MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Usul Fiqih
Dosen Pengampu : Nursyamsi SHI, MAg
Disusun oleh :
Ai Nurmala
Aldi Badruzaman
Roihah Fadilah
Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Kelas : 2A
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
BAB II PEBAHASAN
A. Pengertian Mahkum Fih...........................................................................2
B. Syarat Mahkum Fih..................................................................................3
C. Macam–Macam Mahkum Fih..................................................................9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1. Apa pengertian Mahkum fih?
2. Apa saja syarat-syarat mahkum fih?
3. Apa saja macam-macam mahkum fih?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian
ulama ushul fiqih menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan
atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram.
Sebagian ulama lainnya menggunakna istilah mahkum bih, karena perbuatan
mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah maupun yang
dilarang.
Dalam kajian Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:
ُهَو الِفْعُل الُم َك َّلِف اَّلِذ ى َتَع َّلُق ِبِه ُح ْك ُم الَّش اِر ِع
Suatu perbuatan mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum
syara’
Menurut ulama Ushul Fiqih, yang dimaksudkan dengan mahkum fih
adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan
perintah syari’ (Allah dan Rasulnya), baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat
syarat, sebab, halangan, azimah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya,
yakni perbuatan mukallaf. Dan terdapat perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan
suatu hukum.
Misalnya perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan
dengan aturan agama Islam, antara lain:
2
}151 : { األنعام.....َو َال َنْقُتُلوا الًنْفَس اًلِتْى َح ًر َم هللا ِاًال ِبْلَح ِّق
Artinya: “ janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan allah
melainkan dengan suatu (sebab) yang benar...” (QS.Al-An’am:151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkaitdengan perbuatan orang
mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa haq, maka pembunuhan
tanpa haq itu hukumnya haram.
3. Rasulullah SAW. Bersabda:
3
a. Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup
dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau
mustahil melaksanakan itu ada suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti
mengumpulkan antara dua hal yang berlaawanan, yakni yang dzatnya daripada
pekerjaan itu tidak ada , dan mustahil menurut adat yaitu perbuatan-perbuatan itu
sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.
b. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah,
bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama’ berpendapat, bahwa
boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi,
seperti jauhnya abu lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk
membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
c. Pekerjaan yang sukar sekali dilakukan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk
dibawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilakasanakan. Pekerjaan
yang sukar itu ada dua macam:
1) Yang kesukarannnya itu luarbiasa dalam arti sangat memberatkan bila
perbuatan itu dilakanakan.
2) Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan,
hanya terasa lebih berat daripada yang biasa.
d. Pekerjan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaraan
yang luar biasa. Pekerjaan yang demikian adakalanya hasil dari sebab dan ikhtiar
mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki kesukaran dan
adakalanya juga bukan krena kehendak mukallaf dan ikhtiyarnya.
4
" " َو َاِقْيُم الَّص اَل َة
Artinya : “...dan dirikanlah shalat..”
Nash al-Qur’an tersebut masih mujmal, belum dijelaskan rukun-rukun shalat,
syarat-syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya. Bagaimanakah orang yang tidak
mengetahui rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya di
taklif untuk mengerjakan shalat? Oleh karena itulah, maka Rasulullah SAW
menjelaskan kemujmalan nash tersebut, sekaligus memberikan contoh
sebagaimana sabdanya :
5
tidak akan terwujud. Dan akan banyak sekali manusia yang berhalangan karena
tidak mengetahui hukum syara’.
Jadi, setiap hukum syara’ yang mukallaf mungkin mengetahui dalilnya,
dan mengetahui bahwa dalilnya adalah hujjah syar’iyah, maka mukallaf wajib
mengikuti apa yang diambil dari dalil itu. Baik pengambilannya melalui akal
pikirannya sendiri atau melalui perantara, semisal bertanya kepada orang yang
mengetahuinya.
3. Perbuatan yang ditaklifkan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain :
Pertama : tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan
atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik berdasarkan
zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh yang mustahil
berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah dan larangan
dalam suatu tuntutan dan dalam waktu yang bersamaan.
Sedang contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu
yang bisa digambarkan dengan akal, akan tetapi secara adat kebiasaan hal tersebut
tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa
menggunakan alat, atau mengangkat gunung, dan lain-lain.
Kalau tuntutan yang mustahil itu dianggap sah maka harus dilaksanakan. Padahal
tidak mungkin berkumpul antara suatu kemustahilan dengan adanya perbuatan.
Selain itu, apabila tuntutan dinyatakan dengan sesuatu yang mustahi, maka berarti
perintah Allah itu tidaklah berguna. Dan hal itu tidaklah mungkin.
Kedua : Para ulama ushul fiqih menyatakan tidak sah hukumnya
seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas orang lain. Oleh
karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk menggantikan
saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya. Dengan kata lain,
bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.
Hal yang mungkin dilakukan adalah mensehati dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Hadits-hadits yang menyatakan demikian antara lain hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas, “tidak boleh shalat seseorang untuk orang lain, begitu pula
6
tidak boleh berpuasa untuk orang lain”. Dan Aisyah berkata, “ janganlah kamu
shalat untuk menggantikan orang yang telah mati, namun beri makanlah kepada
mereka (pahalanya). Kecuali haji yang dibolehkan oleh Imam Malik. Golongan
Asy’ari berpendapat bahwa dibolehkannya menggantikan kewajiban orang lain
yang berhubungan dengan badan adalah berlawanan dengan golongan mu’tazilah,
seperti dibolehkannya melaksanakan haji untuk orang lain. Bahkan golongan
Syafi’i, al-Auja’i, dan Hambali membolehkan wali menggantikan puasa untuk
orang yang sudah meninggal. Diantara alasan mereka adalah:
Dari uraian diatas munkin tergambar bahwa taklif itu hanya berlaku
terhadap apa yang dapat dikerjakan manusia dan tidak akan menimbulkan
kesulitan. Namun semua perbuatan yang dibebankan syara’ selalu menimbulkan
kesulitan, sedang arti taklif itu sendiri mengandung arti kesulitan atau biasa
disebut Masyaqqah.] Masyaqqah ada dua macam :
7
1. Masyaqqah mu’tadah
Masyaqqah mu’tadah adalah, kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia
tanpa menimbulkan bahaya pada dirinya. Kesulitan yang seperti ini tiidak bisa
dijadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak
akan terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya. Bahkan definisi taklif
sendiri adalah permintaan untuk merealisasikan sesuatu yang didalamnya terdapat
kesulitan. Namun hal ini bukan berarti tujuan syar’i itu mengatasi kesulitan.
Tujuan utama syari’at adalah kemaslahatan dan ketertiban.
Pengharusan mukallaf untuk memikul kesulitan-kesulitan dalam batas
kemampuannya adalah dalam rangka mencapai kemaslahatan yang timbul
daripadanya. Seperti seorang dokter yang mengharuskan orang sakit meminum
obat yang pahit, karena kesembuhannya yang akan timbul dari memakan obat
tersebut. Jadi ia menanggung kepahitannya adalah dalam rangka kesembuhannya
dari penyakitnya.
Shalat, zakat, puasa, dan segala yang diperintahkan dan dilarang kepada
mukallaf adalah mengandung kesulitan dan keberatan, akan tetapi hal tersebut
merupakan kesulitan yang dapat dipikul dan dalam batas-batas kemampuan. Hal
itu merupakan sarana untuk mencapai suatu kemaslahatan yang harus
ditempuhnya untuk kelangsungan hidupnya.
2. Masyaqqah ghairu mu’tadah
Masyaqqah ghairu mu’tadah adalah suatu kesulitan atau kesusahan yang diluar
kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya, bila
dipaksakan.[14] Misalnya, melakukan puasa wishal, shalat semalam suntuk, puasa
sambil berdiri dibawah sinar matahari. Kesulitan-kesulitan yang seperti itu bukan
termasuk taklif syara’, karena syara’ selalu berusaha menyingkirkan manusia dari
kesulitan seperti bolehnya berbuka bagi orang yang sakit dan musafir,
dibolehkannya tayammum sebagai ganti wudhu bagi yang sakit dan tidak
menemukan air. Diboehkannya memakan makanan yang diharamkan ketika dalam
keadaan darurat, dan sebagainya. Semua ini memberikan kelonggaran.
8
C. Macam–Macam Mahkum Fih
Para ulama’ usul fiqih membagi mahkum fih dari dua segi yaitu:
Dari segi keberadaan secara material dan syara’, mahkum fih terdiri dari:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang
berkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah
perbuatan mukallaf tetapi perbuatan itu tidak terkait demgan hukum syara’.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’,
seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab
adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishash.
3. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ yang
ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan
hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa menyewa.
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, yaitu:
1. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan
dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Hak sifatnya semata-mata Allah ini,
menurut Ulama’ Ushul Fiqih ada delapan macam:
a. Ibadah mahdlah (murni), seperti iman dan rukun.
b. Ibadah yang didalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,
seperti zakat fitrah.
c. Bantuan/satuan yang mengandug makna ibadah, seperti zakat hasil yang
dikeluarkan dari bumi.
d. Biaya/ satuan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak
bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana seperti
hukuman berbuat zina.
f. Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi waris,
karena ia membunuh pemilik harta tersebut.
g. Hak-hak yang harus dibayarkan, kewajiban mengelurakan seperlima
harta terpemdam dan harta rampasan perang.
9
2. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti
rugi harta yang rusak.
3. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya
lebih dominan. Seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf
4. Kompromi antara hak Allah dam hak hamba, tetap hak hamba didalamnya
lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum
syar’i. Adapun syarat mahkum fih yaitu Mukallaf mengetahui perbuatan yang
akan dilakukan sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia
laksanakan maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan
shalat misalnya, sebelumnya dia tahu persis rukun, syarat, dan cara-cara shalat
tersebut.Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui
bahwa tuntutan itu dari allah SWT, sehingga ia melaksanakannya berdasarkan
ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah allah semata. sebenarnya, hal itu sama
dengan hukum yang berlaku yang positif, yakni tidak ada keharusan untuk
mengerjakannya suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Perbuatan
harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Adapun macam-macam
mahkum fih terbagi menjadi dua segi yaitu keberadaan secara material dan
syara’dan dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu.
11
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Uman, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia.
Khallaf, Syekh Abdulwahab. 1990. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.