sejarah. Dalam perspektif ini, masyarakat dianggap berada pada kondisi proses yang terus berubah. Jadi, fokusnya tidak hanya pada pembicara (komunikatornya), tetapi juga pesan, audience, setting, dan proses pembahasan atau pembicaraannya. Retorika dipahami sebagai suatu seni yang kontekstual dengan kondisi lingkungannya. Karena itu juga tidak lagi sekadar berdasar ideal formal semata, tetapi lebih membumi, didasarkan pada apa yang terjadi. Perkembangan ketiga adalah pendekatan yang disebut perspektif "new rhetoric". Pendekatan ini sebenarnya berada di antara yang "tradisional" dan yang "eksperiensial", "new rhetoric" percaya bahwa hubungan yang stabil dapat ditemukan dalam interaksi manusia. Asumsi dasarnya adalah bahwa simbol-simbol itu begitu berpengaruh dan persepsi tentang realitas manusia yang hidup itu sendiri simbolik sifatnya. Perspektif “new rhetoric" inilah yang kemudian melahirkan konstruktivionis, pendekatan gerakan politik, dan analisis intensif. Ada tiga faktor yang mendorong munculnya studi komunikasi politik di Amerika: pertama, adanya pengaruh propaganda perang yang menekankan arti penting komunikasi dalam dua perang dunia yang terjadi pada paruh pertama abad ke-20. Propaganda perang yang menekankan komunikasi massa dampaknya terhadap politik segera tampak nyata, pada tahun 1952 misalnya, Richard M. Nixon dari partai Republik melakukan pidato kampanye-nya melalui televisi dengan begitu menarik, sehingga kemudian terkenal dengan Nixons Checker Speech. Pada waktu itu ia sebagai calon wakil presiden dicitrakan sangat negatif, yaitu terlibat dalam penyalah gunaan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kampanyenya. Dengan pidato itu Nixon berusaha untuk membela dan mempertahankan dirinya. la mempersiapkan pidato kampanye itu secara matang dan berhasil. Pidato Nixon ketika itu ada dua bagian: bagian pertama dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkembang sekitar untuk apa uang yang diterimanya sebesar US$ 18,000 digunakan. Nixon menyatakan bahwa "the only gift" yang dia terima adalah seekor anjing yang diberi nama Checkers, dan menceritakan kedekatan emosional antara anjing pemberian tersebut dengan anak perempuannya yang paling kecil. Pidatonya yang kedua berisi tentang serangan Nixon terhadap Gubernur Illinois, ketika itu Adlai Stevenson dari partai Demokrat yang diserangnya sebagai orang kaya dan menggunakan kekayaannya untuk kepentingan politik. Nixon juga menyerang kandidat wakil presiden John Sparkman dari Demokrat oposisinya dengan mengungkapkan bahwa Sparkman telah menempatkan istrinya menjadi salah satu pegawai juru bayar pemerintahan (Kaid & Holtz- Bacha, 2008 : 98). Ternyata hasilnya sangat menakjubkan. Nixon berhasil mendapatkan nama baiknya kembali, dan publik seketika berubah pandangan- nya terhadap Nixon. Peristiwa itu memperlihatkan keampuhan televisi sebagai alat untuk memengaruhi opini, (tetapi perlu dicatat, 20 tahun kemudian media massa pulalah yang berhasil menjatuhkan Nixon dari kursi kepresiden setelah dibongkarnya skandal Watergate). Kehadiran TV dalam kancah politik di Amerika Serikat itulah yang menjadi faktor kedua, yang mendorong para sarjana meneliti dan menulis peran media massa dalam politik. Adapun faktor ketiga, yang memengaruhi usaha menjadikan komunikasi politik sebagai studi yang mandiri adalah munculnya behavioralisme, empirisme, dan positivisme di kalangan ilmu sosial. Pada tahun 1950-an terjadi perubahanperubahan penting dalam ilmu sosial. Perubahan itu disebabkan adanya perhatian pada ilmu psikologi dan biologi sebagai pegangan bagi studi atas kegiatan manusia; adanya perhatian utama filsafat positivisme dalam orientasinya terhadap pemahaman tentang realitas; dan perhatian penting pada empirisme dalam metodologi ilmiah, yakni teknik pengumpulan dan analisis data. Sebelum munculnya perubahan itu, ilmu sosial lebih menekankan pada kelembagaan idealformal. Sejalan dengan munculnya perubahan baru itu, terbit pula kajian-kajian politik yang mendudukkan komunikasi sebagai faktor penting dalam politik. Gabriel Almond dan James Colleman menerbitkan The Politics of Developing Areas (1960), Almond bersama Powell menerbitkan Comparative politics : A Developmental Approach (1966), Richard R. Fagen menulis buku Politics and Communication (1966). Dalam karya-karya ini, komunikasi politik dianalisis secara khusus dalam kaitannya dengan sistem politik. Atau komunikasi politik didudukkan sebagai salah satu fungsi yang sangat penting di antara fungsi-fungsi yang lain dalam sistem politik.
B. Bidang Kajian Komunikasi Politik
Komunikasi politik sebagai bidang kajian baru pada mulanya berasal dari beberapa studi, seperti studi retorika, analisis propaganda, studi tentang perubahan sikap, studi tentang pendapat publik, studi tentang perilaku pemilih, hubungan pemerintah dengan media, dan studi teknik kampanye. Pada perkembangannya, beberapa studi tersebut menyatu sebagai bidang studi komunikasi politik dengan dilengkapi teori-teori kontemporer serta analisis yang lebih komprehensif. Sehingga bidang kajian komunikasi politik menjadi sangat luas, karena studi dan pendekatan tradisional maupun kontemporer masuk di dalamnya dan saling melengkapi. Sebagai studi baru, komunikasi politik banyak meminjam disiplin ilmu lain baik teori maupun metodologi. Sebagai contoh antropologi dan sosiologi digunakan untuk memahami linguistik dan simbolisme dalam politik, termasuk pula kajian semiotik dan discource, hingga cultural studies. Psikologi dan psikologi sosial untuk memahami aspek komunikasi pada individu, seperti perubahan sikap, efek pesan politik lewat media, dan sosialisasi politik. Ilmu politik digunakan dalam memahami sistem politik dan implikasinya pada sistem komunikasi. Peran opini publik dalam pengambilan kebijakan, kepemimpinan politik, dan sebagainya. Adapun filsafat digunakan untuk memahami aliran- aliran pemikiran yang mendasari suatu teori, sedangkan ilmu komunikasi sendiri digunakan menganalisis dan memahami bagaima-na proses komunikasi politik itu terjadi. Dan Nimmo dan Keith Sanders dalam Hand Book of Political Communication, mengatakan bahwa salah satu pokok bahasan yang paling penting adalah komunikasi persuasi, karena pada intinya komunikasi politik adalah persuasi, yakni usaha manusia untuk memengaruhi orang lain agar sesuai dengan kehendaknya. Political Communication Setting atau Penyusunan Komunikasi Politik juga merupakan subbahasan yang dikemukakan Nimmo dan Sanders. Bahasan ini meliputi komunikasi dan sosialisasi politik, studi tentang kampanye dalam pemilu, komunikasi massa dan opini publik, retorika untuk gerakan politik, pemerintah dan media massa, serta peranan dan hubungan politisi dan pers.
C. Metode Studi Komunikasi Politik
Sebagai suatu studi yang bersifat lintas disiplin, komunikasi politik menggunakan beberapa metode riset dan teknik dari berbagai bidang studi. Kritisme retorika misalnya, muncul dari studi speech communication, analisis isi berasal dari studi propaganda, teknik experimental dari studi perubahan sikap, dan metode survei dari studi pemberian suara (voting) dan opini publik. Dalam hal ini tampak bahwa berbagai kajian studi lain telah memberikan kontribusi yang penting terhadap perkembangan studi komunikasi politik. Mengenai metode studi komunikasi politik ini, Dan Nimmo dan Keith Sanders dalam Hand Book of Political Communication (1981) telah merangkum beberapa tulisan koleganya. Beberapa metode yang dikemukakan dalam buku tersebut antara lain: 1. Studi Agregat Studi ini merupakan cara yang tertua dan paling berguna dalam mempelajari perilaku politik. Studi agregat mendasarkan pada data agregat yang menyangkut pengumpulan atau pemilahan individual atas daerah atau karakteristik sosial tertentu. Misalnya membandingkan pola pemberian suara di daerah pedesaan dan perkotaan. Membandingkan daerah yang penduduknya beragama Islam dan yang beragama Katolik. Di Indonesia atau Jawa Timur misalnya, studi semacam ini dapat digunakan untuk membandingkan perolehan suara di daerah Pedalungan atau wilayah Tapal Kuda (yaitu wilayah yang meliputi pantai utara, dari Tuban, Lamongan, Gresik, Sidoarjo, Pasuruhan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, hingga Banyuwangi) yang kuat ikatan agama Islamnya dan tradisi pesantrennya, dibandingkan dengan daerah Mataraman (Madiun, Kediri, Trenggalek, Tulung-agung, dan daerah selatan lain) yang secara karakteristik keagamaan kurang begitu kuat. Austin Ranney menilai studi agregat merupakan "studi ekologis tentang perilaku pemilih" yang berusaha untuk memahami berbagai hubungan antara partai politik dan para pemberi suara dan dengan lingkungan sosial serta huukum tempat mereka bertindak. 2. Studi Kritis (Cultural Critism) Pada dasarnya merupakan metode yang digunakan dalam usaha untuk memahami ideologi yang mendasari suatu sistem komunikasi. Cultural Critism mempunyai konsep bahwa kebudayaan mempunyai kaitan erat dengan kegiatan sosial; selanjutnya melalui pemahaman pengalaman sosial pelbagai kelompok masyarakat secara cermat, kritis, dan terarah, berusaha menjelaskan pola pilihan dan reaksi terhadap media. Metode kritis ini sekarang banyak dikembangkan dalam kajian terhadap isi media melalui analisis semiotik dan discource (untuk lebih jelasnya baca: Cultural Critism, oleh Philip Wander, dalam buku Dan Nimmo dan Keith Sanders, Hand Book of Political Communication, 1981). Pendekatan kritis memandang realitas yang tampak sebagai sebuah virtual reality, realitas semu. Apa yang tampak dalam kehidupan maupun yang tampak di media massa, pada dasarnya merupakan hasil dari konstatasi pertarungan ideologi, power, maupun kebudayaan yang ada di belakangnya. Aliran kritis mencoba untuk menguak layar tirai realitas semu, dan mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi di balik sesuatu yang tampak. Pendekatan ini sangat dekat dengan aliran neoMarxis, yang sering menggunakan teori hegemoni negara maupun teori kapitalisme untuk menjelaskan fenomena realitas di balik layar. 3. Studi Analisis Isi (Content Analysis) Merupakan metode untuk meneliti dan menganalisis suatu isi komunikasi dalam kurun waktu dan ruang tertentu, dengan maksud untuk mengetahui kecenderungan pesan-pesan yang disampaikan baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Analisisi isi dapat digunakan untuk meneliti komunikasi apa pun, seperti pidato, dokumen tertulis, foto, surat kabar, dan acara televisi. Metode ini digunakan secara luas untuk meneliti aspek pesan komunikasi. Sebagai contoh, kita ingin mengetahui kecenderungan politik suatu media massa, kemampuan melontarkan isu-isu politik, independen tidaknya suatu media, atau ke mana media itu berpihak, semua itu dapat diketahui dengan melakukan analisis isi pemberitaannya dalam kurun waktu tertentu. 4. Studi Eksperimental Studi eksperimental merupakan metode untuk mengetahui hu-bungan sebab akibat dengan membandingkan antara kelompok eks-perimen yang diterpa variabel dan kelompok kontrol yang tidak men-dapatkan terpaan variabel yang ditentukan. Sebagai contoh studi kampanye politik terhadap perilaku pemilih. Sampel dapat diambil dari kelompok yang mendapatkan terpaan kampanye dan kelompok yang tidak tersentuh kampanye, kemudian dibandingkan hasilnya. Metode eksperimental telah begitu lama menjadi dasar bagi penelitian ilmiah, sehingga banyak orang menyamakan sains dengan studi eksperimental. 5. Studi Ex Post Facto Studi ex post facto berhubungan dengan studi eksperimental, namun ada yang berbeda. Pada eksperimental, peneliti dihadapkan pada masalah "jika X maka Y" dengan memperkirakan Y dari X yang ter-kontrol, kemudian mengamati apakah Y terjadi. Dalam ex post facto, Y diamati dan peneliti menelusuri ke belakang untuk mencari X yang berlaku sebagai keterangan yang paling masuk akal atas terjadinya Y. Pada studi ini tidak ada kontrol manipulatif pada salah satu variabel, tidak pula melalui suatu laboratorium. Sebagai contoh dengan studi ex post facto ingin diketahui latar belakang terjadinya pergeseran per-olehan suara pemilu di suatu daerah, maka dengan studi ini diamati faktor yang terjadi sebelumnya. 6. Studi Survei Metode ini biasanya digunakan untuk meneliti populasi yang rela-tif luas dengan cara menentukan sampel yang mewakili (representatif) dari populasi yang diteliti. Metode yang biasa digunakan untuk memahami berbagai fenomena yang ada di masyarakat ini, dalam komunikasi politik digunakan untuk studi opini publik atau polling, dan studi pengaruh media pada masyarakat. Dengan metode survei, hasil studi dapat ditarik generalisasi deskriptif terhadap objek populasi yang luas.
D. Pendekatan Komunikasi Politik
Komunikasi politik merupakan bidang baru yang bersifat interdi-sipliner yang berusaha memahami realitas politik sebagai suatu proses komunikasi. Ada beberapa pendekatan dalam memahami komunikasi politik. Berikut ini kami kemukakan dua di antaranya yang paling penting untuk dipahami. 1. Pendekatan Proses Salah satu pendekatan yang acap kali digunakan dalam memahami fenomena komunikasi politik adalah pendekatan proses. Menurut pendekatan ini, bahwa keseluruhan yang ada di dunia merupakan hasil suatu proses. Politik pada dasarnya juga merupakan hasil suatu proses sejarah yang panjang, yang selalu ada kaitannya antara masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang. Waktu merupakan raja dunia di mana keseluruhan yang ada di atas dunia berubah karena waktu, dan hanya ada satu yang tidak pernah berubah, yaitu perubahan itu sendiri. Spengler dan Toynbee mengemukakan bahwa realitas social merupakan suatu siklus yang mempunyai pola-pola ulangan (recurrent pattern) untuk jatuh bangunnya peradaban. Adapun Hegel dan Marx, memandang perkembangan tahapan sejarah merupakan hasil proses konflik yang meningkat melampaui waktu. Yaitu, konflik kelas antara kelas pekerja dan kelas pemilik modal. Menurut mereka sejarah ditentukan oleh determinan materi (ke-kuatan ekonomi menurut Marx) dan menuju pada suatu titik, yaitu revolusi proletariat. George Herbert Mead (1934), mengungkapkan bahwa kehidupan sosial dapat dipahami sebagai suatu proses, dan setiap kejadian selalu mengandung waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Di-katakannya setiap kejadian mempunyai implikasi yang terus - menerus pada pembaruan, kebersamaan, dan kesepakatan. Ini berarti bahwa realitas sosial dipahami sebagai interaksi simbolik. Selain itu, pemikiran ini merupakan sumber yang potensial untuk membangun teori komunikasi politik. Selanjutnya menurut Mead, negosiasi merupakan unsur mutlak dari kehidupan sosial, dan manusia harus bekerjasama disegala bidang kehidupan. Ini merupakan perkembangan dari pemikiran Thomas Hobbes mengenai kontrak sosial. Dari pemikiran tersebut, berarti komunikasi politik dapat dipahami sebagai hasil dari kesepakatan (negosiasi) antarwarga masyara-kat atau dengan pemerintah yang berkuasa. Pendekatan ini dapat digunakan untuk memahami sosialisasi politik dan kebijakan publik. Suatu pemikiran yang menarik dari pendekatan proses adalah teori dramatik (dramatistic theory) yang dikemukakan oleh Kenneth Burke. Menurut teori ini, keseluruhan yang ada di dunia adalah panggung sandiwara. Orang melakukan politik, pidato, hubungan diplomatik dan sebagainya sesungguhnya dapat dilihat sebagai drama komunikasi dengan tujuan tertentu. Ditambahkan oleh Berlo, bahwa komunikasi pada dasarnya adalah permainan sosial (social game) yang melibatkan para pemain, dengan hasil, peraturan atau aturan main. Pemikiran ini dapat digunakan untuk memahami dan menganalisis suatu kegiatan komunikasi politik, seperti kampanye politik yang dilakukan oleh para kandidat dalam pemilihan umum. Jadi, komunikasi politik dibahas dengan mengandaikan itu terjadi dalam suatu drama. Seperti diketahui, dalam suatu drama terjadi komunikasi antara aktor dengan aktor, dan antara aktor dengan audiensi. Dalam drama terdapat suatu babak (scene), melibatkan lakon, dan menggunakan berbagai sarana komunikasi, begitu pula halnya dalam komunikasi politik. Dengan pengandaian demikian, suatu komunikasi politik menjadi suatu hal yang estetis sifatnya. Burke mengemukakan bahwa pendekatan ini dapat menciptakan situasi tertentu di mana komunikasi yang dramatik muncul. Melalui strategi yang penuh dengan kepurapuraan, para pemimpin atau diplomat dapat menciptakan situasi yang menjadi lebih masuk akal atau sesuai dengan yang diharapkan. Nazi Jerman, menurut Kinser dan Keinman, juga menggunakan pendekatan drama sehingga berhasil mengaburkan masa lalu dan masa depan dalam suatu teater politik yang spektakuler. Kaum Nazi dapat memuaskan upaya pencarian kultural tentang makna diri bangsa Jerman, mereka mampu menciptakan sejarah sebagai fiksi dengan nienggunakan mitos sebagai sarana simbolik dalam mendramatisasi diri mereka dalam kehidupan politik. Bob Woodward, wartawan The Washington Post dalam artikelnya pada tahun 1992, mengungkapkan bahwa di tahun 1986 pemerintah Reagan sengaja menyebarkan berita-berita bohong untuk menjatuhkan Kadhafi, dan mendramatisasi keadaan seakan serangkaian pengeboman dan terorisme di Eropa didalangi oleh Tripoli. Drama komunikasi ini tidak lain untuk menciptakan situasi yang masuk akal sebagai alasan pengeboman Amerika Serikat di Tripoli, pada waktu itu. Hal semacam ini terulang kembali tatkala Amerika menyerang Irak pada Perang Teluk kedua, tahun 2003. Sebelum perang AS dan Inggris telah men- setting alasan yang masuk akal akan perlunya menginvasi Irak. Saat itu sadam Hussein dicitrakan sebagai diktator yang sangat berbahaya, pelindung terrorisme, dan me-miliki Weapon of Mass Distruction, senjata pemusnah massal. Melalui berbagai pernyataan dan pemberitaan, alasan itu oleh pihak sekutu ditanamkan dalam benak khalayak dunia. Hal itu, ternyata hingga Irak ditaklukkan dan Sadam jatuh, semua tuduhan AS dan Inggris tersebut tidak bisa dibuktikan. Demikian teori drama. Adapun menurut Machiavelli, dunia merupakan suatu proses ala-mi di mana seseorang melalui komunikasi berusaha memainkan politik. Ditambahkannya, bahwa dunia tidak memiliki arti yang objektif, dan politik merupakan arena masyarakat untuk mendramatisasi arti, yaitu dengan komunikasi politik. Komunikasi politik adalah suatu usaha pragmatis untuk memperoleh kemenangan melalui aksi simbolik. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa politik adalah arena sosial tempat manusia berjuang mengungkapkan arti dunia. Masih banyak pemikiran lain yang mendasari teknik analisis komunikasi politik, namun dapat disimpulkan di sini bahwa komunikasi politik dapat dipahami bermacam - macam sesuai pendekatan yang di- gunakan. 2. Pendekatan Agenda Setting Agenda setting dikembangkan oleh Maxwell C. McCombs, seorang profesor peneliti surat kabar juga sebagai direktur pusat penelitian komunikasi Universitas Syracuse USA, dan Donald L. Shaw, profesor jurnalistik dari universitas North Carolina. Sejak penelitian Lazarsfeld dan kawan-kawan di Erie Country, 1946, kepercayaan terhadap efek komunikasi massa melemah dikalangan ilmuwan komunikasi. Lebih-lebih setelah munculnya model uses and gratification, maka sejak 1968 McCombs dan Shaw mencoba mengembangkan suatu pendekatan baru pada pemilihan presiden waktu itu Richard Nixon pada tahun 1968 berhasil menyisihkan saingannya senator Hubert Humprey dalam suatu pemilihan presiden setelah lama ia tidak muncul. Menurut beberapa kalangan, Nixon berhasil karena dapat menggunakan media massa. la selalu tersenyum ramah pada reporter dan wartawan, sehingga gambarnya yang ramah sering menghiasi halaman depan media massa. la menjadi lebih populer, sering diperhatikan, dan menjadi tokoh penting karena kerap dimuat di media massa. Di balik keberhasilan Nixon, terbukti bahwa media massa berperan penting dalam menonjolkan suatu tokoh atau isu ter-tentu. Dari sinilah agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan oleh media pada suatu persoal-an dengan perhatian yang diberikan oleh khalayak. Atau yang diang-gap penting oleh media akan dianggap penting pula oleh khalayak. Sehingga media massa senantiasa digunakan dalam komunikasi politik untuk memengaruhi agenda publik. Pendekatan agenda setting dimulai dengan asumsi media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkan. Seleksi ini dilakukan oleh mereka yang disebut sebagai gatekeeper, yaitu mereka para wartawan, pimpinan redaksi, dan penyunting gambar. Dari gatekeeper inilah yang menentukan berita apa yang harus dimuat dan apa yang harus disembunyikan. Setiap isu diberi bobot tertentu, apakah dimuat di halaman muka sebagai headline, atau hanya di halaman belakang di sebelah pojok atau bagaimana, sedangkan pada televisi, berapa lama penyiaran, berapa kali ditayangkan dan sebagainya. Penonjolan isu - isu di media massa inilah yang disebut sebagai agenda media, yang akan berkorelasi atau berhubungan dengan agenda publik, yakni apa yang sedang dipikirkan dan dibicarakan orang ramai (community selience). Penelitian agenda setting yang dilakukan oleh McComb dan Shaw, pada kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat 1972, menemukan bahwa surat kabar menentukan apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Begitu pula agenda televisi juga berkorelasi dengan agenda pemilih. Sayangnya, penelitian empiris efek kognitif komunikasi massa ini tidak ditunjang oleh penelitian yang lain. Karena ada yang menemukan bukti bahwa efek liputan media terhadap penilaian selience terhadap isu oleh masyarakat sangat kecil pengaruhnya, sebagaimana yang dilakukan oleh McLeod, Bucker, dan Byrnes (1974). Tampaknya optimisme agenda setting masih perlu dikaji lebih dalam, terutama pada penelitian komunikasi politik yang masih jarang dilakukan di Indonesia.
E. Pengertian Komunikasi dan Politik
Sebagaimana dalam ilmu sosial lain, batasan akan pengertian komunikasi belum terdapat kesepakatan di antara para sarjana. Bahkan, hampir boleh dikatakan antara sarjana satu dengan yang lain selalu berbeda dalam memberikan definisi. Akan tetapi, tidak menutup ke-mungkinan batasanbatasan itu mempunyai unsur-unsur yang saling tumpangtindih. Sehingga masih memberikan kemungkinan orang menarik garis penekanan atau tipikal dari berbagai definisi. Berelson dan Steiner (1964), mendefinisikan komunikasi sebagai "penyampaian informasi, ide, emosi, keterampilan, dan lain-lain, melalui penggunaan simbol kata, gambar, angka, grafik dan sebagainya." Unsur penyampaian barangkali merupakan unsur komunikasi yang paling sering dijumpai dalam definisi komunikasi. Seperti halnya definisi yang dikemukakan oleh Ithiel de Sola Pool, bahwa komunikasi adalah pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan. Adapun Shacter (1961) menulis bahwa "komunikasi merupakan mekanisme untuk melaksanakan kekuasaan." Definisi Shacter ini menempatkan komunikasi sebagai unsur kontrol sosial atau untuk memengaruhi perilaku, keyakinan, sikap terhadap orang lain. Batasan lain dikemukakan oleh Carl Hovland, Irving Janis, dan Harold Kelly (1953), mereka menekankan aspek pengaruh dalam mendefinisikan komunikasi, yakni "the process by which an individual (the communicator) transmit stimuli (ussually verbal) to modify the behavior of other individuals (the audience)". Adapun David Berlo yang terkenal dengan model S – M – C - R (Source – Message – Channel - Receiver) mengatakan, "all communication behavior has as it purpose the electing of specific response from a specific person (or group of persons)" Pengertian komunikasi sekaligus sebagai model yang begitu terkenal di lingkungan sarjana komunikasi dan politik adalah jawaban dari lima pertanyaan yang dikemukakan oleh Harold Lasswell: Who, Says what, In which channel, To whom, Whith what effect. Formula ini, walaupun sederhana tetapi sangat membantu mempermudah pemahaman terhadap fenomena komunikasi terutama untuk komunikasi politik (catatan, formula Lasswell muncul dari studi propaganda yang tidak lain merupakan salah satu bentuk komunikasi politik). Apa yang dikemukakan Lasswell di atas menyiratkan bahwa proses komunikasi berjalan searah atau bersifat linear. la sangat menekankan aspek persuasi dengan tujuan untuk memperoleh efek tertentu, sehingga dipandang kurang begitu 'pas' untuk komunikasi pada umumnya. Pemikiran lain tentang proses komunikasi dikemukakan oleh Dean Barnlund. "Communication describes the evolution of meaning"; meaning is something invented, essigned, rather than something received. Thus communication is not reaction to something, nor an interaction with something, but a transaction in which man invents and attributes to realize his purpose " (Komunikasi melukiskan evolusi makna; makna adalah sesuatu yang diciptakan, ditentukan, diberikan, dan bukan sesuatu yang diterima. Jadi, komunikasi bukanlah sesuatu reaksi terhadap sesuatu, bukan pula interaksi dengan sesuatu, melainkan suatu transaksi yang di dalam nya orang menciptakan dan memberi makna agar menyadari tujuan orang tersebut.) Selanjutnya, oleh Barnlund dikatakan bahwa komunikasi mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : 1. Dynamic (dinamis), yakni sebagai proses perilaku yang dipikirkan, dan bukan sesuatu yang tersendiri tanpa dipikirkan, ia digerakkan oleh mekanisme internal (aksi diri), atau hanya dipengaruhi kekuatan-kekuatan eksternal (interaksi). 2. Continous (sinambung), tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri, komunikasi sebagai salah satu kondisi kehidupan berkesinambungan tanpa awal dan akhir. 3. Circulair (berputar), tidak ada urutan yang linear dalam arus makna dari seseorang kepada yang lain, orang terlibat komunikasi seeara simultan dengan bukan kepada satu sama lain. 4. Unrepeatable (tidak dapat diulang), karena penciptaan kembali makna yang sinambung itu melibatkan perubahan citra personal pada masa lain, masa kini, dan masa yang akan datang, sehingga mustahil orang dapat memberikan pesan yang identik sama artinya dengan yang diberikan pada saat yang berbeda. 5. Irreversible (tidak dapat di balik), dalam komunikasi pesan yang telah diucapkan dan diinterpretasikan tidak dapat diambil kembali dari ingatan penerimanya. 6. Complex, komunikasi berlangsung dalam banyak konteks yang berlainan dan pada banyak tingkatan intrapersonal, interpersonal, organisasional, sosial, dan kultural. Apa yang dikemukakan Lasswell dan Dean Barnlund mengenai komunikasi tampak begitu berbeda, Lasswell lebih sederhana sedang Barnlund begitu kompleks. Akan tetapi, keduanya saling melengkapi terhadap pemahaman fenomena komunikasi. Meskipun demikian, rumus Lasswell yang terlalu sederhana itu memang perlu dimodifikasi berdasarkan pemikiran Barnlund, yakni harus diubah agar tidak berkesan linear tetapi berputar, bersinambung. Untuk itu, unsur 'to whom’ dalam rumus Lasswell perlu diganti dengan 'with whom’. Dengan demikian akan berkesan lebih simultan, tidak mengalir dari seseorang kepada orang lain tetapi keduanya saling berperan. Setelah kita bahas komunikasi, tentunya perlu pula kita kemukakan aspek politik dalam bagian ini. Sebagaimana komunikasi, ada berbagai definisi politik di kalangan ilmuwan sosial. Easton (1953), mendefinisikan politik sebagai "kewenangan dalam mengalokasikan nilai-nilai". Adapun Catlin (1963), mengartikan "kekuasaan dan pemegang kekuasaan". Harold Lasswell (1958), yang terkenal dengan paradigma komunikasi, mengartikan politik sebagai "siapa memperoleh apa, bilamana dan bagaimana" (Lasswell 1958). Pengertian lain dikemukakan oleh Weinstein, dikatakannya "politik adalah orientasi tindakan yang diarahkan pada pemeliharaan dan/ atau perluasan tindakan lainnya" (Weinstein 1971). Kemudian Nimmo berusaha merangkum definisi 'politik' ini dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America, yakni sebagai kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perilaku di bawah kondisi konflik sosial. Selanjutnya Nimmo membedakan orang yang satu dengan yang lain, baik jasmani, bakat, emosi, kebutuhan, cita-cita, inisiatif, maupun perilaku. Perbedaan ini dapat merangsang perdebatan, perselisihan dan percekcokan. Apabila perselisihan itu sudah serins, maka usaha untuk mempertentangkan atau menyelesaikannya inilah tindakan politik. Jika politik diartikan demikian, maka politik dapat terjadi dalam setiap setting politik, tidak saja dalam tingkat negara, tetapi terjadi dalam sistem politik yang lebih kecil, seperti negara bagian, provinsi, kabupaten, desa, ataupun di perguruan tinggi. Politik pada dasarnya juga seperti komunikasi merupakan suatu tindakan yang melibatkan pembicaraan. Dalam hal ini tidak sekadar pembicaraan dalam arti sempit, tetapi dalam arti yang luas, baik yang bersifat verbal (lisan atau tulisan) maupun yang bersifat nonverbal (berbagai gerak, isyarat, maupun tindakan). Ilmuwan politik Mark Roelofs menyatakan, "politic is talk" atau lebih tepatnya kegiatan politik adalah berbicara, tetapi politik tidak sekadar pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah politik, tetapi hakikat pengalaman politik dan kondisi dasarnya adalah aktivitas komunikasi antarmanusia. Roelofs memandang bahwa komunikasi meliputi politik, jika orang dihadapkan pada konflik, mereka akan menurunkan makna perselisihan melalui komunikasi. Dengan komunikasi orang berusaha menyelesaikan perselisihan mereka. Di kalangan mereka yang berkecimpung dalam politik praktis, hal semacam itu begitu tampak, bagaimana para politisi mengadakan bargaining dengan lawan politiknya, atau terjadinya koalisi, ataupun konsesus, merupakan contoh-contoh bagaimana suatu konflik diturunkan ke dalam komunikasi. Dengan komunikasi proses politik dapat berjalan, sehingga tidaklah heran jika Almond dan Coleman (1960) menempatkan fungsi komunikasi politik dalam sistem politik begitu penting. Sosialisasi dan rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, membuat peraturan dan membuat keputusan semuanya itu menggunakan atau melalui proses komunikasi. Bahkan, Alfian (1990) menganggap bahwa komunikasi politik merupakan aliran darah yang mengalir dalam tubuh sistem politik, dan yang menyebabkan sistem politik itu hidup dan berfungsi.
F. Pengertian Komunikasi Politik
Para wakil dan pemimpin rakyat atau kelompok kepentingan, dalam mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan tertentu senantiasa menggunakan komunikasi, misalnya dengan menyampaikan rekomendasi terhadap kebijaksanaan yang akan diterapkan. Begitu pula para penguasa atau pemerintah dalam menentukan Public Policy akan menganalisis terlebih dahulu berbagai informasi yang berasal dari masyarakat, demikian juga para legislator dalam hal membahas suatu produk hukum sangat memerlukan komunikasi terlebih dahulu dengan segala komponen yang terkait terhadap produk legislatif itu. Singkatnya, komunikasi mempunyai peranan yang cukup penting dalam proses politik, oleh karena itu tidak jarang para penguasa berusaha untuk mengendalikan atau mengawasi "komunikasi" agar mereka tetap mendapat dukungan untuk berkuasa. Seorang pemimpin politik, baik yang otoriter maupun yang demokrat, ada kecenderungan untuk memanipulasi atau menguasai informasi yang ada untuk masyarakatnya. Dalam kaitan ini media ikut berperan aktif sebagai penyalur (diseminator) berbagai informasi, hanya saja sejarah menunjukkan bahwa media massa selalu dipengaruhi oleh kekuatan yang ada di masyarakat, baik kekuatan politis penguasa, pemilik modal, maupun kekuatan ekonomi dan politik yang lain. Pada dasarnya media rnassa selalu dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku. Di muka telah beberapa kali disinggung mengenai komunikasi politik, tetapi apa dan bagaimana komunikasi politik belum dikemukakan secara gamblang. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan oleh Lord Windlesham (1973) : "Political communication is the deliberate passing of a political message by sender to a receiver with the intention of making the receiver behave in a way that might not other wise done." Batasan ini berarti komunikasi politik sangat ditentukan oleh tujuan penyampaian pesan politik, yakni membuat penerima berperilaku tertentu. Adapun Meadow menekankan konsekuensinya pada sistem politik, yakni "Any exchange of symbols or message that to a significant extent have been shaped by, or have consequences for the functioning of political system'' Batasan lain yang juga menekankan aspek konsekuensi pada sistem politik dikemukakan pula oleh Richard Fagen (1966), "Communicatory activity considered political by virtue of its consequences actual dan potential, that it has for the functioning of political system" Begitu pula Dan Nimmo mendefinisikan komunikasi politik sebagai "Communication activity considered political by virtue of consequences (actual and potential) which regulate human conduct under condition of conflict". Masih banyak batasan lain yang dikemukakan oleh para sarjana, tetapi pada intinya komunikasi politik dapat diartikan sebagai suatu aktivitas komunikasi yang mempunyai konsekuensi atau akibat politik, aktual potensial, terhadap fungsi sistem politik. Konsekuensi politik inilah yang merupakan unsur esensial yang membedakan komunikasi politik dengan komunikasi sosial. Suatu komunikasi yang tampaknya pesan atau isinya bukan pesan politik, namun apabila secara potensial dan aktual dapat berakibat atau mempunyai konsekuensi pada salah satu fungsi sistem politik, maka itu adalah komunikasi politik. Mungkin dengan batasan ini komunikasi politik mempunyai objek kajian yang sangat luas dan dapat overlapping dengan studi yang lain, namun hal demikian juga berarti makin memperkaya kajian komunikasi politik.