Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SUMBER HUKUM IJMA DAN QIYAS


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Eha Suhayati, S. HI, M. Pd

Disusun Oleh :
Dian Patmawati (13210002)
Nella Yuliantina (13321003)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Ushul Fiqih dengan judul “Sumber Hukum Ijma dan Qiyas”
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikareakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan
dunia pendidikan.

Pandeglang, 11 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PEMBAHASAN..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A. Pengertian Ijma’...................................................................................................... 2
B. Pengertian Qiyas...................................................................................................... 5
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 8
A. Kesimpulan.............................................................................................................. 8
B. Saran........................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijma dan qiyas adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah dalil-dalilnNash (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil
pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali
hukum-hukum syara’.
Namun ada komunitas umat Islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ dan qiyas
itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits, mereka
berijtihad dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan
Hadits).
Khalifah Umar bin Khattab R.A Misalnya selalu mengumpulkan para sahabat
untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah
sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang
telah disepakati.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Ijma’?
2. Apakah yang dimaksud dengan Qiyas?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu Ijma.
2. Untuk memahami dan mengerti apa yang dimaksud dengan Qiyas.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’
Secara etimologi, ijma’ berarti “kesepakatan” atau konsensus. Pengertian ini tertuang
dalam surat Yusuf 12 : 15, yaitu :

Artinya : “Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkan ke dasar sumur,
Kami wahyukan kepadanya, “Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan ini kepada
mereka, sedang mereka tidak menyadari.”
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan ijma’ adalah :
Artinya : “Kesamaan pendapat para mujtahid untuk Nabi Muhammad SAW. Setelah beliau
wafat, pada suatu masa tertentu, tentang masalah tertentu”.
Dapat diketahui bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun
mereka alim atau kesepakatan orang-orang yang semasa dengan Nabi tidaklah disebut
sebagai ijma’.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat
sebagai ijma’. Namun pendapat jumhur ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama)
yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup
pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan
sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya.
Contoh mengenai ijma’ antara lain adalah menjadikan sunnah sebagai salah satu
sumber hukum Islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat Islam sepakat (ijma’)
menetapkan sunnah sebagai salah satu sumber hukum umat Islam. Contoh lain ialah tentang
pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan cara, yaitu :
1) Dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang dikeluarkan para
mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah.
2) Dengan perbuatan (fi’il), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamalkan sesuatu.

2
3) Dengan diam (sukut), yaitu apabila tidak ada diantara mujtahid yang membantah
terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.

1. Rukun dan Syarat Ijma


Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima, yaitu :
a. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara melalui ijma’ tersebut adalah seluruh
mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil,
maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada
pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pandangannya.
d. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak
hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.
e. Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW.

Di samping kelima rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula
syarat-syarat ijma’, yaitu :
a. Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat
terhadap agamanya).
c. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.

2. Macam-Macam Ijma
Ada beberapa macam Ijma’ antara lain :
a. Ijma’ kauli/ijma’ sharih, yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan
maupun tulisan yang mengeluarkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain pada
zamannya.

3
b. Ijma’ sukuti/ijma’ ghairul sharih, yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid
dengan cara diam, tidak mengeluarkan pendapatnya yang diartikan setuju atas pendapat
mujtahid lainnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ yang dapat dijadikan landasan hukum adalah
ijma’ sharih, sedangkan ijma’ sukuti tidak. Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih
luas lagi, ijma’ dibagi dalam beberapa macam :
a. Ijma’ Ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada suatu
masa tertentu.
b. Ijma’ Shahaby yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah.
c. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Madinah dalam suatu masalah.
d. Ijma’ Ahli Kufah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Kufah dalam suatu masalah.
e. Ijma’ Khalifah yang Empat, yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali)
f. Ijma’Syaikhani, yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab
dalam suatu masalah.
g. Ijma’ Ahli Bait, yaitu kesepakatan pendapat para ahli bait (keluarga Rasul).
Menurut ulama Hanafiah yang dipandang sebagai ijma’ yang sebenarnya adalah
ijma’kauli dan ijma’ sukuti. Adapun ulama syafiyah mengatakan bahwa hanya ijma kauli
yang dipandang sebagai ijma, sedangkan mujtahid yang dinyatakan benar-benar ijma hanya
ijma sahabat, oleh karena itu, selain ijma sahabat berarti bukan ijma yang sesugguhnya yang
dapat dijadikan sumber hukum tau dalil. Kalaupun disebut ijma’, tidak dapatdijadikan
hujjah syar’iyah. Kehujjahan ijma’ didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
Dalil pertama : Surah An-Nisa : 115

Artinya : “Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam
kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka
Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali”.

4
Dalil kedua : Surah Ali Imran : 103

Artinya : “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya
kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.

3. Contoh-Contoh Ijma
a. Dikumpulkan dan dibukukannya nash Al-Qur'an sejak masa pemerintahan Abu Bakar
Ash-Shiddiq adalah bentuk kesepakatn dari para ulama zaman sahabat. Ide pengumpulan
Al-Qur'an ini berasal dari Umar bin Khattab, tapi kemudian Abu Bakar ash-Shiddiq
mengumpulkan para ulama saat itu, sehingga terjadi perdebatan, karena hal itu tidak
diperintahkan oleh Rasulullah saw. tetapi akhirnya para ulama menyepakati untuk
mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an.
b. Penetapan tanggal satu Ramadhan atau tanggal satu Syawal harus disepakati oleh ulama
di negerinya masing-masing berdasarkan ru'yatul hilal.

B. Pengertian Qiyas
Qiyas berasal dari kata qasa-yaqisu-qaisan artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas
diartikan ukuran, timbangan dan lain-lain yang searti dengan itu atau pengukuran sesuatu
dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Sedang menurut Istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada
ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status
hukumnya dalam nash.

5
Berbeda dengan ijma’, qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma’ harus
dilakukan bersama oleh para mujtahid.
Dari beberapa definisi dalil tersebut, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
qiyas adalah menetapkan hukum suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan
sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Syarat utama dalam pendekatan analogi atau
qiyas adalah adanya persamaan illat hukum. Dengan demikian, qiyas akan lebih
mengutamakan logika, karena dari kasus khusus ditarik ke kasus yang sifatnya umum.
Dalam qiyas terdapat proses generalisasi, sehingga memerlukan penalaran yang serius dan
proses analisis kebeberapa sudut pandang, mulai pemaknaan bahasa, pemahaman peritiwa
asal dan sifat-sifat hukum yang dikategorikan memiliki indikasi yang serupa.
Di antara contoh qiyas adalah setiap minuman yang memabukkan adalah haram. Ini
disamakan dengan hukum khamr (arak), yaitu haram. Persamaan kedua jenis minuman ini
adalah sifatnya memabukkan. Contoh lain adalah harta anak-anak wajib dikeluarkan
zakatnya. Ini disamakan dengan harta orang dewasa, yaitu wajib dizakati. Menurut Imam
Syafi’i, keduanya memiliki kesamaan, yaitu bahwa kedua jenis harta (harta anak-anak dan
harta orang dewasa) tersebut dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu juga dapat
memberikan pertolongan kepada fakir miskin.
1) Rukun Qiyas
Ulama ushul fiqh mengatakan bahwa rukun qiyas terdiri dari :
a. Ashl atau pokok, yakni suatu peristiwa yang sudah ada nash nya yang dijadikan tempat
menganalogikan.
b. Fur'u atau cabang, yakni peristiwa yang tidak ada nash nya, yang akan dipersamakan
hukumnya dengan ashl yang disebut maqis dan musyabah (yang dianalogikan dan
diserupakan).
c. Hukum ashl, yakni hukum syara’ yang telah ditentukan oleh nash.
d. Illat, yakni sifat yang terdapat pada sifat ashl. Dengan adanya illat hukum inilah, proses
mempersamakan hukum dapat dilakukan.
2) Macam-Macam Qiyas
a. Qiyas aulawi, yakni mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu hukumnya telah ada, namun
siatnya/illatnya lebih tinggi dari sifat hukum yang telah ada. Contohnya, keharaman
hukum memukul orang tua, diqiyaskan kepada memakinya saja sudah haram.

6
b. qiyas musawi, illat suatu hukm sama, seperti halnya kasus kesamaan hukum membakar
harta anak dengan memakan hartanya. Illat keduanya sama-sama menghilangkannya.
c. qiyas Dilalah, yakni menetapkan hukum karena ada persamaan dilalat al hukm
(penunjukkan hukumnya), seperti kesamaan kewajiban zakat untuk harta anak yatim dan
harta orang dewasa. Karena keduanya sama-sama bisa tumbuh dan berkembang (al-
nama').
d. qiyas Syibh, yakni terjadinya keraguan dalam mengqiyaskan, ke asal mana illat
ditujukan. Kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka penetapan hukum
padanya. Seperti pada kasus hamba yang dibunuh, dirinya diqiyaskan kepada seorang
manusia sebagai anak cucu Nabi Adam as., atau barang yang bisa diperjualbelikan.

3) Sebab-sebab Dilakukan Qiyas


Di antara sebab-sebab dilakukannya qiyas adalah :
a. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di
dalam nash Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak ditemukan hukumnya dan mujtahid pun
belum melakukan ijma'.
b. Karena nash, baik berupa Al-Qur'an maupun As-Sunnah telah berakhir dan tidak turun
lagi.
c. Karena adanya persamaan illat peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa
yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologi, ijma’ berarti “kesepakatan” atau konsensus. Sedangkan menurut
istilah, yang dimaksud dengan ijma’ adalah : Artinya : “Kesamaan pendapat para mujtahid
untuk Nabi Muhammad SAW. Setelah beliau wafat, pada suatu masa tertentu, tentang
masalah tertentu”.
Qiyas berasal dari kata qasa-yaqisu-qaisan artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas
diartikan ukuran, timbangan dan lain-lain yang searti dengan itu atau pengukuran sesuatu
dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Sedang menurut Istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada
ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status
hukumnya dalam nash.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami
sebagai penulis memohon maaf jika terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam
penulisan maupun percetakan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif demi untuk menyempurnakan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat dan kita bisa mengambil hikmah yang terkandung di dalamya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Setia)


Yasin as-siba’I, 2010, tafsir al-wushul ila al-ushul, bogor, pustaka thariqul izzah
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2003)
Muhammad Abu Zahrah, 2005, ushul fiqh, Jakarta, pustaka firdaus

Anda mungkin juga menyukai