Anda di halaman 1dari 28

Mata Kuliah Dosen Pembimbing

Ushul Fiqh Adam Malik, LC,MA

Sumber Hukum yang Diperselisihkan

Disusun Oleh:
Kelompok 3

Nama NIM
Irma Nur Rahmawati : 12210122473
Atiqa Nazira : 12210122550
Nur Rahmadani Fitri : 12210122669

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTA SYARIF KASIM RIAU

2024
PENDAHULUAN

Dalam mempelajari hukum Islam, penting untuk tahu dari mana aturan-
aturan itu berasal. Ada beberapa sumber, seperti Al-Qur'an, Hadis, Ijma', Qiyas,
istihsan, dan maṣlahah mursalah. Tapi terkadang, ada perbedaan pendapat soal
kekuatan aturan dari sumber-sumber itu. Ada yang menganggap istihsan, yang
mempertimbangkan keadilan, dan maṣlahah mursalah, yang memikirkan kebaikan
umum, juga harus dipertimbangkan.

Perbedaan ini adalah bagian dari diskusi di dunia hukum Islam. Dengan
berdiskusi dan memahami pandangan yang berbeda, umat Islam dapat lebih
banyak tahu soal hukum Islam. Fokus pada prinsip keadilan, kebaikan, dan
manfaat merupakan hal penting agar hukum Islam tetap relevan bagi masyarakat
sekarang.

Maka dari itu, pembahasan tentang sumber-sumber hukum dalam Ushul


Fiqh bukan hanyasoal aturan hukum, tapi juga menggambarkan perkembangan
pemikiran dalam hukum Islam. Dengan menghormati perbedaan pendapat, umat
Islam bisa lebih paham tentang hukum Islam dalam konteks zaman sekarang.

2
PEMBAHASAN

A. Mazhab Asshahabi
1. Pengertian Mazhab asshahabi
Secara etimologi As-shahabi adalah mufrad dari shahabat, yang diambil
dari kata-kata shahiba-yashahabushuhbatan dan shahabatan yang bermakna
bergaul dengan seseorang.1
merupakan dalil para ulama hukum fiqh untuk mengatasi permasalahan
yang ada di kalangan umat Islam. Mazhab shahabi berarti pendapat seorang
sahabat, dan pendapat itu menyebar ke sahabat lain tanpa ada sahabat yang
menentangnya. Mazhab shahabi adalah salah satu dari referensi aturan Islam
dari zaman Tabi’in. Di kalangan ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan
mazhab shahabi.
Mazhab shahabi adalah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai
masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah Saw. Wafat. Fatwa-fatwa tersebut
ada yang telah dikumpulkan sebagaimana mereka mengumpulkan hadis-hadis
Rasulullah Saw.
Masalah mazhab sahabat ini muncul, karena para tabi’in dan tabi’it
tabi’in banyak yang membukukan dan meriwayatkan fatwa sahabat secara
teratur, sehingga menyamai pembukuan sunah-sunnah tidak mendapatkan
Rasul. Perkataan sahabat yang tidak mendapatkan tantangan (reaksi) dari
sahabat lain adalah menjadi hujah bagi orang islam. Dalam hal ini karena
persesuaian antara para sahabat dalam suatu masalah pada masa mereka hidup
masih dekat dengan masa hidup Rasulullah saw. Pengetahuan para sahabat yang
mendalam mengenai rahasia syari’ah itu adalah menjadi bukti berdasarkan dalil
yang qath’I dari Rasulullah saw.

2. Pendapat Ulama

1
Nurkholis . HUJJAH QAUL SHAHABAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. . Jurnal
Pemikiran Dan Penelitian Pendidikan Islam. Volume 1, Nomor 1(2018). Hal. 31

3
a. Suatu pendapat menyebutkan bahwa mazhab shahabi dapat dijadikan
hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu Bakar ar-Razi, Abu Said
sahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam Madzhab
qadimnya, dan dalam satu riwayat Imam Ahmad Bin Hanbal.Alasan
pendapat ini adalah firman Allah SWT:
‫اّٰلل ۗ َولَ ْو ٰا َمنَ اَ ْه ُل‬ ِ ‫ف َوتَ ْن َه ْونَ َع ِن ْال ُم ْنك َِر َوتُؤْ ِمنُ ْونَ بِ ه‬ ِ ‫اس تَأ ْ ُم ُر ْونَ بِ ْال َم ْع ُر ْو‬ ْ ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر ا ُ َّم ٍة ا ُ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت ِللن‬
َ‫ب لَ َكانَ َخي ًْرا لَّ ُه ْم ۗ ِم ْن ُه ُم ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ َواَ ْكث َ ُر ُه ُم ْال ٰف ِسقُ ْون‬
ِ ‫ْال ِك ٰت‬

Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali-Imran: 110)
Dari segi alasan aqli (logika), terdapat alasan pendapat sahabat dapat
dijadikan hujjah yaitu :
1) Kemungkinan pendapat tersebut berasal dari Rasulullah
2) Keakraban selama bertahun-tahun dengan Nabi telah memberi mereka
pengalaman yang sangat luas dalam memahami hukum dan tujuan
syariah.
3) Mereka belajar langsung dari Rasulullah sehingga diyakini pendapat
sahabat merupakan kebenaran.
4) Mereka merupakan generasi terbaik yang mempunyai sifat ‘adalah’
serta kemungkinan tidak melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan.
b. Satu pendapat berkata bahwa mazhab shahabi secara absolut tidak bisa
menjadi hujjah/dasar aturan. Pendapat ini berasal dari jumhur Asya’iyah dan
Mu’tazilah, dan Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah, ulama
kontemporer Madzhab Maliki serta Hanafi, Ibnu Hazm.
Pendapat mereka didasarkan pada firman Allah:
‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫فَا ْعتَبِ ُر ْوا ٰ ٰٓياُو ِلى ْاْلَ ْب‬
Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-
orang yang mempunyai pandangan”. (QS. Al-Hasyr:2)

4
Dari ayat di atas dipahami bahwa diperintahkan orang-orang yang memiliki
nalar untuk melakukan ijtihad, sekaligus melarang bertaklid bagi orang
yang mempunyai kapasitas intelektual yang tinggi, apalagi bila mazhab
shahabi tadi bertentangan dengan al-Qiyas. Karena, al-Qiyas ialah dalil
keempat sesudah al-Qur’an, Sunnah, serta Ijma. Oleh sebab itu, tidak boleh
mengikuti mazhab shahabi yang bertentangan dengan al-qiyas, sebab
kedudukannya lebih tinggi dari mazhab shahabi.
c. Mazhab Hanafi Imam Malik, Imam Syafi’i, dan pendapat yang paling kuat
adalah dari Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa pendapat sahabat
merupakan hujjah dan bila pendapat sahabat bertentangan denganQiyas
maka pendapat sahabat didahulukan.2

3. Contoh Masalah Mazhab asshahabi


Hukum Shalat Jum’at Bagi Yang Shalat ‘Id
a. Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban shalat jum’at bagi ahli
balad adapun ahli qura dirukhsah. Imam As-Syafi’i berdalilkan: Sebuah
riwayat yang diriwayatkan oleh Imam malik dari Ibnu Syihab dari Abi
U’baid bekas hamba sahaya Ibnu Azhar, dia berkata, ”Saya melakukan
shalat ‘id bersama Utsman Bin Affan maka utsman shalat lalu berkhutbah
dab berkata, ‘Sesungguhnya telah berkumpul pada hari ini dua ‘id, maka
barang siapa yang hendak menunggu dari ahli a’liyah maka tunggulah dan
barang siapa yang hendak pulang maka telah diizinkan baginya”.
b. Imam Ahmad berpendapat bahwa shalat jum’at tidak usah dikerjakan bagi
mereka yang melaksanakan shalat ‘id baik ahli balad atau ahli qura kecuali
Imam. Adapun Imam ahmad berdalilkan: Apa yang diriwayatkan Iyas bin
Abi Ramlah Asy-Syami, dia berkata, ”Saya melihat Mu’awiyah bertanya
kepada Zaid bin Arqam, ”Apakah engkau pernah mendapatkan dua ‘id
bersatu pada satu hari bersama Rasulullah Saw.?, maka Zaid berkata, ”Iya”.
“Maka bagaimana hukumnya?” Zaid menjawab, ”Shalat ‘Id kemudian

2
. Nuri Aslami. Mazhab Shahabi Dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Kontemporer. Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Islam Volume 1, Nomor 1, Januari 2022. Hal. 4

5
dirukhsah pada shalat jum’at”. Lalu Zaid berkata,” Barang siapa yang
hendak shalat (baca: shalat jum’at) maka shalatlah”. ( HR. Abu Daud),
selain itu ada pula berdalih pada hadis: Dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah saw bersabda, ”Telah berkumpul pada hari ini dua ‘Id, maka
barang siapa yang ingin shalat jum’at shalatlah, karena sesungguhnya kami
shalat jum’at”. ( HR. Abu Daud)
c. Adapun Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa shalat
jum’at dan shalat ‘Id wajib keduanya untuk dilaksanakan. Abu Hanifah
berdalilkan bahwa hukum melaksanakan shalat jum’at adalah wajib
adapun shalat ‘id maka bagi siapa yang meninggalkannya berarti sesat dan
bid’ah.3

B. Maslahah Al- Mursalah


1. Pengertian Maṣlahah Al- Mursalah
Secara etimologis “Maṣlahah mursalah” terdiri dua suku kata, yaitu
maslahah dan mursalah. Al-maṣlahah adalah bentuk mufrad dari Al maṣalih.
Maṣlahah berasal dari kata ṣalah dengan penambahan “alif” dii awalnya yang
secara arti kata berarti “baik” lawan kata dari “buruk” atau “rusak”. Adalah
mashdar dengan arti kata ṣalah, yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya
kerusakan”. Kata maṣlahah ini juga telah ditetapkan dalam kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI) yang berarti “sesuatu yang mendatangkan kebaikan”.
Adapun pengertian maṣlahah dalam bahasa Arab memiliki arti “suatu
perbuatan-perbuatan yang mendorong manusia menuju kebaikan”. Dalam arti
yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam
arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan dan
ketenangan, maupun dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak
kemudaratan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut
disebut Maṣlahah
Secara terminologis, maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang
keberadaannya tidak didukung syara’ ataupun juga tidak ditolak oleh dalil-dalil

3
Nurkholis, loc.cit., 39

6
terperincinya syara’. Disebut suatu maṣlahah, karena hukum yang ditetapkan
berdasarkan maṣlahah ini dapat menghindarkan Mukallaf dari suatu bahaya
atau kerusakan, namun sebaliknya Maṣlahah tersebut akan mendatangkan
kemanfaatan dan kebaikan bagi Mukallaf.
Maṣlahah mursalah atau yang juga biasa disebut istiṣlah, yaitu apa yang
dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan
hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang menolaknya.

2. Pendapat Ulama
a. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya maslahah itu berarti
sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan
mudarat (kerusakan).
b. Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi al-
Ghazali diatas yaitu memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)
dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia. Definisi ini memiliki
kesamaan dengan definisi al-Ghazali dari segi arti dan tujuannya, karena
menolak kerusakan itu mengandung arti menarik kemanfaatan, dan
menolak kemaslahatan berarti menarik kerusakan.
c. Al-Iez ibn Abdi al-Salam dalam kitabnya Qowaid al-Ahkam, memberikan
arti maslahah dalam bentuk hakikinya dengan “kesenangan dan
kenikmatan”. Sedangkan bentuk majazi-nya adalah sebab-sebab yang
mendatangkan kesenangan dan kenikmatan tersebut. Arti ini didasarkan
bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan dan
sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.

3. Pembagian Maṣlahah
a. Maṣlahah al-Ḍurariyyah yaitu, kemaslahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan yang
seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3)
memelihara akal, (4) memelihara keturunan, dan (5) memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini disebut dengan al maṣalih alkhamsah.

7
b. Maṣlahah al-Hajiyyah yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang
berbentuk keringanan, hal tersebut demi mempertahankan dan memelihara
kebutuhan mendasar manusia. Misalnya dalam bidang ibadah diberi
keringanan meringkas (qaṣr) sholat dan berbuka puasa bagi orang yang
sedang musafir; dalam bidang muamalah diperbolehkan berburu binatang
dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli
pesanan (bay’ al-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan
perkebunan (musaqqah). Semuanya ini disyariatkan Allah untuk
mendukung kebutuhan mendasar al maṣalih al-khamsah diatas.
c. Maṣlahah Al-Tahsiniyyah Yaitu, kemaslahatan yang sifatnya sebagai suatu
pelengkap, berupa keleluasaan atau kebebasan yang dapat melengkapi
kemaslahatan sebelumnya. Misalnya dianjurkan untuk memakan yang
bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadat-ibadat sunat
sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari
badan manusia.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan sesuai kebutuhan dalam
setiap perkara, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam
mengambil suatu kemaslahatan
Contoh dalil nash yang menunjukan langsung kepada mashlahah,
umpamanya tidak baiknya mendekati wanita yang sedang haid dengan
alasan haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut mashlahah karena
menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Alasan adanya penyakit itu
yang dikaitkan dengan larangan mendekati perempuan, disebut munasib.
Hal ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah: 222
ِ ‫َويَسْـَٔلُ ْونَكَ َع ِن ْال َم ِحي‬
ۗ ‫ْض‬
Artinya: mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh
itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh. Contoh dalil yang menunjukan langsung kepada
mashlahah dalam bentuk ijma’ umpamanya menetapkan adanya kewalian
ayah terhadap harta anak-anak dengan illat “belum dewasa”. Adanya

8
hubungan “belum dewasa” dengan hukum perwalian adalah mashlahah atau
munasib. Dalam hal ini ijma’ sendiri yang mengatakan demikian.

4. contoh masalah maslahah mursilah


Sebagian besar dari kita mungkin masih ingat, bahwa ketika pandemi
COVID-19 berlangsung, umat Islam diperbolehkan untuk tidak melaksanakan
shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat dzuhur, bahkan tidak dianjurkan
untuk shalat berjamaah di masjid. Itu merupakan salah satu contoh maslahah
mursalah.
Maslahah mursalah adalah salah satu dalil hukum Islam untuk
menetapkan hukum baru yang belum ada konfirmasinya di dalam sumber
hukum Islam, yaitu Alquran dan Hadits, baik diterima maupun ditolak.
Sampai saat ini, Alquran dan Sunnah masih menjadi sumber hukum
yang utama dalam Islam. Hanya saja, seiring berkembangnya zaman da saja
perkara atau persoalan yang tidak tidak disebutkan secara eksplisit dalam
Alquran dan Hadits. Ketika ada suaru perkara atau persoalan yang tidak
disebut secara eksplisit dalam Alquran dan Hadits, maka di sinilah peran
Maslahah mursalah.4

C. Al-Istihsan
1. Pengertian al-Istihsan
Secara etimologi istihsan mengandung arti “mencari yang lebih baik”.
Secara terminologi adalah:“Beralihnya seseorang mujtahid waktu menetapkan
hukum dalam suatu masalah seperti apa yang berlaku dalam yang sebanding
dengannya, karena ada yang mendorongnya untuk beralih dari yang pertama.5

2. Pembagian al-Istihsan

Bentuk-bentuk istihsan berdasarkan dalil-dalil yang mendukungnya,


dapat dibedakan menjadi 6 (enam), yaitu istihsan dengan nash, dengan ijmak,
dengan dharurah, dengan qiyas khafi, dengan ‘urf atau dengan mashlahah.

4
Almutakin. implementasi maslahah Al Mursalah dalam kasus perkawinan. kordinat vol. XVII
No.2 Oktober 2018. hal. 341
5
Ramli, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Nutamedia, 2021), hal. 81

9
a. Istihsan bil qiyas al khafi; ialah pencetusan hukum melalui perenungan dan
penelitian yang mendalam, atas sebuah kasus atau peristiwa yang memiliki
dua dalil , yakni berupa qiyas jali dan qiyas khafi, dan masing-masing dalil
tersebut memiliki konsekuensi hukum sendiri.
b. Istihsan bin nash; ialah diperbolehkannya pelanggaran atas hukum yang
sudah ditetapkan secara universal dan menjadi kaidah umum, karena secara
spesifik terdapat nash dari Alquran atau Sunah yang memperbolehkannya
hal tersebut.
c. Istihsan bil ijma’; ialah fatwa para mujtahid tentang suatu hukum dalam
permasalahan kontemporer yang menyalahi aturan-aturan universal yang
telah menjadi kaidah umum karena sebuah kebiasaan.
d. Istihsan bi al-dharurah; ialah pengecualian atas hukum yamg telah
ditetapkan, karena kesulitan yang akan gerjadi jika hukum atau ketetapan
tersebut diunakan.
e. Istihsan bi al-mashlahah; ialah hukum yang bertentangan dengan kaidah
umum yang telah ditetapkan karena untuk kepentingan dan keselamatan
bersama
f. Istihsan bi al-‘urf; ialah berpindahnya suatu hukum atau kaidah umum yang
telah ditetapkan karena adanya tradisi yang berlaku.6

3. Pendapat Ulama
Adapun pendapat para ulama mengenai al-Istihsan, yaitu
a. Pendapat dari Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah, yaitu:
1) Istihsan yang ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus
dan hukum-hukum ternyata bahwa penggunaan, qiyas, menerapkan
yang umum atau dalil yang kulli kadang-kadang di dalam beberapa
kasus menyebabkan hilangnya kemaslahatan manusia karena kasus-
kasus ini mempunyai kekhususan-kekhususan tersendiri, merupakan
suatu keadilan dan rahmat bagi manusia, apabila dibuka jalan bagi
seorang mujtahid di dalam memecahkan kasus ini mentarjih dalil agar

6
Moh. Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh, (Lampung: Aura, 2019), hal. 64

10
tercapai kemaslahatan dan tertolak kemudaratan, dengan kata lain :
Maksudnya; Menolak kemafsadatan dan menarik kemaslahatan. Jadi
istihsan digunakan untuk mendapatkan kemanfaatan dan menolak
kemudaratan atau menemukan maslahat yang lebih kuat atau mudarat
yang lebih sedikit.
2) Istihsan berdasarkan penelitian terhadap nas-nas syara’ yang
menunjukkan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana, memberikan suatu
petunjuk bahwa dengan mengalihkan kasuskasus yang bisa digunakan
qiyas atau umumnya nas kepada hukum lain yang memberikan
kemaslahatan dan menolak kemudaratan, misalnya keharaman bangkai,
darah, daging babi, dan apa yang disembelih ligairillah. Tetapi demi
kemaslahatan manusia, dalam kasus tertentu boleh dimakan, dalam Q.S.
al-Baqarah (2):173 Allah berfirman:
ُ ‫ض‬
‫ط َّر َغي َْر بَاغٍ َّو َْل‬ ِ ‫اِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوالد ََّم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َما ٰٓ ا ُ ِه َّل بِ ٖه ِلغَي ِْر ه‬
ْ ‫ّٰللا ۚ فَ َم ِن ا‬
َ ‫َل اِثْ َم َعلَ ْي ِه ۗ ا َِّن ه‬
‫ّٰللا َغفُ ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم‬ ٰٓ َ َ‫َعا ٍد ف‬
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya da tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Rasulullah saw., sebagai sumber hukum sekaligus sebagai contoh
bagi umatnya dalam menerapkan pelaksanaan hukum Islam yang
berkaitan dengan jual beli, melarang bay alma’dum dan memberi
keringanan di dalam bay al-Salam. Istihasan sebagai Dalil Hukum Islam
Kesemuanya itu merupakan hukum rukhsah, yang sekaligus menjadi
pengecualian dalam hukum azimah. Karena pentingnya istihsan ini di
dalam mencapai kemaslahatan, ulama Hanafiyah dan Malikiyah
mengatakan “Istihsan adalah sembilan persepuluh ilmu”.

11
b. Ulama-ulama yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ di samping
dilakukan oleh Syafi’i dan pengikut-pengikutnya dalam kalangan mazhab
Syafi’iyyah juga diikuti ulama-ulama al-Zahiriyyah, ulama-ulama Syi’ah.
Kalangan ulama Zahiriyayah menolak menggunakan qiyas, demikian pula
ulama Syi’ah dan ulama kalam. Karena mereka pada prinsipnya tidak
menerima qiyas, maka dengan sendirinya merekapun menolak istihsan
karena kedudukan istihsan sebagai dalil hukum pada dasarnya adalah lebih
rendah dari qiyas.
c. Pendapat yang mengatakan bahwa istihsan adalah dalil syar’, akan tetapi
bukan dalil yang musta’qil, tetapi kembali kepada dalil syara’ yang lain,
sebab setelah diteliti akhirnya juga kembali kepada maslahah. Pendapat ini
antara lain dipegang oleh al-Syaukan,7 Imam al-Syaukani mengemukakan
bahwa orang yang mengambil istihsan sebagai dalil tidak semata-mata
mendasarkan pendapatnya kepada perasaan dan syahwatnya tetapi ia
kembali kepada apa yang ia ketahui tentang maksud syara’ secara
keseluruhan. Selanjutnya Imam al-Syaukani mengemukakan bahwa:
“Anda dapat mengerti dari apa yang telah kami paparkan, bahwa
menyebutkan istihsan dalam satu analisis tersendiri pada prinsipnya tidak
ada gunanya, karena jika ia dikembalikan kepada dalil-dalil yang telah ada
(menyebutnya lagi) adalah pengulangan dan jika ia diluar dari dalil-dalil itu,
maka bukan sesuatu yang termasuk bagian dari syara’ malahan termasuk
ucapan yang dibuat-buat atas syari’at (Islam) ini.”
Dari ungkapan al-Syaukani seperti tersebut di atas terlihat bahwa al-
Syaukani tidak ingin menjadikan istihsan sebagai metode ijtihad tersendiri,
tetapi menjadikannya sebagai bagian dari metode-metode ijtihad yang lain,
yakni qiyas atau istislah.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah lalu dapat disimpulkan bahwa ada


tiga pandangan ulama melihat istihsan, yakni:
a. Yang menerima istihsan sebagai dalil tersendiri

7
Rusdaya Basri, Ushul Fikih 1, Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2019), hal. 118

12
b. Yang menolak istihsan sebagai dalil hukum
c. Yang menerima istihsan sebagai dalil, tetapi bukan dalil hukum yang berdiri
sendiri, tetapi merupakan bagian dari dalil-dalil hukum yang lain atau dalil
hukum yang telah ada.8

4. Dalil al-Istihsan
Para ulama yang menerima Istihsan sebagai dalil hukum, mereka
mengembalikan dasar Istihsan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun dalil
yang berasal dari al-Qur’an antara lain yaitu:
َ ْ‫ الَّذِينَ يَ ْست َِمعُونَ ْالقَ ْو َل فَيَتَّبِعُونَ أَح‬. ‫فَبَ ِش ْر ِعبَا ِد‬...
... ُ‫سنَه‬
Artinya: “…Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang
mendengar perkataan lalu mengikutinya dengan yang lebih baik di antaranya...”
(az-Zumar: 17-18).

‫ّٰللاُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َو َْل ي ُِر ْي ُد ِب ُك ُم ْالعُس َْر‬


‫ي ُِر ْي ُد ه‬...
Artinya: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu…” (QS. al-Baqarah: 185).

Dan dalil yang berasal dari as-Sunnah antara lain yaitu:


‫ مارآه المسلمون حسنا فهو ِعند الل حسن‬.
Artinya: “Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka baik pula di sisi
Allah” (HR. Ahmad Ibn Hanbal). 9

4. Contoh Masalah al-Istihsan


a. Istihsan dengan qiyas khafi
Sebagai contoh dalam hal kasus mewakafkan tanah yang di
dalamnya terdapat jalan dan sumber air minum. Apakah dengan semata
mewakafkan tanah sudah meliputi jalan dan sumber air minum itu atau
tidak. Kalau si mujtahid menggunakan pendekatan qiyas yang biasa, maka

8
Ibid., hal. 120
9
Kadenun, Kadenun. "Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam." QALAMUNA: Jurnal
Pendidikan, Sosial, Dan Agama 10.02 (2018). Hal. 97

13
dengan hanya mewakafkan tanah tidak otomatis termasuk jalan dan sumber
air tersebut, sebagaimana berlaku dalam transaksi jual beli. Segi kesamaan
antara wakaf dan jual beli dalam hal ini adalah sama-sama melepaskan
pemilikan atas tanah. Pendekatan seperti ini disebut qiyas jali atau qiyas
zahir.
Namun, si mujtahid dalam kasus tersebut di atas beralih dari qiyas
jali dengan menempuh pendekatan lain yaitu menyamakan dengan transaksi
sewa menyewa sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang lain, yaitu
termasuknya jalan dan sumber air ke dalam tanah yang diwakafkan,
meskipun tidak disebutkan dalam akad wakaf. Pendekatan seperti ini juga
menggunakan qiyas, namun dari segi kekuatan illatnya dianggap agak
lemah, sehingga dinamakan qiyas khafi (qiyas yang samar). Meski
demikian, si mujtahid lebih cenderung menempuh cara ini karena
pengaruhnya dalam mewujudkan kemudahan lebih tinggi. Pendekatan
seperti ini disebut istihsan atau lengkapnya disebut qiyas khafi.10
b. Istihsan dengan Nas
Sebagai contoh dapat digambarkan bahwa: makan siang di bulan
Ramadhan, menurut qiyas dalam arti kaidah umum, membatalkan puasa
karena telah cacat rukunnya, yaitu hukum menahan diri (al-Imsak). Akan
tetapi makan di siang hari pada bulan Ramadhan karena lupa, dilakukan
pemalingan. Pemalingan itu adalah pemalingan dari hukum batalnya puasa
yang dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh
nas, yang tidak membatalkan puasa. Seperti sabda Nabi saw. Yang artinya:
“Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: orang berpuasa
yang makan atau minum karena lupa, maka hendaklah ia menyempurnakan
puasanya, karena Allahlahyang memberi makan dan minum.” (Riwayat
Jamaah kecuali an-Nasaai).
Hadis ini menjelaskan bahwa makan atau minum karena lupa tidak
membatalkan puasa seseorang. Apa yang dikehendaki oleh hadis inilah

10
Rusdaya Basri, loc., cit, hal. 107

14
yang ditetapkan terhadap masalah tersebut, bukan hukum yang dikehendaki
oleh kaidah umum.11
c. Istihsan dengan Ijma’
Sebagai contoh dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan
kaidah umum, jasa pemandian umum harus jelas, yaitu berapa lama
seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila
hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab
itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa
pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu
yang terpakai.12
d. Istihsan dengan Darurat
Contoh yang dapat dipaparkan di sini adalah masalah membersihkan
sumur. Sumur yang terkena suatu najis tidak mungkin dibersihkan karena
setiap air yang dituangkan ke sumur untuk menyucinya akan menjadi najis
dengan najis yang ada dalam sumur. Pendapat yang mengatakan sumur
tidak mungkin dibersihkan dari najis menjerumuskan manusia dalam
kesukaran dan menghalanginya dari kebutuhan yang sangat pokok, yaitu
kebutuhan untuk menggunakan air dalam kehidupan dan dalam beribadah.
Karena itu, para fuqaha menetapkan bahwa sumur dapat dibersihkan dari
najis dengan menuangkan beberapa timba air bersih ke dalamnya,
kemudian dibersihkan.13
e. Istihsan dengan al-Maslahah
Contoh dari hal ini yaitu jaminan buruh yang berserikat. Buruh yang
berserikat pada dasarnya adalah orang yang terpercaya. Dan orang yang
terpercaya tidak perlu dijamin kecuali karena telah tampak kecurangannya.
Akan tetapi, Malik menetapkan hukum lain dengan istihsan dan
meninggalkan kaidah asal ini karena kurangnya tanggung jawab dan
seringnya terjadi khianat pada buruh. Dengan demikian, Malik

11
Ibid, hal. 105
12
Ibid
13
Ibid, hal. 107

15
mengharuskan adanya jaminan bagi pekerja yang berserikat telah
mengecualikan kaidah asal dalam masalah itu dengan adanya maslahat.14
f. Istihsan dengan ‘urf
Contohnya yaitu: ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila
seseorang dalam sumpahnya menyebutkan tidak akan memakan dagingnya,
tetapi ternyata kemudian ia memakan ikan, maka ia dinyatakan tidak
melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam bahasa Al-Qur’an termasuk
dalam daging. Alasannya bahwa dalam ’urf (kebiasaan) yang berlaku dalam
ucapan sehari-hari, ikan itu bukan (tidak termasuk) daging.15

D. ‘Urf wa al-‘Adah

1. Pengertian ‘Urf wa al-‘Adah


‘Urf atau disebut juga adah menurut bahasa berarti mengetahui,
kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik
dan diterima oleh pikiran yang sehat. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, ‘urf
adalah sesuatu yang yang telah dibiasakan oleh manusia, secara terus menerus
dikerjakan dalam jangka waktu yang lama, atau ada perkataan atau istilah yang
disepakati memiliki pengertian khusus dan tidak terdengar asing bagi mereka. 16

2. Pendapat Para Ulama


Para Ulama membenarkan penggunaan ‘urf hanya dalam hal-hal
muamalah, itupun setelah memenuhi syarat-syarat di atas. Perlu diketahuai
bahwa dalam hal ibadah secara mutlak tidak berlaku ‘urf karena yang
menentukan dalam hal ibadah adalah al-Qura’an dan alHadith.21‘Urf bertujuan
untuk memlihara kemaslahatan umat serta menunjang pembetulan hukum dan
penafsiran beberapa nas.
Berikut ini pandangan para Ulama terkait ‘urf:
a. Abu Yusuf dari kelompok ‘ulama Hanafi dan mayoritas ‘ulama non Hanafiah
berpendapat bahwa hukum shara’ itu juga berubah mengikuti perkembangan

14
Ibid, hal. 110
15
Ibid, hal. 109
16
Ramli, loc. Cit., hal. 89

16
adat kebiasaan atau ‘urf yang bersangkutan. Hal ini sesua degan kaidah
“tidak dapat diingkari perubahan hukum itu disebabkan oleh perubahan
zaman dan tempat”.
b. Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa yang tetap
menjadi patokan hukum adalah ‘urf yang lama pada saat datangnya nas}
yang bersangkutan.
c. Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa pada dasarnya ‘urf itu bukan dalil
shara’ yang berdiri sendiri, sebab ia termasuk memelihara maslahah
mursalah. Maka jika ‘urf dijadikan pertimbangan salah satu patokan hukum,
maka dipertimbangkan pula dalam menafsirkan nash. Bahkan terkadang
qiyas ditinggalkan lantaran ‘urf dianggap lebih sesuai, misalnya sah hukum
transaksi sengan sistem salam dan istisna’, sekalipun menurut qiyas tidak sah
karena barngnya belum atau tidak ada pada saat bertransaksi.17

3. Dalil ‘Urf wa al-‘Adah


Dasar penggunaan ‘urf adalah sebagai berikut, Allah berfirman dalam
QS. Al-Araf 199
َ‫ض َع ِن ْالجٰ ِه ِليْن‬ ِ ‫ُخ ِذ ْالعَ ْف َو َوأْ ُم ْر بِ ْالعُ ْر‬
ْ ‫ف َواَع ِْر‬
Artinya: Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf dan berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh (al-‘Araf: 199).

Ayat diatas menunjukkan dengan jelas bahwa Allah menyuruh supaya


kita menggunakan ‘urf. Kata ‘urf dalam ayat diatas dimaknai dengan suatu
perkara yang dinilai baik oleh masyarakat. Ayat tersebut dapat dipahami sebagai
perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga menjadi
tradisi dalam suatu masyarakat. seruan ini didasarkan pada pertimbangan
kebiasaan yang baik dan dinilai berguna bagi kemaslahatan mereka.
Begitu juga dalam al-Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu
Masud bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya, “Segala sesuatu
yang dipandang oleh (orang-orang Islam) umum itu baik, maka baik pulalah di

Rizal, Fitra. "Penerapan ‘Urf Sebagai Metode Dan Sumber Hukum Ekonomi Islam." Al-
17

Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam 1.2 (2019): 155-176, hal. 164

17
sisi Allah dan segala sesuatu yang dipandang oleh (orangorang Islam) umum itu
jelek, maka jelek pulalah di sisi Allah”.18

4. contoh masalah ‘Urf wa al-‘Adah


a. Ditinjau dari segi sifatnya, urf terbagi atas :
1) Urf Qauli, ialah ‘urf yang berupa perkataan, seperti perkataan “walad”,
menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan
anak perempuan. Akan tetapi dalam percakapan sehari-hari biasanya
diartikan dengan anak laki-laki saja. Contoh lain adalah saling mengerti
mereka agar tidak mengitlakkan lafal ‘al-lahm’ yang bermakna daging
atas ‘al-samak’ yang bermakna ikan tawar.
2) Urf Amali, ialah ‘urf yang berupa perbuatan. Seperti kebiasaan jual beli
dalam masyarakat tanpa mengucapkan sighat akad jual beli. Padahal
menurut syara’, shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli.
Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual
beli tanpa sighat dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara’
membolehkannya.9 contoh lain adalah masuk WC umum tanpa
menentukan waktu menggunakannya dan juga tidak ditentukan jumlah air
yang dipakai, dan lain lain.

b. Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya ‘urf dibagi atas :


1) ‘Urf Shahih, ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak
bertentangan dengan syara’. Atau dengan kata lain urf shahih ialah sesuatu
yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan
dalil syara juga tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan
yang wajib. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan
akad nikah, dipandang baik, dan telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’. Contoh lain adalah
saling mengerti manusia tentang pembagian mas kawin (mahar) kepada
mahar yang didahulukan dan yang diakhirkan. Jadi ‘urf shohih adalah

18
Ibid, 159

18
sesuatu kebiasan masyarakat yang dilakukan secara terus menerus dan
tidak bertentangan dengan ketetapan Allah swt., dan sunnah Rasulullah
saw.
2) ‘Urf Fasid, yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi sesuatu
itu bertentangan dengan syara’, atau menghalalkan yang haram dan
membatalkan yang wajib, seperti saling mengerti mereka tentang makan
riba dan kontrak judi. Contoh lainnya adalah kebiasaan mengadakan
sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat.
Hal ini tidak dapat diterima karena berlawanan dengan ajaran Islam.
Dengan demikian ‘urf fasid adalah sesuatu kebiasan masyarakat yang
dilakukan secara terusmenerus akan tetapi bertentangan dengan ketetapan
Allah Swt., dan sunnah Rasulullah Saw.

c. Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya, ‘urf dibagi menjadi :


a. ‘Urf ‘Aam, yaitu ‘urf yang berlaku pada semua tempat masa dan keadaan.
Seperti memberi hadiah (tips) kepada orang yang telah memberikan jasa
pada kita, mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang telah
membantu kita.
b. ‘Urf Khas, ialah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa, atau keadaan
tertentu saja. Seperti mengadakan halal bihalal yang biasa dilakukan oleh
bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai melaksanakan
sholad idul fitri, sedang pada Negaranegara Islam lain tidak dibiasakan.19

E. Syar`u Man Qablana


1. Pengertian Syar`u Man Qablana
Syar`u secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim
fa`ilnya secara bahasa adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum
yang dilintasi manusia untuk menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga
diartikan sebagai jalan yang lurus atau thariqatun mustaqimatun sebagaimana
diisyarakan dalam Alquran Surat Al-Jatsiyah: 18.

19
Rusdaya Basri, loc. Cit., hal. 124-127

19
Dalam kaitannya dengan syariat Islam, maka dapat dikatakan bahwa
syariat adalah hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yang didalamnya
terdapat berbagai aturan yang diperuntukkan bagi manusia. Beni menukil tulisan
Al-Maududi bahwa syariat merupakan ketetapan Allah dan RasulNya yang berisi
ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global, kekal, dan universal yang
diberlakukan bagi semua hambaNya berkaitan dengan masalah akidah, ibadah,
dan muamalah.
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu
mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad.
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi
ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan
rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan
perkembangan zaman masing-masing.
Dengan demikian, Syar`u Man Qablana adalah hukum-hukum Allah yang
dibawa oleh para Nabi/Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw dan berlaku untuk
umat mereka pada zaman itu.20

2. pendapat para ulama


Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita itu
menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad. Syar`u
Man Qablana sebagai dalil hukum dimasukkan oleh Al-Ghazali ke dalam
empat dalil yang tidak disepakati oleh ulama Ushul.
Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan
Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa
hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk yang ketiga tersebut di atas
tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan
pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa
syariat sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya syariat yang

Yazid, Imam. "Tafsir Ayat Ahkam Tentaang Syar’u Man Qablana dan Kehujahannya Sebagai
20

Dalil Hukum." Al-Usrah: Jurnal Al Ahwal As Syakhsiyah 5.1 (2017). Hal. 44

20
dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum
dan menasakh syariat sebelumnya.
b. Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa
hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun
tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan
tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad.
Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang
berpendapat bahwa syariat sebelum kita itu dapat menjadi syariat bagi kita
adalah bukan karena ia adalah syariat sebelum kita tetapi karena ia terdapat
dalam Alquran dan Sunah Nabi yang harus dijadikan pedoman. Demikian,
kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam tidak berdiri sendiri.21

3. Dalil Syar`u Man Qablana

‫ص ْينَا بِ ٖ ٰٓه اِب ْٰر ِهي َْم َو ُم ْوسٰ ى َو ِع ْيسٰ ٰٓ ى ا َ ْن اَقِ ْي ُموا‬ َّ ‫ي ا َ ْو َح ْينَا ٰٓ اِلَيْكَ َو َما َو‬ ْٰٓ ‫صى بِ ٖه نُ ْو ًحا َّوالَّ ِذ‬
‫الدي ِْن َما َو ه‬ِ َ‫ع لَ ُك ْم ِمن‬ َ ‫ش ََر‬
ُ‫ِي اِلَ ْي ِه َم ْن يُّنِي ْۗب‬
ْٰٓ ‫ّٰللاُ يَجْ ت َ ِب ْٰٓي اِلَ ْي ِه َم ْن يَّش َۤا ُء َويَ ْهد‬
‫الديْنَ َو َْل تَتَفَ َّرقُ ْوا فِ ْي ِۗه َكب َُر َعلَى ْال ُم ْش ِر ِكيْنَ َما ت َ ْدع ُْو ُه ْم اِلَ ْي ۗ ِه َ ه‬
ِ
"diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu
berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk
mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang
Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
bagi orang yang kembali (kepada-Nya).” ( QS. Asy-Syura: 13)

4. Contoh Masalah Syar`u Man Qablana


a. Contoh syar’u man qoblana yang juga berlaku untuk umat islam
1) Berpuasa
2) Beribadah haji
3) Khitan
4) Meninggalkan riba, dll

21
Ibid, hal. 55

21
b. Contoh syar’u man qoblana yang tidak berlaku untuk umat islam
1) Memotong bagian yang terkena najis, dalam syairat kita cukup disucikan
2) Diharamkan segala binatang berkuku bagi umat nabi musa
3) Menebus dosa / taubat dengan nyawa sebagaimana disyariatkan kepada
uamt nabi musa

F. Sadd Al- Dzariah


1. Pengertian Sadd Al- Dzariah
Dzari’ah secara etimologi berarti jalan yang menuju kepada sesuatu. Sadd
al-dzari’ah terdiri atas dua perkara yaitu sadd dan dzari’ah. Sadd berarti
penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzari’ah berarti jalan atau
perantara. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh, dzari’ah adalah segala
hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu yang dilarang oleh
syara’.22 Oleh karenanya jalan yang dapat mengantarkan kepada sesuatu yang
dilarang oleh syara tersebut dicegah atau dihindari. Dzari’ah dapat didefinisikan
sebagai segala hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu
baik berakibat mafsadat maupun maslahah.
Nasrun Haroen mendefinisikan sadd al-dzari'ah sebagai mencegah jalan
atau sarana yang akan membawa kearah kerusakan, biasanya diartikan sebagai
perbuatan atau perkara yang membawa kepada sesuatu yang dilarang dan
mengandung kemudharatan. Perbuatan yang membawa pada kerusakan,
marabahaya dan kecelaan yang harus dicegah.23

2. Dalil Sadd Al-Dzari'ah


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
‫ّٰللاَ َعد ًْوا بِ َغي ِْر ِع ْلم ۗ ك َٰذلِكَ زَ يَّنَّا ِل ُك ِل ا ُ َّمة َع َملَ ُه ْم ۗ ث ُ َّم ا ِٰلى‬ ‫سبُّوا الَّ ِذيْنَ يَدْع ُْونَ ِم ْن د ُْو ِن ه‬
ُ َ‫ّٰللاِ فَي‬
‫سبُّوا ه‬ ُ َ ‫َو ََل ت‬
َ‫َربِ ِه ْم َّم ْر ِجعُ ُه ْم فَيُن َِبئ ُ ُه ْم ِب َما كَا نُ ْوا َي ْع َملُ ْون‬

"Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain


Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
dasar. pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik

22
Wahbah al Zuhaily, Ushul Fiqh al Islamy, Juz II, (Beirut: Daar al Fikr, 1406 H/1986 M) h. 873.
23
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Cet. 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm.160

22
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia
akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-
An'am 6: Ayat 108)
Ayat diatas menerangkan terhadap larangan untuk mencerca tuhan atau
berhala agama lain. Hal ini karena ia adalah zari'ah yang akan menimbulkan
sesuatu keburukan yang dilarang.

3. Pendapat Para Ulama


Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan sadd aldzari’ah
sebagai alat atau dalil dalam menetapkan hukum (istinbath) syara’. Ulama
mazhab Malikiyah dan ulama mazhab Hanabilah menyatakan bahwa sadd al
dzari’ah dapat diterima sebagai salah satu alat atau dalil untuk menetapkan
hukum. Dalam hal ini Imam alQarafi antara ulama mazhab Maliki
menjadikannya sebagai dalil secara umum, Ia berkata:24
“Al-Dzariah sebagaimana wajib ditegah (sadd) juga wajib dibuka (fatḥ),
baik yang makruh, sunat dan mubah karena al-żaria’ah adalah wasilah.
Sebagaimana jalan yang haram adalah diharamkan, maka jalan yang wajib
adalah diwajibkan seperti hukum melakukan perjalanan untuk melaksanakan
shalat Jumaat dan Haji”
Ulama yang tidak menerima sadd al-dzari'ahsebagai dalil hukum dalam
agama Islam. Mayoritasnya adalah dari kalangan Mazhab Hanafi dan Mazhab
Syafi’i maka kelompok ini menolak sadd al-dzariah sebagai metode istinbath.

d. Contoh Masalah Sadd Al-Dzari'ah


Memboikot produk dari negara yang memerangi Islam.
Membeli barang keperluan harian adalah diharuskan. Namun perbuatan yang
asalnya dibolehkan ini dapat dicegah jika akibat perbuatan itu dapat
menimbulkan kerusakan dan kemusnahan atas orang lain. Misalnya adalah kita
membeli barangan atau produk yang di produksikan dari negara kafir yang
memerangi Islam. Hal ini, dapat memberikan dampak negatif karena

24
Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa‟ al-Furuq, Jilid 2, (Beirut: Dar Kotob alIlmiah,1998),
hlm.33

23
kemungkinan daripada hasil keuntungan itu dijadikan sebagai dana untuk
membeli senjata atau membina kekuatan ketenteraan orang kafir untuk
memerangi, menindas dan membunuh umat Islam.
Firman Allah SWT:
‫اَل ثْ ِم َوا ْلعُد َْوا ِن‬
ِ ْ ‫ۖ َوت َ َع َاونُ ْوا َعلَى ْال ِب ِر َوا لت َّ ْق ٰوى ۗ َو ََل ت َ َع َاونُ ْوا َعلَى‬
Artinya: “Dan hendaklah kamu bertolong-tolongan untuk membuat
kebajikan dan bertaqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan pada
melakukan dosa (maksiat) dan pencerobohan.” (QS al-Maidah: 2)
Berdasarkan ayat ini, Allah menuntut supaya umat Islam saling tolong menolong
dalam melakukan perkara kebaikan dan mencegah daripada menolong
melakukan perkara kemungkaran. Ini termasuklah menolong saudara seagama
mereka apabila mereka ditindas atau diperangi oleh musuh Islam.

G. Istishab
1. Pengertian Istishab
Menurut bahasa istishab berarti mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Sedangkan secara istilah, menurut ulama fiqh yaitu menetapkan pada hukum yg
telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah
ketetapan hukum tersebut, atau dengan kata lain menyatakan tetapnya hukum
pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Wahbah Zuhaili mengartikan Istishâb: Menghukumi tetap atau
hilangnya sesuatu pada masa kini atau masa mendatang berdasar pada tetap atau
hilangnya sesuatu tersebut di masa lalu karenatidak ada dalil yang
merubahnya.25

2. Dasar Hukum Istishab


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َ ‫س ٰم ٰوت ۗ َوه َُو ِب ُك ِل‬


‫ش ْيء َع ِليْم‬ َ ‫س ْب َع‬ َّ ‫ض َج ِم ْيعًا ث ُ َّم ا ْست َٰٰۤوى اِلَى ال‬
َ َ‫س َما ٓ ِء ف‬
َ ‫س هوٮ ُه َّن‬ ْ ‫ه َُو الَّ ِذ‬
ِ ‫ي َخلَقَ لَـ ُك ْم َّما فِى ْاَلَ ْر‬

25
Wahbah al Zuhaily, loc.cit., hal. 113

24
"Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu,
kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh
langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 29)

3. Pandangan Ulama Mengenai Istishab


Pada umumnya ulama’ ushul fiqh menempatkan istishab sebagai dalil
hukum, kecuali dalam beberapa bentuk istishab, dalam hal istishab sifat ulama’
Hanafiah hanya memberlakukannya untuk mempertahankan hukum yang ada
dan menolaknya untuk menetapkan hukum baru. Ulama’ yang mengamalkan
istishab mendasarkan pendapatnya pada beberapa hadits Nabi Saw.

4. Contoh Masalah Istishab


Para ulama telah ber ijma' akan batalnya shalat seorang yang
bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum
shalatnya. Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya;
apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab dengan ijma' tersebut, atau shalat
tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya? Imam Abu Hanifah dan beberapa
ulama lain seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah berpendapat bahwa dalam
masalah ini istishhab dengan ijma' terdahulu tidak dapat dijadikan landasan,
karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma'. Oleh sebab itu, ia harus
berwudlu kembali.
Sementara Imam al-Syafi'i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhab
ijma ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya.
Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhab kondisi awalnya yaitu
ketiadaan air untuk berwudhu.

25
KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat 7 sumber ukum yang di
perselisihkan, yaitu:
1. Mazhab Asshahabi adalah interpretasi hukum Islam berdasarkan pendapat para
sahabat setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ulama memiliki perbedaan
pendapat mengenai kehujjahan Mazhab Asshahabi; beberapa menganggapnya
sebagai hujjah, sementara yang lain menolaknya. Contoh perbedaan pandangan
terjadi dalam masalah Shalat Jum'at bagi yang Shalat 'Id, yang diinterpretasikan
secara beragam oleh Imam As-Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan
Imam Malik.
2. Maṣlahah Al-Mursalah adalah konsep dalam hukum Islam yang mengacu pada
kemaslahatan umum manusia tanpa memiliki landasan syariat yang spesifik. Ini
berarti memperhatikan kepentingan umum tanpa adanya dalil yang secara
langsung mendukung atau menolaknya dalam sumber-sumber hukum utama
Islam seperti Al-Qur'an dan Hadis.
3. istihsan mengandung arti “mencari yang lebih baik”. Secara terminologi
adalah:“Beralihnya seseorang mujtahid waktu menetapkan hukum dalam suatu
masalah seperti apa yang berlaku dalam yang sebanding dengannya, karena ada
yang mendorongnya untuk beralih dari yang pertama.
4. ‘urf adalah sesuatu yang yang telah dibiasakan oleh manusia, secara terus
menerus dikerjakan dalam jangka waktu yang lama, atau ada perkataan atau
istilah yang disepakati memiliki pengertian khusus dan tidak terdengar asing
bagi mereka.
5. Syar`u Man Qablana adalah hukum-hukum Allah yang dibawa oleh para
Nabi/Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw dan berlaku untuk umat mereka
pada zaman itu.
6. Nasrun Haroen mendefinisikan sadd al-dzari'ah sebagai mencegah jalan atau
sarana yang akan membawa kearah kerusakan, biasanya diartikan sebagai
perbuatan atau perkara yang membawa kepada sesuatu yang dilarang dan

26
mengandung kemudharatan. Perbuatan yang membawa pada kerusakan,
marabahaya dan kecelaan yang harus dicegah.
7. istishab yaitu menetapkan pada hukum yg telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut, atau
dengan kata lain menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil
yang mengubah ketetapan hukum tersebut.

27
DAFTAR PUATAKA

Al-Qarafi. 1998. Anwar al-Buruq fi Anwa‟ al-Furuq, Jilid 2. Beirut: Dar Kotob
alIlmiah.
Kadenun, Kadenun. "Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum
Islam." QALAMUNA: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Agama 10.02 (2018)
Moh. Bahrudin. 2019. Ilmu Ushul Fiqh. Lampung: Aura, 2019.
Nasrun Haroen1997. Ushul Fiqh I, Cet. 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Nurkholis . HUJJAH QAUL SHAHABAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM. . Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Pendidikan Islam. Volume 1,
Nomor 1(2018).
Rizal, Fitra. "Penerapan ‘Urf Sebagai Metode Dan Sumber Hukum Ekonomi
Islam." Al-Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam 1.2 (2019)
Rusdaya Basri. 2019. Ushul Fikih 1. Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press.
Wahbah al Zuhaily. 1986. Ushul Fiqh al Islamy, Juz II. Beirut: Daar al Fikr.
Yazid, Imam. "Tafsir Ayat Ahkam Tentaang Syar’u Man Qablana dan
Kehujahannya Sebagai Dalil Hukum." Al-Usrah: Jurnal Al Ahwal As
Syakhsiyah 5.1 (2017)
Almutakin. implementasi maslahah Al Mursalah dalam kasus perkawinan. kordinat
vol. XVII No.2 Oktober 2018
Ramli. 2021. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Nutamedia.
Nuri Aslami. Mazhab Shahabi Dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Kontemporer.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Volume 1, Nomor 1, Januari 2022.

28

Anda mungkin juga menyukai