Anda di halaman 1dari 21

RINGKASAN MATERI KULIAH

LITERASI MEDIA
versi file word donlond di sini (dicek lagi, jangan copy lurus-lurus wkwkwkwk 😂) :
https://drive.google.com/file/d/1dz0hUeWRXiZYTU7bfCq1g8k4cqYG_WVM/view?usp
=sharing

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA


PERTEMUAN PERTAMA

MATERI : Seven Great Debates In The Media Literacy Movement (TUJUH DEBAT
HEBAT DALAM GERAKAN LITERASI MEDIA)

7 Pokok Debat :

1. Haruskah Pendidikan Literasi Media Bertujuan Melindungi Anak Dan Remaja


Dari Pengaruh Media Negatif?

Menurut (Bazalgette, 1997, hal. Anderson (1983) : Jika anak-anak dapat diajarkan
untuk mendekonstruksi teks media, mantra sihir berjalan, maka mereka tidak akan
diambil oleh fantasi , tergoda oleh kekerasan, atau dimanipulasi oleh tipuan
komersial. Pendidikan media, dalam skenario ini, adalah pedagogik yang setara
dengan tembakan tetanus" Namun pendapat ini dicemooh oleh para cendikiawan
Inggris yang mengatakan bahwa. Metode pengajaran yang dihasilkan dari pendidik
yang melihat diri mereka sebagai melindungi siswa tidak efektif di kelas.

2. Haruskah Produksi Media Jadi Fitur Penting Edukasi Literasi Media?

Menurut Goodman (1996, p. 2) : "Kekuasaan dari teknologi dilepaskan ketika siswa


dapat menggunakannya di tangan mereka sendiri, sebagai penulis karya mereka
sendiri, dan menggunakannya untuk penyelidikan kritis, refleksi diri dan ekspresi
kreatif”.

Tapi kecemasan terbesar tentang pusat kerja praktis di sekitar ketakutan bahwa
produksi media dapat dengan mudah diajarkan sebagai serangkaian tugas yang tidak
dikontekstualisasikan yang mengajarkan siswa seperangkat keterampilan sempit.
(Stafford, 1990, p.81). Dan hal ini akan menjadikan hilangnya perspektif kritis dan
analitis.

3. Haruskah Literasi Media Fokus Pada Teks Budaya Populer?

Dikutip dari Aronowitz dan Giroux, 1991 Sekolah, di semua tingkatan, dibentuk
untuk mendevaluasi budaya populer, termasuk bentuk-bentuknya yang dimediasi
secara elektronik. Dikutip dari Giroux, 1994; Dewing, 1992 Mengatakan teks dari
budaya populer dapat menantang serta mengganggu rutinitas kelas sehingga
memberikan kesempatan bagi guru dan siswa untuk membahas masalah epistemologis
yang relevan dengan pemahaman siswa tentang proses yang melibatkan pembelajaran
dan komunikasi....

Tapi...

Sejauh mana keterampilan transfer literasi media dari satu genre atau dari bentuk
simbolis menuju bentuk yang lain? Penekanan budaya populer dalam pendidikan
literasi media sebagian besar adalah apa yang membedakan bentuk pemikiran kritis
ini dari konsep terkait lainnya, termasuk literasi informasi, literasi komputer dan
literasi cetak (Tyner, dalam pers; Piette, 1997; McClure, 1996).

4. Haruskah Literasi Media Memiliki Agenda Politik dan / atau Ideologis yang
Lebih Eksplisit?

Literasi media dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencapai berbagai tujuan politik
progresif misalnya :

● Untuk mengubah praktik kelembagaan yang kaku di sekolah umum;

● menghentikan penggunaan media yang disponsori secara komersial di


sekolah;

● Meningkatkan advokasi mengenai televisi publik, akses lokal atau seni


media alternatif;

● Atau mengubah regulasi siaran dan kabel terkait kepemilikan media.

Karena pedagogi literasi media mengundang pertanyaan tentang bagaimana pesan


dikonstruksi. sejumlah pemimpin kebijakan telah menyuarakan ketakutan mereka
bahwa tanpa hubungan eksplisit antara keterampilan literasi media dan advokasi
sosial dan politik, literasi media dapat merosot menjadi pengganti tindakan alih-alih
menjadi pendorong.

5. Haruskah Melek Media Difokuskan Pada Lingkungan Pendidikan K-12


Berbasis Sekolah?

Dikutip dari (Aronowitz dan Giroux, 1991, hlm. 181) : Pendidik literasi media bekerja
dengan pemahaman bahwa hanya sedikit reformasi sekolah yang mampu melawan
"komitmen mendalam sekolah untuk mereproduksi sistem kekuasaan sosial yang
berlaku"

Tantangan membuat perubahan dalam pendidikan publik, situs terbaik untuk


menerapkan pendidikan media mungkin di program setelah sekolah, perkemahan
musim panas, program pendidikan agama, program perpustakaan dan pencegahan,
dalam organisasi berbasis komunitas dengan bimbingan orang tua.

Catatan K-12 : Jenjang pendidikan dari tingkat dasar hingga tingkat 12 di


Amerika.

6. Haruskah Literasi Media Diajarkan Sebagai Subjek Spesialis Atau


Diintegrasikan Dalam Konteks Subjek Yang Ada?

Hampir setiap pendidik mengakui nilai menanamkan konsep literasi media di seluruh
kurikulum, karena teks media digunakan untuk menyampaikan konten dalam
pengajaran sains, studi sosial, sejarah, seni, dan sastra. Namun, ada sebagian besar
pendidik pula yang sudah mulai memasukkan konsep literasi media ke dalam
kurikulum tetapi belum menjadi bagian dari proses distrik yang terorganisir dan
sistematis, Melainkan, telah mengadopsi ide-ide ini sendiri, belajar tentang media
melalui membaca, kursus, program pengembangan staf, atau melalui percakapan dan
observasi rekan kerja.

7. Haruskah Inisiatif Literasi Media Didukung Secara Finansial Oleh Organisasi


Media?

Organisasi media memiliki tanggung jawab sosial untuk membantu orang


mengembangkan pemikiran kritis tentang media hanya sebagai keterampilan
konsumen, dan kebaikan yang dapat dilakukan organisasi media dengan
menyumbangkan dana mereka melebihi potensi bahaya penggunaannya sebagai
bagian dari publik. kampanye hubungan, atau sebagai pelindung terhadap peraturan
pemerintah. Kritik terhadap posisi ini menunjukkan bahwa industri media dengan
cerdik memanfaatkan para pendidik yang sangat kekurangan dana dan sangat
membutuhkan materi sehingga mereka akan melompat ke apa pun yang disediakan
secara gratis.

PERTEMUAN KEDUA : Zoom: Diskusi Tujuh Debat tentang Literasi Media

PERTEMUAN KETIGA : Kumpulkan hasil review kalian akan seminar literasi media
yang kalian ikuti kemarin.
PERTEMUAN KEEMPAT

MATERI : SEJARAH LITERASI MEDIA

Literasi pembentuk peradaban. Pembicaraan mengenai literasi selalu dikaitkan dengan


kekuasaan memahami kehidupan. Ketika baca-tulis mulai dikembangkan manusia, sejak
saat itulah sejarah manusia dimulai. Literasi adalah nilai tukar kekuasaan atas kehidupan.
Di awal kemunculannya, hanya kelompok elite yang boleh belajar membaca dan menulis
untuk membatasi sirkulasi dan kuasa pengetahuan. Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg
membuat buku semakin mudah diproduksi, membuat rakyat jelata jadi bisa mengakses
pengetahuan. Kajian literasi media dalam ilmu komunikasi tidak dilepaskan dari kajian
khalayak yang mulai muncul pada era 1980- 1990-an dengan pendekatan reception dan
etnografis.

A. SEJARAH LITERASI MEDIA

● Abad ke-20 ketika media massa dari rekaman suara, film, radio dan televisi
membuat khalayak media terbentuk. Media tersebut menciptakan suatu entitas
baru yang disebut khalayak massa.
● Tonggak kajian khusus mengenai media dimulai ketika Marshall McLuhan
menerbitkan buku Understanding Media (1964). Melalui buku itu McLuhan
menyampaikan dua gagasan penting, yaitu "medium is the message" dan "hot
and cold media".
● Hot and cold media. Menurut McLuhan ada dua bentuk media, yaitu dingin dan
panas. Media dingin ialah media yang membutuhkan perhatian aktif dari
khalayak, seperti buku, surat kabar, film, web, media sosial. Sedangkan media
panas mengacu pada komunikasi yang mendetail, sehingga keterlibatan dari
khalayaknya rendah, contoh radio dan televisi.
● Buku McLuhan tersebut menginspirasi sahabatnya, John Culkin,SJ untuk
menulis kurikulum kajian film (film studies) sebagai bagian dari disertasinya di
School of Education Harvard University (1964).
● Di Inggris, kelahiran literasi media tidak dapat dilepaskan dari kemunculan
budaya populer yang dikhawatirkan meruntuhkan budaya dominan.
● Pada tahun 1933, F.R. Leavis dan Denys Thompson memublikasikan karya
berjudul "Culture and Environment: the Training of Critical Awareness"—sebuah
modul pembelajaran tentang media massa di sekolah. Modul ini adalah panduan
guru Bahasa Inggris yang merasa khawatir atas pengaruh media massa—film,
koran, iklan—terhadap kemampuan berbahasa (literasi) anak didik mereka.
● Sejak tahun 1960 pendidikan media (media education) mulai diajarkan di
sekolah-sekolah Inggris sebagai bagian dari pembelajaran Bahasa Inggris.
● Pada tahun 1970 mulai dibuka pendidikan kajian film (film studies) yang
berkembang menjadi kajian media (media studies) dalam sistem pendidikan
tinggi (Buckingham, 2003).
● Tahun 1970-an mulai ada perubahan paradigma mengenai pendidikan media di
Inggris, dimulai pada level perguruan tinggi- Perkembangan penting yang terjadi
adalah munculnya publikasi "Screen Theory" di jurnal Screen.
● Pemerintah Inggris serius mengembangkan pendidikan media dengan
membentuk agen-agen khusus, seperti British Film Institute, The English and
Media Centre, Film Education, The Centre for the Study of Children, Youth and
Media di Institute of Education, London. Inggris juga menjadi inisiator
penerapan pendidikan media di seluruh Eropa melalui European Commission
dalam Uni Eropa.
● Pada tahun 2009 Uni Eropa menerbitkan rekomendasi formal untuk menerapkan
kebijakan literasi media di seluruh negara anggotanya.
● Di Amerika Serikat program literasi media didominasi oleh gagasan proteksi
moral, terutama menghindarkan khalayak dari konten kekerasan, seks, dan
konsumsi berlebihan. Media dituding sebagai penyebar gagasan dan perilaku
yang mendorong anak-anak menjadikan kekerasan dan konsumsi sebagai solusi
semua masalah mereka. Asumsinya, bahaya tersebut dapat diatasi dengan
pelatihan analisis media yang intensif (Anderson, 1980 dalam Buckingham,
1998: 36).
● Program literasi media di Amerika Serikat lebih banyak dilakukan melalui jalur
non-formal
● Pada tahun 1970 Amerika Serikat telah berinisiatif memasukkan literasi media
dalam kurikulum, namun belum berhasil. Upaya serupa dimulai lagi pada tahun
1990 melalui proyek kepemimpinan, pendidikan guru.
● Tahun 1992 Aspen Institute menyelenggarakan “National Leadership Conference
on Media Literacy” yang berkontribusi terhadap upaya mengintegrasikan literasi
media ke dunia pendidikan.
● Gerakan media literasi mendapatkan momentum ketika politeknik dan
universitas Amerika Serikat mulai memberi perhatian besar pada subjek tersebut.
Berdasarkan survei tahun 2002, ada 61 program D2 dan S1 yang
menyelenggarakan mata kuliah atau program literasi media (Silverblatt, et al.,
2014: 506).
● Pada tahun 1982, 19 negara menghadiri International Symposium on Media
Education di Grunwald, Jerman. Pertemuan itu menghasilkan dokumen
mengenai urgensi pendidikan media. Pesan pentingnya menyebutkan bahwa
"saat ini kita berada dalam dunia yang dipenuhi oleh media" sehingga membawa
konsekuensi terhadap perilaku khalayak, identitas budaya, dan pendidikan di
sekolah dan keluarga.
● Pada tahun 2012 UNESCO mendeklarasikan bahwa literasi media dan informasi
merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental (Silverblatt, et al,
2014:505).
● Di Indonesia, persoalan literasi dasar terjadi akibat program pendidikan terbatas
pada masa kolonial.
● Saat mendeklarasikan kemerdekaan, sebagian masyarakat tidak dapat membaca
dan menulis. Makan program pertama pemerintah adalah pemberantasan buta
huruf.
● Inisiatif literasi media secara khusus dimulai pada tahun 2000-an oleh beberapa
organisasi masyarakat sipil (Herlina, 2012).
● Beberapa universitas, terutama melalui program studi ilmu komunikasi,
kemudian mulai merespons gerakan literasi media. Pada tahun 2009, Universitas
Indonesia menyelenggarakan workshop literasi media. Setahun kemudian,
Universitas Islam Indonesia dan Rumah Sinema membuat konferensi literasi
media. Kedua kegiatan tersebut bertujuan untuk mempertemukan penggiat
literasi media di seluruh Indonesia dan menggalang dukungan yang lebih luas.
● Namun, perhatian pemerintah masih sangat kurang meski Komisi Penyiaran
Indonesia di berbagai daerah mulai mengadopsi inisiatif ini sejak 2010 (Herlina,
2012).

B. DEFINISI LITERASI MEDIA

Di Amerika Serikat para ahli menggunakan istilah literasi media (media literacy),
sedangkan di Inggris istilahnya pendidikan media (media education). Di Amerika Serikat
aktivitas literasi media lebih banyak dikembangkan melalui pendidikan non-formal dan
informal, sedangkan di Inggris melalui pendidikan formal. Ketika para ahli Amerika
Serikat hendak memasukkan literasi media dalam kurikulum, mereka menggunakan
istilah media literacy education. Patricia Aufderheide dalam National Leadership
Conference on Media Literacy, la menyebutkan orang literate adalah seseorang yang
memiliki kesempatan untuk menjadi literate - dapat memahami, mengevaluasi,
menganalisis, dan memproduksi media cetak dan elektronik. Tujuan media literasi paling
fundamental adalah mampu mengembangkan hubungan kritis yang otonom terhadap
media. Penekanan pelatihan literasi media secara luas meliputi isu kewargaan, apresiasi
dan ekspresi estetis, advokasi sosial, kepercayaan diri, dan kemampuan menjadi
konsumen (Aufderheide, 1992: 9).

Sonia Livingstone merumuskan definisi yang lebih operasional. Melalui review beberapa
penelitian mengenai literasi media, Livingstone (dalam Livingstone dan Thumim, 2003:
1) mendefinisikan keterampilan literasi media memiliki tiga tahap;

1) Kompetensi teknis
2) Praktik pemahaman kritis
3) Produksi konten

Ofcom—regulator industri komunikasi di Inggris—mendeskripsikan literasi media


adalah kemampuan menggunakan, memahami, menciptakan media dan komunikasi
dalam berbagai konteks (Ofcom, 2011 dalam Barber, 2012: 5). Meski awalnya ditujukan
untuk meregulasi kegiatan ekonomi, Ofcom juga turut mempromosikan literasi media
sebagai bagian dari pendidikan konsumen dan peningkatan kompetensi industri
(Livingstone, 2007; 8).

Uni Eropa menyebutkan literasi media merupakan keterampilan, pengetahuan, dan


pemahaman konsumen untuk menggunakan media secara efektif dan aman. Individu
yang literate akan mampu memilih informasi , memahami tujuan konten dan jasa,
kemudian mendapatkan keuntungan yang ditawarkan oleh teknologi informasi baru.
Dengan kemampuan itu mereka dapat melindungi diri dan keluarganya dari materi yang
berbahaya dan menyakitkan (Commision of the European Communities (2007a: para 37
dalam O’Neill, 2010: 3).

C. RUANG LINGKUP LITERASI MEDIA

Potter (2010) menyebutkan setidaknya ada 4 hall utama yang sering diangkat :

1. Media massa memiliki potensi efek negatif terhadap seseorang. ‘ Tujuan


literasi media adalah membantu orang untuk melindungi dirinya dari
potensi efek negatif.
2. Literasi media perlu ditanamkan pada diri seseorang karena „ tidak dimiliki
secara alamiah.
3. Literasi media bersifat multidimensional: kognitif, afektif, perilaku pada
diri seseorang, serta berkaitan secara institusional dan budaya.
4. Literasi media bersifat multidimensional : kognitif, afektif, perilaku pada
diri seseorang, serta berkaitan secara institusional dan budaya.

Menurut Joseph Turow (2013: 21-22), National Leadership Conference on Media Literacy
menyebutkan ada 6 prinsip dasar literasi media, yaitu:

1. Media mengkonstruksi individual.

2. Media dipengaruhi tekanan industri


3. Media dipengaruhi tekanan politik
4. Media dibatasi formatnya
5. Khalayak adalah penerima aktif media.
6. Media mendefinisikan identitas kita sebagai masyarakat.

McChesney (1999a, 2004 dalam Kellner & Share, 2005:377) menjelaskan bahwa Center
of Media Literacy menyebut ada 5 konsep dasar literasi media, yaitu:

1. Non-transparansi; semua pesan media dikonstruksi

2. Kode dan konvensi


3. Pemahaman khalayak
4. Konten dan pesan
5. Motivasi

Menyitir Renee Hobbs (2011: 12 dalam Kemerer, 2013: 11), prinsip dalam topik tersebut
dapat digunakan untuk merumuskan 5 kompetensi dasar literasi media, yaitu:

1. Akses

2. Analitis
3. Menciptakan konten media menggunakan kreativitas dan kepercayaan
diri
4. Refleksi
5. Bertindak secara pribadi dan kolektif

Elizabeth (1996 dalam Tuz, 2007: 34-35) mengungkapkan setidaknya ada 4 isu berkaitan
dalam media, yaitu:
1. Kesadaran memilih waktu dan konten media yang dikonsumsi.
2. Keterampilan membaca/menonton secara kritis, termasuk aktivitas
memproduksi media.
3. Analisis konteks politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam lingkungan
media.
4. Advokasi dan gerakan media serta perubahan sosial.

D. PENDEKATAN DAN METODE LITERASI MEDIA

Buku Amusing Ourselves to Death (Menghibur Diri Sampai Mati) karya Neil Postman
(1985) menjadi salah satu tonggak pendidikan media, terutama pada televisi sebagai media
populer saat itu. Postman (1985 dalam Kamerer, 2013: 11). mengajukan 4 model
pendidikan media, yaitu:

1. The powerful media—kuasa media.


2. Media arts education—pendidikan seni media.
3. Media literacy movement—gerakan literasi media.
4. Literasi media kritis—kombinasi.

Seturut dengan Postman, Buckingham (2004) juga meringkas pendekatan literasi media
menjadi 4 perspektif, yaitu:

1. Proteksionisme

2. Uses and gratification

3. Khalayak aktif

4. Cultural studies

Program literasi media dikerjakan di berbagai tempat berbeda, seperti mata pelajaran,
kegiatan ekstrakurikuler, organisasi komunitas dan keagamaan. Perbedaan lokus membuat
para pendidik literasi media memilih pendekatan berbeda-beda pula. Berikut ini kita
diskusikan satu per satu.

1. Sekolah : Sebagian besar negara Eropa telah memiliki pembelajaran


literasi media yang terintegrasi dalam kurikulum. Ada dua cara yang biasa
dilakukan, yaitu menjadi mata pelajaran sendiri seperti "pendidikan
media"/"media" dan terintegrasi dalam mata pelajaran bahasa/sosial/alam
2. Ekstrakurikuler : Lokus kedua program literasi media masih di sekolah,
namun dilaksanakan seusai jam pelajaran atau biasa dikenal dengan
kegiatan ekstrakurikuler. Program semacam ini banyak diterapkan ketika
kelahiran literasi media. Salah satu program yang paling populer saat itu
adalah kine klub (klub menonton film). Melalui klub menonton film siswa
dapat belajar mengapresiasi tayangan visual yang memiliki nilai estetika
tinggi. Hal ini berkaitan dengan kemampuan imajinasi dan kesediaan siswa
menerima berbagai perbedaan nilai dan kondisi sebagaimana ditampilkan
film yang menampilkan beragam cerita dari berbagai suku bangsa dunia.

3. Komunitas : Program komunitas biasanya juga banyak memberi perhatian


pada aspek produksi media, seperti kegiatan ekstrakurikuler.
Perbedaannya, salah satu tujuan penting selain keterampilan produksi
adalah penggunaan media untuk memecahkan masalah komunitas. Media
digunakan untuk berdiskusi di antara anggota komunitas— seperti orang
tua dengan anak, remaja dengan pemimpin komunitas —untuk
menemukan solusi persoalan masyarakat. Ada dua metode terkait program
media dan komunitas: komunitas bermedia dan media literasi di
komunitas.

PERTEMUAN KELIMA

MATERI : KHALAYAK RENTAN

Khalayak merupakan entitas penting ketika membicarakan media. Karena itu posisinya
strategis. Pertama, khalayak sebagai massa. Massa dipahami sebagai sekelompok besar
orang yang terpisah secara ruang dan waktu, bertindak otonom, saling tidak mengenal, dan
tidak terikat pada organisasi tertentu. Kedua, khalayak merupakan hasil (outcome). Mereka
dipandang sebagai objek yang mendapat terpaan media, lain terpengaruh sebagai Individu
dan masyarakat secara keseluruhan. Efek media dapat dipahami pada dua tingkatan,
individual (mikro) dan masyarakat (makro).

Di tingkat mikro, konten media dapat berpengaruh secara kognitif (pengetahuan dan
pemikiran), sikap, emosi, psikologi, dan perilaku di tingkat individu (Hanson, 2014: 101).
Misal, pemberitaan di media dapat membentuk persepsi, sikap, dan pilihan tertentu. Di
tingkat makro, efek media dianggap dapat mempengaruhi pandangan kolektif dalam berbagai
isu: ekonomi, politik, keluarga, dan interaksi sosial (Hanson, 2014: 103). Media dianggap
dapat menggerakkan ekonomi melalui iklan, berita ekonomi, informasi nilai tukar uang,
harga saham, dan sebagainya.

Setidaknya ada tiga aliran penelitian yang menempatkan khalayak sesuai respons mereka
(Abercrombie dan Longhurst 1998), yaitu:

1. Model jarum suntik : aliran ini meyakini khalayak tidak berdaya


menghadapi konten media. Mereka mudah percaya mengikuti konten
negatif media.

2. Model motivasi dan gratifikasi : aliran ini memandang khalayak sangat


aktif sehingga mampu sepenuhnya memilih konten media yang sesuai
dengan kebutuhannya.

3. Teori resepsi yang berangkat dari kajian budaya : penonton mencoba


mencari makna dari program televisi (film) dengan cara selayak mata yang
menyarikan atau mengawasandikan {decoding)—pesan-pesan dari
pengontrol mereka Dalam studi seperti ini penonton tidak (sepenuhnya)
sadar dengan proses decoding yang mereka gunakan; penyarian makna
dari beragam program televisi berjalan dalam kehidupan sehari-hari dan
seolah-seolah bersifat "taken-for-granted". Pada akhirnya, khalayak akan
menolak, menerima, atau menegosiasikan keyakinan dm dengan pesan
media yang mereka terima.

Ada beberapa segmen yang dianggap sebagai khalayak rentan, yaitu anak, remaja,
perempuan, dan manula (manusia lanjut usia). Laki-laki dewasa juga dapat menjadi khalayak
rentan jika ia tidak memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman.

a) Anak dan Remaja : Masa kanak-anak adalah saat pertumbuhan fisik,


kognitif, emosi, dan moral (Potter, 2013: 58). Saat masa pertumbuhan
kognitif, anak belum dapat memahami logika berpikir yang benar.

b) Perempuan : Ada tiga alasan. Pertama, jumlah perempuan pekerja media


jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki sehingga konten media cenderung
bias gender. Kedua, penempatan perempuan menjadi subjek media lebih
sedikit daripada laki-laki, kalaupun ada porsi perempuan tidak berimbang
di segala aspek, ini juga menimbulkan bias. Ketiga, perempuan lebih
sering dijadikan objek konten media hingga muncul salah representasi dan
pembingkaian, Labelisasi, mitos, dan stereotip. Menurut Rebecca L.
Collins (2011: 291), minimal ada 5 isu dihadapi perempuan di media,
yaitu: Kurang terwakili, objek seksual, subordinasi, peran tradisional,
gambaran tubuh.

c) Manula (manusia lanjut usia) : Isu tentang manula mulai mendapat


perhatian serius di dunia karena jumlahnya mengalami pertumbuhan
berarti. Inovasi kesehatan, kondisi ekonomi dan sosial yang stabil
dianggap sebagai pendorong usia panjang. Kondisi penuaan membuat
manula menghadapi beberapa masalah fisik dan emosional yang berujung
pada masalah sosial. Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa nenek
dalam iklan digambarkan sebagai perawat rumah, sedangkan kakek masih
mampu bekerja profesional (Prieler, et al., 2011). . Pembagian secara usia
dapat dikategorikan dalam 4 kelompok: 55-64 tahun, 65-74 tahun, 75-84
tahun, dan lebih dari 85 tahun (Lazer, 1986; Conaway, 1991 dalam
Purinton-Johnson,2013). Dapat disimpulkan ada 3 ceruk manula yang
paling rentan, yaitu berdasarkan kategori pendapatan, kesehatan, dan gaya
hidup.

PERTEMUAN KEENAM

MATERI : EKONOMI POLITIK MEDIA

Media adalah salah satu pranata sosial dalam masyarakat, dinamikanya dipengaruhi oleh
berbagai kepentingan di dalam dan luar institusi. Proses saling memengaruhi itu karena
adanya dua kepentingan :

a. Ekonomi (media)

b. Politik (media)

Dalam kajian ekonomi politik ada 5 hal yang dibahas, yaitu aktor, hubungan antar-aktor,
komodifikasi ( proses mengubah nilai suatu produk agar dapat dipertukarkan di pasar
(Moscow, 2009:2), spesialisasi, dan strukturasi. Hubungan antar-aktor secara mendasar
memengaruhi 3 hal, yaitu :
a. Kepemilikan media : Komersial, Publik dan Komunitas

b. Sumber pembiayaan media : Iklan dll.

c. Kebijakan atau regulasi : Pandangan pemerintah terhadap media.

A. AKTOR MEDIA

1. Media Komersial : Media komersial dijalankan menurut prinsip perusahaan, yaitu


mendapatkan keuntungan. Meskipun demikian, mereka terikat pada etika dan regulasi
yang harus dipatuhi.

a. Khalayak : hubungan antara khalayak dan media ialah semacam hubungan


langsung dan tidak langsung jual-beli antara produsen dan konsumen.

b. Sponsor/ Pengiklan : Beragam institusi seperti pemerintah, partai politik,


dan industri memanfaatkan media untuk menyampaikan iklannya. Para
pengiklan bernegosiasi dengan media untuk mendapatkan ruang dan
waktu sehingga iklannya dapat diterima konsumen sasaran (Potter 2013:
114).

c. Pemerintah : Fungsi pemerintah di negara demokratis adalah menciptakan


aturan tentang teknis dan konten sehingga kepentingan tiap pihak dapat
terfasilitasi. Hubungan antara sistem media dan kebijakan peraturan
pemerintah memengaruhi kualitas dan keberagaman pesan media
(Silverblatt, et al,, 2014: 129).

2. Media Publik : Bentuk media publik awalnya adalah media penyiaran (televisi dan radio)
pemerintah, kemudian berkembang menjadi media publik dalam berbagai bentuk: cetak,
penyiaran, dan digital.

a. Khalayak : Khalayak media publik digambarkan sebagai warga negara


yang memiliki kepentingan untuk berpartisipasi dalam proses
demokratisasi.
b. Pemilik dan Sponsor : Kepemilikan media publik pada dasarnya adalah
warga negara. Tetapi kenyataan, kepemilikan saham media publik di tiap
negara berbeda-beda tergantung kebijakan negara dan masyarakat
memandang urgensi media publik.

c. Pekerja : pekerja media publik sebenarnya bekerja terutama seperti


pendidik publik. Mereka harus mampu memproduksi konten yang
mendidik, sekaligus tetap menghibur. Oleh karena itu pengetahuan mereka
tentang isu-isu publik jadi sangat krusial.

d. Pemerintah : Peran pemerintah dalam pengelolaan media publik sangat


besar, dari penyandang dana hingga menciptakan regulasi yang
akomodatif. Kemauan pemerintah mendukung media publik sangat
ditentukan oleh pandangan politisi dan masyarakat (publik) pada media ini.

3. Media Komunitas : Ada beberapa persamaan antara media komunitas dan media publik.
Serupa dengan media publik, bentuk media komunitas berawal dari radio lalu televisi dan
saat ini internet. Secara umum, tujuan kedua media tersebut adalah ruang partisipasi
publik. Namun, media komunitas bekerja di lingkup yang lebih sempit, yaitu masyarakat
lokal. Menurut K. Fuller (2007:221), ada 4 pendekatan media komunitas, yaitu : 1.
Melayani komunitas, 2. Alternatif media arus utama, 3. Menghubungkan media
komunitas dengan masyarakat sipil, 4. Sebagai akar pertemuan berbagai orang dari
berbagai gerakan dan perjuangan untuk bertemu dan berkolaborasi.

a. Khalayak : Media komunitas bersifat non-komersial sebagai bentuk


respons terhadap peminggiran kelompok-kelompok tertentu oleh media
komersial.

b. Pemilik : Sebagaimana dijelaskan oleh UU Penyiaran, pemilik radio


komunitas di Indonesia adalah organisasi berbadan hukum. Pada
kenyataannya, tidak semua media komunitas yang beroperasi saat ini
berbadan hukum, karena keterbatasan dana untuk melakukan upaya
legalisasi organisasi.
c. Pekerja : Orang-orang yang bekerja di media komunitas sebagian besar
adalah sukarelawan. Jika pun ada yang dibayar, mereka bekerja atas asas
kewirausahaan sosial.

d. Sponsor / Pengiklan : Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, iklan dan


sponsor sangat dibatasi di media komunitas. Bentuk iklan yang diizinkan
harus berhubungan dengan kepentingan komunitas.

e. Pemerintah : Dukungan pemerintah terhadap radio komunitas terkait


dengan regulasi. Mengelaborasi pendapat Linda K. Futter (2007:211),
media komunitas membutuhkan 4 regulasi, yaitu:

a) Pengaturan frekuensi yang adil untuk media komersial, publik, dan


komunitas, Argumennya: frekuensi adalah milik bersama yang harus dapat
diakses oleh semua orang, bukan saja untuk kepentingan komersial.

b) Pengelolaan informasi terkait dengan pengumpulan, pemrosesan,


penyimpanan, distribusi yang menghargai hak asasi manusia,

c) Menjamin hak tiap komunitas untuk melindungi ruang budayanya

d) Regulasi yang menjamin pengawasan media komunitas agar tidak


beroperasi sebagai media partisan atau komersial.

B. HUBUNGAN ANTAR AKTOR

1. Struktur Industri : Beberapa bentuk struktur industri yang mungkin terjadi di suatu
negara adalah monopoli murni, oligopoli, persaingan monopolistik, dan persaingan
sempurna (Kotler dan Kellner, 2012: 344). Monopoli murni terjadi jika di dalam industri
terdapat satu pemain tunggal yang melayani pasar, Industri televisi Indonesia pernah
mengalami ini sejak 1967-1992, ketika TVR1 hanya menjadi penyedia layanan televisi
nasional.
a. Di industri media biaya akuisisi teknologi besar, tidak mudah melakukan
perubahan teknologi meskipun dalam persaingan, integrasi vertikal
adalah perluasan usaha menuju hilir atau hulu.

b. Ada 3 jenis perusahaan dalam industri media, yaitu : 1. Produksi, 2.


Distribusi, dan 3. Ekshibisi.

c. Saat ini tren di seluruh dunia menunjukkan perusahaan media berupaya


melakukan konglomerasi mengacu pada kepemilikan beberapa perusahaan
media dari beragam jenis di bawah satu korporat (Turow, 2014: 164).

d. Menyitir Joseph Turow (2014: 165), tujuan konglomerasi setidaknya ada


dua, yaitu:

a) Berbagi fasilitas produksi seperti gedung, peralatan, dan


perawatan untuk menekan biaya.

b) Meningkatkan potensi keuntungan korporat karena keahlian


dikuasai sendiri.

e. Agar dapat melakukan konglomerasi, perusahaan induk yang memiliki


sumber daya terbesar biasanya menginisiasi joint venture. lalu memecah
saham miliknya untuk dijual pada beberapa perusahaan kecil yang
bersedia menangani salah satu tahapan produksi.

f. Konglomerasi juga digunakan ketika korporat media ingin memperluas


pasar secara internasional, lalu menggandeng perusahaan nasional dan
lokal untuk memiliki sebagian kecil saham perusahaan baru.
Perusahaan-perusahaan tersebut merasa beruntung karena mendapatkan
transfer teknologi dan pengetahuan.

g. Konglomerasi menyebabkan kepemilikan silang (cross-ownership) dan


konsentrasi kepemilikan (concentration of ownership).

h. Konglomerasi menciptakan persaingan oligopoli yang memiliki 7 dampak


negatif (Straubhaar, et al., 2013: 118-125) sebagai berikut:

1) Konten yang homogen

2) Dukungan terhadap status quo


3) Program media dianggap sebagai produk yang harus
menggerakkan aliran kas korporat.

4) Program turunan

5) Promosi silang yang terjadi antar-perusahaan di bawah korporat


yang sama.

6) Konflik kepentingan

7) Pengabaian tanggung jawab layanan publik.

i. Selain konglomerasi, cara lain untuk memaksimalkan keuntungan adalah


sindikasi. Ini adalah pemberian lisensi produksi konten sejenis untuk
beberapa perusahaan media (Turow, 2014:369). Transaksi yang terjadi
antara satu perusahaan media dengan perusahaan media lain atau business
to business. Sindikasi di industri media berimplikasi pada penyeragaman
isu dan ekspresi, akibatnya khalayak yang sebenarnya memiliki
lingkungan sosial berbeda tidak dapat mengawasi lingkungan terdekatnya
melalui media

2. Daur Hidup Industri Media : Industri mengalami fase kelahiran, pertumbuhan, dan
kedewasaan. Dilahirkan di era yang berbeda, daur hidup masing-masing media juga
berbeda. Ilmu organisasi industri secara umum membagi fase pertumbuhan produk atau
industri menjadi 4 tahap, yaitu: pengenalan, pertumbuhan, kedewasaan, dan penurunan.

3. Ada 4 posisi dalam persaingan media: pemimpin, penantang, pengikut, dan penceruk.

4. Industri media di Indonesia mengalami daur hidup yang berbeda dari negara lain.
Industri surat kabar berawal sejak tahun 1950-an dan saat ini (era 2000-an) mengalami
fase kemunduran.

5. Sebagian besar surat kabar melayani fase ceruk yang cukup membuat mereka bertahan,
sehingga hanya sedikit yang mampu melakukan ekspansi merambah industri media lain.

6. Industri radio mengalami fase pertumbuhan pesat pada era 1970-an, radio swasta
terutama menjadi media hiburan karena hampir seluruh berita dan informasi
dikendalikan pemerintah melalui RRI.
7. Industri radio saat ini mengalami titik jenuh karena jumlahnya terlalu banyak sedangkan
basis khalayaknya berkurang drastis.

8. Televisi swasta nasional mulai lahir pada tahun 1990-an, pertumbuhan yang pesat di era
2000-an, sehingga saat ini memasuki usia kedewasaan. Kepemilikannya dulu dikuasai
segelintir pengusaha yang dekat dengan kekuasaan, namun sekarang sahamnya meluas
meski masih terbatas.

9. Kedua industri itu awalnya melayani pasar-pasar besar, namun pasar mereka mengecil
mendekati ceruk karena kehadiran berbagai media audio visual alternatif dari internet.

10. Dekade ini ditandai dengan kelahiran media digital yang terus bergerak ke fase
pertumbuhan, Dibandingkan dengan industri media lain, investasi pendirian media
digital relatif kecil, maka jumlah pemainnya sangat banyak, Hampir semua produsen
pesan melayani pasar ceruk.

Silverblatt (2014) mengajukan 3 fase daur hidup industri media: ancaman, spesialisasi, dan
Inovasi teknologi mendorong kelahiran medium-medium baru.

1. Fase Pertama : Silverblatt (2014) mengidentifikasi ada 3 hal yang


dilakukan media baru pada tahap ancaman, yaitu:

a. Programming : media baru akan mencontoh program-program media


yang telah ada sebelumnya. Ketika televisi muncul pertama di
Indonesia tahun 1960-an program yang dihadirkan meniru program
radio.

b. Khalayak media baru merupakan khalayak media lama yang


beralih.

c. Basis keuangan media baru dianggap mengambil jatah media lama,


sebagaimana terjadi, iklan radio merosot drastis karena pengiklan
lebih suka berpromosi di media sosial.

2. Fase Kedua : yaitu spesialisasi - ditandai dengan perubahan strategi


perusahaan media. Setidaknya ada 3 respons perusahaan media:

a. Inovasi teknologi,
b. Programming,

c. Narrowcasting.

Kehadiran media baru mendorong media utama membuat inovasi, seperti terjadi di industri
televisi Indonesia saat ini. Stasiun televisi sekarang punya akun media sosial untuk menjaga
atensi khalayaknya. Melalui akun itu, perusahaan televisi berinteraksi dengan khalayak,
mengunggah konten yang telah lampau, mempromosikan program, bahkan mengundang
pengiklan, Perubahan [ain yang dilakukan televisi swasta Indonesia saat ini terkait dengan
programnya. Jika dulu program televisi bersifat satu arah, belakangan ini khalayak diajak
lebih banyak berinteraksi melalui telepon, sms, media sosial, untuk

mengikuti keinginan khalayak digital.

3. Fase Ketiga : yaitu asimilasi—terjadi dalam 3 tingkatan:

a. Konsolidasi kepemilikan: kepemilikan, perusahaan media


melakukan merger dan akuisisi agar dapat melakukan subsidi silang di
antara anak perusahaannya.

b. Konvergensi teknis : Konvergensi teknis di era digital tak terelakkan.


Sebagai misal, teknologi fotografi saat ini berkonvergensi dengan
teknologi film, Kamera foto dikembangkan tak Lagi untuk menangkap
gambar statis, tapi juga gambar bergerak.

c. Programming : dilakukan dengan cara menggabungkan berbagai


saluran atau membuat standar estetika baru. Jika sebelumnya serial
televisi diproduksi dengan metode berbeda dengan film bioskop, saat
ini semua diproduksi secara digital sehingga satu judul televisi bisa
dipasarkan melalui televisi, media digital, dan bioskop sekaligus.

PERTEMUAN KETUJUH

UTS

Anda mungkin juga menyukai