Disusun Oleh :
Arifani Amril (10030120051)
Muhamad Fatan Jundilah ( 10030120057)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirabbialamin
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmatnya-
Nya dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun tema dari
makalah ini adalah “Hakim, Mahkum Fiih dan Mahkum Alaih”.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ushul Fiqih. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Hakim, Mahkum Fiih dan Mahkum Alaih.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dosen mata kuliah Ushul Fiqih bapak Drs. Enoh M.AG. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman semua yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat meneyelesaikan
makalah ini.
Dan penulis menyadari, bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kritik, saran dan masukan sangat kami harapkan
untuk memperbaiki kekurangan dalam makalah ini. Dan kami berharap makalah
ini dapat memberikan banyak manfaat.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Bandung, 17 Februari 2022
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..2
BAB I…………………………………………………………………………………………4
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………4
A. Latar belakang………………………………………………………………………...4
B. Rumusan masalah……………………………………………………………………..4
BAB II………………………………………………………………………………………..5
PEMBAHASAN……………………………………………………………………………..5
A. Al-Hakim…………………………………………………………………………….5-6
B. Mahkum Fiih…………………………………………………………………………7-9
C. Mahkum Alaih…………………………………………………………………….10-11
BAB III……………………………………………………………………………………….12
PENUTUP……………………………………………………………………………………12
Kesimpulan………………………………………………………………………………..12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ushul fiqh merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-
cara menginstinbath (menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul
setelah fiqh, tetapi secara teknis, terlebih dahulu para ulama
menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum orang
ulama menetapkan suatu perkara untuk haram, ia telah mengkaji yang telah
menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya disebut fiqh, dan
dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Dengan demikian, sebelum seseorang mengkaji materi fiqh, hendaknya ia
telah megkaji ushul fiqh terlebih dahulu, sehingga dapat mengethui alasan-
alasan ulama menetapkan suatu hukum fiqh, dan tujuan mempelajari ushul
fiqh ini tercapai, yaitu terhindar dari sifat taqlid atau sifat ikut-ikutan karena
buta terhadap dalil al-Qur’an dan as-Sunnah.
Gambaran orang yang mengkaji fiqh tanpa usul fiqh adalah seperti orang
yang membaca teks berbahasa arab tanpa mengetahui kaidah-kaidah nahwu
sharaf dalam bahasa Arab. Demikian pentingnya ushul fiqh dan hubungannya
dengan fiqh.
Dalam kajian ushul fiqh terdapat sumber-sumber hukum islam yang
mencakup sumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun Al-Ra’yu (ijtihad). Dan
dalam Hukum syara’ terdapat berbagai aspek yaitu Hakim, Mahkum fiih, dan
Mahkum ‘Alaih.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah yang ingin
dicapai yaitu sebagai berikut:
a. Apa yang disebut Hakim ?,
b. Apa yang disebut Mahkum fiih ?
c. Apa yang disebut Mahkum ‘Alaih ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Hakim
Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”.
Dalam istilah fiqh, hakim merupakan orang yang memutuskan hukum
dipengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh,
hakim juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama ushul sepakat bahwa yang menjadi pembuat hukum hakiki dari
hukum syariat adalah Allah, sebagaimana firman-Nya:
Eۖ Eِ ِإ اَّل هَّلِلE ُمE ْكE ُحE ْلE اEنEِ ِإEۚ E ِهEِ بEنEَ EوEُ لE ِجE ْعEَ تE ْسEَ تE اE َمE يE ِدE ْنE ِعE اE َمEۚ E ِهEِ بE ْمEُ تEَّ ْبE ذE َكE َوE يEِّE بEرEَ EنEْ Eِم E ٍةEَ نEِّE يEَ بEىEٰ Eَ لE َعE يEِّ ِإ نEلEْ Eُق
EنE يEِ لEص Eِ E اEَ فE ْلE اE ُرE ْيEخEَ E َوEُ هE َوEۖ َّE قE َحE ْلE اEص Eُّ Eُ قEَي
Artinya
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran)
dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab)
yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
keputusan yang paling baik". (QS. Al-An’am: 57).
Dan menurut mereka juga, bahwa yang menetapkan hukum (Al-hakim) itu
ialah Allah SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah
para rasulNya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan
kepada ummat manusia.
Tidak ada perselisihan pendapat ulama syara’ itulah yang menjadi hakim
sesudah Rosul dibangkit dan sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.
Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap
perbuatan mukallaf sebelum rasul dibangkit. Golongan mu’tazillah berpendapat,
bahwa sebelum rasul dibangkit, akal manusia itulah yang menjadi hakim,
karena akal manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan
karena hakikatnya atau karena sifatnya.
Oleh kerena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh
akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Allah akan
memberikan pahala kepada para mekallaf yang berbuat baikberdasarkan kepada
pendapatnya, sebagaimana Allah memberi pahala berdasarkan apa yang
diketahui mukallaf dengan perantara syara’.
Golongan Asy’ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara’ tidak diberi
sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu’tazilah dan
Asy’ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana
yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi’at: dipandang baik oleh akal yang tidak
bersesuaian dengan tabi’at dipandang buruk oleh akal.
Titik perselisihan antara golongan Mu’tazilah dengan golongan Asy’ariyah
ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa,
tergantung pada perbuatan, walaupun syara’ belum menerangkannya, sedang
golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala
manusia sebelum datang syara’, kendati akal bisa mengetahui baik buruknya
sesuatu perbuatan.[2]
Meskipun ulama ushul sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah SWT,
namaun mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang
dibuat Allah hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu, atau akal dapat
mengetahui hukum itu dengan baik. Dalam hal ini, Abu Husen al-Bashri (w.
436 H) membagi amal perbuatan manusia kedalam dua kategori:
a. Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan
akal pikiran.
b. Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum
dan bentuknya.
Artinya: