Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

IJMA’ (KESEPAKATAN ULAMA)


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu:
Fuad Hasyim M. Pd. I

Disusn Oleh:
1. Hanifah Nur Azizah (221170)
2. Lulu Khasanah (2211006)
3. Lulu Lutfiyatul Muzayanah (2211029)

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
KEBUMEN
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Makalah yang berjudul ‘‘ IJMA’
(KESEPAKATAN ULAMA)’’ ini dengan lancar pada mata kuliah USHUL FIQIH. Kehidupan
yang layak dan sejahtera merupakan hal yang sangat wajar dan diinginkan oleh setiap masyarakat,
mereka selalu berusaha mencarinya dan tak jarang menggunakan cara – cara yang tidak semestinya
dan bisa berakibat buruk. Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya, serta tak lupa sholawat dan salam kepada junjungan Nabi Agung Muhammad
SAW atas petunjuk dan risalah-Nya, yang telah membawa zaman kegelapan kezaman terang
benderang, dan atas doa restu dan dorongan dari berbagai pihak – pihak yang telah membantu
penulis memberikan referensi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
oleh karena itu Penulis sangat menghargai akan saran dan kritik untuk membangun makalah ini
lebih baik lagi. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga melalui makalah ini dapat
memberikan manfaat dan wawasan bagi kita semua.

Kebumen, 20 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................................1
A. Latar Belakang .................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................................1
C. Tujuan Masalah ................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................2
A. Pengertian Ijma’ ...............................................................................................................2
B. Latar Belakang Munculnya Ijma' ......................................................................................3
C. Syarat-syarat Ijma' ............................................................................................................3
D. Macam-macam Ijma' ........................................................................................................4
E. Kehujjahan Ijma’ ..............................................................................................................4
F. Yang berhak membentuk Ijma' .........................................................................................6
G. Landasan Ijma' .................................................................................................................6
BAB III PENUTUP ....................................................................................................................8
Kesimpulan .............................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai sebuah ajaran, Islam memiliki keistimewaan tersendiri dibanding dengan agama
lain yang ada di dunia ini. Keistimewaan itu paling tidak dapat dilihat dari fenomena yang
terjadi pada masyarakat dunia penghuni bumi ini, yaitu suatu realitas akan kebenaran Islam
sebagai ajaran yang dapat diterima sepanjang zaman dan di tempat manapun juga. Fenomena
ini ada, boleh jadi karena Islam memiliki dua karakter yang menarik, yaitu orisinil dalam
konsepsi dan kondisional dalam aplikasi. Hal ini dapat terlihat empat sumber hukum dalam
Islam slam. Yaitu qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Yang kesemuanya banyak memberikan
kontribusi bagi umat Islam. Khusus pada permasalahan ijma’ yang akan banyak diuraikan pada
makalah ini, juga memiliki fungsi guna memenuhi dua karakter Islam di atas. Di mana
beradaan Ijma’ sebagai sumber hukum Islam, menjadi demikian penting bahkan kekuatan
hujjahnya satu tingkat di bawah Qur’ an dan Hadits. Ijma’ sebagaimana didefinisikan oleh
sebagian besar ulama Ushul adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum Muslimin
pada suatu masa sesudah wafat Rasulullah SAW atas suatu hukum syara’ pada suatu kejadian
(lihat Khalaf, 1994 : 64). Dari definisi ini kemudian banyak lahir permasalahan Ijma’ ini yaitu
menyangkut pada perkembangan pemikiran tentang ljma’, rukun-rukun, kedudukan,
kemungkinan terjadinya, macammacam serta hukum mengingkarinya. Yang kesemuanya ini
nanti akan diuraikan. Sebagian orang memperdebatkan akan layak tidaknya Ijma’ dijadikan
hujjah bagi permasalahan hukum. Hal ini didasarkan atas qoth’I atau tidaknya Ijma’ itu sendiri.
Tetapi yang jelas bawa jumhur ulama berpendapat, keberadaan Ijma’ sebagai sumber hukum
Islam setelah Qur’an dan hadits tidak diragukan lagi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ijma’?
2. Bagaimana latar belakang ijma’?
3. Apa saja syarat-syarat ijma’?
4. Apa saja macam-macam ijma’?
5. Bagaimana kehujjahan ijma’?
6. Siapa saja yang berhak membentuk ijma’?
7. Apa saja landasan ijma’?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi/pengertian ijma’.
2. Untuk mengetaui latar belakang ijma’.
3. Untuk mengetahui syarat-syarat ijma’.
4. Untuk mengetahui macam-macam ijmma’.
5. Untuk mengetahui kehujjahan ujma’.
6. Untuk mengetahui yang berhak membentuk ijma’.
7. Untuk mengetahui landasan ijma’.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’
Secara bahasa ijma’ berarti kesepakatan terhadap sesuatu, berniat melakukan suatu
pekerjaan atau membuat keputusan terhadap suatu maslah. Dalam termonolgi ushul fiqih,
ijma’ dimaknai sebagai suatu kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa tertentu
terhadap masalah hokum Syariah setelah meninggalnya Nabi Saw. 1 Apabila suatu
peristiwa tejadi dan memerlukan ketentuan hukum dan peristiwa tersebut dikemukakan
kepada para ulama yyang memiliki kemampuan berijtihad, dan mereka kemudian
mengambil keputusan maka kesepakatan mereka disebut sebagai ijma’.
Secara termonologi, para ulama Ushul Fikih memiliki perbedaan dalam
mendifinisikan ijma’. Perbedaan merka bukan pada substansi konseptualnya melainkan
pada perbedaan redaksional. Menurut Al-Ghazali “ijma’ adalah umat Muhammad
bersepakat secra khusus tentang suatu masalah agama”. Al-Ghazali pada definisi ini
memberikan poin peting, yaitu ijma’ dilakukan umat Muhammad dengan tidak
menyebutkan batasnya, karena itu umat Muhammad disini bisa umat Muhammad semasa
Rasulullah masih hidup dan juga bisa berarti pasca wafat Rasulullah.
Al-Amidi (1387 H), salah seorang ahli Usul Fikih dari kalangan mazhab Syafi'i,
memberikan komentar atas definisi yang dirumuskan al-Ghazali. Menurutnya, rumusan
ijma' menurut al-Ghazali tersebut bersumber dari pendapatnya Imam Syafi'i. Seperti
diketahui bahwa Imam Syafi'i berpendapat bahwa ijma' itu dilakukan dan dihasilkan
berdasarkan kesepakatan seluruh umat Islam. Dengan keharusan seluruh umat Islam hasil
ijma' dapat terhindar dari kesalahan.
Setelah memberikan komentar pengertian ijma' menurut al-Ghazali, al-Amidi
mendefinisikan ijma' adalah kesepakatan ahl al-hall wa al-'aqdi dari umat Muhammad pada
suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa atau kasus." Definisi al-Amidi ini
agak berbeda dengan al-Ghazali, khususnya yang terlibat dalam proses ijma. Dalam
defenisi al-Amidi dibatasi pada orang tertentu, yaitu ahl al-hall wa al-'aqdi. Di samping itu,
al-Amidi juga membatasi masa tertentu. Ini berarti ijma' pada suatu masalah bisa terjadi
pada Negara tertentu tapi di Negara lainnya masalah tersebut tidak terjadi ijma. Ijma'
seperti yang didefinisikan al- Amidi ini lebih realistis di banding definisi al-Ghazali. 2
Abd al-Wahab Khallaf dalam kitab ‘Ilm Ushȗl al-Fiqh memberikan definisi ijmâ’
sebagai berikut:

‫اتفاق جميعاملجتهدين من املسلمين في عصر من العصوربعد وفاةرسول هلال على حكم شرعي في وقعة على الوقائع‬
“Semua mujtahid sepakat tentang suatu hukum pada suatu waktu dari beberapa waktu
pasca wafatnya Rasulullah Saw”.(Abd al-Wahab Khallaf 2008) 3

1
Atar Fahretin , Fikih Usulu, (Istanbul:MU Wakfi Yayinlari, 2013)hal. 78
2
Imron Rosyadi, Muhammad Muinudinillah, Usul Fikih Hukum Ekonomi Syariah, (Surakarta, Muhammadiyah
University Press)hal.118-119
3
Adam Panji Agus Putra, Konsep Ijma’ dan Aplikasinya dalam Muamalah Maliyyah Hukum Ekonomi Syariah. Vol
7 No. 1 Islamic Braking tahun 2021 hal. 153

2
B. Latar Belakang Munculnya Ijma'
Ijma' dalam sejarah Islam yang actual adalah suatu proses yang alamiah bagi
penyelesaian persoalan melalui pembentukan pendapat mayoritas dalam umat secara
bertahap. Setelah rasul wafat dan wahyu terhenti turun, muncullah kebutuhan untuk
membatasi kemungkinan salah dalam ijtihad.Nampaknya gagasan ijma' muncul sebagai
kebutuhan sosio-politik yang kemudian direstui pada masa-masa selanjutnya atas dasar
ayat Al Quran dan tradisi Rasulullah saw. Tidak ditemukan konsep ijma' pada saat
Rasulullah hidup alasannya jarena wahyu dan ucapan Rasulullah merupakan kata pemutus
bagi persoalan-persoalan itu.4
Pada umumnya persoalan-persoalan muncul dari jawabannya yang dicari oleh
kaum muslimin dengan dasar ra'yi yang dijamin oleh persetujuan diam-diam dari umat,
pendapat pribadi para sahabat terutama pendapat Umar dalam masalah-masalah hukum
kemudian hari diterima sebagai ijma' para sahabat. Jadi ijma' bermula dari pendapat
perorangan (ijtihad) dan berpuncak pada penerimaan dan persetujuan universal oleh umat
atau suatu pendapat tertentu dalam jangka Panjang. Ijma' muncul dengan sendirinya dan
tidak dipaksakan pada ummat.

C. Syarat-syarat Ijma'
Menurut Jumhur Ulama syarat Ijma’5 yaitu
a. syarat pertama berkenaan dengan kesepakatan, kesepakatan yang dimaksud adalah
kesamaan pendapat antara seseorang dengan yang lain; baik dalam hal keyakinan,
perkataan atau perbuatan. Menyangkut syarat ini terdapat beberapa hal yang harus
terpenuhi bagi terlaksanya Ijma'
1. Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak
dipandang ijma', jika sepakatan itu hanya berasal dari sebagian mujtahid saja
sedangkan sebagian kecil lainnya tidak. Akan tetapi pakar Ushul Fiqh menilai
bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sebagai hujjah
2. Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan.
Tidak dipandang ijma' jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu tempat
saja.
3. Kesepakatan para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan
maupun dapat dilihat dalam perbuatan.
4. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang
kepada negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai
kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu,
wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut
ijma', karena ijma' itu hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh.
b. Syarat kedua berkenaan dengan mujtahid, ada tiga syarat yang harus terpenuhi bagi
seorang untuk menjadi mujtahid yakni:
1. Memiliki pengetahuan tentang Al-Quran, Sunnah dan persoalan-persoalan
yang telah menjadi obyek Ijma' sebelumnya.
2. Mengetahui pengetahuan tentang Ilmu Ushul Fiqh.

4
Sudirman Suparmin, Ushul Fiqh, Metode Penetapan Hukum Islam, (Bandung:Cipta Pustaka, 2014), hlm. 65-66
5
M Jafar, Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam, (Volume XIII, No. 2, 2014), hlm. 96

3
3. Memiliki pengetahuan kebahasaan (Arab)
c. Syarat ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma' haruslah berasal dari umat
Muhammad, bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu.
d. Ijma' mesti berlangsung sesudah wafat Nabi saw.
e. Ijma' itu merupakan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah hukum syara',
seperti wajib, haram, sunnat dan seterusnya.
D. Macam-macam Ijma'
a. Ijma Sharih atau ijma Qouli yaitu apabila segenap mujtahid berhimpun pada satu
kesepakatan pendapat dan masing-masing mennyatakan dengan pernyataan lisan; "ini
halal" atau "ini haram". Ijma' seperti ini menjadi hujjah tanpa ada perdebatan.
b. Ijma Sukuti adalah apabila suatu pendapat menjadi mashyur di sebagian kelompok
mujtahid; sedang sebagian lain diam tanpa mengingkarinya. 6
Para ulama berbeda pendapat dalam menempatkan Ijma' Sukuti sebagai hujjah mempunyai
kekuatan mengikat untuk seluruh umat.
1. Imam Syafi'i dan pengikutnya berpendapat bahwa ijma' Sukuti itu bukan ijma' yang
dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat
2. Abu Ali ibn Hurairah (ulama Syafi'iyah) berpendapat bahwa pendapat yang
dikemukakan dan tidak dibantah itu bila diungkapkan dalam bentuk tindakan atau
penetapan putusan hukum dalam pengadilan, dan ternyata tidak ada ulama yang
mennyanggahnya, maka diammya ulama itu tidak dapat disebut ijma’. 7
3. Dari pembahasan al-Ghazzali muncul persoalan bahwa, jika sebagian sahabat
berfatwa, sedangkan yang lain diam saja (tidak mengeluarkan fatwanya), maka hal itu
tidak disebut ijma' (sukuti). Dan tidak dapat dikatakan orang diam telah mengeluarkan
ucapan (fatwa). Menurut sekelompok ulama, apabila suatu fatwa hukum dari seorang
mujtahid (sahabat) telah tersiar luas, sedangkan yang lainnya diam saja, maka diam
mereka sama seperti telah mengeluarkan fatwa yang sama, sehingga kejadian seperti
itu disebut juga dengan ijma' (ijma' sukuti). Menurut sekelompok ulama lain, hal itu
hanya menjadi hujah (sumber hukum) saja, tetapi tidak dapat dikatakan ijma'. Menurut
sekelompok ulama lainnya, hal itu tidak dapat dijadikan hujah dan bukan ijma' tetapi
hanya. Sebagai dalil yang membolehkan mereka untuk berijtihad pada suatu masalah
yang berkaitan dengan hukum. 8

E. Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat bahwa rukun-rukun ijma' telah terpenuhi,
maka ijma' tersebut menjadi hujjah qath'i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh
mengingkarinya; bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Disamping itu,
permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma' menurut para ahli ushul fiqh,

6
Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 44
7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 136
8
M Jafar, Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam (Volume XIII, No. 2, Februari 2014), hlm. 99

4
tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum yang
ditetapkan melalui ijma' merupakan hukum syara' yang qath'i dan menempati urutan ketiga
dalil syara' setelah Al-Quran dan Sunnah.
Menurut Ibrahim ibn Siyar al-Nazam (tokoh Mu'tazilah), ulama Khawarij dan
ulama Syi'ah berpendapat bahwa ijma' tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak mungkin
menghadirkan seluruh mujtd pada suatu masa dari berbagai belahan dunia Islam untuk
berkumpul dan membahas suatu kasus, dan menyepakati bersama. Selain itu, masing-
masing daerah mempunyai struktur sosial, dan budaya yang berbeda. 9
Bukti kekuatan ijma sebagai hujjah antara lain:
a. Sebagaimana Allah Swt. Dalam Al-Quran memerintahkan kepada orang-orang
mukmin untuk taat kepada Allah, Rosulnya dan Ulil Amri, seperti

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.". 10
Lafal Al-Amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi
masalah agama dan dunia. Ulil Amri pada masalah dunia adalah raja, para
pemimpin dan penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan
ahli fatwa. Ibnu Abbas menafsirkan kata Ulil Amri dengan ulama, menafsirkan
dengan pemimpin dan penguasa. Yang jelas penafsiran itu mencakup keseluruhan,
dan semuanya harus ditaati dalam ruang lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri
telah sepakat dalam penetapan hukum syarak, yakni para mujtahid, maka wajib
dan dilaksanakan berdasarkan nash Al-Quran.
Menurut Ahmad al-Sawi, ayat di atas secara menyeluruh mengisyaratkan
kepada dalil-dalil fiqh yang empat, yakni Alquran, Hadis, ijma' dan qiyas. Taat
kepada Allah, yakni Alquran, taat kepada Rasul, yaitu Hadis, dan taat kepada uli
al-amr adalah ijma' (ketetapan hukum yang sudah menjadi kesepakatan). 11
b. Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat
Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya.
c. Ijma’ atas hukum syara' harus didasarkan pada sandaran syara' pula, karena
mujtahid Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil
ijtihadnya tidak di dukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman
suatu nashdan makna dari petunjuk nash yang ada. Bila dalam suatu kejadian tidak
terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melewati batas-batas pengambilan

9
(Nasrun Haoen, Ushul Fiqih Cet 1, (Jakarta: Logos, 1996), hlm.54
10
QS. Annisa, 59
11
M. Jafar, Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam, (Volume XIII, No. 2, 2014), hlm.97

5
hukum, baik dengan cara yang kias terhadap hukum yang sudah memiliki nash
atau penerapan kaidah syariat dan dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara
pengambilandalil dari dalil-dalil yang telah ditetapkan syara. 12

F. Yang berhak membentuk Ijma'


Pembentukan ijma' adalah para mujtahid yang menguasai masalah- masalah fiqih
berserta dalil-dalilnya (Qur'an dan sunnah) dan memahami metode penggalian hukum
Islam. Menurut Jumhur ulama yang ahli bid'ah tidak termasuk kategori sebagai mujtahid,
maka mereka tidak termasuk dalam kelompok ulama mujtahid. Pendapat Imam asy-
Syaukani yang dikutip oleh Abu Zahrah dalam kitab Irsyadul Fuhul, Ijma' yang diakui
dalam hukum Islam adalah pendapat semua fuqaha, jika ada salah satu dari mereka
menentang pendapat tersebut, bearti pendapat para fuqaha itu belum diakui sebagai ijma'.
13

G. Landasan Ijma'
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma' itu bisa dalil yang
qath'i, yaitu Al-Quran, Sunnah serta bisa juga bisa berdasarkan dalil Zhanni seperti hadits
ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang saja yang tidak mencapai
tingkat mutawatir) dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma' yang dilakukan para sahabat
tentang mandi wajib setelah bersetubuh dengan istri. Landasan ijma' ini, menurut mereka,
adalah hadits ahad. Demikian juga kesepakatan para sahabat menetapkan Abu Bakar
sebagai pengganti (khalifah) Nabi saw. Dengan mengqiyaskannya kepada Nabi saw.
Ulama Zhahiriyyah Syi'ah dan Ibn Jarir al Thabari mengatakan bahwa landasan
ijma' harus dalil yang qath'i. Menurut mereka, ijma' dalil yang qath'i yaitu suatu dalil yang
qath'i tidak mungkin didasarkan kepada dalil yang zhanni seperti hadits ahad dan qiyas,
karena hasil dari yang zhanni akan tetap zhanni. Disamping itu, seorang mujtahi boleh
menolak ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas. Apabila sandaran ijma'
tersebut adalah qiyas, maka seorang mujtahid tidak boleh mengingkarinya.
Kemungkinan Terjadinya Ijma' Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' mungkin
dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya, pengangkatan
Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma'. Demikian pula
haramnya lemak babi, berhaknya kakek atas seperenam harta warisan cucunya,
terhalangnya cucu oleh anak dalam hak mewarisi, dan lain-lain hukum furu' sebagaimana
tersebar dalam kitab-kitab fikih. 14
Abdul Khallaf menjelaskan besarnya kemungkinan terjadinya ijma' terutama dalam
masa yang serba maju ini. Bila pelaksanaan ijma' itu ditangani oleh suatu negara dengan
bekerja sama dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama islam.
Setiap negaramenetapkan standar tertentu mengenai seseorang dapat dinyatakan mencapai
derajat mujtahid dan memberikan ijazah mujtahid terhadap semua yang mencapai derajat

12
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih Kaidah-Kaidah Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm.57-58
13
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Multazam al-thobi'u wan-Nasru Darul Fkr al- 'Araby, 1958, h. 317

14
M Jafar, Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam, (Volume XIII, No. 2, 2014), hlm. 102

6
itu sehingga dengan demikian semua mujtahid didunia ini dapat diketahui.Dalam era
globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi, dengan apa yang dikemukakan oleh
Abdul Wahab Khallaf sangat mungkin terjadi, karena meskipun mujtahid itu bertebaran
diseluruh permukaan bumi dan mudah mempertemukan mereka dalam suatu masa tertantu
untuk membicarakan masalah hukum atau setidaknya untuk menghimpun pendapat
mereka. Bila pendapat mereka tentang masalah suatu hukum telah terkumpul dan
mempunyai pendapat sama, itulah yang disebut ijma'. 15
Menurut golongan mu'tazilah dan sebagian pengikut Syi'bah mennyatakan bahwa
ijma' itu merupakan kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa, maka hal tersebut tidak
mungkin terjadi. Sebab, para mujtahid itu berada dan tersebar di berbagai kawasan atau
daerah yangjaraknya berjauhan serta tidak mudah bagi mereka untuk berkumpul pada satu
tempat untuk mennyatakn kesepakatan.16

15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 117
16
.Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 53

7
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari uaraian tentang ijma’ diatas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sebagian besar ulama
sepakat, Ijma’ adalah merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur’an dan al-hadits.
Eksistensinya dapat dijadikan hujjah bagi permasalahan hukum yang tidak terdapat nash atau
terdapat nash yang nilainya Dzonni, sehingga dengan telah di Ijma’kannya, maka berubahlah
Kedudukkan nash yang dzonni itu menjadi qoth’i. Ijma’ tidak dipandang sah kecuali apabila ada
sandarannya, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Fatwa ulama atau keputusan
hukum berdasarkan ijma’ tanpa sandaran adalah keliru. Ijma memiliki rukun dan masih mungkin
untuk dilakukan jika terdapat beberapa faktor pendukung. Namun demikian umumnya sulit untuk
diwujudkan, kecuali ijma’ sahabat yang para Fuqoha tidak meragukannya lagi. Adapun hukum
orang yang mengingkari ijma’ terdapat dua pendapat, yaitu sebagian mengkafirkan dan sebagian
lagi tidak menganggap kafir. Hal ini tergantung daripada kualitas ijma’ itu.

8
DAFTAR PUSTAKA

Fahretin Atar. 2013 Fikih Usulu, Istabul: MU Wakfi Yayinlari.

Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqih Cet 1. Jakarta: Logos.


Imron Rosyadi, Muhammad Muinudinillah, 2020. Usul Fikih Hukum Ekonomi Syariah,
Surakarta:Muhammadiyah University Press.
Jafar, M. 2014. Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam. Volume XIII, No. 2.
Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah-Kaidah Islam. Jakarta:Pustaka Amani.
Nur, Iffatin. 2013. Terminologi Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Panji Adam Agus Putra, Konsep Ijma’ dan Aplikasinya dalam Muamalah Maliyyah Hukum Ekonomi
Syariah. 2021 Vol 7 No. 1
Suparmin, Sudirman, 2014. Ushul Fiqh, Metode Penetapan Hukum Islam, Bandung:Cipta Medika.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Abu, Muhamad, Zahrah, 2002. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus

Anda mungkin juga menyukai