Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH USHUL FIQH

AL-AHKAM AL-ASYAR’IYYAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu:

Ali Kadarisman M.HI.

DISUSUN OLEH:

1. MUH ANWAR NOTARISZA H (230203110013)


2. MOCH NAZRIELILHAM ATTALLAH (230203110014)
3. ALQODHI ADLANTAMA (230203110015)
4. NANDA AULIA RAHMAPUTRI (230203110016)

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Puji syukur
kami panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat-nya dan karunianya kelompok kami dapat
menyelesaikan makalah ini pada tepat waktunya. Adapun tema dari Makalah yang kami kerjakan
berjudul “Al-Ahkam Al-Syar’iyyah”. Tujuan dari makalah yang kami buat untuk pemenuhan
tugas mata kuliah Ushul Fiqh.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Ushul Fiqh bapak Ali
Kadarisman, M.HI. yang telah membimbing dan memberikan tugas kepada kelompok kami,
kami juga berterima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan makalah
ini.

Kami mohon maaf mungkin dalam makalah kami ini terdapat banyak kesalahan yang kami
belum ketahui, maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun bapak
dosen pembimbing mata kuliah ini, demi tercapainya makalah yang sempurna.

Penulis,

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................iii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
C. Tujuan....................................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.............................................................................................................................2
A. Al- Hakim............................................................................................................................2
1. Pengertian........................................................................................................................2
2. Tahsin dan Taqbih ‘Aqli................................................................................................3
3. Relasi ‘Aql dan Al-Hukm Menurut Mu’tazilah, Asya’irah, dan Maturidiyah........8
B. Mahkum Fihi/Bihi............................................................................................................10
1. Pengertian......................................................................................................................10
2. Syarat Syarat Mahkum Fih.........................................................................................13
KESIMPULAN............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara menginstinbath
(menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqh, tetapi secara teknis, terlebih dahulu
para ulama menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum orang ulama
menetapkan suatu perkara untuk haram, ia telah mengkaji yang telah menjadi alasan perkara itu
diharamkan. Hukum haramnya disebut figh, dan dasar- dasar sebagai alasannya disebut ushul
fiqh. Dengan demikian, sebelum seseorang mengkaji materi fiqh, hendaknya ia telah megkaji
ushul fiqh terlebih dahulu, sehingga dapat mengethui alasan-alasan ulama menetapkan suatu
hukum fiqh, dan tujuan mempelajari ushul fiqh ini tercapai, yaitu terhindar dari sifat taqlid atau
sifat ikut-ikutan karena buta terhadap dalil al- Qur'an dan as-Sunnah. Dalam kajian ushul figh
terdapat sumber-sumber hukum islam yang mencakup sumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah,
maupun Al-Ra'yu (ijtihad). Dan dalam Hukum syara' terdapat berbagai aspek yaitu Hakim,
Mahkum fiih, dan Mahkum 'Alaih Karakteristik hukum Islam yang bersendikan nash dan
didukung dengan akal merupakan ciri khas yang membedakannya dengan sistem hukum lainnya.
Ijtihad memegang peranan signifikan dalam pembaruan dan pengembangan hukum Islam. Hal
ini merupakan pantulan dari sebuah pepatah dari seorang Syahrastani yang kemudian
berkembang menjadi tanggapan populer di kalangan para pakar hukum Islam yaitu "teks-teks
nash itu terbatas, sementara problematika hukum yang memerlukan solusi tidak terbatas". Di
antara sekian banyak cangkupan ushul fiqh amat penting untuk diketahui adalah konsep tentang
hukum, hakim, ma hkum fih dan mahkum alaih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Al-Hakim, Taqsin dan Taqbih ‘Aqli?
2. Bagaimana pendapat Relasi ‘Aql dan Al-Hukm Menurut Mu’tazilah, Asya’irah, dan
Maturidiyah?
3. Apa pengertian dan syarat-syarat Mahkum Bihi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Al-Hakim, Taqsin dan Taqbih ‘Aqli

2. Untuk memahami pendapat Relasi ‘Aql dan Al-Hukm Menurut Mu’tazilah, Asya’irah,
dan Maturidiyah

3. Untuk memahami definisi dan pembagian syarat-syarat Mahkum Bih

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al- Hakim
1. Pengertian
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah
fiqhi kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama
maknanya dengan qadhi. Dalam kajian Ushul Fiqh kata “hakim” berarti pihak penentu dan
pembuat hukum syariat secara hakiki. Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber
atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah. hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur'an dalam
surat Al-An‟am ayat 57:

‫…ِإِن اْلُح ْك ُم ِإاَّل ِهَّللا َيُقُص اْلَح َّق َو ُهَو َخ ْيُر اْلَفاِصِليَن‬..

.....Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
Pemberi keputusan yang paling baik. (QS. AlAn‟am/6 : 57)

Meskipun para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa pembuat hukum adalah Allah, namun mereka
berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat diketahui
dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah atau akal secara independen bisa juga
mengetahuinya. Perbedaan pendapat ini berpangkal dari perbedaan pendapat tentang fungsi akal
dalam mengetahui baik dan buruk suatu hal.1 Sedangkan dalam segi bahasa, hakim mempunyai
dua arti. Pertama yaitu:

‫َو اِضُع اَألْح َك اِم َو ُم ْثِبُتَها َو ُم ْنِش ُئَها َو َم ْص َدُر َها‬

Artinya: “Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”


Kedua:
‫الذي ُيْد ِر ُك األحكاُم َو ُيْظهُرَها َو ُيْع ِر ُفَها َو ُيْك ِش ُف َع ْنَها‬

Artinya: “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”

Dari pengertian pertama, yang dimaksud al-hakim adalah Allah SWT. Dialah pembuat hukum
dan satu-satunya sumber hukum syar’i bagi seluruh perbuatan mukallaf. Dalam Islam, tidak ada
syari’at, kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah,
haram, makruh, dan mubah) maupun yang berkaitan dengan hukum wad’i (sebab, syarat,
halangan, sihhah, batal, ‘azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum

1
Misbahuddin, Ushul Fiqh 1, 1 (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2013).

2
diatas bersumber dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW maupun hasil ijtihad para
mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk
menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT.
Dalam istilah al-hakim selain bermakna Allah SWT pencipta dan pembuat hukum, harus
pula ditambahkan Rasulullah SAW bukan karena beliau memiliki wewenang otonom membuat
hukum dan syariat, tetapi karena beliau diberi tugas, antara lain, menjelaskan aturan aturan
hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah SWT. Dalam konteks inilah dikenal dua
macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah SAW yaitu yang biasa disebut
dengan istilah wahyu matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Qur'an) dan wahyu ghairu matluw
(wahyu yang tidak dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah). Dari definisi hukum dan penjelasan satu
persatu dari rangkaiannya.2

2. Tahsin dan Taqbih ‘Aqli

Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh tentang hasan(Tahsin)
dan qabih(Taqbih):
a. Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat manusia, misalnya
tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka. Sedangkan qahih adalah segala sesuatu
yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia, misalnya ;nenyakiti orang lain.
b. Al-Husnu, diartikan sebagai sifat yang sempurna, misalnya kemuliaan dan pengetahuan.
Sebaliknya, qabih diartikan sebagai sifat ielek, yakni kekurangan dalam diri seseorang, seperti
bodoh, kikir. Kedua pengertian tentang hasan dan qabih tersebut telah disepakati oleh para ulama
bahwa hal itu hanya bisa dicapai oleh akal.
c. Al-Husnu, adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qubih, merupakan
segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia. Hal itu disepakati oleh para ulama
dalam hal yang tidak bisa dicapai oleh akal.
d. Al-Husnu, diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan mendapat pujian di dunia
dan pahala dari Allah SWT. kelak di akhirat. Sebaliknya qabih adalah perbuatan yang akan
mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan, seperti maksiat, mencuri, dan lain-lain.
Pengertian yang diperselisihkan oleh para ulama adalah yang pertama Golongan
Ash'ariyah ini yang menganut pendapat jumhur ulama usul, yang berpendapat bahwa al-hasan
dan al- qabih bersifat syari' dan harus ditentukan oleh syara' karena keduanya hanya dapat
diketahui dengan syara'. Apa yang diperintahkan al-Syari' seperti iman, shalat, haji, maka ia
adalah hasan. Sedangkan apa yang dilarangnya seperti kekufuran dan muharramat lainnya
pastilah ia qabih. Baik dan buruk bukanlah terdapat pada zatnya melainkan pada sesuatu yang
bersifat nisbi (relatif). Madzhab kelompok ini menurut Wahbah al-Zuhaili berkenaan dengan
penetapan hukum al-Shari sebagai ukuran al-hasan dan al-qabih memiliki kemiripan dengan
pendapat sebagian ulama akhlaq yang menyatakan bahwa ukuran al-khair dan al-Sharr adalah

2
Abdul Latip, Ushul Fiqih dan Kaedah Ekonomi Syariah (Merdeka Kreasi Group, 2022).

3
undang-undang (al-qanun) Apa yang diwajibkan atau dibolehkannya adalah kebaikan dan apa
yang dilarangnya adalah keburukan.

Diantara alasan yang dikemukakan oleh kelompok pertama ini ialah:

1). Jika sıfat al-husn dan al-qubh termasuk sifat-sifat dzatıyah maka hal itu akan menjadi sesuatu
yang muttarid (melekat) dan sebaliknya tidak mutlaq Sebuah perbuatan akan tetap menjadi hasan
atau selamanya qabih karena apa yang melekat pada dzat tidak akan berubah. Padahal dalam
kenyataannya perbuatan al-kadzb (bohong) misalnya dapat menjadi baik atau wajib jika
berdampak pada perlindungan seseorang darı kedzaliman atau mengentaskannya dari
pembunuhan Sedangkan perbuatan al-sidq (kejujuran) dalam kondısı ını qabih serta diharamkan
Hanya saja alasan ini menurut al-Zuhaili lemah karena al-qubh al-dzati tidaklah menghilangkan
al-husn al-aridh disamping alasan ini tidak layak untuk menjawab pendapat keseluruhan
madzhab mutazilah.

2). Jika saja al-husn dan al-qubh adalah sesuatu yang aqly, niscaya Allah tidak akan memberikan
pilihan dalam hukum- hukumnya tetapi sebaliknya akan mengikat di dalam penshari'atan hukum-
hukum tersebut, karena Dia harus mensharatkan sesuatu berdasarkan kenyataan bahwa dalam
perbuatan itu terdapat kebaikan ataukah keburukan Ini berarti bahwa al-ahkam harus sesuai akal
dan peritah (al-wujub) bertentangan dengan pilihan (al-ikhtiyar) Alasan ini juga lemah menurut
al Zuhaili karena bertepaannya hukum Tuhan dengan hikmah tidak mewajibkan pemaksaaan
(idhtirar) tetapi di dalamnya pilihan tetap ada.

3). Jika masing-masing dari al-husn dan al-qubh adalah urusan akal (aqliyyan) belaka tentu akan
diperbolehkan untuk memberikan siksa bagi seseorang yang melakukan keburukan atau
meninggalkan sesuatu yang dianggap baik sebelum diutusnya rasul Padahal hal inibertentangan
dengan sesuatu yang sarih dari Al-Qur'an, yakni

‫……َم ا ُكَّنا ُمَع ِّذ ِبيَن َح َّتى َنْبَع َث َر ُسوًال‬

Artinya: dan kami tidak mengadzab sebelum kami mengutus seorang Rasul" (QS. al-Isra (17)
ayat 15)

‫……لئال َيُك وَن ِللَّناِس َع َلى ِهَّللا ُحَّج ٌة َبْع َد الُّر ُس ِل‬

agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul
itu (QS Al-Nisa (4) ayat 165)

Dari kedua ayat tersebut diperoleh pengertian bahwa Allah secara tegas meniadakan perhitungan
dan siksa bagi manusia sebelum diutusnya seorang rasul yang membawa risalah Allah
Pertanggung jawaban dan perhitungan terhadap manusia hanya akan dilakukan setelah para rasul
yang bertugas menyampaikan hukum-hukum Allah kepada umat manusia. Secara logika juga

4
tidak ada kewajiban bagı Allah untuk menetapkan baik bagi sesuatu yang dipandang baik oleh
akal, sehingga manusia diperitahkan untuk mengikutinya, dan demikian pula sebaliknya Allah
Swt memilikı kehendak yang mutlak tanpa bergantung pada sesuatu Namun berdasarkan
konklusı induktif darı berbagai firmanNya, dapat diketahui bahwa apa yang diperintahkan Allah
Swt pasti mengandung manfaat bagi umat manusia, dan apa yang dilarang pasti mengandung
madharat.

Kelompok Kedua, madzhab Muktazilah dan mereka yang sependapat (dari golongan
Karomiyah, Khawarij, Syi'ah Ja'fariyah, Barahimah, dan Tsanawiyah). Menurut mereka al-hasan
dan al-qabih dapat dicapai dan ditentukan oleh akal Sebelum shari'at datang, akal dapat
menentukan baik buruknya sesuatu. Penemuan (idrak) akal terhadap al-hasan dan al- qubh dapat
diperoleh baik secara daruri (langsung) seperti baiknya al-sidq al-nafi dan buruknya al-kadzib al-
darr, atau dengan cara pemikiran mendalam (al-nadzr wa al-tafkir) seperti halnya baiknya al-sidq
al-nafi dan buruknya al-kadzib al-darr, atau dengan cara pemikiran mendalam (al-nadzr wa al-
tafkir) seperti halnya baiknya al-sidq al-darr dan buruknya al-kadzib al-nafi Pemikiran
membimbing seseorang dalam keadaan ini untuk memahami bahwa madharat terdapat dalam
kejujuran dan manfaat terdapat dalam kebohongan meski tidak selamanya berlaku untuk semua
orang Penemuan (idrak) akal kadang juga didasarkan pada datangnya syara' seperti baik
(husn)nya puasa hari terakhir Ramadhan, buruk (qubh)nya puasa pada hari pertama bulan
Syawal, dan bilangan shalat dan rakaatnya Akal dalam hal seperti ini tidaklah dapat menjangkau
dan syara adalah satu-satunya yang mampu mengungkap hukumnya Pendapat Mu'tazilah
berakibat pada pernyataan bahwa orang- orang yang belum sampai kepadanya shari'at dan rasul
dikenakan kewajiban melaksanakan sesuatu yang menurut akal mereka baik dan untuk itu ada
imbalannya, sebagaimana mereka dituntut untuk meninggalkan perbuatan yang dinilai buruk
oleh akal dan apabila mereka tetap mengerjakannya, maka ada hukuman yang akan diberikan.

Diantara alasan atau yang dikemukakan kaum mu'tazilah ialah:

1). Seandainya al-husn dan al-qubh bukan merupakan hal yang ma'lum (dikenal) sebelum
datangya syara' maka tidak mungkin untuk mengenalinya setelah datangnya syara tersebut Hal
ini tentu sesuatu yang mustahil Karenanya, husn dan qubh haruslah merupakan sesuatu yang
ma'lum sebelum kedatangan shari'at Alasan ini menurut al-Zuhaili tidaklah benar karena yang
didasarkan pada shariat bukanlah mengungkap al-husn dan al-qubh tetapi al-tashdiq
(pembenaran)

2). Secara logika sebagian perbuatan atau perkataan baik seperti iman dan bersikap benar,
merupakan suatu hal yang seharusnya diperbuat manusia Orang yang melakukan perbuatan
tersebut dipuji karena sikap iman dan sikap benar itu adalah baik pada dzatnya sendın Sebaliknya
perbuatan dusta, memberi mudharat pada orang lain, dan sikap kafir adalah perbuatan-perbuatan
yang pada dzatnya buruk dan akal pasti menolak untuk melakukannya Apabila perbuatan-
perbuatan seperti ini dikerjakan, maka pelakunya akan dikecam oleh manusia. Prinsip yang

5
dianut Mu'tazilah adalah bahwa al-hasan dan al-qabıh merupakan produk akal, bukan didasarkan
pada syara'

3). Ayat 15 surat Al-Isra' sebagaimana dipedomanı al-Asy'arıyah Kata "rasul" menurut mereka
berarti akal, dan oleh karena itu makna ayat tersebut adalah "Kami tidak akan mengazab
seseorang sampai Kami berikan akal kepadanya.

Kelompok ketiga, Maturidiyah berpendapat bahwa al-husn dan al-qubh merupakah


sesuatu yang aqlıyy atau tidak didasarkan pada (petunjuk) syara' tetapi dapat diketahui oleh akal
Kelompok ini menurut Abdul Aziz Dahlan berupaya menengahi dengan mengatakan bahwa ada
perbuatan atau perkataan yang pada zatnya baik, dan ada pula yang buruk. Allah Swt tidak
memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan yang pada zatnya adalah buruk,
sebagaimana Dia juga tidak melarang suatu perbutan yang pada zatnya adalah baik. Terhadap
kebaikan dan keburukan yang tidak terletak pada zat perbuatan atau perkataan, syarak
mempunyai wewenang untuk menetapkannya Hingga disini, pendapat Maturidiyah ini mirip
dengan Muktazilah Maturidiyah kemudian menambahkan bahwa perbuatan atau perkataan yang
dipandang baik atau buruk oleh akal, tidak wajib dikerjakan atau ditinggalkan, dan orang yang
mengerjakannya yang baik dan ketentuan imbalan bagi pelakunya tidak dapat ditetapkan oleh
akal semata, tetapi harus didasarkan pada nass (ayat atau hadis) Demikian pula kewajiban untuk
meninggalkan perkatan atau perbuatan yang buruk dan siksa yang ditimpakan atas pelakunya
tidak dapat ditentukan melalui akal saja. Akal tidaklah dapat berdiri sendiri dalam menentukan
sebuah kewajiban.

Diantara alasan atau pendapat yang dikemukakan oleh Maturidiyah ialah:

1). Jika al-husn dan al-qubh merupakan hal yang syar'i, niscaya salat dan zina adalah sama
sebelum datangnya shari'at, lalu shari'at menjadikan salah satunya wajib dan yang lain haram. Ini
merupakan bentuk tarjih min ghair murajjih

2). Jika urusan al-husn dan al-qubh merupakan hal yang syar'i, maka diutusnya rasul dan
datangnya agama adalah bencana atas dunia, fitnah, dan sebab adanya mashaqqah (beban)
Sebelum datangnya syari'at manusia memılıkı kebebasan mutlak untuk melakukan semua yang
disuka, menikmati segala yang dimau, dan selamat dan sıksa dan pahala Setelah rasul datang,
lalu perbuatan terbagi menjadi halal dan haram, manusia dibagi menjadi mukmın dan kafir, serta
tergolongkan menjadi dua satu kelompok di surga dan yang lain di neraka Karenanya bitsah
dapat disebut mihnah dan madharat, padahal Rasulullah diutus sebagai rahmat untuk alam
semesta

3). Mutaakhirun Maturidiyah menambahkan bahwa (sebelum adanya syari'at) pengetahuan


tentang al-husn dan al-qubh tidak berdampak pada diwajibkannya sebuah hukum bahkan hukum
eperti kewajiban iman dan keharaman kufur. Maka jika akal idak menuntut hal itu, tidak ada
"cara lain" kecuali adanya al-naql al-sam'iy

6
Allah berfirman

‫…َو َم ا ُكَّنا ُمَع ِّذ ِبيَن َح َّتى َنْبَع َث َر ُسوًال‬.

"Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum Kami mengutus rasul."(QS. Al-Isra': 15)

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah sekalikali tidak akan mengazab seseorang yang
belum sampai kepadanya seseorang utusan (rasul) yang membawa risalah Ilahi. Selain ayat
tersebut, Allah pun berfirman dalam surat An-Nisa : 165

‫ َقاُلوا َبَلى َقْد َج اَء َن‬.‫ُك َّلَم ا ُألقي فيها فوج سألُهْم َخَزَنُتها ألم يأِتُك ْم َنِذ يٌر‬

‫ذيٌر َفَك َّذ ْبَنا َو ُقْلَنا َم ا َنَز َل ُهَّللا ِم ن َش ْي ٍء‬

Artinya: Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga


(neraka itu) bertanya kepada mereka "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia)
seorang pemberi peringatan?" Mereka menjawab "Benar ada" sesungguhnya telah datang kepada
kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakana Allah tidak
menurunkan sesuatupun, (QS Al-Mulk (67) ayat 8-9)

Implikasi logis dari pendapat ini menurut Nasrun Haroen meskipun manusia dapat menentukan
baik buruknya sesuatu dengan akalnya sebelum adanya pemberitahuan kitab samawi dan rasul,
maka akal tersebut tetap tidak dapat menentukan bahwa yang baik itu wajib dikerjakan dan yang
buruk itu wajib ditinggalkan Permasalahan imbalan dan sıksa juga tidak dapat ditentukan oleh
akal Sebelum adanya shari'at, seseorang yang tidak mengerjakan yang baik, tidak dapat
dikenakan sangsı dan sebaliknya yang mengerjakan sesuatu yang buruk tidak pula dapat
dikenakan sangsı berdasarkan pendapat akal semata Tidak wajib bagı Allah untuk
memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu yang baik menurut akal, sebagaimana juga
tidak wajib bagi- Nya untuk memerintahkan manusia meninggalkan pekerjaan yang menurut
akal adalah buruk Akal secara dharuri mengenal kebaikan dan keburukan sebuah perbuatan
seperti kebaikan sikap jujur dan adil, dan keburukan sikap dzulm (aniaya) dan bohong.

Implikasi Perdebatan tentang Al-hasan dan Al-qabih

Perdebatan tentang al-hasan dan al-qabih membawa beberapa implikası, diantaranya:

1. "Status orang yang belum sampai kepadanya dakwah Islam Menurut Mu'tazilah, mereka
mendapatkan imbalan atau ancaman atas semua perbuatan yang dilakukan karena memang yang
dituntut dari mereka adalah melakukan apa yang diidentifikası akal sebagai sesuatu yang baik
dan meninggalkan apa yang jelek Hal ini merupakan hukum Allah. Sedangkan menurut

7
Asy'ariyah dan Maturidiyah, tidak ada perhitungan, pahala, dan siksa bagi mereka yang belum
sampai kepadanya dakwah Islam

2. Shukr al-mun'im (bersyukur kepada Pemberi nikmat) tidaklah wajib secara akal menurut
Ash'ariyah dan mutaakhirun Maturidiyah Menurut mereka jika akal bersifat mujib (mewajibkan),
maka hendaklah ia mewajibkan karena adanya faedah agar tidak menjadi sia-sia, dan hal itu
tentu buruk Perilaku syukur adalah bentuk pembebanan diri dengan kesulitan berupa
menghindari hal-hal yang buruk secara akal dan mengerjakan hal-hal baik, padahal beban
tersebut tidak diperkenankan atas diri seseorang Sedangkan menurut Mu'tazilah dan
mutaqaddimun Maturidiyah hal tersebut wajib. Bersyukur adalah mengarahkan apa yang telah
diberikan Allah sesuai dengan tujuan diciptakannya Bersyukur menghalangi dzann al-dharar
(dugaan madharat). Jika menghalangi madharat yang terduga adalah wajib maka demikian pula
bersyukur, ia adalah wajib. Perilaku bersyukur yang mendatangkan adanya mashaqqah tidak
menghilangkan diperolehnya faedah yang merupakan dampah syukur tersebut seperti
diperolehnya kesehatan dan bertambahnya rizki.

3. Dalam ijtihad, apakah akal dapat menjadi salah satu sumber hukum? Kaum Asy'ariyyah dan
Maturidiyah berpendapat bahwa akal tidak dapat secara mandin menjadi sumber hukum Akal
berperan penting dalam mengungkap dan menangkap maksud-maksud syara' dalam penshari'atan
hukum dan menetapkan kaidah umum dalam menggali hukum, bukan sebagai penentu hukum
Muhammad Abu Zahrah sebagaimana dikutip Nasrun Haroen (1997 292) menegaskan bahwa
seluruh produk fiqh merupakan hasil daya nalar manusia yang sampai saat ını tıdak akan pernah
habis Tetapi nalar yang dipergunakan tersebut hendaknya senantiasa bersandar pada nash, dan
bukannya terlepas sama sekali Berbeda dengan pendapat tersebut, kaum Mutazilah dan Shi'ah
Ja'fariyah mengatakan bahwa akal merupakan sumber hukum ketiga setelah al-Qur'an dan
Sunnah

Dapat disimpulkan bahwa menurut Mu'tazilah akal menjadi sumber hukum dalam hal-hal
yang tidak disebutkan al-Quran Sedangkan menurut Maturidiyah dan Asy'ariyah akal hanya
sebagai alat untuk memahami wahyu Allah3

3. Relasi ‘Aql dan Al-Hukm Menurut Mu’tazilah, Asya’irah, dan Maturidiyah


Para ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal untuk
menentukan hukum sebelum turunnya syariat: Pertama, ahlussunah wal jama’ah. Menurut ahlu
sunnah wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum, sebelum
turunnya syari'at. Akal hanya bisa menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan AI-Quran dan
Rasul, serta kitab-kitab samayyi lainnya. Pendapat mereka di-dasarkan pada firman Allah SWT.
Surat Ai-lsra : 15

‫َو َم ا ُكَّنا ُم َعِّذ ِبيَن َح َّتى َنْبَعَث َر ُس وًال‬

3
Nurul Iman, “| Iman,” Muaddib : Studi Kependidikan dan Keislaman 4, no. 1 (April 29, 2016): 93–113.

8
"Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum Kami mengutus rasul."(QS. Al-Isra': 15)

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah sekalikali tidak akan mengazab seseorang yang
belum sampai kepadanya seseorang utusan (rasul) yang membawa risalah Ilahi. Selain ayat
tersebut, Allah pun berfirman dalam surat An-Nisa : 165

‫ِلَئاَّل َيُك وَن ِللَّناِس َع َلى ِهَّللا ُحَّج ٌة َبْع َد الُّر ُس ِل‬

Artinya: "Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-
rasul itu. "(QS.AnNisa:165)

Dengan mengemukakan nash di atas, menurut Ahlussunnah Wa Al-jama'ah, akal tidak


bisa dijadikan standar untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Dengan demikian,
maka Allah tidak ‘berkewajiban’ menetapkan suatu kebaikan yang dipandang baik oleh akal.
atau menetapkan keburukan suatu perbuatan .yang dipandang buruk menurut akal, karena Allah
mempunyai kehendak yang mutlak. Bahkan Allah juga berkuasa untuk menetapkan perbuatan
yang tidak bermanfaat sekalipun. Namun, menurut penelitian, semua perintah Allah pasti
mengandung suatu manfaat, sedangkan larangannya mengandung kemadaratan.

Kedua, Mu’tazilah. Mu'tazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik-buruknya


suatu pekerjaan sebelum datangnya syara meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rasul. Baik
dan buruk itu ditentukan oleh zatnya, sehingga akal bisa menentukan syari'at. Alasan mereka
sebenarnya sama dengan ayat yang dikemukakan oleh ahlusunnah wa al jamaah, yaitu dalam
surat Al-lsra ayat 17, hanya mereka mengartikan rasul pada ayat tersebut dengan arti akal,
sehingga arti keseluruhan dari ayat tersebut adalah:‚Kami tidak akan mengazab seseorang
sampai Kami berikan akal padanya".Menurut mereka, sebagian perbuatan dan perkataan itu
sudah semestinya dilakukan manusia, seperti beriman dan selalu berbuat baik. Orang yang
melakukannya berhak mendapat pujian, karena keimanan dan perbuatan baik itu merupakan hal
yang baik pada zatnya. Sebaliknya, akal akan menolak perbuatan yang buruk pada zatnya, seperti
berdusta, kafir, dan berbuat sesuatu yang tidak benar. Perbuatan tersebut akan mendapat celaan
dari manusia, dan sedikitpun tidak ada alasan untuk mengerjakannya. Menurut kaum Mu'tazilah,
prinsip yang dipakai dalam menentukan sesuatu itu baik ataupun buruk adalah akal manusia,
bukan syara'. Dengan demikian, sebelum datangnya rasul pun, manusia telah dikenakan
kewajiban melakukan perbuatan yang menurut akal mereka baik dan untuk itu mereka akan
diberi imbalan. Selain itu, mereka pun dituntut untuk meninggalkan perbuatan yang jelek
menurut akal mereka, dan bila dikerjakan mereka akan mendapat hukuman. Golongan Mu'tazilah
juga berpendapat bahwa syari'at yang ditetapkan kepada manusia merupakan sesuatu yang dapat
dicapai dengan akal, yakni bisa ditelusuri bahwa di dalarnnya ada unsur manfaat atau madarat.
Dengan demikian, sesuatu yang baik menurut akal adalah baik menurut syara’ dan manusia
dituntut untuk mengerjakannya. Sebaliknya, sesuatu yang jelek menurut akal adalah jelek
menurut syara', dan manusia dilarang mengerjakannya.

9
Ketiga, Maturidiyah. Golongan Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat di atas.
Mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu ada kalanya baik atau buruk pada
zatnya. Syara' menyuruh untuk mengerjakanperbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan
melarang melaksanakan perbuatan yang jelek pada zatnya. Adapun terhadap perkataan dan
perbuatan yang kebaikan dan keburukannya tidak pada zatnya, syara’ memiliki wewenang untuk
menetapkannya. Lebih jauh Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kebaikan atau kejelekan yang
didasarkan pada akal tidak wajib dikerjakan ataupun ditinggalkan. Seandainya dikerjakan pun
tidak akan mendapat pahala kalau sematamata hanya berdasarkan pada akal saja. Begitu pula
sebaliknya, bila mengerjakan suatu perbuatan yang dipandang buruk semata-mata oleh akal,
tidak akan mendapatkan hukuman. Menurut mereka, akal itu tidak berdiri sendiri, namun harus
dibarengi dengan nash. Dengan kata lain, walaupun akal mampu mengetahui bahwa suatu
perbuatan itu baik ataupun buruk, namun adanya pemberitaan dari kitab samawi atau penerangan
dari rasul menetapkan keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Begitupun halnya
dengan masalah imbalan dan hukuman. Oleh karena itu, Allah tidak wajib memerintahkan
kepada manusia untuk mengerjakan perkataan ataupun perbuatan yang baikmenurut akal. Dan
sebaliknya, Allah pun tidak wajib untuk memerintahkan manusia meninggalkan perbuatan yang
buruk menurut akal. Implikasi dari perbedaan pendapat mengenai peranan akal tersebut,
berkaitan pula dengan posisi akal dalam ijtihad, apakah akal bisa menjadi salah satu sumber
hukum Islam? Menurut ahlussunnah wa al-jamaah dan maturidiyah, akal tidak dapat secara
berdiri sendiri menjadi sumber hukum Islam. Namun diakui, bahwa akal berperan pentingdalam
menangkap maksud-maksud syara' untuk menetapkan suatu hukum, tetapi bukan menentukan
hukum. Sebagaimana pendapat Abu Zahrah, bahwa seluruh produk fiqih adalah hasil daya nalar
manusia yang tidak habis-habisnya sampai sekarang. Akan tetapi, daya nalar tersebut tidak
terlepas sama sekali, karena harus bersandar pada nash. Mu 'tazilah dan Syi 'ah Ja 'fariyah,
berpendapat bahwa akal merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunah.4

B. Mahkum Fihi/Bihi
1. Pengertian
‫ وهو من صدر عنه الحكم‬: ‫الحاكم‬

‫ وهو فعل المكلف الذي تعلق الحكم به‬: ‫والمحكوم فيه‬

“ Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkut dengan hukum syar’i”.

Dalam terminologi Ushul Fiqh, mahkum fih adalah objek hukum. Objek hukum dalam
kajian ini adalah fi’lul mukallaf atau perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah
syari' (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan,
memiliki suatu pekerjaan dan atau yang bersifat syarat, sebab halangan, azimah, rukhsah, sah
serta batal. Dengan demikian, fokus hukum Islam adalah perbuatan mukallaf.
4
Noor Harisudin, Ilmu Ushul Fiqih 1, 2014.

10
Menurut pendapat yang lain, Mahkum fih adalah Perbuatan seorang mukallaf yang terkait
dengan perintah syari‟ (Allah dan Rasul- Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan,
tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan,
adzimah, rukhsah, sah dan batal.5 Kemudian yang disebut mukallaf itu ialah orang yang sudah
terbebani atau pemikul beban perintah dan larangan dalam beragama. Sedangkan Taklif tuntutan
pelaksanaan beban tugas yang sudah ditentukan.

Dalam ayat 1 surat al- Maidah Allah berfirman:

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا َأْو ُفوا ِباْلُعُقوِد ُأِح َّلْت َلُك ْم َبِهيَم ُة اَأْلْنَعاِم ِإاَّل َم ا ُيْتَلى َع َلْيُك ْم َغ ْيَر ُم ِح ِّلي الَّصْيِد َو َأْنُتْم ُح ُر ٌم ِإَّن َهَّللا َيْح ُك ُم َم ا ُيِر يد‬

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah agad-agad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya." (QS. Al-Maidah/5: 1)

Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukalaf yaitu
perbuatan penyempurnaan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.

a. Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukalaf sehingga dengan
demikian suatu perbuatan, misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki
oleh Allah atau Rasul-Nya. Oleh karena itu, seperti dikemukakan Abd. Al-Wahab Khallaf, ayat-
ayat Al-Qur'an yang diturunkan secara global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan
dari Rasul- Nya. Misalnya, ayat Al-Qur'an yang mewajibkan shalat secara global tanpa merinci
syarat dan rukunnya, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan secara rinci dari Rasulullah.
Demikian pula ayat yang memerintahkan untuk melaksanakan haji, puasa dan zakat.

b. Diketahui secara pasti oleh orang mukalaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang
berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya
maka setiap upaya mencari pemecahan hukum, yang paling utama dilakukan adalah pembahasan
tentang validitas suatu dalil sebagai sumber hukum.

c. Perbuatan yang diperintahkan atau larangan haruslah berupa perbuatan yang dalam batas
kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya.hal itu disebabkan karena tujuan
dari suatu perintah atau larangan adalah untuk ditaati. Oleh karena itu, tidak mungkin ada dalam
Al-Qur'an dan Sunnah sebuah perintah yang mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh
manusia.6

Macam macam Mahkum Fih

Objek hukum atau perbuatan mukallaf itu terbagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu:

5
Harisudin.
6
Ushul Fiqh 1.

11
A. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang di kenai taklif, seperti
shalat dan puasa.
B. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif seperti
kewajiban membayar zakat.
C. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta dari pelaku taklif,
seperti kewajiban haji.7

Mahkum fih dari segi keberadaannya secara material

1) Perbuatan yg secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan
syarat, seperti makan dan minum.
2) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’ seperti
perzinahan, pencurian dan pembunuhan yang menyebabkan terjadinya hudud dan qisas.
3) Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi
rukun syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4) Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum
syara yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa menyewa.

Dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri, maka mahkum fih terbagi 4 bentuk.

1) Semata-mata hak Allah yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan
kemaslahatan umum tanpa kecuali. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan melakukan
pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini, terbagi 8 macam:
a) Ibadah Mahdah (murni), seperti Iman dan Rukun Islam yang lima.
b) Ibadah yang didalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti
zakat fitrah, karenanya disyaratkan niat dalam zakat fitrah dan kewajiban itu
berlaku untuk semua orang.
c) Bantuan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan
dari bumi.
d) Biaya yang mengandung makna hukum, seperti haraj (pajak bumi) yang dianggap
sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e) Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana seperti hukuman
berbuat zina (dera atau rajam), hukuman pencurian (potong tangan) dll.
f) Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang yang tidak diberi hak waris atau
wasiat, karena ia membunuh pemilik harta tersebut
g) Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafarat sumpah, kafarat orang
yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan.
h) Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta
terpendam dan harta rampasan perang.

7
Moh Badrudin, Ilmu Ushul Fiqh (AURA CV Anugrah Utama Raharja, 2019).

12
2) Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta
seseorang yang dirusak, hak-hak kepemilikian, hak-hak pemanfaatan harta. Hak seperti ini boleh
digugurkan oleh pemiliknya.

3) Kompromi antara hak Allah dengan hak Hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih Dominant,
seperti hukuman untuk tindak pidana qadsaf (menuduh orang lain berbuat zina). Dari sisi
kemashlahatan dan kehormatan, hak ini termasuk hak Allah, dan dari sisi menghilangkan malu
dari orang yang dituduh, hak ini termasuk hak pribadi (hamba Allah). Hak Allah lebih dominant.

4) Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominant seperti dalam
masalah qisas.8

2. Syarat Syarat Mahkum Fih


Terdapat beberapa syarat untuk absahnya sebuah taklif dalam perbuatan, diantaranya
adalah:

1. Perbuatan tersebut harus diketahui secara sempurna oleh seorang mukallaf sehingga tergambar
tujuan yang jelas dan mampu melaksanakannya

2. Perbuatan itu diketahui berasal dari dzat yang mempunyai kewenangan untuk memberikan
taklif. Sebab dengan pengetahuan ini seseorang akan mampu mengarahkan kehendak untuk
melaksanakannya. Yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah mengenai pengetahuan.
Pengetahuan yang dimaksud adalah imkan al-llm (kemungkinan untuk mengetahui) bukan
pengetahuan secara praktis. Artinya, ketika seorang itu telah mencapai taraf berakal dan mampu
memahami hukum-huum syar'i.

3.Perbuatan tersebut harus bersifat mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Mayoritas
ulama menyatakan bahwa taklif itu tidak sah jika berupa perbuatan yang mustahil untuk
dikerjakan, seperti mengharuskan untuk melaksanakan. dua hal yang saling bertentangan,
mewajibkan dan melarang dalam satu waktu.9

Sedangkan menurut pendapat Abdul Wahab Khallaf, Tidak semua manusia dikenai taklif atau
pembebanan hukum oleh Allah swt., melainkan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuan dapat tangkap
dengan jelas dan dapat dilaksanakan.

b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari
Allah swt.
8
Rusdaya Basri, Ushul Fikih 1 (IAIN Parepare Nusantara Press, 2019).
9
Ramli, Ushul Fiqh, 1 (Nuta Media, 2021).

13
c. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, terkait dengan hal ini terdapat
dengan beberapa syarat yaitu:

1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan.

2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama
orang lain.

3) Tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah
manusia.

4) Tercapainya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah, suci dalam masalah
shalat.10

Penjelasan lebih lengkapnya, Syarat sah nya taklif yang sah menurut syari’at sebagai berikut:

‫أولها – أن يكون معلومًا للمكلف علمًا تامًا حتى يستطيع المكلف القيام به كما طلب منه‬

‫ و ممن يجب على المكلف إتباع أحكامه ألنه بهذا‬.‫وثانيها – أن يكون معلومًا أن التكليف به صادر ممن له سلطان التكليف‬
‫العلم تتجه إرادته الى امتثاله‬

‫وهذا هو السبب في أن أول بحث في أي دليل شرعي هو حجيته على المكلفين أي أن األحكام التي يدل عليها أحكام واجب‬

‫ ويتفرع عن هذا الشرط‬. ‫ أو أن يكون في قدرة المكلف أن يفعله أو أن يكف عنه‬،‫وثالثها – أن يكون الفعل المكلف به ممكنًا‬
‫ أمران‬:

‫ سواء أكان مستحيال لذاته أم مستحيال لغيره‬، ‫أحدهما – أنه ال يصح شرعًا التكليف بالمستحيل‬.

‫ ألن فعل غيره أو كف غيره ليس‬، ‫وثانيها … أنه ال يصح شرعًا تكليف المكلف بأن يفعل غيره فعال أو يكف غيره عن فعل‬
‫ممكنا له‬11

Taklif itu memiliki tiga syarat yaitu:

Pertama, diketahui bahwa mukalaf itu mempunyai ilmu yang sempurna, sehingga mukallaf itu
sanggup melaksanakan menurut apa yang diminta kepadanya. Harus pula diperhatikan bahwa
yang dimaksud dengan ilmu mukallaf ialah apa-apa yang dipikulkan kepada mukallaf dan
dengan itulah dia mengetahuinya. Bukan mengetahuinya itu dengan perbuatan. Apabila orang itu
baligh dan berakal, dia sanggup mengetahui hukum-hukum syar’I dengan sendirinya atau
bertanya kepada orang-orang yang mengetahuinya, maka orang itu sudah dianggap orang yang
mengetahui tentang apa yang harus dipikulnya tanggung jawab tentang hukum. Dia harus

10
Badrudin, Ilmu Ushul Fiqh.
11
Syekh Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul Fikih,” Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang, 2012.

14
mematuhi hukum-hukum dan wajib melaksanakan perintah-perintah yang terdapat dalam hadits
Nabi SAW dan diterima udzur karena bodohnya mengatakan tidak tahu. Untuk ini fuqaha
mengatakan di Negara-negara Islam tidak diterima udzur bodoh alasan mengatakan tidak tahu
tentang hukum syar’i. Kalau sekiranya yang menjadi syarat taklif itu yaitu ilmu mukallaf, maka
perintah itu tidak akan jalan.

Kedua, hendaklah taklif itu bersumber dari orang yang memunyai kekuasaan taklif (paksaan).
Ketiga, perbuatan mukallaf itu adalah memungkinkan. Dalam hal ini si mukallaf itu sanggup
memperbuatnya atau menahan diri terhadap perbuatan itu. Dan yang menjadi ciri dari syarat ini
adalah :

- Tidak syah menurut syar’i, paksaan itu terhadap hal-hal yang mustahil.
- Tidak syah menurut syari’at memaksa si mukallaf mengerjakan lain dari pekerjaannya,
apa yang tidak sanggup dikerjakannya.

Dari syarat ketiga, yakni perbuatan taklif itu dapat dikerjakan, muncul persoalan masyaqqah
(kesulitan). Apakah boleh diterapkan taklif atau pembebanan terhadap amalan yang mengandung
masyaqqah? Dalam hal ini ulama membagi masyaqqah kepada dua macam :

b. Masyaqqah Mu’tadah (kesulitan yang biasa), y aitu berada pada kapasitas


manusia untuk melaksanakannya, artinya perbuatan tersebut dianggap mampu
untuk dilaksanakan, misal shalat, zakat, puasa, haji, dst bagi manusia tidak sulit
untuk dilakukan. Melaksanakan syari’ah punya hikmah Tersendiri, ibarat dokter
mengobati pasien dengan pil pahit untuk kesembuhan/ kebaikan pasien.

c. Masyaqqah Ghair Mu’tadah (kesulitan yang tidak biasa), yaitukesulitan di luar


kapasitas manusia, yakni jika ada perintah untuk melaksanakan perintah di luar
kapasitas manusia maka hal itu otomatis tidak mengandung kewajiban
melaksanakan bagi mukallaf. Misal, puasa sepanjang tahun, shalat sepanjang
malam, haji dengan jalan kaki, beribadah namun membahayakan keselamatan
jiwa.12

Seperti dikatakan Abu Zahra, bahwa masyaqqat yang diperintahkan bukan semata-mata
dimaksudkan untuk merealisasikan sebagai suatu ibadah. Karena tujuan agama Islam bukan
menyiksa jasmani untuk mensucikan rohani (jiwa). Masyaqqat tersebut diperintahkan semata-
mata untuk menolak bahaya yang lebih besar atau memperoleh manfaat yang agung. Dengan
begitu, tuntutan terhadap masyaqqat semata-mata untuk merealisasikan salah satu tujuan ajaran

12
Ushul Fiqh.

15
Islam. Pun, masyaqqat sesungguhnya adalah suatu sarana untuk mencapai tujuan agama Islam,
bukan tujuan itu sendiri.13

Syarat-syarat Pekerjaan yang di Taklifkan

Agar suatu perbuatan dapat ditaklifkan kepada mukallaf, maka dalam melaksanakannya
diperlukan beberapa syarat:

A. Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena mustahil suatu perintah
disangkutkan dengan yang mustahil seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan.
Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan
terwujud.
B. Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran bisa sanggup dilakukan
oleh orang yang menerima khitab itu.
C. Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang diberi tugas, baik secara
pribadi maupun bersama orang lain dengan jelas.
D. Mungkin dapat diketahui, oleh orang yang diberi tugas bahwa pekerjaan itu perintah Allah,
sehingga ia mengerjakannya mengikuti sebagaimana diperintahkan. Yang dimaksud dengan
yang diketahui disini ialah ada kemungkinan untuk dapat diketahui dengan jalan
memperhatikan dalil-dalil dan menggunakan nazar.
E. Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk menunjukkan
sikap taat. Kebanyakan ibadat masuk golongan ini, kecuali dua perkara yaitu:
1) Nazar yang menyampaikan kita pada suatu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakan
dengan qasad taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.
2) Pokok bagi iradat taat dan ikhlas, bagi yang taat dan ikhlas terhadap iradat mendapat
pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya terlaksana juga iradatnya itu.
Di samping syarat-syarat yang penting sebagaimana tersebut di atas,
bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut:

1. Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh
mukallaj atau mustahil dilakukan olehnya.

2. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa
pekerjaan itu tidak akan terjadi.

3. Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Di antara pekerjaan itu ada yang masuk dibawah
kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar dilaksanakan
ada dua yaitu:

1) Yang kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu
dilaksanakan.

13
Harisudin, Ilmu Ushul Fiqih 1.

16
2) Yang tingkatnya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya terasa
lebih berat dari pada yang biasa.

Para Ulama Usuli berpendapat bahwa umat manusia tidak dibebani di luar kemampuannya. Oleh
karena itu, mereka tidak dibebani perbuatan di luar kemampuan mereka. Dlam sebuah kaidah
dikatakan: la yajuzu taklifu ma la Yuthaaqu. Tidak boleh ada pembebanan sesuatu yang tidak
dimampui manusia. Ilustrasinya, seorang anak kecil umur Dua tahun pastilah tidak dapat
diperintah mengangkat satu Karung beras 25 kg karena yang demikian adalah sesuatu yang
berada di luar kemampuannya. Demikian halnya dalam fiqh: seseorang tidak dibebani hukum
yang berada di luar kemampuannya. Ada banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung prinsip dasar
ini, salah satunya:

‫ال ُيَك ِّلُف ُهَّللا َنْفًس ا ِإاَّل ُوْسَعَها‬

Artinya:‛ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya‛. (QS. al-
Baqarah: 286).

KESIMPULAN

Kata hakim merupakan orang yang memutuskan hukum pada sumber hukum yang bersumber
dari hukum Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW maupun hasil istinbath mujtahid melalui
berbagai teori istinbath, seperti qiyas, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap
hukum yang datang dari Allah SWT. Dari pandangan pengertian Tahsin dan Taqbih ‘Aqli
manusia dapat menentukan baik buruknya sesuatu dengan akalnya sebelum adanya
pemberitahuan kitab samawi dan rasul, maka akal tersebut tetap tidak dapat menentukan bahwa
yang baik itu wajib dikerjakan dan yang buruk itu wajib ditinggalkan Permasalahan imbalan dan

17
sıksa juga tidak dapat ditentukan oleh akal Sebelum adanya syari'at, seseorang yang tidak
mengerjakan yang baik, tidak dapat dikenakan sangsi dan sebaliknya yang mengerjakan sesuatu
yang buruk tidak pula dapat dikenakan sangsi berdasarkan pendapat akal semata tidak wajib bagi
Allah untuk memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu yang baik menurut akal. Relasi
‘aql dan hukum menurut Ahlussunnah Wa Al-jama'ah, akal tidak bisa dijadikan standar untuk
menentukan baik buruknya suatu perbuatan, Mu’tazilah berpendapat bahwa akal bisa
menentukan baik-buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya syara meskipun tanpa perantara
kitab samawi dan rasul, Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat yang berpendapat
bahwa perkataan atau perbuatan itu ada kalanya baik atau buruk pada zatnya. Syara' menyuruh
untuk mengerjakanperbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan
perbuatan yang jelek pada zatnya. Adapun terhadap perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan
keburukannya tidak pada zatnya, syara’ memiliki wewenang untuk menetapkannya. Pengertian
Mahkum fih adalah Perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari‟ (Allah dan
Rasul- Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan. Macam-macam
Mahkum fih ada 3 yaitu objek hukum atau perbuatan mukallaf, mahkum fih dari segi
keberadaannya secara material dan dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
Syarat-syarat Mahkum fih yang pertama syarat untuk absahnya sebuah taklif,dan kedua, tidak
semua manusia dikenai taklif atau pembebanan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Badrudin, Moh. Ilmu Ushul Fiqh. AURA CV Anugrah Utama Raharja, 2019.
Basri, Rusdaya. Ushul Fikih 1. IAIN Parepare Nusantara Press, 2019.
Harisudin, Noor. Ilmu Ushul Fiqih 1, 2014.
Iman, Nurul. “| Iman.” Muaddib : Studi Kependidikan dan Keislaman 4, no. 1 (April 29, 2016):
93–113.
Latip, Abdul. Ushul Fiqih dan Kaedah Ekonomi Syariah. Merdeka Kreasi Group, 2022.

18
Misbahuddin. Ushul Fiqh 1. 1. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2013.
Ramli. Ushul Fiqh. 1. Nuta Media, 2021.
Wahab Khalaf, Syekh Abdul. “Ilmu Ushul Fikih.” Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang, 2012.

19

Anda mungkin juga menyukai