Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“OBJEK HUKUM ISLAM (MAHKÛM FÎH)”

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. Maria Ulfah, S.H.I, M.H.I

DISUSUN OLEH:

NAMA: SATRIYA PRIANDONO BISMA

NPM: 18810530

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL-


BANJARY BANJARMASIN 2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala

rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada

junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafa’atnya di

akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-

Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk

menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah kontrak

dengan judul “Objek Hukum Islam (Mahkûm Fîh”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna

dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,

penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya

makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan

apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang

sebesar-besarnya.

Banjarmasin, 24 Oktober 2020

Satriya Priandono Bisma

(18810530)
Daftar isi
KATA PENGANTAR.............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................5
2.1 Objek Hukum Islam (Mahkûm Fîh).....................................................................5
BAB III PENUTUP...............................................................................................................10
3.1. Kesimpulan...........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................11
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkûm fîh adalah

perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’iy. Dalam

derivasi yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan objek hukum atau

mahkûm fîh ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum (syâri’) untuk

dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk

dilakukan atau tidak.

1.2 Rumusan Masalah

Pengertian Objek Hukum Islam

1.3 Tujuan Penulisan

Sebagai wawasan bagi pembaca dan memberikan pengetahuan lebih bagi

pembaca

1.4 Metode Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif, yaitu

suatu pendekatan masalah dengan jalan menelaah dan mengkaji suatu peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan berkompeten untuk digunakan sebagai dasar

dalam melaksanakan pemecahan masalah. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif

analitis, yaitu penelitian yang sifat dan tujuannya memberikan deskripsi atau

mengambarkan objek hukum islam dalam pelaksanaan perjanjian Data yang akan
digunakan dalam penelitian ini data sekunder yang diperoleh dengan melakukan studi

dokumen yang terdiri dari bahan-bahan hukum dan alat penelitian yang dipergunakan

dalam studi dokumen dilakukan dengan penelusuran literatur kepustakaan. Analisis

yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif .


BAB II PEMBAHASAN

2.1 Objek Hukum Islam (Mahkûm Fîh)

Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkûm fîh

adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’iy.

Dalam derivasi yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan objek hukum atau

mahkûm fîh ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum (syâri’) untuk

dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk

dilakukan atau tidak.

Menurut ulama ahli ilmu ushûl fiqh, yang dimaksud dengan mahkûm fîh

adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah

syari’ (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan (wajib);

tuntutan meninggalkan (haram); tuntutan memilih suatu pekerjaan (mubah); anjuran

melakukan (sunah); dan anjuran meninggalkan (makruh). Para ulama sepakat bahwa

seluruh perintah syâri’ itu ada objeknya, yaitu perbuatan mukallaf. Terhadap

perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum.

Dalam bahasa lain, mahkûm fîh adalah objek hukum yaitu perbuatan orang

mukallaf yang terkait dengan titah syar’i yang bersifat mengerjakan, meninggalkan,

maupun memilih antara keduanya. Seperti perintah salat, larangan minum khamr, dan

semacamnya. Seluruh titah syar’i ada objeknya. Objek itu adalah perbuatan orang

mukallaf yang kemudian ditetapkan suatu hukum darinya.


Dalam istilah ulama ushul fiqh, yang disebut mahkûm fîh atau objek hukum,

yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu

sendiri dan hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zatnya. Hukum syara’

yang dimaksud, terdiri atas dua macam yakni hukum taklîfiy dan hukum wadh’iy.

Hukum taklîfiy menyangkut tuntutan terhadap perbuatan mukallaf, sedangkan hukum

wadh’iy terkait dengan hubungan satu aspek hukum dengan aspek hukum yang lain.

1. Syarat-syarat mahkûm fîh

Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa tidak semua perbuatan

mukallaf bisa menjadi objek hukum. Ada beberapa syarat agar suatu

perbuatan bisa menjadi objek hukum, di antaranya:

Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lain

melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Oleh sebab itu, yang ditaklifkan

disini hanya memberi nasihat, menyuruh yang makruf dan melarang yang

mungkar.

Dari syarat ketiga di atas, muncul masalah lain yang dikemukakan para ulama

Ushul Fiqh yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Apakah boleh

ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqqah? Dalam masalah ini

ulama ushul fiqh membagi masyaqqah kepada dua bentuk:

a) Masyaqqah mu’taddah adalah kesulitan biasa dan dapat diduga.

Misalnya, mengerjakan salat bisa melelahkan badan, berpuasa


menimbulkan rasa lapar, dan menunaikan ibadah haji menguras tenaga

dan biaya. Kesulitan seperti ini menurut para ahli ushul fiqh, berfungsi

sebagai pembuktian ketaatan dan kepatuhan seorang hamba dalam

menjalankan taklif syara’.

b) Masyaqqah ghair mu’taddah adalah kesulitan di luar kebiasaan dan

sulit diduga. Kesulitan seperti ini menurut ulama ushul fiqh secara

logika dapat diterima, sekalipun dalam kenyataannya tidak pernah

terjadi, karena Allah sendiri tidak bertujuan menurunkan taklif-Nya

untuk menyulitkan manusia. Oleh sebab itu, Allah, misalnya, tidak

memerintahkan hamba-Nya untuk berpuasa setiap hari terus-menerus

dan menunaikan shalat sepanjang malam setiap hari. Karena Allah

telah berfirman: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu

dalam agama suatu kesempitan. (QS. al-Haj:76). “Allah hendak

memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat

lemah. (QS. an-Nisa’: 28) 20 Dr. Rohidin, SH, M. Ag Pengantar

Hukum Islam 21 “Allah menghendaki kemmudahan bagimu dan tidak

menghendaki kesukaran bagimu … (QS. al-Baqarah: 185).

Apabila dalam suatu amalan terdapat kesulitan untuk mengerjakannya, maka

Allah juga memberi keringanan dengan cara rukhshah. Sebagaimana sabda Rasul:
“Sungguh Allah mendatangkan rukhsah-Nya sebagaimana Ia mendatangkan

‘azîmah-Nya.” (HR. Ahmad ibn Hanbal dan alBaihaqi, dari Abdullah bin

Umar).

Seluruh ayat dan hadis di atas, menurut ulama ushul fiqh, bertujuan untuk

memudahkan para mukallaf untuk melaksanakan taklif syara’ sehingga mereka dapat

melaksanakan secara berkesinambungan.

2. Macam-Macam Mahkûm Fîh

Para ulama ushul fiqh membagi mahkûm fîh berdasarkan dua segi yaitu segi

keberadaannya secara material dan syara’ serta segi hak yang terdapat dalam

perbuatan itu sendiri. Dari segi keberadaan dan syara’, mahkûm fîh terdiri dari:

a) Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan

yang terkait dengan syara’. Makan dan minum yang dilakukan

mukallaf, misalnya, bukan termasuk syara’.

b) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum

syara’ seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan itu

berkaitan dengan hukum syara’, yakni hudûd qishâsh.

c) Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’

apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti salat dan

zakat.
d) Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta

mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain seperti nikah, jual beli,

atau sewa-menyewa. Perbuatan ini secara material ada dan diakui oleh

syara’. Apabila menemukan rukun dan syarat perbuatan itu

mengakibatkan munculnya hukum syara’ yang lain seperti hubungan

suami istri mangakibatkan kewajiban untuk memberi nafkah.1

1
M. Hasbi as-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
hlm. 218-227.
BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkûm fîh adalah

perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’iy. Menurut

ulama ahli ilmu ushûl fiqh, yang dimaksud dengan mahkûm fîh adalah objek hukum,

yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan

Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan (wajib); tuntutan meninggalkan

(haram); tuntutan memilih suatu pekerjaan (mubah); anjuran melakukan (sunah); dan

anjuran meninggalkan (makruh). Para ulama sepakat bahwa seluruh perintah syâri’

itu ada objeknya, yaitu perbuatan mukallaf.


DAFTAR PUSTAKA

M. Hasbi as-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm.

218-227.

Anda mungkin juga menyukai