Anda di halaman 1dari 22

IJMA’

Disusun Guna Memenuhi


Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu :
H. Mahasin Ariffi Setya. M.Pd.

Disusun Oleh :
Nama : Ahmad Fauzi
Nim :
Semester : III (Ganjil)
Prodi : Pendidikan Agama Islam (PAI)

SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL


TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq,
hidayah, dan inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tanpa
halangan suatu apapun.
Tak lupa penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak. Penulisan
makalah berjudul “Ijma”bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih.
Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat bantuan dan bimbingan serta
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr.H.Ahmad Tantowi,M.Si.,M.Pd. selaku Ketua Sekolah Tinggi Islam Kendal
(STIK) yang telah memberikan kesempatan untuk membuat makalah ini.
2. Bapak H. Mahasisn Arrifi Setya. M.Pd. Selaku Dosen Pengampu mata kuliah Ushul
Fiqih yang telah memberikan banyak pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan
makalah ini.
3. Semua pihak yang berperan dalam proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan penulis agar pembaca
berkenan memberikan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah
ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Kendal, 30 Agustus 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………..…………………………………
KATA PENGANTAR……………………………………..……………………………….….
DAFTAR ISI………………………………………………..………………………………….

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………..
A. Latar Belakang……………………..…………………………………………………...
B. Rumusan Masalah……………………..………………………………………………..
C. Tujuan Penulisan………………………..………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….…...
A. Pengertian dari Ijma‟……………………………………………………..……………..
B. Syarat-syarat Ijma‟………………………………………………………..…………….
C. Macam-macam dari Ijma‟……………………………………………..………………..
D. Kehujahan dari Ijma‟…………………………………………………..………………..
E. Penetapan hukum Ijma‟………………………………………………..………………..
F. Kedudukan hukum bagi yang mengingkari…………………………..…………………

BAB III PENUTUP……………………………………………….…………………………...


A. Simpulan……………………………………………...…………………………………
B. Saran……………..……………………………..………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menjalankan syariat Islam, umat Islam terutama kita warga Nahdlatul Ulama perlu
mengetahui dalil-dalil yang menjelaskan tentang syariat tersebut. Baik tata cara, larangan
maupun perintah untuk tertulis untuk melakukannya. Al-Qur‟an dan Al-Hadist merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam menjalankan syariat Islam. Al-Qur‟an
sendiri merupakan sumber hukum Islam pertama yang tidak dapat dibantah lagi, karena
kebenarannya yang mutlak dan merupakan sebuah petunjuk dari Allah untuk manusia.
Sementara Al-Hadist merupakan sumber hukum Islam ke dua setelah Al-Quran. Jika didalam
Al-Qur‟an tidak menerangkan bagaimana tata caranya melakukan sesuatu, maka kita ambil
ke dalam sumber hukum yang ke dua yaitu Al-Hadist.
Banyaknya masyarakat atau orang awam yang belum mengetahui tentang ketetapan
hukum Ijma‟ serta apa itu ijma sendiri serta bagaimana impelemntasinya di masyarakat
banyak belum diketahui oleh masyarakat. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang
mengetahui tentang Ijma mungkin hanya gologan dari kiyai dan para pemuka agama lainnya.
Selain itu, masalah yang timbul dalam masyarakat modern seperti saat ini tidak semua
dapat diatasi oleh kedua dalil tersebut. Perkembangan pola pikir serta pesatnya
perkembangan teknologi jugalah yang mempengaruhi munculnya berbagai perkembangan
masalah-masalah baru dalam masyarakat.
Dengan alasan tersebutlah penulis membuat makalah ini, diharapkan dengan adanya
makalah ini, dapat menambah wawasan serta pengetahuan baru bagi pembaca tentang apa itu
Ijma dan bagaimana penetapan Hukum Ijma.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian dari Ijma‟?
2. Apa sajakah syarat-syarat Ijma‟?
3. Apakah macam-macam dari Ijma‟?
4. Bagaimanakah kehujahan dari Ijma‟?
5. Bagaimanakah cara penetapan hukum Ijma‟?
6. Bagaimanakah kedudukan hukum bagi yang mengingkari?
C. Tujuan Penulisan
Dibuatnya makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi pembaca dan sekaligus
menambah wawasan baru bagi penulis. Serta diharapkan dengan adamya makalah ini,
masyarakat luas dapat mengaksesnya dengan mudah dan tanpa suatu kendala apapun.
Sehingga wawasan dapat terbuka kapanpun dan dimanapun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
Ijma‟ secara etimologi mengandung dua arti yaitu :
1. Ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan dalam berbuat sesuatu. Ijma
dalam pengambilan keputusan dapat dilihat dalam Firman Allah dalam Surat Yunus
(10): 71 :
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasahkanku)”
2. Ijma dengan arti “Sepakat” Ijma dalam hal sepakat, dapat dilihat dalam Al-Qur‟an
surat Yusuf (12): 15 :
Maka tatkala mereka membawa dan sepakat memasukannya kedasar sumur (Ushul
Fiqih Jilid 1 : 1997 M :122) (Ushul Fiqih Jilid 1 : 1997 : 122)
Lafadz Ijma dalam bahasa Arab berarti : „azm (keteguhan) (Ilmu Ushul Fiqih : 2014 :
66)
Ijma menurut istilah para ahli ushul Fiqih adalah kesepakatan para mujtahid pada
suatu masa dikalangan umat Islam atas hukum syara‟ mengenai suatu kejadian setelah
wafatnya Rasullalah. (Ilmu Ushul Fiqih : 2014 : 66)
Adapun Pengertian Ijma‟ dalam istilah teknis hukum atau istilah Syar‟i terdapat
perbedaan rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu.
Perbedaan rumus itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau definisi Ijma‟sebagai
berikut:

a. Al-Ghazali merumuskan Ijma sebagai kesepakatan Umat Muhammad secara


khusus atau suatu urusan agama. Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada
umat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh ummat
Nabi Muhammad dan seluruh umat Islam. Pandangan Imam Al-Ghazli ini
mengikuti pandangan Imam Syafi‟i yang menetapkan Ijma itu sebagai
kesepakatan Umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang
terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan.

b. Al-Amidi yang juga pengikut Syafi‟iyah merumuskan Ijma‟ adalah kesepakatan


sejumlah Ahlu Halli Wal‟Aqd (ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat
Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus. Kelihatannya Imam Al-
Amidi membatasi Ijma‟ itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Nabi
Muhammad, yaitu orang-orang yang mempunyai fungsi sebagai pengungkai dan
pengikat atau para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam.
Dalam hal ini orang awam tidak diperhitungkan keberadaanya.

Namun lebih lanjut terlihat bahwa Al-Amidi masih memberikan kemungkinan


masuknya orang awam dalam penetapan Ijma‟ dengan ketentuan ia telah mampu
berbuat hukum. Untuk maksud ini, Al-Amidi memberikan alternative definisi
Ijma‟ sebagai berikut :“kesepakatan para mukallaf dari ummat Muhammad pada
suatu masa atas hukum atau kasus” Definisi yang dikemukakan oleh ulama Ahl
Al-Sunnah berkisar disekitar definisi yang dikemukakan Al-Amidi tersebut
meskipun berbeda dalam perumusannya, yakni kesepakatan orang yang bernama
Ulama atau ahl al-halli al-aqdi.

3. Ulama Syi‟ah memberikan definisi bahwa Ijma adalah kesepakatan suatu komonitas
karena kesepakatan mereka dalam menetapkan hukum syara‟.Ulama Syi‟ah tidak
mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan
kelompok, karena menurut mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk
menetapkan sebuah hukum tersendiri diluar apa yang ditetapkan oleh Al-Qur‟an Dan
As-Sunnah. Bagi mereka ijma hanyalah untuk menemukan adanya sunnah yaitu
ucapan atau perbuatan seseorang yang dianggap ma‟shum atau terbebas dari dosa
yang dalam hal ini, menurut mereka, adalah Nabi Muhammad dan Ahlu Bait
(keturunan Fathimah dan Hasan serta Husen).

4. Al-Nazham (Pecahan dari kelompok Mu‟tazilah) mengemukakan rumusan Ijma


adalah setiap perkataan yang hujahnya tidak dapat dibantah. Maksutnya : “setiap
ucapan atau pendapat yang dapat ditegakan sebagai hujjah syari‟yah, meskipun
ucapan seseorang” Rumusan yang kelihatannya tidak sejalan dengan arti lughawi
yang mengartikan Ijma artinya “kesepakatan” itu kelihatannya merupakan kompromi
dan pemaduan antara ketidaksetujuan Nazham untuk menempatkan kesepakatan ahl
al-halli wa al-„aqdi sebagai hujjah dan persetujuannya dengan pendapat para ulama
yang mengharamkan atau menentang Ijma‟ (Ushul Fiqih Jilid 1 : 1997 : 124)

Dari beberapa pernyataan tersebut dapas disimpulkan bahwa Ijma adalah kesepakatan
para Ulama atau ketetapan untuk melakukan sesuatu dan keputusan berbuat sesuatu atas suatu
study kasus atau hukum. Yang dimana didalamnya harus mengandung dasar-dasar yang jelas
yang sesuai dengan Al-Quran Dan Al-Hadist.
B. Syarat-Syarat Ijma’

Ada beberapa perbedaan syarat supaya bisa dikatakan sebagai Ijma‟ yaitu :

a. Kuantitas anggota Ijma‟

Para Ulama sependapat bahwasannya ijma‟ itu terlaksana karena adanya kesepakatan
seluruh ulama mujtahid dan tidak ada perbedaan pendapata diantara mereka. Mereka juga
sependapat bahwa yang sepakat itu adalah banyak orang.

Diantara ulama ada yang menetapkan kehujjahan melalui dalil aqli (dalil yang
berdasarkan akal dan logika), seperti Imam Haramain dan ulama lain yang sependapat
dengannya. Kelompok ini berpendapat bahwa jumlah ulama mujtahid untuk terlaksananya
Ijma‟ adalah jumlah orang yang mencapai batas Mutawatir yang tidak bersekongkol untuk
berdusta atau melakukan kesalahan. Karena itu disyaratkan untuk melakukan suatu Ijma‟
bahwa jumlah Mujtahid waktu itu mencapai batas mutawatir, karena kurang dari itu
mungkinmengakibatkan adanya kesalahan, sedangkan kehujahhan ijma‟ adalah karena
terhindar dari kesalahan.

Dari keterangan diatas dejelaskan bahwasannya persyaratan untuk menetapkan sebuah


hukum ijma‟ haruslah sudah mencapai tingkat mutawatir tidak bersengkongkol serta tidak
berdusta, karen ditakutkan pada saat penetapan sebuah Ijma‟ apabila sang mutawatir itu
bersekongkol, maka hanya mementingkan urusan suatu kelompok itu saja, tidak
memperhatikan atau memperdulikan dari sudut pandang yang lain. Hal ini dilakukan supaya
dalam penetapan hukum ijma‟ supaya terhindar dari kesalahan.

Disamping itu ada kelompok lain yang menetapkan kehujahan ijma‟ hanya berdasarkan
dalil naqli (nash). Kelompok ini berbeda pendapat dalam hal persyaratan jumlah mutawir
hanya untuk sahnya sebuah ijma‟. Diantara ulama dari kelompok ini mensyaratkan jumlah
yang mencapai tingkat mutawatir itu, sedangkan sebagian ulama lainnya tidak
menysaratkannya. Al-Amidi cenderung kepada pendapat yang tidak mensyaratkan jumlah
mjutawatir itu. Pendapat ini juga dipilih oleh ulama Hambali.

Berbeda dengan pendapa sebelumnya, Imam Al-Amidi Dan para ulama Hambali tidak
mensyaratkan bagi Mujtahid untuk menetapkan sebuah hukum ijma‟ tidak harus sampai pada
tingkat mutawatir. Hal ini beralasan karena kekuatan hujjah ijma‟ hanya dapat diterapkan
dengan dalil naqli, dan tidak mungkin dengan dalil aqli. Atas dasar ini, maka meskipun
jumlah peserta ijma‟ itu kurang dari ukuran mutawatir sudah dapat dikategorikan sebagai
“ummat” dan “orang-orang mukmin” tentunya suara mereka terhindar dari yang namanya
kesalahan dan oleh karenanya mempunyai hujjah yang wajib diikuti ummat Islam.

b. Berlalunya Masa

Tidak dijelaskan bahwa Ijma‟ itu berlangsung berdasarkan kesepakatan ulama Mujtahid
dalam satu masa tertentu. Apakah suatu ijma‟ dapat dijadikan Hujjah dan mengikat umat
Islam untuk mengikutinya jika masa berlangsung ijma‟ itu telah berlalu dan semua Mujtahid
yang ikut dalam ijma‟ itu sudah meninggal, tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang
menarik pendapatnya. Hal ini merupakan sauatu persoalan yang diperbincangkan kalangan
ulama.

Permasalahan tersebut berasal dari sebuah pertanyaan,”Apakah seorang Mujtahid yang


telah mengemukakan dalam suatu ijma boleh menarik pendapatnya itu atau tidak?
Masalahnya, kalau ia menarik pendapat berarti ia mempunyai pendapat berbeda dengan yang
disepakati di ijma‟ itu dan dengan sendirinya menyebabkan gagalnya Ijma itu. Sebagian
ulama menyatakan bahwa setiap ulama Mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya
dalam Ijma tidak dibenarkan menarik pendapatnya. Atas dasar pandangan ini, maka
persoalan seperti apakahperlu ditunggu dulu meninggalnya semua Ulama yang hidup pada
masa terjadinya ijma‟ menjadi tidak relevan. Artinya tidak dipersyaratkan berlalunya masa
untuk sahnya suatu ijma.

Imam Ahmad Bin Hambal, Ustadz Abu Bakar Bin Fauraq dan sebagian kecil diantara
Ulama Syafi‟iah berpendapat bahwa berlalunya masa atau punahnya peserta Ijma mupakan
syarat untuk kekuatan hujjah suatu Ijma‟. Kelompok ini mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut :

1. Pernah terjadi pendapat yang menyimpang dari ketentuan hukum yang telah
ditetapkan suatu ijma‟. Misalnya Ummul walad (perempuan yang telah dihamili
majikannya) menurut Ijma‟ disamakan kedudukan hukumnya dengan hamba
sahaya biasa, sehingga dapat dijual Dan tidak merdeka dengan sendirinya dengan
kematian tuannya. Atas pendapat Ijma itu Umar bin Khatab, memerdekakan
Ummul walad nya. Setalah Ummar wafat Ali bin Abi Tholib mengemukakan
pendapatnya bahwa Ummul walad itu berbeda dengan sahaya biasa, ia merdeka
dengan sendirinya dengan kematian tuannya. Dengan demikian untuk kepastian
suatu ijma‟ harus ditunggu berlalunya masa sehingga wafatnya semua Mujtahid
peserta Ijma‟.

2. Seandainya ada dua pendapat yang berbeda dari para sahabat, berarti ada
kesepakatan terhadap bolehnya berbeda pendapat Dan kita boleh berpegang
kepada salah satu diantara dua pendapat itu. Jika salah sau kelompok dari para
sahabat itu menarik pendapatnya, maka akan terjadi Ijma‟ kalau meninggalkan
peserta Ijma‟ itu tidak dijadikan syarat, tentu tidak dibenarkan untuk mengikuti
salah satu dari dua pendapat yang berbeda itu, karena mungkin berarti salah satu
ijma‟ itu ada yang salah.

Jumhur Ulama yang terdiri kebanyakan pengikut Imam Al-Syafi‟iy, Abu Hanifah,
ulama kalam Asy‟ariyah Dan M‟utazilah berpendapat bahwa berlalunya masa Dan
meninggalnya semua peserta Ijma bukan syarat untuk kekuatan suatu ijma. Bahkan bila
terjadi kesepakatan ulama tentang hukum syara, maskipun baru satu saat, maka telah
berlangsungnya sebuah Ijma‟. Jumhur ulama mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

1. Dalil kehujahan Ijma‟ itu berasal dari Al-Quran Dan As-sunnah Nabi. Keduanya
tidak mewajibakn berlalunya masa.

2. Hakikat ijma‟ itu adalah kesepakatan. Tetapnya kesepakatan itu merupakan


pengakuan atas kelangsungan ijma. Kekuatan hukum ijma terletak pada
kesepakatan itu, bukan pada meninggalnya semua peserta ijma.

3. Para Tabi‟in berhujjah dengan ijma‟ pada masa penghujung generasi sahabat,
seperti Anas Dan lainnya. Seandainya diharuskan berlalunya masa bagi kekuatan
ijma, tentu generasi tabi‟in tidak boleh berhujjah dengan ijma sahabat karena saat
itu generasi ahabat masih berlangsung (ada yang masih hidup).

4. Mempersyaratkan berlalunya masa bagi berlalunya Ijma‟ akan menyababkan tidak


terlaksananya kekuatan hasil ijma itu secara mutlak, padahal ia merupakan
ketentuan yang mengikat. Karena itu, maka persyaratan (berlalunya masa) yang
membatalkan ketentuan yang membatalkan ketentuan yang telah disepakati
Ijma‟menjadi batal dengan sendirinya.

Sebagian Ulama merinci persyaratan berlalunya masa bagi peserta ijma‟ itu
berdasarkan bentuk ijma-nya. Bila ijma itu dalam bentuk ijma Sharih, maka berlalunya masa
dan meninggalnya semua peserta ilma itu tidak merupaka sebuah persyaratan. Tetapi, bila
ijma itu dlam bentuk ijma sukutif, maka berlalunya masa bagi Mujtahid yang telah
mengemukakan pendapatnaya dan tidak menyangah pendapat yang dikemukakan Mujtahid
lainnya, merupakan sebuah persyaratan. Ini adalah pendapat yang dipilih Al-Amidi.

Alasan yang mereka kemukakan ialah bahwa kekuatan ijma‟ itu terletak pada adanya
suara yang menyangah. Untuk memastikan bahwa ada Mujtahid yang menyanggah keputusan
ijma‟ pada masa itu, hanyalah bila seluruh mujtahid tersebut sudah tidak ada lagi dan
memang ternyata tidak ada sanggahan.
C. Macam-macam Ijma

Ijma terbagi menjadi dua macam yaitu :

1. Ijma Sharih

Ijma Sharih yaitu, ijma yang terjadi setelah semua Mujtahid dalam suatu masa
mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui
ucapan (hasil ijtihadnya disebarluaskan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk
perbuatan (Mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh
pendapat mereka menghasilkn suatu hukum yang sama atas hukum tersebut.

Ijma sharih ini sangat langka sekali terjadi. Jangankan yang dilakukan dalam suatu majlis
pertemuan, tidak dalam forum pun sulit dilakukan. Karena itu, sebagian ulama berpendapat
bahwa ijma sharih hanya mungkim terjadi pada masa sahabat, karena waktu itu jumlah
mujtahid masih terbatas dan lingkungan domisili mereka relative masih berdeekatan
sehingga tidak sulit untuk berhubungan atau menyampaikan pendapatnya.

Bila ijma shraih ini be dn hukum yang berlangsung, maka dialah (penunjuknya) terhadap
hukum adalah tingkat qath‟I dan hukum yang ditetapkannya bersifat qath‟I (tidak bisa
diragukan lagi), sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan tidak boleh seorangpun
pada masa itu untuk menyangahnya dan mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya
tidak boleh mencabut atau mengubah pendapat yang telah dikemukakan oleh ijma. Para
ulama sepakat menerima ijma‟ sharih ini sebagai hujjah syari‟ah dlam menetapkan hukum
syara‟.

2. Ijma sukutif

Yaitu kesepakatan ulama melalui cara seseorang mujtahid atau lebih mengemukakan
pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam masa tertentu, kemudian pendapat ini
tersebar luas serta diketahui oleh orang banyak, dan ternyata tidak seorang pun diantara
mujtahid lain yang mengemukakan pendapat berbeda atau yang menyangah pendapat itu.

Ijma sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum bersifat zhanni bukan qathi atau merupakan
dugaan kuat tentang kebenaran. Karena itu tidak terhalang bagi mujtahid lain dikemudian
hari untuk mengemukakan pendapat berbeda sesudah ijma terebut berlangsung
Para ulama berbeda pendapat dalam menempatkan Ijma sukutif itu sebagai hujjah
syari‟yah yang mempunyai kekuatan mengikat seluruh ummat.

a. Imam Syafi‟I dan pengikutnya berpendapat bahwa Ijma sukuti bukan ijma yang
dipandang sebagain sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat.

b. Imam Ahmad, kebanyakan ulama Hanafiyah, sebagian ulama Syafi‟iyah dan Al-
Jubbai (Ulama Muktazilah) berpendapat bahwa Ijma‟ sukuti adalah ijma yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai hujjah. Diantara kelompok ini
ada yang mempersyaratkan telah berlalunya masa penyampaian pendapat mujtahid
itu dan semua ulama Mujtahid pada masa itu telah meninggal serta tidak ada pendapat
yang menyangah hasil ijma tersebut.

c. Sebagian ulama lain, diantaranya Abu Hasyim, berpendapat bahwa ijma sukutif itu
bukan ijma. Tetapi, meskipun demikian ia dapat menjadi hujjah dalam menetapkan
hukum.

Kelompok ulama yang mengangap ijma sukutif itu mengandung hujjah tetapi bukan
sebagai ijma beralasan bahwa ija sukutif itu tidak memenuhi syarat untuk dikatakan ijma,
namun dapat dijadikan hujjah karena sikap diam itu lebih berat kepada menyetujui ketimbang
membantah.

3. Kesepakatan dalam prinsip

Kesepakatan yang prinsip ini dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh mujtahid
mengemukakan pendapat yang menyalahi pendapat orang banyak itu. Umpamanya
kesepakatan ulama memberikan hak warisan kepada kakek bila ia berada bersama dengan
saudara-saudara. Namun mereka berbeda pendapat mengenai harta yang diberikan kepada
sang kakek tersebut. Ulama Hanafi memberikan semua harta tersebut untuk si kakek. Imam
Malik dan Imam Ahmad menyamakan hak kakek dengan hak saudaranya. Imam Syafi‟I
berpendapat bahwa sang kakek harus menerima dalam posisis yang paling menguntungkan
antara berbagi rata dengan saudara atau mengambil furud-nya yang besar.

Disamping pembagian ijma kepada tiga tingkatan tersebut, ada ulama yang membagi
peringkat ijma itu dari segi penerimaan ulama kepada ijma tersebut yaitu :
1. Ijma Kaum Muslimin

Yaitu ijma menyeluruh dan merata dilakukan oleh semua orang Islam yang termasuk
didalamnya para ulama dan orang awam. Umpamanya kesepakatan tentang wajib
zakat, puasa, haji, atau haramnya zina, mabuk serta dalam hal-hal yang menyangkut
pada masalah pokok dalam agama yang sampai sekarang tak ada ulama yang
menyangahnya.

2. Ijma Para Sahabat

Ijma ini dapat diterima semua pihak, karena kemungkinan besar terjadinya, sebab
jumlah ulma waktu itu masih terbatas, lingkungan tempat tinggalnya belum meluas
keseluruh pelosok dunia, masalah yang disepakati pun belum begitu banyak, Dan
kebenaran isinya cukup tinggi mengingat masa terjadinya dekat kepada Nabi.

3. Ijma Ahlul Ilmi dalam segala masa

Pengertian ijma yang berlaku secara umum adala ijma dalam bentuk ini, karena
pembahasan mengenai ijma itu menyangkut pengunaan ra‟yu. Karenanya maka suara
(pendapat) yang diperhitungkan dalam ijma itu hanyalah orang mempunyai
kemampuan untuk ijtihad.

Ketiga ijma tersebut adalah puncak ijma yang tidak seorangpun meragukannya.
D. Kehujahan Ijm

Jumhur Ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma menempati salah satu sumber atau
dalil hukum sesudah Al-Qur‟an dan Sunnah. Ini berarti ijma dapat menepatkan hukum yang
mengikat dan wajib dipatuhi ummat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-
Qur‟an maupun As-Sunnah.

Allah dalam surat An-Nisa (4) : 115 : bersabda bahwaannya

ࣖ‫ص ْيرًا‬ ْ ‫ق ال َّرسُىْ َل ِم ْۢ ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ا ْله ُٰدي َويَتَّبِ ْع َغي َْر َسبِ ْي ِل ا ْل ُم ْؤ ِمنِيْنَ نُ َىلِّه َما ت ََى ٰلًّ َونُصْ لِه َجهَنَّ َۗ َم َو َس ۤا َء‬
ِ ‫ت َم‬ ِ ِ‫َو َم ْن يُّ َشاق‬

Artinya :

“Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan
yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu
seburuk-buruk tempat kembali.”

Dalam ayat ini, “jalan-jalan orang Mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang telah
disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang disebut ijma‟ kaum mikminin. Orang
yang tidak mengikuti jalan orang mukmin mendapat ancaman neraka jahannam. Hal ini
berarti larangan mengikuti jalan selain apa yang diikuti kaum mikminin, dan ini berarti kita
disuruh mengikuti ijma‟.

Ulama Syiah tidak mendukung adanya ijma‟ itu sebagaimana yang dlakukan oleh ulama
Ahl-Sunnah. Memang ulama syiah mengakui adanya ijma menurut definisi yang mereka
gunakan. Begitu pula ulama syiah mengakui ijma itu sebagai salah satu dalil syara, namun
dalam arti ijma itu menunjukan jalan untuk mengetahui hukum syara, ijma bukan sama sekali
lembaga yang menetapkan hukum syara sebagaimana yang dianggap oleh ulama al-Sunnah.

Ulama Syiah tidak mengangap ijma sebagai dalil yang berdiri sendir disamping Al-Quran
Dan Sunnah. Ijma diterima hanya dalam kedudukannya menyingkapkan atau menjelaskan
adanya sunnah dalam arti ucapan atau perbuatan orang-orang terpelihara dari kesalahan
(ma‟sum). Dalam hal ini, menurut ulama syiah, kekuatan hujjah dan keterpeliharannya darin
kesalahan bukan terletak pada ijma tersebut, melainkan pada sunnah atau ucapan dan
perbuatan yang tidak dikenai kesalahan yang telah berhasil ditemukan dan diasingkan oleh
ijma.
Ulama Khawarij menerima Ijma secara sanggat terbatas sekali, yaitu yang terjadi pada
masa sebelum terjadinya perpecahan dikalangan umat Islam yang dimulai sejak pemerintahan
Umar Bin Khatab. Alasannya ialah bahwa semenjak timbul perpecahan tidak mungkin
adanya kesepakatan menyeluruh sedangkan kekuatan Ijma terdapat pada kesepakatan
tersebut. Dengan demikian, menurut mereka Ijma sangat sulit sekali terjadi.

Bila ijma mempunyai kekuatan atau hujjah dari segi dapat menyingkap ucapan seseorang
yang ma‟sum, maka tidak perlu adanya kesepakatan semua Mujtahid seagai mana yang
didefinisikan sebagaimana yang didefinisikan oleh ulama ahl Al-Sunnah, tetapi cukup
kesepakatan orang-orang yang kesepakatan mereka berhasil menyingkap ucapan orang yang
ma‟sum, baik jumlahnya sedikit maupun banyak, asalkan pengetahuan tentang kesepakatan
mereka melazimkan pengetahuan tentang ucapan orang yang ma‟sum.
E. Cara Penetapan Hukum Ijma

Bila telah berlangsung suatu ijma maka ia mempunyai kekuatan hukum atau hujjah untuk
umat pada masa berlangsungnya ijma itu dan untuk ummat sesudahnya. Tentang bagaimana
cara kaum muslimin mengetahui bahwa ijma tentang suatu hukum telah berlaku dan
mengikat untuk mereka, adalah melalui periwayatan dari sutu orang kepada orang lain dan
dari satu generasi kegenerasi selanjutnya. Dengan demikian Ijma ditetapka melalui
periwayatan atau khabar.

Ijma adalah dalil hukum yang bersifat Qathi atau meyakinkan kebenarannya. Karena itu
penukilan dan penyebarluasannya pun haruslah dengan cara yang meyuakinkan juga, yaitu
melalui khabar mutawattir supaya sifat Qath‟I pada asal hukumnya dapat diimbangi qath‟I
dari segi sanadnya (materi hukum) dan periwayatannya.

Tentang penukilan ijma melalui khabar ahad, terdapat perbedaan dikalangan ulama.
Sebagian ulama Syafi‟iyah, sebagian ulama Hanafiyah, Dan Ulama Hambali, berpendapat
diperbolehkannya menukilkan ijma dengan khabar ahad. Sedangkan sekelompok Ulama
Hanafiyah dan sebagian kelompok Syafi‟iyah seperti Al-Ghazali berpendapat tidak boleh
menukilkan ijma dengan khabar ahad. Kedua kelompok ulama yang berbeda pendapat ini
sepakat menyatakan bahwa ijma yang dinukilkan melalui khabar ahad, kekuatan hukumnhya
bersifat zhanni, meskipun dari segi materinya (sanad) bersifat qath‟i.

Kelompok ulama yang menolak penetapan ijma melalui khabar ahad berasalan bahwa
ijma yang dinukilkan berdasarkan lisan yang ahad merupakan salah satu sumber fiqih, seperti
qiyas Dan khabar ahad dari Rasul. Tidak ada ijma qath‟I yang menunjukan kebolehan
berhujjah dengannya yang tidak didukung oleh nash yang qath‟I dari Al-Qur‟an Dan sunnah.
Selain dari yang zhahir tersebut, tidak dapat dijadikan hujjah dalam ushul, meskipun dapat
dijadikan hujjah dalam furu‟.

Dari pernyataaan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya perbedaan pendapat


anatara ulama yang memperbolehkan dan tidak memperbolehkan penukilan ijma dengan
khabar ahad berkisar disekitar apakah dalil ashal itu harus qarth‟I atau tidak. Ulama yang
mempersyaratkan dalil ashal itu harus qath‟I menolak pengunaan khabar ahad dalam
menukilkan ijma. Sedangkan ulama yang tidak mensyaratkan dalil ashal itu harus qath‟I.
F. Kedudukan Hukum Ijam Bagi Yang Mengingkari

Seseorang disebut mengingkari hasil ijma bila ia mengetahui adanya ijma ulama yang
menetapkan hukum atas suatu kasus, namun ia secara sadar berbuat yang berbeda mengenai
kasus itu dengan apa yang telah ditetapkan oleh ijma‟.

Pengingkaran hasil ijma dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu :

1. Ia secara prinsip tidak mengakui ijma sebagai salah satu dalil hukum yang mengikat
karena memang tidak ada dalil sharih dengan dilalah yang qath‟I tentang kehujahan
ijma tersebut yang dapat diterima oleh semua kalangan.

2. Ia mengakui ijma sebagai hujjah syari‟ah secara prinsip, namun ia menolak menerima
ijma tertentu karena menurut keyakinanya cara penukilan ijma itu tidak meyakinkan
atau tidak yakin bahwa telah berlangsung suatu ijma tentang suatu masalah.

3. Ia menerima ijma secara prinsip dn meyakini sacara pasti, bahwa ijma telah
berlangsung, namun ia tetap tidak mengindahkannya.

Lantas bagaimanakah hukum bagi orang yang telah mengingkari hasil dari kesepakatan
ijam tersebut? Dalam hal ini, terdapat beberapa perbedaan pendapat dikalangan ulama .
sebagian ulama berpendapat bahwa mengingkari hukum yang sudah ditetapkan ijma adalah
kafir. Namun, ulama lain menolak hal terebut, mereka juga berpendapat juga orang yang
mengingkari ijma tidak menyebut orang kafir. Mereka juga berpendapat tentang tidak
kafirnya orang yang mengingkari ijma yang zhanni.

Para ulama yang menyatakan kafir orang yang mengingkari ijma yang qath‟I berpendapat
bahwa keingkaran atau hukum ijma mengandung arti mengingkari dalil qath‟i. ini berarti
mengimngkari kebenaran risalah yang dibawa Nabi. Sikap demikian hukumnya kafir
sebagaimana mengingkari Al-Qur‟an dan Sunnah.

Ulama yang tidak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma beralasan bawah dalil
tentang kekuatan hujjah ijma berdasarkan hujjah dalil yang qathi, tetapi hanya
zanni.karenanya tidak meimbulkan hukum yang meyakinkan. Megingkari hukum yang tidak
sampai pada meyakinkan tidak sampai kepada kafir. Dengan demikian kita tidak boleh
mangkafirkan seseorng yang mengingkari ijma.
Sebagian ulama merinci persoalan hukum atas orang yang mengungkjari ijma itu dengan
melihat alasan orang yang tidak mengamalkan hasil ijma tersebut. Jika sampai mengingkari
hukum-hukum yang termasuk masalah pokok dalam agama seperti sholat dan haramnya zina,
maka hukumknya kafir.

Muhammad Khudhari Bey mengatakan bahwasannya “orang kafir yang mengingkari ijma
tanpa melihat alasannya adalah tidak benar” (Ushul Fiqih : 20014: 156) untuk itu dia
mengutip pendapat dari Imama Haramain yang mengatakan bahwa “ Ucapan yang
berkembang dikalangan ulama yang mengkafirkan orang yang mengikuti ijma itu adalah
batal secara pasti” Orang yang mengingkri prinsip ijma tidaklah kafir. Menghukum tentang
kafirnya seseorng tidaklah gampang. Seorang yang meyakini ijma sebagai salah satu hujjah
syariah dan mengakui kebenaran orang-orang yang melakukan ijma serta kebenaran
penukilannya, kemudian ia dengan sadar mengingkari apa-apa yang diputuskn secara ijma,
maka pengingkarannya itu berarti mendustakan kebenaran pembuat hukum syar‟i. orang yang
mendustakan hukum syar‟I memang kafir. Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah bahwa
seseorang yang menginkari “cara penetapan hukum syara” tidak kafir. Tetapi seseorang yang
mengakui sesuatu sebagai hukum syara, namun ia dengan sadar mengingkarinya, berarti ia
mengingkari syara, mengimngkari sebagian dari hukum syara berarti mengingkarin hukum
syara secara umum. Ini berarti telah keeluar dari Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

Ijma‟ secara etimologi mengandung dua arti yaitu :


1. Ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan dalam berbuat sesuatu.
2. Ijma dengan arti “Sepakat”
3. Lafadz Ijma dalam bahasa Arab berarti : „azm (keteguhan)
4. Ijma menurut istilah para ahli ushul Fiqih adalah kesepakatan para mujtahid pada
suatu masa dikalangan umat Islam atas hukum syara‟ mengenai suatu kejadian setelah
wafatnya Rasullalah
Ada beberapa perbedaan syarat supaya bisa dikatakan sebagai Ijma‟ yaitu :

1. Kuantitas anggota Ijma‟

Para Ulama sependapat bahwasannya ijma‟ itu terlaksana karena adanya kesepakatan
seluruh ulama mujtahid dan tidak ada perbedaan pendapata diantara mereka. Mereka juga
sependapat bahwa yang sepakat itu adalah banyak orang.
2. Berlalunya Masa

Tidak dijelaskan bahwa Ijma‟ itu berlangsung berdasarkan kesepakatan ulama Mujtahid
dalam satu masa tertentu. Apakah suatu ijma‟ dapat dijadikan Hujjah dan mengikat umat
Islam untuk mengikutinya jika masa berlangsung ijma‟ itu telah berlalu dan semua
Mujtahid yang ikut dalam ijma‟ itu sudah meninggal, tetapi tidak seorangpun diantara
mereka yang menarik pendapatnya. Hal ini merupakan sauatu persoalan yang
diperbincangkan kalangan ulama.
Ijma terbagi menjadi dua macam yaitu :

1. Ijma Sharih

Ijma Sharih yaitu, ijma yang terjadi setelah semua Mujtahid dalam suatu masa
mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik
melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarluaskan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam
bentuk perbuatan (Mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata
seluruh pendapat mereka menghasilkn suatu hukum yang sama atas hukum tersebut.
2. Ijma sukutif

Yaitu kesepakatan ulama melalui cara seseorang mujtahid atau lebih mengemukakan
pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam masa tertentu, kemudian pendapat ini
tersebar luas serta diketahui oleh orang banyak, dan ternyata tidak seorang pun diantara
mujtahid lain yang mengemukakan pendapat berbeda atau yang menyangah pendapat itu.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma menempati salah satu sumber atau
dalil hukum sesudah Al-Qur‟an dan Sunnah. Ini berarti ijma dapat menepatkan hukum yang
mengikat dan wajib dipatuhi ummat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-
Qur‟an maupun As-Sunnah.
Bila telah berlangsung suatu ijma maka ia mempunyai kekuatan hukum atau hujjah untuk
umat pada masa berlangsungnya ijma itu dan untuk ummat sesudahnya. Tentang bagaimana
cara kaum muslimin mengetahui bahwa ijma tentang suatu hukum telah berlaku dan
mengikat untuk mereka, adalah melalui periwayatan dari sutu orang kepada orang lain dan
dari satu generasi kegenerasi selanjutnya.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat dikalangan ulama . sebagian ulama berpendapat
bahwa mengingkari hukum yang sudah ditetapkan ijma adalah kafir. Namun, ulama lain
menolak hal terebut, mereka juga berpendapat juga orang yang mengingkari ijma tidak
menyebut orang kafir. Mereka juga berpendapat tentang tidak kafirnya orang yang
mengingkari ijma yang zhanni.
B Saran
Penulis sangat menyadari sekali bahwasannya makalah yang penulis buat ini masih jauh
dalam kata sempurna, maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran atau tambahan daru
bapak dosen atau tambahan dari para pembaca makalah ini. Penulis dengan sangat lapang
dada akan menerima saran atau tambahwan yang bapak dosen atau pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih Jilid 1, PT Logos Wacana Ilmu, Ciputat : 1997.
Khafalah Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, PT. KaryaToha Putra, Semarang : 2014

Anda mungkin juga menyukai