Anda di halaman 1dari 20

“MAHKUM FIIH, DAN MAHKUM ‘ALAIH”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompokMata kuliah: Ushul fiqh

Dosen pengampu : ZAINAL ARIFIN PURBA M.Ag

Disusun oleh :

Sem 3/ HKI 3B

Kelompok 2

Mhd fajri hidayah 0201201085

Rizky syahputra azhar panjaitan 0201201101

Maisyarah Nasution 020121117

Said ibnu rulian ahmad 0201202004

Shania Delvira 0201202014

Fithra Hawani jannah 0201202028

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SUMATERA UTARA

2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puja dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kamu dapat menyalesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.

Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bantuan berbagai pihak, sehinggga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kamu tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekuarangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu
dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca
yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil hikmah
dan manfaat sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.

Medan, 11 september 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................4
A. Latar belakang.............................................................................................4
B. Rumusan masalah........................................................................................4
BAB II..................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................5
A. Mahkum Fiih...............................................................................................5
B. Syarat-syarat Mahkum fiih..........................................................................8
C. Mahkum ‘Alaih...........................................................................................9
D. Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih...................................................................12
BAB III...............................................................................................................15
PENUTUP..........................................................................................................15
A. Kesimpulan................................................................................................15
Daftar Pustaka.....................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Ushul fiqh merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-


cara menginstinbath  (menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqh, tetapi
secara teknis, terlebih dahulu para ulama menggunakan ushul fiqh  untuk
menghasilkan fiqh. Artinya sebelum orang ulama menetapkan suatu perkara untuk haram, ia
telah mengkaji yang telah menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya
disebut fiqh, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Dengan demikian, sebelum seseorang mengkaji materi fiqh, hendaknya ia telah
megkaji ushul fiqh terlebih dahulu,  sehingga dapat mengethui alasan-alasan ulama
menetapkan suatu hukum fiqh, dan tujuan mempelajari ushul fiqh ini tercapai, yaitu terhindar
dari sifat taqlid atau sifat ikut-ikutan karena buta terhadap dalil al-Qur’an dan as-Sunnah.
Gambaran orang yang mengkaji fiqh  tanpa usul fiqh  adalah seperti orang yang membaca
teks berbahasa arab tanpa mengetahui kaidah-kaidah nahwu sharaf dalam bahasa Arab.
Demikian pentingnya ushul fiqh dan hubungannya dengan fiqh.
Dalam kajian ushul fiqh terdapat sumber-sumber hukum islam yang mencakup sumber
dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun Al-Ra’yu (ijtihad). Dan dalam Hukum syara’ terdapat
berbagai aspek yaitu Hakim, Mahkum fiih, dan Mahkum ‘Alaih.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah yang ingin dicapai yaitu
sebagai berikut:
    
a. Apa yang disebut Mahkum fiih ?
b. Apa syarat-syarat Mahkum fiih ?
c. Apa yang disebut Mahkum ‘Alaih ?
d. Apa syarat-syarat Mahkum ‘Alaih ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mahkum Fiih

Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum


1
(perbuatan hukum). Yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan seorang
mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan. Taklif yang berasal dari allah ditujukan
pada manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya . tujuan dari taklif ini tidak lain adalah
sebagai bentuk uji coba/ibtila’ dari Allah kepada para hambanya supaya dapat diketahui
mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba yang maksiat kepadanya. Dengan
demikian sebuah taklif akan selalu berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan perbuatan
inilah yang disebut dengan mahkum alaih.

Dari sini terlihat jelas bahwa setiap bentuk taklif adalah perbuatan. Ketika taklif itu
berupa taklif ijabataunadb maka hukum tersebut akan terlaksana dengan adanya sebuah
tindakan atau perbuatan dan jika taklif berupa karahah atau haram, maka hukum tersebut
akan terlaksana pula dengan adanya tindskan/perbuatan meninggalkan. Jadi tindakan
pencegahan atau meninggalkan sesuatu itu juga dianggap sebagai fi’lun(perbuatan).

Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum


fih)   ‫)فِ ْي ِها َ ْل َمحْ ُكوْ ُم‬adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah
syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntunan meninggalkan
suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan bersifat syarat, sebab, halangan, azimah,
rukhshah, sah, serta batal.

1.Op.cit., Hasbiyallah, hal. 41.

5
Secara etimologi Mahkum Fih berarti sasaran hukum, dalam hal ini adalahperbuatan
muakallaf.Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksudmahkum fih adalah
perbuatan mukallaf yang berkaitan/yang di bebani denganhukum syara’.

Pembahasan mengenai perbuatan manusia sebagai sasaran hukum harusdibedakan


menjadi 2 :

1. Substansi perbuatan yang dikenai hukum


2. Sandaran perbuatan manusia.Dalam konteks yang pertama, Allah SWT telah
menetapakan perbuatan manusia(af’al al-I’bad) yang bersifat fisik (bukan non fisik
seperti keyakinan hati) sebagaisasaran hukum (al-mahkum fih).

Dalam hal ini, Al-qur’an ataupun As-sunnah, sama-sama telah membedakanantara seruan
yang wajib diyakini dengan seruan yang wajib dilaksanakan.Konteks seruan yang pertama
merupakan wilayah aqidah, sedangkan konteksyang kedua adalah wilayah hukum syari’at. Ini
misalnya terlihat dengan jelasdalam firman Allah SWT :

ٖ‫ٰۤيا َ ُّي َها الَّ ِذ ۡي َن ٰا َم ُن ۡۤوا ٰا ِم ُن ۡوا ِباهّٰلل ِ َو َرس ُۡولِه‬


“ Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepda Allah dan Rasul-Nya”.(QS. An-
Nisa’.4 : 136).

‫ب َع َل ْي ُك ُم ْال ِق َتا ُل َوه َُو ُكرْ هٌ لَّ ُك ْم‬


َ ‫ُك ِت‬
“Telah diperintahkan atas kalian untuk berperang”. (QS. Al-Baqarah.2 : 216)

Surat An-Nisa’ 4 ayat 136 diatas adalah seruan Allah SWT kepada manusia yangdituntut
untuk diyakini, sebaliknya, seruan Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah 2ayat 216 diatas
menuntut untuk di laksanakan. Dari kedua konteks seruan diatas,terlihat dengan jelas
perbedaan antara seruan yang berkaitan dengan perbuatanfisik dan seruan yang berkaitan
dengan keimanan. Inilah substansi perbuatanmanusia yang menjadi sasaran hukum syari’at.

Jadi, mahkum fih itu merupakan hasil perbuatan manusia yang mukallaf erat


hubungannya atau bersangkutan dengan hukum syara’ agama Islam. Misalnya perbuatan
manusia yang mukallaf  berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara lain:

6
1.      Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah  mahkum fih, sebab bertalian
dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
2.      Menyangkut masalah tidak dilaksanakan terhadap manusia, adalah mahkum fih, dan
bertalian dengan ketentuan Allah dalam firman-Nya:‫والَ تَ ْقتُلُو النَّ ْفس‬Atinya:
َ
“Janganlah kamu membunuh manusia.”

3.      Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak melaksanakan


puasa pada bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau orang musafir/dalam prerjalanan
jauh, maka masalah itu adalah mahkum fih, bertalian dengan masalah ibadah.
Dengan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua perbuatan manusia
itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua perbuatan manusia
yang mukallaf erat kaitannya dengan hukum syara’, dan semua itu disebut Mahkum
Fih dalam hukum Islam.
Para kalangan madzab Hanafi yang berpendapat tidak akan terjadi takhlif sebelum
tercapai syarat sahnya takhlif mengemukakan alasan :

a. Kalau terjadi takhlif sebelum tercapai syarat sah takhlif berarti takhlif tidak dapat
dilaksanakan, sedangkan takhlif yang tidak dilaksanakan adalah batal.
b.  Dalam ucapan Rasulullah ketika mengangkat Muadz bin Jabal menjadi Gubernur
Yaman beliau berkata:
“Ajaklah mereka (menuturkan) syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
adalah rasul Allah. Jika mereka telah menerimanya beri tahukan kepada mereka
bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.
Kalau mereka telah mnerimanya beri tahukan Allah mewajibkan zakat atas harta
kekayaan dari orang yang kaya untuk diserahkan kepada yang miskin dari
mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)
Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat dan zakat bergantung kepada
penerimaan terhadap ajakan dan kalau mereka tidak menerima berarti tidak wajib
bagi mereka. Alasan ini dijawab bahwa yang dimaksud menerima kewajiban shalat
dan zakat, tetapi kewajiban menerima iman karena tidak mungkin menerima
kewajiban tanpa menerima iman.

c. Semua ibadah orang yang kafir tidk diterima karena ibadah memerlukan niat,
sedangkan niat dari orang yang kafir tidak sah kecuali terlebih dahulu beriman.

7
d.   Perintah melaksanakan ibadah untuk memperoleh pahala, sedangkan orang kafir
tidak berhak menerima pahala.
e.  Kalau orang yang kafir dibebankan melaksanakan shalat tentunya mereka dikenakan
hukuman di dunia sebagaimana seorang muslim yang meninggalkan sholat.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama adalah yang terkuat
dalilnya karena didukung oleh dalil Al-Quran yang menunjukkan bahwa orang yang kafir
masih dibebani ibadah. Karena itu, mereka mendapat hukuman tambahan di akhirat yang
berati kebolehan takhlif sekalipun syarat belum tercapai seperti yang dikemukakan oleh
madzab Syafi’i.
Kalau dilihat dari segi pelaksanaan hukuman di dunia, orang yang kafir itu tidak
dituntut hukuman, tetapi hukumannya hanya di akhirat. Keduanya dilihat dari segi
pelaksanaan hukuman dunia dan akhirat hanya berbeda tentang hukuman akhirat.2
Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada
pembuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila syar’i mewajibkan atau mensunnahkan
suata perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu merupakan perbuatan  yang harus
dikerjakan. Demikian juga apabila syar,i  mengharamkan atau memakruhkan sesuatu, maka
beban tersebut juga merupakan perbutan yang harus ditinggalkan.
Perbuatan yang dibebankan (mahkum bih) kepada orang mukallaf itu mempunyai tiga
syarat sebagai berikut:
a.       Perbutan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat
mengerjakannya sesuai dengan tuntutan,
b.      Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai kekuasaan
memberi beban dan dari pihak yang wajib diikuti segala hukum-hukum yang dibuatnya,
c.       Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan, sehingga
tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.
Manusia tidak diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak muungkin (mustahil)
dapat dilakukan,  sebagaimana firman Allah SWT:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya”. (QS.Al-
Baqarah: 286).

2Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. 2, hal. 327-333

8
Namun demikian, didalam al-Qur’an dan al-Hadits terdapat keterangan yang
menuntut suatu perbuatan diluar kemampuan manusia, seperti berjihat dengan jiwa dan harta,
atau bersabar dan tidak suka marah.
Bahkan seluruh ibadah yang diperintahkan oleh Allah akan teras berat dan beban bagi
manusia yang tidak mengenal hakikat hidup ini. Sebagaimana Rasullullah bersabda:
“surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang
menyenangkan.”3

B. Syarat-syarat Mahkum fiih

Allah SWT tidak akan membebani seorang hamba dengan perbuatan yang di luarbatas
kemampuannya. Sebab kalau Allah tetap memberikan beban seperti ituberarti Allah
menganiaya terhadap hamba-Nya. Dan sikap yang seperti itumustahil terdapat dalam dzat
Allah yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana.Ulama’ menyimpulkan tiga syarat untuk sahnya
suatu perbuatan manusiaditaklifkan :

a. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapatmelakukannya


sesuai dengan apa yang mereka tuntut.Oleh sebab itu, agar ayat-ayat yang mujmal
(umum) dapat dilaksanakan harusada penjelasan dari Nabi SAW. Dalam ayat
misalnya, tidak menyebutkan carapelaksnaan sholat dalam Alqur’an, untuk itu Nabi
menjelaskannya dalam sabdabeliau.
b. Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenanguntuk
mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukallaf.Oleh sebab itu,
seseorang yang sehat akalnya dan sanggup mengetahui hukumsyara’ dengan
sendirinya atau dengan menanyakannya kepada ornag lain yangmengetahui maka
orang yang dianggap mengetahui apa yang ditaklifkantersebut dan diberlakukan
kepadanya hukum dan segala akibatnya.
c. Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi. artinya, melakukanatau
meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan seoarangmukallaf
tersebut. Dan syarat yang ketiga ini timbul dari 2 hal :

3. Op.Cit., Hasbiyallah, Hal. 41-42

9
1. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik menurutdzatnya
maupun karena hal lain. Misalnya, menyuruh sesorang terbangtanpa pesawat terbang.

2. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lainmelakukan suatu
perbuatan tertentu. Misalnya, tidak dibebankan kepadaseseorang agar kawannya berhenti
merokok, tidak mencuri, dan lainsebagainya, yang ditaklifkan disini hanya memberi
nasihat, menyuruh yangma’ruf dan melarang yang mungkar.

Perbuatan tersebut harus bersifat mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.


Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan, sehingga tidak
dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.Manusia tidak
diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak muungkin (mustahil) dapat
dilakukan,  sebagaimana firman Allah SWT:

‫ۗ اَل ُي َكلِّفُ هّٰللا ُ َن ْفسًا ِااَّل وُ سْ َع َها‬


Artinya:

                 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya”.


(QS.Al-Baqarah: 286).
Namun demikian, didalam al-Qur’an dan al-Hadits terdapat keterangan yang menuntut
suatu perbuatan diluar kemampuan manusia, seperti berjihat dengan jiwa dan harta, atau
bersabar dan tidak suka marah.
Bahkan seluruh ibadah yang diperintahkan oleh Allah akan teras berat dan beban bagi
manusia yang tidak mengenal hakikat hidup ini. Sebagaimana Rasullullah bersabda:
“surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang
menyenangkan.” 4

C. Mahkum ‘Alaih

Mahkum ‘Alaih berarti subjek hukum atau pelaku hukum.Jelasnya, yangdimaksud dengan
mahkum ‘alaih adalah orang-orang yang dituntut oleh AllahSWT untuk berbuat, dan segala
tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkantuntutan Allah SWT tersebut. Dalam ushul

4. Op.Cit., Hasbiyallah, Hal. 41-42

10
fiqh, subjek hukum (mahkum ‘alaih)itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani
hukum. Dengan kata lain,mahkum ’alaih adalah orang mukallaf yang pebuatannya menjadi
tempatberlakunya hukum Allah SWT.

Adapun syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua


macam, yakni:

a. Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang terkandung dalam


al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Oleh karena itu,
orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk
melaksanakan suatu taklif (pembebanan),

b. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi


seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.

Kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan mnerima hak oleh para
ulama ushuliyyun dibagi kepada dua  macam, yaitu:

a.       Ahliyatul wujub, yaitu kepantasan seseorang untuk memberi hak dan kewajiban. Kepantasan
ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, kanak-kanan maupun dewasa,
sehat maupun sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban, sebab dasar dari kepantasan
ini adalah kemanusiaan. Artinya, selama manusia itu masih hidup, kepantasan tersebut tetap
dimiliknya,
c. Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat)ialah kepantasan seseorang untuk dippandang sah segala
perkataan dan perbuatannya. Misalnya, bila mengadakan suatu perjanjian atau perikatan,
tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum, sehingga masa
datangnya aliyatul ada’ menurut syara’ adalah bersamaan dengan tibanya usia taqlif  yang
dibatasi dengan aqil  dan baligh.

Ahliyatul ada’  terbagi atas dua macam, yaitu:

11
1.   Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal mencapai umur
dewasa (baligh)  dinisbahkan untuk hukum  syara’, dan balighnya orang yang cakap
dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
2.   Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya dinisbahkan
untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak yang cakap sama dengan
anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil dianggap seperti orang yang tidak cakap
(gila). Sedangkan dalam masalah muamallah dianggap sah jual belinya.

Namun demikian, ada beberapa orang yang sudah dewasa dan pantas untuk melaksakan
hak dan kewajiban tetapi kondisi mereka tidak memungkinkan untuk melaksanakan semua
itu, dikarenakan ada hal-hal yang menghalangi.kondisi tersebut disebut dengan awaridh
ahliyah.

       Ahwaridh ahliyah  ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.

       Samawiyah  adalah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar manusia.
Halangan samawiyah  ada sepuluh macam, yaitu:

a.       Keadaan belum dewasa

b.      Sakit gila

c.       Kurang akal

d.      Keadaan tidur

e.       Pingsan

f.       Lupa

g.      Sakit

h.      Menstruasi

i.        Nifas

j.        Meninggal dunia.

Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatann yang diusahakan manusia yang menghilangkan


atau mengurangi kemampuan bertindak. Halangan kasabiyah itu ada tujuh macam, yaitu:

a.         Boros,

b.        Mabuk

c.         Bepergian

12
d.        Lalai

e.         Bergurau (main-main)

f.         Bodoh (tidak mengetahui)

g.        Terpaksa (ikrah).5
Memperhatikan akibat ahliyatul ada’. Maka gangguan-gangguan itu terbagi kepada
beberapa jenis antara lain:
a.       Gugur ahliyatul ada’, khusus bagi manusia gila dan sedang tidur.
b.      Kurang ahliyatul ada’ (tidak gugur seluruhnya), seperti manusia makhluk (orang yang lemah
pikirannya) dan juga anak-anak yang mumayiz.

c.       Tidak menghilangkan dan tidak pula mengurangi ahliyatul ada’, tatpi hanya mengubah
sebagian hukum untuk kemaslahatan.
Maka terhadap poin a dan b diatas, tidak dibenarkan memelihara harta, demi untuk
memelihara hartanya sedangkan ahliyatnya tetap tidak hilang dan tidak pula berkurang. Dan
yang ketiga ahliyatul ada’ nya penuh, hanya tidak dibolehkan mengendalikan hartanya karena
menjaga haknya.

D. Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih

Ada 2 (dua) persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang yang mukallaf sahditaklifi :

1.Seorang yang mukallaf mampu memahami atau mengetahui dalil-dalil tentangtaklif.

Faham dan tahu itu sangat berhubungan dengan akal, karena akal itu adalahalat untuk
mengetahui dan memahami. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:

“ Agama itu bedasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yangtidak berakal“.

Akal pada diri seseorang manusia tumbuh dan berkembang sesuai denganpertumbuhan
fisiknya dan baru berlaku atas dirinya taklif tersebut apabila akaltelah mencapai tingkat yang
sempurna. Seseorang akan mencapai tingkatkesempurnaan akal apabila telah mencapai batas
dewasa (baligh), kecualiapabila mengalami kelainan yang menyebabkan ia terhalang dari
taklif.

5Ibid., hal. 43-44.

13
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarat mukallaf yang pertamaadalah
adanya seseorang tersebut sudah mencapai tingkat kedewasaan (baligh)dan berakal.
Sebaliknya orang yang belum mencapai tingkat tersebut makabelum terkena tuntutan hukum
taklif. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :

“ Diangkatkan (dihilangkan) qolam (tuntunan) dari 3 orang yaitu dari anak-anak samapai ia
dewasa, dari orang yang tidur sampai ia terjaga, dari oranggila sampai ia sembuh “.

2. Seorang mukallaf mampu menerima beban taklif atau beban hukum yangdalam istilah
ushul fiqh dinamakan ahlu al taklif.

Kecakapan menerima taklif (Al ahliyyah) adalah kepantasan untuk menerimataklif.


Kepantasan itu ada 2 macam, yaitu kepantasan untuk di kenai hukum(ahliyyatul wujub) dan
kepantasan untuk menjalankan hukum (ahliyyatul ada’).

Kecakapan untuk dikenai hukum (ahliyyatul wujub) yaitu kepantasanseseorang


manusia untuk menrima hak-hak dan dikenai kewajiban.Para Ahli Ushul Fiqh membagi
ahliyyatul wujub pada 2 tingkatan :

a. Ahliyyah al-wujub naqisoh atau kecakapan dikenai hukum secara lemah,yaitu kecakapan
seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerimakewajiban, atau kecakapan
untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantasmenerima hak.Contoh kecakapan untuk menrima
hak, tetapi tidak untuk menerima kewajibanadalah bayi dalam kandungan ibunya, bayi itu
telah berhak menerima hakkebendaan seperti warisan dan wasiat, meski ia belum lahir.
Realisasi dari hakitu berlaku setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan
itutidak dibebani kewajiban apa-apa karena secara jelas ia belum bernamamanusia.Contoh
kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hakadalah orang yang telah
mati tapi masih meninggalkan hutang, dengankematiannya itu .ia tidak akan mendapatkan
hak apa-apa lagi, tetapi masihdikenakan kewajiban untuk membayar hutang.

b. Ahliyyah al-wujub kamilah atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna,yaitu


kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerimahak.Contohnya
adalah anak yang baru lahir, disamping ia berhak menerima hartawarisan, ia juga telah
dikenai kewajiban seperti membayar zakat fitrah yangpelaksanaannya dilakukan oleh orang
tua/wali bayi tersebut.Kecakapan untuk menjalankan hukum (ahliyyatul ada’) yaitu

14
kepantasanseseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut
hukum.Kecakapan berbuat hukum (ahliyyatul ada’) terdiri dari tiga tingkat, setiaptingkat ini
dikaitkan kepada batas umur manusia. Ketiga tingkat tersebutadalah:

1. Adim al ahliyyah atau tidak cakap sama sekali yaitu manusia semenjak lahirsampai
mencapai umur tamyis sekitar umur 7 tahun.
2. Ahliyyah al ada’ naqisoh atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitumanusia yang
telah mencapai umur tamyis (kira-kira umur 7 tahun) sampaibatas dewasa.
3. Ahliyyah al ada’ kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitumanusia yang
telah mencapai usia dewasa.

Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf sesuai dengan hukumsyar’i dibagi
menjadi 2 :

1. Hukum yang berbentuk tuntutan dan pilihan yang disebut hukum Taklifi.Dimana
hukum taklifi itu ada 5 macam :

a. Wajib,yaitu segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dandiberi siksa
apabila meninggalkannya. Misalnya : Mengerjakan sholat.

b. Haram,yaitu segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang


yangmelakukannya akan disiksa, dan yang meninggalkannya diberi pahala.Misalnya :
Mencuri, membunuh.

c. Mandub (Sunat),yaitu segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatpahala, tetapi


bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan dosa atau siksa.Misalnya: Melaksanakan
sholat sunat.

d. Makruh,yaitu perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yangmeninggalkannya


mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidakmendapat dosa. Misalnya :
Merokok.

e. Mubah, yaitu segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya, dantidak
berdosa karena meninggalkannya. Misalnya: Melakukan perburuansesudah
melakukan tahalul dalam ibadah haji.

15
2. Hukum yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf,tetapi
berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu yang disebut dengan hukum

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

A. Mahkum Fiih  adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum


(perbuatan hukum).
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum
fih)   ‫)فِ ْي ِها َ ْل َمحْ ُكوْ ُم‬adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah
syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntunan meninggalkan
suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan bersifat syarat, sebab, halangan, azimah,
rukhshah, sah, serta batal.

B. Ulama’ menyimpulkan tiga syarat untuk sah nya suatu perbuatan manusia ditaklifkan :
a. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapatmelakukannya
sesuai dengan apa yang mereka tuntut.
b. Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenanguntuk
mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukallaf.
c. Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi.

C. Mahkum ‘Alaih berarti subjek hukum atau pelaku hukum. Jelasnya, yangdimaksud
dengan mahkum ‘alaih adalah orang-orang yang dituntut oleh AllahSWT untuk berbuat,
dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkantuntutan Allah SWT
tersebut. Dalam ushul fiqh, subjek hukum (mahkum ‘alaih)itu disebut mukallaf atau
orang-orang yang dibebani hukum. Dengan kata lain,mahkum ’alaih adalah orang
mukallaf yang pebuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah SWT.

D. Adapun syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua


macam, yakni:
1. Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang terkandung
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain.

17
Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami khitab
syar’i  tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan),
2. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.

E. Ada 2 (dua) persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang yang mukallaf sah ditaklifi :
1.Seorang yang mukallaf mampu memahami atau mengetahui dalil-dalil tentang taklif.

2. Seorang mukallaf mampu menerima beban taklif atau beban hukum yangdalam istilah
ushul fiqh dinamakan ahlu al taklif

18
Daftar Pustaka

Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh (metode istinbath dan


istidlal). Bandung:
Remaja Rosdakarya. Cet. Kedua.
Umar Muin. Dkk. 1986. ushul fiqh 1. Jakarta: proyek Pembinaan dan Sarana
Perguruan
Tinggi Agama/IAIN.
Umam Khairul. dkk. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia. Cet. Kedua.
Karim Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. cet. Kedua.

19
20

Anda mungkin juga menyukai