Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH USHUL FIQIH

PENGERTIAN AL-HUKM AL-WADH’I BESERTA DEFINISI DAN


PEMBAGIANNYA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih

Dosen pengampu:

Ali Kadarisman M.HI.

DISUSUN OLEH:

1. Luqmanul Hakim Habibullah (2302030009)


2. Muhammad Wirdiyan Al Fardi (2302030010)
3. Rizki Mustika Trijayanti (2302030011)
4. Azizah Nuzula Sahuura (2302030012)

UNIVERSITAS MAULANA MALIK IBRAHIM

FAKULTAS SYARI’AH

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan karunianya
kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini pada tepat waktunya. Adapun tema dari
makalah ini adalah “ PENGERTIAN AL-HUKM AL-WADH’I BESERTA DEFINISI
DAN PEMBAGIANNYA”
Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Ushul
Fiqih yang telah memberikan tugas kepada kelompok kami, kami juga berterimakasih kepada
teman-teman yang telah membantu membuat makalah ini.
Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqih pada semester ganjil. Kami memohon maaf mungkin dalam pembuatan makalah ini
terdapat kesalahan yang belum kami ketahui, maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari
teman-teman maupun bapak dosen pembimbing dari mata kuliah ini, demi tercapainya
makalah yang sempurna.
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
A. Pengertian Al-Hukm al-Wadh’i......................................................................................5
B. Pembagian Al-Hukm al-Wadhi.......................................................................................5
1. Sabab...........................................................................................................................5
2. Syarat...........................................................................................................................9
3. Mani'..........................................................................................................................11
4. Rukhsah dan Azimah.................................................................................................12
5. Shihhah, Buthalan, dan Fasad...................................................................................18
KESIMPULAN........................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24
PENDAHULUAN

Hukum Islam merupakan pedoman hidup yang mengatur segala aspek kehidupan manusia,
mulai dari ibadah, muamalah (hubungan sosial), hingga akhlak. Dalam khazanah (khazanah:
khazanah - harta kekayaan, khazanah ilmu - ilmu pengetahuan yang banyak terkumpul) ilmu
pengetahuan Islam, terdapat pembagian hukum syara' ke dalam dua kategori besar, yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh'i.

Makalah ini akan khusus membahas tentang hukum wadh'i. Secara harfiah, "wadh'i" berarti
"peletakan" atau "penetapan". Dalam konteks hukum Islam, hukum wadh'i merujuk pada
penetapan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), atau penghalang (al-mani')
bagi hukum taklifi yang lain.

Dengan kata lain, hukum wadh'i tidak langsung memerintahkan atau melarang manusia untuk
melakukan sesuatu. Sebaliknya, hukum wadh'i menetapkan kondisi yang menyebabkan
hukum taklifi menjadi efektif. Memahami hukum wadh'i sangat penting karena berkaitan
erat dengan pelaksanaan hukum-hukum syariat secara tepat dan konsisten.

Makalah ini bertujuan untuk menguraikan pengertian, macam-macam, dan contoh-contoh


dari hukum wadh'i. Melalui pembahasan ini, diharapkan para pembaca dapat memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang landasan dan kerangka berpikir dalam penerapan
hukum Islam.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Hukm al-Wadh’i

Setelah membahas hukum taklifi sebagai salah satu dari dua macan hukum syara',
maka dalam uraian ini dibahas pula uraian tentang hukum syara' lainnya yaitu hukum
wadh'i.

Sebelumnya telah disinggung secara umum, yang dimaksud dengan hukum wadh'i
ialah, firman (titah) Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab atau syarat atau halangan dari suatu ketetapan hukum taklifi. Oleh karena itu,
pada hakikatnya, hukum wadhî sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam
bentuk sebab (sabâb), sehingga melahirkan akibat (musabbâb) suatu hukum taklifi, atau
dalam bentuk syarat (syarth), sehingga dimungkinkan berlakunya (masyrûth) suatu
hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mâni), sehingga suatu hukum taklifi
menjadi tidak terlaksana (mamnu). Di samping itu, termasuk pula dalam pembahasan
hukum wadh'î pembahasan yang berkaitan dengan 'azimah (hukum yang berlaku umum
dan keadaan normal) dan rukhshah (keringanan), ash-shihhah (sah) dan al-buthlân
(batal)1.

Dengan demikian, pembahasan tentang hukum wadh'î berkaitan dengan tujuh hal
utama yaitu, sabab, syarth, dan mâni', 'azîmah, rukhshah, ash-shihhah, dan al-buthlân.

B. Pembagian Al-Hukm al-Wadhi

Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa hukum alwadh’i itu dibagi menjadi 5
macam, yaitu;

1. Sabab
a. Pengertian Sabab
Sabab (‫ )السبب‬yang dalam bahasa Indonesia disebut "sebab", secara etimologis,
artinya adalah "sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan."
Dari kata inilah dinamakan "jalan" itu sebagai sabab, karena "jalan" bisa
menyampaikan seseorang kepada tujuan2. Sabab menurut jumhur ulama ialah sesuatu
1
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan M.A, USHUL FIQIH, ed. Achmad Zirzis, 1st ed. (jakarta: AMZAH, 2010).
2
Dr. Nasrun Haroen. M.A, USHUL FIQIH, ed. Salimi Ahmad, 2nd ed. (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1997).
hal yang dijadikan oleh syar'i sebagai tanda adanya yang lain. Oleh karena itu ada dua
unsur tentang sabab ini:

1. Sabab hukum ditentukan oleh Allah, karena yang mentaklif adalah Allah.
2. Sabab menjadi tanda adanya hukum taklifiy3.

Secara terminologi, Imam al-Amidi, mendefinisikannya dengan:

‫الَو ْص ُف الَّظاِهُر اْلُم ْنَض ِبَط اَّلِذ ى َدل الَّد ِليُل الَّسْمِع ُّي َع َلى َك ْو ِنِه ُمَع ِّر ًفا ِلُح ْك ٍم َشْر ِع ي‬

Sifat zhahir yang dapat diukur yang ditunjukkan oleh dalil sam'i (al-Qur'an dan
Sunnah) bahwa keberadaannya sebagai pengenal bagi hukum syar'i.

Definisi ini menunjukkan bahwa sabab itu adalah sesuatu yang keberadaannya
dijadikan Syari sebagai pertanda keberadaan suatu hukum, dan ketiadaan sabab sebagai
pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, Allah menjadikan perbuatan zina sebagai
sebab ditetapkannya hukuman, karena zina itu sendiri bukanlah penyebab
ditetapkannya hukuman, tetapi penetapan hukuman itu adalah dari Syâri.

Kemudian, tergelincir matahari menjadi sebab wajibnya shalat zhuhur dan tenggelam
matahari menjadi sebab wajibnya shalat maghrib4.

b. Pembagian sabab
1. Dari segi objeknya
a. Sabab al-waqti : seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya shalat
zhuhur
b. Sabab al-ma’nawi : seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar.

2. Dari segi kaitannya dengan mukallaf


a. Sabab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakukan, seperti jual
beli yang menjadi penyebab pemilikan harta, pembunuhan sengaja menyebabkan

3
Dr. I. Nurol Aen. M.A., USHUL FIQIH METODOLOGI HUKUM ISLAM, ed. Batavia Advertising, 1st ed. (jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2000).
4
M.A, USHUL FIQIH.
dikenakan hukuman qishash, dan akad nikah sebagai penyebab dihalalkannya
hubungan suami istri.

Sabab seperti ini terbagi lagi kepada tiga macam, yaitu:


1) Sabab yang diperintahkan syara' dan diwajibkan atau dianjurkan bagi mukallaf
untuk melaksanakannya, seperti nikah sebagai penyebab terjadinya hak waris
mewarisi, dan nikah itu sendiri diperintahkan.

2) Sabab yang dilarang syara', seperti pencurian sebagai penyebab dikenakan


hukuman potong tangan dan pencurian itu sendiri dilarang.

3) Sabab yang diizinkan (ma'zûn bihi) dan boleh dilakukan mukallaf, seperti
sembelihan sebagai penyebab dihalalkannya hewan sembelihan, dan
penyembelihan itu sendiri sesuatu yang mubah.

b. Sabab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk dilakukan, seperti
tergelincirnya matahari sebagai penyebab wajibnya shalat zhuhur, hubungan
kekerabatan sebagai penyebab munculnya hak waris mewarisi, dan wafatnya
seseorang sebagai penyebab berpindahnya hak milik kepada ahli waris.

3. Dari segi hukumnya, sabab terbagi dua macam, yaitu:

a. Sabab al-masyrû, seperti jihad, sebagai penyebab tersiarnya Islam, terpeliharanya


'aqidah dan sampainya pesan-pesan agama; sekalipun dalam pelaksanaan jihad
membawa kepada kemafsadatan, seperti pengorbanan harta dan bahaya yang
mengancam jiwa.

b. Sabab ghairual-masyrû misalnya, nikah fasid dan adopsi (al-thabânni).


Keduanya termasuk sabab ghairu al-masyrû, karena membawa kepada
kemafsadatan besar yang dapat merusak pribadi dan masyarakat; sekalipun pada
zhahirnya ada suatu kemaslahatan dalam nikah fasid dan adopsi tersebut.

4. Dari segi pengaruhnya terhadap hukum, sabab terbagi kepada dua bentuk, yaitu:
a. Sabab yang berpengaruh kepada hukum. Misalnya, mabuk sebagai sebab yang
berpengaruh pada hukum, yang merupakan illat keharaman khamar, dan safar
(perjalanan) sebagai sebab bolehnya berbuka puasa bagi musafir, yang
merupakan illat kebolehan berbuka.

b. Sabab yang tidak berpengaruh pada hukum di mana antara sebab dan hukum
tidak ada keserasian, seperti waktu sebagai penyebab wajibnya shalat.

5. Dari segi jenis musabbab, terbagi atas dua macam, yaitu:

a. Sabab bagi hukum taklifi, seperti waktu yang ditentukan untuk kewajiban shalat
dan munculnya hilal sebagai pertanda kewajiban puasa.

b. Sabab untuk menetapkan hak milik, melepaskan, atau menghalalkannya.


Misalnya, jual beli sebagai penyebab pemilikan barang yang dibeli, akad nikah
sebagai penyebab halalnya hubungan suami istri, dan talak sebagai penyebab
lepas (putus)-nya hubungan suami istri.

6. Dari segi hubungan sabab dengan musabbab, sabab terbagi atas tiga macam, yaitu:

a. Sabab al-syar'i, yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan


hukum syar'i, seperti tergelincir matahari sebagai sebab wajibnya shalat zhuhur.

b. Sabab al-aqli, yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan


melalui nalar manusia, seperti belajar sebagai penyebab seseorang berilmu.

c. Sabab al-'âdî, yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab didasarkan


kepada hukum adat kebiasaan atau 'urf, seperti tubuh merasa tidak sehat karena
ada penyakit5.

5
M.A, USHUL FIQIH.
2. Syarat
a. Pengertian syarat

Syarat adalah sesuatu yang tidak adanya mengharuskan tidak adanya hukum. Hal itu
karena suatu hikmah; yakni jika syarat tidak ada, maka tidak ada hikmah hukum atau sebab 6.
Hikmah hukum seperti mampu untuk diserahkan, jika ia tidak ada maka tidak ada hukum
jual-beli, yaitu kebolehan memanfatkan. Hikmah sebab, seperti bersuci untuk shalat, artinya
jika ia tidak ada maka tidak mengagungkan Allah, yaitu sebab kewajiban shalat

Al-Syathibi mendefinisikan syarat sebagai sesuatu yang menjadi sifat yang


menyempurnakan sesuatu yang disyaratkan (masyruth) dalam hal yang menjadi implika-
sinya atau yang menjadi implikasi hukumnya. Misalnya kita katakan bahwa Haul (satu tahun)
atau kemungkinan perkembangan (harta) adalah menyempurnakan implikasi kepemilikan
atau hikmahnya kaya. Status muhshan adalah menyempurnakan sifat zina yang menyebabkan
adanya hukuman rajam. Al-Syathibi mengatakan: Syarat tersebut, baik merupakan sifat
sebuah sebab, illat, akibat, dampak, ketidakmungkinannya suatu hikmah atau yang lainnya
dari hal-hal yang berkaitan dengan implikasi khithab syara', adalah sifat dari sifat-sifat yang
disyaratkan. Dari sini ditetapkan bahwa syarat berlainan dengan yang di- syaratkan; artinya,
yang disyaratkan dirasionalkan seraya melupakan syarat meskipun tidak boleh dibalik, seperti
kebanyakan sifat dan yang disifati, baik secara hakiki maupun hanya tampaknya saja7.

Ketahuilah bahwa masalah yang akan dijelaskan ini merujuk kepada syarat ja'li, yaitu
sesuatu yang dijadikan oleh Allah sebagai syarat yang masyrutnya (yang disyarat-kan) tidak
ada kecuali dengan adanya syarat itu, yaitu syarat sah; atau tidak menjadi sempurna kecuali
dengan adanya syarat itu, yaitu syarat kesempurnaan; atau dija- dikan oleh mukallaf sebagai
syarat beserta kewenangan Syari atas hal itu, seperti beberapa menggantungkan (ta'liq) dan
syarat-syarat yang disertakan pada akad.

b. Pembagian Syarat

Syarat-syarat dalam perbuatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara’ yang seperti ini
dinamakan syarat syar’i dan kadang-kadang ditetapkan oleh mukallaf sendiri yang dinamakan
syarat ja’li.

6
Syaikh Muhammad al-Khudhari Biek, USHUL FIKIH, ed. A. MA’ruf Asrori, 1st ed. (jakarta: Pustaka Amani,
2007).
7
Biek, USHUL FIKIH.
1. Syarat Syar’i

Syarat syar’i dibagi menjadi 2 macam:

a. Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk
tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang
dalam bentuk tuntutan untuk tidak memperbuat seperti akad nikah tahlil ialah nikah
yang dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama
menikahikembali bekas istrinya yang ditalak tiga.
b. Syarat yang terkandung dalam kitab wad'i. Contohnya haul bagi yang memiliki harta
kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat8.

Khusus mengenai macam yang kedua ini tidak diperintahkan untuk memenuhinya dan juga
tidak dilarang memenuhinya. Kalau harta kekayaan sudah cukup nisabnya tidak dilarang
pemilik mempergunakan harta itu sekalipun akibat dari penggunaan itu dapat mengurangi
jumlah hartanya dan juga tidak diperintahkan agar harta yang cukup nisab itu tidak
dipergunakan dan disimpan terus sampai akhir nisab sehingga wajib mengeluarkan zakat.
Namun dalam mempergunakan harta tadi tidak boleh dengan niat untuk menguranginya agar
terlepas dari kewajiban zakat atau mengelak dari kewajiban mengeluarkan zakat kepada yang
berhak menerima ialah di antaranya fakir dan miskin. Kalau terlintas niat seperti yang
diterangkan tadi maka perbuatan itu termasuk dosa dan kewajiban mengeluarkan zakat tetap
menjadi beban baginya karena adanya kesengajaan melepaskan diri dari tuntutan agama.

2. Syarat Syar’i
Syarat ja’li dibagi menjad 3 macam:
a. Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu perbuatan hukum dan
tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu. Umpamanya dalam
perjanjian jual beli boleh disyaratkan bahwa barang yang diperjual belikan itu harus
diantar ke rumah pembeli.
b. Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan ( hukum yang
dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu. Syarat yang
seperti ini tidak berlaku seperti dalam perjanjian kawin yang disyaratkan bahwa suami
tidak berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya atau suami tidak boleh
mencampuri istrinya.

8
DRS. H. A. Syafi’i Karim, FIQIH USHUL FIQIH, ed. DRS. Maman Abd. Djaliel, 2nd ed. (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2001).
c. Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum.
Syarat yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku karena tidak
ada seorang juapunyang berhak menetapkan syarat dalam ibadah. Namun kalau
terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima9.

3. Mani'

Secara etimologi, mani (‫ )المانع‬berarti al-kaff 'an al-syai (berhenti dari sesuatu), yang dalam
bahasa Indonesia berarti "halangan".10

Secara terminologi, para ulama ushul fiqh merumuskannya dengan:

‫َو ْص ٌف َظاِه ٌر ُم ْنَض ِبَط َيْس َتْلِز ُم ُو ُج وُد ُه َعَد َم اْلُح ْك ِم َأْو َعَد َم الَّسَبِب‬

"Sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya
hukum atau ketiadaan sebab".

Maksudnya, dengan adanya mâni, maka hukum menjadi tidak ada, tetapi tidak
mesti keberadaan dan ketiadaannya adanya hukum. Misalnya, perbedaan agama dan
berstatus pembunuh dalam masalah warisan. Apabila ada sepasang suami istri, yaitu
penyebab adanya hak waris mewarisi antara seorang lelaki dan wanita, maka waris
mewarisi ini tidak sempurna apabila ada halangannya (mâni), yaitu berbeda agama
atau salah seorang sebagai pembunuh. Apabila istri seorang musyrik, maka ia tidak
mendapatkan warisan dari suaminya, karena adanya mâni', yaitu perbedaan agama.
Atau istri membunuh suami, maka istri juga tidak menerima bagian harta warisan,
karena membunuh merupakan mâni dalam waris mewarisi.

Mani meliputi: pertama, mani terhadap hukum. Ini bisa dicontohkan dengan
perbedaan agama antara pewaris dan yang diwarisi adalah mani hukum untuk saling
mewarisi sekalipun sebab saling mewarisi sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga
dengan najis yang ada pada tubuh dan pakaian orang salat. Dalam contoh ini, tidak
terdapat salah satu syarat sah salat yaitu suci dari najis. Oleh sebab itu, hukum sahnya
salat tidak ada. Hal ini disebut mani hukum. Kedua, mani terhadap sebab hukum.

9
Karim, FIQIH USHUL FIQIH.
10
M.A, USHUL FIQIH.
Misalnya, sesorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakat akan tetapi
yang bersangkutan mempunyai hutang yang jumlahny sampai mengurangi nisab zakat
maka tidak ada kewajiban zakat padanya, karena harta yang dimilikinya tidak lagi
cukup senisab. Hal ini disebut mani sebab11.

Mâni' dibagi kepada dua bagian, yaitu:

1. Mâni' yang menghalangi sabab,


Contoh: hutang menghalangi sabab adanya zakat, yaitu nisab. Jadi, berhutang adalah
"penghalang", juga pembu- nuhan sengaja adalah penghalang untuk mendapatkan
harta warisan.
2. Mâni' yang menghalangi adanya hukum taklifiy. Yang kedua ini dibagi dalam tiga
bagian:
a. Mâni' yang tidak mungkin bersatu dengan hukum ta- klīfiy, yaitu karena
hilangnya/tidak berfungsinya akal seperti tidur, gila, tidak sadarkan diri.
b. Mâni' yang tergambar kemungkinan bersatunya dengan hukum taklifiy, tetapi
mâni' tadi menghapus hukum ta- klîfiy, seperti haid menjadi penghalang dan
menghapus- kan kewajiban salat.
c. Mâni' yang tidak menghapuskan hukum taklifiy tetapi menghapuskan kemestian
dan tuntunannya tidak tegas lagi tapi berubah menjadi pilihan, seperti sakit mâni'
untuk salat Jum'at tetapi apabila si sakit salat Jum'at ma- ka salatnya adalah sah,
demikian pula perempuan yang salat Jum'at.

4. Rukhsah dan Azimah

Pengertian al-Azimah dan ar-Rukhshah

Al-'Azimah dan ar-rukhshah adalah dua ketentuan yang oleh sebagian besar ulama ushul
fiqh dimasukkan ke dalam kelompok pembahasan hukum wadhi Alasan mereka, pada
hakikatnya ketentuan 'azimah gi berkaitan erat dengan keadaan yang normal yang
menjadi sebab diberlakukannya hukum-hukum syara' yang umum bagi mukallaf,
sementara kriteria rukhshah pada umumnya berkaitan erat dengan keadaan tertentu yang
menjadi sebab berlakunya keringanan bagi mukallaf dalam melaksanakan hukum.

a. Pembagian ar-Rukhshah

11
Zulhas’ari Mustafa, “Determinasi Al-Ahkam Al-Syar’iyah Dalam Tradisi Hukum Islam,” Al Daulah : Jurnal
Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 2, no. 1 (2013): 29–37.
Ketentuan ar-rukhshah dapat dibagi kepada beberapa bagian sesuai dengan segi
tinjauannya, tetapi yang terpenting pembagian rukhshah ditinjau dari segi bentuk
hukumnya yang berlaku umum, dan dari segi bentuk rukhshah (keringanan) itu sendiri,
sebagai berikut.\

a. Berdasarkan segi bentuk hukum yang berlaku umum

Ditinjau dari segi bentuk hukum yang berlaku umum, rukhshah dibagi kepada dua
bagian, yaitu sebagai berikut.

1. Ar-rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menurut ketentuan syariat yang umum
diharamkan, karena darurat atau hajah.

Contoh rukhshah ini ialah, bolehnya mengucapkan kalimat kufur dalam keadaan
terpaksa sebagaimana ditegaskan dalam surah an- Nahl (16): 106:

‫َم ن َكَفَر ِباِهَّلل ِم ْن َبْع ِد ِإيَم اِنيِه ِإاَّل َم ْن ُأْك ِر َه َو َقْلُبُه ُم ْطَم ِئٌن ِباِإْل يَم اِن َو َلِكن ِّم ن َش َر َح ِباْلُك ْفِر َص ْد ًرا َفَع َلْيِهْم َغ َض ٌب ِّم َن ِهَّللا َو َلُهْم‬
‫َع َذ اٌب َع ِظ يٌم‬

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah beriman (maka ia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman, akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar.Contoh lainnya dari rukhshah bentuk ini ialah,
boleh memakan daging babi karena darurat, di mana tidak terdapat makanan lain selain
itu, yang jika tidak dimakan, maka jiwa seseorang akan ter ancam.

Hal ini berdasarkan firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 173:

‫ ِلَغْيِر ِهَّللا َفَمِن اْض ُطْر َغْيَر َباِغ َو اَل َعاٍد َفاَل ِإْثَم َع َلْيِه ِإَّن َهَّللا َغ ُفوٌر‬،‫ِإَّنَم ا َح َّر َم َع َلْيُك ُم اْلَم ْيَتَة َو الِّد َم َو َلْح َم اْلِخ ْبِزيِر َو َم ا ُأِهَّل ِبِه‬
‫َّر ِح يٌم‬

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

Contoh lainnya lagi ialah, menurut ketentuan syariat yang umum, haram melihat aurat
wanita ajnabiyyah (asing), berdasarkan firman Allah pada surah an-Nûr (24): 30:

‫ُقل ِّلْلُم ْؤ ِمِنيَن َيُغ ُّض وا ِم ْن َأْبَص اِرِهْم َو َيْح َفُظوا ُفُروَج ُهْم َذ ِلَك َأْز َك ى َلُهْم ِإَّن َهَّلل َخ ِبيٌر ِبَم ا َيْص َنُعوَن‬

”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan


pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

Akan tetapi, sebagai rukhshah, calon suami boleh melihat aurat calon istri yang sedang
dilamarnya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat at-Tirmidzi

‫ُش ْع َبَة َأَّنُه َخ َطَب اْمَر َأًة َفَقاَل الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اْنُظْر ِإَلْيَها َفِإَّنُه أخَر ى َأْن ُيْؤ َد َم َبْيَنُك َم اَع ْن اْلُمِغ يَر ِة ْبِن‬

Dari al-Mughirah bin Syu'bah, bahwa ia melamar seorang wanita, maka Rasulullah
bersabda: "Lihatlah wanita itu, karena hal itu akan lebih baik dan lebih mengabadikan
perkawinan antara kamu berdua".

2. Ar-Rukhshah untuk meninggalkan perbuatan yang menurut aturan syariat yang umum
diwajibkan, karena kesulitan melaksanakannya.

Contoh, berdasarkan ketentuan umum, puasa Ramadhan adalah wajib, berdasarkan


surah al-Baqarah (2): 183:

‫َيَتَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك َم ا ُك ِتَب َع َلى اَّلِذ يَن ِم ن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَّتُقون‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Akan tetapi, karena
keadaan sakit atau bepergian, sehingga menimbulkan kesulitan jika dikerjakan, maka
boleh tidak berpuasa. Sebagaimana disebutkan pada ayat 184 berikutnya:

‫َفَم ن َك اَن ِم نُك م َّم ِريًضا َأْو َع َلى َس َفٍر َفِع َّد ٌة ِم ْن َأَّياٍم ُأَخ َر‬

“Maka baragsiapa di antara kamu sakit atau bepergian, maka hendaklah ia menggantinya
pada hari-hari yang lain. (QS. al- Baqarah (2): 184)

b. Berdasarkan segi bentuk rukhshah (keringanan)

Rukhshah ditinjau dari segi bentuk rukhshah-nya sendiri dapat dibagi kepada lima
macam sebagai berikut.

1. Rukhshah yang berbentuk menggugurkan kewajiban. Misalnya, dalam keadaan


kesulitan ('uzur), boleh meninggalkan kewajiban jihad,seperti: karena buta, pincang,
dan sakit. Demikian juga boleh tidak melaksanakan ibadah haji, umrah, dan shalat
jumat karena sakit
2. Rukhshah yang berbentuk pengurangan kewajiban. Misalnya, menurut jumhur ulama,
meng-qashar shalat yang empat raka'at menjadi dua raka'at ketika musafir, merupakan
rukhshah. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, shalat dua raka'at pada waktu
musafir bukan merupakan rukhshah, melainkan 'azimah, karena pada mulanya shalat
wajib adalah dua-dua raka'at, baik ketika mukim maupun musafir. Belakangan
ketentuan shalat dua-dua raka'at berlaku hanya pada ketika musafir.
3. Rukhshah yang berbentuk penggantian kewajiban. Misalnya, mengganti kewajiban
wudhu' dengan tayammum karena kesulitan menggunakan air untuk wudhu', baik
karena ketiadaan air maupun karena sakit, baik pada waktu mukim maupun ketika
musafir. Demikian juga mengganti kewajiban berdiri dalam shalat dengan duduk atau
berbaring karena kesulitan melaksanakannya, baik karena cacat maupun karena sakit.
4. Rukhshah yang berbentuk pengunduran waktu pelaksanaan kewajiban. Misalnya,
penangguhan pelaksanaan puasa Ramadhan pada hari-hari lain di luar bulan
Ramadhan, karena sakit atau musafir.
5. Rukhshah yang berbentuk perubahan tatacara pelaksanaan ke- wajiban. Misalnya,
perubahan tatacara shalat yang biasa menjadi tatacara shalat khauf, karena kesulitan
dalam suasana perang.

3. Hukum Menerapkan Ketentuan Rukhshah


Pada dasarnya, jika terdapat alasan-alasan yang sah sebagaimana yang ditentukan oleh
syara', hukum menerapkan ketentuan rukhshah, adalah ibâhah (boleh), bukan wajib.
Dengan demikian, mukallaf diberi kebebasan untuk memilih antara tetap melaksanakan
ketentuan hukum yang bersifat 'azimah atau menerapkan ketentuan rukhshah. Argumen
yang dikemuka- kan atas bolehnya menerapkan ketentuan rukhshah adalah sebagai
berikut.

Pertama, dalil-dalil syara' dalam bentuk nash Alquran maupun hadis yang mengandung
pengertian rukhshah, menggunakan kalimat yangmenunjukkan hukum bolehnya
menerapkan rukhshah tersebut. Kata-kata yang digunakan, antara lain, mengandung arti
boleh (tidak mengapa) ‫ َفَلْيَس َع َلْيُك ْم ُجَناٌح‬sebagaimana terdapat dalam surah an-Nisa' 4 (: 101:

‫َو ِإَذ ا َضَر ْبُتْم ِفي اَأْلْر ِض َفَلْيَس َع َلْيُك ْم ُجَناٌح َأن َتْقُصُروا ِم َن الَّص َلَو ِة ِإْن ِخ ْفُتْم َأن َيْفِتَنُك ُم اَّلِذ يَن َكَفُروا ِإَّن اْلَك اِفِر يَن َك اُنوا َلُك ْم‬
‫َعُدوا ُّم ِبيًنا‬

Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
menqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-
orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Sementara itu, kata-kata rukhshah lainnya yang digunakan, mengan- dung arti
menegasikan dosa (tidak ada dosa ‫ َفاَل ِإْثَم َع َلْيِه‬misalnya, terdapat pada surah al-Baqarah (2):
182, yang menerangkan tidak berdosa mendamaikan pihak-pihak yang curang atau
melanggar ketentuan syara' dalam masalah wasiat:

‫َفَم ْن َخ اَف ِم ن ُم وٍص َج َنًفا َأْو ِإْثًم ا َفَأْص َلَح َبْيَنُهْم َفاَل ِإْثَم َع َلْيِه ِإَّن َهَّللا َغ ُفوٌر َّر ِح يٌم‬

Artinya : (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku
berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-
Baqarah (2): 182)
Demikian juga makna rukhshah dengan menggunakan kata-kata yang menunjuk
pengertian menegasikan dosa ) ‫(في الحزح‬, sebagaimana terdapat pada surah at-Taubah (9):
91:

‫لْيَس َع َلى الُّض َع َفاِء َو اَل َع َلى اْلَم ْر َض ى َو اَل َع َلى اَّلِذ يَن اَل َيِج ُد وَن َم ا ُينِفُقوَن َحَر ٌج ِإَذ ا َنَص ُحوا ِهَّلِل َو َر ُسوِلِه َم ا َع َلى اْلُم ْح ِسِنيَن‬
‫ِم ن َس ِبيٍل َو ُهَّللا َغ ُفوٌر َّر ِح يم‬

Artinya : Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-
orang yang sakit dan atas orang-orang ang-orang yang yang t tidak mem- peroleh apa yang
akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlakuikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak
ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ketiga kata yang digunakan ‫ َفاَل ِإْثَم َع َلْيِه َلْيَس َح َر ٌج‬،‫ الَّلْيَس َع َلْيُك ْم ُجَناٌح‬semuanya menunjuk
pengertian boleh, sehingga seorang mukallaf dapat memilih antara memanfaatkan
rukhshah dan menerapkan 'azimah. Alasan kedua ialah, tujuan diadakannya ketentuan
rukhshah adalah

untuk memberi keringanan bagi mukallaf. Sekiranya melaksanakan rukhshah


merupakan kewajiban, di mana mukallaf tidak diberi kesempatan untuk memilih, maka ia
tidak dinamakan rukhshah, tetapi 'azimah. Akan tetapi, meskipun hukum memanfaatkan
ketentuan rukhshah secara umum adalah boleh memilih antara 'azimah dan rukhshah itu
sendiri, namun jika ketentuan rukhshah secara nyata bertujuan untuk menghindarkan
kematian, maka hukum menerapkan rukhshah menjadi wajib. Misalnya, orang yang sangat
kelaparan, yang jika ia tidak memakan bangkai, akan menghadapi kematian, maka ia wajib
memakan bangkai itu. Hal ini didasarkan pada prinsip umum syariat memelihara jiwa,
sebagaimana yang disebutkan pada surah al-Baqarah (2): 195:

‫َو اَل ُتْلُقوا ِبَأْيِد يُك ْم ِإَلى الَّتْهُلَك ِة َو َأْح ِس ُنوا ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب اْلُم ْح ِسِنيَن‬

Artinya : “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebina saan, dan
berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Demikian juga firman Allah pada surah an-Nisa' (4): 29:

‫َتْقُتُلوا َأنُفَس ُك ْم ِإَّن َهَّللا َك اَن ِبُك ْم َر ِح يًم ا َو اَل‬

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.

Pengecualian satu-satunya dari hukum wajib menggunakan rukhshah untuk


mempertahankan nyawa ialah, ketika seseorang dipaksa melafalkan kalimat kufur, yang
jika tidak dilakukannya, maka ia dibunuh. Dalam hal ini, tidak seorang ulama pun yang
berpendapat wajib mengucapkan kalimat tersebut, melainkan diberi kebebasan memilih
antara mempertahankan keimanannya dan mengucapkan kalimat kufur tersebut. Sebabnya
ialah, kepentingan mempertahankan nyawa dihadapkan dengan kepentingan yang sangat
besar dan sangat mulia kedudukannya, yaitu mempertahan- kan keimanan. Karena itu,
dalam situasi seperti ini, seorang mukallaf diberi pilihan antara tetap mempertahankan
keimanan dengan risiko kematian, atau mengucapkan kalimat kufur sebagai suatu
keringanan.

5. Shihhah, Buthalan, dan Fasad

Ditinjau dari segi terpenuhi atau tidaknya tuntutan syara' pada perbuatan mukallaf
yang berkaitan dengan hukum syara', dapat diberi predikat shihhah (sah), buthlân (batal),
ataupun fasad (fasad; rusak).

1) Pengertian ash-Shihhah dan al-Buthlân

Yang dimaksud dengan ash-shihhah ialah, suatu perbuatan yang telah memiliki sabab,
memenuhi berbagai rukun dan persyaratan syara', dan tidak terdapat mâni padanya. Kata
kunci suatu perbuatan yang disebut sah ialah, terpenuhinya semua kriteria yang dituntut
dari suatu perbuatan yang disyariatkan, baik dalam bidang ibadah maupun dalam
muamalah.

Dalam pada itu, suatu sabab yang disebut sah ialah, sabab yang menimbulkan musabbáb
atau dampak hukum. Dalam hal ibadah shalat wajib, misalnya, sabâb-nya disebut sah,
apabila telah masuk waktu shalat. Demikian juga dengan syarth, ia disebut sah, apabila
suatu syarth pantas menimbulkan sesuatu yang dipersyaratkan, dan dapat pula melengkapi
sabab atau melengkapi suatu hukum.
Adapun yang dimaksud dengan al-buthlân (batal) ialah, kebalikan dari pengertian sah,
yaitu, suatu perbuatan yang tidak memenuhi semua kriteria yang dituntut oleh syara'.
Dengan kata lain, jika salah satu persyaratan atau rukun dari suatu perbuatan yang
disyariatkan tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut disebut batal.

Sebagai contoh, dalam bidang ibadah, shalat disebut sah, apabila seorang mukallaf
melakukan perbuatan shalat yang telah memenuhi semua rukun dan syarat-syaratnya, dan
tidak terdapat mâni'-nya. Sebaliknya, jika salah satu rukun atau syarat shalat tidak
terpenuhi, atau adanya mâni yang menghalangi keabsahan shalat tersebut, maka perbuatan
shalat tersebut disebut batal.Adapun contoh dalam bidang muamalah ialah, suatu akad
(transaksi) jual beli disebut sah, apabila akad tersebut telah memenuhi semua kriteria
keabsahannya, baik sabab, rukun maupun syarat-syaratnya, serta tidak terdapat mâni yang
menghalangi keabsahan akad tersebut. Sebaliknya jika terdapat kekurangan pada salah
satunya, baik pada sabab, rukun ataupun syaratnya, atau terdapat mâni yang menghalangi
keabsahan akad/transaksi tersebut, maka akad itu disebut batal.

Berkaitan dengan istilah sah dan batal, jumhur ulama berpendapat, dua istilah tersebut
memiliki makna yang saling bertentangan. Artinya, jika suatu perbuatan disebut tidak sah,
maka maksudnya ialah, bahwa perbuatan itu adalah batal. Dalam hal ini, menurut jumhur
ulama, makna batal dan fasad adalah sama, yaitu tidak sah, baik dalam bidang ibadah
maupun muamalah.

Dalam pada itu, ulama Hanafiyyah sependapat dengan jumhur ulama hanya dalam
mempertentangkan sah dan batal dalam bidang ibadah. Sedangkan dalam bidang
muamalah, mereka membedakan antara batal dan fasad (al-fasad). Dengan demikian,
menurut ulama Hanafiyyah, suatu tindakan hukum mukallaf dalam bidang mamalah, baik
berbentuk akad maupun tasharruf (tindakan hukum pada umumnya) memiliki tiga macam
istilah, yaitu: sah, batal, dan fasad.

a) Akad atau tasharruf disebut sah, apabila dalam suatu akad ataupun tasharruf terpenuhi
semua rukun dan syaratnya.

b) Akad atau tasharruf disebut batal, apabila tidak terpenuhi salah satu rukun atau
syaratnya. Akad atau tasharruf ini tidak menimbulkan dampak hukum apa pun bagi pihak-
pihak yang berakad. Dengan kata lain, tidak menimbulkan hak dan kewajiban yang baru
setelah terjadinya akad.
c) Akad atau tasharruf disebut fäsid, apabila terdapat kekurangan pada akad atau tasharruf
tersebut, tetapi kekurangan itu bukan pada rukunnya, melainkan pada syaratnya. Misalnya,
akad jual beli yang tidak jelas batas/spesifikasi objek transaksinya. Dalam akad
perkawinan, misalnya, tidak terdapat saksi nikah (menurut Hanafiyyah, saksi nikah bukan
rukun, tetapi syarat nikah).2) Dampak Hukum ash-Shihhah, al-Buthlân, dan al-Fasád

a) Dampak hukum ash-shihhah

Sebagaimana telah disebutkan, predikat ash-shihhah (sah) pada suatu perbuatan mukallaf
memiliki dampak hukum, baik pada bidang ibadah maupun dalam bidang muamalah.

Dalam bidang ibadah, dampak hukum yang timbul dari suatu ibadah yang sah ialah, jika
perbuatan ibadah yang dilakukan itu hukumnya wajib, maka mukallaf yang bersangkutan
dianggap sudah memenuhi apa yang dituntut oleh asy-Syari', sehingga di dunia ini ia tidak
lagi dituntut untuk meng-qadha-nya, khususnya jika ibadah tersebut termasuk yang dapat
di-qadha', seperti: puasa dan haji. Sedangkan di akhirat, dampak yang timbul dari ibadah
yang sah ialah, diharapkan akan mendapat pahala, sesuai dengan yang telah dijanjikan
oleh asy-Syari'.

Adapun dampak sah dalam bidang muamalah, predikat sah pada suatu akad atau tasharruf
menimbulkan semua dampak hukum yang timbul berkaitan dengan keabsahannya. Akad
jual beli yang sah, misal- nya, bagi penjual, menimbulkan hak menerima pembayaran dari
pembeli dan kewajiban menyerahkan barang yang dijual. Sedangkan bagi pembeli,
menimbulkan hak menguasai dan memiliki objek akad dan memiliki kebebasan hukum
untuk bertindak atas objek akad yang dibelinya, sesuai batas-batas yang dibenarkan syara'.
Demikian juga pada tasharruf yang sah menimbulkan dampak hukum; Dampak hukum
yang timbul dari talak bain kubra, misalnya, menghilangkan hak rujuk bagi suami, kecuali
dengan akad nikah yang baru, setelah mantan istri yang ditalak bain kubra menikah
dengan laki-laki lain dan telah diceraikan oleh suami barunya, dan telah habis masa 'iddah-
nya.

b) Dampak hukum al-buthlân

Berkaitan dengan perbuatan yang diberi predikat al-buthlân (batal), terdapat perbedaan
dampak antara perbuatan dalam bidang ibadah dan dalam bidang muamalah. Apabila
suatu perbuatan ibadah mendapat predikat batal, maka apa yang dilakukan itu dinilai
belum cukup memenuhi ketentuan syara'. Apabila ibadah yang berpredikat batal itu adalah
ibadah wajib, maka mukallaf yang melakukannya belum dipandang telahmemenuhi
tuntutan syara' untuk melaksanakannya. Dengan demikian la dituntut untuk meng-
qadhā'ibadah tersebut, jika ibadah tersebut termasuk yang dapat di-qadha, seperti: puasa
dan haji.

Adapun dalam bidang muamalah, maka akad/transaksi ataupun tasharruf yang mendapat
predikat batal tidak menimbulkan dampak hukum apa pun, baik pada para pihak yang
berakad maupun pada objek akad Artinya, status hukumnya sama dengan sebelum
terjadinya akad atau tasharruf

c) Dampak hukum al-fasád

Sebagaimana telah diterangkan, pemisahan makna istilah batal dan fasad dari suatu
perbuatan mukallaf hanya dikenal di kalangan Hanafiyyah, dan hanya berlaku pada bidang
muamalah, yatu pada akad dan tasharrul Dalam keadaan suatu akad diberi predikat fåsid,
maka akad tersebut hanya menimbulkan sebagian efek hukumnya. Dengan demikian,
dalam akad jual beli yang fäsid, misalnya, jual beli yang tidak jelas spesifikasi objeknya,
maka akad tersebut masih dapat menjadi akad yang sah, apabila para pihak yang berakad
memperjelas batas objek akadnya. Apabila hal itu terjadi, maka akad menjadi sah dan
menimbulkan semua efek hukum dari akad tersebut. Akan tetapi, jika setelah para pihak
diminta memper- tegas batas-batas/spesifikasi objek akadnya, namun tidak juga dilakukan,
maka akan tersebut berubah dari status akad fäsid menjadi batal, kecuali jika objek akad
diserahterimakan secara langsung.

Dalam hal objek akad diserahterimakan secara langsung, setelah sebelumnya akad
mendapat predikat fåsid, maka para pihak kehilangan hak khiyar (pikir-pikir/memilih).
Demikian juga, menurut Hanafiyyah, dalam hal akad nikah fäsid, misalnya, karena tidak
terdapat saksi pada akad nikah, maka suami istri diminta membatalkan akad nikahnya.
Akan tetapi, jika setelah akad nikah fäsid tersebut terjadi dukhůl (hubungan suami-istri),
maka dampak hukum yang timbul ialah, pemikahan tersebut wajib di-fasakh, si wanita
berhak mendapat mahar dan wajib ber-iddah, dan jika kemudian lahir anak dari
pernikahan fåsid tersebut, maka anak itu dinisbahkan kepada ayahnya
KESIMPULAN

Hukum Wadh'i merupakan salah satu kategori hukum dalam Islam yang memiliki peran
penting dalam memahami dan melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh. Berikut
kesimpulan dari beberapa aspek penting terkait Hukum Wadh'i, definisi dan ruang
lingkupnya, Hukum Wadh'i adalah penetapan Allah SWT yang menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, baik sebagai sebab, syarat, atau penghalang. Ruang lingkup Hukum
Wadh'i meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari ibadah, muamalah, hingga
jinayah. Adapun macam-macam wadh’i yaitu. Hukum Sebab (illat): Penetapan Allah SWT
yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi terjadinya sesuatu yang lain. Contoh: Wudhu
sebagai sebab sahnya shalat. Hukum Syarat (syarth): Penetapan Allah SWT yang menjadikan
sesuatu sebagai syarat bagi berlakunya suatu hukum. Contoh: Baligh sebagai syarat wajibnya
shalat. Hukum Penghalang (mani'): Penetapan Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai
penghalang bagi berlakunya suatu hukum. Contoh: Haid sebagai penghalang kewajiban
shalat bagi perempuan. Dan hubungan hukum wadh’i dengan hukum taklifi ialah, Hukum
Wadh'i merupakan landasan bagi Hukum Taklifi (hukum yang berkaitan dengan perintah dan
larangan). Hukum Taklifi tidak dapat dijalankan tanpa adanya Hukum Wadh'i. Contoh:
Kewajiban shalat (Hukum Taklifi) tidak dapat dijalankan tanpa adanya wudhu (Hukum
Wadh'i). Adapun manfaat hukum wadh’i Memahami hikmah dan tujuan di balik syariat
Islam. Mempermudah pelaksanaan syariat Islam dengan tepat. Menghindarkan diri dari
kesalahpahaman dan kesesatan dalam memahami syariat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Biek, Syaikh Muhammad al-Khudhari. USHUL FIKIH. Edited by A. MA’ruf Asrori. 1st ed. jakarta:
Pustaka Amani, 2007.

Karim, DRS. H. A. Syafi’i. FIQIH USHUL FIQIH. Edited by DRS. Maman Abd. Djaliel. 2nd ed. Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2001.

M.A., Dr. I. Nurol Aen. USHUL FIQIH METODOLOGI HUKUM ISLAM. Edited by Batavia Advertising. 1st
ed. jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.

M.A, Dr. H. Abd. Rahman Dahlan. USHUL FIQIH. Edited by Achmad Zirzis. 1st ed. jakarta: AMZAH,
2010.

M.A, Dr. Nasrun Haroen. USHUL FIQIH. Edited by Salimi Ahmad. 2nd ed. Ciputat: PT Logos Wacana
Ilmu, 1997.

Mustafa, Zulhas’ari. “Determinasi Al-Ahkam Al-Syar’iyah Dalam Tradisi Hukum Islam.” Al Daulah :
Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 2, no. 1 (2013): 29–37.

Biek, Syaikh Muhammad al-Khudhari. USHUL FIKIH. Edited by A. MA’ruf Asrori. 1st ed. jakarta:
Pustaka Amani, 2007.

Karim, DRS. H. A. Syafi’i. FIQIH USHUL FIQIH. Edited by DRS. Maman Abd. Djaliel. 2nd ed. Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2001.

M.A., Dr. I. Nurol Aen. USHUL FIQIH METODOLOGI HUKUM ISLAM. Edited by Batavia Advertising. 1st
ed. jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.

M.A, Dr. H. Abd. Rahman Dahlan. USHUL FIQIH. Edited by Achmad Zirzis. 1st ed. jakarta: AMZAH,
2010.

M.A, Dr. Nasrun Haroen. USHUL FIQIH. Edited by Salimi Ahmad. 2nd ed. Ciputat: PT Logos Wacana
Ilmu, 1997.

Mustafa, Zulhas’ari. “Determinasi Al-Ahkam Al-Syar’iyah Dalam Tradisi Hukum Islam.” Al Daulah :
Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 2, no. 1 (2013): 29–37.

Anda mungkin juga menyukai