Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH USHUL FIQH

Ijma’ dan qias

Dosen Pengampu:
Dr. Miftara ainul mufid, S.PDI M.PDI
Disusun Oleh:

KELOMPOK 6
M. MA’RUFUKURHI (202269150007)

MUFARROHCAH (202269150024)

NAZIFATUL MUFIDAH (202269150029)

UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN


FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDY ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
OKTOBER 2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang

B. Rumusan masalah

C. Tujuan penulisan

BAB II PEMBAHASAN

1. IJMA’

• Pengertian, rukun dan syarat, macam

2. QIYAS

• Pengertian, rukun, syarat dan pembagian

3. FUNGSI DAN KEDUDUKAN IJMA’

4. FUNGSI DAN KEDUDUKAN QIYAS

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. saran

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ijma’ dan qiyas adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat
kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits) ia
merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan
pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya
ijma’ dan qiyas itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-
Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak
lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan
para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan
hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan
pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
1

B. Rumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan ijma?
2. Apakah yang dimaksud dengan qiyas?
3. Apa fungsi dan kedudukan ijam dan qiyas?
C. Tujuan penulisan
1. Agar pembaca mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan
ijma.
2. Agar pembaca mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan
qiyas.
3. Agar pembaca mengerti dan memahami apa yang dimaksud fungsi dan
kedudukan ijma dan qiyas.

1 http://irginurfadil.blogspot.com/2016/12/makalah-ijma-dan-qiyas-fiqh-ibadah.html

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijma’

Secara etimologi , kata ijma’ berarti kata “ jama’a “ mempunyai dua arti
yang yaitu kehendak atau niat yang kuat terhadap sesuatu.

Secara teminologi ijma’ ada beberapa definisi yang diungkapkan oleh para
ulama , diantaranya :

Beberapa ulama kontemporer diantaranya abu zahrah , ali hasb allah abdul
karim zaidan memberikan definisi ampir sama terhadap ijma’ . Abu zahrah
misalnya memberikan definisi ijma :“ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari
umaat islam pada masa tertentu sesudah rasulullah wafat suatu hukum syara yang
amaliah.2

Dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’ akan kita paparkan


sebagai berikut :

a. Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :

‫مارأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬

Artinya : “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah juga baik”.

b. Sabda Rasulullah Saw

‫ال تجمع امتى على ضاللة‬

2 Masduki,, ushul fiqh 1, serang, FTK BANTEN PRESS, hlm.102-103

5
Artinya : “UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang 3sesat”.

c. Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam


Syafi’i dari sahabat Umar bin Khatab R.A :

‫اال فمن سره بحجة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من االثنين ابعد‬

Artinya : “Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka


bergabunglah (ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang
menyendiri. Ia akan lebih jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.

Firman Allah Swt :

‫الرحِ ْي ِم‬
َّ ‫الرحْمٰ ِن‬
َّ ِ‫ّٰللا‬
‫ب ِ ْس ِم ه‬

‫الرس ُۡو َل م ۢۡ ِۡن بَ ۡع ِد َما تَبَيَّ َن َلـهُ ۡالهُ ٰدى َو يَـ َّتبِعۡ غ َۡي َر َسب ِ ۡي ِل ۡال ُم ۡؤ ِمن ِۡي َن ُن َو ِل ٖه َما تَ َو هلى َونُصۡ ل ِٖه‬
َّ ‫ق‬ِ ِ‫َو َم ۡن يُّشَاق‬
ِ ‫َجهَـ َّنم َ َو َسآءَ ۡت َم‬
‫ص ۡي ًرا‬

(annisa : 115) Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenarannya baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan kami masukkan ia k edalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk
tempat kembali”.

Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin


adalah harom. Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan
ancaman neraka jahanam. Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin
adalah wajib. Jika jama’ah orang mukmin mengatakan “ini halal” jika ada orang
yang menyatakan hal tersebut sebagai suatu yang “haram” maka dia tidak
mengikuti jalan orang mukmim. 4Sumber : Ijma : Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, (Semarang : Dina Setia), hal. 710

3 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Setia), hlM. 710

4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Setia), hal. 710

6
A. Rukun dan Syarat Ijma’

Tentang rukun atau unsur ijma’ ini , dikalangan ulama terdapat perbedaan
jumlahnya, namun paling ada beberapa yang di sepakati berdasarkan definsi di
atas , yaitu :

1. adanya kesepakatan sejumlah mujtahid pada ssuatu masa tentang peristiwa


yang terjadi , kesepakatan itu harus dari sejumlah mujtahid dan tidak dipandang
ijma’ jika hanya ada sesorang mujtahid.

2. Ketetapan hukum yang telah menjadi ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh
mujtahid, karena jika ada kelompok yang menentang ijma’ tersebut, maka ijma’
menjadi tidak sah. Walaupun jumlah orang yang menentang ijma tersebut lebih
sedikit dari orang yang sepakat.

3. suatu ketetapan dinamakan ijma’ kalau disepakati oleh seluruh mujtahid yang
ada pada suatu zaman walaupun berbeda tempat. Maka tidak terjadi ijma pada
suatu tempat, kota atau negara tertentu saja, misalnya mekkah, hijaz, mesir, atau
irak, atau ahli bait, atau golongan sunni.5

B. Macam macam ijma’

Dilihat dari kesepakatan dan tindakan yang dilakukan ulama terhadap


suatu kasus hukum, ijma’ terdiri dari dua macam :

1. IJMA’SHARIH

Yaitu kesepakatan para mujtahid atas kedudukan hukum atau masalah


tertentu yang berawal dari fatwa setiap mujtahid yang dinyatakan dengan lisan
ataupun berbuatan , yang kemudian menjadi ijma’ setelah adanya kesepakatan
bersama. Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan jumhur ulama tentang

5 Umar, muin dkk. 1985. Ushul fiqh I. Jakarta : departemen agama

7
kekuatan ijma’ sharih, artinya ijma’ sharih adalah dalail qath’I setelah al qur’an
dan sunnah6.

2. IJMA’SUKUTI

Yaitu kesepakatan sebagian ulama pada suatu zaman dalam satu


permaslahan tertentu dimana sebagian yang lain tidak tidak mengemukakan
pertentangan ataupun persetujuannya.

Para ulama berbeda pendapat apakah ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah atau
tidak, karena selamanya diam itu menandakan persetujuan seseorang.

Mayoritas ulama hanafiyah dan imam ahmad bin hanbal sendiri menyatakan
bahwa kedudukan ijma’ sukuti sama halnya dengan ijma’ shirih yang bisa
dijadikan sebagai hujjah. Oleh karena itu ijma’ sukuti pun bisa dijadikan hujjah.
,menurut pendapat ini , diamnya seseorng ulama bisa menjadi fatwa selama tidak
ada ungkapan yang menyatakan pertentangannya. 7

Contoh-contoh Ijma sahabat:

1. hak menerima waris atas kakek bersama dengan anak, apabila seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris (yaitu) anak dan kakek. Kakek
ketika tidak ada bapak bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan,
sehingga bisa menerima warisan seperenam harta sebagaimana (yang diperoleh)
bapak, meskipun terdapat anak dari orang yang meninggal hal ini ditetapkan
dengan ijma sahabat.

2. Saudara seibu sebapak, baik laki-laki maupun perempuan (ibnu al-a’yam wa al-
a’lat) terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini di tetapkan dengan
ijma sahabat.

6 Masduki,2014, ushul fiqh 1, serang, FTK BANTEN PRESS, hlm.103-104

7 Masduki, ushul fiqh 1, serang, FTK BANTEN PRESS, hlm.104-105

8
3. Wajib memilih khilafah dalam tenggat waktu 3 hari sejak berakhirnya ke-
khilafahan sebelumnya. Para pemuka sahabat tidak menyibukan diri dengan
proses pemakaman jenazah rasul, tetapi mereka pergi menuju saqifah bani
sa’diyah hingga terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah dalam tenggat waktu 3
hari telah sempurna. Umar, ketika mencalonkan enam orang sahabat yang telah
memperoleh kabar gembira berupa surge untuk menjadi khalifah; beliau
menunjuk orang yang akan membunuh mereka apabila berselisih dalam hal
pembaiatan seorang khalifah dalam tenggat waktu tiga hari. Hal ini tidak ditentang
oelh seorang sahabat pun. Perkara seperti ini termasuk perkara yang dilingkari
apabila (perkara itu) bertentangan dengan islam. Oleh karena itu termasuk
ijma.8N0

2. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut bahasa berarti mengukur seperti kalimat “ aku mengkukur


tanah dengan memakai satuan meter “ .qiyas mengharuskan adanya dua perkara
, yang salah satunya disandarkan kepada yang lain secara sama.

Qiyas menurut ushul fiqh adalah : Mempersamakan suatu kejadian yang


tidak ada nash atas hukumnya, karena ada persamaan keduanya dalam illat pada
hukum tersebut,

Yang menyebabkan adanya qiyas adalah adanya kesamaan antara al-maqis


( perkara yang diqiyaskan ) dengan al-maqis alaih ( perkara yang diqiyasi ) Dalam
satu perkara, yakni adanya penyatu antara keduanya. Perkara tersebut adalah illat. 9

Dalil Kehujjahan Qiyas

Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling
kuat. Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir

8 yasin as-siba’I, tafsir al-wushul ila al-ushul, bogor, pustaka thariqul izzah, hlm. 105-106

9 Masduki, ushul fiqh 1, serang, FTK BANTEN PRESS, hlm.107-110

9
logis disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil
Al-qur’annya adalah sebagai beriku:

‫الرس ُۡو َل َواُولِى ۡاالَمۡ ِر مِ ۡنكُمۡ ۚ فَا ِۡن تَنَازَ عۡ تُمۡ ف ِۡى ش َۡىءٍ ف َُرد ُّۡوهُ اِلَى ه‬
ِ‫ّٰللا‬ َّ ‫ّٰللا َواَطِ ۡيـعُوا‬ ۡ َ‫ٰٰۤيـاَيُّ َها الَّذ ِۡينَ ٰا َمن ُٰۡۤوا ا‬
َ ‫طِيـعُوا ه‬
ٰ ۡ ‫اّٰلل َو ۡاليَ ۡـو ِم‬
‫االخِ ِر ٰذ لِكَ خ َۡي ٌر َّواَحۡ َسنُ ت َۡا ِو ۡي ًال‬ ِ ‫الرس ُۡو ِل ا ِۡن كُ ۡنـتُمۡ ت ُ ۡؤمِ ن ُۡونَ بِ ه‬
َّ ‫َو‬

(annisa:59) Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-
Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul
(sunnah) jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat ungkapan
“kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah perintah
supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah
dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat hukum yang
dinamakan 10qiyas.

A. . Rukun qiyas

Menurut para ulama yang menerapkan metode qiyas dalam suatu kasus
hukum harus memenuhi empat unsur atau rukun :

a. Ashl , yang berarti pokok , yaitu suatu peristiwa yang telah diterapkan
hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis alaih ( yang menjadi ukuran )
atau musyyabah bih ( tempat menyerupakan ), atau mahmul alaih ( tempat
membandingkan);

b. Far’un yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar. Fara disebut juga
maqis ( yang diukur ) atau musyabbah ( yang diserupai) atau mahmul ( yang
dibandingkan);

10 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hlm. 70.

10
c. Hukum ashl , yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan
hukum itu pula yang akan ditetapakan pada fara’ seandanya ada persamaan
illatnya.

d. ‘Illah, yaitu suatu sifat yang ada pada asahal dan sifat itu yang dicari pada fara’.
Seandainya sifat ada pula pada far’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum fara’sama dengan hukum ashal.

B. syarat syarat qiyas

Setelah diterangkan rukun qiyas , berikut akan diterangkan syarat syarat dari
masing masing qiyas tersebut. 11

Menurut imam al-Ghazali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah


ahli ushul fiqh syafi’iyyah ashal itu adalah.

a. Ashal

Kami berpendapat bahwa pengertian al-Ashl ialah sumber yang menjelaskan


hukum yang di pergunakan sebagai qiyas dari far’ (cabang) atau yang mempunyai
sasaran hukum. Sebagaimana kalau kita berbicara tentang sasaran hukum, tentu
ling tidak terlepas dari soal sumber hukum itu sendiri. Jadi dua pengertian diatas
saling menguatkan.

Menurut sebagai besar ulama fiqh, sumber hukum yang di pergunakan sebagai
qiyas harus berupa nash baik nash al qur’an atau hadis atau ijma’. Jadi tidak boleh
mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. 12

11 Masduki, ushul fiqh 1, serang, FTK BANTEN PRESS, hlm.110-111

12 Muhammad Abu Zahzah,2005, ushul fiqh, Jakarta, pustaka firdaus, hlm. 352

11
1. Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung
kemungkinan dinaskh-khan.

2. Hukum itu ditetapkan berdasarjan syara’.

3. Ashal itu bukan merupakan far’u dari ashal lainnya.

4. Dalil yang menetapkan illat pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak bersifat
umum.

5. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas.

6. Hukum ashal itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas far’u.

b. Al-Far’u

Para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
far’u yaitu:

1. Illat yang ada pada far’u harus sama dengan illat yang ada pada ashal. Contoh illat yang
sama dzatnya adalah mengqiyaskan whisky pada khamr, karena keduanya sama sama
memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya
haram.

2. Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas. Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan
hukum mendzihar wanita dzimmi kepada mendzihar wanita muslimah dalam keharaman
melakukan hubungan suami istri. Karena keharaman hubungan suami istri dalam
mendzihar suami istri yang bersifat muslimah bersifat sementara, yaitu sampai suami
membayar kafarat. Sedangkan keharaman melakukan hubungan dengan istri yang
berstatus dzimmi bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani membayar
kafarat, dan kafarat merupakan ibadah, sedangkan mereka tidak dituntut untuk beribadah.
Apabila qiyas ini ditetapkan, maka menurut ulama Hanafiyyah tidak sah. Akan tetapi
menurut ulama Syafi’iyyah hukumnya sah karena orang dzimmi dikenakan kafarat.

3. Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu. Artinya tidak ada nash atau
ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena

12
jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’.
Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’, disebut para ulama ushul fiqh sebagai
qiyas fasid. Misalnya, mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan
kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan
dengan nash dan ijma13’.

c. Illat

Secara etimologi illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan
sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan illat, karena
dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit.

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh,
antara lain, “Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan
karena perbuatan syar’I”.Jadi illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab
muncul hukum, dalam arti: adanya suatu illat menyebabkan munculnya hukum.

Pembagian qiyas dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Qiyas Illat, Qiyas Dalalah
dan Qiyas Syibih.

a. Qiyas Illat

Qiyas illat, yaitu qiyas yang mempersamakan ashal dengan far’u, karena keduanya
mempunyai persamaan illat.

b. Qiyas Dalalah

Qiyas dalalah ailah qiyas yang illatnya tidak tersebut, tetapi merupakan petunjuk yang
menunjukkan adanya illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti
harta anak-anak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Cara
ulama yang menetapkan wajib mengqiyaskan kepada harta orang yang telah baligh,

13 Umam, chaerul dkk, 1998. Ushul fiqh. Bandung : CV. Pustaka setia.

13
karena ada petunjuk yang menyatakan illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat
bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskan kepada harta
orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadat, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah
hanya diwajibkan kepada orang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh,
tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu ia anak
kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.14

c. Qiyas Syibih

Qiyas syibih adalah qiyas yang far’u dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi
diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan far’u. seperti hukum merusak
budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya
adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama
merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih
banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka.
Sebagaimana harta budak dapat diperjual-belikan, diberikan kepada orang lain
diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.

3.Fungsi dan Kedudukan Ijma’

Yang dimaksud fungsi ijma’ disini adalah kedudukannya dihubungkan


dengan dalil-dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu,
menurut ulama Ahlus Sunnah mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum
dengan sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama Syi’ah, ijma’ itu adalah hanya
untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini
terlihat ada dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’
dilihat dari sudut pandangan masing-masing kelompok.

Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu


ijma’ tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu
berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq Allah yang telah dianugerahkan

14 Zahrah, muhammad abu. 2008. Ushul fiqh.jakarta : pustaka firdaus

14
15
kepada ulama yang melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini tampak
bahwa kedudukan dan fungsi ijma’ bersifat mandiri. Dalam pandangan ulama yang
mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’ dalam bentuk nash atau qiyas,
maka ijma’ itu berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran
itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau
qath’i, baik dalil itu berbentuk nash atau qiyas.

Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu


sumber dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan Sunnah. Ini berarti ijma’ dapat
menetapkan hukum yang mengikat wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Ulama Ushul Fiqh juga
berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum
dan menjadi sumber hukum Islam yang kuat. Jika sudah terjadi ijma’ (kesepakatan)
diantara mujtahid terhadap suatu hukum masalah atau peristiwa, maka umat Islam
wajib menaati dan mengamalkannya. Alasan jumhur ulama Ushul Fiqh bahwa ijma’
merupakan hujjah yang kuat sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 59 yang artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil
Amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

4. Fungsi dan Kedudukan Qiyas

Dalam teori hukum klasik, qiyas dianggap sebagai prinsip dasar atau sumber
hukum yang keempat setelah ijma’. Qiyas juga di pandang sebagai salah satu cara

15

https;//www.google.com/hmp/s/habibibintangkuwordpressblog.wordpress.com/2017/03/28/first-
blog-post/hmp/

15
ijtihad, karena qiyas merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk mengungkap
ketetapan hukum yang sepenuhnya yang bergantung pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Fungsi qiyas dalam mengungkapkan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah,


dikemukakannya :

“Semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan orang Islam, pasti terdapat
ketentuan hukumnya atau indikasi yang mengacu pada adanya ketentuan
hukumnya. Jika ketentuan hukum itu disebutkan maka haruslah dicari indikasi
mengacu pada ketentuan hukum tersebut dengan bertijtihad.16”

Pernyataan diatas menegaskan bahwa fungsi qiyas sangat penting dalam


mengungkapkan hukum dari dalilnya (Al-Qur’an dan Sunnah) guna menjawab
tantangan peristiwa yang dihadapi kaum muslimin yang tidak secara tegas
disebutkan dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah. Imam Syafi’i memiliki wawasan
berjangkauan jauh ke depan, bahwa kaum muslimin di dalam hidupnya senantiasa
menghadapi berbagai peristiwa baru yang secara tegas hukumnya dalam Al-Qur’an
atau Sunah. Oleh karena itu, setiap peristiwa tersebut tidak terlepas dari ketentuan
hukum tetapi tidak dijelaskan di Al-Qur’an atau Sunnah, maka harus dicari dalam
Al-Qur’an atau Sunnah dengan menggunakan qiyas. Jadi, qiyas dalam pandangan
Imam Syafi’i berperan besar dalam penggalian hukum bagi peristiwa baru yang
dihadapi kaum muslimin.

Walaupun qiyas berfungsi sangat berperan dalam mengungkapkan hukum


peristiwa yang tak disebutkan dalam nash, namun dalam pandangan Imam Syafi’i
hasil (pengetahuan hukum) yang diungkapkan qiyas tidak sama peringkatnya
dengan (pengetahuan) hukum yang diperoleh secara shahih dari Al-Qur’an, Sunnah
maupun Ijma’. Alasan menempatkan kedudukan hasil qiyas lebih rendah dari
pengetahuan hukum secara shahih dari Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’, karena
pengetahuan hukum yang diperoleh dengan qiyas hanya benar secara lahir (menurut

16 Muhammad Abu Zahzah,2005, ushul fiqh, Jakarta, pustaka firdaus

16
apa yang dicapai oleh kemampuan nalar mujtahid) yang tidak aman dari pengaruh
subjektivitas. 17

BAB III

PENUTUP

2.1 KESIMPULAN

1) ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari umaat islam pada masa
tertentu sesudah rasulullah wafat suatu hukum syara yang
amaliah.

2) Qiyas menurut ushul fiqh adalah Mempersamakan suatu kejadian


yang tidak ada nash atas hukumnya, karena ada persamaan
keduanya dalam illat pada hukum tersebut.

3) dimaksud fungsi ijma’ disini adalah kedudukannya dihubungkan


dengan dalil-dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada
dasarnya ijma’ itu, menurut ulama Ahlus Sunnah mempunyai
kekuatan dalam menetapkan hukum dengan sendirinya.

17

https;//www.google.com/hmp/s/habibibintangkuwordpressblog.wordpress.com/2017/03/28/first-
blog-post/hmp/

17
4) Dalam teori hukum klasik, qiyas dianggap sebagai prinsip dasar
atau sumber hukum yang keempat setelah ijma’. Qiyas juga di
pandang sebagai salah satu cara ijtihad, karena qiyas merupakan
proses ijtihad yang sistematis untuk mengungkap ketetapan hukum
yang sepenuhnya yang bergantung pada Al-Qur’an dan Sunnah.

2.2 SARAN

Bagi seluruh pembaca alangkah baiknya membaca buku yang berkaitan dengan
pelajaran Ushul Fiqh yang berjudul sumber hukum islam (ijma dan qiyas), agar
pembaca memperoleh ilmu yang lebih luas lagi. 18

DAFTAR PUSTAKA

https;//www.google.com/hmp/s/habibibintangkuwordpressblog.wordpress.com/20
17/03/28/first-blog-post/hmp/

Masduki,2014, ushul fiqh 1, serang, FTK BANTEN PRESS

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Setia)

yasin as-siba’I, 2010, tafsir al-wushul ila al-ushul, bogor, pustaka thariqul izzah

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2003)

Muhammad Abu Zahzah,2005, ushul fiqh, Jakarta, pustaka firdaus

18http://irginurfadil.blogspot.com/2016/12/makalah-ijma-dan-qiyas-fiqh-ibadah.html

18
http://irginurfadil.blogspot.com/2016/12/makalah-ijma-dan-qiyas-fiqh-
ibadah.html

Umar, muin dkk. 1985. Ushul fiqh I. Jakarta : departemen agama

Umam, chaerul dkk, 1998. Ushul fiqh. Bandung : CV. Pustaka setia

19

Anda mungkin juga menyukai