Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

DALIL HUKUM BERDASARKAN IJMA’


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh

Dosen Pengampu:Syaiful Aziz,M.H.I

Disusun Oleh:
Musthofa Syahab 230341020008

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
2024

i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.Alhamdulillahirabbil’aalamiin, Puji syukur kami
panjatkan kepada Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Tanpa
karunia-Nya, mustahillah makalah ini dapat terselesaikan. tim penyusun berhasil
menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu yang berjudul "Dalil Hukum
Berdasarkan Ijma’."
Dalam penyusunan makalah ini, semua isi ditulis berdasarkan buku-buku dan
jurnal referensi yang berkaitan dengan ushul fiqh . Apabila dalam isi makalah
ditemukan kekeliruan atau informasi yang kurang valid, tim penyusun sangat terbuka
dengan kritik dan saran yang membangun untuk diperbaiki selanjutnya. Akhir kata, tim
penyusun makalah mengucapkan terima kasih.

ii
DAFTAR ISI

MAKALAH ................................................................................................................

DALIL HUKUM BERDASARKAN IJMA’ ...............................................................

KATA PENGANTAR ..................................................................................................

DAFTAR ISI ...............................................................................................................

BAB I .........................................................................................................................

PENDAHULUAN ......................................................................................................

1.1 LATAR BELAKANG ...........................................................................................

1.2 RUMUSAN MASALAH ......................................................................................

BAB II ........................................................................................................................

PEMBAHASAN .........................................................................................................

2.1 Pengertian Ijma’, sandaran Ijma’, dan fungsi Ijma’ ...............................................

2.2 Ijma’ Sebagai Dalil Hukum ..................................................................................

2.3 Ketetapan Ijma’, Nasakh Ijma’, dan Mengingkari Hasil Ijma’ ...............................

2.4 Pembagian Ijma’, Macam-macam Ijma’, Dan Kemungkinan Terjadinya ...............

BAB III.......................................................................................................................

PENUTUP ..................................................................................................................

3.1 KESIMPULAN .....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil
pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali
hukum-hukum syara’ Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan
adanya ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al
Hadits, mereka berijtihad dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri
(Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. “Khalifah Umar
Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan
bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu
hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah
disepakati.(1)

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Pengertian Ijma’, sandaran Ijma’, dan fungsi Ijma
2. Ijma’ Sebagai Dalil Hukum
3. Ketetapan Ijma’, Nasakh Ijma’, dan Mengingkari Hasil Ijma’
4. Pembagian Ijma’ , Macam-macam Ijma’, Dan Kemungkinan Terjadinya Ijma’

1
Drs. H. Sidur Sahar, SH, CN, Asas-asas Hukum Islam, Penerbit Alumni, Bandung, 1996, hal 74..

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijma’, sandaran Ijma’, dan fungsi Ijma’

1. Pengertian Ijma’
Secara etimologi Ijma’ berarti :
a. Ittifaq (kesepakatan atau konsensus)2. Pengertian ini dapat dilihat pada
firman Allah dalam surat yusuf ayat 15:

“ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke


dasar sumur ( lalu mereka masukan dia), kami wahyukan kepadanya
engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan ini kepada mereka ,
sedang mereka tidak menyadari”.3
b. Al-‘azmu ‘ala asy-syai’ (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu)
sesuai dengan firman Allah sebagai berikut :

“....karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)


sekutusekutumu (untuk membinasakan ku )...”(QS. Yunus, 10:71).4

2
. Ahmad Hassan Munawir, al-Munawir kamus Arab Indonesia , Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, hal 210.
3
. Depag RI, al-Qur’an dan terjemahannya (Semarang, CV Toha Putra , 1989, hal 350.
4
. Ibid, hal 317

5
Adapun pengertian ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i terdapat
perbedaan rumusan, Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan
kesepakatanitu. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau
definisi ijma’ sebagai berikut :
a. Menurut Imam al-Ghazali, kesepakatan umat Muhammad SAW secara
khusus tentang suatu masalah agama 5 . Walaupun dalam istilah ini
dikhususkan kepada umat nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang
luas yaitu seluruh umat nabi Muhammad atau umat Islam.
Pandangan Imam al-Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’i yang
menetapkan ijma’ itu sebagai kesepakatan umat.

b. Menurut Imam al-Amidi yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’


sebagai kesepakatan sekelompok ahlul halli wal ‘aqd (para ulama yang
membimbing kehidupan keagamaan umat islam) umat Muhammad SAW
pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa. 6. Kelihatannya
Imam al-Amidi membatasi kesepakatan orang-orang tertentu dari umat
nabi Muhammad, yaitu orang yang berfungsi sebagai pengungkai atau
pengikat atau para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat
Islam. Dalam hal ini orang awam tidak diperhitungkan kesepakatannya,
namun lebih lanjut terlihat, al-Amidi masih memberikan kemungkinan
masuknya orang awam dalam penetapan ijma’ dengan ketentuan telah
mampu berbuat hukum.( 7)

c. Menurut Ibnu Taimiyah adalah kesepakatan ulama-ulama Islam tentang


suatu hukum (Islam).8

5
. Abu Hamid, Al-Ghazali, al-Musthafa fi Ulum al-Ushul , Beirut: Daral-Khutb al-Ilmiyyah, 2000, hal 137.
6
. Saif al-Din , Al-Amidi , al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1983, hal 168.
7
. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 1, Jakarta, Kencana Prenada media Group, 2011, hal 133 8 .
Abd. Al-Rahman ibn M. Qasim al-Asimy al- Najdiyal Ahmad ibn al-Aziz Ali Sa’ud, Majmu’ fatawa al-Islam
Ahmad Ibn Taimiyah, selanjutnya disebut Ali Saud, Beirut: Dar al-Fikr, jilid I hal 486. 9 . Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin, Ushul....op cit hal 135.

6
d. Definisi yang berbeda secara substansial adalah apa yang dikemukakan
oleh ulama Syi’ah. Mereka tidak menitik beratkan kepada kata “semua”
tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok itu
mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk itu ulama Syi’ah
merumuskan definisi ijma’ “ Kesepakatan suatu komunitas yang
kesepakatan mereka memiliki kekuatan dalam menetapkan hukum syara’.
Ulama Syi’ah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan
mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena menurut mereka
kesepakatan kelompok bukanlah untuk menetapkan hukum tersendiri
diluar apa yag telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan sunnah, bagi mereka
ijma’ itu hanya untuk menemukan adanya Sunnah, yatu ucapan atau
perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum atau terbebas dari dosa yang
dalam hal ini menurut mereka adalah nabi muhammad atau ahlul bait
(Keturunan nabi dan Fatimah serta Hasan dan Husin).( 9)
e. Menurut jumhur ulama ushul fiqh, sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah
al-Zuhaili dan Muhammad Abu Zahrah adalah : kesepakatan semua
mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasulullaah SAW wafat atas
suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus’.8

Dari definisi diatas terlihat unsur pokok yang merupakan hakikat dari suatu
ijma’ yang sekaligus merupakan rukun ijma’, yaitu :

- Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma’ terdapat


sejumlah orang yang berkwalitas mujtahid, karena kesepakatan itu tidak
berarti bila yang sepakat itu hanya seorang. (9)

- Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa


memandang negeri asal, jenis dan golongan mujtahid. Kalau yang
mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid
kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka

8
. Ibid
9
. Ibid

7
kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma’, karena ijma’ itu hanya tercapai
dalam kesepakatan menyeluruh. (10 )

- Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid


mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya secara
terang-terangan, baik ucapannya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan
dengan mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu, atau dalam
bentuk perbuatan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam
kedudukannya sebagai hakim.

Bila telah tercapai rukun-rukun di atas yaitu telah berkumpul dan bertemu
semua mujtahid muslim dari berbagai negeri, bangsa dan golongan dalam satu masa
sesudah wafatnya Nabi, dihadapkan kepada mereka suatu kasus yang memerlukan
putusan hukum. Kemudian setiap mujtahid mengemukakan pendapat secara
terangterangan baik dengan ucapan atau perbuatan, secara bersama-sama atau
terpisah, ternyata pendapat mereka sama tentang hukumnya, maka hukum yang
disepakati itu merupakan hukum syara’ yang wajib diikuti dan mengikat seluruh umat
Islam. (11)
2. Sandaran Ijma’
Yang dimaksud dengan sandaran ijma’ adalah dalil yang kuat dalam bentuk
nash al-Qur’an atau sunnah, baik secara langsung maupun tidak. Dalil itu dapat
dijadikan rujukan bagi keputusan ijma’ , kemudian mengenai adanya sandaran atau
dalil merupakan syarat bagi kekuatan ijma’ , ada perbedaan pendapat dalam kalangan
ulama sebagai berikut (12 ):
a. Hampir semua ulama berpendapat bahwa ijma’ itu harus merujuk pada suatu
sandaran yang kuat, bukan berdasar taufik dari Allah SWT, alasan mereka :
1) Dalam keadaan tidak ada rujukan atau sandaran, tidak mungkin seseorang
akan sampai kepada kebenaran.

10
. Ibid
11
. Ibid
12
. Ibid hal 154

8
2) Nabi muhammad SAW tidak pernah berkata atau menetapkan hukum
kecuali bila sandaran berupa wahyu sebagaimana dijelaskan dalam al-
Qur’an.
3) Seandainya para mujthid itu dapat menetapkan hukum tanpa sandaran
berarti masing-masing mujtahid secara perseorangan dapat menetapkan
hukum tanpa sandaran.
4) Mengemukakan pendapat dalam hal agama tanpa dalil atau petunjuk
adalah tindakan yang salah.
5) Produk hukum syar’i bila tidak disandarkan kepada dalil, tidak dapat
diketahui hubungannya dengan hukum syara’.
b. Sebagian kecil ulama tidak mensyaratkan adanya sandaran ijma’, mereka
berpendapat bahwa dapat saja ijma’ itu terjadi karena adanya taufik dari Allah,
mereka beralasan sebagai berikut(13 ):
1) Seandainya kekuatan suatu ijma’ membutuhkan suatu dalil sebagai
sandaran, maka sebenarnya kekuatan hujah terletak pada dalil yang
menjadi sandaran itu, bukan pada ijma’ itu sendiri . Dengan demikian ijma’
itu tidak ada artinya dalam kedudukannya sebagai dalil syara’ yang berdiri
sendiri.
2) Seandainya ijma’ itu memerlukan sandaran, maka tidak akan terlaksana
ijma’ tanpa ada sandaran, diantara ijma’ yang tanpa sandaran contohnya
ijma’ ulama tentang pengambilan sewa pemandian umum, penetapan
kharaj, dan sebagainya.

3. Fungsi Ijma’
Yang dimaksud dengan fungsi ijma’ adalah kedudukannya dihubungkan
dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu menurut
ulama ahl al-sunah, mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan
sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama syi’ah ijma’ itu hanya untuk
menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini terlihat ada
dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’. Dalam

13
. Ibid hal 155

9
pandangan ulama yang berpendapat bahwa kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan
sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan
hukum atas dasar taufik Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama yang
melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan fungsi
ijma’ itu bersifat mandiri.( 14)
Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk
suatu ijma’, dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’itu berfungsi untuk
meningkatkan kwalitas yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya
lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath’i, contoh ijma’ yang menguatkan
dalil sunnah yang dijadikan sandarannya adalah mengenai hak kewarisan nenek dari
harta peninggalan cucunya. Hal ini bermula dari sebuah hadis yang lemah, namun
akhirnya menjadi ijma’ yang kuat.

2.2 Ijma’ Sebagai Dalil Hukum


Para ulama ushul fiqih mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma’
adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum kepada berbagai argumentasi antara lain:
a. Qs.annisa: 115

“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran


baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburukburuk tempat
kembali”.

Ayat tersebut mengancam golongan yang menentang Rasulullah dan


mengikuti jalan orang-orang yang bukan mukmin. Dari ayat tersebut dipahami, kata

14
. Ibid hal 157

10
muhammad abu zahrah, bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang
mukmin yaitu mengikuti kesepakatan mereka.
b. Qs. Albaqarah; 143 yang artinya "Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (QS. Al-Baqoroh :
143)

Ayat ini mensifati umat Islam dengan “wasath”, yang berarti adil. Ayat ini
memandang umat Islam itu adil dan dijadikan hujjah yang mengikat terhadap manusia
untuk menerima pendapat mereka sebagaimana ucapan Rasul menjadi hujjah terhadap
kita untuk menerima ucapan yang ditujukan kepada kita.
Ijma’ berkedudukan sebagai hujjah tidak lain artinya kecuali bahwa pendapat
mereka itu menjadi hujjah terhadap yang lain.
c. Qs. Annisa: 59 yang artinya Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), Perintah menaati ulil amri sesudah
mematuhi Allah dan Rasul berarti

peritah untuk mematuhi Ijma’, karena ulil amri itu berarti orang-orang yang mengurusi
kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam hal ini adalah
ulama. Kepatuhan akan ulama adalah bila mereka sepakat tentang suatu hukum, Inilah
yang disebut ijma’.(15)
4. Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu
peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak
mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan
dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan, umatku
tidak akan sepakat melalkukan kesesatan" (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) . Di
dalam hadis ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat
yang sama-sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti
ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya itu merupakan
hukum yang mengikat umat islam. Ulama syi’ah tidak mendudukkan ijma’ itu
sebagaimana yang dilakukan oleh ulama ahl al-sunah. Memang ulama syi’ah
mengakui adanya ijma’ menurut definisi yang mereka gunakan dan mengakui

15
. Ibid hal 140

11
ijma’ sebagai salah satu dalil syara’, namun dalam arti ijma’ itu menunjukkan
jalan untuk mengetahui adanya hukum syara’, ijma’ sama sekali bukan
lembaga yang dapat menetapkan hukum syara’, sebagaimana yang dianggap
oleh ulama ahl al-sunah.
2.3 Ketetapan Ijma’, Nasakh Ijma’, dan Mengingkari Hasil Ijma’ 1. Ketetapan
Ijma’
Bila telah berlangsung suatu ijma’ maka ia mempunyai kekuatan hukum atau
hujjah untuk umat pada masa berlangsungnya ijma’ dan umat sesudahnya. Tentang
bagaimana caranya kaum Muslimin mengetahui bahwa ijma’ tentang suatu hukum
telah berlaku dan telah mengikat untuk mereka, adalah melalui periwayatan dari satu
orang kepada orang lain, dan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dengan
demikian ijma’ itu ditetapkan melalui kabar atau periwayatan. ( 16)
Ijma’ adalah dalil hukum yang bersifat qath’i atau meyakinkan kebenarannya, oleh
karena itu penukilan dan penyebarluasannya pun harus dengan cara meyakinkan pula,
yaitu melalui kabar mutawatir, agar sifat qath’i pada asal hukumnya dapat diimbangi
dengan qath’i dalam segi sanad (materi hukum) dan periwayatannya.
Tentang penukilan ijma’ melalui kabar ahad terdapat perbedaan ulama. Sebagian
ulama Syafiiyah, Hanafiyah dan ulama Hambali berpendapat bolehnya menukilkan
ijma’ dengan kabar ahad. Sedangkan kelompok ulama Hanafiyah dan sebagian ulama
Syafiiyah seperti al-Ghazali berpendapat tidak boleh menukilkan ijma’ dengan kabar
ahad. Kedua ulama yang berbeda pendapat ini sepakat menyatakan ijma’ yang
dinukilkan melalui kabar ahad, kekuatan hukumnya bersifat zhanni, meskipun ia
bersifat qath’i.(17)

Kelompok ulama yang berpendapat membolehkan penukilan ijma’ dengan kabar ahad
menggunakan alasan dengan nash dan qiyas, adapun alasaan nash adalah sabda nabi :
“Kami menetapkan hukum berdasarkan yang zahir, sedangkan Allah menyukai yang
tersembunyi”
Dalam hadis itu kata “lahir” disebutkan dengan alif- lam jinsiyah yang

16
. Ibid hal 166
17
. Ibid hal 167

12
menunjukkan keumumannya, termasuk di dalamnya ijma’ yang ditetapkan dengan
kabar ahad karena ia lahir dan zhanni. Itulah yang dapat dicapai oleh usaha manusia,
sedangkan yang lebih dari itu diserahkan kepada Allah.
Adapun dalil qiyas yang mereka kemukakan ialah kabar ahad tentang
adanya ijma’ menimbulkan zhan (dugaan kuat), karenanya mengandung hujjah
sebagaimana kabar ahad yang berasal dari hadis nabi yang diakui kehujjahannya.
Kelompok ulama yang menolak penetapan ijma’ melalui kabar ahad
beralasan bahwa ijma’ yang dinukilkan berdasarkan lisan yang ahad merupakan salah
satu sumber fiqh seperti qiyas dan kabar ahad dari rasul. Tidak ada ijma’ qath’i yang
menunjukkan kebolehan berhujjah dengannya yang tidak didukung oleh nash yang
qath’i dari Al-Qur’an dan sunnah.
2. Nasakh Ijma’
Yang dimaksud nasakh ijma’ disini adalah munculnya ijma’ ulama yang
menyatakan bahwa keputusan ijma’ sebelumnya tidak berlaku lagi , atau muncul
pendapat ulama secara perseorangan, atau muncul ijma’ atas suatu hukum yang
berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama terdahulu. Memang pada
dasarnya nasakh (pembatalan) itu tidak itu tidak berlaku kecuali dalam hukumhukum
yang ditetapkan dengan nash, baik nash Al-Qur’an maupun nash hadis, karena nasakh
itu hanya berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku sesudahnya. Karenanya
tidak mungkin terjadi nasakh dalam hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ra’yu
meskipun ra’yu yang merujuk kepada nash.(18)
Pembicaraan tentang nasakh ijma’ in bukanlah dalam arti sebenarnya, akan
tetapi berupa kemungkinan munculnya ijma’ yang menasakh atau mengakhiri
berlakunya hasil ijma’ yang lalu. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam
kalangan ulama :
a. Jumhur ulama berpendapat nasakh tidak berlaku dalam ijma’, artinya
apa yang telah ditetapkan dengan ijma’ tidak mungkin dibatalkan dengan nash, dengan
ijma’ lagi atau dengan qiyas, alasannya ialah bahwa yang akan menaskhkannya
tentulah nash, ijma’ atau qiyas, namun menasakh ijma’ dengan salah satu diantaranya
tidaklah mungkin.

18
. Ibid hal 164

13
b. Sebagian kecil ulama, diantaranya ulama Mu’tazilah dan fahrur Razi
berpendapat bahwa ijma’ dapat dinasakh oleh ijma’ yang datang kemudian, karena
tidak ada bagi ijma’ untuk dinasakhkan. Alasannya sebab diantara sandaran ijma’ yang
pertama itu adalah qiyas yang illatnya adalah sifat yang dilihat oleh ulama yang
mencetuskan ijma’ yang pertama itu sebagai maslahat, tetapi kemudian maslahat itu
berubah pada mas berikutnya, dan pada masa itu para ulama menggunakan qiyas yang
merujuk pada sifat yang lain (berbeda), keadaan yang telah berubah ini menghendaki
hukum yang berbeda dengan ijma’ yang pertama. (19)
Pendapat di atas dikuatkan oleh Khudary Bey, ia mengemukakan contoh
ijma’ yang menasakhkan nash baik Al-qur’an maupun sunnah. Umpamanya ijma’ yang
menasakhkan menetapkan tidak berhaknya muallaf atas zakat, yang dengan sendirinya
menghapuskan hukum yang menetapkan hak muallaf atas zakat sebagaimana tersebut
dalam Al-Qur’an surat at-Taubah (9): 60.
3. Mengingkari Hasil Ijma’
Seseorang disebut mengingkari hasil Ijma’ bila ia mengetahui adanya ijma’
ulama yang menetapkan hulum atas suatu kasus , namun ia secara sadar berbuat yang
berbeda mengenai kasus itu dengan apa yang telah ditetapkan oleh ijma’.
Pengingkaran terhadap hasil ijma’ ini disebabkan hal-hal sebagai berikut :
a. Ia secara prinsip tidak mengakui ijma’ sebagai salah satu dalil hukum
yang mengika , karena memang tidak ada dalil sharih dengan dilalah
yang qath’i tentang kehujjahan ijma’ tersebut.
b. Ia mengakui ijma’ sebagai hujah syar’iyah secara prinsip, namun ia
menolak menerima ijma’ tertentu, karena menurut keyakinannya cara
penukilan ijma’ itu tidak meyakinkan, atau ia tidak yakin telah terjadi
ijma’ tentang suatu masalah.
c. Ia menerima ijma’ secara prinsip dan meyakini secara pasti bahwa ijma’
telah berlangsung namun ia tetap tidak mengindahkannya.
Dalam hal pengingkaran terhadap ijma’ ini terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa mengingkari hukum yang telah
ditetapkan ijma’ adalah kafir. Ulama lain menolak mengkafirkan orang yang

19
. Ibid hal 165

14
mengingkari ijma’. Mereka juga sepakat tentang tidak kafirnya orang yang
mengingkari ijma’ yang zhanni.

Para ulama yang menyatakan kafir orang yang mengingkari ijma’ yang qath’i
berpendapat bahwa keingkaran akan hukum ijma’ mengandung arti mengingkari dalil
qath’i, berarti pula mengingkari kebenaran risalah yang dibawa nabi, sikap demikian
hukumnya kafir sebagaimana mengingkari Al-Qur’an dan sunnah nabi.
Ulama yang tidak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma’ beralasan
bahwa dalil tentang kehujaan ijma’ berdasarkan dalil yang tidak qath’i tetapi hanya
zhanni. Karenanya tidak menimbulkan hukum yang meyakinkan, mengingkari hukum
yang tidak meyakinkan, tidak sampai menjadi kafir. Pendapat yang tepat dalam hal ini
adalah apa yang dikemukakan oleh Muhammad Khudhari Bey, ia mengatakan bahwa,
mengatakan kafir orang yang mengingkari ijma’ tanpa melihat alasannya adalah tidak
benar. Untuk itu ia mengutip pendapat Imama Haramain yang mengatakan bahwa
ucapan yang berkembang di kalangan ulama yang mengkafirkan orang yang
mengikuti ijma’ itu batal secara pasti. Orang yang mengingkari prinsip ijma’ tidaklah
kafir, karena menghukum kafirnya seseorang tidaklah gampang. Seseorang yang
meyakini ijma’ sebagai salah satu hujah syar’iyah dan mengakui kebenaran orang-
orang yang melakukan ijma’ serta kebenaran penukilannya, kemudian ia secara sadar
mengingkari apa-apa yang telah diputuskan secara ijma’, maka pengingkarannya itu
berarti mendustakan kebenaran pembuat hukum (syari’).(20)

2.4 Pembagian Ijma’, Macam-macam Ijma’, Dan Kemungkinan Terjadinya


Ijma’
1. Pembagian Ijma’ dan macam-macam Ijma’
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma terdiri atas:
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ terbagi menjadi dua yaitu ijma’ sharih (jelas) dan
ijma’ sukuti (diam/persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama’).
a. Ijma’ sharih (jelas), yaitu kesepakatan seluruh para mujtahid baik
dengan perkataan atau perbuatan terhadap suata masalah tertentu, setiap para mujtahid
menyampaikan pendapatnya dengan jelas. Ijma’ seperti ini langka terjadi, apalagi
dalam suatu majlis yang dihadiri oleh semua mujtahid pada suatu masa tertentu,
sebagaimana pendapat al-Nazzam bahwa ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Tetapi

20
. Ibid hal 169

15
jumhur ulama’ ushul berpendapat apabila hal ini terjadi dan menghasilkan suatu
kesepakatan maka bisa dijadikan sebagai hujjah syar’iyah dengan tanpa khilaf dan
kekuatan hukumnya bersifat qath’i.
Ijma’ sharih ini sangat langka terjadi, jangankan yang dilakukan dalam suatu
majelis pertemuan, tidak dalam forumpun sulit dilakukan. Karena itu sebagian ulama
berpendapat ijma’ sharih hanya mungkin terjadi pada masa sahabat, karena waktu itu
jumlah mujtahid masih terbatas, dan lingkungan domisili mereka masih berdekatan
sehingga tidak sulit untuk berhubungan atau menyampaikan pendapatnya.
b. Ijma’ sukuti (diam), yaitu kesepakatan sebagian mujtahid dalam suatu
permasalahan dan sebagian mujtahid yang lain tidak berpendapat (diam) dan tidak
mengingkarinya. Ijma’ yang kedua ini, para ulama’ masih berselisih pendapat apakah
termasuk hujjah syar’iyah atau tidak:
Menurut Al-Malikiyah dan Al-Syafi’iyah bukan ijma’ dan bukan hujjah
syar’iyah karena diamnya sebagian mujtahid belum tentu menunjukkan kesepakatan.
Menurut Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah dianggap ijma’ dan hujjah
qot’iyah karena diamnya sebagian mujtahid yang lain menunjukkan taslim dan sepakat
terhadap permasalahan tersebut. Selain itu jika dilogikakan, bahwa ijma’ sharih yang
harus disepakati oleh semua mujtahid yang hidup pada masa terjadinya ijma’ dan
masing-masing mengemukakan pendapatnya serta menyetujui hukum yang
ditetapkan, maka hal ini tidak mungkin terjadi karena biasanya ijma’ yang
dikemukakan ulama’ berawal dari pendapat pribadi atau sekelompok mujtahid dan
lainnya diam.
Lebih lanjut Abu Zahra menyatakan alasan yang dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah dan Hanabilah: Diamnya (sukut) para ulama tentang suatu hukum hasil
ijtihad adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan
mempelajari hasil ijtihad ulama lain adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan jika
mereka diam saja maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.
c. Ijma’ Amali yaitu kesepakatan para mujtahid atau ulama dalam
mengamalkan perbuatan tertentu pada suatu masa, amal para ulama ini
menunjukkan terjadinya suatu ijma’ atau kesepakatan. Kesepakatan ini tidak
menunjukkan pada hukum wajib kecuali ada indikasi yang mendukungnya,

16
misalnya Ubaidah al-Salmaniy menyatakan “para sahabat nabi SAW sepakat
untuk melaukan salat empat rakaat sebelum zuhur “, dalam ijma’ ini tidak ada
indikasi yang menunjukkan bahwa salat empat rakaat sebelum zuhur itu
hukumnya wajib, tetapi hanya sunat sesuai kesepakatan mereka.( 21)
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada :
1 .ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;

2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan
lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan
hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang


dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya.
Ijma`-ijma` itu ialah:

1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan
pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar.
Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin
Khattab;
4. Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah.
Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut
Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi`i tidak mengakuinya sebagai salah satu
sumber hukum Islam;

21
. Firdaus Kandidat Doktor di Bidang Hukum Islam, Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum
Islam Secara Komprehensif, Jakarta, Zikrul Hakim, 2004, hal 50-51 (dikutip dari Abd al-Khalil al-Qaransaawi,
dkk,al-Mujiz fi Ushu al-Fiqh, (tk, Matbah al-Ukhuwah wa al-Aqsa’, 1965), hal 195

17
5. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah.
Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu sumber
hukum Islam.

3. Kemungkinan terjadinya ijma`

Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai
sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi
atas tiga periode, yaitu:

1. Periode Rasulullah SAW;


2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab;
dan
3. Periode sesudahnya.

Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada
peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur`an yang telah
diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak
menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada
Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat
al-Qur’an diturunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum
nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian
yang mereka alami.(22 )

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat


bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu alQur'an dan
al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum,
mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'.
Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar,
Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama
Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu,
belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah

22
. Dikutip dari Internet dengan judul “ Ijma’ sebagai dalil hulum”, pada hari Senin tanggal 28 Oktober 2013, jam
13.00.

18
Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang
dipandang sebagai mujtahid.

Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak


gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan
Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting
dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di
kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib
dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan
Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan
Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan
itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti
Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis
karenanya.

Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia
Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat
sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu
amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ijma` tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;


2. Ijma` mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar
bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman.
3. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai
saat ini tidak mungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun yang
telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak
bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.

Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat
atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama
Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut

19
sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-
undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya
beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan
undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan
oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum
muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan
sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah
Utsman sampai sekarang sekalipun ijma itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma'
lokal.(23)

Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma`, yaitu keputusan hukum yang
diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan
masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang
tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal `aqdi. Mereka diberi
hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang
mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.

Hal yang demikian dibolehkan dalam agama Islam. Jika agama Islam
membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu
saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama
memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau
peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih
tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.

23
. Ibid

20
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di
bawah dalil-dalil nash (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al
Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum
syara’, namun dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’
hanya terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa
sekarang.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam
menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau,
apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya. Adapun dari
ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para
mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’)
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih,
ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’
mengenai ijma’ itu sendiri.
Seperti ijma’ sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan Syafi’i memandang
bahwa ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai ijma’.
Sedangkan segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal
menyatakan sebaliknya.
Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa seyogyanya dalam
menyelesaikan permasalahan baru yang besar tidak cukup dengan ijtihad individu
(fard) tetapi hendaknya melakukan tranformasi dari ijtihad fard ke ijtihad jama’i atau
yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan
bermusyawarah tentang semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak
umum dan sangat penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif lebih
mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan. Hanya saja ijtihad kolektif

21
bukan berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari hasil penelitian
orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid.

22
DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Ahmad Hasan Munawir, Pustaka Progresis,


Surabaya, 1997.

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI, CV Toha Putra, Semarang, 1989.

Al-Musthafa fi Ulum al-Ushul, Abu Hamid, Al-Ghzali, Beirut: Dar al-Kutb al


Ilmiyyah, 2000

Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Saif al-Din, Al-Amidi, Beirut: Dar al-Kutb al-
Ilmiyyah, 1983

Ushul Fiqh jilid 1, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Kencana Prenada media Group,
Jakarta, 2011.
.
Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, Firdaus Kandidat Doktor di Bidang Hukum Islam, Jakarta, Zikrul
Hakim, 2004, (dikutip dari Abd al-Khalil al-Qaransaawi, dkk,al-Mujiz fi Ushu al-
Fiqh, (tk, Matbah al-Ukhuwah wa al-Aqsa’, 1965)

Ushul Fiqh, Nasrun Haroen, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1997.


Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya, Yusuf Qardhawi,
Risalah Gusti, Surabaya, 2000.

“Ijma’ dan Kekuatannya”, Internet, Rabu,tanggal 13 maret 2024 .

“ Ijma’ sebagai dalil hulum”, Internet, Rabu, tanggal 13 maret 2024.

23

Anda mungkin juga menyukai