PENGANTAR
PSIKOLOGI DAKWAH
Penerbit
2019
PENGANTAR
PSIKOLOGI DAKWAH
Penulis
Agus Hermawan,S.Pd.I,M.A
Penerbit;
Editor;
Erlina Wijayanti,S.Pd
Desain Sampul
Dicetak;
Sinar Jaya
Cetakan I
2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Segala puji bagi Allah Swt Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah Saw. Penulis bersyukur kepada Illahi
Rabbi yang telah memberikan hidayah serta taufik-Nya kepada penulis sehingga
buku yang berjudul “ Pengantar Psikologi Dakwah” dapat terselesaikan.
Materi buku ini disesuaikan dengan kurikulum hasil revisi Tahun 2018 di
lingkungan Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Sehingga content (isi) buku ini sangat relevan dan sama dengan materi Silabus di
IAIN Salatiga.
Kepada Yayasan Hj. Kartini yang telah bersedia menerbitkan buku ini dan
juga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian buku ini, kami
ucapkan terima kasih. Akhirnya penulis menyadari buku sederhana ini jauh dari
sempurna, maka tegur sapa untuk penyempurnaan buku ini sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan buku ini pada terbitan selanjutnya. Semoga buku ini
memberi kemanfaatan bagi kita semua. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Penulis
Agus Hermawan,S.Pd.I,M.A
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
PROFIL PENULIS...............................................................................................
BAB I
PENGERTIAN, OBYEK, SASARAN, DAN RUANG LINGKUP PSIKOLOGI
DAKWAH
Objek penelaah didalam ilmu dakwah ada dua, yaitu objek material
dan objek formal. Objek material adalah tentang tingkah laku manusia.
Sedangkan objek formalnya adalah usaha manusia untuk
menyeru/mengajak manusia lain dengan ajaran Islam agar menerima,
meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam bahkan memperjuangkannya.
Dapat disimpulkan bahwa objek dakwah adalah manusia dengan segala
sikap tingkah lakunya yang berkaitan dengan aktifitas dakwah.
Sedangkan di dalam buku Psikologi Umum yang ditulis oleh Drs.
H. Abu Ahmadi, bahwa segi objeknya, psikologi dibedakan menjadi dua
golongan yaitu, psikologi yang menyelidiki dan mempelajari manusia dan
psikologi yang menyelidiki dan mempelajari hewan, yang umumnya lebih
tegas disebut psikologi hewan. Dapat dikatakan bahwa objek dari psikologi
adalah manusia.
2. Sejarah Psikologi
Di penghujung abad XX sejenak kita merenungi karakteristik abad
kita ini sambil mencoba membayangkan corak kehidupan bagaimana
yang berkembang pada abad mendatang. Abad XX di satu pihak di
tandai oleh perkembangan sains dan teknologi yang pesat luar biasa .
Perkembangan IPTEK ini berhasil ,menciptakan perabadaban modern
yang menjadikan berbagai kemajuan dan kemudahan bagi mereka yang
berhasil memenuhi segala tuntutan modernisasi. Sebuah peluang dan
sekaligus tantangan akhir abad XX untuk meningkatkan taraf
kehidupan yang dapat di penuhi hanya dengan bekerja keras dan bukan
dengan bersantai santai. (Djamaludin Ancok, 2011: 191)
Beberapa abad sebelum masehi, para ahli pikir Yunani dan
Romawi telah berusaha mengetahui hidup kejiwaan manusia dengan
cara cara yang bersifat spekulatif. Pada zaman ini psikologi masih
dalam ruang lingkup filsafat, para ahli menyebutnya filsafat rohaniah,
karena mereka berusaha memahami jiwa melalui pemikiran filosofi
dan merupakan bagian dari filsafat. Salah satu filusuf pada saat ini
Plato dan Aristoteles. Sejarah dengan dinamika hidup masyarakat
untuk senantiasa mencari pemuasan dalam segala aspek kehidupannya
maka fikiran manusia pun mengalami perkembangan yang bertendesi
ke arah pemuasan hidup ilmiah nya yang semakin sempurna. Mulai
zaman humanisme sistem dan metode berfikir manusia tidak lagi
bersifat spekulatif, melaikan menuntut sistem dan metode yang bersifat
rasionalistis. Di antara ahli pikir pada masa ini adalah Thomas Aquinas
dan Jhon Locke. (H.M.Arifin, 1991:32-33).
Dari sini kita dapat melihat bahwa menuntut ilmu pengetahuan dalam
Islam bertujuan untuk mencapai kebaikan yakni dunia dan akhirat. Dengan
ilmu itu diharapkan akan terealisasi keseimbangan kepribadian manusia
dalam citranya yang hakiki dan sempurna, seperti yang tercermin dalam
pribadi Rasulullullah saw. Dimana pada dirinya terdapat keseimbangan
kekuatan spiritual yang mendalam dan kekuatan fisiknya yang tangguh.
Maka jelaslah bahwa tujuan terbesar menuntut ilmu pengetahuan dalam
Islam ialah lebih dekat dengan Allah, karena Dia Zat Yang Maha Tinggi
sebagai sumber kebenaran, kebaikan, dan ketulusan. Sehingga seorang
muslim dalam segala aktivitas keilmuannya harus mengarah dan hijrah untuk
mendekatkan diri kepada Allah. (putriap13.blogspot.com/2015/12).
BAB IV HUBUNGAN PSIKOLOGI DAKWAH DENGAN ILMU LAIN
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subjek dan objek
sekaligus. Manusia berpikir dan merenung, kemudian menjadikan dirinya sebagai
objek fikiran dan renungan. Terkadang manusia dipuja tetapi dikala yang lain
manusia juga dihujat. Terkadang manusia sering merasakan bangga terhadap
pujian seseorang dan suatu ketika ia bersedih saat ada hujatan kepada dirinya.
Manusia sejak semula ada dalam suatu kebersamaan, ia senantiasa
berhubungan dengan manusia-manusia lain dalam wadah kebersamaan,
persahabatan, lingkungan, masyarakat, pekerjaan dan bentuk relasi social lainnya.
Manusia dilengkapi antara lain cipta, rasa, karsa, norma,cita-cita, dan nurani
sebagai karakteristik kemanusiannya.
Seorang da‟i suatu ketika pasti berhadapan dengan karakteristik manusia yang
berbeda-beda dan dalam situasi yang berbeda-beda pula. Tingkah laku
manusia dipengaruhi oleh factor-faktor personal maupun situasional, factor
internal maupun sosiokultural. Oleh karena itu, pengetahuan tentang
karakteristik manusia sangat membantu tugas-tugas seorang da‟i.
Manusia dakwah terdiri dari da‟I dan mad‟u. seorang da‟i yang juga psikolog
berkepentingan untuk mengetahui bagaimana mad‟u memproses pesan
dakwah dan bagaimana cara berpikir dan melihat mereka, dipengaruhi oleh
lambang-lambang yang berbeda.
Jika fokus psikologi dakwah adalah manusia yang terlibat dalam komunikasi
dakwah maka dalam hal ini yang harus diketahui adalah karakteristik manusia
sebagai komunikan, yakni faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkah laku
mereka dalam berkomunikasi. (Zakiah Darajat, 1999:23)
Salah satu ciptaan Allah adalah manusia, yang diberi keistimewaan berupa
kemampuan berpikir yang melebihi jenis makhluk lain yang sama-sama menjadi
penghuni bumi. Kemampuan berpikir itulah yang diperintahkan Allah agar
dipergunakan untuk mendalami wujud atau hakikat dirinya dan tidak semata-mata
dipegunakan untuk memikirkan segala sesuatu di luar dirinya.Demikianlah
kenyataannya bahwa manusia tidak pernah berhenti berpikir, kecuali dalam
keadaan tidur atau sedang berada dalam situasi diluar kesadaran. Manusia berpikir
tentang segala sesuatu yang tampak atau dapat ditangkap oleh pancaindera bahkan
yang abstrak sekalipun.
Pemahaman manusia yang tidak utuh tentang manusia dapat berakibat fatal
bagi perlakuan seseorang terhadap sesamanya. Misalnya saja pandangan dari
teori evolusi yang diperkenalkan Darwin pada abad XIX. Bisa saja pendangan
Darwin tersebut akan menimbulkan sikap kompetitif dalam segala hal, baik
ekonomi, politik, budaya, hukum pendidikan maupun lainnya, bahkan akan
menghalalkan berbagai macam cara. Maka, agar dapat dipahami tentang
hakekat manusia secara utuh, ada beberapa pendapat atau pandangan tentang
manusia ini menurut Murtadha Mutahhari (1996:33) diantaranya:
Mengenai ragam dan corak relasi-relasi itu perlu dijelaskan bahwa sekalipun
manusia sekan-akan merupakan pusat hubungan-hubungan center of
relatedness, tetapi dalam ajaran Islam pusat segalanya bukanlah manusia,
melainkan sang Pencipta sendiri yaitu Allahhu Rabb‟al „alamin. Dengan
demikian landasan filsafat mengenai manusia dalam ajaran Islam bukan
Antroposentrisme, melainkan Theosentrisme, atau lebih tepat Allah-sentrisme.
(Hanna Djumhana Bastaman, 2011:43)
Manusia pada hakekatnya sama saja dengan makhluk hidup lainnya, yaitu
memiliki hsrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan
didukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya
terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran, dan keunggulan yang diiliki
manusia dibanding dengan makhluk lain.
ُ
َُُذ ْ ِنVَ س إاِل َّ ىيِ َْعب ُ ََ َمب خَي ْق
َ ْث ْاى ِجهَّ َاإْل ِ و
Artinya : Tidak kujadikan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-
Ku. (QS. Az-Zariyat : 56)
َ َت ُم ْشجفَق ْ س اى َّش َشاةُ َ َسب َء َ ِْي ب ْئ ُْ ُِِ اVُ ِيش ُُ َُُغبVَ ْث ا ي
َْ ِمب ِء َمبى ٍ ُْم ِْوVََِ ث ْا ب ُُْ ِغيVََِ إن ي َْسح
ب َ ى ُ ُج ِْ َ ب
َ ق ٍُ
.مبأسسيىل االّ مبفةً ىيىبّ س بشي ًشا وزي ًشا َىنهّ أمثشاىىبّ س ال يعي ُم ن
Artinya: ”dan kamitidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat
manusia seluruhnya sebgai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan kebanyakan manusia tiadamengethui.Ayat diatas menjelaskan
ketika kita berdakwah kepada manusia yang belum beragama islam maka
tujuannya untuk mengajak mereka agar mengikuti agamaislam dan ketika
kita berdakwah kepada yang sudah beragama islam maka tujunnya untuk
meningkatkan kualitas iman, islam, dan ihsan. Hal yang sama juga
dikemukakan Muhammad abu Al-Fatl al Bayanuni, mengelompokkan
mad‟u dalam dua rumpun besar, yaitu rumpun muslim atau umat ijabah
(umat yang telah menerima dakwah) dan non Muslim atau umat dakwah
(umat yang belum sampai kepada mereka dakwah Islam). Umat ijabah
dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: pertama, Sabiqun bi al-khaerat (orang
yang saleh dan bertaqwa), kedua, Dzalimun linafsih (orang fasih dan ahli
maksiat), ketiga, muqtashid (mad‟u yang labil keimanannya). Sedangkan
umat dakwah dibagi dalam empat kelompok, yaitu: Ateisme, Musyrikun,
ahli kitab, dan munafiqun.
Moh. Ali Aziz mengemukakan bahwa bagi orang yang menerima dakwah
itu lebih tepat disebut mitra dakwah dari pada sebutan object dakwah,
sebab sebutan object dakwah lebih mencerminkan kepasifan penerima
dakwah: padahal sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan
orang lain sebagai kawan berfikir tentang keimanan, syari‟ah, dan akhlak
kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama.
Menurtu hemat penulis baik sebutan object ataupun mitra dakwah itu sama
saja, yang terpenting adalah bagaimana seorang dai mampu
mengkomunikasikan dakwah secara baik dan tepat kepada mad‟unya
sehingga mad‟u dapat memahami dan mengamalkan isi pesan yang
disampaikan. M.Bahari Gazali, melihat object dakwah dari tinjauan segi
psikologinya yaitu:
1. Sasaran dakwah yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari
segi sosiologisnya berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota serta
masyarakat marjinal dari kota besar.
2. Sasaran dakwah yang menyangkut golongan dilihat dari segi struktur
kelembagaan berupa masyarakat dari kalangan pemerintah dan
keluarga.
3. Sasaran dakwah yang berupa kelompok dilihat dari segi sosial kultur
berupa golongan priyayi, abangan, dan santri. Klasifikasi ini terutama
dalam masyakrat Jawa.
4. Sasaran dakwah yang berhubungan dengan golongan masyarakat
dilihat dari segi tingkat usia berupa golongan anak-anak, remaja dan
dewasa.
5. Dilihat dari segi profesi dan pekerjaan. Berupa golongan petani,
pedagang, buruh, pegawai, dan administrator.
6. Dilihat dari jenis kelamin berupa golongan pria dan wanita.
7. Golongan masyarakat dilihat dari segi khusus berupa tuna susula, tuna
karya. nara pidana, dan sebagainya.
Selain itu M. Bahri Ghazali, juga mengelompokkan mad‟u
berdasarkan tipologi dan klasifikasi masyarakat, yang dibagi dalam lima
tipe, yaitu:
1. Tipe inovator, yaitu masyarakat yang memiliki keiginan keras pada
setiap fenomena sosial yang sifatnya membangun, bersifat agresif dan
tergolong memiliki kemampuan antisipatif dalam setiap langkah.
2. Tipe pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima
pembaharuan dalam membawa perubahan yang positif. Untik
menerima atau menolak ide pembaharuan, mereka mencari pelopor
yang mewakili mereka dalam menggapai pembaharuan itu.
3. Tipe pengikut dini, yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang
kurang siap mengambil resiko dan umumnya lemah mental. Kelompok
masyarakat ini umumnya adalah kelompok kelas dua di
masyarakatnya, mereka perlu seorang pelopor dalam mengambil tugas
kemasyarakatan.
4. Tipe pengikit akhir, yaitu masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga
berdampak kepada anggota masyarakat yang skeptis terhadap sikap
pembaharuan, karena faktor kehati-hatian yang berlebihan, maka setiap
gerakan pembaharuan memerlikan waktu dan pendekatan yang sesuai
untuk bisa masuk.
5. Tipe kolot, ciri-cirinya, tidak mau menerima pembaharuan sebelum
mereka benar-benar terdesak oleh lingkungannya
1. Golongan cendekiawan
Golongan ini cinta dengan kebenaran dan dapat berfikir secara kritis,
cepat menangkap persoalan.
2. Golonggan awam
Kebanyakan orang yag belum dapat berfikir secara kritis dan
mendalam belum tentu dapt menangkap pengertian yang tinggi.
3. Golongan yang berbeda dengan kedua golongn diatas.golongan yang
tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut.,mereka
senang membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas tertentu tidak
sanggup menanggapi secara menyeluruh.
Berdasarkan respon mad‟u terhadap dakwah mereka digolongkan
menjadi tiga golongan yaitu:
Seorang Da‟i yang arif dan bijaksana adalah yang memperlakukan Mad‟u
sesuai dengan kondisi dan situasi sosial kulturalnya di masyarakat. Da‟i
harus mampu menempatkan dan memperlakukan mad‟u sebagai obyek
sasaran dakwah dengan baik dan tidak melukai perasaan mereka sehingga
jauh dari kontraproduktif.
1. Qoulan Baligha (perkataan yang membekas pada jiwa)
Terdapat pada surah an-Nisa ayat 63 dengan firman-Nya.
ّ ىم
ف ٍّ عى م َِع ٍظ ُم َقو
ٍ فبعشض
ِ بم ّ أَ ىئل اى ّزيهَ يعيم ال َّل مب
ٍ ف قي
ًِس م ق ال بييغب
ٍٍُِ Vُ أوف
َ أوزسعشيشجل األقشبيه
Artinya: “dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat
“
Keluarga adalah prioritas dakwah setelah dirinya sendiri. Setelah itu baru
kerabat yang paling dekat. Teman akrab, para tetangga, danpada akhirnya
pada masyarakat umum. (Deybiagustin,2012:02)
BAB VIII PERAN MOTIVASI DALAM DAKWAH
BAB IX
Salah satu ciri dakwah yang efektif adalah apabila hubungan baik
antara da‟i dan mad‟u semakin meningkat. Kedekatan tersebut bisa jadi terjadi
secara alamiah karena bertemunya dua unsur yang saling membutuhkan dan
saling mendukung, akan tetapi bisa jadi buah hasil dari kerja keras yang efektif,
yaitu melalui usaha keras meskipun membutuhkan waktu yang lama.
1. Ketertarikan mad‟u terhadap dai‟i bisa jadi karena daya pesona da‟i.
2. Ketertarikan mad‟u terhadap da‟i karena masyarakat sedang
membutuhkan kehadiran figur seorang da‟i.
3. Hubungan batin itu bisa jadi karena masyarakat sedang merindukan
hadirnya seorang pemimpin spiritual, tiba-tiba datang seorang da‟i yang
membawa apa yang diidamkan, dan bahkan lebih.
4. Selain itu sikap positif dan kesukaan atau ketertarikan orang kepada
da‟i disebabkan karena adanya kesaman karakteristik personal,
kesamaan tekanan psikologis, dan rendahnya harga diri. (Ahmad
Mubarok, 1999, 197-199)
C. Pijakan Psikologi Hubungan Da’i dan Mad’u
Hubungan baik antara da‟i dan mad‟u sebagaimana hubungan baik antar
siapapun tidak otomatis terjadi, melainkan membutuhkan pijakan-pijakan
psikologi. Hubungan baik tersebut dimungkinkan akan terjadi apabila
kedua pihak terdapat dalam hal-hal berikut ini:
1. Faktor Percaya
Jika antara da‟i dan mad‟u saling mempercayai maka akan terjadi
hubungan baik antara kedua pihak tersebut. Namun sebaliknya apabila
mereka tidak saling percaya, maka akan ada kesalah pahaman.
2. Sikap Saling Membantu
Apabila masyarakat merasa terbantu oleh kehadiran da‟i begitu juga
dengan da‟i yang merasa dibantu oleh masyarakat dalam beramal
sholeh, maka akan terjadi hubungan baik akan mudah terjadi.
Sebaliknya apabila kehadiran da‟i dirasa oleh masyarakat sebagai
gangguan dan beban, atau da‟i yang merasa diperbudak, maka
hubungan baik tersebut tidak akan terjadi.
3. Sikap Terbuka
Apabila seorang da‟i memiliki sikap terbuka, dengan sikap yang ia
miliki dan diketahui masyarakat serta ia tidak menutupi atau basa-basi
maka hubungan keduanya akan baik. Akan tetapi apabila keduanya
saling menutupi rahasia yang sebenarnya bukan rahasia, maka
hubungan baik juga tidak akan terjadi.
D. Macam-macam Interaksi Sosial
Manusia dalam memberikan reaksi terhadap proses interaksi dalam suatu
kelompok menunjukkan berbagai macam tingkah laku yang berbeda-beda.
Perbedaan reaksi tersebut menurut R.F. Bales dan Strodtbeck (1951) dapat
dikategorikan menjadi empat macam sebagai berikut:
1. Tindakan Integratif-Expressif, yaitu tingkah laku yang bersifat terpadu
dan yang menyatakan doongan kejiwaan seseorang. Termasuk kategori
ini adalah perbuatan menolong orang lain ,memberikan pujian kepada
orang laian, melawak untuk menghilangkan ketegangan perasaan,
menyetujui pendapat orang lain, menunjukkkan setia kawan.
2. Tindakan yang relavan dengan tugas instrumental yakni tingkah laku
yang menggeraakkan kelompok kearah penyelesaian suatu problem
yang dipilihnya. Misalnya memberikan jawab atas pertanyaan,
memberikan sugesti, memberikan pendapat, memberikan penjelasan.
3. Tindakan meengajukan pertanyaan yang relavan dengan tugas
instrumental, yakni berupa permintaan untuk orientasi, sugesti, dan
pendapat.
4. Tindakan Integratif-Exspressif yang bersifat negatif, yakni tingkah laku
terpadu yang menyatakan dorongan kejiwaan yag bersifat menghindar.
Misalnya pernyataan tidak setuju, menimbulkan ketegangan,
antagonisme ( pertentangan), dan mengundurkan diri.
Dalam proses interaksi yang di orientasikan kepada tujuan dakwah,
kategori tingkah laku yang bersifat negatif dalam kelompok obyek
daakwah perlu dihindarkan antara lain, dengan mengembangkan sikap
solidaritas dan rasa keterikatan dan rasa senasib ( sense of belonging dan
sense of togetherness ) sesuai dengan ajaran agama.
BAB X INTERAKSI DAKWAH ANTARA DA’I DAN MAD’U
c. Lingkungan Dakwah
Lingkungan dakwah dapat berupa kebudayaan sebuah masyarakat
serta latar atau keadaannya ditinjau dari lingkungan tempat dan juga
lingkungan sosial. Hal ini menentukan interaksi dakwah yang pas atau
efektif yang dapat diterima masyarakat di sebuah lingkungan untuk
tujuan dakwah.
d. Media Dakwah
Media dakwah adalah faktor yang menentukan kelancaran
pelaksanaan dakwah, faktor ini dalam penggunaan atau efektivitasnya
tergantung pada faktor lain terutama penggunaannya
e. Tujuan Dakwah
Faktor ini menjadi pedoman arah proses pelaksanaan dalam dakwah.
B. Komunikasi Persuasif
Dakwah Persuasif “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa
yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang
berbekas pada jiwa mereka.” (Qs. An-Nisa ayat 63)
Dakwah yang sejuk dan lemah lembut ini secara pesuasif cocok
jika ditujukan kepada mad‟u yang menduduki kekuasaan yang peka
terhadap kritik.
BIODATA PENULIS
Agus Hermawan, S.Pd.I, M.A (Pak Agus, lahir 22 Agustus 1978) adalah
putera bungsu dari tiga bersaudara pasangan Ki sumbodo trah Notobratan Pangeran
Wijil V (Keturunan R.M. Said/ Sunan kalijaga Kadilangu Demak ke-14) dan Ibu Hj.
Kartini dari Undaan Kidul kudus. Masa kecilnya dihabiskan untuk belajar dan
mengaji serta bekerja membantu orang tuanya. SD, MTs (Kudus), SMA (Jepara),
S1 /PAI; S.Pd.I (STAIN Kudus tahun 2003) S2/Psikologi Pendidikan Islam; M.A
(UMY Yogyakarta tahun 2005). Sekarang ini pak Agus beraktivitas sebagai Dosen di
IAIN Salatiga, Ketua Yayasan Hj. Kartini Kudus, Ketua Yayasan Nurul Muttaqiin
Kalirejo,
Sekretaris Majlis Dakwah Islamiyah, Sekretaris KAHMI Kudus, Ketua Takmir
Masjid, Direktur LPI Nurul Muttaqiin, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatun Najah
Kecandran Salatiga dan beliau juga aktif menulis beberapa jurnal serta buku yang
telah dipublikasikan, berorganisasi non politik, dan memberi ceramah di masyarakat
dan Perguruan Tinggi setempat serta memberi layanan konseling di rumahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Armawati Arbi, 2012, Psikologi Komunikasi dan Tabligh, Jakarta: Amzah