Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Tanpa
adanya bahasa, maka manusia dipastikan tidak akan bisa berinteraksi atau berkomunikasi
dengan baik. Dengan kata lain, bahwa bahasa itu adalah sesuatu yang telah menyatu dengan
kehidupan manusia. Sebagai salah satu yang menyatu dengan kehidupan manusia, bahasa
selalu muncul dalam segala aspek dan kegiatan manusia di manapun berada.
Senyapan dan Kilir Lidah Yang dipakai untuk menyimpulkan proses mental yang terjadi
pada waktu kita berujar ada dua macam yakni senyapan (Pause), dan Kekeliruan (erors).
Kekeliruan ini sendiri terbagi menjadi dua kelompok yakni, kekeliruan kilir lidah dan
kekeliruan karena pembicara menderita afasia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang termasuk dalam Senyapan dan Kilir Lidah ?
2. Apa itu Lupa-Lupa Ingat dan Latah ?
3. Apa itu Proses Pengujaran ?
4. Apa itu Artikulasi Kalimat ?
5. Bagaiman Kekeliruan itu bisa Terjadi ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk dalam Senyapan dan Kilir Lidah
2. Untuk mengetahui apa itu Lupa-Lupa Ingat dan Latah
3. Untuk mengetahui apa itu Proses Pengujaran
4. Untuk mengetahui apa itu Artikulasi Kalimat
5. Untuk mengetahui bagaiman Kekeliruan itu bisa Terjadi

Page 1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Senyapan dan Kilir Lidah


Yang dipakai untuk menyimpulkan proses mental yang terjadi pada waktu kita berujar
ada dua macam yakni senyapan (Pause), dan Kekeliruan (erors). Kekeliruan ini sendiri
terbagi menjadi dua kelompok yakni, kekeliruan kilir lidah dan kekeliruan karena pembicara
menderita afasia.
A. Senyapan (Pauses)
Senyapan Senyapan beasal dari kata senyap yang artinya berhenti sejenak (pause) pada
saat sedang berbicara atau mengucapkan sebuah kalimat. Tidak semua orang dapat berbicara
dengan baik dan lancar. Orang berbicara pada umumnya sambil berpikir sehingga semakin
sulit topik yang dibicarakan maka, kemungkinan besar jumlah senyapan yang terjadi.
Senyapan yang lebih umum terjadi adalah pada waktu orang ragu-ragu (hesitation). Keraguan
tersebut bisa terjadi karena si penutur lupa atau sedang mencari kata-kata yang paling tepat
yang ingin ia ujarkan. Menurut Dardjowidjojo (2008:144) ada berbagai alasan mengapa
orang senyap. Pertama, orang senyap karena dia telah terlanjur mulai dengan ujarannya, tapi
sebenarnya dia belum siap untuk mengujarkan seluruh kalimat itu. Oleh karena itu, dia
senyap sejenak untuk mencari kata atau kata-kata untuk melanjutkan ujarannya. Kedua,
kesenyapan terjadi karena dia lupa akan kata-kata yang dia perlukan. Kemudian alasan
ketiga, bahwa dia harus sangat berhati-hati di dalam memilih kata. Berdasarkan ketidaksiapan
dan terlalu berhati-hati dalam berujar kesenyapan ada dua macam yaitu: senyapan diam dan
senyapan terisi.
Pengujaran yang ideal terwujud dalam suatu bentuk ujaran yang lancar, sejak ujaran
itu dimulai sampai ujaran itu selesai. Kata-katanya terangkai dengan rapi, diujarkan dalam
suatu urusan yang tidak terputus-terputus, dan kalaupun ada senyapan itu terjadi pada
konstituen-konstituen yang memang memungkinkan untuk disenyapi.
Intonasinya pun merupakan suatu kesatuan dari awal sampai akhir. Akan tetapi,
ujuran ideal seperti ini tidak selamanya dapat kita buat. Tidak semua orang dapat berbicara
selancar ini untuk semua topik pembicaraan. Pada umumnya orang berbicara sambil berpikir
sehingga makin sulit topik yang diibicarakan makin besar jumlah senyapan yang muncul.
Pada umumnya orang senyap sebentar, entah untuk bernafas entah untuk keperluan
yang lain. Senyapan yang lebih umum terjadi adalah pada waktu orang ragu-ragu (hesitation).

Page 2
Kecuali ujaran tersebut telah merupakan klise hafalan, atau ujaran itu telah dipersiapkan
denmgan baik sebelumnya. Akan tetapi dalam kebanyakan hal kita sering senyap waktu
berbicara. Ada berbagai alasan mengapa orang senyap yaitu:
1. Orang senyap karena ia telah terlanjur mulai ujarannya, tetapi sebenarnya dia belum
siap untuk seluruh kalimat itu.
2. Kesenyapan terjadi karena dia lupa akan kata-kata yang dia perlukan.
3. Bahwa dia harus hati-hati dalam memilih kata agar dampaknya pada pendengar atau
publik, misal tidak menghebohkan.
Ketidak-siapan maupun kberhati-hatian dalam berujar seperti ini terwujud dalam dua
macam senyapan yaitu, senyapan diam dan senyapan terisi.

B. Letak Senyapan
Senyapan keraguan tidak terdapat di sembarang tempat. Akan, tetapi di mana persisnya
belum ada kesepakatan yang mantap di antara para ahli. Namun dengan demikian, tampaknya
ada tempat-tempat di mana para ahli sepakat ( Clark & Clark 1977: 267) yakni:
1. Jeda gramatikal
2. Batas konstituen yang lain
3. Sebelum kata utama pertama dalam konstituen.

C. Kekeliruan
Kekeliruan dalam berbicara dapat disebabkan oleh kilir lidah atau penyakit afasia.
Kekeliruan itu terjadi karena, kita tidak memproduksi kata yang sebenarnya kita kehendaki.
Kita memproduksi kata lain, kita memindahkan bunyi-bunyi, atau kita mengurutkan kata
secara keliru. Ini berbeda dengan kekeliruan afasik. Kekeliruan afasik muncul karena otak
kita terganggu sehingga kita menjadi tidak mampu untuk mengujarkan kata yang kita
inginkan.

D. Kilir Lidah
Kilir lidah adalah suatu fenomena dalam produksi ujaran dimana pembicara “terkilir”
lidahnya sehingga kata-kata yang di produksi bukanlah kata yang dia maksudkan. Ada dua
macam kilir lidah yaitu, Kilir lidah yang disebabkan oleh seleksi yang keliru dan kilir lidah
yang disebabkan oleh asembling. Kilir lidah yang disebabkan oleh oleh seleksi yang keliru
terbagi menjadi tiga yaitu:
a. Seleksi semantik yang keliru

Page 3
b. Malaproprisme
c. Campur kata (blends)

E. Afasia
Afasia adalah suatu penyakit wicara di mana orang tidak dapat berbicara dengan baik
karena adanya penyakit di otak dia. Penyakit ini umumnya muncul karena orang tadi
mengalami stroke, yakni sebagian otaknya kurang oksigin sehingga bagian tadi cacat. Karena
masalah afasia erat sekali hubungannya dengan otak, maka bahasan mengenai afasia akan
diberikan pada bab selanjutnya.

F. Unit-unit pada Kilir Lidah


Dari bahasan sebelumnya tampak bahwa unit yang terkilir ada bermacam-macam,
dari penukaran tempat untuk kata sampai pada fitur distingtif suatu bunyi. Secara garis besar,
unit-unit itu adalah fitur distingtif, segment fonetik, suku kata, dan kata. Marilah kita lihat
unit ini satu persatu.

1. Kekeliruan Fitur Distingtif


Yaitu kilir lidah yang unitnya adalah fitur distingtif terjadi bila yang terkilir
bukannya suatu fonem, tetapi hanya fitur distingtif dari fonem itu saja.
2. Kekeliruan segmen fonetik
Kekeliruan yang lebih umum adalah kekeliruan yang jumlah fiturnya lebih dari
satu. Kekeliruan dimana bunyi yang saling mengganti ini berbedalebih dari satu fitur
distingtif dinamakan kekeliruan segmen fonetik.
3. Kekeliruan Suku kata
Tidak mustahil pula bahwa kekeliruan terjadi pada suku dalam hal ini hampir
selalu yang tertukar itu adalah konsonan pertama dari suatu suku dengan konsonan
pertama dari suku lain.
4. Kekeliruan kata
Kekeliruan ini terjadi apabila yang tertukar tempat adalah kata.

Page 4
2. Lupa-Lupa Ingat dan Latah
Ada suatu gejala lain dalam wicara yang berkaitan dengan ingatan kita. Kadang-
kadang manusia tidak ingat sepenuhnya akan suatu kata yang mungkin sudah lama tidak
dipakainya. Akan tetapi, dia tidak lupa benar dengan kata itu. gejala seperti ini dalam bahasa
inggris dinamakan gejala tip of the tongue. Dalam bahasa indonesia dibuku soenjono
dardjowojdojo “sosiolinguistik” dinamakan gejala “lupa-lupa ingat”.
Dari berbagai macam penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam gejala lupa-
lupa ingat tampaknya ada pola-pola tertentu yang diikuti orang yakni:
a. Jumlah suku kata selalu benar
b. Bunyi awal kata juga benar
c. Hasil akhir kekeliruan itu mirip dengan kata yang sebenarnya.

Gejala lain yang unik adalah gejala latah. Latah adalah suatu tindak kebahasaan
dimana seseorang, waktu terkejut atau dikejutkan, mengeluarkan kata-kata secara spontan
dan tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Latah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Konon latah hanya terdapat di asia tenggara
b. Pelakunya hampir selalu wanita
c. Kata-kata yang terkeluarkan umumnya berkaitan dengan seks atau kelamin pria
atau jantan
d. Kalau kejutannya berupa kata , maka si latah juga bisa hanya mengulang kata itu
saja.

3. Proses Pengujaran
Setelah proses konseptualisasi dilakukan untuk menentukan maksud yang akan
disampaikan, kemudian retrival lema telah diputuskan dan informasi gramatikalnya nyapun
telah selesai di buat. Maka, sampailah kita kepada artikulasinya yakni bagaimana
mewujudkan ujaran itu dalam bentuk bunyi yang akan dimengerti oleh interlokutor seperti
yang kita maksudkan.
Proses Pengujaran Berujar pada dasarnya merupakan salah satu proses kognitif
paling kompleks yang dilakukan oleh manusia. Dalam Bahasa Inggris, kecepatan ujaran yang
normal terdiri dari sekitar 150 kata per-menit. Yang berarti bahwa seorang penutur dapat
meretrif dua sampai tiga kata per detik dari sekitar 30.000 perbendaharaan kata harian yang
dimilikinya untuk berujar. Yang lebih menakjubkan lagi adalah bahwa seorang penutur

Page 5
mampu berujar secara berkelanjutan dengan tingkat keakuratan yang luar biasa, mengingat
besarnya jumlah rata-rata kosa kata yang dimilikinya (Field 2004: 283). Proses mental yang
rinci ini kadang terjadi dalam kendali bawah sadar kita, sehingga pada saat kita bertutur,
dalam komunikasi sehari-hari, seolah-olah tanpa harus berfikir. Namun pada dasarnya dibalik
kalimat-kalimat yang diujarkan oleh seorang penutur ada proses mental luarbiasa terjadi
sebelumnya. Pada bagian ini, kami mencoba untuk menggambarkan urutan hierarkis yang
terjadi dalam proses pengujaran kalimat, dari tahap konseptualisasi sampai pada tahap
perwujudan konsep dalam pelaksanaan ujaran (artikulasi kalimat).
Umumnya, para ahli sepakat bahwa proses produksi kalimat terdiri dari tiga tahap
umum yaitu tahap konseptualisasi – menentukan pesan apa yang akan disampaikan, formulasi
– menentukan bagaimana cara penyampaian pesan yang telah ditentukan kedalam bentuk-
bentuk linguistik, dan terakhir tahap artikulasi. Tahap pelaksanaan penyampaian pesan,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Levelt dalam Harley (2001: 374). Proses
konseptualisasi sampai formulasi terjadi secara berurutan di dalam mental kita lalu kemudian
hasil dari proses mental ini siap untuk deskripsikan menjadi ujaran dalam bentuk bunyi yang
dapat dimengerti oleh interlokutor (lawan bicara).
Tahap konseptualisasi, penutur membentuk konsep dan menentukan pesan apa yang
ingin disampaikan kemudian memilah informasi yang relevan dalam memorinya untuk
disiapkan menjadi susunan ujaran yang dimaksudkan. Pada tahap ini penutur juga
mempertimbangkan batasan situasional dimana ujaran yang terncanakan dapat diungkapkan
pada situasi yang sepatutnya (Griffin dan Ferreira 2006: 22).
Langkah selanjutnya yaitu tahap formulasi. Tahap ini terbagi menjadi beberapa sub
tahapan, pertama yaitu tahap pemilihan kata yang sesuai dengan pesan yang akan
disampaikan (lexicalization). Menentukan kata yang ingin digunakan dalam suatu ujaran
melibatkan pertimbangan kesesuaian kata dengan faktor makna semantik dan pragmatik.
Kata yang dianggap dapat mewakili pesan inilah yang disebut dengan lemma. Selanjutnya
proses perencanaan bunyi yang sesuai dengan kata yang telah dipilih. Pada proses ini terjadi
penyusunan bentuk-bentuk fonologis dari tiap kata yang telah terpilih dengan memilahnya
dalam bentuk bunyi yang bermakna. Selain itu tahap ini juga melibatkan perincian sintaksis.
Kata yang telah terpilih kemudian diletakkan secara hierarkis pada posisinya masing-masing
dalam bentuk kalimat sesuai dengan aturan sintaksis yang berlaku. Meskipun demikian
beberapa pendapat menyatakan bahwa perhatian pada bentuk sintaksis dari sebuah kalimat
yang akan diujarkan tidak selamanya kita butuhkan dalam usaha kita untuk menyampaikan
pesan yang telah direncanakan pada tahap konseptualisasi sebelumnya (Harley 2001: 374).

Page 6
Tahap yang terakhir adalah tahap artikulasi, yaitu proses pelafalan kata-kata yang
telah taerkonsep oleh perangkat motorik artikulasi. Pada tahap ini terjadi penerjemahan
informasi-informasi fonologis kedalam bentuk suara. Otot-otot artikulasi diperintahkan untuk
bergerak sesuai dengan spesifikasi suara yang diharapkan. Selain itu, suara yang terbentuk
selayaknya terwujud dalam urutan yang tepat. Sehingga gerakan alat artikulator serta urutan
bunyi yang tepat kemudian membentuk suara yang bermakna sesuai dengan yang
dimaksudkan sebelumnya dalam proses konseptualisasi dan formulasi. Tahapan proses
produksi ujaran secara singkat dapat dilihat pada bagan berikut ini:

CONSEPTUALIZATION (MESSAGE LEVEL OF PRESENTATION)


· Involves determining what to say
· Speaker conceives an intention
· Speaker select a relevant information
· The product is a preverbal message

FORMULATION
· Involves translating the conceptual representation into linguistic form
· Includes the process of lexicalization
· Includes the process of syntactic planning
· Involves detailed phonetic and articulatory planning
· Includes the process of phonological encoding

ARTICULATION ·
· Involves retrieval of chunks of internal speech
· Involves motor execution

Levelt’s speech production process (Harley 2001: 375)

Salah satu pendekatan terhadap tahapan produksi ujaran ialah yang diajukan oleh
Willem Levelt, yang kemudian diadaptasi menjadi model matematis yang disebut dengan
WEAVER++ (Taxler 2012: 39). Menurut model ini, hal penting yang harus kita garis bawahi
dalam pengujaran kalimat adalah bahwa pada saat kita menyusun satu ide yang akan kita
ungkapkan dalam ujaran kita, tidak secara otomatis langsung sampai kepada produksi ujaran
yang terwujud dalam suara. Ada serangkaian tahap yang kita lalui mulai dari tahap konsepsi

Page 7
ide hingga proses artikulasi kalimat dalam rangka menyampaikan ide kita. WEAVER++
mengambarkan tahapan-tahapan ini secara sistematis. Tahapan ini terjadi secara berurutan
dan simultan dimama tiap tahapan akan menghasilkan satu produk yang akan mengaktifkan
tahapan beriktunya.
Dalam model ini, produksi kalimat dimulai dari penyusunan ide yang akan disampaikan
oleh seorang penutur. Kemudian ide ini dihubungkan dengan konsep leksikal yang kita punya
dalam memori kita. Suatu bahasa bisa saja memiliki kata-kata spesifik untuk menggambarkan
satu konsep, namun terkadang juga ada satu konsep yang mengharuskan kita untuk
menggambungkan dua konsep atau lebih agar dapat menggambarkan konsep yang dimaksud
dengan lebih tepat. Oleh karena itu kita akan melewati tahap ini sebelum kita masuk ke dalam
tahapan selanjutnya yaitu pemilihan kata (lexical selection). Setelah memilah kata-kata dalam
kamus mental kita yang dianggap tepat untuk mewakili konsep kita kemudian lemma
terbentuk. Lemma adalah konsep kata terpilih yang dianggap mampu mewakili pesan yang
ingin kita sampaikan. Lemma kemudian di proses pada tahap enkode morphologi, dalam
proses ini terjadi penyusunan bentuk kata yang sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
konsep, termasuk penyusunan bagaimana bentuk kata dalam kalimat dan bagaimana kata-
kata ini dirangkaikan dalam satu kalimat serta urutannya. Proses ini kemudian menghasilkan
morpheme, bentuk kata yang telah terseleksi. Selanjutnya kita mulai merancang bagaimana
kata-kata ini akan diformulasikan kedalam bentuk suara yang tersusun sesuai dengan
urutannya.
Proses perencanaan bunyi dimulai di enkode fonologi. Proses ini mengaktifkan
organisasi susunan fonem kedalam potongan suku kata secara berurutan. Hasil dari proses ini
adalah susunan perncanaan bunyi kata yang terdiri dari urutan suku kata. Urutan perencanaan
bunyi ini kemudian digunakan di dalam enkode fonetik untuk kemudian dicocokkan dengan
bunyi yang sesuai. Serangkaian suku kata ini secara lebih spesifik dicocokkan dengan bunyi
yang tersedia dalam memori kita, kemudian masing-masin ditempatkan pada posisi yang
seharusnya. Hasil dari proses ini kemudian jadi pedoman bagi proses perwujudan fonetik
kedalam suara oleh sistem motorik. Yang pada akhirnya sistem motorik ini menginstruksikan
kepada otot-otot yang terlibat dalam alat artikultor unutk mulai melakukan tugasnya untuk
mengartikulasikan kata-kata yang telah diformulasikan kedalam bentuk ujaran yang nyata.
Selain itu, berdasarkan analisis kesalahan berbahasa, Garret (Harley 2001: 378) berpendapat
bahwa kita memproduksi ujaran melalui serangkaian tahapan proses yang terpisah. Pada
model yang diajukan olehnya, proses pembentukan sebuah ujaran terjadi secara berurutan,
dimana setiap tahap hanya ada satu proses yang terjadi. Model ini memberi perhatian pada

Page 8
perencanaan sintaksis (susnan kalimat) yang terjadi pada tahap formulasi ujaran. Pada model
ini formulasi ujaran melibatkan dua tahap proses yang penting, level fungsional dan level
posisional. Pada level fungsional, tatanan kalimat belum terwujud secara jelas, melainkan
ditekankan pada kandungan makna semantik dalam setiap kata yang terpilih yang kemudian
akan diposisikan pada susunan sintaksis seperti subjek atau objek. Sedangkan pada level
posisional, kata-kata telah tersusun dengan jelas dalam bentuk susunan sintaksis.
Conceptualization Message level Functional level Formulation Positional level Sound level
Articulation Articulatory instructions Garret’s model of speech production (Harley 2001:
378)

4. Artikulasi Kalimat
Proses artikulasi untuk bunyi disesuaikan dengan keadaan aparatus ujaran kita saat
itu. kecepatan ujaran tentu mempengaruhi proses ini karena, makin cepat seseorang berbicara,
makin sedikitlah waktu yang dimilikinya untuk memproses semua instruksi ini. Sebagai
akibatnya, bunyi-bunyi ini mangkin tidak akurat, dan bahkan bisa terjadi kekeliruan.
Artikulasi Kalimat Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana langkah-
langkah yang kita lakukan setelah formulasi ujaran selesai terbentuk dalam benak kita, proses
apa saja yang terjadi pada saat suara mulai terproduksi oleh sistem artikulasi kita. Pada
bagian ini kami akan menggambarkan bagaimana kita memproduksi ujaran kedalam bentuk
suara melalui eksekusi sistem motorik pada alat artikulasi kita. Sehingga dapat kita pahami
bagaimana urutan proses yang terjadi pada saat kita mengeksekusi kata-kata yang telah
tersusun menjadi ujaran dalam bentuk suara yang bermakna.
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, bahwa proses pengungkapkan sebuah
ujaran dimulai oleh proses mental dalam otak kita bukan dimulai oleh sistem pernafasan kita.
Oleh karena itu, proses pengujaran kalimat erat kaitannya dengan kinerja otak kita, semakin
baik kinerja otak kita dalam mengkoordinasi kalimat yang akan diujarkan, semakin baik
kalimat yang terproduksi. Kalimat yang telah selesai terformulasi pada tahap sebelumnya,
kemudian siap untuk diujarkan, kita membutuhkan serangkaian bunyi yang dapat mewakili
formulasi kalimat ini. Oleh sebab itu, kita membutuhkan sistem yang memberikan perintah
kepada alat articulator agar mengeksekusi formulasi kalimat ini kedalam bentuk ujaran.
Sistem yang berperan pada proses ini adalah sistem yang terletak pada otak kita tepatnya
pada daerah Broca. Sistem ini mengirimkan pesan kepada sistem korteks motorik untuk
mulai melakukan pekerjaannya membentuk pola gerakan tertentu agar menghasilkan bunyi

Page 9
yang diinginkan. Korteks motorik ialah jaaringan yang bertanggung jawab dalam
pengendalian sistem artikulasi kita termasuk lidah, rahang, gigi, pita suara dan alat artikulasi
lainnya (Dardjowidjojo 2008: 157).
Instruksi yang diberikan oleh sistem dalam daerah Broca ini diberikan secara
berurutan sebab jarak antara otak dengan rangkaian alat-alat artikulasi berbeda. Instruksi
pertama didapatkan oleh pita suara kita untuk menjaga ketepatan segmen fonetik kata yang
akan kita ujarkan dengan iringan getaran suara (voice atau voiceless). Instruksi ini diberikan
sebelum suara dilafalkan. Setelah perintah ini diterima oleh pita suara kita (bergetar atau
tidak) alat-alat articulator lainnya – lidah, rahang, bibir, gusi, rongga mulut, dan lainnya –
bersiap dan mulai digerakkan untuk membentuk pola yang menghasilkan suara tertentu
sesuai kebutuhan berdasarkan kata yang ingin kita ucapkan (sesuai dengan phonological
planning yang telah tersusun sebelumnya). Proses terjadi secara berurutan terusmenerus
seiring kita mengucapkan kata-kata dalam ujaran kita dalam kecepatan yang tinggi. Sehingga
kita dalam berujar akan terasa normal seolah-olah tidak ada proses bertahap yang kita
lakukan sebelum ujuaran terucap dalam bentuk suara. Karena adanya keragaman susunan
phonetic dalam setiap kata, maka proses artikulasi untuk menghasilkan bunyi disesuaikan
dengan keadaan alat artikulator kita seiring rangkaian bunyi yang diproduksi pada tiap kata
dalam ujaran kita. Namun seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya bahwa proses ini
terjadi begitu cepatnya sehingga seseorang yang berujar dengan kecepatan tinggi akan
mempengaruhi kualitas ujaran yang diproduksinya sebab semakin singkat waktu yang
gunakannya untuk menyelesaikan semua proses ini. Oleh karena itu terkadang terjadi
produksi suara yang kurang akurat dan kekeliruan dalam mengucapkan beberapa kata. Selain
itu, oleh karena suara yang kita produksi pada dasarnya berasal dari aliran udara yang
dihembuskan dari paru-paru yang melewati batang tenggorokan, organ hidung dan mulut
kita, maka ada tiga proses yang kita lalui – dalam kaitannya dengan aliran udara ini –
sebelum ujaran terwujud dalam bentuk suara, yaitu inisiasi, phonation, oro-nasal process, dan
artikulasi. Proses inisiasi yaitu saat dimana udara mulai dikeluarkan (dihembuskan) dari
dalam paru-paru. Udara yang dihembuskan ini kemudian dialirkan kedalam pangkal
tenggorokan (Larynx). Larynx memiliki dua lembaran yang tersusun horizontal, lembaran
inilah yang disebut pita suara. Jarak yang terbentuk diantara dua lembaran ini disebut glottis.
Glottis dapat berposisi tertutup, sedikit terbuka, maupun terbuka lebar. Ketika udara melewati
pita suara ini kemudian terbentuk glottis yang sedikit terbuka menyebabkan pita suara
bergetar sehingga menghasilkan suara voiced. Dan apabila glottis terbuka lebar maka akan
mengurangi getaran pada pita suara sehingga mneghasilkan suara voiceless, hal ini juga

Page
10
terjadi disaat kita bernafas normal. Proses ini disebut phonation. Setelah melewati larynx,
udara kemudian disalurkan ke dalam rongga mulut atau rongga hidung (sesuai dengan sistem
fonetik kata yang ingin kita ucapkan). Bagian yang bertanggung jawab dalam penyaluran
udara apakah akan di salurkan ke rongga mulut ataupun rongga hidung disebut velum. Proses
ini disebu proses oro-nasal, yang mana melalui proses ini kita dapat membedakan suara yang
berasal dari hembusan udara lewat rongga hidung (nasal) (/m/, /n/, //) dengan suara lain yang
berasal dari rongga mulut.

Terakhir yaitu proses artikulasi. Proses ini terjadi dalam rongga mulut kita yang mana
melalui proses ini kita dapat menciptakan dan membedakan sebagian besar bunyi yang
beragam. Dalam rongga mulut. Organ organ yang berperan disini adalah bibir atas dan
bawah, gigi atas dan bawah, lidah (ujung, bladae, depan, dan belakang), dan langit-langit
mulut. Beragam suara yang kita produksi dapat kita bedakan dari bagaimana alat-alat tersebut
diletakkan dan diperlakukan. Proses ini kemudian menghasilkan suara-suara bermakna sesuai
dengan yang kita konsepsikan.

5. Bagaiman Kekeliruan Terjadi


Karena kecepatan ujaran atau karena alasan-alasan yang lain bisa saja kata atau
kalimat yang diujarkan itu menjadi keliru. Bahwa kekeliruan itu terjadi karena mengikuti
urutan tertentu.
Kekeliruan Terjadi Oleh karena begitu cepatnya kita memproses suatu kalimat untuk
diujarkan, terkadang kita melakukan kekeliruan dalam mengucapkan kalimat yang ingin kita
sampaikan. Penelitian dalam psikolinguistik modern menemukan bahwa kekeliruan dalam
berbahasa ini mencerminkan adanya rincian komponen beragam yang berperan dalam satu
proses produksi ujaran. Kekeliruan berbahasa dapat kita gunakan sebagai instrumen untuk
memahami bagaimana proses produksi ujaran terjadi, sebab kekeliruan berujar yang muncul
hampir tidak pernah terjadi secara acak. Oleh karena kekeliruan berbahasa ini muncul dalam
wujud yang sistematis, fenomena ini dapat membantu kita untuk melacak tahapan apa yang
kita lewati dalam proses produksi sebuah kalimat untuk diujarkan. Penelitian menemukan
setidaknya ada tiga kekeliruan berbahasa yang sering terjadi pada saat kita berujar, yaitu
substitusi semantic (semantic substitute), pertukaran bunyi (sound exchange), dan pertukaran
kata (word exchange) (Taxler 2012: 43).

Page
11
Sering kali, pada saat kita sedang berujar, kita mengganti satu kata tertentu dengan
kata lain yang memiliki hubungan makna erat dengan kata yang seharusnya kita ucapkan.
Misalnya, kita berencana mengujarkan kata monyet, namun kata yang terucap dalam ujaran
kita bukan kata tersebut melainkan kata-kata yang dekat dengan konsep monyet, yaitu kera
atau babon, gorilla dan seterusnya. Hal ini sering terjadi terutama ketika sesorang berada
pada tekanan ataupun diminta untuk mengucapkan sebbuah kata secepat mungkin setelah
satu konsep, misalnya gambar, diberikan kepadanya. model kekeliruan ini disebut substutisi
semantik. Fenomena ini mencerminkan adanya proses persiapan konsepsi yang kemudian
mempengaruhi tahapan pemilihan kata (lexical selection) dalam mental kita. Substitusi
semantic ini menunjukkan bahwa konsep sebuah kata yang dalam memori kita berhubungan
dengan sejumlah konsep kata lainnya yang memiliki kedekatan makna dengan kata tersebut.
Ketika kita memikirkan sebuah konsep kakta kita akan mengaktifkansatu konsep yang
tersimpan dalam memori jangka panjang kita, konsep-konsep lain yang berhubungan dan
memiliki kedekatan makna dengan konsep tersebut akan secara tidak langsung juga
diaktifkan. Pengaktifan konsep mengharuskan kita untuk mengeliminasi konsep-knonsep kata
lain dan fokus kepada konsep kata target, dalam contoh di atas misalnya monyet.
Penyeleksian konsep kata ini menjadi kata yang kita inginkan menghasilkan lemma. Lemma
inilah yang akan diproses pada tahap selanjutnya hingga terproduksi sebagai satu ujaran.
Namun karena kecepatan kita dalam memproses konsep tersebut dalam mental kita, mungkin
karena adanya tekanan atau instruksi untuk mengujarkan kata, seringkali kita keliru untuk
memilih kata target ini, walaupun sebenarnya kita tahu bahwa kita sedang tidak
mengucapkan kata yang benar sesuai dengan konsep yang kita inginkan.
Kekeliruan ujaran lain yang sering terjadi ialah pertukaran bunyi (sound exchange).
Pada kekeliruan ini kita telah berhasil memilah konsep yang benar dan menyusunnya
kedalam susunan lemma. Namun kata yang terucap tidak terdengar seperti urutan bunyi yang
seharusnya, contohnya seseorang yang ingin mengatakan tiup, namun yang terdengar dari
ujarannya bukan tiup melainkan tuip. Kekeliruan ini memberikan kita bukti bahwa ada
tahapan selanjutnya yang kita lewati setelah kita berhasil menyusun lemma. Kesalahan ini
terjadi pada tahap setelah lemma dan morphem telah ditentukan namun kita belum
merampungkan perencanaan artikulasi (rancangan pergerakan otot-otot articulator). Yang
perlu digaris bawahi disini adalah, berdasarkan penelitian, dalam hal susunan kata dalam satu
bentuk prase, kekeliruan semacam ini hanya terjadi umumnya pada kata-kata yang terdapat
dalam satu kelompok prase yang sama. Menurut model produksi ujaran yang diajukan oleh
Dell dalam Taxler (2012), ketika kita telah selesai menyeleksi lemma yang tepat, setiap

Page
12
phonem tunggal yang terkandung di dalamnya akan diaktifkan dan diletakkan ke dalam
kerangka. Kerangka ini terwakili dalam setiap suku kata. Kemudian kita akan mengaktifkan
fonem yang kita butuhkan dalam tiap suku kata tersebut, yang mana setiap fonem ini akan di
susun dengan urutan yang sesuai. Urutan ini yang kemudian menjadi pedoman bagi sistem
selanjutnya untuk menentukan bunyi mana yang disebutkan pertama, kedua, dan seterusnya.
Oleh karena kerangka suku kata dan urutan phoneme yang dibutuhkan ini diaktifkan hampir
bersamaan, mengakibatkan proses selanjutnya kadang menjadi keliru untuk memilih bunyi
mana yang ada pada urutan pertama dan selanjutnya, dan menghasilkan kekeliruan ujaran
yang mana bunyi dari kata-katanya tertukar.
Kekeliruan selanjutnya terjadi pada tingkat susunan kalimat ataupun prase. Seringkali
kita mendengarkan seseorang yang menukarkan posisi kata-kata dalam satu kalimat
ujarannya. Kekeliruan ini disebut pertukaran kata (word exchange). Kekeliruan ini terwujud
ketika dalam satu ujaran, kata yang semestinya berada pada posisi tertentu kemudian
diproduksi dalam posisi yang berbeda, yang tentunya tidak sesuai dengan apa yang kita
konsepsikan. Misalnya anda ingin mengatakan “Anjing mengejar kucing” namun yang
terucap pada ujaran adalah kalimat “Kucing mengejar anjing.” Dalam kasus ini kata anjing
dan kucing terlibat dalam pertukaran posisi kata dari posisi yang seharusnya. Sebagian besar
kekeliruan ini terjadi dalam kerangka kategori. Kerangka kategori ialah kelas kata untuk
setiap kata dalam satu ujaran (kata benda, kerja, sifat, depan dsb.). Kekeliruan ini terjadi
dalam wujud pertukaran posisi kata hanya dari satu kelas kata yang sama.
Karena sebagian besar ujaran terwujud dalam bentuk susunan kalimat, maka proses
perencanaan ujaran lebih banyak terjadi dalam bentuk proses penyusunan kalimat
dibandingkan hanya satu kata tunggal. Oleh karena itu, berdasarkan model frame-and-slot,
proses produksi kalimat terjadi dengan membentuk kerangka kalimat yang terdiri dari
beberapa slot yang siap diisi dengan kata-kata yang sesuai baik makna, posisi, serta
bentuknya secara gramatikal dalam satu kalimat atau klausa. Setiap slot ini diberikan tanda
yang menunjukkan kelas kata apa yang seharusnya diletakkan di dalam slot tersebut (kata
benda, kerja, sifat, dsb.). Pertukaran posisi kata terjadi ketika lebih dari satu “calon” kata
yang mengisi slot dalam kalimat diaktifkan secara hampir bersamaan, yang mana kata-kata
ini memiliki kelas kata yang sama, sehingga kata ini mungkin dimasukkan kedalam slot yang
bertanda sama dalam kalimat. Oleh karena itu, bisa terjadi kekeliruan dalam memasukkan
kata yang diinginkan kedalam slot yang belum terisi (yang berlabel sama). Namun demikian,
mengingat setiap slot ini diberikan tanda tertentu (kata kerja, benda, sifat) maka kekeliruan

Page
13
ini tidak pernah nampak pada pertukaran kata dari kelas kata yang berbeda, misalnya kata
kerja mengisi slot yang seharusnya untuk kata benda dan sebaliknya.

Page
14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesenyapan dan keraguan dalam ujaran terjadi karena pembicara lupa kata-kata yang
dia perlukan. Atau dia sedang mencari kata yang paling tepat. Kesalahan yang berupa kilir
lidah menunjukkan bahwa kata tidak tersimpan secara utuh dan orang harus meramunya
(meyer 2000:51). Ada berbagai alasan mengapa orang senyap yaitu:
1. Orang senyap karena ia telah terlanjur mulai ujarannya, tetapi sebenarnya dia belum
siap untuk seluruh kalimat itu.
2. Kesenyapan terjadi karena dia lupa akan kata-kata yang dia perlukan.
3. Bahwa dia harus hati-hati dalam memilih kata agar dampaknya pada pendengar atau
publik, misal tidak menghebohkan.
Kekeliruan dalam berbicara dapat disebabkan oleh kilir lidah atau penyakit afasia.
Kekeliruan itu terjadi karena, kita tidak memproduksi kata yang sebenarnya kita kehendaki.
Unit-unit pada kilir lidah Secara garis besar, unit-unit itu adalah fitur distingtif, segment
fonetik, suku kata, dan kata.
Selain itu juga, ada suatu gejala lain dalam wicara yang berkaitan dengan ingatan kita.
Kadang-kadang manusia tidak ingat sepenuhnya akan suatu kata yang mungkin sudah lama
tidak dipakainya. Akan tetapi, dia tidak lupa benar dengan kata itu. gejala seperti ini dalam
bahasa inggris dinamakan gejala tip of the tongue. Dalam bahasa indonesia dibuku soenjono
dardjowojdojo “sosiolinguistik” dinamakan gejala “lupa-lupa ingat”.
Gejala lain yang unik adalah gejala latah. Latah adalah suatu tindak kebahasaan
dimana seseorang, waktu terkejut atau dikejutkan, mengeluarkan kata-kata secara spontan
dan tidak sadar dengan apa yang dia katakan.

B. Saran
Setelah mempelajari BAB V1 mengenai produksi kalimat semoga kita selaku
mahasiswa khususnya dibidang bahasa dapat mengetahui dan memahami bagaimana manusia
dalam memproduksi kalimat dalam berbahasa . Dan dapat mengaplikasikannya dalam
kegiatan pembelajaran psikolinguistik dan menghindari kekeliruan-kekeliruan yang terjadi
dalam produksi kalimat.

Page
15

Anda mungkin juga menyukai