Anda di halaman 1dari 15

MAHKUM FIH / MAHKUM BIH

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Usul Fiqih
Dosen Pengampu : Nursyamsi SHI, MAg

Disusun oleh :
Ai Nurmala
Aldi Badruzaman
Roihah Fadilah

Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Kelas : 2A

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG


2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas selesainya Makalah Media


Pembelajaran tentang Jenis-jenis dan Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran.
Dengan adanya makalah ini kita dapat mengetahui berbagai jenis media
pembelajaran yang dapat digunakan serta mengetahui apa saja yang menjadi
kriteria penting dalam pemilihan media untuk dijadikan sebagai bahan
pembelajaran sehingga tujuan dari pembelajaran dapat tercapai.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang kami miliki.
Dengan segala kerendahan hati, kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat dalam upaya meningkatkan prestasi.

Tasikmalaya, Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
BAB II PEBAHASAN
A. Pengertian Mahkum Fih...........................................................................2
B. Syarat Mahkum Fih..................................................................................3
C. Macam–Macam Mahkum Fih..................................................................9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah
laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver)
adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang
disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber
utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Quran itu
membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang
terkandung dalam sebagian ayat-ayatNya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selalu
berhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i
selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis
selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan
memahami masalah-masalah tentang hukum syar’i.
Sebelum kita mempelajari banyak ilmu tentang fiqih, setidaknya kita
mempelajari bagaimana hukum-hukum fiqih menurut syara’ terlebih dahulu.
Setiap hukum-hukum syar’i itu tidak dapat bersangkutan dengan salah satu
perbuatan mukallaf dari segi tuntutan, menyuruh pilih atau menempatkan. Dari
suatu ketetapan dikatakan bahwa yang berarti itu tidak lain dari dengan perbuatan.
Artinya hukum syar’i itu tidak bersangkut selain perbuatan mukallaf.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1. Apa pengertian Mahkum fih?
2. Apa saja syarat-syarat mahkum fih?
3. Apa saja macam-macam mahkum fih?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian
ulama ushul fiqih menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan
atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram.
Sebagian ulama lainnya menggunakna istilah mahkum bih, karena perbuatan
mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah maupun yang
dilarang.
Dalam kajian Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:

‫ُهَو الِفْعُل الُم َك َّلِف اَّلِذ ى َتَع َّلُق ِبِه ُح ْك ُم الَّش اِر ِع‬
Suatu perbuatan mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum
syara’
Menurut ulama Ushul Fiqih, yang dimaksudkan dengan mahkum fih
adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan
perintah syari’ (Allah dan Rasulnya), baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat
syarat, sebab, halangan, azimah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya,
yakni perbuatan mukallaf. Dan terdapat perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan
suatu hukum.
Misalnya perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan
dengan aturan agama Islam, antara lain:

1. Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah:43

}43:‫َو َاِقْيُم وا الًص لوَة { البقرة‬


Artinya: “dirikanlah shalat...” ( QS Al-Baqarag:43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk
mengerjakan sholat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan sholat.

2. Firman Allah SWT. Dalam surat Al-An’am:13

2
}151 :‫ { األنعام‬.....‫َو َال َنْقُتُلوا الًنْفَس اًلِتْى َح ًر َم هللا ِاًال ِبْلَح ِّق‬
Artinya: “ janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan allah
melainkan dengan suatu (sebab) yang benar...” (QS.Al-An’am:151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkaitdengan perbuatan orang
mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa haq, maka pembunuhan
tanpa haq itu hukumnya haram.
3. Rasulullah SAW. Bersabda:

}‫َالَيِر ُث اْلَقاِتُل { رواه ابوداود ومالك واحمد بن حنبل‬


Artinya: “pembunuh tidak mewarisi.” ( HR. Abu Dawud, Imam Malik, dan
Ahmad Ibn Hanbal).
Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab seseorang tidak
mendapat harta warisan adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu
merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalangn (mani) untuk
menerima waris.
4. Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah mahkum fih sebab
bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
5. Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak
melaksanakan puasa pada bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau orang
musafir, maka masalah itu adalah mahkum fih yang bertalian dengan masalah
ibadah.
Dengan uraian-uraian diatas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan
semua perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Berarti
semua perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya dengan hukum syara’.
Jadi perbuatan manusia yang berkaitan dengan hukum syara’ itulah dinamakan
mahkum fih dalam hukum Islam.

B. Syarat Mahkum Fih


Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang
dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam
melaksanakannya diperlukan beberapa syarat :

3
a. Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup
dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau
mustahil melaksanakan itu ada suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti
mengumpulkan antara dua hal yang berlaawanan, yakni yang dzatnya daripada
pekerjaan itu tidak ada , dan mustahil menurut adat yaitu perbuatan-perbuatan itu
sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.
b. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah,
bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama’ berpendapat, bahwa
boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi,
seperti jauhnya abu lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk
membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
c. Pekerjaan yang sukar sekali dilakukan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk
dibawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilakasanakan. Pekerjaan
yang sukar itu ada dua macam:
1) Yang kesukarannnya itu luarbiasa dalam arti sangat memberatkan bila
perbuatan itu dilakanakan.
2) Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan,
hanya terasa lebih berat daripada yang biasa.
d. Pekerjan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaraan
yang luar biasa. Pekerjaan yang demikian adakalanya hasil dari sebab dan ikhtiar
mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki kesukaran dan
adakalanya juga bukan krena kehendak mukallaf dan ikhtiyarnya.

Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya


suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
1. Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuan dapat
ditangkap dengan jelas dan sempurna sebagaimana ia dituntut.
Maka berdasarkan hal tersebut, nash-nash al-Qur’an yang sifatnya masih
mujmal, yakni yang belum dijelaskan maksudnya, tidak sah mentaklifkannya
kepada mukallaf, kecuali sesudah Rasulullaah SAW menjelaskan nash-nash al-
Qur’an yang masih global tadi. Misalnya firman Allah SWT :

4
" ‫" َو َاِقْيُم الَّص اَل َة‬
Artinya : “...dan dirikanlah shalat..”
Nash al-Qur’an tersebut masih mujmal, belum dijelaskan rukun-rukun shalat,
syarat-syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya. Bagaimanakah orang yang tidak
mengetahui rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya di
taklif untuk mengerjakan shalat? Oleh karena itulah, maka Rasulullah SAW
menjelaskan kemujmalan nash tersebut, sekaligus memberikan contoh
sebagaimana sabdanya :

" ‫" َص ُّلْو ا َك َم ا َر َاْيُتُم ْو ِنى ُاَص ِّلْى‬


Artinya : “lakukan shalat sebagaimana kamu melihatku shalat”.
Rasulullah SAW menjelaskan apa yang mujmal dalam Al-Qur’an melalui
sunnahnya baik yang berupa qauliyah, maupun fi’liyah.
2. Mukallaf harus mengetahui sumber takiif.
Seseorang harus mengetahui bahwa pentaklifan itu datang dari orang yang
mempunyai otoritas untuk memberikan taklif yaitu Allah SWT. Sehingga dengan
pengetahuan itu ia dapat melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan
melaksanakan titah Allah semata.
Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang
dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan
kemampuan melaksanakannya. Oleh karena itu ketika seseorang telah dinyatakan
baligh dalam keadaan berakal dan diperkirakan mampu mengetahui hukum-
hukum syara’, baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan
cara bertanya kepada para ulama’, maka sudah bisa dinyatakan bahwa ia
mengetahui dan menanggung beban syari’at, serta tidaklah diterima suatu alasan
karena kebodohan atau ketidak-tahuaannya. Sesuai dengan pendapat para fuqaha:
“tidaklah diterima di dunia Islam udzur (halangan) yang disebabkan oleh
kebodohan.
Dan diantara sebab adanya pernyataan tentang “dimungkinkan mengetahui
hukum”, itu karena apabila disyaratkan seorang mukallaf harus mengetaahui
tuntutan yang dibebankan kepadanya, maka perbuatan yang harus dilakukan itu

5
tidak akan terwujud. Dan akan banyak sekali manusia yang berhalangan karena
tidak mengetahui hukum syara’.
Jadi, setiap hukum syara’ yang mukallaf mungkin mengetahui dalilnya,
dan mengetahui bahwa dalilnya adalah hujjah syar’iyah, maka mukallaf wajib
mengikuti apa yang diambil dari dalil itu. Baik pengambilannya melalui akal
pikirannya sendiri atau melalui perantara, semisal bertanya kepada orang yang
mengetahuinya.
3. Perbuatan yang ditaklifkan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain :
Pertama : tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan
atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik berdasarkan
zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh yang mustahil
berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah dan larangan
dalam suatu tuntutan dan dalam waktu yang bersamaan.
Sedang contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu
yang bisa digambarkan dengan akal, akan tetapi secara adat kebiasaan hal tersebut
tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa
menggunakan alat, atau mengangkat gunung, dan lain-lain.

Kalau tuntutan yang mustahil itu dianggap sah maka harus dilaksanakan. Padahal
tidak mungkin berkumpul antara suatu kemustahilan dengan adanya perbuatan.
Selain itu, apabila tuntutan dinyatakan dengan sesuatu yang mustahi, maka berarti
perintah Allah itu tidaklah berguna. Dan hal itu tidaklah mungkin.
Kedua : Para ulama ushul fiqih menyatakan tidak sah hukumnya
seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas orang lain. Oleh
karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk menggantikan
saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya. Dengan kata lain,
bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.
Hal yang mungkin dilakukan adalah mensehati dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Hadits-hadits yang menyatakan demikian antara lain hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas, “tidak boleh shalat seseorang untuk orang lain, begitu pula

6
tidak boleh berpuasa untuk orang lain”. Dan Aisyah berkata, “ janganlah kamu
shalat untuk menggantikan orang yang telah mati, namun beri makanlah kepada
mereka (pahalanya). Kecuali haji yang dibolehkan oleh Imam Malik. Golongan
Asy’ari berpendapat bahwa dibolehkannya menggantikan kewajiban orang lain
yang berhubungan dengan badan adalah berlawanan dengan golongan mu’tazilah,
seperti dibolehkannya melaksanakan haji untuk orang lain. Bahkan golongan
Syafi’i, al-Auja’i, dan Hambali membolehkan wali menggantikan puasa untuk
orang yang sudah meninggal. Diantara alasan mereka adalah:

‫َو َم ْن َم ا َت َو َع َلْيِه ِص َياٌم َص اَم َع ْنُه َو ِلُّيُه‬


Artinya: “siapa yang meninggalkan dunia dan ia berutang puasa, maka walinya
berkewajiban mengerjakan puasa itu. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
dan Ahmad Ibn Hanbal).
Ketiga : tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan
dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, dan sebagainya, karena hal
itu diluar kendali manusia.
Misalnya sabda Nabi SAW:

‫َاِح ُّبْو ا َهللا ِلَم ا ُاْس ِدَي َع َلْيُك ْم ِم ْن ِنَعِمِه‬


Artinya : “Cintailah Allah karena berbagai kenikmatan yang diberikannya
kepadamu”
Lahiriah hadits tersebut adalah pentaklifkan cinta, akan tetapi hakekatnya adalah
pentaklifan untuk memikirkan pada kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Allah
kepada kamu sehingga kamu senantiasa ingat dan bersyukur kepada Allah.[10]

Dari uraian diatas munkin tergambar bahwa taklif itu hanya berlaku
terhadap apa yang dapat dikerjakan manusia dan tidak akan menimbulkan
kesulitan. Namun semua perbuatan yang dibebankan syara’ selalu menimbulkan
kesulitan, sedang arti taklif itu sendiri mengandung arti kesulitan atau biasa
disebut Masyaqqah.] Masyaqqah ada dua macam :

7
1. Masyaqqah mu’tadah
Masyaqqah mu’tadah adalah, kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia
tanpa menimbulkan bahaya pada dirinya. Kesulitan yang seperti ini tiidak bisa
dijadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak
akan terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya. Bahkan definisi taklif
sendiri adalah permintaan untuk merealisasikan sesuatu yang didalamnya terdapat
kesulitan. Namun hal ini bukan berarti tujuan syar’i itu mengatasi kesulitan.
Tujuan utama syari’at adalah kemaslahatan dan ketertiban.
Pengharusan mukallaf untuk memikul kesulitan-kesulitan dalam batas
kemampuannya adalah dalam rangka mencapai kemaslahatan yang timbul
daripadanya. Seperti seorang dokter yang mengharuskan orang sakit meminum
obat yang pahit, karena kesembuhannya yang akan timbul dari memakan obat
tersebut. Jadi ia menanggung kepahitannya adalah dalam rangka kesembuhannya
dari penyakitnya.
Shalat, zakat, puasa, dan segala yang diperintahkan dan dilarang kepada
mukallaf adalah mengandung kesulitan dan keberatan, akan tetapi hal tersebut
merupakan kesulitan yang dapat dipikul dan dalam batas-batas kemampuan. Hal
itu merupakan sarana untuk mencapai suatu kemaslahatan yang harus
ditempuhnya untuk kelangsungan hidupnya.
2. Masyaqqah ghairu mu’tadah
Masyaqqah ghairu mu’tadah adalah suatu kesulitan atau kesusahan yang diluar
kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya, bila
dipaksakan.[14] Misalnya, melakukan puasa wishal, shalat semalam suntuk, puasa
sambil berdiri dibawah sinar matahari. Kesulitan-kesulitan yang seperti itu bukan
termasuk taklif syara’, karena syara’ selalu berusaha menyingkirkan manusia dari
kesulitan seperti bolehnya berbuka bagi orang yang sakit dan musafir,
dibolehkannya tayammum sebagai ganti wudhu bagi yang sakit dan tidak
menemukan air. Diboehkannya memakan makanan yang diharamkan ketika dalam
keadaan darurat, dan sebagainya. Semua ini memberikan kelonggaran.

8
C. Macam–Macam Mahkum Fih
Para ulama’ usul fiqih membagi mahkum fih dari dua segi yaitu:
Dari segi keberadaan secara material dan syara’, mahkum fih terdiri dari:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang
berkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah
perbuatan mukallaf tetapi perbuatan itu tidak terkait demgan hukum syara’.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’,
seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab
adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishash.
3. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ yang
ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan
hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa menyewa.

Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, yaitu:
1. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan
dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Hak sifatnya semata-mata Allah ini,
menurut Ulama’ Ushul Fiqih ada delapan macam:
a. Ibadah mahdlah (murni), seperti iman dan rukun.
b. Ibadah yang didalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,
seperti zakat fitrah.
c. Bantuan/satuan yang mengandug makna ibadah, seperti zakat hasil yang
dikeluarkan dari bumi.
d. Biaya/ satuan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak
bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana seperti
hukuman berbuat zina.
f. Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi waris,
karena ia membunuh pemilik harta tersebut.
g. Hak-hak yang harus dibayarkan, kewajiban mengelurakan seperlima
harta terpemdam dan harta rampasan perang.

9
2. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti
rugi harta yang rusak.
3. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya
lebih dominan. Seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf
4. Kompromi antara hak Allah dam hak hamba, tetap hak hamba didalamnya
lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum
syar’i. Adapun syarat mahkum fih yaitu Mukallaf mengetahui perbuatan yang
akan dilakukan sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia
laksanakan maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan
shalat misalnya, sebelumnya dia tahu persis rukun, syarat, dan cara-cara shalat
tersebut.Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui
bahwa tuntutan itu dari allah SWT, sehingga ia melaksanakannya berdasarkan
ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah allah semata. sebenarnya, hal itu sama
dengan hukum yang berlaku yang positif, yakni tidak ada keharusan untuk
mengerjakannya suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Perbuatan
harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Adapun macam-macam
mahkum fih terbagi menjadi dua segi yaitu keberadaan secara material dan
syara’dan dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu.

11
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Uman, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia.
Khallaf, Syekh Abdulwahab. 1990. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai