Anda di halaman 1dari 13

Hakim, Mahkum Fiih, Mahkum’Alaih

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen : Drs. Enoh M.Ag

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH

Disusun Oleh :
Arifani Amril (10030120051)
Muhamad Fatan Jundilah ( 10030120057)
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirabbialamin
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmatnya-
Nya dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun tema dari
makalah ini adalah “Hakim, Mahkum Fiih dan Mahkum Alaih”.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ushul Fiqih. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Hakim, Mahkum Fiih dan Mahkum Alaih.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dosen mata kuliah Ushul Fiqih bapak Drs. Enoh M.AG. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman semua yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat meneyelesaikan
makalah ini.
Dan penulis menyadari, bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kritik, saran dan masukan sangat kami harapkan
untuk memperbaiki kekurangan dalam makalah ini. Dan kami berharap makalah
ini dapat memberikan banyak manfaat.

Wassalamualaikum Wr.Wb.
Bandung, 17 Februari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..2
BAB I…………………………………………………………………………………………4
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………4
A. Latar belakang………………………………………………………………………...4
B. Rumusan masalah……………………………………………………………………..4
BAB II………………………………………………………………………………………..5
PEMBAHASAN……………………………………………………………………………..5
A. Al-Hakim…………………………………………………………………………….5-6
B. Mahkum Fiih…………………………………………………………………………7-9
C. Mahkum Alaih…………………………………………………………………….10-11
BAB III……………………………………………………………………………………….12
PENUTUP……………………………………………………………………………………12
Kesimpulan………………………………………………………………………………..12
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ushul fiqh merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-
cara menginstinbath (menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul
setelah fiqh, tetapi secara teknis, terlebih dahulu para ulama
menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum orang
ulama menetapkan suatu perkara untuk haram, ia telah mengkaji yang telah
menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya disebut fiqh, dan
dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Dengan demikian, sebelum seseorang mengkaji materi fiqh, hendaknya ia
telah megkaji ushul fiqh terlebih dahulu,  sehingga dapat mengethui alasan-
alasan ulama menetapkan suatu hukum fiqh, dan tujuan mempelajari ushul
fiqh ini tercapai, yaitu terhindar dari sifat taqlid atau sifat ikut-ikutan karena
buta terhadap dalil al-Qur’an dan as-Sunnah.
Gambaran orang yang mengkaji fiqh tanpa usul fiqh adalah seperti orang
yang membaca teks berbahasa arab tanpa mengetahui kaidah-kaidah nahwu
sharaf dalam bahasa Arab. Demikian pentingnya ushul fiqh dan hubungannya
dengan fiqh.
Dalam kajian ushul fiqh terdapat sumber-sumber hukum islam yang
mencakup sumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun Al-Ra’yu (ijtihad). Dan
dalam Hukum syara’ terdapat berbagai aspek yaitu Hakim, Mahkum fiih, dan
Mahkum ‘Alaih.
B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah yang ingin
dicapai yaitu sebagai berikut:
a.       Apa yang disebut Hakim ?,
b.      Apa yang disebut Mahkum fiih ?
c.       Apa yang disebut Mahkum ‘Alaih ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Al-Hakim
Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”.
Dalam istilah fiqh, hakim merupakan orang yang memutuskan hukum
dipengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh,
hakim juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama ushul sepakat bahwa yang menjadi pembuat hukum hakiki dari
hukum syariat adalah Allah, sebagaimana firman-Nya:

Eۖ Eِ ‫ ِإ اَّل هَّلِل‬E‫ ُم‬E‫ ْك‬E‫ ُح‬E‫ ْل‬E‫ ا‬E‫ن‬Eِ ‫ ِإ‬Eۚ E‫ ِه‬Eِ‫ ب‬E‫ن‬Eَ E‫و‬Eُ‫ ل‬E‫ ِج‬E‫ ْع‬Eَ‫ ت‬E‫ ْس‬Eَ‫ ت‬E‫ ا‬E‫ َم‬E‫ ي‬E‫ ِد‬E‫ ْن‬E‫ ِع‬E‫ ا‬E‫ َم‬Eۚ E‫ ِه‬Eِ‫ ب‬E‫ ْم‬Eُ‫ ت‬E‫َّ ْب‬E‫ ذ‬E‫ َك‬E‫ َو‬E‫ ي‬EِّE‫ ب‬E‫ر‬Eَ E‫ن‬Eْ E‫ِم‬ E‫ ٍة‬Eَ‫ ن‬EِّE‫ ي‬Eَ‫ ب‬E‫ى‬Eٰ Eَ‫ ل‬E‫ َع‬E‫ ي‬Eِّ‫ ِإ ن‬E‫ل‬Eْ Eُ‫ق‬
E‫ن‬E‫ ي‬Eِ‫ ل‬E‫ص‬ Eِ E‫ ا‬Eَ‫ ف‬E‫ ْل‬E‫ ا‬E‫ ُر‬E‫ ْي‬E‫خ‬Eَ E‫ َو‬Eُ‫ ه‬E‫ َو‬Eۖ َّE‫ ق‬E‫ َح‬E‫ ْل‬E‫ ا‬E‫ص‬ Eُّ Eُ‫ ق‬Eَ‫ي‬

Artinya
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran)
dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab)
yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
keputusan yang paling baik". (QS. Al-An’am: 57).

Dan menurut mereka juga, bahwa yang menetapkan hukum (Al-hakim) itu
ialah Allah SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah
para rasulNya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan
kepada ummat manusia.
Tidak ada perselisihan pendapat ulama syara’ itulah yang menjadi hakim
sesudah Rosul dibangkit dan sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.
Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim  terhadap
perbuatan mukallaf sebelum rasul dibangkit. Golongan mu’tazillah berpendapat,
bahwa sebelum rasul dibangkit, akal manusia itulah yang menjadi hakim,
karena akal manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan
karena hakikatnya atau karena sifatnya.
Oleh kerena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh
akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Allah akan
memberikan pahala kepada para mekallaf yang berbuat baikberdasarkan kepada
pendapatnya, sebagaimana Allah memberi pahala berdasarkan apa yang
diketahui mukallaf dengan perantara syara’.
Golongan Asy’ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara’ tidak diberi
sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu’tazilah dan
Asy’ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana
yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi’at: dipandang baik oleh akal yang tidak
bersesuaian dengan tabi’at dipandang buruk oleh akal.
Titik perselisihan antara golongan Mu’tazilah dengan golongan Asy’ariyah
ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa,
tergantung pada  perbuatan, walaupun syara’ belum menerangkannya, sedang
golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan  tidak diberi pahala
manusia sebelum datang syara’, kendati akal bisa mengetahui baik buruknya
sesuatu perbuatan.[2]
Meskipun ulama ushul sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah SWT,
namaun mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang
dibuat Allah hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu, atau akal dapat
mengetahui hukum itu dengan baik. Dalam hal ini, Abu Husen al-Bashri (w.
436 H) membagi amal perbuatan manusia kedalam dua kategori:
a.       Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan
akal pikiran.
b.      Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum
dan bentuknya.

 Perbuatan kategori ini terdiri dari dua macam, yaitu:


1.      Perbuatan dimana hanya dengan syariat dapat diketahui hukum, bentuk, dan
kedudukannya sebagai ibadah bagi pelakunya, seperti ibadah shalat’
2.      Perbuatan dengan syariat berperan mengubah, menambah, atau mengurangi
persyaratan-persyaratan yang talah diketahui akal pikiran. Dalam hal ini, syariat
memodifikasi sesuatu perbuatan, sehingga disebut sebagai perbuatan yang
bersifat syar’i.
B.     Mahkum Fiih
Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani
suatu hukum (perbuatan hukum).
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum
fih)   E‫)فِ ْي ِها َ ْل َمحْ ُكوْ ُم‬adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait
dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan,
tuntunan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan bersifat
syarat, sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah, serta batal.
Jadi, mahkum fih itu merupakan hasil perbuatan manusia yang mukallaf erat
hubungannya atau bersangkutan dengan hukum syara’ agama Islam. Misalnya
perbuatan manusia yang mukallaf  berhubungan dan berkaitan dengan aturan
agama Islam, antara lain:
1.      Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah  mahkum fih, sebab
bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
2.      Menyangkut masalah tidak dilaksanakan terhadap manusia, adalah mahkum
fih, dan bertalian dengan ketentuan Allah dalam firman-Nya:
َ ‫َوالَ تَ ْقتُلُو النَّ ْف‬
‫س‬
Artinya:
“Janganlah kamu membunuh manusia.”
3.      Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak
melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau orang
musafir/dalam prerjalanan jauh, maka masalah itu adalah mahkum fih, bertalian
dengan masalah ibadah.
Dengan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua
perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua
perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya dengan hukum syara’, dan
semua itu disebut Mahkum Fih dalam hukum Islam.
Para kalangan madzab Hanafi yang berpendapat tidak akan terjadi takhlif
sebelum tercapai syarat sahnya takhlif mengemukakan alasan :
a.    Kalau terjadi takhlif sebelum tercapai syarat sah takhlif berarti takhlif tidak
dapat dilaksanakan, sedangkan takhlif yang tidak dilaksanakan adalah batal.
b.    Dalam ucapan Rasulullah ketika mengangkat Muadz bin Jabal menjadi
Gubernur Yaman beliau berkata:
 “Ajaklah mereka (menuturkan) syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
aku adalah rasul Allah. Jika mereka telah menerimanya beri tahukan kepada
mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari
semalam. Kalau mereka telah mnerimanya beri tahukan Allah mewajibkan
zakat atas harta kekayaan dari orang yang kaya untuk diserahkan kepada yang
miskin dari mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)   
            Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat dan zakat bergantung
kepada penerimaan terhadap ajakan dan kalau mereka tidak menerima berarti
tidak wajib bagi mereka. Alasan ini dijawab bahwa yang dimaksud menerima
kewajiban shalat dan zakat, tetapi kewajiban menerima iman karena tidak
mungkin menerima kewajiban tanpa menerima iman.
c.    Semua ibadah orang yang kafir tidk diterima karena ibadah memerlukan niat,
sedangkan niat dari orang yang kafir tidak sah kecuali terlebih dahulu beriman.
d.   Perintah melaksanakan ibadah untuk memperoleh pahala, sedangkan orang
kafir tidak berhak menerima pahala.
e.    Kalau orang yang kafir dibebankan melaksanakan shalat tentunya mereka
dikenakan hukuman di dunia sebagaimana seorang muslim yang meninggalkan
sholat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama adalah yang
terkuat dalilnya karena didukung oleh dalil Al-Quran yang menunjukkan bahwa
orang yang kafir masih dibebani ibadah. Karena itu, mereka mendapat hukuman
tambahan di akhirat yang berati kebolehan takhlif sekalipun syarat belum
tercapai seperti yang dikemukakan oleh madzab Syafi’i.
     Kalau dilihat dari segi pelaksanaan hukuman di dunia, orang yang kafir itu
tidak dituntut hukuman, tetapi hukumannya hanya di akhirat. Keduanya dilihat
dari segi pelaksanaan hukuman dunia dan akhirat hanya berbeda tenntang
hukuman akhirat.
Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada
pembuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila syar’i mewajibkan atau
mensunnahkan suata perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu
merupakan perbuatan  yang harus dikerjakan. Demikian juga
apabila syar,i mengharamkan atau memakruhkan sesuatu, maka beban tersebut
juga merupakan perbutan yang harus ditinggalkan.

Perbuatan yang dibebankan (mahkum bih) kepada orang mukallaf itu


mempunyai tiga syarat sebagai berikut:
a.       Perbutan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia
dapat mengerjakannya sesuai dengan tuntutan,
b.      Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai
kekuasaan memberi beban dan dari pihak yang wajib diikuti segala hukum-
hukum yang dibuatnya,
c.       Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan,
sehingga tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.
Manusia tidak diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak muungkin
(mustahil) dapat dilakukan,  sebagaimana firman Allah SWT:
E‫ن‬Eْ ‫ ِإ‬E‫ ا‬Eَ‫ ن‬E‫ ْذ‬E‫خ‬Eِ E‫َؤ ا‬EEُ‫ اَل ت‬E‫ ا‬Eَ‫َّ ن‬E‫ ب‬E‫ر‬Eَ Eۗ E‫ت‬ Eْ Eَ‫ ب‬E‫ َس‬Eَ‫ ت‬E‫ ْك‬E‫ ا‬E‫ ا‬E‫ َم‬E‫ ا‬Eَ‫ ه‬E‫ ْي‬Eَ‫ ل‬E‫ َع‬E‫ َو‬E‫ت‬ Eْ Eَ‫ ب‬E‫ َس‬E‫ َك‬E‫ ا‬E‫ َم‬E‫ ا‬Eَ‫ ه‬Eَ‫ ل‬Eۚ E‫ ا‬Eَ‫ ه‬E‫ َع‬E‫ ْس‬E‫ ِإ اَّل ُو‬E‫ ا‬E‫ ًس‬E‫ ْف‬Eَ‫ ن‬Eُ ‫ هَّللا‬E‫ف‬ Eُ Eِّ‫ ل‬E‫ َك‬Eُ‫اَل ي‬
E‫ ا‬Eَ‫َّن‬E‫ ب‬E‫ َر‬Eۚ E‫ ا‬Eَ‫ ن‬Eِ‫ ل‬E‫ ْب‬Eَ‫ ق‬E‫ن‬Eْ E‫ ِم‬E‫ن‬Eَ E‫ ي‬E‫َّ ِذ‬E‫ل‬E‫ ا‬E‫ ى‬Eَ‫ ل‬E‫ َع‬Eُ‫ ه‬Eَ‫ ت‬E‫ ْل‬E‫ َم‬E‫ َح‬E‫ ا‬E‫ َم‬E‫ َك‬E‫ ا‬E‫ر‬Eً E‫ص‬ Eْ ‫ ِإ‬E‫ ا‬Eَ‫ ن‬E‫ ْي‬Eَ‫ ل‬E‫ َع‬E‫ل‬Eْ E‫ ِم‬E‫ح‬Eْ Eَ‫ اَل ت‬E‫ َو‬E‫ ا‬Eَ‫َّ ن‬E‫ ب‬E‫ر‬Eَ Eۚ E‫ ا‬Eَ‫ ْأ ن‬Eَ‫ ط‬E‫خ‬Eْ ‫ َأ‬E‫و‬Eْ ‫ َأ‬E‫ ا‬Eَ‫ن‬E‫ ي‬E‫ ِس‬Eَ‫ن‬
E‫ ا‬Eَ‫ ن‬E‫ر‬Eْ E‫ص‬ُ E‫ ْن‬E‫ ا‬Eَ‫ ف‬E‫ ا‬Eَ‫ اَل ن‬E‫و‬Eْ E‫ َم‬E‫ت‬ Eَ E‫ َأ ْن‬Eۚ E‫ ا‬Eَ‫ ن‬E‫م‬Eْ E‫ح‬Eَ E‫ر‬Eْ E‫ ا‬E‫ َو‬E‫ ا‬Eَ‫ ن‬Eَ‫ ل‬E‫ر‬Eْ Eِ‫ ف‬E‫ ْغ‬E‫ ا‬E‫و‬Eَ E‫َّ ا‬E‫ ن‬E‫ َع‬E‫ف‬ Eُ E‫ ْع‬E‫ ا‬E‫و‬Eَ Eۖ E‫ ِه‬Eِ‫ ب‬E‫ ا‬Eَ‫ ن‬Eَ‫ ل‬Eَ‫ ة‬Eَ‫ق‬E‫ ا‬Eَ‫ اَل ط‬E‫ ا‬E‫ َم‬E‫ ا‬Eَ‫ ن‬E‫ ْل‬E‫ ِّم‬E‫ح‬Eَ Eُ‫ اَل ت‬E‫َو‬
E‫ َن‬E‫ ي‬E‫ ِر‬Eِ‫ف‬E‫ ا‬E‫ َك‬E‫ ْل‬E‫ ا‬E‫ ِم‬E‫و‬Eْ Eَ‫ ق‬E‫ ْل‬E‫ ا‬E‫ ى‬Eَ‫ ل‬E‫َع‬

Artinya:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia


mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
(QS.Al-Baqarah: 286).
C.    Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun
syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua
macam, yakni:
a.       Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang
terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun
melalui orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan
untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan
suatu taklif (pembebanan),
b.      Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Kemampuan seseorang untuk menerima kwajiban dan mnerima hak oleh para
ulama ushuliyyun dibagi kepada dua  macam, yaitu:
a.       Ahliyatul wujub, yaitu kepantasan seseorang untuk memberi hak dan
kewajiban. Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, kanak-kanan maupun dewasa, sehat maupun sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban, sebab dasar dari
kepantasan ini adalah kemanusiaan. Artinya, selama manusia itu masih hidup,
kepantasan tersebut tetap dimiliknya,
b.      Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat)ialah kepantasan seseorang untuk
dippandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya, bila mengadakan
suatu perjanjian atau perikatan, tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan
akibat hukum, sehingga masa datangnya aliyatul ada’ menurut syara’ adalah
bersamaan dengan tibanya usia taqlif yang dibatasi dengan aqil dan baligh.
Ahliyatul ada’ terbagi atas dua macam, yaitu:
1.   Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal
mencapai umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum  syara’, dan
balighnya orang yang cakap dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
2.   Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya
dinisbahkan untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak
yang cakap sama dengan anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil
dianggap seperti orang yang tidak cakap (gila). Sedangkan dalam masalah
muamallah dianggap sah jual belinya.
Namun demikian, ada beberapa orang yang sudah dewasa dan pantas untuk
melaksakan hak dan kewajiban tetapi kondisi mereka tidak memungkinkan
untuk melaksanakan semua itu, dikarenakan ada hal-hal yang
menghalangi.kondisi tersebut disebut dengan awaridh ahliyah.
     Ahwaridh ahliyah ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.
     Samawiyah adalah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar manusia.
Halangan samawiyah ada sepuluh macam, yaitu:
a.       Keadaan belum dewasa;
b.      Sakit gila
c.       Kurang akal
d.      Keadaan tidur
e.       Pingsan
f.       Lupa
g.      Sakit
h.      Menstruasi
i.        Nifas
j.        Meninggal dunia.
Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatann yang diusahakan manusia yang
menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak.
Halangan kasabiyah itu ada tujuh macam, yaitu:
a.         Boros,
b.        Mabuk
c.         Bepergian
d.        Lalai
e.         Bergurau (main-main)
f.         Bodoh (tidak mengetahui)
g.        Terpaksa (ikrah).
Memperhatikan akibat ahliyatul ada’. Maka gangguan-gangguan itu terbagi
kepada beberapa jenis antara lain:
a.       Gugur ahliyatul ada’, khusus bagi manusia gila dan sedang tidur.
b.      Kurang ahliyatul ada’ (tidak gugur seluruhnya), seperti manusia makhluk
(orang yang lemah pikirannya) dan juga anak-anak yang mumayiz.
c.       Tidak menghilangkan dan tidak pula mengurangi ahliyatul ada’, tatpi hanya
mengubah sebagian hukum untuk kemaslahatan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
a.       Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”.
Dalam istilah fiqh, hakim merupakan orang yang memutuskan hukum
dipengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh,
hakim juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
b.       Abu Husen al-Bashri (w. 436 H) membagi amal perbuatan manusia kedalam
dua kategori:
1.      Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan
akal pikiran.
2.      Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum
dan bentuknya.
c.       Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani
suatu hukum (perbuatan hukum).
d.      Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun
syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua
macam, yakni:
1.      Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang
terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun
melalui orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan
untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan
suatu taklif (pembebanan),
2.      Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
e.       Kemampuan seseorang untuk menerima kwajiban dan mnerima hak oleh
para ulama ushuliyyun dibagi kepada dua  macam, yaitu, Ahliyatul wujub,
Ahliyatul ada’,
Ahliyatul ada’ terbagi atas dua macam, yaitu:
1.      Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal
mencapai umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum  syara’, dan
balighnya orang yang cakap dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
2.      Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau
semisalnya dinisbahkan untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif
syara’ bagi anak yang cakap sama dengan anak yang tidak cakap. Seperti
shalatnya anak kecil dianggap seperti orang yang tidak cakap (gila). Sedangkan
dalam masalah muamallah dianggap sah jual belinya.
f.       Ahwaridh ahliyah ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh (metode istinbath dan


istidlal). Bandung:
Remaja Rosdakarya. Cet. Kedua.
Umar Muin. Dkk. 1986. ushul fiqh 1. Jakarta: proyek Pembinaan dan Sarana
Perguruan
Tinggi Agama/IAIN.
Umam Khairul. dkk. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia. Cet. Kedua.
Karim Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. cet. Kedua.

[1] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh (metode istinbath dan istidlal), (Bandung:


Remaja Rosdakarya,2014), cet. 2, hal. 40-41.
[2] Muin Umar, dkk, ushul fiqh 1, (Jakarta: proyek Pembinaan dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986), hal. 26-27.

[3] Op.cit., Hasbiyallah, hal. 41.


[4] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. 2,
hal. 327-333.
[5]Op.Cit., Hasbiyallah, Hal. 41-42.
[6] Ibid., hal. 43-44.
[7] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet. 2,
hal. 136.

Anda mungkin juga menyukai