Anda di halaman 1dari 18

HUKUM SYARA’

Makalah

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh


Dosen Pengampu: Dr. H. Syahrul Anwar, M.Ag
Dr. Fathimah Madaniyyah, S.pd.i. M.Pd.i

Disusun:
Ica Cahyati NIM 1213060050
M. Hilmi Aziz NIM 1213060077
M. Rakyan Galih NIM 1213060080
Muhammad Zalfa Azmi Hermawan NIM 1213060083
Nabil Aqshal NIM 1213060086
Napuli Ayu Lestari NIM 1213060091

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BANDUNG
2022

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt. karena berkat ridho
dan rahmat-Nya, kami dapat menyelasaikan tugas kelompok berupa makalah secara
tepat waktu. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
beserta keluarganya, sahabatnya, dan semoga kepada kita sebagai umatnya. Adapun
judul dari makalah ini adalah Hukum Syara’.
Pada kesempatan ini kami tidak lupa untuk berterima kasih kepada selaku Dosen
Pengampu Ushul Fiqh yang telah menugaskan tugas ini sehingga pengetahuan kami
bertambah. Kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami dan
pihak-pihak lain yang telah membantu kami dalam pengumpulan data-data yang ada di
dalam makalah ini.
Kami sadar dalam perumusan makalah yang kami susun terdapat beberapa
kekurangan dan makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami meminta
saran beserta kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak. Harapan kami,
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk perkembangan dunia pendidikan
ke depannya.

Bandung, Mei 2022


penulis
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Rumusan Masalah Penelitian

Dari latar belakang diatas, disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Definisi Hukum Wadh’i

2. Pembagian Hukum Wadh’i

3. Contoh Hukum Wadh’i

4. Pembagian Hukum Taklifi

5. Contoh Hukum Taklifi

6. Perbedaan Hukum Wadh’i dan Hukum Taklifi

C. Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan mengenai Definisi Hukum Wadh’i

2. Menjelaskan mengenai Pembagian Hukum Wadh’i

3. Menjelaskan mengenai Contoh Hukum Wadh’i

4. Menjelaskan mengenai Pembagian Hukum Taklifi

5. Menjelaskan mengenai Contoh Hukum Taklifi

6 Menjelaskan mengenai Perbedaan Hukum Wadh’i dan Hukum Taklifi

D. Manfaat Penelitian
1. Makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi atau sebagai pijakan bagi
penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan Hukum Syara’
2. Bagi penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang Hukum
Syara’
3. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa.
BAB 2

PEMBAHASAN

1. Definisi Hukum Wadh`i


Hukum Wadh`i merupakan kondisional yang menyertai hukum Taklifi.
Hukum taklifi itu sendiri adalah hukum yang berkaitan dengan perkara tuntutan,
larangan dan pembolehan yang hukum-hukum tersebut disertai dengan hukum
kondisional (hukum wadh`i). Sedangkan Hukum Wadh`i sendiri ialah bersifat
penjelasan mengenai situasi bagaimana tuntutan tersebut diberlakukan.

Syekh Abdul Wahab Khallaf dala `Ilmu Ushulil Fiqh` menjelaskan


Hukum Wadh`i sebagai berikut:
“Hukum Wadh`i ialah tuntunan meletakkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau
pencegah bagi lainnya (terciptanya hukum).” (Khallaf, Ilmu Ushulil Fiqh,
[Kairo: Al-Madani, 2001], halaman 99).

Sebagai contoh, Hukum shalat fardu adalah wajib. Wajib disini termasuk
hukum taklifi karena dalam hal ini kita dituntut oleh kewajiban untuk
melaksanakan shalat fardu tersebut. Sedangkan tentang bagaimana situasi
tersebut dalam terlaksana, maka kita perlu melihat hukum wadh`i untuk
mengetahui apa sebab, syarat serta penghalang dari terciptanya kewajiban shalat
fardu tersebut.

2. Pembagian Hukum Wadh’i

Hukum wadh'i terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:

1. Sebab

Menurut istilah syara' sebab adalah suatu keadaan atau peristiwa yang dijadikan
sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan atau peristiwa tersebut
menyebabkan tidak adanya hukum. Atau sesuatu yang pasti yang menjadi dasarnya
pembentukan sebuah hukum. Jika ada, maka akan ada hukum dan jika tidak ada, maka
hukum tidak ada. Sebagai contoh, Allah mengharuskan untuk mengqashar shalat
sekiranya sedang berada dalam keadaan musafir. Allah berfirman dalam surat An-Nisa
101.

‫َو ِاَذ ا َض َر ْب ُتْم ِفى اَاْلْر ِض َفَلْي َس َع َلْي ُك ْم ُج َن اٌح َاْن َت ْق ُص ُرْو ا ِمَن الَّص ٰل وِة ۖ ِاْن ِخ ْفُتْم َاْن َّي ْف ِتَن ُك ُم‬
‫اَّلِذ ْي َن َكَفُرْو ۗا ِاَّن اْلٰك ِفِر ْي َن َك اُنْو ا َلُك ْم َع ُد ًّو ا ُّم ِبْي ًن ا‬

Artinya: ‘’ Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-
qasar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu.’’ (An-Nisa : 101 )

2. Syarat

Syarat adalah sesuatu yang dibuat syar'i (Hukum Islam), sebagai pelengkap
perintah syar'i, tidak sah pelaksanaan suatu perintah syar'i, kecuali dengan adanya
syarat-syarat tersebut. Atau sesuatu yang menyebabkan pelanggaran hukum dalam
ketiadaan. Syarat berada di luar hukum tetapi mereka memainkan peran yang sangat
penting dalam mempengaruhi suatu hukum. Sebagai contoh ketika tibanya nisab harta
merupakan salah satu syarat wajibnya zakat. Dan adanya wudhu' merupakan syarat
sahnya salat.

Pembagian syarat ada tiga macam, yaitu:

a. Syarat 'aqli

Seperti hidup adalah syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paham menjadi
syarat adanya taklif atau beban hukum.

b. Syarat adli'

Artinya berdasarkan kebiasaan yang berlaku, seperti menyentuh api dengan


barang-barang yang mudah terbakar sebagai syarat terjadinya kebakaran.
c. syarat syar’i

3. Mani’ (Penghalang)

Mani' adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditentukan secara syar'i untuk
menjadi

Penghalang adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu, mani juga disebut
penghalang atau rintangan yang menyebabkan sesuatu hukum tidak dapat dilaksanakan.
Artinya, jika syarat dan sebab hukum taklifi sudah ada, tetap tidak sah jika sekiranya
ada mani’.

Misalnya dalam hukum Faraid, ikatan darah adalah penyebab yang


membolehkan pewarisan harta. Syaratnya juga ada karena salah satunya telah
meninggal. Namun, jika ada mani, maka warisan tidak diperbolehkan berlaku. Sebagai
contoh, mani yang menghalangi pewarisan harta adalah perbedaan agama, berdasarkan
hadits Rasulullah SAW: "Orang kafir tidak mewarisi pusaka orang Islam dan orang
Islam tidak mewarisi pusaka orang kafir.’’ (Riwayat Ahmad).

4. Akibat

Akibat termasuk juga dalam pembahasan hukum wadh'i, hal-hal yang menjadi
akibat dari penerapan hukum taklifi, kaitannya dengan hukum wadh'i itu adalah:

a. Shah, yang merupakan akibat hukum dari perbuatan taklifi yang telah terjadi
kepadanya karena, semua persyaratan yang ditentukan telah dipenuhi, dan telah
terhindar dari semua mani'. Contohnya shalat dzuhur yang dilakukan setelah
tergelincirnya matahari, dan dilakukan oleh orang-orang yang telah berwudhu' dan
orang-orang yang tidak haid (berhadast).

b. Bathal, yaitu akibat perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat-
syarat, atau terpenuhi keduanya, tetapi ada mani yang menghalanginya. Contohnya
shalat maghrib sebelum tergelincirnya matahari, atau tidak wudhu, atau sudah
keduanya, tetapi dilakukan oleh wanita berhaid.

5. Azimah dan Rukhsah

Azimah adalah peraturan Allah SWT yang asli dan tertulis dalam nash (Al-
Qur'an dan Hadits) dan berlaku secara umum. Misalnya, kewajiban shalat lima waktu
dan puasa ramadhan. Dilarang memakan bangkai, darah, dan daging babi.

Sedangkan rukhsah adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT sebagai
keringanan yang diberikan kepada mukalaf dalam keadaan khusus. Misalnya,
diperbolehkan makan bangkai untuk seseorang mukalaf dalam keadaan darurat,
meskipun pada dasarnya adalah bangkai yang haram hukumnya.1

3. Contoh Hukum Wadh’i

1. Sebab
Contoh hukum wadh'i yang berkaitan dengan sebab adalah ketika seseorang
menyaksikan hilal 1 Ramadan, umat Islam diwajibkan berpuasa. Berdasarkan
hal itu, hilal adalah sebab bagi kewajiban puasa. Rasulullah SAW bersabda, “
Berpuasalah kalian karena melihat bulan 1 Ramadhan dan berbukalah karena
melihat bulan 1 syawwal. ”
Contoh hukum wadh'i yang berkaitan dengan sebab adalah tentang pergerakan
matahari yang digunakan sebagai acuan masuk waktu dalam melaksanakan
kewajiban ibadah sholat yang terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al- Isra ayat 78.
“ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat). ” Contoh lain, Akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan sebagai
suami istri.

1
M. Ridha. DS, ‘’Perbandingan Hukum Syara (Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i)
‘’vol. 08 (Desember, 2012), 85.
2. Syarat

Suatu ibadah atau perkara syariat lazimnya mewajibkan adanya syarat harus
dipenuhi. Tanpa adanya syarat, perkara itu batal dan tak boleh dikerjakan. Syarat
adalah hukum wadh'i yang menjadi pengiring suatu ibadah atau sahnya hukum
syariat Islam tersebut.
Contoh hukum wadh'i yang berkaitan dengan syarat adalah saksi. Saksi
merupakan syarat sahnya pernikahan dan niat menjadi syarat sahnya puasa.
Tanpa saksi atau niat, maka kedua perkara tadi batal dan dianggap tidak sah.
Contoh hukum wadh'i yang berkaitan dengan syarat adalah melakukan wudhu
sebelum sholat. Wudhu merupakan salah satu syarat sah sholat, tetapi adanya
wudhu belum tentu adanya sholat, bisa jadi wudlu digunakan untuk mensucikan
diri sebelum membaca Al-Qur’an, thawaf, atau ibadah lain yang mensyaratkan
wudhu.

3. Penghalang (Mani')

Contoh hukum wadh'i yang berkaitan dengan penghalang (Mani’) adalah


seorang anak berhak memperoleh warisan, namun apabila ia murtad, warisan itu
tidak boleh ia terima. Murtad adalah penghalang dari hak warisannya dalam
ketentuan Islam.
Contoh hukum wadh'i yang berkaitan dengan penghalang (Mani’) adalah
seseorang yang mabuk tercegah untuk melakukan sholat, orang junub tercegah
untuk i’tikaf di masjid dan wanita haid yang tercegah melakukan sholat. Ayat
yang menerangkan tentang mani’ terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’
ayat 43. “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang
dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ” Contoh lainnya adalah seseorang
yang gila atau tidak sadarkan diri menjadi penghalang bagi wajibnya salat.

4. Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah salah satu jenis hukum Islam menurut ulama ushul fikih, selain
juga hukum wadh'i. Istilah halal, haram, wajib, sunah, dan sebagainya merupakan
bagian dari hukum taklifi dalam Islam. Secara definitif, hukum taklifi adalah hukum
penugasan. Dalam bahasa Arab, taklifi artinya pembebanan. Ketaatan terhadap hukum
tersebut merupakan wujud kesadaran beragama bagi umat Islam. Pembebanan hukum
taklifi ditujukan kepada orang Islam mukalaf. Seorang mukalaf artinya orang yang
sudah balig (cukup umur) dan berakal (tidak gila atau hilang kesadaran). Artinya, anak-
anak kecil atau pengidap gangguan jiwa akut hingga akalnya terganggu tidak dibebani
hukum-hukum taklifi.

5. Contoh Hukum Taklifi

6. Pembagian Hukum Taklifi

A. Wajib

Hukum taklifi yang pertama adalah wajib. Wajib adalah sesuatu yang
diperintahkan oleh pembuat syariat yang harus dikerjakan. Orang yang melaksanakan
perkara wajib akan diberi ganjaran dan berhak mendapatkan hukuman apabila
ditinggalkan. Sinonim dari Wajib diantaranya ada Fardhu atau Faridhah, Hatmun atau
Mahtum, dan Lazim. Menurut kalangan hanafiyyah Fardhu dan Wajib itu berbeda.
Fardhu atau Faridhah adalah istilah hukum yang ditetapkan dengan dalil Qath’i seperti
Al-Quran dan hadits mutawatir. Sedangkan yang ditetapkan dengan dalil Dzanni seperti
hadits ahad maka ia disebut Wajib.
Akan tetapi yang masyhur dan yang terpilih di kalangan jumhur ulama adalah bahwa
Wajib, Fardhu, Faridhah, Hatm atau Mahtum, dan Lazim adalah sama.

 Pembagian Hukum Wajib terbagi dalam empat kategori yaitu :

a. Dari segi keterikatannya dengan waktu, dan ini terbagi menjadi dua :

1. Wajib Mutlaq atau Wajib Muwassa’, yaitu kewajiban yang waktu


pelaksanannya luas dan tidak terikat dengan waktu tertentu, seperti
menqadha’ puasa Ramadhan.

2. Wajib Muqayyad atau Wajib Mudhayyaq, yaitu kewajiban yang


pelaksanaannya terikat oleh waktu tertentu, seperti shalat lima waktu, puasa
Ramadhan, dan lain sebagainya.

b. Dari segi ketentuan obyeknya, terbagi menjadi dua :

1. Wajib Mu’ayyan, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan dan tidak ada
pilihan lain selain yang sudah menjadi ketentuan, seperti wajibnya puasa di
bulan Ramadhan, wajibnya Haji, dan lain sebagainya.

2. Wajib Ghairu Mu’ayyan atau Wajib Mukhayyar, yaitu kewajiban yang


dibolehkan menentukan salah satu diantara beberapa pilihan. Contohnya
adalah kaffarah bagi orang yang melanggar sumpah.

c. Dari segi kadarnya, ini terbagi menjadi dua :

1. Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang telah ditentukan kadarnya,


seperti jumlah raka’at pada shalat fardhu, jumlah minimal pembayaran zakat,
dsb.

2. Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan


kadarnya, seperti berinfak di jalan Allah, bersedekah, memberi makan anak
yatim, dsb.

d. Dari segi subyek hukumnya, terbagi menjadi dua :


1. Wajib Aini atau Fardhu Ain, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada
setiap individu, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dsb.

2. Wajib Kifa’i atau Fardhu Kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan


secara kolektif, yang apabila sudah terwakili maka gugurlah kewajiban itu.
Seperti shalat jenazah, jihad fi sabilillah, amar ma’ruf nahi munkar, dsb.

B. Mandub

Hukum taklifi yang kedua adalah mandub. Mandub adalah sesuatu yang
diperintahkan oleh pembuat syariat yang tidak harus dikerjakan. Orang yang
mengerjakan perkara mandub dalam rangka mencari pahala akan mendapatkan
pahala, akan tetapi tidak dihukum bila meninggalkannya. Istilah lain dari
Mandub diantaranya ada Sunnah, Masnuun, Mustahab atau Istihbab, Nafl atau
Nafilah, Tathawwu’, dan Fadhilah.

 Adapun Pembagian Mandub atau Sunnah dari segi tingkatannya, diantaranya:

a. Sunnah muakkadah

Adalah sunnah yang selalu dikerjakan oleh Nabi sallallaahu 'alaihi


wasallam. Contohnya melaksanakan shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh.

b. Sunnah ghairu muakkadah

Adalah sunnah yang tidak selalu dikerjakan oleh Nabi sallallaahu 'alaihi
wasallam artinya sesekali beliau meninggalkannya, seperti shalat tarawih,
shalat empat rakaat sebelum dan sesudah dzuhur, dan lain sebagainya.

c. Sunnah zawaid atau sunnah adat, yaitu perbuatan Nabi sallallaahu 'alaihi
wasallam yang bukan dalam rangka beribadah kepada Allah ta’ala, seperti
cara berpakaian, jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, cara
berjalan, cara berkendara, dan lain sebagainya. Melakukan sunnah adat ini
merupakan keutamaan, tidaklah tercela ketika meninggalkannya, dan
melakukannya adalah perbuatan terpuji. Karena melakukan sunah adat dalam
rangka tasyabbuh terhadap
Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam adalah baik selama tidak bertentangan dengan
kemaslahatan yang lebih diutamakan. Beliau sallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:

ْ ‫َم ْن َتَش َّبَه ِبَقْو ٍم َفُهَو ِم ْن‬


‫ُهم‬
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka. [HR. Abu
Dawud no. 4031]

C. Haram

Hukum taklifi yang ketiga adalah haram. Haram adalah sesuatu yang dilarang oleh
pembuat syariat yang harus ditinggalkan. Orang yang meninggalkan perkara yang
haram karena mengharapkan pahala maka ia akan mendapatkan pahala, sedangkan
orang yang melakukannya berhak mendapatkan azab. Istilah lain dari haram diantaranya
ada Mahthur dan Mamnu’.

 Adapun Pembagian Haram terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Haram lidzatihi atau haram karena zatnya

Yaitu perbuatan yang pada asalnya haram menurut hukum syar’i. Contoh :
syirik, zina, mencuri, memakan babi, dan lain sebagainya.

b. Haram lighairigi atau haram karena selainnya

Yaitu perbuatan yang pada asalnya diperbolehkan atau disyariatkan,


namun karena adanya faktor lain yang dapat menimbulkan kerusakan dan
kemudharatan maka perbuatan itu menjadi haram.

Contohnya seperti transaksi jual beli pada saat adzan jum’at. Jual beli itu
pada asalnya diperbolehkan, akan tetapi apabila dilakukan saat
dikumandangkan adzan jum’at maka menjadi haram, karena ini dapat
menjadikan seseorang terlewat melaksanakan shalat jum’at.

D. Makruh

Hukum taklifi yang keempat adalah makruh. Makruh adalah sesuatu yang dilarang
oleh pembuat syariat dalam bentuk ketidakharusan.
Seorang yang meninggalkan perkara makruh maka akan diganjar pahala apabila ia
melakukannya dalam rangka mematuhi perintah, namun orang yang melanggarnya
tidaklah berdosa.

Catatan:

1. Penggunaan istilah makruh yang telah berjalan dikalangan para ulama adalah
makruh yang telah dijelaskan pada pembahasan ini, kecuali ulama hanafiyyah.
Mereka membagi makruh menjadi dua, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih.
Makruh Tahrim adalah sesuatu yang dilarang atau diharamkan oleh syariat akan
tetapi dalilnya bersifat Dzanni Al-Wurud (dugaan kuat).

Sementara Makruh Tanzih adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk
ditinggalkan sebagaimana makruh yang dikenal oleh para ulama pada umumnya.

2. Yang terjadi pada kalam Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan sebagian ahli
hadits, penggunaan istilah makruh bisa bermakna haram bisa juga bermakna
makruh secara istilah, maka berhati-hatilah dan jangan sampai salah
menafsirkan!

3. Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika melarang sesuatu akan


tetapi beliau mengerjakannya maka hal ini menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut diperbolehkan. Bukan berarti yang semula dilarang kemudian berubah
menjadi makruh, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah
mengerjakan hal yang dimakruhkan.

E. Mubah

Hukum taklifi yang kelima adalah mubah. Mubah adalah sesuatu yang tidak ada
hubungannya dengan perintah dan larangan pada asalnya. Seperti makan, minum, tidur,
dan lain sebagainya. Maksudnya adalah perbuatan yang pada asalnya tidak
diperintahkan dan tidak pula dilarang oleh syariat. Hal ini dikarenakan apabila
perbuatan tersebut dilatarbelakangi oleh sesuatu yang diperintahkan atau dilarang maka
perbuatan tersebut mengikuti hukum yang melatarbelakanginya.
Contohnya seperti mempelajari bahasa Arab yang hukum asalnya adalah boleh. Namun,
karena kita diwajibkan untuk mengetahui kandungan dari Al-Quran dan As-Sunnah
maka tidak mungkin kita bisa mengetahuinya tanpa mempelajari bahasa Arab. Sehingga
mempelajari bahasa Arab hukumnya menjadi wajib atas dasar latar belakang tersebut.

Contoh lain seperti makan dan minum. Hukum asalnya adalah mubah, namun apabila
dilakukan secara berlebihan hingga membahayakan dirinya maka ia menjadi haram.
istilah lain dari mubah adalah Halal dan Jaiz.
2

2
Adam Mutaali, “Pengertian Hukum Syara’ dan Pembagiannya” nasehatqur’an, 15 November
2021, https://www.nasehatquran.com/2021/11/pengertian-hukum-syara-dan-
pembagian.html
BAB 3

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

(Sahroji, 2018)

(Hadi, 2021)

DS. Ridha.M. 2012. Perbandingan Hukum Syara (Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i).
08, 82-85.

https://www.merdeka.com/quran/an-nisa/ayat-101

https://www.nasehatquran.com/2021/11/pengertian-hukum-syara-dan-pembagian.html

https://tirto.id/apa-itu-hukum-wadhi-macam-macam-dan-contohnya-gmnt

https://tafsiralquran.id/mengenal-hukum-wadhi-dan-contohnya-dalam-al-quran/

https://tirto.id/apa-itu-hukum-taklifi-macam-macam-serta-contohnya-dalam-islam-gmkM

Anda mungkin juga menyukai