Anda di halaman 1dari 27

RESUME UJIAN TENGAH SEMESTER DAN

AKHIR SEMESTER
“Perbandingan Madzhab”
Junaidi 11908002
Manajemen Dakwah 4 A

Resume Materi ke-1


Pengertian, Ruang Lingkup Dan Manfaat Mata Kuliah Ilmu Perbandingan
Madzhab Dan Sebab-Sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat Antar Madzhab
Fiqh

 Pengertian Perbandingan Madzhab


1. Pengertian Mazhab
Menurut bahasa Arab. “Mazhab”) berasal dan shighah masdar
mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunujukkan keterangan tempat) dari akar kata
fill madhv ‘dzahaba’ yang bermakna pergi. Jadi, mazhab itu secara bahasa artinva. “tempat
pergi”, yaitu jalan (ath-thariq).
a. Menurut M. Husain Abdullah, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa
hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah
(qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut,
Yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab adalah pokok pikiran atau dasar
yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan
hukum Islam.
Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman sahabat. Misalnya
mazhab Aisyah ra, mazhab Ibn Mas’ud ra, mazhab Ibn Umar. Masing masing memiliki
kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah, sehinga terkadang
pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan dengan pendapat Ibn Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi
semua itu tetap tidak bisa disalahkan karena masing-masing sudah melakukan ijtihad.
 Ruang Lingkup Pembahasan Perbandingan Madzhab
Ruang Lingkup Pembahasan Perbandingan Mazhab
1. Hukum-hukum amaliyah, baik yang disepakati, maupun yang masih diperselisihkan
antara para Mujtahid, dengan membahas cara berijtihad mereka dan sumber-sumber
hukum yang dijadikan dasar oleh mereka dalam menetapkanhukum.
2. Dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para mujtahid, baik dari al-Qur’an maupun
sunnah, atau dalil-dalil lain yang diakui oleh syara’.
3. Hukum-hukum yang berlaku dinegara tempat muqarin hidup, baik hukum
nasional/positif, maupun hukum internasional.
 Manfaat Perbandingan Mazhab
1. Untuk mengetahui pendapat-pendapat para Imam mazhab
2. Untuk mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan setiap Imam Mazhab
(Imam Mujtahid) dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalilnya.
3. Dengan memperhatikan landasan berfikir para Imam Mazhab, orang yang melakukan
studi perbandingan mazhab dapat mengetahui, bahwa dasar-dasar mereka pada
hakikatnya tidak keluar dari Nushush al-Qur’an dan as-Sunnah dengan perbedaan
interprestasi.
 Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab
Sebagaimana yang sudah dipaparkan dalam makalah ini, sesunggubnya intinya
(meminjam bahasanya Prof. Dr. HA. Zahro, MA) lebih dikarenakan dua hal; pertama; perbedaan
persepsi dalam ushul fiqh dan fiqh adalah lazim terjadi, merupakan wewenang seorang mujtahid
selaku pemegang otoritas; kedua. adanya perbedaan interpretasi atau penafsiran sesuai dengan
kapabilitas atau kedalaman keilmuan seorang mujtahid.

Resume Materi-2
Metode Hukum Isntinbat Hukum yang disepakati Oleh ulama Fiqih dan yang
Masih diperdebatkan oleh Ulama Fiqih
 Pengertian Istinbath
Secara etimologis kata istinbath berasal dari kata benda ‘an-nabt’, bentuk masdar dari
nabata-yanbutu-nabtan, yang berarti air yang keluar dari dalam sumur yang kali pertama digali
(al-fahridi, 2003; 184). Sehingga kata istinbath digunakan dalam arti ‘al-istikhraj’
(mengeluarkan) yaitu mengeluarkan atau menjelaskan sesuatu yang sebelumnya masih belum
jelas (al-wahbi, 2007; 32). Secara terminologi kata istinbath berarti upaya mengeluarkan makna
dari Nash (Al-Qur’an dan as-sunnah) yang berkaitan dengan hal-hal yang sulit dan penting
dengan mencurahkan kekuatan nalar dan kemampuan yang optimal (sanu, 2000; 61).Berdasarkan
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa istinbath adalah suatu cara untuk menemukan
beberapa hukum Syara’ yang terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah yang dilakukan dengan
kekuatan nalar dan pikiran.
 Dalil Hukum yang Disepakati
Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan
empat sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati.
Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan
Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma, terutama setelah
masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan
madzhabZhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazmal-Andalusi) dan para
ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati. Untuk
lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas.
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
 Dalil Hukum yang Tidak Disepakati
Selain dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada juga
dalil hukum yangmana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut.
Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan
hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil yang depakati
dan dalil yang tidak disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-
Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi, dan Syaru Man
Qablana.
1. Isthisan
2. Isthisab
3. ‘Urf
Simpulkan bahwa hukum islam itu ada yang disepakati dan ada juga yang tidak
disepakati. Hukum islam yang disepakati itu ada empat yaitu : Al-qur’an, Sunnah, Ijtima’ dan
Qias. Sedangkan hukum islam yang tidak disepakati yaitu : Ihtishab, Ihtisan, masalul mursal,
U’ruf. Inilah hukum-hukum Islam yag ada baik yang disepakati maupun tidak menurut ilmu
ushul fiqh.
Resume Materi-3
Karakteristik Metode Istinbath Hukum Di Lingkungan Madzhab Hanafi
 Karakteristik Fiqih Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahli Ra’yi. Meskipun beliau pernah bermukim
di Mekkah dan mempelajari hadis-hadis nabi, serta ilmu-ilmu lain dari para tokoh yang beliau
jumpai, akan tetapi pengalaman yang beliau peroleh dari sekitar Kufah digunakan untuk
memperkaya koleksi hadishadisnya, sementara metodologi kajian fiqhnya mencerminkan aliran
Ahli Ra’yi yang beliau pelajari dari Imam Hammad, dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai
sumber pertama dan kedua. Apabila beliau tidak menemukan ketentuan yang tegas tentang
hukum persoalan yang dikajinya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka beliau mempelajarinya
dari perkataan sahabat baik dalam bentuk ijma’ maupun fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakan
secara eksplisit tentang persoalan-persoalan tersebut, maka beliau mengkajinya melalui qiyas dan
istihsan, atau melihat tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyarakat yang dipegang oleh
mereka.

 Metode Istinbath Hukum Mazhab Hanafi

Secara dasarnya, metode istanbat hukum bagi mazhab Hanafi dapat difahami dari
ungkapan pendirinya sendiri. Imam Abu Hanifah berkata :

“Saya mengambil dari Kitabullah jika ada, jika tidak saya temukan saya mengambil dari
Sunnah dan Atsar dari Rasulullah saw yang shahih dan saya yakini kebenarannya, jika tidak
saya temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, saya cari perkataan Sahabat,
saya ambil yang saya butuhkan dan saya tinggalkan yang tidak saya butuhkan, kemudian saya
tidak akan mencari yang di luar perkataan mereka, jika permasalahan berujung pada Ibrahim,
Sya‟bi, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa‟id bin Musayyib (karena beliau menganggap mereka
adalah mujtahid) maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.

Bertolak dari ungkapan beliau dapat diketahui ada sekitar 7 usul al-istinbat yang
digunakan oleh Imam Abu Hanifah : al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, perkataan shahabat, qiyas,
istihsan dan „urf (adat).

1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Ijma` Para Sahabat
4. Qiyas.
5. Istihsan
6. `Uruf (adat)

Dapat di simpulkan uraian di atas ialah Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahli
Ra’yi. sementara metodologi kajian fiqhnya mencerminkan aliran Ahli Ra’yi yang beliau pelajari
dari Imam Hammad, dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama dan kedua.
Apabila beliau tidak menemukan ketentuan yang tegas tentang hukum persoalan yang dikajinya
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka beliau mempelajarinya dari perkataan sahabat baik dalam
bentuk ijma’ maupun fatwa.

Metode istanbat hukum bagi mazhab Hanafi dapat difahami dari ungkapan pendirinya
sendiri.

Bertolak dari ungkapan beliau dapat diketahui ada sekitar 7 usul al istinbat yang
digunakan oleh Imam Abu Hanifah : al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, perkataan shahabat, qiyas,
istihsan dan „urf (adat).

Resume Materi-4
KRAKTERISTIK METODE INSTIBAK HUKUM DI MAZHAB MALIKI

 Pengertian Istinbath
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “‫تنباط‬LL‫ اس‬-‫تنبط‬LL‫ يس‬-‫تنبط‬LL‫ ”اس‬yang berarti
mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata dasarnya adalah “)‫اء‬L‫ا (الم‬L‫ نبوط‬-‫ا‬L‫ نبط‬-‫ط‬L‫ ينب‬-‫ط‬L‫” نب‬
berarti air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath disini adalah suatu
upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang terperinci untuk mencari hukum
syara’ yang bersifat zhanni.

 Pengertian Mazhab
Menurut bahasa, mazhab (‫ )مذهب‬berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata
yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” (‫ )ذهب‬yang berarti “pergi”. Bisa juga
berarti al-ra’yu (‫رأى‬LL‫ )ال‬yang artinya “pendapat”. Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut
istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits.
Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil
dari Al-Qur’an dan hadits.

 Sistematika Sumber Hukum Islam


Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Malik
Biografi Imam Malika. Awal kehidupan Nama lengkap beliau adalah Imam Malik bin Anas bin Malik bin
Abi ‘Amir al-asybahi al-‘araby al-Yamaniyah, lahir di Madinah pada tahun 93 H (712 M). Ayahnya
berasal dari kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan ibunya bernama ‘Aliyah binti syuraik dari
kabilah Azdi. Kakek imam Malik datang berhijrah ke negeri Madinah setelah Rasulullah wafat, beliau
merupakan seorang pembesar tabi’in, banyak meriwayatkan hadis dari sahabat, seperti Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Aisyah. Imam malik tidak pernah meninggalkan kota
Madinah, kecuali untuk menunaikan ibadah haji sampai beliau wafat pada tanggal 14 Rabi’ul Awal tahun
179 H dalam usia 87 tahun.

 Metode Istinbat Imam Malik


Imam Malik selaku pencetus madhhab maliki, dalam metetapkan hukum Islam beliau melakukan istinbāt
dari:
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijma' Ahl Al-Madinah
4. Fatwa sahabat
5. Khabar Ahad dan Qiyas
6. Al-Ihtihsan
7. Al-Mashlahah Al-Mursalah
8. Sadd Al-Zara'i
9. Istishab
10. Syar’u Man Qablana

Resume-5

Karakteristik Metode Istinbath Hukum di Lingkungan Madzhab Syafi`I


 Pengertian Istibath
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “‫تنباط‬LL‫ اس‬-‫تنبط‬LL‫ يس‬-‫تنبط‬LL‫ ”اس‬yang berarti
mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata dasarnya adalah “)‫اء‬L‫ا (الم‬L‫ نبوط‬-‫ا‬L‫ نبط‬-‫ط‬L‫ ينب‬-‫ط‬L‫” نب‬
berarti air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath disini adalah suatu
upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang terperinci untuk mencari hukum
syara’ yang bersifat zhanni.

 Sumber Hukum Istinbath Madzhab Syafi’i


Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam Istinbāţ hukum, antara lain :
1. Alquran dan sunnah
2. Ijmak
3. Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i menggunakan lima sumber,
yaitu:
1. Nash-nash baik Alquran dan sunnah
2. Ijma
3. Pendapat Para Sahabat
4. Qiyas
5. Istidlal
6. Kaul Qodim dan Kaul Jadid> Contoh Keputusan Istinbath Madzhab Syafi’i
Salah satu contoh ialah Hukum Memakai Cadar Menurut Madzhab Syafi’i
kalangan madzhab Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa memakai
cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunah, sedang pendapat ketiga adalah khilaful
awla, menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar.

Resume-6
Karakteristik Metode Istinbath Hukum Di Lingkungan Madzhab Hanbali
 Pengertian Istinbath
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “‫تنباط‬LL‫ اس‬-‫تنبط‬LL‫ يس‬-‫تنبط‬LL‫ ”اس‬yang berarti
mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata dasarnya adalah “(‫ نبوط الماء‬-‫ نبطا‬-‫ ينبط‬-‫ ”)نبط‬berarti
air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath disini adalah suatu upaya
menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang terperinci untuk mencari hukum syara’
yang bersifat zhanni.

 Pengertian Madzhab
Menurut bahasa, mazhab ( ‫ )مذهب‬berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata
yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” (‫ )ذهب‬yang berarti “pergi”. Bisa juga
berarti al-ra’yu (‫رأى‬LL‫ )ال‬yang artinya “pendapat”. Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut
istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits.
Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil
dari Al-Qur’an dan hadits.

 Sumber-Sumber Istinbath Madzhab Hanbali


1. nash Alquran dan hadis
2. para sahabat

 Karakteristik Sistem Istinbath Mazhab Imam Ibnu Hanbali


Dasar-dasar mazhab imam ibnu hanbali sebagai berikut:
1. Al-qur’an dan Hadits
2. Fatwa Shahaby
3. Pendapat Sebagian Sahabat 
4. Hadits Mursal atau Da’if
5. Qiyas
> Metode Istinbāţh hukum Imam Ahmad bin Hanbal
Metode Istinbāţh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum apabila beliau telah mendapati
suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum
adalah dengan nash itu.
Resume Uas Perbandingan Mazhab Pertemuan ke
9-15

Materi ke-9
Madzhab Fiqh di Luar Aliran Sunni, Madzhab Fiqh Syiah
 Pengertian Aliran Syiah
Menurut bahasa, Syi’ah berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan
secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam spiritual dan keagamaanya selalu
merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW, atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait.
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu
juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi
syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara
para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian
pula anak cucunya sepeninggal beliau.
 Latar Belakang Munculnya Aliran Syiah.
Secara umum kemunculan aliran syiah bermula dari pergantian kepemimpinan
sepeninggaln rasulullah saw. ali bin abi tahlib meyakini bahwa dia adalah penerus sebenarnya
kepemimpinan rasulullah selanjutnya.Sedangkan Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul
pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pewmerintahan Ali bin Abi Thalib.
Untuk Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengan
masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin
Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang
berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan
dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya.
Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait,
berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat dan kekhalifahan jatuh
ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah.
 Sekte-sekte Dari Ajaran Syiah
1) Imamiah
Imamiah adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali
bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena
itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman.
Bagi mereka persoalan imamiah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau
ushuludin. Sekte imamiah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang besar adalah
golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas.
2) Ismailiah
Syiah islamailiah adalah sekte syiah yang berpendapat bahwa imam itu hanya tujuh. Penganut
aliran ismailiah sampai sekarang masih ada, terutama di india, pemimpinnya adalah prince
karim khan, cucu agha khan yang kini menetap di jenewa.
3) Zaidiah
Zaidiah adalah sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein
Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan
Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut mereka Ali
bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Dalam Zaidiah,
seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni: keturunan Fatimah
binti Muhammad SAW, berpengetahuan luas tentang agama, zahid (hidup hanya dengan
beribadah), berjihad dihadapan Allah SWT dengan mengangkat senjata dan berani. Sekte
Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin
Khattab. Dalam hal ini, Ali bn Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar
bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling dekat
dengan sunnah.
Resume ke-10
MAZHAB IMAM AZZHAHARI
 Latar belakang dan Sejarah Mazhab Az-Zhahiri

Mazhab az-Zhahiri merupakan salah satu dari ulama fikih yang pernah ada dan muncul
pertama kali di Spanyol dan Afrika Utara. Selain nama Az-Zhahiri, mazhab ini juga dikenal
dengan nama mazhab al-Daudi. Para pengikut mazhab ini disebut Ahl az-Zhahir atau az-
Zahiriyah (penganut ajaran lahiriah).
Mazhab az-Zhahiri dibangun oleh seorang fakih besar yang bernama Daud bin Khalaf al-
Isfahani yang memiliki nama julukan Abu Sulaiman (Daud az-Zhahiri)Daud az-Zhahiri sebagai
pengikut mazhab as-Syafi’i, dengan tekun mendalami fikih dan ushul fikih (sitem ijtihad) Imam
as-Syafi’i dan murid-muridnya. Dari penelitian yang mendalam nampak bagi Daud az-Zhahiri
bahwa dalam berijtihad Imam al-Syafi’i dan murid-muridnya ternyata menggunakan nalar (rasio).
Penggunaaan nalar secara intensif dan efektif oleh Imam as-Syafi’i dan pengikutnya terlihat jelas
ketika mereka menggunakan qias sebagai pendekatan dalam berijtihad.
 Perkembangannya Mazhab Az-Zhahiri

Pada abad keempat H. mazhab Zhahiri ttidak hanya berkembang di Irak dan Iran, tetapi
juga sampai pada wilayah Sind dan Oman.Di dunia timur mazhab az-Zhahiri sebagai mazhab
yang memiliki pengikut berlanjut sampai pertengahan abad kelima. Pada abad kelima yakni saat
mazhab az-Zhahiri mulai mundur didunia belahan Timur, tetapi sebaliknya didunia belahan barat,
tepatnya di Spanyol, justru muncul Ibn Hazm menyebarkan dan membangun mazhab az-Zhahiri,
sehinnga mazhab az-Zhahiri mrnjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak.

 Metode Istimbath Mazhab Az-Zhahiri

Inti dari ajaran dan paham yang berkembang dalam mazhab az-zhahiri berkisar pada
persoalan hukum Islam dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami sumber
tersebut. Konsekuensi logis dari pendapat tersebut adalah adanya perbedaaan pendapat dalam
masalah fikihnya.

Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur’an dan sunnah adalah
makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari ‘illat
seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai cara ijtihad, seperti Imam ibn
Idris al-Syafi’i. menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh diintervensi oleh akal.
Ulama yang mengakui al-Qias biasanya ingin mengetahui makna tersirat dari suatu
ketentuan al-Qur’an dan sunnah. Dalam rangka mengetaui dalil dibalik teks, ulama melakukan
pengetahuan sehingga diketaui ‘illat hukumnya, baik ‘illat yang terdapat dalam Nash secara
tekstual (‘illat manshuhah) maupun ‘illat yang diperoleh setelah melalui penelitian (‘illat
mustanbathah). Bagi Imam Daud az-Zhahiri, tujuan penentuan syari’ah adalah Ta’abbudi (bukan
ta’aquli).

Adapaun al-dalil yang merupakan langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam
Daud az-Zhahiri dibangun oleh Ibnu Hazm. Ad-dalil adalah suatu metode pemahaman suatu nash
yang menurut ulama mazhab az-Zhahiri, pada hahikatnya tidak keluar dari nas dan atau ijmak itu
sendiri. Dengan pendekatan ad-dalil dilakukan pendekatan kepada nash atau ijmak melalui dilalah
(petunjuknya) secara langsung tanpa harus mengeluarkan ‘illatnya terlebih dahulu. Dengan
demikian, konsep ad-Dalil tidak sama dengan qias, sebab untuk melakukan qias diperlukannya
kesamaan illat secara kasus asal dan kasus baru. Sedangkan pada ad-Dalil tidak diperlukan
mengetahui illat tersebut.

Resume ke-11
SIKAP SEORANG MUSLIM DALAM MENGHADAPI PERBEDAAN
PENDAPAT DALAM MASALAH FIQH / KHILAFIYAH

 Pengertian Ikhtilaf
Secara bahasa ikhtilaf berasal dari kata khalafa, yakhlifu, khalfan. Adapun makna khilafan
yaitu berbeda, mengganti, membelakangi, meninggalkan keturunan. Khilafan dapat juga diartikan
dengan bertentangan, tidak sepakat, berselisih paham, perbedaan pendapat atau pikiran yang masih
terjadi di kalangan ulama. secara istilah adalah “Ikhtilaf dan Mukhalifah proses yang dilalui melalui
metode yang berbeda, antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan.”
 Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf
1. perbedaan hukum-hukum fikih disebabkan timbulnya ijtihad terhadap hukum, terutama pasca-
Nabi dan sahabat meninggal dunia.
2.
a. Al-Quran terdapat lafad-lafad yang memiliki arti ganda (musytarak), seperti kata quru’. Kata
quru’ memiliki arti suci dan haidh.
b. Perbedaan waktu, tempat dan kasus yang dihadapi.
c. Riwayat.
d. Berbeda dalam menggunakan kaidah-kaidah ushul dalam menetapkan hukum.
e. Berbeda dalil yang digunakannya, seperti istihsan, maslahah mursalah, qaul sahabat, ‘uruf,dan
lain-lain.
f. Perbedaan kapasitas intelektual masing-masing ulama.
 Sikap Dan Etika dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat
1. Imam Abu Hanifah. Para sahabat Imam Hanafi dan Imam Syafi’i , serta Imam-Imam yang lain,
berpendapat bahwa, wajib membaca basmalah dalam shalat. Karena basmalah merupakan salah
satu dari ayat dalam surah Al-Fatihah. Pada kebiasaannya di Kota Madinah dilaksanakan shalat
berjama’ah dengan Imam-Imam bermazhab Maliki. Para pengikut Hanafi dan Syafi’i ketika shalat
mengikuti Imam bermazhab Maliki mereka tidak mempersoalkannya.

2. Imam Syafi’i pernah shalat subuh di dekat kuburan Abu Hanifah tanpa kunut untuk menghormati
Imam Abu Hanifah, pada hal kunut menurut Imam Syafi’i termasuk perbuatan sunat ab’ad. 1ni
menunjuk betapa mulia dan hormat Imam Syafi’i kepada ulama, sekalipun tidak sesuai dengan
mazhabnya.
3. Ada penyataan Imam Nawawi menjelaskan bahwa, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas
bertentangan dengan nas qath’i (teks yang pasti)dan ijma’.Adapun masalah ijtihadiyah, maka tidak
bisa saling menganulir/ membatalkan.
4. Ibnu Taymiyah berkata: ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam
suatu masalah saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan
ukhuwah di antara kaum muslimin”. Pernyataan ibnu Taimiyah ini menegaskan perbedaan
pendapat bukan menimbulkan terjadinya permusuhan sesama muslim dan bukan cara memutuskan
tali persuadaraan.

Resume ke-12
PRAKTEK PERBANDINGAN MAZHAB DALAM MASALAH WUDHU MENURUT
MAZHAB YANG EMPAT
 Pengertian Wudhu
Menurut bahasa kata wudu dengan membaca dammah pada huruf waw (wudu) adalah nama
untuk suatu perbuatan yang memamfaatkan air digunakan untuk (membersihkan) anggota-anggota badan
tertentu. Wudu secara bahasa diambil dari lafal al-wada’ah, al-hasan, dan an-nazafah yang artinya bagus
dan bersih. Wudu secara bahasa juga diartikan indah dan bersinar. Sedangkan menurut istilah syara’
wudu berarti aktivitas bersuci dengan media air yang berhubungan dengan empat anggota wudu yaitu
muka, dua tangan, kepala, dan dua kaki.
 Fardu Wudu Menurut Ulama Mazhab
1. Ulama Mazhab Hanafi
Menurut ulama mazhab Hanafi, jumlah fardu wudu adalah empat hal, yaitu: membasuh muka,
membasuh dua tangan hingga siku, menyapu seperempat kepala, dan membasuh dua kaki hingga
mata kaki.
2. Ulama Mazhab Maliki
Menurut ulama mazhab Maliki, jumlah fardu wudu adalah tujuh hal, yaitu: niat, membasuh muka,
membasuh dua tangan hingga siku, menyapu seluruh kepala, membasuh dua kaki hingga mata kaki,
segera (Muwalat), dan mengosok-gosok anggota yang dibasuh.
3. Ulama Mazhab Syafi’i
Menurut ulama mazhab Syafi’i, jumlah fardu wudu adalah enam hal, yaitu: niat, membasuh muka,
membasuh dua tangan hingga siku, menyapu sebagian kepala, membasuh dua kaki hingga mata kaki
dan tertib.
4. Ulama Mazhab Hambali
Menurut mazhab Hambali, bahwa jumlah fardu wudu itu adalah enam hal, yaitu: membasuh muka,
membasuh dua tangan hingga siku, menyapu seluruh kepala, membasuh dua kaki hingga mata kaki,
tertib (berurutan) dan muwalat (segera).

Resume ke-13
Praktek perbandingan madzhab dalam masalah Sholat menurut Empat
Madzhab

Para fuqoha’ madzhab berbeda pendapat mengenai jumlah rukun-rukun dalam shalat. Madzhab Hanafi
menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 6, yaitu:

 takbiratul Ihram
 berdiri
 membaca Al-Qur’an
 rukuk
 sujud
 duduk di akhir sholat selama tasyahud.
Dalam masalah ini Madzhab Hanafi memiliki pendapat mengenai wajib-wajib shalat yang berbeda
dengan rukun-rukun shalat. Pengertian wajib menurut madzhab ini adalah segala hal yang ditetapkan
dengan dalil yang mengandung syubhat atau kesamaran. Hukum orang yang meninggalkan wajib-
wajib shalat berdosa namun shalatnya tidak batal dan harus menggantinya dengan sujud sahwi. Akan
tetapi, jika dilakukan dengan sengaja maka ia harus mengulangi shalatnya. Wajib-wajib shalat
menurut Madzhab Hanafi7 ada delapan belas sebagai berikut:
 Membaca takbir ketika permulaan shalat
 Membaca Surat Al-Fatihah
 Membaca surat atau ayat Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah
 Membaca surat pada dua rakaat pertama dalam shalat fardhu
 Mendahulukan bacaan surat Al-Fatihah daripada surat yang lain
 Menyatukan hidung dan kening ketika sujud
 Urut dalam setiap perbuatan yang dilakukan dalam shalat
 Thuma’ninah dalam setiap rukunnya
 Duduk pertama (tasyahud awal) setelah dua rakaat pada shalat yang berjumlah tiga atau empat
rakaat
 Membaca tasyahud ketika duduk pertama
 Membaca tasyahud ketika duduk terakhir sebelum salam
 Bergegas bangkit ke rakaat ketiga setelah membaca tasyahud awal
 Mengucapkan ‘as-Salam’ tanpa ‘alaikum’ sebanyak dua kali pada akhir shalat sambilmenoleh ke
kanan dan ke kiri
 Mengeraskan suara bagi imam pada dua rakaat shalat shubuh, dua rakaat dalam shalatMaghrib dan
Isya’ meski shalatnya qadha’
 Membaca pelan bagi imam atau makmum pada shalat Dzuhur dan Ashar selain dua rakaatshalat
Maghrib dan Isya’, serta shalat nafilah pada siang hari
 Membaca do’a Qunut dalam shalat witir
 Takbir dalam shalat ‘Id
 Diam dan mendengarkan imam dalam shalat berjama’ah
Adapun Madzhab Maliki menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 14, yaitu:
 Niat
 takbiratul ihram
 berdiri ketika shalat fardhu
 membaca surat Al-Fatihah
 membaca Al-Fatihah dengan berdiri
 rukuk
 bangkit dari rukuk
 sujud
 duduk diantara dua sujud
 salam
 duduk ketikasalam
 thuma’ninah
 i’tidal dari rukuk dan sujud
 tartib
Madzhab Syafi’i menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 13, yaitu:
 niat
 takbiratul ihram
 berdiri dalam shalat fardhu bagi yang mampu
 membaca Al-Qur’an
 rukuk
 i’tidal dalam posisi berdiri dan thuma’ninah
 sujud
 duduk diantara dua sujud dan thuma’ninah
 tasyahud
 duduk Ketika tasyahud
 membaca shalawat kepada nabi
 salam
 urut dan tertib dalam di setiap rukunnya
Madzhab Hanbali menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 14, yaitu:
 takbiratul ihram
 berdiri dalam shalat fardhu sesuai kemampuan
 membaca Surat Al-Fatihah pada setiap rakaat bagi imam dan orang shalat sendirian
 rukuk
 i’tidal
 sujud
 i’tidal dari sujud
 duduk di antara dua sujud
 thuma’ninah pada setiap rukunnya
 duduk tasyahud akhir
 membaca tasyahud
 membaca shalawat kepada Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬,salam ke kanan
 urut.
Resume ke-14

Praktek Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Zakat Menurut Empat Mazhab


Zakat fitrah merupakan salah satu ibadah mahdoh serta rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh
seluruh umat muslim. Kewajiban menunaikan zakat khususnya zakat fitrah juga telah ada hukumnya pada
beberapa ayat dalam Al-Qur‟an. Bentuk penunaian zakat fitrah juga telah dijelaskan dalam beberapa
hadits Rasulullah yang sahih dan juga beberapa hadits yang menguatkannya. Dalam kalangan masyarakat
terlebih di Indonesia yang mayoritas atau sebagian besar menganut mazhab Syafi‟i namun juga ada
beberapa kalangan masyarakat yang menganut mazhab lainnya yang dimana dari masing-masing mazhab
itu terdapat perbedaan pendapat tentang bagaimana kebolehan pembayaran zakat fitrah dengan uang atau
dengan harganya.
Dasar Hukum Zakat Fitrah Zakat fitrah mulai diperintahkan pada tahun kedua hijriyah yaitu
tahun dimana mulai diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan kepada kaum Muslimin, tepatnya
perintah itu disampaikan oleh Rasulullah SAW pada dua hari menjelang hari raya „Idul fitri pada tahun
itu. Zakat fitrah yang biasanya dibayarkan oleh orang Islam menjelang hari Raya ‘Idul fitri ini, dalam
masalah hukumnya terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama‟. Jumhur ulama‟ mengatakan
bahwa hukum zakat fitrah adalah wajib25 yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Islam. Berikut
adalah ayat alqur‟an yang menjadi sumber hukum kewajiban menunaikan zakat fitrah, di antaranya
adalah Artinya : “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa yang kamu usahakan dari
kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah:110).26
Hanafi menyatakan bahwa zakat itu wajib bukan fardhu. Fardhu menurut mereka segala sesuatu
yang di tetapkan oleh dalil qath'i, sedangkan wajib adalah segala sesuatu yang di tetapkan oleh dalil
zanni. Hal ini berbeda dengan imam yang tiga. Menurut mereka fardhu mencakup dua bagian: fardhu
yang di tetapkan berdasarkan dalil qath'i dan fardhu yang ditetapkan berdasar dalil zanni. Berdasarkan
uraian di atas diketahui bahwa Hanafi tidak berbeda dengan mazhab yang tiga dari segi hukum, tetapi
hanyalah perbedaan dalam peristilahan saja dan ini tidak ada perbedaan secara subtansial. Di samping
landasan yang sharih dan qath‟I dari Al-Qur‟an dan Hadits, kewajiban membayar zakat diperkuat pula
dengan dalil ijma‟ para sahabat. Khalifah Abu Bakar, pada awal pemerintahannya dihadapkan dengan
satu masalah besar yaitu munculnya golongan yang enggan membayar zakat, sedang mereka mengaku
Islam. Berdasarkan ijtihadnya yang didukung sahabat-sahabat lain, maka tanpa ragu beliau mengambil
tindakan tegas yaitu memerangi golongan pembangkang tersebut. Dan kewajiban ini terus berlangsung
sampai kepada khalifah-khalifah berikutnya.
Orang yang menentang kewajiban zakat dihukumi kafir yang enggan menunaikannya diperangi
dan dipungut zakat daripadanya secara paksa, sekalipun ia tidak memerangi. Wajib zakat atas setiap
muslim, sekalipun tidak Mukallaf ; maka bagi sang wali wajib mengeluarkan zakat untuk orang yang di
walii dari hartanya sendiri. Orang kafir asli tidak berkewajiban menunaikan zakat, sekalipun pernah
masuk Islam. Zakat fitrah wajib bagi kaum muslim, baik laki-laki, wanita, merdeka maupun hamba
sahaya. Hal ini berdasarkan sebuah hadits riwayat Ibnu Umar yakni Artinya : “dari ibnu umar, ra. Dia
berkata: “Rasulullah SAW. telah mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah satu sha‟ kurma atau satu sha‟
gandum atas hamba sahaya ataupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak-anak atau dewasa,
dari orang-orang (yang mengaku) Islam. Dan beliau menyuruh menyerahkan sebelum orang keluar dari
shalat Hari Raya Fithrah.” (muttafaqun alaihi)
Adapun tentang waktu yang utama untuk mengeluarkan zakat fitrah terdapat perbedaan pendapat
diakalangan para ulama.
1. Imam Bughari menerima riwayat dari Ibnu Umar bahwa para sahabat mengeluarkan zakat fitrah itu
satu hari atau dua hari sebelum Idul Fitri.
2. Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Annas bin Malik sependapat dengan keterangan tersebut.
3. Sedangkan imam Syafi‟I boleh saja zakat fitrah dikeluarkan pada permulaan bulan ramadhan, wajib
nya adalah pada malam hari raya.38 Dan alangkah lebih baik jika muzaki tersebut memberikan
zakatnya setengah bulan sebelum hari raya, untuk memudahkan amil dalam mengumpulkannya dan
diharapkan sebelum matahari bersinar zakat fitrah telah berada di tangan mustahik.

Resume ke-15
RAKTEK PERBANDINGAN MADZHAB DALAM MASALAH JUAL BELI MENURUT
MADZHAB YANG EMPAT

 Pengertian jual beli dalam empat madzhab


Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu “jual dan beli”. Sebenarnya kata
“jual” dan “beli” mempunyai arti yang satu sama lainnya bertolak belakang. Kata jual menunjukkan
bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli. Dengan
demikian perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu
pihak menjual dan pihak yang lain membeli, maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual
beli.Dari ungkapan di atas terlihat bahwa perjanjian jual beli itu terlibat dua pihak yang saling
menukar atau melakukan pertukaran.
1. Ulama Hanafiyah

ٍ ٍْ ‫ب ف ِْ ِِْي ِه ِب ِم ِْ ِْث ِل َعلَ َى َو‬ ُ


ٍ ‫ْج ٍه ََُُم َقيَّ ٍ ٍد َم ْخص ٍْ ٍُْو‬
‫ص‬ ٍ ‫ُم َبادَ لَ ُة َش ٍْي‬
ٍ ‫ٍْئ َمرْ ُغ ٍْ ٍْو‬

“Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang
bermanfaat.”
Dalam definisi ini terkandung pengertian bahwa cara yang khusus yang dimaksudkan ulama
Hanafiyah adalah melalui ijāb(ungkapan membeli dari pembeli) dan qabūl(pernyataan menjual
dari penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan
pembeli. Selain itu, harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia. Sehingga bangkai,
minuman keras, dan darah, tidak termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan, karena benda-
benda itu tidak bermanfaat bagi muslim. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap
diperjualbelikan, menurut ulama Hanafiyah jual belinya tidak sah.
2. Definisi lain dikemukakan ulama Hanabilah, jual beli adalah: “Saling menukar harta dengan
harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.” Dalam hal ini mereka melakukan
penekanan kepada kata “milik dan pemilikan”, karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya
tidak harus dimiliki, seperti sewa-menyewa (Ijārah).
3. Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’:
ُ‫ََُُم َقا َبلَُ ُة َما ٍٍل ب ِم ٍَا ٍَ ٍل َت ْملِ ًْ ًْي ًكا‬

“Pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki”


4. Mazhab Maliki
Menurut Mazhab Maliki, jual beli atau bai’ menurut istilah ada dua pengertian, yakni:
 Pengertian untuk seluruh satuannya bai’ (jual beli), yang mencakup akad sharaf, salam dan lain
sebagainya.
 Pengertian untuk satu satuan dari beberapa satuan yaitu sesuatu yang dipahamkan dari lafal bai’
secara mutlak menurut uruf (adat kebiasaan).
5. Mazhab Syafi’i
Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan bahwa jual beli menurut syara’ ialah akad penukaran harta
dengan harta dengan cara tertentu. Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual
beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela
di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati.
 Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli merupakan suatu bentuk kerjasama tolong menolong antar sesama manusia mempunyai
landasan yang kuat dalam al-Qur'an, al-Sunnah dan Ijma’, yaitu di antaranya:
1. Beberapa ayat al-Qur’an tentang jual beli:
a. Surat al-Baqarah ayat 275
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah: 275)
b. Surat al-Baqarah ayat 198
“tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu.”(QS. Al-Baqarah : 198)
c. Surat an-Nisā’ ayat 29
2. Landasan as-Sunnah antara lain:
a. Hadist dari Rifa’I ibn Rafi’:
)‫ ع َُم ُل الرَّ ُ ِج ِل ِب َي ِد ِه ََو ُآ ُ ُّل َب ٍْي ٍٍْع َم ْبر ٍْ ٍُْو ٍر (رواه البزار و الحاآم‬:‫ب أَ ْط َُيبُ ؟ َفقا َ َل‬
ِ ِ‫َصلى اﷲ َعل ُُْْي ََع ْلي ِ ِه ِه ََو َس َّل َ َم َأيُّ ْالك ْس‬
َ ُّ‫س َ َِِئ َل النَّ ِِبي‬

Artinya:“Rasulullah saw. ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa
yang paling baik. Rasulullah ketika itu menjawab usaha tangan manusia sendiri dan setiap
jual beli yang diberkahi”.(HR. Bazzar dan Hakim)
3. Ijma’
Ulama telah sepakat atas kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa
kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan
kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapat kompensasi
yang harus diberikan. Dengan disyariatkannya, jual beli merupakan salah satu cara untuk
merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak bisa
hidup tanpa berhubungan dan bantuan orang lain. Dari beberapa ayat-ayat al-Qur'an, sabda Rasul
serta Ijma’ Ulama’ di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum jual beli itu mubāh
(boleh).Akan tetapi hukum jual beli bisa berubah dalam situasi tertentu.

Anda mungkin juga menyukai