Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Ushul fiqih Tentang Hukum Wadh’i

Disusun oleh :
Rahman Abdul Rojak ( 0101.2201.092 )
Jasrudin ( 0101.2201.0 )

Dosen Pengampu :
H. Abdurahman Saleh,Lc.M.M.Pd.

PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DR.KH.Ez MUTTAQIEN
PURWAKARTA- 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat serta

karunia-nya kepada kita semua, sehingga kita semua diberikan kemudahan oleh Alloh SWT

untuk dapat menyelesaikan makalah atau karya tulis yang berjudul “HUKUM WADH’I”.

Makalah ini berisikan tentang suatu titah Alloh yang berbentuk ketentuan - ketentuan yang ada

kaitannya dengan perbuatan mukallaf ( hukum taklifi), baik dalam hubungan sebab dan yang

diberi sebab, atau syarat dan yang di beri syarat atau penghalang dan yang dikenakan halangan.

Namun apabila ditinjau dari segi hasil sesuatu perbuatan hukum dalam hubungannya dengan tiga

hal diatas, para ahli memasukan kedalam hukum wadh’i tiga hal lagi, yaitu shah, fasid dan

bathal. Dan saya berharap mudah - mudahan dengan adanya makalah ini akan dapat memberika

informasi kepada kita semua tentang hal-hal tersebut dan agar dijadikan suatu referensi dalam

menambah wawasan dan pengetahuan.

Namun kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata

sempurna, oleh karena itu segala bentuk kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat

membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami menyampaikan terimaksih banyak yang sebesar-besarnya kepada semua pihak

yang memberikan masukan dan saran dalam penyusunan makalah ini. Semoga Alloh SWT

senantiasa meridhoi segala usaha dan kerja keras kita. Amiin

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………3

BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………………………………….4

A. Latar Belakang …………………………………………………………………………...4

B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………….4

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………………..4

A. Pengertian Hukum Wadh’i ……………………………………………………………...4

B. Macam - macam Hukum Wadh’i ……………………………………………………….4

1. Sebab ( As-sabab )......................................................................................5

2. Syarat …………………………………………………………………………….5

3. Man’i ……………………………………………………………………………...7

4. Shah ………………………………………………………………………………7

5. Batal ………………………………………………………………………………8

6. Fasid ………………………………………………………………………………8

BAB III PENUTUP …………………………………………………………………………………8

A. Kesimpulan ………………………………………………………………………………..8

B. Saran ……………………………………………………………………………………….8

Daftra pustaka ……………………………………………………………………………………...9

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Melihat semakin kompleksnya maslah-masalah yang dihadapi oleh manusia pada era
perkembangan zaman, Ushul fiqih muncul dengan beberapa hukum Syara’ yang berguna untuk
menjawab berbagai masalah yang dihadapi manusia pada perkembangan zaman. Dalam
pembagian syara’, Ushul fiqih membagi hukum syara’ menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan
hukum wadh’i. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang hukum wadh’i beserta
macam-macamnya.
Untuk memahami hal tersebut kami memiliki beberapa penjelasan mengenai hukum wadh’i
dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain :
1. Apa pengertian dari hukum wadh’i ?
2. Apa macam-macam hukum wadh’i ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM WADH’I

Hukum Wadh’i adalah suatu hukum yang berbentuk ketentuan - ketentuan yang ada
kaitanya dengan perbuatan mukallaf yang dinamakan hukum taklifi, baik hubungan itu dalam
bentuk sebab dan yang diberi sebab, atau syarat dan yang diberi syarat, atau penghalang dan
yang dikenakan halangan. Namun apabila ditinjau dari segi hasil sesuatu perbuatan hukum dalam
hubungannya dengan tiga hal diatas, para ahli memasukan kedalam hukum wadh’i tiga hal lagi,
yaitu : shah,fasid, dan bathal. Jadi, hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, man’i, shah dan batal, sekaligus
azimah dan rukhsah.

B. MACAM-MACAM HUKUM WADH’I

Hukum wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu: ( sebab, syarat, mani, rukhsah dan
azimah, sah dan batal.
1.) Sabab

4
● Pengertian Sabab
Dalam artian lughawi , sabab ( ) berarti sesuatu yang dapat memungkinkan
dengannya sampai kepada apa yang dimaksud. Sedangkan menurut istilahi ( definisi )
dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:
“ sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuatan hukum sebagai tanda
adanya hukum : lazim dengan adanya tanda itu ada hukum dan dengan tidak adanya,
tidak ada hukum”
Contohnya, Masuknya bulan Ramadhan menjadi pertanda datangnya kewajiban puasa
Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan adalah sesuatu yang jelas dan dapat diukur
apakah betul bulan Ramdhan itu sudah datang atau belum. Masuknya bulan Ramdahan
disebut sebab, sedangkan adanya kewajiban puasa Ramadhan di sebut Musabbab.
Bila diperhatiakan hubungan antara sebab dengan musabbab dari segi nyatanya
ada keserasian hubungan, secara rasional terlihat ada dua macam hubungan. Pertama
tidak dapat diketahui secara jelas oleh akal keserasian hubungan antara keduanya. Bentuk
seperti ini disebut “sebab” seperti hubungan masuknya bulan Ramadhan dengan
datangnya kewajiban puasa. Kita tidak akan tahu kenapa demikian; dalam hal ini kita
serahkan saja kepada kehendak Alloh. Tetapi bila keserasian hubungan itu jelas dan
dapat diketahui oleh akal manusia, maka petunjuk adanya hukum itu disebut illat , contoh
sifat memabukan yang terdapat dalam minuman khomer jelas ada hubungannya dengan
bentuk haram, karena sifat memabukan itu akan merusak akal sedangkan kita
diperintahkan agar memelihara akal kita sendiri. Dilihat dari segi pengaruh yang
ditimbulkan, maka sabab dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Sebab tidak dengan sendirinya berkedudukan sebab melainkan setelah adanya
pembuatan hukum syar’i, yang mana yang menetapkan hukum tersebut adalah
Alloh sendiri. Dalam artian Alloh- lah yang menjadikan sebab yang berkaitan
deangannya hukum, menjadi sebab.
2. Sebab itu sama sekali tidaklah berpengaruh terhadap adanya hukum. Dengan
demikian sebab itu tidak dapat berlaku dengan sendirinya.

2.) Syarat

● Pengertian Syarath
Para ahli berbeda pendapat dalam memberikan definisi syarath. Namun yang
lebih mudah dipahami adalah definisi yang dikemukakan oleh Abu Zahrah yaitu:
“ Syarath adalah sesuatu yang tergantung kepanya adanya hukum, lazim dengan
tidak adanya tidak akan ada hukum tetapi tidaklah lazim dengan adanya ada
hukum.”
Dari satu segi, syarat sama dengan sebab, yaitu “ hukum tergantung
kepada adanya”, sehingga bila dia tidak ada, maka pasti hukum pun tidak ada.

5
Perbedaan antara keduanya terdapat pada adanya sebab atau syarat itu. Pada
sebab, keberadaanya melazimkan adanya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu
adanya hukum.
Contoh syarat , umpanya wali dalam perkawinan yang menurut jumhur
ulama merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali pasti nikah tidak sah, tetapi
dengan adanya wali belum tentu nikah itu sah karena masih ada syarat yang lain
seperti saksi, akad, dan lainnya.
Contoh sebab, adanya adzan dzuhur mendatangkan adanya kewajiban
sholat dzuhur. Apabila waktunya belum masuk ( adzan), pasti belum ada
kewajiban shalat.
● Pembagian Syarath
1. Syarat yang kembali pada hukum taklifi baik yang diperintah untuk
melakukanya seperti berwudhuketika hendak sholat. Ataupu larangan
untuk melakukannya seperti adanya muhallil ( suami sementara ) menjadi
syarat bolehnya suami kembali kepada istrinya yang telah ditalak tiga.
Syarat bentuk ini jelas adanya kesenjangan dari perbuatan hukum.
2. Syarat yang kembali pada hukum wadh’i. Contohnya haul bagi yang
memiliki harta kekayaan yang cukup sedangkan adanya nisab menjadi
syarat wajib mengeluarkan zakat.
Syarath yang kembali pada hukum wadh;i terbagi dua yaitu; syarat syar’iyah dan syarat ja’liyah.
1. Syarat syar’iyah, yaitu syarat - syarat yang ditetapkan oleh Alloh.
2. Syarat Ja’liyah, yaitu syarat yang diperoleh oleh syari’ dilakukan oleh pihak yang
melakukan akad saat melangsungkan akad untuk berlakunya hukumnya.

● Syarat - syarat dalam hubungannya dengan masyrut terbagi tiga yaitu :


1. Syarat itu merupakan pelengkap bagi hikmah sesuatu yang disyaratkan atau
hukum dan merupakn pendukung terhadap hukum artinya tidak bertentangan
dengan hukum. Seperti persyaratan tahunan (haul) bagi zakat
2. Syarat itu tidak sejalan dengan tujuan hukum yang disyaratkan dan tidak pula,
melengkapi hikmahnya, bahkan berlawanan dengan hukum itu sendiri. Seperti
persyaratan tidak memberikan nafkah istri dan anak. Syarat ini tidak diraguakan
kebatalannya karena syarat itu berlawanan dengan tujuan ditetapkannya hukum.
3. Syarat itu tidak tampak adanya perlawanan maupun kesejalanan dengan hukum
yang disyaratkan.

3.) Mani’ ( Penghalang )

Yang dimaksud dengan mani’ menurut para ahli ialah : “ mani adalah apa yang
memastikan tidak adanya hukum atau batal sebab hukum, sekalipun menurut syara’ telah

6
terpenuhi syarat dan rukunyya tetapi karena adanya mani’ ( yang mencegah ) berlakunya
hukum atasnya “. Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan ada atau sebab
hukum menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya. Sebagaiman Hadis nabi “ Si
pembunuh tidak berhak mewarisi orang yang dibunuhnya”

Para Ulama madzah Hanafi membagi mani’ menjadi lima macam yaitu:
1. Mani yang menghalangi kelangsungan sebab. Seperti menjual seseorang yang merdeka.
Mani’nya terletak pada tidak dapatnya dijadikan objek untuk dijual karena ia bukan
benda jualan.
2. Mani’ yang menghalangi kesempurnaan sebab pada hak pihak yang tidak ikut akad.
Seperti menjual sesuatu yang dimiliki orang lain. Tidak sempurnanya karna tidak adanya
hak atau wewenang orang yang berakad atasnya. Akad dapat berlangsung bila dibenarkan
oleh pemilik harta dan batal apabila pemilik harta membatalkannya.
3. Mani yang menghalangi muali berlakunya hukum, seperti khiyar syarat bagi si penjual
mencegah pemilik barang yang dijual oleh si pembeli, sekalipun akad jual beli telang
berlangsung dalam hak keduanya secara sempurna.
4. Mani’ yang menghalangi kesempurnaan hukum, seperti khiyar ru’yah. Pemilik tidak
terhalang tetapi tidak sempurna dengan adanya barang yang di beli tanpa dilihat.
Karenanya orang yang mempunyai hak khiyar dapat membatalkan jual beli tanpa putusan
hakim atau kerelaan kedua belah pihak
5. Mani’ yang menghalangi kelaziman hukum. Contohnya seperti khiyar a’ib atau cacat.
Hukum tetap berlaku bersama khiyar khiyar tersebut secara sempurna sehingga ia
mempunyai wewenang untuk ber -tasarruf- dalam bidang jualannya, tetapi ia mungkin
membatalkannya sesudah barang itu diterima kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak
atau berdasarkan putusan pihak.

4.) Shah
Di dalam kitab Waroqot yang dinamakan Shah Adalah “ Sesuatu yang berkaitan
terhadapnya Yaitu Nufuud(1)dan I’itidad(2) serta telah terkumpul semua yang dipandang
terhadapnya ( berupa syarat dan rukun ) dari segi syara’ baik sesuatu itu berbentuk akad ( seperti
jual beli dan nikah ) ataupun berbentuk ibadah ( seperti sholat dan puasa )”

(1) Nufud : Tersampainya sesuatu yang dimaksud/dikehendaki. Contohnya kita melaksanakn


sholat. Kemudian rukun dan syaratnya terpenuhi dan terhindar dri hal hal yang
membatalkannya. Maka Tujuan yang kita kehendaki itu telah terlaksanakan ( sholat).
(2) I’itidad : Sesuatu yang telah kita kerjakan itu telah dihitung/dianggap. Seperti contoh
yang telah disampaikan di atas. Yaitu sholat kita ini telah dihitung /dianggap sehingga
kita tidak perlu meng qodho ataupun mengulanginya lagi.
Kesimpulannya, Suatu pekerjaan baik berupa ibadah (contoh sholat ) ataupun akad ( contoh jual
beli ) itu bisa dianggap shah apabila terpenuhi dua halnya. Yaitu Nufud dan I’tidad.

7
5. Bathal
Di dalam kitab Warokot Yang dinamakan Bathal adalah kebalikan dari kata shah yaitu : “
Sesuatu Yang tidak berkaitannya terhadapnya yaitu Nufud dan I’tidad” diakarenakan tidak
terkumpulnya semua yang di pandang terhadapanya ( berupa Syarat, Rukun ataupun Mani’) dari
segi Syara’ baik sesuatu itu berbentuk akad ataupun ibadah. Contoh kita melaksanakan sholat.
Namun kita tidak berwudhu terlebih dahulu. Maka sholat kita tidak dianggap shah melainkan
batal, dalam artian tujuan kita tidak terpenuhi dan tidak dianggap/dihitung pula. Kenapa bisa
batal? Kareana wudhu merupakan salah satu syarat sahnya sholat.

6. Fasid
Fasid secara lughowi artinya merusak. Sedangkan secara istilahi Fasid adalah suatu
pekerjaan yang dapat merusak kesempurnaan shah tapi bukan pula dapat membatalkan.
Contohnya kita melasksanakn puasa Ramadhan. Syarat dan rukun nya tealah terpenuhi seperti
niat pada waktu malam dan meninggalkan sesuatu yang dapat membatalkan puasa misalnya
makan,minum dan lain-lain. Namun, pada saat itu kita melakukan hal-hal yang dapat merusak
pahal puasa, yaitu meng-ghibah. Maka puasa kita tidak batal( dianggap) namun puasa kita tidak
membuahkan pahala.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum Wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk
sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Hukum wadh’i terbagi menjadi
enam macam yaitu, sabab, syarat, mani’, shah, bathal, dan fasid.

B. Saran
Dengan adanya riwayat dia atas telah menunjukkan betapa pentingnya mengetahui
pengertian hukum wadh’i dan macam-macamnya. Banyak yang belum terselesaikan dalam
makalah ini. Kami menyadari akan keterbatasan dan kekurangan baik dalam hal penulisan,
pemahaman, dan sumber rujukan.

8
DAFTAR PUSTAKA

Buku Ushul Fiqih Karya tulis Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin


Kitab waraqot karangan Syek Abu Al- Ma’ali Al- Juawaini

Anda mungkin juga menyukai