Anda di halaman 1dari 10

PENYIMPANGAN DALAM BAHASA JURNALISTIK

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Jurnalistik

Dosen Pengampu: Saiful Bahri, S.Psi., M.I.Kom.

Kelompok 2:

Dwi Ulina Sari KPI 4-C 11180510000001

Dzaki Fadillah KPI 4-C 11180510000033

Hadid Aulia KPI 4-C 11180510000036

Sadaad Jamil KPI 4-C 11180510000292

Maulana Ali Firdaus KPI 4-C 11180510000318

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441/2020
1

PEMBAHASAN

A. Problem Media Massa Masa Kini


Dalam pengetahuan tentang jurnalisme, aspek kebahasaan begitu penting. Bahasa
merupakan sebuah sistem lambang bunyi arbitrer—sewenang-wenang yang digunakan
anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (KBBI
V). Praktik jurnalisme juga memiliki ciri khusus guna menunjukkan identitasnya, salah
satunya dengan bahasa, yang dalam padanan ilmiahnya disebut Bahasa Jurnalistik. Dengan
demikian, bahasa menjadi kebutuhan vital bagi para wartawan di mana pun. Singkatnya,
Bahasa Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita.
Saat ini, perkembangan teknologi digital begitu masif, diiringi dengan tuntutan transisi
media massa dari konvesional menuju digital. Dalam praktiknya, saat ini telah terjadi era di
mana simultanitas distribusi informasi begitu menjadi prasyarat eksistensi media masa
posmodernis. Selain dituntut agar lebih tangkas menyampaikan informasi ke publik, media
massa masa kini juga dipaksa hidup dengan tuntutan pariwara, sebagai insentif yang
membantu keberlangsungan operasional perusahaan. Sehingga terjadi sebuah konstruksi
kritisisme di lingkaran analis media, dengan terkaan bahwa media massa tak seharusnya
lebih menjamak hasrat komersil.
Di tengah tuntutan tersebut, terkadang media abai terhadap hal-hal yang semestinya
menjadi identitas wajib bagi dirinya. Persoalan terkait independensi tak hanya sendiri
tentangnya, persoalan kebahasaan pun biasanya kita jumpai. Namun sebelum beralih pada
pembahasan soal demikian, terlebih dahulu kita perlu mengetahui karakteristik dari bahasa
jurnalistik itu sendiri. Di antaranya adalah bahwa Bahasa Jurnalistik itu harus sederhana,
singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal,
menghindari kata tutur, menghindari istilah asing, memilih diksi yang tepat, menggunakan
kalimat aktif, menghindari istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika. 1

B. Bentuk Penyimpangan Bahasa Jurnalistik


Begitu kita beralih pada bahasan soal penyimpangan/penyelewengan Bahasa Jurnalistik,
karakteristik yang baru saja disebutkan akan amat membantu dalam mengetahui setelahnya,
apa yang menjadi penyimpangan dari aspek tersebut.

1
AS haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), hlm. 14-21.
2

1. Masalah Ejaan
Menurut “Pedoman Pemakaian Bahasa dalam Pers” yang merupakan
kesepakatan para peserta Karya Latih Wartawan (KLW) ke-17 PWI Jaya yang dipimpin
oleh H. Rosihan Anwar pada bulan November 1975 di Jakarta, bahwa bahasa pers
pertama-tama harus menaati aturan ejaan yang berlaku. Saat ini aturan ejaan bahasa
Indonesia adalah yang tertuang dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
Yang Disempurnakan (disingkat PUEBI EYD). Ejaan ini berlaku sejak 17 Agustus 1972,
yang berlaku juga di Kerajaan Malaysia dengan nama Ejaan Baharu Bahasa Malaysia.2
Masalah ini ini berkaitan dengan Bahasa Jurnalistik, yaitu tentang kata-kata penat,
kerancuan, upaya hemat kata melalui ejaan, dan masalah bahasa jurnalistik untuk radio
dan televisi. Kita semua sudah mengetahui bahwa ragam bahasa jurnalistik itu memiliki
ciri hemat kata dalam artian menggunakan kata sedikit mungkin tanpa mengorbankan
makna, dalam artian memberikan pengertian atau konsep yang bisa diterima sesuai apa
yang dimaksud dan menarik dalam artian bisa disajikan dengan bahasa yang bisa
menggugah orang untuk melihat dan membacanya.3 Berikut ini adalah kesalahan terkait
pengejaan dalam Bahasa Jurnalistik:
a) Berlebihan, Tumpang Tindih
Contoh:
- Para hadirin, para bapak-bapak, para siswa. (Hadirin sudah jamak, jadi tidak perlu
ada kata para)
- Saling pukul-memukul satu sama lain (tidak perlu ada kata saling, karena pukul -
memukul sudah bermakna saling karena dilakukan oleh keduanya)
- Agar supaya bermanfaat (cukup menggunakan kata agar/supaya, karena sinonim)
Disebabkan karena menyepelekan (sebab bersinonim dengan sebab)4
b) Kesalahan Pembentukan Kata
- Mengenyampingkan (benar) // Mengesampingkan (salah)
- Menyetop (benar) // Menstop (salah)
- Ilmuwan (benar) // Ilmuan (salah)

2
Abdul Chaer, Bahasa Jurnalistik (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hlm. 97-122.
3
Abdul Chaer, Bahasa Jurnalistik (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hlm. 123.
4
Suhaimi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009) hlm. 144.
3

c) Merancukan Dua Struktur Yang Benar Menjadi Struktur Yang Salah


- Diperlebarkan (salah) // diperlebar, dilebarkan (benar)
- Memperkuatkan (salah) // memperkuat, menguatkan (benar)
- Sangat baik sekali (salah) // sangat baik, baik sekali (benar)
- Saling pukul-memukul (salah) // saling memukul, pukul-memukul (benar)5
2. Ketidakefektifan Kalimat
Efektik atau singkat berarti tidak bertele-tele dan langsung kepada pokok
masalah, tidak berputar-putar, dan tidak memboroskan waktu pembaca yang berharga.
Ruangan atau kapling waktu yang tersedia pada kolom-kolom laman surat kabar, tabloid,
atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan bearaneka ragam. 6
Dalam linguistik, gejala pemakaian kata-kata yang tidak perlu, atau yang bersifat
mubazir, atau lebih dari yang di perlukan, lazim disebut dengan gejala pleonasme.
Upayakan selalu untuk menghindari sosok kemubaziran semacam itu, karena hal itu
sangat bertentangan dengan prinsip word economy atau ekonomi kata dalam jurnalistik.
Berikut adalah contoh menyusun kalimat jurnalistik, dan dari semua contoh ini
mengandung kemubaziran.7
Beberapa contoh ketidakefektifan/kemubaziran kalimat yang acapkali terjadi
dalam penulisan berita adalah sebagai berikut:
a) Kalimat Padu dan Tidak Padu
Contoh:
- Presiden meminta tidak ragu-ragu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa
perkara-perkara korupsi yang menjadi perhatian masyarakat mengambil alih,
meskipun pihak kepolisian dan kejaksaan sedang ditangani (Salah).
- Presiden meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ragu mengambil
alih perkara-perkara korupsi yang menjadi perhatian masyarakat, meskipun kasus
tersebut sedang ditangani pihak kepolisian atau kejaksaan (benar).8

5
Suhaimi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009) hlm. 144.
6
AS haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), hlm. 14.
7
Kunjana Rahardi, Bahasa Jurnalistik (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm 99
8
AS haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006)hlm.59.
4

b) Keparalelan atau Kesejajaran


Contoh:
- Walikota meminta kepada camat untuk menindak stafnya yang tidak disiplin,
lurah yang lalaikan tugas ditegurdan memberi sanksi yang tegas harus berani
siapa pun bawahan yang terbukti tidak memberikan kinerja yang baik kepada
masyarakat dan pelayanan memuaskan (salah).
- Walikota meminta para camat untuk menindak stafnya yang tidak disiplin,
menegur lurah yang melalaikan tugas, dan harus berani memberikan sanksi tegas
kepada siapa pun aparat bawahannya yang terbukti tidak mampu menunjukan
kinerja yang baik dalam memberikan pelayanan memuaskan kepada masyarakat
(benar).9
c) Pengulangan Subjek Kalimat
Contoh:
- Sarif Johan, pria berusia 83 tahum, melompat dari lantai tiga Masjid Istiqlal
Jakarta, Rabu (8/3) dan Kakek tua itu tewas ditempat. Kakek tua itu diduga
mengakhiri hidupnya sendiri karena kakek tua itu merasa ditelantarkan oleh anak-
anaknya (diolah dari Koran Tempo Jakarta, 9 Maret 2006)
Menjadi:
- Sarif Johan, pria berusia 83 tahun, melompat dari lantai tiga Masjid Istiqlal
Jakarta, Rabu (8/3), dan tewas ditempat. Diduga dia mengakhiri hidupnya karena
merasa ditelantarkan anak-anaknya (diolah dari Koran Tempo Jakarta, 9 Maret
2006)
d) Pemakaian Kata Hari dan Bahwa Yang Tidak Perlu
Contoh:
- Presiden Perancis hari senin menegaskan bahwa tak ada yang salah dengan
kebijakannya bahwa “tak ada yang melakukan langkah-langkah proteksi. Perancis
adalah negara yang benar-benar terbuka da patut pada peraturan hukum Eropa.”
kata juru bicara Jacques Chiraq. Jerome Bonnafont.
e) Pemakaian Kata Adalah Yang Tidak Perlu
Contoh:

9
Suhaimi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009) hlm. 60.
5

- Kerajaan Thailand telah memberi syarat yang diterjemahkan sebagai sebuah


peringatan keras. Intinya adalah kerajaan tidak menginginkan bentrok kekerasan
tahun 1992 di negeri itu terulang kembali.
Bandingkan:
- Kerajaan Thailand telah memberikan isyarat peringatan keras yang intinya tidak
menginginkan bentrok kekerasan tahun 1992 di negeri itu terulang kembali.

f) Pemakaian Kata Mubazir (Adalah, Untuk, Sebanyak)


Contoh:
- Kemenangan Persib 1-0 atas Semen Padang, disambut H. Dada Rosada dengan
sukacita. Ketua umum Persib yang juga adalah Walkota Bandung ini meyebut
mencuri poin penuh dari Semen Padang. Terasa sangat istimewa yaitu, adalah
karena bertepatan dengan hari ulang tahun ke-73 Persib.
- Mahkamah Konstitusi diminta untuk berhati-hati dan prefesional dalam
menangani permohonan uji materi Undang-Undang Komisi Yudisial yang
diajukan 40 hakim agung beberapa waktu lalu. Kesalahan untuk memutuskan
akan menjadi problem konstitusional yang lebih besar. Sebanyak tujuh orang
tewas, enam diantaranya petugas keamanan, akibat ledakan bom jalan
berkekuatan besar, Minggu (19/3).10
3. Penggunaan Kata Tutur
Kata tutur ialah kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari secara
informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi,
terminal, buss kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau
istilah apa saja sejauh pihak yang diajak berbicara memahami maksud dan maknanya.
Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak

10
Suhaimi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009) hlm. 76.
6

memerhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contohnya sebagai berikut: bilang,
dibilangin, bikin, dikasih tau, kayaknya, mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.11
4. Penggunaan Kata dan Istilah Asing
Berita ditulis untuk dibaca dan didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti
dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak
diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif, juga sangat
membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonimdan heterogen. Tidak
saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar
belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam
perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis,
kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menebar banyak duri di
tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain. 12 Contoh:
Sebanyak 20 Pasien Suspect Corona Dirawat di RSCM (penggunaan kata suspect
harusnya diubah menjadi terduga atau tercuriga).
5. Menggunakan Istilah Ilmiah
Karena ditunjukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah
dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala
berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah menghindari penggunaan kata atau istilah
teknis/ilimiah. Sebagai contoh, berbagai istilah ilmiah dalam dunia mikro biologi, tidak
akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat
dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya bisa dimengerti oleh khalayak umum,
maka penulis berita diharuskan mengganti istilah tersebut dengan penggalan diksi yang
lebih mudah dipahami.
6. Tidak Tunduk Terhadap Kaidah Etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik. Fungsi ini bukan saja
harus tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-artikelnya, melainkan
juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja
mencerminkan pikiran seseorang tetapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu.

11
AS haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), hlm. 18-19.
12
AS haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), hlm. 19.
7

Sebagai guru bangsa dengan fungsinya sebagai pendidik, pers wajib menggunakan serta
tunduk pada kaidah dan etika bahasa baku.
Bahasa pers harus baku, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan,
vulgar, sumpah serapah, hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya
agama. Pers juga tidak boleh menggunakan kata-kata porno dan berselera rendah lainnya
dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.
Pers-pers berkualitas senantiasa menjaga reputasi dan wibawa martabatnya di mata
masyarakat., antara lain dengan senantiasa menghindari penggunaan kata-kata atau istilah
yang dapat diasumsikan tidak sopan, vulgar, kata-kata yang menjurus pornografi,
biasanya lebih banyak ditemukan pada pers populer lapis bawah dan pers kuning
(Sumadiria: 2005:53-61).13
Contoh:
- Bikin Melongo! Tambah Waktu Berlibur 3 Hari, Segini Kocek yang Dikeluarkan
Raja Salman (salah satu judul berita di media Tribunnews.com)
- Ya Ampun, Gadis Belia Dirampok, Diperkosa, Lalu Digorok (salah satu judul
berita di media Tribunnews.com)
- Ya Ampun, Anak SD Cacat Mental Dicabuli Hingga Hamil (salah satu judul
berita di media Tribunnews.com)

13
hlm. 21.
8

KESIMPULAN

Bahasa merupakan sebuah sistem lambang bunyi arbitrer—sewenang-wenang yang


digunakan anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi
diri (KBBI V). Bahasa Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam
menulis berita. Saat ini, kita telah memasuki era di mana kecepatan akses informasi begitu
dituntut.
Di saat yang bersamaan pula, media harus menyesuaikan dirinya dengan zaman.
Tuntutan-tuntutan itu tidak hanya terbatas dari segi teknis, melainkan juga dari segi komersil.
Risiko yang timbul dari pada hal tersebut adalah kredibilitas dan independensi media itu jadi
dipertanyakan. Bagi media, menebar berita sama dengan memupuk cuan, maka kerap kali
sensasi menjadi standar suatu pemberitaan, agar lebih menarik dan mengundang banyak
perhatian khalayak.
Akibat dari hal tersebut, tak jaran pula proses pemberitaan suatu media melanggar
kebiasaan dan norma yang ada. Di mana sensasi lebih dikedepankan ketimbang substansi isi
berita untuk mengedukasi pembacanya. Dijelaskan bahwa beberapa penyimpangan dalam
pemberitaan itu terjadi dari segi kebahasaan, seperti kesalahan morfologis—kesalahan akibat
penggunaan kalimat yang rancu, kesalahan sintaksis—yaitu dari segi tata bahasa, dan
kesalahan-kesalahan lainnya yang seharusnya tidak bisa ditolerir bagi pelaku media.
9

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2010. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahardi, Kunjana. 2011. Bahasa Jurnalistik . Bogor: Ghalia Indonesia.

Suhaimi dan Ruli Nasrullah. 2009. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta.

Sumadiria, AS Haris. 2006. Bahasa Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Anda mungkin juga menyukai