Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompokMata kuliah: Ushul fiqh
Disusun oleh :
Sem 3/ HKI 3B
Kelompok 2
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puja dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kamu dapat menyalesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.
Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bantuan berbagai pihak, sehinggga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kamu tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekuarangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu
dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca
yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil hikmah
dan manfaat sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................4
A. Latar belakang.............................................................................................4
B. Rumusan masalah........................................................................................4
BAB II..................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................5
A. Mahkum Fiih...............................................................................................5
B. Syarat-syarat Mahkum fiih..........................................................................8
C. Mahkum ‘Alaih...........................................................................................9
D. Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih...................................................................12
BAB III...............................................................................................................15
PENUTUP..........................................................................................................15
A. Kesimpulan................................................................................................15
Daftar Pustaka.....................................................................................................17
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah yang ingin dicapai yaitu
sebagai berikut:
a. Apa yang disebut Mahkum fiih ?
b. Apa syarat-syarat Mahkum fiih ?
c. Apa yang disebut Mahkum ‘Alaih ?
d. Apa syarat-syarat Mahkum ‘Alaih ?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mahkum Fiih
Dari sini terlihat jelas bahwa setiap bentuk taklif adalah perbuatan. Ketika taklif itu
berupa taklif ijabataunadb maka hukum tersebut akan terlaksana dengan adanya sebuah
tindakan atau perbuatan dan jika taklif berupa karahah atau haram, maka hukum tersebut
akan terlaksana pula dengan adanya tindskan/perbuatan meninggalkan. Jadi tindakan
pencegahan atau meninggalkan sesuatu itu juga dianggap sebagai fi’lun(perbuatan).
5
Secara etimologi Mahkum Fih berarti sasaran hukum, dalam hal ini adalahperbuatan
muakallaf.Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksudmahkum fih adalah
perbuatan mukallaf yang berkaitan/yang di bebani denganhukum syara’.
Dalam hal ini, Al-qur’an ataupun As-sunnah, sama-sama telah membedakanantara seruan
yang wajib diyakini dengan seruan yang wajib dilaksanakan.Konteks seruan yang pertama
merupakan wilayah aqidah, sedangkan konteksyang kedua adalah wilayah hukum syari’at. Ini
misalnya terlihat dengan jelasdalam firman Allah SWT :
Surat An-Nisa’ 4 ayat 136 diatas adalah seruan Allah SWT kepada manusia yangdituntut
untuk diyakini, sebaliknya, seruan Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah 2ayat 216 diatas
menuntut untuk di laksanakan. Dari kedua konteks seruan diatas,terlihat dengan jelas
perbedaan antara seruan yang berkaitan dengan perbuatanfisik dan seruan yang berkaitan
dengan keimanan. Inilah substansi perbuatanmanusia yang menjadi sasaran hukum syari’at.
6
1. Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah mahkum fih, sebab bertalian
dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
2. Menyangkut masalah tidak dilaksanakan terhadap manusia, adalah mahkum fih, dan
bertalian dengan ketentuan Allah dalam firman-Nya:والَ تَ ْقتُلُو النَّ ْفسAtinya:
َ
“Janganlah kamu membunuh manusia.”
a. Kalau terjadi takhlif sebelum tercapai syarat sah takhlif berarti takhlif tidak dapat
dilaksanakan, sedangkan takhlif yang tidak dilaksanakan adalah batal.
b. Dalam ucapan Rasulullah ketika mengangkat Muadz bin Jabal menjadi Gubernur
Yaman beliau berkata:
“Ajaklah mereka (menuturkan) syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
adalah rasul Allah. Jika mereka telah menerimanya beri tahukan kepada mereka
bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.
Kalau mereka telah mnerimanya beri tahukan Allah mewajibkan zakat atas harta
kekayaan dari orang yang kaya untuk diserahkan kepada yang miskin dari
mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)
Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat dan zakat bergantung kepada
penerimaan terhadap ajakan dan kalau mereka tidak menerima berarti tidak wajib
bagi mereka. Alasan ini dijawab bahwa yang dimaksud menerima kewajiban shalat
dan zakat, tetapi kewajiban menerima iman karena tidak mungkin menerima
kewajiban tanpa menerima iman.
c. Semua ibadah orang yang kafir tidk diterima karena ibadah memerlukan niat,
sedangkan niat dari orang yang kafir tidak sah kecuali terlebih dahulu beriman.
7
d. Perintah melaksanakan ibadah untuk memperoleh pahala, sedangkan orang kafir
tidak berhak menerima pahala.
e. Kalau orang yang kafir dibebankan melaksanakan shalat tentunya mereka dikenakan
hukuman di dunia sebagaimana seorang muslim yang meninggalkan sholat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama adalah yang terkuat
dalilnya karena didukung oleh dalil Al-Quran yang menunjukkan bahwa orang yang kafir
masih dibebani ibadah. Karena itu, mereka mendapat hukuman tambahan di akhirat yang
berati kebolehan takhlif sekalipun syarat belum tercapai seperti yang dikemukakan oleh
madzab Syafi’i.
Kalau dilihat dari segi pelaksanaan hukuman di dunia, orang yang kafir itu tidak
dituntut hukuman, tetapi hukumannya hanya di akhirat. Keduanya dilihat dari segi
pelaksanaan hukuman dunia dan akhirat hanya berbeda tentang hukuman akhirat.2
Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada
pembuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila syar’i mewajibkan atau mensunnahkan
suata perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu merupakan perbuatan yang harus
dikerjakan. Demikian juga apabila syar,i mengharamkan atau memakruhkan sesuatu, maka
beban tersebut juga merupakan perbutan yang harus ditinggalkan.
Perbuatan yang dibebankan (mahkum bih) kepada orang mukallaf itu mempunyai tiga
syarat sebagai berikut:
a. Perbutan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat
mengerjakannya sesuai dengan tuntutan,
b. Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai kekuasaan
memberi beban dan dari pihak yang wajib diikuti segala hukum-hukum yang dibuatnya,
c. Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan, sehingga
tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.
Manusia tidak diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak muungkin (mustahil)
dapat dilakukan, sebagaimana firman Allah SWT:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya”. (QS.Al-
Baqarah: 286).
2Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. 2, hal. 327-333
8
Namun demikian, didalam al-Qur’an dan al-Hadits terdapat keterangan yang
menuntut suatu perbuatan diluar kemampuan manusia, seperti berjihat dengan jiwa dan harta,
atau bersabar dan tidak suka marah.
Bahkan seluruh ibadah yang diperintahkan oleh Allah akan teras berat dan beban bagi
manusia yang tidak mengenal hakikat hidup ini. Sebagaimana Rasullullah bersabda:
“surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang
menyenangkan.”3
Allah SWT tidak akan membebani seorang hamba dengan perbuatan yang di luarbatas
kemampuannya. Sebab kalau Allah tetap memberikan beban seperti ituberarti Allah
menganiaya terhadap hamba-Nya. Dan sikap yang seperti itumustahil terdapat dalam dzat
Allah yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana.Ulama’ menyimpulkan tiga syarat untuk sahnya
suatu perbuatan manusiaditaklifkan :
9
1. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik menurutdzatnya
maupun karena hal lain. Misalnya, menyuruh sesorang terbangtanpa pesawat terbang.
2. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lainmelakukan suatu
perbuatan tertentu. Misalnya, tidak dibebankan kepadaseseorang agar kawannya berhenti
merokok, tidak mencuri, dan lainsebagainya, yang ditaklifkan disini hanya memberi
nasihat, menyuruh yangma’ruf dan melarang yang mungkar.
C. Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘Alaih berarti subjek hukum atau pelaku hukum.Jelasnya, yangdimaksud dengan
mahkum ‘alaih adalah orang-orang yang dituntut oleh AllahSWT untuk berbuat, dan segala
tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkantuntutan Allah SWT tersebut. Dalam ushul
10
fiqh, subjek hukum (mahkum ‘alaih)itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani
hukum. Dengan kata lain,mahkum ’alaih adalah orang mukallaf yang pebuatannya menjadi
tempatberlakunya hukum Allah SWT.
Kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan mnerima hak oleh para
ulama ushuliyyun dibagi kepada dua macam, yaitu:
a. Ahliyatul wujub, yaitu kepantasan seseorang untuk memberi hak dan kewajiban. Kepantasan
ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, kanak-kanan maupun dewasa,
sehat maupun sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban, sebab dasar dari kepantasan
ini adalah kemanusiaan. Artinya, selama manusia itu masih hidup, kepantasan tersebut tetap
dimiliknya,
c. Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat)ialah kepantasan seseorang untuk dippandang sah segala
perkataan dan perbuatannya. Misalnya, bila mengadakan suatu perjanjian atau perikatan,
tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum, sehingga masa
datangnya aliyatul ada’ menurut syara’ adalah bersamaan dengan tibanya usia taqlif yang
dibatasi dengan aqil dan baligh.
11
1. Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal mencapai umur
dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum syara’, dan balighnya orang yang cakap
dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
2. Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya dinisbahkan
untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak yang cakap sama dengan
anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil dianggap seperti orang yang tidak cakap
(gila). Sedangkan dalam masalah muamallah dianggap sah jual belinya.
Namun demikian, ada beberapa orang yang sudah dewasa dan pantas untuk melaksakan
hak dan kewajiban tetapi kondisi mereka tidak memungkinkan untuk melaksanakan semua
itu, dikarenakan ada hal-hal yang menghalangi.kondisi tersebut disebut dengan awaridh
ahliyah.
Samawiyah adalah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar manusia.
Halangan samawiyah ada sepuluh macam, yaitu:
b. Sakit gila
c. Kurang akal
d. Keadaan tidur
e. Pingsan
f. Lupa
g. Sakit
h. Menstruasi
i. Nifas
j. Meninggal dunia.
a. Boros,
b. Mabuk
c. Bepergian
12
d. Lalai
e. Bergurau (main-main)
g. Terpaksa (ikrah).5
Memperhatikan akibat ahliyatul ada’. Maka gangguan-gangguan itu terbagi kepada
beberapa jenis antara lain:
a. Gugur ahliyatul ada’, khusus bagi manusia gila dan sedang tidur.
b. Kurang ahliyatul ada’ (tidak gugur seluruhnya), seperti manusia makhluk (orang yang lemah
pikirannya) dan juga anak-anak yang mumayiz.
c. Tidak menghilangkan dan tidak pula mengurangi ahliyatul ada’, tatpi hanya mengubah
sebagian hukum untuk kemaslahatan.
Maka terhadap poin a dan b diatas, tidak dibenarkan memelihara harta, demi untuk
memelihara hartanya sedangkan ahliyatnya tetap tidak hilang dan tidak pula berkurang. Dan
yang ketiga ahliyatul ada’ nya penuh, hanya tidak dibolehkan mengendalikan hartanya karena
menjaga haknya.
Ada 2 (dua) persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang yang mukallaf sahditaklifi :
Faham dan tahu itu sangat berhubungan dengan akal, karena akal itu adalahalat untuk
mengetahui dan memahami. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
“ Agama itu bedasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yangtidak berakal“.
Akal pada diri seseorang manusia tumbuh dan berkembang sesuai denganpertumbuhan
fisiknya dan baru berlaku atas dirinya taklif tersebut apabila akaltelah mencapai tingkat yang
sempurna. Seseorang akan mencapai tingkatkesempurnaan akal apabila telah mencapai batas
dewasa (baligh), kecualiapabila mengalami kelainan yang menyebabkan ia terhalang dari
taklif.
5Ibid., hal. 43-44.
13
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarat mukallaf yang pertamaadalah
adanya seseorang tersebut sudah mencapai tingkat kedewasaan (baligh)dan berakal.
Sebaliknya orang yang belum mencapai tingkat tersebut makabelum terkena tuntutan hukum
taklif. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
“ Diangkatkan (dihilangkan) qolam (tuntunan) dari 3 orang yaitu dari anak-anak samapai ia
dewasa, dari orang yang tidur sampai ia terjaga, dari oranggila sampai ia sembuh “.
2. Seorang mukallaf mampu menerima beban taklif atau beban hukum yangdalam istilah
ushul fiqh dinamakan ahlu al taklif.
a. Ahliyyah al-wujub naqisoh atau kecakapan dikenai hukum secara lemah,yaitu kecakapan
seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerimakewajiban, atau kecakapan
untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantasmenerima hak.Contoh kecakapan untuk menrima
hak, tetapi tidak untuk menerima kewajibanadalah bayi dalam kandungan ibunya, bayi itu
telah berhak menerima hakkebendaan seperti warisan dan wasiat, meski ia belum lahir.
Realisasi dari hakitu berlaku setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan
itutidak dibebani kewajiban apa-apa karena secara jelas ia belum bernamamanusia.Contoh
kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hakadalah orang yang telah
mati tapi masih meninggalkan hutang, dengankematiannya itu .ia tidak akan mendapatkan
hak apa-apa lagi, tetapi masihdikenakan kewajiban untuk membayar hutang.
14
kepantasanseseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut
hukum.Kecakapan berbuat hukum (ahliyyatul ada’) terdiri dari tiga tingkat, setiaptingkat ini
dikaitkan kepada batas umur manusia. Ketiga tingkat tersebutadalah:
1. Adim al ahliyyah atau tidak cakap sama sekali yaitu manusia semenjak lahirsampai
mencapai umur tamyis sekitar umur 7 tahun.
2. Ahliyyah al ada’ naqisoh atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitumanusia yang
telah mencapai umur tamyis (kira-kira umur 7 tahun) sampaibatas dewasa.
3. Ahliyyah al ada’ kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitumanusia yang
telah mencapai usia dewasa.
Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf sesuai dengan hukumsyar’i dibagi
menjadi 2 :
1. Hukum yang berbentuk tuntutan dan pilihan yang disebut hukum Taklifi.Dimana
hukum taklifi itu ada 5 macam :
a. Wajib,yaitu segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dandiberi siksa
apabila meninggalkannya. Misalnya : Mengerjakan sholat.
e. Mubah, yaitu segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya, dantidak
berdosa karena meninggalkannya. Misalnya: Melakukan perburuansesudah
melakukan tahalul dalam ibadah haji.
15
2. Hukum yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf,tetapi
berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu yang disebut dengan hukum
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Ulama’ menyimpulkan tiga syarat untuk sah nya suatu perbuatan manusia ditaklifkan :
a. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapatmelakukannya
sesuai dengan apa yang mereka tuntut.
b. Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenanguntuk
mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukallaf.
c. Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi.
C. Mahkum ‘Alaih berarti subjek hukum atau pelaku hukum. Jelasnya, yangdimaksud
dengan mahkum ‘alaih adalah orang-orang yang dituntut oleh AllahSWT untuk berbuat,
dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkantuntutan Allah SWT
tersebut. Dalam ushul fiqh, subjek hukum (mahkum ‘alaih)itu disebut mukallaf atau
orang-orang yang dibebani hukum. Dengan kata lain,mahkum ’alaih adalah orang
mukallaf yang pebuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah SWT.
17
Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami khitab
syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan),
2. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
E. Ada 2 (dua) persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang yang mukallaf sah ditaklifi :
1.Seorang yang mukallaf mampu memahami atau mengetahui dalil-dalil tentang taklif.
2. Seorang mukallaf mampu menerima beban taklif atau beban hukum yangdalam istilah
ushul fiqh dinamakan ahlu al taklif
18
Daftar Pustaka
19
20