LITERASI MEDIA
versi file word donlond di sini (dicek lagi, jangan copy lurus-lurus wkwkwkwk 😂) :
https://drive.google.com/file/d/1dz0hUeWRXiZYTU7bfCq1g8k4cqYG_WVM/view?usp
=sharing
MATERI : Seven Great Debates In The Media Literacy Movement (TUJUH DEBAT
HEBAT DALAM GERAKAN LITERASI MEDIA)
7 Pokok Debat :
Menurut (Bazalgette, 1997, hal. Anderson (1983) : Jika anak-anak dapat diajarkan
untuk mendekonstruksi teks media, mantra sihir berjalan, maka mereka tidak akan
diambil oleh fantasi , tergoda oleh kekerasan, atau dimanipulasi oleh tipuan
komersial. Pendidikan media, dalam skenario ini, adalah pedagogik yang setara
dengan tembakan tetanus" Namun pendapat ini dicemooh oleh para cendikiawan
Inggris yang mengatakan bahwa. Metode pengajaran yang dihasilkan dari pendidik
yang melihat diri mereka sebagai melindungi siswa tidak efektif di kelas.
Tapi kecemasan terbesar tentang pusat kerja praktis di sekitar ketakutan bahwa
produksi media dapat dengan mudah diajarkan sebagai serangkaian tugas yang tidak
dikontekstualisasikan yang mengajarkan siswa seperangkat keterampilan sempit.
(Stafford, 1990, p.81). Dan hal ini akan menjadikan hilangnya perspektif kritis dan
analitis.
Dikutip dari Aronowitz dan Giroux, 1991 Sekolah, di semua tingkatan, dibentuk
untuk mendevaluasi budaya populer, termasuk bentuk-bentuknya yang dimediasi
secara elektronik. Dikutip dari Giroux, 1994; Dewing, 1992 Mengatakan teks dari
budaya populer dapat menantang serta mengganggu rutinitas kelas sehingga
memberikan kesempatan bagi guru dan siswa untuk membahas masalah epistemologis
yang relevan dengan pemahaman siswa tentang proses yang melibatkan pembelajaran
dan komunikasi....
Tapi...
Sejauh mana keterampilan transfer literasi media dari satu genre atau dari bentuk
simbolis menuju bentuk yang lain? Penekanan budaya populer dalam pendidikan
literasi media sebagian besar adalah apa yang membedakan bentuk pemikiran kritis
ini dari konsep terkait lainnya, termasuk literasi informasi, literasi komputer dan
literasi cetak (Tyner, dalam pers; Piette, 1997; McClure, 1996).
4. Haruskah Literasi Media Memiliki Agenda Politik dan / atau Ideologis yang
Lebih Eksplisit?
Literasi media dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencapai berbagai tujuan politik
progresif misalnya :
Dikutip dari (Aronowitz dan Giroux, 1991, hlm. 181) : Pendidik literasi media bekerja
dengan pemahaman bahwa hanya sedikit reformasi sekolah yang mampu melawan
"komitmen mendalam sekolah untuk mereproduksi sistem kekuasaan sosial yang
berlaku"
Hampir setiap pendidik mengakui nilai menanamkan konsep literasi media di seluruh
kurikulum, karena teks media digunakan untuk menyampaikan konten dalam
pengajaran sains, studi sosial, sejarah, seni, dan sastra. Namun, ada sebagian besar
pendidik pula yang sudah mulai memasukkan konsep literasi media ke dalam
kurikulum tetapi belum menjadi bagian dari proses distrik yang terorganisir dan
sistematis, Melainkan, telah mengadopsi ide-ide ini sendiri, belajar tentang media
melalui membaca, kursus, program pengembangan staf, atau melalui percakapan dan
observasi rekan kerja.
PERTEMUAN KETIGA : Kumpulkan hasil review kalian akan seminar literasi media
yang kalian ikuti kemarin.
PERTEMUAN KEEMPAT
● Abad ke-20 ketika media massa dari rekaman suara, film, radio dan televisi
membuat khalayak media terbentuk. Media tersebut menciptakan suatu entitas
baru yang disebut khalayak massa.
● Tonggak kajian khusus mengenai media dimulai ketika Marshall McLuhan
menerbitkan buku Understanding Media (1964). Melalui buku itu McLuhan
menyampaikan dua gagasan penting, yaitu "medium is the message" dan "hot
and cold media".
● Hot and cold media. Menurut McLuhan ada dua bentuk media, yaitu dingin dan
panas. Media dingin ialah media yang membutuhkan perhatian aktif dari
khalayak, seperti buku, surat kabar, film, web, media sosial. Sedangkan media
panas mengacu pada komunikasi yang mendetail, sehingga keterlibatan dari
khalayaknya rendah, contoh radio dan televisi.
● Buku McLuhan tersebut menginspirasi sahabatnya, John Culkin,SJ untuk
menulis kurikulum kajian film (film studies) sebagai bagian dari disertasinya di
School of Education Harvard University (1964).
● Di Inggris, kelahiran literasi media tidak dapat dilepaskan dari kemunculan
budaya populer yang dikhawatirkan meruntuhkan budaya dominan.
● Pada tahun 1933, F.R. Leavis dan Denys Thompson memublikasikan karya
berjudul "Culture and Environment: the Training of Critical Awareness"—sebuah
modul pembelajaran tentang media massa di sekolah. Modul ini adalah panduan
guru Bahasa Inggris yang merasa khawatir atas pengaruh media massa—film,
koran, iklan—terhadap kemampuan berbahasa (literasi) anak didik mereka.
● Sejak tahun 1960 pendidikan media (media education) mulai diajarkan di
sekolah-sekolah Inggris sebagai bagian dari pembelajaran Bahasa Inggris.
● Pada tahun 1970 mulai dibuka pendidikan kajian film (film studies) yang
berkembang menjadi kajian media (media studies) dalam sistem pendidikan
tinggi (Buckingham, 2003).
● Tahun 1970-an mulai ada perubahan paradigma mengenai pendidikan media di
Inggris, dimulai pada level perguruan tinggi- Perkembangan penting yang terjadi
adalah munculnya publikasi "Screen Theory" di jurnal Screen.
● Pemerintah Inggris serius mengembangkan pendidikan media dengan
membentuk agen-agen khusus, seperti British Film Institute, The English and
Media Centre, Film Education, The Centre for the Study of Children, Youth and
Media di Institute of Education, London. Inggris juga menjadi inisiator
penerapan pendidikan media di seluruh Eropa melalui European Commission
dalam Uni Eropa.
● Pada tahun 2009 Uni Eropa menerbitkan rekomendasi formal untuk menerapkan
kebijakan literasi media di seluruh negara anggotanya.
● Di Amerika Serikat program literasi media didominasi oleh gagasan proteksi
moral, terutama menghindarkan khalayak dari konten kekerasan, seks, dan
konsumsi berlebihan. Media dituding sebagai penyebar gagasan dan perilaku
yang mendorong anak-anak menjadikan kekerasan dan konsumsi sebagai solusi
semua masalah mereka. Asumsinya, bahaya tersebut dapat diatasi dengan
pelatihan analisis media yang intensif (Anderson, 1980 dalam Buckingham,
1998: 36).
● Program literasi media di Amerika Serikat lebih banyak dilakukan melalui jalur
non-formal
● Pada tahun 1970 Amerika Serikat telah berinisiatif memasukkan literasi media
dalam kurikulum, namun belum berhasil. Upaya serupa dimulai lagi pada tahun
1990 melalui proyek kepemimpinan, pendidikan guru.
● Tahun 1992 Aspen Institute menyelenggarakan “National Leadership Conference
on Media Literacy” yang berkontribusi terhadap upaya mengintegrasikan literasi
media ke dunia pendidikan.
● Gerakan media literasi mendapatkan momentum ketika politeknik dan
universitas Amerika Serikat mulai memberi perhatian besar pada subjek tersebut.
Berdasarkan survei tahun 2002, ada 61 program D2 dan S1 yang
menyelenggarakan mata kuliah atau program literasi media (Silverblatt, et al.,
2014: 506).
● Pada tahun 1982, 19 negara menghadiri International Symposium on Media
Education di Grunwald, Jerman. Pertemuan itu menghasilkan dokumen
mengenai urgensi pendidikan media. Pesan pentingnya menyebutkan bahwa
"saat ini kita berada dalam dunia yang dipenuhi oleh media" sehingga membawa
konsekuensi terhadap perilaku khalayak, identitas budaya, dan pendidikan di
sekolah dan keluarga.
● Pada tahun 2012 UNESCO mendeklarasikan bahwa literasi media dan informasi
merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental (Silverblatt, et al,
2014:505).
● Di Indonesia, persoalan literasi dasar terjadi akibat program pendidikan terbatas
pada masa kolonial.
● Saat mendeklarasikan kemerdekaan, sebagian masyarakat tidak dapat membaca
dan menulis. Makan program pertama pemerintah adalah pemberantasan buta
huruf.
● Inisiatif literasi media secara khusus dimulai pada tahun 2000-an oleh beberapa
organisasi masyarakat sipil (Herlina, 2012).
● Beberapa universitas, terutama melalui program studi ilmu komunikasi,
kemudian mulai merespons gerakan literasi media. Pada tahun 2009, Universitas
Indonesia menyelenggarakan workshop literasi media. Setahun kemudian,
Universitas Islam Indonesia dan Rumah Sinema membuat konferensi literasi
media. Kedua kegiatan tersebut bertujuan untuk mempertemukan penggiat
literasi media di seluruh Indonesia dan menggalang dukungan yang lebih luas.
● Namun, perhatian pemerintah masih sangat kurang meski Komisi Penyiaran
Indonesia di berbagai daerah mulai mengadopsi inisiatif ini sejak 2010 (Herlina,
2012).
Di Amerika Serikat para ahli menggunakan istilah literasi media (media literacy),
sedangkan di Inggris istilahnya pendidikan media (media education). Di Amerika Serikat
aktivitas literasi media lebih banyak dikembangkan melalui pendidikan non-formal dan
informal, sedangkan di Inggris melalui pendidikan formal. Ketika para ahli Amerika
Serikat hendak memasukkan literasi media dalam kurikulum, mereka menggunakan
istilah media literacy education. Patricia Aufderheide dalam National Leadership
Conference on Media Literacy, la menyebutkan orang literate adalah seseorang yang
memiliki kesempatan untuk menjadi literate - dapat memahami, mengevaluasi,
menganalisis, dan memproduksi media cetak dan elektronik. Tujuan media literasi paling
fundamental adalah mampu mengembangkan hubungan kritis yang otonom terhadap
media. Penekanan pelatihan literasi media secara luas meliputi isu kewargaan, apresiasi
dan ekspresi estetis, advokasi sosial, kepercayaan diri, dan kemampuan menjadi
konsumen (Aufderheide, 1992: 9).
Sonia Livingstone merumuskan definisi yang lebih operasional. Melalui review beberapa
penelitian mengenai literasi media, Livingstone (dalam Livingstone dan Thumim, 2003:
1) mendefinisikan keterampilan literasi media memiliki tiga tahap;
1) Kompetensi teknis
2) Praktik pemahaman kritis
3) Produksi konten
Potter (2010) menyebutkan setidaknya ada 4 hall utama yang sering diangkat :
Menurut Joseph Turow (2013: 21-22), National Leadership Conference on Media Literacy
menyebutkan ada 6 prinsip dasar literasi media, yaitu:
McChesney (1999a, 2004 dalam Kellner & Share, 2005:377) menjelaskan bahwa Center
of Media Literacy menyebut ada 5 konsep dasar literasi media, yaitu:
Menyitir Renee Hobbs (2011: 12 dalam Kemerer, 2013: 11), prinsip dalam topik tersebut
dapat digunakan untuk merumuskan 5 kompetensi dasar literasi media, yaitu:
1. Akses
2. Analitis
3. Menciptakan konten media menggunakan kreativitas dan kepercayaan
diri
4. Refleksi
5. Bertindak secara pribadi dan kolektif
Elizabeth (1996 dalam Tuz, 2007: 34-35) mengungkapkan setidaknya ada 4 isu berkaitan
dalam media, yaitu:
1. Kesadaran memilih waktu dan konten media yang dikonsumsi.
2. Keterampilan membaca/menonton secara kritis, termasuk aktivitas
memproduksi media.
3. Analisis konteks politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam lingkungan
media.
4. Advokasi dan gerakan media serta perubahan sosial.
Buku Amusing Ourselves to Death (Menghibur Diri Sampai Mati) karya Neil Postman
(1985) menjadi salah satu tonggak pendidikan media, terutama pada televisi sebagai media
populer saat itu. Postman (1985 dalam Kamerer, 2013: 11). mengajukan 4 model
pendidikan media, yaitu:
Seturut dengan Postman, Buckingham (2004) juga meringkas pendekatan literasi media
menjadi 4 perspektif, yaitu:
1. Proteksionisme
3. Khalayak aktif
4. Cultural studies
Program literasi media dikerjakan di berbagai tempat berbeda, seperti mata pelajaran,
kegiatan ekstrakurikuler, organisasi komunitas dan keagamaan. Perbedaan lokus membuat
para pendidik literasi media memilih pendekatan berbeda-beda pula. Berikut ini kita
diskusikan satu per satu.
PERTEMUAN KELIMA
Khalayak merupakan entitas penting ketika membicarakan media. Karena itu posisinya
strategis. Pertama, khalayak sebagai massa. Massa dipahami sebagai sekelompok besar
orang yang terpisah secara ruang dan waktu, bertindak otonom, saling tidak mengenal, dan
tidak terikat pada organisasi tertentu. Kedua, khalayak merupakan hasil (outcome). Mereka
dipandang sebagai objek yang mendapat terpaan media, lain terpengaruh sebagai Individu
dan masyarakat secara keseluruhan. Efek media dapat dipahami pada dua tingkatan,
individual (mikro) dan masyarakat (makro).
Di tingkat mikro, konten media dapat berpengaruh secara kognitif (pengetahuan dan
pemikiran), sikap, emosi, psikologi, dan perilaku di tingkat individu (Hanson, 2014: 101).
Misal, pemberitaan di media dapat membentuk persepsi, sikap, dan pilihan tertentu. Di
tingkat makro, efek media dianggap dapat mempengaruhi pandangan kolektif dalam berbagai
isu: ekonomi, politik, keluarga, dan interaksi sosial (Hanson, 2014: 103). Media dianggap
dapat menggerakkan ekonomi melalui iklan, berita ekonomi, informasi nilai tukar uang,
harga saham, dan sebagainya.
Setidaknya ada tiga aliran penelitian yang menempatkan khalayak sesuai respons mereka
(Abercrombie dan Longhurst 1998), yaitu:
Ada beberapa segmen yang dianggap sebagai khalayak rentan, yaitu anak, remaja,
perempuan, dan manula (manusia lanjut usia). Laki-laki dewasa juga dapat menjadi khalayak
rentan jika ia tidak memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman.
PERTEMUAN KEENAM
Media adalah salah satu pranata sosial dalam masyarakat, dinamikanya dipengaruhi oleh
berbagai kepentingan di dalam dan luar institusi. Proses saling memengaruhi itu karena
adanya dua kepentingan :
a. Ekonomi (media)
b. Politik (media)
Dalam kajian ekonomi politik ada 5 hal yang dibahas, yaitu aktor, hubungan antar-aktor,
komodifikasi ( proses mengubah nilai suatu produk agar dapat dipertukarkan di pasar
(Moscow, 2009:2), spesialisasi, dan strukturasi. Hubungan antar-aktor secara mendasar
memengaruhi 3 hal, yaitu :
a. Kepemilikan media : Komersial, Publik dan Komunitas
A. AKTOR MEDIA
2. Media Publik : Bentuk media publik awalnya adalah media penyiaran (televisi dan radio)
pemerintah, kemudian berkembang menjadi media publik dalam berbagai bentuk: cetak,
penyiaran, dan digital.
3. Media Komunitas : Ada beberapa persamaan antara media komunitas dan media publik.
Serupa dengan media publik, bentuk media komunitas berawal dari radio lalu televisi dan
saat ini internet. Secara umum, tujuan kedua media tersebut adalah ruang partisipasi
publik. Namun, media komunitas bekerja di lingkup yang lebih sempit, yaitu masyarakat
lokal. Menurut K. Fuller (2007:221), ada 4 pendekatan media komunitas, yaitu : 1.
Melayani komunitas, 2. Alternatif media arus utama, 3. Menghubungkan media
komunitas dengan masyarakat sipil, 4. Sebagai akar pertemuan berbagai orang dari
berbagai gerakan dan perjuangan untuk bertemu dan berkolaborasi.
1. Struktur Industri : Beberapa bentuk struktur industri yang mungkin terjadi di suatu
negara adalah monopoli murni, oligopoli, persaingan monopolistik, dan persaingan
sempurna (Kotler dan Kellner, 2012: 344). Monopoli murni terjadi jika di dalam industri
terdapat satu pemain tunggal yang melayani pasar, Industri televisi Indonesia pernah
mengalami ini sejak 1967-1992, ketika TVR1 hanya menjadi penyedia layanan televisi
nasional.
a. Di industri media biaya akuisisi teknologi besar, tidak mudah melakukan
perubahan teknologi meskipun dalam persaingan, integrasi vertikal
adalah perluasan usaha menuju hilir atau hulu.
4) Program turunan
6) Konflik kepentingan
2. Daur Hidup Industri Media : Industri mengalami fase kelahiran, pertumbuhan, dan
kedewasaan. Dilahirkan di era yang berbeda, daur hidup masing-masing media juga
berbeda. Ilmu organisasi industri secara umum membagi fase pertumbuhan produk atau
industri menjadi 4 tahap, yaitu: pengenalan, pertumbuhan, kedewasaan, dan penurunan.
3. Ada 4 posisi dalam persaingan media: pemimpin, penantang, pengikut, dan penceruk.
4. Industri media di Indonesia mengalami daur hidup yang berbeda dari negara lain.
Industri surat kabar berawal sejak tahun 1950-an dan saat ini (era 2000-an) mengalami
fase kemunduran.
5. Sebagian besar surat kabar melayani fase ceruk yang cukup membuat mereka bertahan,
sehingga hanya sedikit yang mampu melakukan ekspansi merambah industri media lain.
6. Industri radio mengalami fase pertumbuhan pesat pada era 1970-an, radio swasta
terutama menjadi media hiburan karena hampir seluruh berita dan informasi
dikendalikan pemerintah melalui RRI.
7. Industri radio saat ini mengalami titik jenuh karena jumlahnya terlalu banyak sedangkan
basis khalayaknya berkurang drastis.
8. Televisi swasta nasional mulai lahir pada tahun 1990-an, pertumbuhan yang pesat di era
2000-an, sehingga saat ini memasuki usia kedewasaan. Kepemilikannya dulu dikuasai
segelintir pengusaha yang dekat dengan kekuasaan, namun sekarang sahamnya meluas
meski masih terbatas.
9. Kedua industri itu awalnya melayani pasar-pasar besar, namun pasar mereka mengecil
mendekati ceruk karena kehadiran berbagai media audio visual alternatif dari internet.
10. Dekade ini ditandai dengan kelahiran media digital yang terus bergerak ke fase
pertumbuhan, Dibandingkan dengan industri media lain, investasi pendirian media
digital relatif kecil, maka jumlah pemainnya sangat banyak, Hampir semua produsen
pesan melayani pasar ceruk.
Silverblatt (2014) mengajukan 3 fase daur hidup industri media: ancaman, spesialisasi, dan
Inovasi teknologi mendorong kelahiran medium-medium baru.
a. Inovasi teknologi,
b. Programming,
c. Narrowcasting.
Kehadiran media baru mendorong media utama membuat inovasi, seperti terjadi di industri
televisi Indonesia saat ini. Stasiun televisi sekarang punya akun media sosial untuk menjaga
atensi khalayaknya. Melalui akun itu, perusahaan televisi berinteraksi dengan khalayak,
mengunggah konten yang telah lampau, mempromosikan program, bahkan mengundang
pengiklan, Perubahan [ain yang dilakukan televisi swasta Indonesia saat ini terkait dengan
programnya. Jika dulu program televisi bersifat satu arah, belakangan ini khalayak diajak
lebih banyak berinteraksi melalui telepon, sms, media sosial, untuk
PERTEMUAN KETUJUH
UTS