Makalah
Disusun:
Ica Cahyati NIM 1213060050
M. Hilmi Aziz NIM 1213060077
M. Rakyan Galih NIM 1213060080
Muhammad Zalfa Azmi Hermawan NIM 1213060083
Nabil Aqshal NIM 1213060086
Napuli Ayu Lestari NIM 1213060091
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt. karena berkat ridho
dan rahmat-Nya, kami dapat menyelasaikan tugas kelompok berupa makalah secara
tepat waktu. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
beserta keluarganya, sahabatnya, dan semoga kepada kita sebagai umatnya. Adapun
judul dari makalah ini adalah Hukum Syara’.
Pada kesempatan ini kami tidak lupa untuk berterima kasih kepada selaku Dosen
Pengampu Ushul Fiqh yang telah menugaskan tugas ini sehingga pengetahuan kami
bertambah. Kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami dan
pihak-pihak lain yang telah membantu kami dalam pengumpulan data-data yang ada di
dalam makalah ini.
Kami sadar dalam perumusan makalah yang kami susun terdapat beberapa
kekurangan dan makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami meminta
saran beserta kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak. Harapan kami,
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk perkembangan dunia pendidikan
ke depannya.
PENDAHULUAN
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi atau sebagai pijakan bagi
penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan Hukum Syara’
2. Bagi penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang Hukum
Syara’
3. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa.
BAB 2
PEMBAHASAN
Sebagai contoh, Hukum shalat fardu adalah wajib. Wajib disini termasuk
hukum taklifi karena dalam hal ini kita dituntut oleh kewajiban untuk
melaksanakan shalat fardu tersebut. Sedangkan tentang bagaimana situasi
tersebut dalam terlaksana, maka kita perlu melihat hukum wadh`i untuk
mengetahui apa sebab, syarat serta penghalang dari terciptanya kewajiban shalat
fardu tersebut.
1. Sebab
Menurut istilah syara' sebab adalah suatu keadaan atau peristiwa yang dijadikan
sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan atau peristiwa tersebut
menyebabkan tidak adanya hukum. Atau sesuatu yang pasti yang menjadi dasarnya
pembentukan sebuah hukum. Jika ada, maka akan ada hukum dan jika tidak ada, maka
hukum tidak ada. Sebagai contoh, Allah mengharuskan untuk mengqashar shalat
sekiranya sedang berada dalam keadaan musafir. Allah berfirman dalam surat An-Nisa
101.
َو ِاَذ ا َض َر ْب ُتْم ِفى اَاْلْر ِض َفَلْي َس َع َلْي ُك ْم ُج َن اٌح َاْن َت ْق ُص ُرْو ا ِمَن الَّص ٰل وِة ۖ ِاْن ِخ ْفُتْم َاْن َّي ْف ِتَن ُك ُم
اَّلِذ ْي َن َكَفُرْو ۗا ِاَّن اْلٰك ِفِر ْي َن َك اُنْو ا َلُك ْم َع ُد ًّو ا ُّم ِبْي ًن ا
Artinya: ‘’ Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-
qasar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu.’’ (An-Nisa : 101 )
2. Syarat
Syarat adalah sesuatu yang dibuat syar'i (Hukum Islam), sebagai pelengkap
perintah syar'i, tidak sah pelaksanaan suatu perintah syar'i, kecuali dengan adanya
syarat-syarat tersebut. Atau sesuatu yang menyebabkan pelanggaran hukum dalam
ketiadaan. Syarat berada di luar hukum tetapi mereka memainkan peran yang sangat
penting dalam mempengaruhi suatu hukum. Sebagai contoh ketika tibanya nisab harta
merupakan salah satu syarat wajibnya zakat. Dan adanya wudhu' merupakan syarat
sahnya salat.
a. Syarat 'aqli
Seperti hidup adalah syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paham menjadi
syarat adanya taklif atau beban hukum.
b. Syarat adli'
3. Mani’ (Penghalang)
Mani' adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditentukan secara syar'i untuk
menjadi
Penghalang adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu, mani juga disebut
penghalang atau rintangan yang menyebabkan sesuatu hukum tidak dapat dilaksanakan.
Artinya, jika syarat dan sebab hukum taklifi sudah ada, tetap tidak sah jika sekiranya
ada mani’.
4. Akibat
Akibat termasuk juga dalam pembahasan hukum wadh'i, hal-hal yang menjadi
akibat dari penerapan hukum taklifi, kaitannya dengan hukum wadh'i itu adalah:
a. Shah, yang merupakan akibat hukum dari perbuatan taklifi yang telah terjadi
kepadanya karena, semua persyaratan yang ditentukan telah dipenuhi, dan telah
terhindar dari semua mani'. Contohnya shalat dzuhur yang dilakukan setelah
tergelincirnya matahari, dan dilakukan oleh orang-orang yang telah berwudhu' dan
orang-orang yang tidak haid (berhadast).
b. Bathal, yaitu akibat perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat-
syarat, atau terpenuhi keduanya, tetapi ada mani yang menghalanginya. Contohnya
shalat maghrib sebelum tergelincirnya matahari, atau tidak wudhu, atau sudah
keduanya, tetapi dilakukan oleh wanita berhaid.
Azimah adalah peraturan Allah SWT yang asli dan tertulis dalam nash (Al-
Qur'an dan Hadits) dan berlaku secara umum. Misalnya, kewajiban shalat lima waktu
dan puasa ramadhan. Dilarang memakan bangkai, darah, dan daging babi.
Sedangkan rukhsah adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT sebagai
keringanan yang diberikan kepada mukalaf dalam keadaan khusus. Misalnya,
diperbolehkan makan bangkai untuk seseorang mukalaf dalam keadaan darurat,
meskipun pada dasarnya adalah bangkai yang haram hukumnya.1
1. Sebab
Contoh hukum wadh'i yang berkaitan dengan sebab adalah ketika seseorang
menyaksikan hilal 1 Ramadan, umat Islam diwajibkan berpuasa. Berdasarkan
hal itu, hilal adalah sebab bagi kewajiban puasa. Rasulullah SAW bersabda, “
Berpuasalah kalian karena melihat bulan 1 Ramadhan dan berbukalah karena
melihat bulan 1 syawwal. ”
Contoh hukum wadh'i yang berkaitan dengan sebab adalah tentang pergerakan
matahari yang digunakan sebagai acuan masuk waktu dalam melaksanakan
kewajiban ibadah sholat yang terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al- Isra ayat 78.
“ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat). ” Contoh lain, Akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan sebagai
suami istri.
1
M. Ridha. DS, ‘’Perbandingan Hukum Syara (Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i)
‘’vol. 08 (Desember, 2012), 85.
2. Syarat
Suatu ibadah atau perkara syariat lazimnya mewajibkan adanya syarat harus
dipenuhi. Tanpa adanya syarat, perkara itu batal dan tak boleh dikerjakan. Syarat
adalah hukum wadh'i yang menjadi pengiring suatu ibadah atau sahnya hukum
syariat Islam tersebut.
Contoh hukum wadh'i yang berkaitan dengan syarat adalah saksi. Saksi
merupakan syarat sahnya pernikahan dan niat menjadi syarat sahnya puasa.
Tanpa saksi atau niat, maka kedua perkara tadi batal dan dianggap tidak sah.
Contoh hukum wadh'i yang berkaitan dengan syarat adalah melakukan wudhu
sebelum sholat. Wudhu merupakan salah satu syarat sah sholat, tetapi adanya
wudhu belum tentu adanya sholat, bisa jadi wudlu digunakan untuk mensucikan
diri sebelum membaca Al-Qur’an, thawaf, atau ibadah lain yang mensyaratkan
wudhu.
3. Penghalang (Mani')
4. Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah salah satu jenis hukum Islam menurut ulama ushul fikih, selain
juga hukum wadh'i. Istilah halal, haram, wajib, sunah, dan sebagainya merupakan
bagian dari hukum taklifi dalam Islam. Secara definitif, hukum taklifi adalah hukum
penugasan. Dalam bahasa Arab, taklifi artinya pembebanan. Ketaatan terhadap hukum
tersebut merupakan wujud kesadaran beragama bagi umat Islam. Pembebanan hukum
taklifi ditujukan kepada orang Islam mukalaf. Seorang mukalaf artinya orang yang
sudah balig (cukup umur) dan berakal (tidak gila atau hilang kesadaran). Artinya, anak-
anak kecil atau pengidap gangguan jiwa akut hingga akalnya terganggu tidak dibebani
hukum-hukum taklifi.
A. Wajib
Hukum taklifi yang pertama adalah wajib. Wajib adalah sesuatu yang
diperintahkan oleh pembuat syariat yang harus dikerjakan. Orang yang melaksanakan
perkara wajib akan diberi ganjaran dan berhak mendapatkan hukuman apabila
ditinggalkan. Sinonim dari Wajib diantaranya ada Fardhu atau Faridhah, Hatmun atau
Mahtum, dan Lazim. Menurut kalangan hanafiyyah Fardhu dan Wajib itu berbeda.
Fardhu atau Faridhah adalah istilah hukum yang ditetapkan dengan dalil Qath’i seperti
Al-Quran dan hadits mutawatir. Sedangkan yang ditetapkan dengan dalil Dzanni seperti
hadits ahad maka ia disebut Wajib.
Akan tetapi yang masyhur dan yang terpilih di kalangan jumhur ulama adalah bahwa
Wajib, Fardhu, Faridhah, Hatm atau Mahtum, dan Lazim adalah sama.
a. Dari segi keterikatannya dengan waktu, dan ini terbagi menjadi dua :
1. Wajib Mu’ayyan, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan dan tidak ada
pilihan lain selain yang sudah menjadi ketentuan, seperti wajibnya puasa di
bulan Ramadhan, wajibnya Haji, dan lain sebagainya.
B. Mandub
Hukum taklifi yang kedua adalah mandub. Mandub adalah sesuatu yang
diperintahkan oleh pembuat syariat yang tidak harus dikerjakan. Orang yang
mengerjakan perkara mandub dalam rangka mencari pahala akan mendapatkan
pahala, akan tetapi tidak dihukum bila meninggalkannya. Istilah lain dari
Mandub diantaranya ada Sunnah, Masnuun, Mustahab atau Istihbab, Nafl atau
Nafilah, Tathawwu’, dan Fadhilah.
a. Sunnah muakkadah
Adalah sunnah yang tidak selalu dikerjakan oleh Nabi sallallaahu 'alaihi
wasallam artinya sesekali beliau meninggalkannya, seperti shalat tarawih,
shalat empat rakaat sebelum dan sesudah dzuhur, dan lain sebagainya.
c. Sunnah zawaid atau sunnah adat, yaitu perbuatan Nabi sallallaahu 'alaihi
wasallam yang bukan dalam rangka beribadah kepada Allah ta’ala, seperti
cara berpakaian, jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, cara
berjalan, cara berkendara, dan lain sebagainya. Melakukan sunnah adat ini
merupakan keutamaan, tidaklah tercela ketika meninggalkannya, dan
melakukannya adalah perbuatan terpuji. Karena melakukan sunah adat dalam
rangka tasyabbuh terhadap
Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam adalah baik selama tidak bertentangan dengan
kemaslahatan yang lebih diutamakan. Beliau sallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
C. Haram
Hukum taklifi yang ketiga adalah haram. Haram adalah sesuatu yang dilarang oleh
pembuat syariat yang harus ditinggalkan. Orang yang meninggalkan perkara yang
haram karena mengharapkan pahala maka ia akan mendapatkan pahala, sedangkan
orang yang melakukannya berhak mendapatkan azab. Istilah lain dari haram diantaranya
ada Mahthur dan Mamnu’.
Yaitu perbuatan yang pada asalnya haram menurut hukum syar’i. Contoh :
syirik, zina, mencuri, memakan babi, dan lain sebagainya.
Contohnya seperti transaksi jual beli pada saat adzan jum’at. Jual beli itu
pada asalnya diperbolehkan, akan tetapi apabila dilakukan saat
dikumandangkan adzan jum’at maka menjadi haram, karena ini dapat
menjadikan seseorang terlewat melaksanakan shalat jum’at.
D. Makruh
Hukum taklifi yang keempat adalah makruh. Makruh adalah sesuatu yang dilarang
oleh pembuat syariat dalam bentuk ketidakharusan.
Seorang yang meninggalkan perkara makruh maka akan diganjar pahala apabila ia
melakukannya dalam rangka mematuhi perintah, namun orang yang melanggarnya
tidaklah berdosa.
Catatan:
1. Penggunaan istilah makruh yang telah berjalan dikalangan para ulama adalah
makruh yang telah dijelaskan pada pembahasan ini, kecuali ulama hanafiyyah.
Mereka membagi makruh menjadi dua, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih.
Makruh Tahrim adalah sesuatu yang dilarang atau diharamkan oleh syariat akan
tetapi dalilnya bersifat Dzanni Al-Wurud (dugaan kuat).
Sementara Makruh Tanzih adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk
ditinggalkan sebagaimana makruh yang dikenal oleh para ulama pada umumnya.
2. Yang terjadi pada kalam Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan sebagian ahli
hadits, penggunaan istilah makruh bisa bermakna haram bisa juga bermakna
makruh secara istilah, maka berhati-hatilah dan jangan sampai salah
menafsirkan!
E. Mubah
Hukum taklifi yang kelima adalah mubah. Mubah adalah sesuatu yang tidak ada
hubungannya dengan perintah dan larangan pada asalnya. Seperti makan, minum, tidur,
dan lain sebagainya. Maksudnya adalah perbuatan yang pada asalnya tidak
diperintahkan dan tidak pula dilarang oleh syariat. Hal ini dikarenakan apabila
perbuatan tersebut dilatarbelakangi oleh sesuatu yang diperintahkan atau dilarang maka
perbuatan tersebut mengikuti hukum yang melatarbelakanginya.
Contohnya seperti mempelajari bahasa Arab yang hukum asalnya adalah boleh. Namun,
karena kita diwajibkan untuk mengetahui kandungan dari Al-Quran dan As-Sunnah
maka tidak mungkin kita bisa mengetahuinya tanpa mempelajari bahasa Arab. Sehingga
mempelajari bahasa Arab hukumnya menjadi wajib atas dasar latar belakang tersebut.
Contoh lain seperti makan dan minum. Hukum asalnya adalah mubah, namun apabila
dilakukan secara berlebihan hingga membahayakan dirinya maka ia menjadi haram.
istilah lain dari mubah adalah Halal dan Jaiz.
2
2
Adam Mutaali, “Pengertian Hukum Syara’ dan Pembagiannya” nasehatqur’an, 15 November
2021, https://www.nasehatquran.com/2021/11/pengertian-hukum-syara-dan-
pembagian.html
BAB 3
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
(Sahroji, 2018)
(Hadi, 2021)
DS. Ridha.M. 2012. Perbandingan Hukum Syara (Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i).
08, 82-85.
https://www.merdeka.com/quran/an-nisa/ayat-101
https://www.nasehatquran.com/2021/11/pengertian-hukum-syara-dan-pembagian.html
https://tirto.id/apa-itu-hukum-wadhi-macam-macam-dan-contohnya-gmnt
https://tafsiralquran.id/mengenal-hukum-wadhi-dan-contohnya-dalam-al-quran/
https://tirto.id/apa-itu-hukum-taklifi-macam-macam-serta-contohnya-dalam-islam-gmkM