AKHIR SEMESTER
“Perbandingan Madzhab”
Junaidi 11908002
Manajemen Dakwah 4 A
Resume Materi-2
Metode Hukum Isntinbat Hukum yang disepakati Oleh ulama Fiqih dan yang
Masih diperdebatkan oleh Ulama Fiqih
Pengertian Istinbath
Secara etimologis kata istinbath berasal dari kata benda ‘an-nabt’, bentuk masdar dari
nabata-yanbutu-nabtan, yang berarti air yang keluar dari dalam sumur yang kali pertama digali
(al-fahridi, 2003; 184). Sehingga kata istinbath digunakan dalam arti ‘al-istikhraj’
(mengeluarkan) yaitu mengeluarkan atau menjelaskan sesuatu yang sebelumnya masih belum
jelas (al-wahbi, 2007; 32). Secara terminologi kata istinbath berarti upaya mengeluarkan makna
dari Nash (Al-Qur’an dan as-sunnah) yang berkaitan dengan hal-hal yang sulit dan penting
dengan mencurahkan kekuatan nalar dan kemampuan yang optimal (sanu, 2000; 61).Berdasarkan
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa istinbath adalah suatu cara untuk menemukan
beberapa hukum Syara’ yang terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah yang dilakukan dengan
kekuatan nalar dan pikiran.
Dalil Hukum yang Disepakati
Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan
empat sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati.
Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan
Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma, terutama setelah
masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan
madzhabZhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazmal-Andalusi) dan para
ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati. Untuk
lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas.
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
Dalil Hukum yang Tidak Disepakati
Selain dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada juga
dalil hukum yangmana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut.
Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan
hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil yang depakati
dan dalil yang tidak disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-
Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi, dan Syaru Man
Qablana.
1. Isthisan
2. Isthisab
3. ‘Urf
Simpulkan bahwa hukum islam itu ada yang disepakati dan ada juga yang tidak
disepakati. Hukum islam yang disepakati itu ada empat yaitu : Al-qur’an, Sunnah, Ijtima’ dan
Qias. Sedangkan hukum islam yang tidak disepakati yaitu : Ihtishab, Ihtisan, masalul mursal,
U’ruf. Inilah hukum-hukum Islam yag ada baik yang disepakati maupun tidak menurut ilmu
ushul fiqh.
Resume Materi-3
Karakteristik Metode Istinbath Hukum Di Lingkungan Madzhab Hanafi
Karakteristik Fiqih Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahli Ra’yi. Meskipun beliau pernah bermukim
di Mekkah dan mempelajari hadis-hadis nabi, serta ilmu-ilmu lain dari para tokoh yang beliau
jumpai, akan tetapi pengalaman yang beliau peroleh dari sekitar Kufah digunakan untuk
memperkaya koleksi hadishadisnya, sementara metodologi kajian fiqhnya mencerminkan aliran
Ahli Ra’yi yang beliau pelajari dari Imam Hammad, dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai
sumber pertama dan kedua. Apabila beliau tidak menemukan ketentuan yang tegas tentang
hukum persoalan yang dikajinya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka beliau mempelajarinya
dari perkataan sahabat baik dalam bentuk ijma’ maupun fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakan
secara eksplisit tentang persoalan-persoalan tersebut, maka beliau mengkajinya melalui qiyas dan
istihsan, atau melihat tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyarakat yang dipegang oleh
mereka.
Secara dasarnya, metode istanbat hukum bagi mazhab Hanafi dapat difahami dari
ungkapan pendirinya sendiri. Imam Abu Hanifah berkata :
“Saya mengambil dari Kitabullah jika ada, jika tidak saya temukan saya mengambil dari
Sunnah dan Atsar dari Rasulullah saw yang shahih dan saya yakini kebenarannya, jika tidak
saya temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, saya cari perkataan Sahabat,
saya ambil yang saya butuhkan dan saya tinggalkan yang tidak saya butuhkan, kemudian saya
tidak akan mencari yang di luar perkataan mereka, jika permasalahan berujung pada Ibrahim,
Sya‟bi, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa‟id bin Musayyib (karena beliau menganggap mereka
adalah mujtahid) maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.
Bertolak dari ungkapan beliau dapat diketahui ada sekitar 7 usul al-istinbat yang
digunakan oleh Imam Abu Hanifah : al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, perkataan shahabat, qiyas,
istihsan dan „urf (adat).
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Ijma` Para Sahabat
4. Qiyas.
5. Istihsan
6. `Uruf (adat)
Dapat di simpulkan uraian di atas ialah Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahli
Ra’yi. sementara metodologi kajian fiqhnya mencerminkan aliran Ahli Ra’yi yang beliau pelajari
dari Imam Hammad, dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama dan kedua.
Apabila beliau tidak menemukan ketentuan yang tegas tentang hukum persoalan yang dikajinya
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka beliau mempelajarinya dari perkataan sahabat baik dalam
bentuk ijma’ maupun fatwa.
Metode istanbat hukum bagi mazhab Hanafi dapat difahami dari ungkapan pendirinya
sendiri.
Bertolak dari ungkapan beliau dapat diketahui ada sekitar 7 usul al istinbat yang
digunakan oleh Imam Abu Hanifah : al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, perkataan shahabat, qiyas,
istihsan dan „urf (adat).
Resume Materi-4
KRAKTERISTIK METODE INSTIBAK HUKUM DI MAZHAB MALIKI
Pengertian Istinbath
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “تنباطLL اس-تنبطLL يس-تنبطLL ”اسyang berarti
mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata dasarnya adalah “)اءLا (المL نبوط-اL نبط-طL ينب-طL” نب
berarti air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath disini adalah suatu
upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang terperinci untuk mencari hukum
syara’ yang bersifat zhanni.
Pengertian Mazhab
Menurut bahasa, mazhab ( )مذهبberasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata
yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” ( )ذهبyang berarti “pergi”. Bisa juga
berarti al-ra’yu (رأىLL )الyang artinya “pendapat”. Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut
istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits.
Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil
dari Al-Qur’an dan hadits.
Resume-5
Resume-6
Karakteristik Metode Istinbath Hukum Di Lingkungan Madzhab Hanbali
Pengertian Istinbath
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “تنباطLL اس-تنبطLL يس-تنبطLL ”اسyang berarti
mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata dasarnya adalah “( نبوط الماء- نبطا- ينبط- ”)نبطberarti
air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath disini adalah suatu upaya
menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang terperinci untuk mencari hukum syara’
yang bersifat zhanni.
Pengertian Madzhab
Menurut bahasa, mazhab ( )مذهبberasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata
yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” ( )ذهبyang berarti “pergi”. Bisa juga
berarti al-ra’yu (رأىLL )الyang artinya “pendapat”. Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut
istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits.
Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil
dari Al-Qur’an dan hadits.
Materi ke-9
Madzhab Fiqh di Luar Aliran Sunni, Madzhab Fiqh Syiah
Pengertian Aliran Syiah
Menurut bahasa, Syi’ah berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan
secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam spiritual dan keagamaanya selalu
merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW, atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait.
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu
juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi
syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara
para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian
pula anak cucunya sepeninggal beliau.
Latar Belakang Munculnya Aliran Syiah.
Secara umum kemunculan aliran syiah bermula dari pergantian kepemimpinan
sepeninggaln rasulullah saw. ali bin abi tahlib meyakini bahwa dia adalah penerus sebenarnya
kepemimpinan rasulullah selanjutnya.Sedangkan Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul
pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pewmerintahan Ali bin Abi Thalib.
Untuk Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengan
masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin
Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang
berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan
dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya.
Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait,
berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat dan kekhalifahan jatuh
ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah.
Sekte-sekte Dari Ajaran Syiah
1) Imamiah
Imamiah adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali
bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena
itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman.
Bagi mereka persoalan imamiah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau
ushuludin. Sekte imamiah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang besar adalah
golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas.
2) Ismailiah
Syiah islamailiah adalah sekte syiah yang berpendapat bahwa imam itu hanya tujuh. Penganut
aliran ismailiah sampai sekarang masih ada, terutama di india, pemimpinnya adalah prince
karim khan, cucu agha khan yang kini menetap di jenewa.
3) Zaidiah
Zaidiah adalah sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein
Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan
Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut mereka Ali
bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Dalam Zaidiah,
seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni: keturunan Fatimah
binti Muhammad SAW, berpengetahuan luas tentang agama, zahid (hidup hanya dengan
beribadah), berjihad dihadapan Allah SWT dengan mengangkat senjata dan berani. Sekte
Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin
Khattab. Dalam hal ini, Ali bn Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar
bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling dekat
dengan sunnah.
Resume ke-10
MAZHAB IMAM AZZHAHARI
Latar belakang dan Sejarah Mazhab Az-Zhahiri
Mazhab az-Zhahiri merupakan salah satu dari ulama fikih yang pernah ada dan muncul
pertama kali di Spanyol dan Afrika Utara. Selain nama Az-Zhahiri, mazhab ini juga dikenal
dengan nama mazhab al-Daudi. Para pengikut mazhab ini disebut Ahl az-Zhahir atau az-
Zahiriyah (penganut ajaran lahiriah).
Mazhab az-Zhahiri dibangun oleh seorang fakih besar yang bernama Daud bin Khalaf al-
Isfahani yang memiliki nama julukan Abu Sulaiman (Daud az-Zhahiri)Daud az-Zhahiri sebagai
pengikut mazhab as-Syafii, dengan tekun mendalami fikih dan ushul fikih (sitem ijtihad) Imam
as-Syafii dan murid-muridnya. Dari penelitian yang mendalam nampak bagi Daud az-Zhahiri
bahwa dalam berijtihad Imam al-Syafii dan murid-muridnya ternyata menggunakan nalar (rasio).
Penggunaaan nalar secara intensif dan efektif oleh Imam as-Syafii dan pengikutnya terlihat jelas
ketika mereka menggunakan qias sebagai pendekatan dalam berijtihad.
Perkembangannya Mazhab Az-Zhahiri
Pada abad keempat H. mazhab Zhahiri ttidak hanya berkembang di Irak dan Iran, tetapi
juga sampai pada wilayah Sind dan Oman.Di dunia timur mazhab az-Zhahiri sebagai mazhab
yang memiliki pengikut berlanjut sampai pertengahan abad kelima. Pada abad kelima yakni saat
mazhab az-Zhahiri mulai mundur didunia belahan Timur, tetapi sebaliknya didunia belahan barat,
tepatnya di Spanyol, justru muncul Ibn Hazm menyebarkan dan membangun mazhab az-Zhahiri,
sehinnga mazhab az-Zhahiri mrnjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak.
Inti dari ajaran dan paham yang berkembang dalam mazhab az-zhahiri berkisar pada
persoalan hukum Islam dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami sumber
tersebut. Konsekuensi logis dari pendapat tersebut adalah adanya perbedaaan pendapat dalam
masalah fikihnya.
Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Quran dan sunnah adalah
makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari illat
seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai cara ijtihad, seperti Imam ibn
Idris al-Syafii. menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh diintervensi oleh akal.
Ulama yang mengakui al-Qias biasanya ingin mengetahui makna tersirat dari suatu
ketentuan al-Quran dan sunnah. Dalam rangka mengetaui dalil dibalik teks, ulama melakukan
pengetahuan sehingga diketaui illat hukumnya, baik illat yang terdapat dalam Nash secara
tekstual (illat manshuhah) maupun illat yang diperoleh setelah melalui penelitian (illat
mustanbathah). Bagi Imam Daud az-Zhahiri, tujuan penentuan syariah adalah Taabbudi (bukan
taaquli).
Adapaun al-dalil yang merupakan langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam
Daud az-Zhahiri dibangun oleh Ibnu Hazm. Ad-dalil adalah suatu metode pemahaman suatu nash
yang menurut ulama mazhab az-Zhahiri, pada hahikatnya tidak keluar dari nas dan atau ijmak itu
sendiri. Dengan pendekatan ad-dalil dilakukan pendekatan kepada nash atau ijmak melalui dilalah
(petunjuknya) secara langsung tanpa harus mengeluarkan illatnya terlebih dahulu. Dengan
demikian, konsep ad-Dalil tidak sama dengan qias, sebab untuk melakukan qias diperlukannya
kesamaan illat secara kasus asal dan kasus baru. Sedangkan pada ad-Dalil tidak diperlukan
mengetahui illat tersebut.
Resume ke-11
SIKAP SEORANG MUSLIM DALAM MENGHADAPI PERBEDAAN
PENDAPAT DALAM MASALAH FIQH / KHILAFIYAH
Pengertian Ikhtilaf
Secara bahasa ikhtilaf berasal dari kata khalafa, yakhlifu, khalfan. Adapun makna khilafan
yaitu berbeda, mengganti, membelakangi, meninggalkan keturunan. Khilafan dapat juga diartikan
dengan bertentangan, tidak sepakat, berselisih paham, perbedaan pendapat atau pikiran yang masih
terjadi di kalangan ulama. secara istilah adalah “Ikhtilaf dan Mukhalifah proses yang dilalui melalui
metode yang berbeda, antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan.”
Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf
1. perbedaan hukum-hukum fikih disebabkan timbulnya ijtihad terhadap hukum, terutama pasca-
Nabi dan sahabat meninggal dunia.
2.
a. Al-Quran terdapat lafad-lafad yang memiliki arti ganda (musytarak), seperti kata quru’. Kata
quru’ memiliki arti suci dan haidh.
b. Perbedaan waktu, tempat dan kasus yang dihadapi.
c. Riwayat.
d. Berbeda dalam menggunakan kaidah-kaidah ushul dalam menetapkan hukum.
e. Berbeda dalil yang digunakannya, seperti istihsan, maslahah mursalah, qaul sahabat, ‘uruf,dan
lain-lain.
f. Perbedaan kapasitas intelektual masing-masing ulama.
Sikap Dan Etika dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat
1. Imam Abu Hanifah. Para sahabat Imam Hanafi dan Imam Syafi’i , serta Imam-Imam yang lain,
berpendapat bahwa, wajib membaca basmalah dalam shalat. Karena basmalah merupakan salah
satu dari ayat dalam surah Al-Fatihah. Pada kebiasaannya di Kota Madinah dilaksanakan shalat
berjama’ah dengan Imam-Imam bermazhab Maliki. Para pengikut Hanafi dan Syafi’i ketika shalat
mengikuti Imam bermazhab Maliki mereka tidak mempersoalkannya.
2. Imam Syafi’i pernah shalat subuh di dekat kuburan Abu Hanifah tanpa kunut untuk menghormati
Imam Abu Hanifah, pada hal kunut menurut Imam Syafi’i termasuk perbuatan sunat ab’ad. 1ni
menunjuk betapa mulia dan hormat Imam Syafi’i kepada ulama, sekalipun tidak sesuai dengan
mazhabnya.
3. Ada penyataan Imam Nawawi menjelaskan bahwa, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas
bertentangan dengan nas qath’i (teks yang pasti)dan ijma’.Adapun masalah ijtihadiyah, maka tidak
bisa saling menganulir/ membatalkan.
4. Ibnu Taymiyah berkata: ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam
suatu masalah saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan
ukhuwah di antara kaum muslimin”. Pernyataan ibnu Taimiyah ini menegaskan perbedaan
pendapat bukan menimbulkan terjadinya permusuhan sesama muslim dan bukan cara memutuskan
tali persuadaraan.
Resume ke-12
PRAKTEK PERBANDINGAN MAZHAB DALAM MASALAH WUDHU MENURUT
MAZHAB YANG EMPAT
Pengertian Wudhu
Menurut bahasa kata wudu dengan membaca dammah pada huruf waw (wudu) adalah nama
untuk suatu perbuatan yang memamfaatkan air digunakan untuk (membersihkan) anggota-anggota badan
tertentu. Wudu secara bahasa diambil dari lafal al-wada’ah, al-hasan, dan an-nazafah yang artinya bagus
dan bersih. Wudu secara bahasa juga diartikan indah dan bersinar. Sedangkan menurut istilah syara’
wudu berarti aktivitas bersuci dengan media air yang berhubungan dengan empat anggota wudu yaitu
muka, dua tangan, kepala, dan dua kaki.
Fardu Wudu Menurut Ulama Mazhab
1. Ulama Mazhab Hanafi
Menurut ulama mazhab Hanafi, jumlah fardu wudu adalah empat hal, yaitu: membasuh muka,
membasuh dua tangan hingga siku, menyapu seperempat kepala, dan membasuh dua kaki hingga
mata kaki.
2. Ulama Mazhab Maliki
Menurut ulama mazhab Maliki, jumlah fardu wudu adalah tujuh hal, yaitu: niat, membasuh muka,
membasuh dua tangan hingga siku, menyapu seluruh kepala, membasuh dua kaki hingga mata kaki,
segera (Muwalat), dan mengosok-gosok anggota yang dibasuh.
3. Ulama Mazhab Syafi’i
Menurut ulama mazhab Syafi’i, jumlah fardu wudu adalah enam hal, yaitu: niat, membasuh muka,
membasuh dua tangan hingga siku, menyapu sebagian kepala, membasuh dua kaki hingga mata kaki
dan tertib.
4. Ulama Mazhab Hambali
Menurut mazhab Hambali, bahwa jumlah fardu wudu itu adalah enam hal, yaitu: membasuh muka,
membasuh dua tangan hingga siku, menyapu seluruh kepala, membasuh dua kaki hingga mata kaki,
tertib (berurutan) dan muwalat (segera).
Resume ke-13
Praktek perbandingan madzhab dalam masalah Sholat menurut Empat
Madzhab
Para fuqoha’ madzhab berbeda pendapat mengenai jumlah rukun-rukun dalam shalat. Madzhab Hanafi
menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 6, yaitu:
takbiratul Ihram
berdiri
membaca Al-Qur’an
rukuk
sujud
duduk di akhir sholat selama tasyahud.
Dalam masalah ini Madzhab Hanafi memiliki pendapat mengenai wajib-wajib shalat yang berbeda
dengan rukun-rukun shalat. Pengertian wajib menurut madzhab ini adalah segala hal yang ditetapkan
dengan dalil yang mengandung syubhat atau kesamaran. Hukum orang yang meninggalkan wajib-
wajib shalat berdosa namun shalatnya tidak batal dan harus menggantinya dengan sujud sahwi. Akan
tetapi, jika dilakukan dengan sengaja maka ia harus mengulangi shalatnya. Wajib-wajib shalat
menurut Madzhab Hanafi7 ada delapan belas sebagai berikut:
Membaca takbir ketika permulaan shalat
Membaca Surat Al-Fatihah
Membaca surat atau ayat Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah
Membaca surat pada dua rakaat pertama dalam shalat fardhu
Mendahulukan bacaan surat Al-Fatihah daripada surat yang lain
Menyatukan hidung dan kening ketika sujud
Urut dalam setiap perbuatan yang dilakukan dalam shalat
Thuma’ninah dalam setiap rukunnya
Duduk pertama (tasyahud awal) setelah dua rakaat pada shalat yang berjumlah tiga atau empat
rakaat
Membaca tasyahud ketika duduk pertama
Membaca tasyahud ketika duduk terakhir sebelum salam
Bergegas bangkit ke rakaat ketiga setelah membaca tasyahud awal
Mengucapkan ‘as-Salam’ tanpa ‘alaikum’ sebanyak dua kali pada akhir shalat sambilmenoleh ke
kanan dan ke kiri
Mengeraskan suara bagi imam pada dua rakaat shalat shubuh, dua rakaat dalam shalatMaghrib dan
Isya’ meski shalatnya qadha’
Membaca pelan bagi imam atau makmum pada shalat Dzuhur dan Ashar selain dua rakaatshalat
Maghrib dan Isya’, serta shalat nafilah pada siang hari
Membaca do’a Qunut dalam shalat witir
Takbir dalam shalat ‘Id
Diam dan mendengarkan imam dalam shalat berjama’ah
Adapun Madzhab Maliki menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 14, yaitu:
Niat
takbiratul ihram
berdiri ketika shalat fardhu
membaca surat Al-Fatihah
membaca Al-Fatihah dengan berdiri
rukuk
bangkit dari rukuk
sujud
duduk diantara dua sujud
salam
duduk ketikasalam
thuma’ninah
i’tidal dari rukuk dan sujud
tartib
Madzhab Syafi’i menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 13, yaitu:
niat
takbiratul ihram
berdiri dalam shalat fardhu bagi yang mampu
membaca Al-Qur’an
rukuk
i’tidal dalam posisi berdiri dan thuma’ninah
sujud
duduk diantara dua sujud dan thuma’ninah
tasyahud
duduk Ketika tasyahud
membaca shalawat kepada nabi
salam
urut dan tertib dalam di setiap rukunnya
Madzhab Hanbali menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 14, yaitu:
takbiratul ihram
berdiri dalam shalat fardhu sesuai kemampuan
membaca Surat Al-Fatihah pada setiap rakaat bagi imam dan orang shalat sendirian
rukuk
i’tidal
sujud
i’tidal dari sujud
duduk di antara dua sujud
thuma’ninah pada setiap rukunnya
duduk tasyahud akhir
membaca tasyahud
membaca shalawat kepada Nabi صلى هللا عليه وسلم,salam ke kanan
urut.
Resume ke-14
Resume ke-15
RAKTEK PERBANDINGAN MADZHAB DALAM MASALAH JUAL BELI MENURUT
MADZHAB YANG EMPAT
“Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang
bermanfaat.”
Dalam definisi ini terkandung pengertian bahwa cara yang khusus yang dimaksudkan ulama
Hanafiyah adalah melalui ijāb(ungkapan membeli dari pembeli) dan qabūl(pernyataan menjual
dari penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan
pembeli. Selain itu, harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia. Sehingga bangkai,
minuman keras, dan darah, tidak termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan, karena benda-
benda itu tidak bermanfaat bagi muslim. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap
diperjualbelikan, menurut ulama Hanafiyah jual belinya tidak sah.
2. Definisi lain dikemukakan ulama Hanabilah, jual beli adalah: “Saling menukar harta dengan
harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.” Dalam hal ini mereka melakukan
penekanan kepada kata “milik dan pemilikan”, karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya
tidak harus dimiliki, seperti sewa-menyewa (Ijārah).
3. Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’:
ََُُُم َقا َبلَُ ُة َما ٍٍل ب ِم ٍَا ٍَ ٍل َت ْملِ ًْ ًْي ًكا
Artinya:“Rasulullah saw. ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa
yang paling baik. Rasulullah ketika itu menjawab usaha tangan manusia sendiri dan setiap
jual beli yang diberkahi”.(HR. Bazzar dan Hakim)
3. Ijma’
Ulama telah sepakat atas kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa
kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan
kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapat kompensasi
yang harus diberikan. Dengan disyariatkannya, jual beli merupakan salah satu cara untuk
merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak bisa
hidup tanpa berhubungan dan bantuan orang lain. Dari beberapa ayat-ayat al-Qur'an, sabda Rasul
serta Ijma’ Ulama’ di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum jual beli itu mubāh
(boleh).Akan tetapi hukum jual beli bisa berubah dalam situasi tertentu.