Anda di halaman 1dari 17

Studi Literasi Media (Bagian I)

Review by : Nisya Rifiani




1. Sejarah dan perkembangan literasi media
Perkembangan literasi media tidak dapat dilepaskan dari perkembangan media itu
sendiri.Center for Media Literacy (CML) memberikan ilustrasi mengenai perkembangan literasi
media terutama di Amerika Serikat. Sejarah perkembangan literasi media sejatinya sudah
dimulai sebelum dekade 1960-an. Perkembangan pada era ini tidak dapat dilepaskan dari
tokoh Marshall McLuhan yang memberikan perspektif baru dalam memandang media, yakni
sebuah konsep the medium is the message dalam bukunya yang berjudul Understanding
Media: The Extensions of Man.
McLuhan menganggap media sebagai perluasan manusia dan bahwa media yang berbeda-
beda mewakili pesan yang berbeda-beda. Media juga menciptakan dan mempengaruhi cakupan
serta bentuk dari hubungan-hubungan dan kegiatan-kegiatan manusia. Pengaruh media telah
berkembang dari individu kepada masyarakat. Dengan media setiap bagian dunia dapat
dihubungkan menjadi desa global (The Global Village).
Tokoh lainnya ialah John Culkin (1928 - 1993), merupakan seorang pendidik di Amerika
yang pertama kali memasukkan literasi media ke dalam kurikulum pendidikan secara eksplisit.
Pemikirannya adalah untuk membuat Amerika Serikat memiliki populasi yang media literate.
Pada tahun 1964, Culkin menulis :

"The attainment of (media) literacy involves more that mere warnings about the effects of the
mass media and more even than constant exposure to the better offerings of these media. This is
an issue demanding more than good will alone; it requires understanding. And training in
understanding is the task of the school!"

Dekade 1960 - 1970
Pada dekade ini dimulai uji coba yang mengintergrasikan literasi media ke dalam kurikulum.
Berbagai penelitian dilakukan dalam usaha penggunaan media di sekolah. Misalnya,
menggunakan televisi untuk mendukung kegiatan pendidikan dan mengintegrasikan pendidikan
literasi media ke dalam kurikulum dengan modul yang disusun dengan baik.
Selanjutnya, UNESCO mengembangkan prototipe model program pendidikan
media yang hendak diterapkan di seluruh dunia(1). Pada saat itu hanya sedikit negara yang
memberikan perhatiannya terhadap literasi media diantaranya Inggris dan Australia. Menyusul
negara-negara di Eropa, Amerika Latin, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan. Gerakan literasi
media kemudian muncul di berbagai negara di dunia.

Dekade 1970 - 1980
Langkah awal mengembangkan literasi media yang dirintis pada dekade sebelumnya tidak
berkelanjutan dengan baik. Seperti ditulis dalam laporan Educational Policies Commission of the
National Education Association dalam kategori "Mass Communication and Education" :


"In light of the time spent by today's student with the media of mass communication, some study
of these media and the communication process is essential. This means, first, the creation of an
awareness of the place communication holds in the modern environment The necessity of these
skills is not recognized as easily as the lack of ability to read There is a deceptive sense of
effortless connected with reception of these channels The recognition that a picture can
express editorial opinion even more easily than the written word can help build a wall against
propaganda. A considerable body of research literature which provides the basis for teaching
how to watch and listen is emerging, although established curriculum programs are still rare.
The need for such teaching, however, is everywhere."

Dekade 1980 - 1990
Pada dekade ini perkembangan literasi media di Amerika Serikat berlangsung dengan cepat dan
luas, demikian pula yang terjadi di Eropa. Negara-negara di Eropa mengembangkan literasi
media dengan memasukkannya ke dalam kurikulum mulai dari level sekolah dasar, menengah,
hingga perguruan tinggi. Pemerintah Perancis mengembangkan literasi media dengan tujuan
mencegah cara menonton yang pasif (passive viewing) dan manipulasi. Inilah mengapa siswa
harus mempelajari bagaimana sebuah gambaran (image) diproduksi, diorganisasikan, dan
bagaimana untuk mengkombinasikannya dengan bentuk pembelajaran yang lain, misalnya
tulisan dan lisan, serta pengalaman langsung.
Pemerintah Finlandia mengembangkan literasi media untuk melatih siswa meneliti dan
menginterpretasi pesan media massa, untuk menumbuhkan analisis kritis, dan mengajari siswa
bagaimana mengembangkan opini mereka sendiri tentang pesan yang disampaikan media massa.
Pemerintah Inggris bahkan menyusun program pendidikan literasi media dalam skala luas
yang meliputi empat bahasan pokok. Pertama, sumber, asal, dan determinan dari konstruksi
media. Kedua, teknik dan koding yang dominan digunakan media untuk meyakinkan kita
kebenaran representasi mereka, misalnya bagaimana media menggunakan teknologi untuk
mengedit informasi dalam bentuk yang paling kuat dan meyakinkan. Ketiga, sifat dasar realitas
yang dibentuk oleh media, misalnya nilai implisit yang ada dalam pesan media, karakteristik
dunia yang direpresentasikan media, dan sebagainya. Keempat, bagaimana konstruksi media
tentang realitas diterima dan dipahami oleh masyarakat umum.

Dekade 1990 - 2000
Literasi media kemudian dipahami sebagai sebuah pemberdayaan dalam menentukan sikap atas
pilhan, bukan mekanisme untuk melindungi diri dari bahaya tertentu. Literasi media merupakan
kemampuan, cara berpikir, dan selalu berkembang. Apa yang penting dalam literasi media
bukanlah menyampaikan jawaban yang benar tetapi mengemukakan pertanyaan yang tepat.
Berbagai organisasi pemerhati literasi media mulai bermunculan terutama di Amerika Serikat.
Organisasi pemerhati literasi media di Amerika mengembangkan media literasi yang
meliputi cara berfikir tentang pengaruh media massa pada era modern dan sumber-sumber
kurikulum baru untuk mendidik orang dewasa dan generasi muda untuk menjadi lebih
berpengetahuan dan selektif sebagai pengguna media. Selain itu organisasi mengembangkan
program visioner dan praktis bagi perkembangan literasi media di Amerika Serikat.


Dekade 2000 - sekarang
Pada awal abad ke-21 menandakan perkembangan literasi media di beberapa negara. Kurikulum
literasi media berlangsung pada hampir semua sekolah. Literasi media diarahkan untuk
mengakomodasi dan menciptakan perubahan pada skala global. Perkembangan media dan
teknologi komunikasi yang sudah mendunia. Seperti dikatakan oleh Thoman dan Joll (2) :

Konvergensi media dan teknologi dalam budaya global telah mengubah cara kita
belajar tentang dunia dan juga tantangan pendidikan. Tidak
lagi cukup untuk dapatmembaca kata tercetak; anak-
anak, remaja, dan dewasa, juga perlu kemampuan kritis dalam menanfsirkan presentasi pesan
dan makna dari berbagai budaya media. Pendidikan literasi media menyediakan kerangka kerja
yang dibutuhkan untuk hidup, bekerja dan berkewarganegaraan di abad 21 ini.

Literasi Media di Indonesia
Perkembangan literasi media di Indonesia masih sebatas gerakan-gerakan yang belum
terstruktur (3). Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, road show, dan kampanye
literasi media. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun
2005, Komunitas Mata Air tahun 2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan
Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006, Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun
2011, dan beberapa organisasi pemerhati media lainnya. Namun, gerakan-gerakan ini baru bisa
dilakukan dalam skala kecil. Pendidikan melek media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam
seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye dan roadshow selama seminggu.
Pembelajaran literasi media memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan, salah
satunya melalui jalur pendidikan. Kurikulum pendidikan yang berlaku di Indonesia saat ini
memberikan peluang kepada pendidikan literasi media untuk masuk ke dalam satuan kurikulum.
Pendidikan literasi media dapat dijadikan satu mata pelajaran baru ataupun disubstitusikan
menjadi bagian integral dalam, beberapa mata pelajaran yang memungkinkan - meski idealnya
pendidikan literasi media menjadi satu subyek pelajaran tersendiri. Hal tersebut dilakukan agar
transfer pendidikan melek media dapat lebih optimal dan guru dapat lebih mudah memantau
perkembangan siswa tentang pemahaman melek media. Pelaksanaan pendidikan literasi media
dapat disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Sekolah bersama dengan komite
sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan
kondisi lingkungan sekolah.
Sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang kesejahteraan anak dan pemerhati media
telah memulai sebuah proyek percontohan Pembelajaran Literasi Media yang dilaksanakan
pada sebuah sekolah dasar tepilih di kawasan Ibu Kota pada tahun 2002. Sebelum melaksanakan
model pertama ini yayasan tersebut melakukan pelatihan terhadap para guru dalam rangka
mempersiapkan guru, agar dapat maksimal dalam mengajarkan pendidikan melek media
terhadap anak didik. Selain itu diadakan seminar bagi orang tua murid tentang pendidikan melek
media untuk menyampaikan pentingnya pendidikan melek media.
Selanjutnya, yayasan tersebut menyelenggarakan beberapa pelatihan dan
pembelajaranliterasi media untuk guru sekolah dasar dan menengah dalam cakupan wilayah
yang lebih luas. Yayasan tersebut juga mengembangkan stimulant atau alat bantu pengajaran
untuk memudahkan guru dalam memberikan materi Pembelajaran Literasi Media kepada siswa
dengan cara yang menyenangkan dan interaktif. Pengembangan itu juga mencakup pembuatan
buku pegangan (modul) untuk guru dan siswa serta pengembangan lembar kerja siswa.
Literasi media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan ketika ia berada dalam
suatu masyarakat media. Lebih lanjut, masyarakat media tidak hanya cukup memahami media
saja. Adiputra mengutip pada The Interplay of Influence: News, Advertising, Politics, and Mass
Media yang ditulis oleh Jamieson dan Campbell, sebaiknya masyarakat juga tidak hanya
memahami media dengan baik. Pada ujung memahami media sebaiknya masyarakat juga tahu
cara berinteraksi atau berhubungan dengan media bila media melakukan kesalahan. Masyarakat
juga harus tahu cara mempengaruhi media, bila perlu melakukan boikot dan beragam gerakan
masyarakat yang lalin untuk memaksa media memperbaiki kesalahan yang dilakukannya (4).
Media literasi adalah sebuah keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat guna
berinteraksi secara layak dengan media khususnya media televisi. Literasi media merupakan
salah satu upaya menangkap dampak negatif media televisi. Media literasi menjadikan khalayak
media mampu mengevaluasi dan berfikir kritis terhadap pesan yang disampaikan oleh media
televisi.


#


DAFTAR PUSTAKA
1. Hobbs dalam Iriantara. 2006. Hal. 88.
2. Thoman, Elizabeth dan Thomas Joll dalam Media Awareness Network. 2007. Dapat diakses
dalam: www.mediaawareness.ca/english/teachers/media_literacy/what_is_media_literacy.c
fm/
3. Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA). Loc cit.
4. Adiputra, Wisnu Martha. 2008. Menyoal Komunikasi Memberdayakan Masyarakat.
Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM. Hal. 164.










Studi Literasi Media (Bagian II)


1. Literasi media sebagai sebuah konsep
Padanan kata media literacy dalam Bahasa Indonesia ditransliterasi sebagai literasi
media. Dalam dunia akademis kerap disebut dengan istilah keaksaraan bermedia ; atau dalam
masyarakat lebih dikenal dengan istilah populer melek media. Meski diartikan secara
sederhana, untuk dapat memahami konsep literasi media kita memerlukan definisi yang lebih
luas mengenai arti dari literasi media itu sendiri.
Berbicara tentang literasi media berarti berbicara tentang kecerdasan bermedia. Ada
demikian banyak definisi literasi media ditemukan dalam literatur. Akan ditemukan beragam
pengertian yang dikemukakan antara satu akademisi dengan akademisi lainnya. Namun secara
umum literasi media dipahami sebagai: kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi,
dan menciptakan media dalam pelbagai bentuk. Definisi ini lazim digunakan di Amerika
Serikat; dinyatakan pertama kali di Aspen Media Literacy Leadership Institute pada tahun 1992.
Sedangkan pada National Leadership Conference definisi literasi media ditetapkan sebagai
kemampuan penduduk mengakses, menganalis, dan memproduksi infomasi untuk tujuan yang
spesifik.
James William Potter mengidentifikasi literasi media sebagai: kumpulan perspektif yang
digunakan individu secara aktif untuk mengungkap diri sendiri pada media untuk menafsirkan
pemaknaan pesan-pesan yang diterima. Perspektif yang dipakai oleh individu tersebut berasal
dari struktur pengetahuan (knowledge structure). Dalam membangun struktur pengetahuan kita
membutuhkan keterampilan dan informasi. Struktur pengetahuan membentuk platform tempat
kita memandang berbagai fenomena dalam media (1).
Lebih jauh terdapat beberapa pengertian yang lebih spesifik tentang literasi media yang
dapat dirujuk untuk memahami konsep ini. Tapio Varis dalam Aproaches to Media Literacy and
e-Learning menyatakan bahwa :

Media Literacy is the ability to communicate competently in all media, print and electronic, as
well as to access, analyze and evaluate the powerful images, words and sounds that make up our
contemprorary mass media culture. These skills of media literacy are essential for our future as
individuals and as members of a democratic society. (2)

Sementara itu Hobbs dan Frost dalam The Acquisition of Media Literacy Skills among Australian
Adolescents dalam Journal of Broadcasting and Electronic Media, menyatakan:

Media Literacy is the ability to access, analyze, evaluate and communicate messages in wide
variety of forms.

Selanjutnya, Allan Rubin menawarkan tiga definisi literasi media. Pertama, dari National
Leadership Conference on Media Literacy yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis,
mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan. Kedua, dari ahli media Paul Messaris, yaitu
pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Ketiga, dari peneliti
komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya,
ekonomi, politik, dan teknologi terhadap kreasi, produksi, dan transmisi pesan.
Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan
spesifik, kesadaran, dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya
adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Literasi media merupakan sebuah pemahaman akan
sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang
dihasilkan serta seleksi, interpretasi, dan dampak dari pesan-pesan tersebut (3). Pakar media Art
Silverbalt mengidentifikasikan lima elemen penting dalam literasi media yaitu :
a. Kesadaran akan pengaruh media massa pada individu dan masyarakat. Media telah membentuk
cara kita berpikir akan kita, satu sama lain dan dunia kita.
b. Pemahaman terhadap proses komunikasi massa. Literasi media memberikan pemahaman
terhadap komunikasi massa yang melibatkan produksi, transmisi, dan konteks interpretasinya.
Dengan memahami proses ini kita dapat menentukan ekspektasi kita pada media.
c. Pengembangan strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan media. Untuk menjadi
audiens media yang cakap, sebelumnya harus dikembangkan dulu strategi bagi analisis
sistematik akan isi media.
d. Pemahaman akan isi media sebagai teks yang memberikan wawasan bagi budaya kontemporer
dan diri kita. Kesadaran terhadap isi media mempunyai andil membentuk perilaku, nilai, sikap,
pola pikir, dan mitos yang kemudian membentuk budaya.
e. Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan mengapresiasi isi media. Presentasi media
yang baik dapat memberikan banyak manfaat bagi khalayak seperti rasa senang kepada media,
pemahaman dan penghargaan akan isi media.

Beberapa pemikiran memandang literasi media lebih sebagai sebuah pemikiran kritis
ketika berhadapan dengan media. Konsep ini kemudian mendorong munculnya suatu konsep
baru yang disebut dengan critical media literacy atau literasi media kritis. Aktivitas literasi
media kritis lebih kritis mengenai pemilihan media dan pembelajaran tentang proses teknis
menggunakan alat media (media tools) dan konstruksi isi media (media content), serta
mengkombinasikan kedua poin tersebut dalam kegiatan bermedia. Definisi literasi media
dikemukakan oleh Sheperd berikut ini menunjukkan literasi media merupakan cara berpikir kritis
ketika berhadapan dengan media :

An informed, critical understanding of the mass media. It involves examining the techniques,
technologies and institutions involved in media production; being able to critically analyze
media messages; and recognizing the role audiences play in making meaning from those
messages. (4)

Literasi media membutuhkan kemampuan yang spesifik yang kerap dinamakan denganmedia
literacy skills atau kemampuan literasi media. Center for Media Literacy (CML) mendefinisikan
literasi media sebagai suatu kerangka kerja untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan
menciptakan media (5). Kemampuan literasi media mencakup : Pertama, kemampuan
mengkritik media. Kedua, kemampuan memproduksi media. Ketiga, kemampuan mengajarkan
tentang media. Keempat, kemampuan mengeksplorasi sistem pembuatan pesan media. Kelima,
kemampuan mengeskplorasi berbagai posisi. Keenam, kemampuan berfikir kritis (6).


#


DAFTAR PUSTAKA
1. Adiputra, Wisnu Martha. 2008. Menyoal Komunikasi Memberdayakan Masyarakat.
Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM.
2. Tapio Varis, Aproaches to Media Literacy and e-Learning. 2000. Dikutip oleh W.S
Mulyana dalam : http://wsmulyana.wordpress.com/2008/12/22/perkembangan-media-
massa-dan-media-literasi/ Diakses Selasa, 12 April 2011. Pukul 11.20 WIB.
3. Baran & Davis. 2003. Mass Communication Theory 3
rd
Edition. Wadsworth, USA.
4. Sheperd, 2002 : 1 dalam Susanto, Ifan Endi. 2008. Program Literasi Media untuk Anak-
Anak ; Studi Kasus rogram Kritis! Media untuk Anak oleh Yayasan Pengembangan Media
Anak. Skripsi. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM.
Tidak dipublikasikan.
5. Center for Media Literacy. Http://www.medialit.org/
6. Center for Media Literacy. Http://www.medialit.org/


















Studi Literasi Media (Bagian III)
Review by : Nisya Rifiani

Literasi Media dan Pendidikan Media (Media Education)
Pengertian literasi media kerap dipertukarkan dengan media education atau pendidikan media.
Sesungguhnya, literasi media perlu dibedakan pengertiannya dari pendidikan media. Beberapa pendapat
membedakan dengan tegas pengertian literasi media dan pendidikan media. Seperti dikutip dari situs
Communicare dalam karya tulisnya yang berjudul Media Literacy : Mendidik Masyarakat Cerdas di Era
Informasi :
Literasi media bukanlah media pendidikan media, kendati yang terakhir ini kerap menjadi bagian dari
yang pertama. Pendidikan media memandang media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu
sebagai a site of pleasuredalam berbagai bentuk. Sedangkan literasi media yang memakai
pendekatan inocculationistberupaya memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk
media massa. Penggunaan media dan produk media sebagai bagian dari proses belajar mengajar,
misalnya mempelajari cara memproduksi film independen atau menggunakan surat kabar sebagai
sumber penelusuran data, tergolong dalam pendidikan media. Adapun literasi media bergerak lebih jauh
dari itu. Dengan pendekatan yang lebih kritis, literasi media tidak hanya mempelajari segi-segi produksi,
tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media. Literasi media
mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak. (1)
Pendidikan media merupakan salah satu proses agar individu dapat menjadi lebih literate.
Artinya, dapat memahami secara kritis sifat dasar, teknik, dan efek pesan media dan produksinya.
Pendidikan media mengakui dan membangun dimensi yang positif kreatif, dan menyenangkan dari
budaya populer ; yang meliputi produksi teks media dan pemikiran kritis
yakni decoding, analyzing,synthesizing, dan evaluating. Hal ini dapat membimbing kita dalam memahami
media landscapeyang semakin kompleks (2).
Pendidikan media bukanlah soal memiliki jawaban yang benar, namun pendidikan media adalah
tentang mengajukan pertanyaan yang benar. Isu tentang media adalah kompleks dan seringkali
kontradiktif serta kontroversial. Peran pendidik bukanlah memberikan pengetahuan, tetapi memfasilitasi
proses penyelidikan (inquiry) dan dialog. Peran guru dan fasilitator sebagai mitra belajar dalam
pembelajaran berbasis siswa (student centered learning) ini tidak hanya menjadi model untuk pendidikan
media, tetapi juga diterima dalam sistem pedagogi kritis yang baru. Hari ini, tantangan yang dihadapi
adalah menempatkan dan mengevaluasi informasi yang tepat bagi kebutuhan seseorang dan
menyatukannya menjadi sebuah pengetahuan yang bermanfaat (3).
Pendidikan literasi media sebagai pendidikan publik sudah menjadi agenda yang penting dengan
memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia
merupakan contoh negara yang telah melaksanakan pendidikan literasi media di sekolah. Namun
demikian, pengembangan literasi media lewat kurikulum pendidikan bukanlah sesuatu yang mudah baik
proses maupun prakteknya.
Brown dalam Potter menyatakan bahwa jika literasi media ingin bertahan dan sukses, literasi
media yang diterapkan dalam satuan kurikulum pendidikan harus dikembangkan melalui kolaborasi
antara guru, administrator, spesialis, dan orang tua secara bersama-sama dalam membangun literasi media
dengan proses edukasi yang sistematis (4). Pelatihan literasi media untuk guru menjadi hal yang penting
dan membutuhkan komitmen. Setidaknya usaha untuk memasukkan literasi media ke dalam sekolah
memerlukan dua tahun atau lebih pengembangan staf untuk membangun pemahaman yang jernih
terhadap konsep literasi media mengingat hal tersebut berkaitan dengan kegiatan di dalam kelas.
#


DAFTAR PUSTAKA


1. Communicare. 2007. Media Literacy : Mendidik Masyarakat Cerdas di Era Informasi. Dapat
diakses dalam : communicare-santi.com/2007/08/media-literacy-mendidikmasyarakat.html
2. What is Media Education dalam Media Awareness Network. 2008. http://www.media-
awareness.ca/english/teachers/media_literacy/what_is_media_literacy.cfm/
3. What is Media Education dalam Media Awareness Network. 2008. http://www.media-
awareness.ca/english/teachers/media_literacy/what_is_media_literacy.cfm/
4. Brown (1998) dalam Potter, James W. Op Cit. Hal. 321.

\












Studi Literasi Media (Bagian IV)
Review by : Nisya Rifiani


1. Literasi Media - James William Potter
James William Potter dalam bukunya berjudul Media Literacy menjelaskan tiga ide fundamental
dalam konsep literasi media (1). Pertama, literasi media merupakan sebuahcontinuum. Bukan sebuah
kategori -seperti sebuah kotak- dimana seseorang termasuk dalam kategori tersebut ataukah tidak. Pada
dasarnya setiap individu memiliki pemahaman mengenai media meski berbeda tingkatan antara satu
individu dengan individu lainnya. Kita tidak dapat menyatakan seseorang sama sekali
tidak literate ataupun menyatakan seseorang literate secara sempurna. Artinya, tidak ada seorang pun
yang tidak memahami media dan tidak ada seorang pun yang memahami media secara lengkap. Selalu
terdapat ruang untuk perbaikan, peningkatan dan pengembangan kemampuan literasi media. Kekuatan
perspektif seorang individu ditentukan oleh kualitas dari struktur pengetahuannya. Sedangkan kualitas
struktur pengetahuan seorang individu ditentukan oleh keahlian dan pengalaman yang dimiliki individu
tersebut ketika berinteraksi dengan media.
Kedua, literasi media bersifat multi-dimensional. Struktur pengetahuan seorang individu terdiri
dari informasi yang berasal dari empat domain yaitu domain kognitif, emosional, estetik, dan moral.
Domain kognitif berhubungan dengan fakta yang terdapat pada informasi. Domain emosional
mengandung informasi yang berkaitan dengan perasaan seperti cinta, kemarahan, kebencian, dan
sebagainya. Domain estetik mengandung informasi yang berkaitan dengan bagaimana produksi suatu
pesan. Domain moral mengandung informasi yang berkaitan dengan nilai, basis untuk mengambil
keputusan tentang benar dan salah.
Ketiga, tujuan literasi media adalah memberikan kontrol lebih dalam terhadap audiens dalam
melakukan interpretasi dan/atau penafsiran suatu pesan. Hal ini bukan berarti individu dapat mengubah isi
atau pesan dari media. Kontrol lebih mengarah pada makna kemampuan individu untuk menghadapai
terpaan media dan mengendalikan dampak dari terpaan media terhadap individu. Semakin tinggi kontrol
yang dimiliki individu semakin bagus apresiasinya.
Seseorang dengan tingkat literasi media yang rendah akan cenderung menerima begitu saja
informasi dari media tanpa melakukan refleksi lebih kritis. Ia tidak menyadari bahwa informasi yang
disampaikan mengandung banyak makna dan merupakan sebuah interpretasi. Semakin rendah tingkat
literasi media yang dimiliki seseorang semakin dangkal makna yang didapatnya. Sebaliknya, seseorang
dengan tingkat literasi media yang tinggi berarti semakin banyak pilihan yang dimilikinya untuk
menafsirkan pesan. Semakin tinggi tingkat literasi media yang dimiliki seseorang semakin banyak makna
yang dapat digalinya.
Selanjutnya Potter mendefinisikan media literacy sebagai kumpulan perspektif yang digunakan
individu secara aktif untuk mengungkap diri sendiri pada media untuk menafsirkan pemaknaan pesan-
pesan yang diterima. Perspektif yang dipakai oleh individu tersebut berasal dari struktur pengetahuan
(knowledge structure). Dalam membangun struktur pengetahuan kita membutuhkan keterampilan dan
informasi. Sruktur pengetahuan membentuk platform tempat kita memandang berbagai fenomena dalam
media. Aktif dalam menggunakan media bertujuan supaya kita sadar tentang pesan dan secara cepat
saling berinteraksi dengan media-media tersebut. Semakin baik struktur pengetahuan yang kita miliki,
semakin banyak fenomena media yang kita lihat. Perspektif ini menjadikan kita memandang media
dengan lebih lengkap dan mendalam sehingga media benar-benar berguna bagi kehidupan kita.
Terdapat dua proses dalam membangun literasi media. Pertama, membangun strukur pengetahuan
yang kuat sehingga seseorang menjadi lebih media literate. Kedua, bertindak dalam cara media literate
selama berhubungan dengan media. Tujuannya adalah memperoleh lebih banyak kontrol selama dipapar
oleh media dan mengkonstruksi makna dari pesan media tersebut. Tujuan pendidikan literasi media
adalah agar masyarakat dapat memahami media. Memberikan pengetahuan pada khalayak dan pengguna
media untuk bersikap kritis dalam menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa.
1. Struktur pengetahuan (Knowledge Structure)
Struktur pengetahuan merupakan fondasi utama dalam membangun literasi media, karenanya
struktur pengetahuan ini menjadi sangat penting dalam membangun perspektif literasi media bagi audiens
media massa. Potter menyatakan bahwa struktur pengetahuan merupakan seperangkat informasi yang
terorganisasi dalam memori seseorang. Struktur pengetahuan seseorang tidak terbangun sendirinya
melainkan memerlukan perhatian dan ketepatan. Struktur pengetahuan bukan hanya sekedar timbunan
fakta, melainkan dibentuk dengan menyusun kepingan informasi secara hati-hati sehingga menjadi sebuah
desain yang utuh. Potter mengidentifikasi struktur pengetahuan ini menjadi tiga alur, yakni struktur
pengetahuan isi media, industri media, dan efek media.
a. Struktur pengetahuan isi media (Media Content)
Struktur pengetahuan isi media adalah salah satu elemen literasi media yang penting karena pesan
media tidak selalu seperti apa yang terlihat. Potter menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya tengah
hidup dalam dua dunia yaitu dunia nyata (real world) dan dunia media (media world). Dunia nyata di
mana kita berada dalam interaksi langsung dengan orang lain. Sebagian besar dari kita merasa bahwa
dunia nyata ini terlalu terbatas. Kita tidak bisa mendapatkan berbagai pengalaman dan informasi hanya
dari dunia nyata.
Oleh karenanya kita memasuki dunia media untuk mendapatkan pengalaman dan informasi yang
tidak bisa didapatkan dari dunia nyata. Bila telah menemukan pengalaman dan informasi maka kita akan
kembali ke dunia nyata. Begitu seterusnya kita akan melintasi perbatasan antara dunia nyata dan dunia
media untuk memperluas perspektif yang kita miliki. Namun kini batasan antara dunia nyata dan dunia
media menjadi semakin sulit dilihat dengan jelas.
Media tidak lagi menunggu kita untuk berpetualang di dunianya tetapi media-lah yang kemudian
membawa pesan-pesannya kepada kita. Paparan media (exposure) kepada kita tidak pernah direncanakan,
maka kita tidak menyadari betapa besarnya paparan media kepada kita. Pesan media tidak selalu seperti
apa yang terlihat, maka untuk memahami pesan media dengan baik kita memerlukan struktur pengetahuan
isi media. Selanjutnya, struktur pengetahuan isi media dapat dikategorikan dalam tiga golongan yaitu
pengetahuan tentang berita, hiburan, dan iklan.


a. Pengetahuan tentang berita (News)
Potter menyatakan bahwa terdapat beberapa strategi dalam mengakses berita sehingga kita dapat
menjadi lebih media literate yakni:
1) Menganalisis perspektif berita
Sesungguhnya berita merupakan hasil rekonstruksi dari realitas sosial yang ditulis oleh jurnalis
berdasarkan perspektif yang mereka miliki. Pada saat kita melihat sebuah berita selain melihat berita yang
dilaporkan hendaknya kita melihat institusi yang melaporkan berita tersebut. Dengan pemikiran semacam
ini kita akan terhindar dari kepercayaan yang salah bahwa suatu institusi selalu membawa pesan yang
benar. Tidak ada berita yang lengkap, akurat, dan menggambarkan dunia secara seimbang.
2) Mencari konteks berita
Istilah berita dan informasi cenderung dipandang sebagai hal yang sama. Padahal penting untuk
membedakan antara keduanya. Berita (news) adalah sesuatu yang mengandung unsur baru (new).
Sementara itu, informasi memberikan kita sesuatu yang bernilai tentang dunia. Dalam level literasi media
yang tinggi, orang akan membedakan secara jelas antara berita dan informasi, serta menginginkan lebih
banyak informasi.
3) Mengembangkan sumber informasi alternatif
Pada saat menonton tayangan di televisi, seseorang juga harus mengakses sumber informasi dari
media lainnya seperti siaran di radio atau bacaan di media cetak. Sumber informasi alternatif ini akan
memperkaya informasi dari sebuah pesan media yang kerap kali tidak menyediakan konteks secara
lengkap. Namun, kita juga harus memperhatikan bahwa hal itu perlu dilakukan terhadap sudut pandang
yang berbeda-beda karena pemahaman konteks adalah sesuatu yang lebih daripada sekedar mengakses
satu perspektif tunggal.
4) Bersikap skeptis terhadap opini publik
Permasalahan dalam opini publik bukanlah tentang masalah akurasinya, dengan perkembangan
teknologi yang semakin canggih, akurasi dapat mencapai level yang tinggi. Namun seringkali orang tidak
memiliki opini terhadap sesuatu atau tidak yakin dengan opini mereka. Sementara itu, tingkat literasi
media yang tinggi memerlukan kesinambungan antara struktur pengetahuan dan kemampuan diantaranya
kemampuan untuk beropini.
5) Mengakses lebih banyak berita
Orang perlu untuk mengakses berita yang lebih banyak dari organisasi berita yang beragam.
Dengan cara itu, orang akan dapat menemukan sisi positif sekaligus sisi negatif dan menemukan liputan
yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan lebih banyak informasi, orang akan dapat mengambil
keputusan yang lebih tepat dalam menentukan fakta mana yang lebih akurat.
b. Pengetahuan tentang hiburan (Entertainment)
Pesan hiburan yang ditampilkan dalam media mempunyai elemen yang berbeda dengan pesan yang
ada dalam dunia nyata. Pesan hiburan yang ditampilkan dalam media dibuat sangatreal seolah-olah
seperti dalam dunia nyata. Sesungguhnya dalam pesan hiburan terdapat elemen yang berbeda dengan
dunia nyata, terutama yang berhubungan dengan penggambaran karakter, isi pesan yang kontroversial
(sex, kekerasan fisik maupun verbal), kesehatan, dan nilai. Hal ini perlu dipahami secara mendalam sebab
dengan memahaminya kita dapat mencegah distorsi dunia media dalam mempengaruhi ekspetasi kita
terhadap dunia nyata.
c. Pengetahuan tentang iklan (Advertising)
Pada umumnya ketika kita berhadapan dengan pesan berita dan pesan hiburan, kita lebih aktif
dalam menentukan paparan (exposure) dan memproses informasi. Namun pada saat kita berhadapan
dengan pesan iklan kita sering kali tidak terlalu menyadari dengan efek keotomatisan pesan iklan. Artinya
kita terlalu menyadari seberapa besar paparan iklan yang terjadi. Terdapat tiga hal yang perlu
diperhatikan ketika berhadapan dengan iklan.
Pertama, hal yang sebenarnya dijual oleh iklan. Iklan dirancang untuk menghadirkan klaim produk
tertentu. Klaim ini dihadirkan sebagai alasan agar kita membeli produk tertentu, yaitu produk tersebut
akan memberikan sesuatu yang bernilai kepada kita. Nilai tersebut dapat bersifat fisik, fungsional, atau
karakteristik. Nilai fisik terfokus kepada produk itu sendiri dan kandungan yang dimiliki. Nilai fungsional
terfokus kepada bagaimana produk digunakan. Nilai karakteristik memfokuskan perhatian kepada
konsekuensi psikologis setelah mengkonsumsi produk.
Kedua, efek yang diharapkan oleh sebuah iklan. Pada awalnya iklan dirancang untuk meyakinkan
seseorang agar membeli produk yang diinginkan. Kini, iklan lebih ditujukan untuk menciptakan
kesadaran (awareness) masyarakat akan adanya produk tersebut. Iklan dirancang untuk menciptakan
emosi dalam diri kita dan menghubungkan emosi tersebut dengan produk yang diiklankan. Tujuan
pemasangan iklan yang paling lazim adalah penguatan kembali (reinforcement) yang ditujukan kepada
mereka yang memang sudah memakai produk yang diiklankan. Dengan demikian, iklan digunakan untuk
mengingatkan konsumen bahwa produk tersebut masih ada dan memiliki kualitas yang baik. Sementara
beberapa iklan dirancang untuk membuat konsumen kebal terhadap klaim yang dikemukakan oleh
produk pesaing.
Ketiga, kebutuhan terhadap iklan. Seperti dikatakan oleh Potter, semakin kita sadar dengan
kebutuhan kita, maka semakin kita dapat menggunakan iklan untuk mengontrol hidup kita. Namun jika
kita tidak memiliki kesadaran terhadap kebutuhan kita, maka derasnya iklan akan menciptakan dan
membentuk kebutuhan kita, seringkali tanpa kita ketahui.
#

DAFTAR PUSTAKA
1. Potter, James W. Ibid. Hal. 23.
Studi Literasi Media (Bagian V)
Review by : Nisya Rifiani


a. Struktur pengetahuan industri media (Media Industries)
Potter menyatakan bahwa dalam berhadapan dengan industri media, kita dapat
menggunakan default strategy ataupun media literacy strategy. Default strategy memiliki tujuan untuk
membangun kepuasan dengan level interupsi minimal. Dalam level ini berarti seseorang mengakses
media dalam konteks pola kebiasaan (habitual pattern) yang berkembang pada masa lalu. Ketika kita
mencoba sesuatu yang baru dan merasakan kepuasan, maka kita melanjutkannya tanpa berpikir terlalu
banyak. Kita jarang untuk mencoba mengakses tipe pesan yang lain, entah itu karena kita tidak terlalu
yakin bahwa jenis pesan yang lain akan memberi kepuasan juga ataupun karena kita memandang bahwa
akses terhadap jenis pesan lain tersebut memerlukan usaha yang lebih besar dibanding nilainya.
Sedangkan media literacy strategy memiliki tujuan untuk memahami dunia ekonomi dalam industri
media. Hal ini berarti mereka memiliki ekspektasi yang lebih tinggi terhadap hasil yang didapat dibanding
sumber daya yang dikeluarkan. Orang-orang semacam itu menginginkan lebih dari kepuasan minimal dari
mengakses media. Mereka berpikir matang tentang sumber daya yang dimiliki dan menginginkan
negosiasi untuk mendapatkan hasil yang lebih bernilai.
b. Struktur pengetahuan efek media (Media Effect)
Pengetahuan ini berkaitan dengan empat aspek perspektif dimensional. Pertama, Timing of
effect berhubungan dengan efek yang terjadi ketika kita berinteraksi dengan media. Efek media dapat
bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Efek jangka pendek merupakan efek yang terjadi selama
paparan media. Efek tersebut hanya berlangsung dalam periode yang singkat. Efek jangka panjang hanya
terlihat setelah terjadi banyak paparan. Tidak ada paparan tunggal atau pesan tunggal yang dapat
menyebabkan efek tersebut. Efek jangka pendek biasanya lebih mudah dilihat daripada efek jangka
panjang. Efek jangka pendek umumnya memperlihatkan diri dalam suatu perubahan. Kita dapat dengan
mudah melihat perubahan dalam perilaku atau emosi kita. Sementara itu, perubahan yang disebabkan efek
jangka panjang bersifat gradual dan lebih sulit untuk dikenali. Efek jangka pendek terjadi karena
disebabkan paparan jenis pesan tertentu, sehingga mudah untuk menghubungkan pesan media dengan
efek tertentu yang dihasilkan.
Kedua, Type of effect, terdapat lima tipe efek media yaitu efek kognitif (cognitive-type effect)
bergerak pada tataran perubahan kognisi - media dapat mempengaruhi apa yang kita ketahui dengan
menanamkan ide dan informasi ke dalam pikiran kita. Hal ini merupakan efek yang paling sering terjadi,
karena terjadi sepanjang waktu dan kita pun secara konstan menambahkan informasi setiap kali
mengakses media. Pembelajaran kognitif ini tidak hanya terbatas kepada informasi faktual, tetapi juga
informasi sosial. Efek sikap (attitudinaltype effect) bergerak pada tataran perubahan sikap - media dapat
menciptakan dan membentuk opini, kepercayaan, dan nilai yang kita miliki. Efek ini dapat berlangsung
dalam jangka waktu pendek, ketika kita memberikan sikap positif terhadap pesan media tersebut. Namun
juga dapat bersifat jangka, panjang ketika kita terlalu banyak terpapar efek media (cultivation).
Efek emosi (emosional-type effect), bergerak pada tataran reaksi emosi - media dapat membuat kita
merasakan sesuatu misalnya memicu emosi marah, sedih, bosan, dan lain-lain. Reaksi emosi ini berkaitan
dengan perubahan psikologis. Selama mengakses media kita berpeluang mengalami perubahan psikologis
dan kadang efek emosi jangka panjang. Efek psikologis (psychological-type effect) - media dapat
mempengaruhi sistem otomatis dalam tubuh (automatic bodily system) yang terjadi di luar kesadaran kita.
Efek perilaku (behavioraltype effect) - media dapat memicu terjadinya tindakan. Misalnya setelah
melihat iklan sebuah produk, kita segera bergegas ke toko untuk membelinya. Efek perilaku tersebut juga
dapat bersifat jangka panjang.
Ketiga, Valence of effect, menunjukkan arah efek media dapat menuju ke arah yang positif maupun
negatif. Arah positif adalah ketika efek media membantu seseorang mencapai tujuan personal. Ia
menggunakan media secara strategis untuk mencapai tujuan tersebut. Sementara itu, efek negatif terjadi
ketika media menggunakan kita sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka, jika tujuan mereka
bertentangan dengan tujuan kita.
Keempat, Intentionality of effect, ketika berinteraksi dengan media sesungguhnya kita pun
mengharapkan efek media yang sesuai dengan harapan kita. Secara sadar kita mencari pesan-pesan
tertentu dari media yang dapat memberikan efek tersebut. Misalnya menonton tayangan televisi untuk
mendapatkan hiburan. Namun ada pula efek yang tidak diharapkan misalnya ketika menonton tayangan
komedi dengan tujuan memperoleh hiburan, kita juga harus berhadapan dengan iklan dan jingle yang
menginterupsi.












Tabel 1
Struktur Kemampuan dan Pengetahuan dalam Literasi Media
(James William Potter/2001)

Domain Kemampuan (Skills) Pengetahuan (Knowledge)
1. Kognitif
- Mampu mengidentifikasi kunci informasi.
- Mampu membandingkan kunci informasi
yang satu dengan yang lainnya.
- Mampu mengevaluasi kejujuran/kebenaran
informasi.
- Mampu mengevaluasi keseimbangan.
- Mempunyai pengetahuan atas topik tertentu
dari berbagai sumber (media dan dunia nyata).
2. Emosional
- Mampu menganalisis perasaan orang yang
diberitakan.
- Mampu memposisikan diri di posisi orang
lain.
- Mampu berempati.
- Mempunyai pengetahuan yang diperoleh dari
pengalaman personal yang sesuai atau senada
dengan situasi yang diberitakan.
3. Estetik
- Mampu menganalisis seni dan elemen
artistik dalam cerita.
- Mampu membandingkan dan membedakan
nilai artistik yang digunakan untuk satu cerita
dengan cerita yang lain.
- Mempunyai pengetahuan akan tulisan, grafis,
fotografi, hingga produksi berita TV.
- Mempunyai pengetahuan akan kualitas cerita,
mana cerita yang disampaikan dengan baik dan
mana yang tidak, termasuk di dalamnya
elemen-elemen yang mempengaruhi kualitas
tersebut.
4. Moral
- Mampu menganalisis elemen-elemen moral
yang ada di cerita.
- Mampu membandingkan cerita satu dengan
lainnya.
- Mampu mengevaluasi tanggung jawab etis
dari para jurnalis dalam setiap cerita.
- Mempunyai pengetahuan tentang kritik atas
berita.
- Mempunyai pengetahuan akan arti bias,
objektif, keberimbangan, kejujuran/kebenaran.
- Mempunyai pengetahuan akan cerita lain
yang temanya sama dan bagaimana jurnalis
dalam berita tersebut mempraktekkan
keberimbangan dan kebenaran.
- Mengembangkan kode moral jurnalisme.
Literasi Media sebagai Pemikiran Kritis
Beberapa pemikiran memandang literasi media lebih sebagai sebuah pemikiran kritis ketika
berhadapan dengan media. Konsep ini kemudian mendorong munculnya suatu konsep baru yang disebut
dengan critical media literacy atau literasi media kritis. Aktivitas literasi media kritis lebih kritis
mengenai pemilihan media dan pembelajaran tentang proses teknis menggunakan alat media (media
tools) dan konstruksi isi media (media content), serta mengkombinasikan kedua poin tersebut dalam
kegiatan bermedia. Definisi literasi media dikemukakan oleh Sheperd berikut ini menunjukkan literasi
media merupakan cara berpikir kritis ketika berhadapan dengan media :

An informed, critical understanding of the mass media. It involves examining the techniques,
technologies and institutions involved in media production; being able to critically analyze media
messages; and recognizing the role audiences play in making meaning from those messages(1).
#


DAFTAR PUSTAKA
1. Sheperd, 2002 : 1 dalam Susanto, 2008. Loc cit.

Anda mungkin juga menyukai