Anda di halaman 1dari 120

Ushul Fiqhi

Dosen Pengampu: Abd. Kadir, M.Pd

Sudirman: 20.1.11.019
Risda Sofa: 20.1.11.021
Sitti Maryam: 20.1.11.025
Faridatun Nisa: 20.1.11.048
Ahyar Rosyidin: 20.1.11.034

PROGRAM STUDI PENDIDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SANGATTA
KUTAI TIMUR
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Ushul Fiqhi”

Tugas ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqhi. Dalam
penyusunannya, kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu
saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan


kelemahannya, baik dalam isi maupun sistematikanya. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan wawasan saya. Oleh sebab itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.

Akhirnya, kami mengharapkan semoga makalah ini dapat memberikan


manfaat, khususnya bagi diri saya dan umumnya bagi pembaca.

Sangatta, 09 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Cover

Kata pengantar ......................................................................................................i

Daftar isi ................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Visi, Misi dan Tujuan Perkuliahan ...............................................................1


B. Pengertian ushul Fiqhi .................................................................................1
C. Objek Kajian ushul Fiqhi …………………………………….……………2
D. Sejarah Perkembangan ushul Fiqhi ………………………….…………….2

BAB II PEMBAGIAN HUKUM WAD’I DAN TAKLIFI

A. Pengertian …….…………………………………………….……………..6
B. Pembagian ………………………………………………….……………..6

BAB III SUMBER HUKUM ISLAM (I)

A. Al-Qur’an …………………………………………………..……………..9
B. As-Sunnah ………………………………………………..……………...12

BAB IV SUMBER HUKUM ISLAM (II)

A. Ijma’ ……………………………………………………..………………16
B. Qiyas …………………………………………………...………………..18

BAB V METODOLOGI HUKUM ISLAM (I)

A. Ijtihad ………………………………………………...…………………..21
B. Istihsah …………………………………………………………………...27
C. Istislah …………………………………………………………...………29
D. Istishhab ……………………………………………………………...….34

BAB VI METODOLOGI HUKUM ISLAM (II)

A. Al’uruf …………………………………………………………...…...…39
B. Syar’u Man Qoblana …………………………………………………….44
C. Al-dzar’ah ……………………………………………………………….46
D. Mazhab Sahabat ……………………………...………………………….49

ii
BAB VII KAIDAH USHULIYAH (I)

A. Amr dan Nahi ………………………….…………………………………53


B. Am dan Khas …………………………………………………………….64
C. Mujmal dan Mubayyan ………………………………………………….72

BAB VIII KAIDAH USHULIYAH (II)

A. Mutlaq dan Muqayyad …………………………………………………...77


B. Mantuq dan Mafhun ……………………………………………………..79
C. Muradif dan Musytarak ….………………………………………………87
D. Nasikh dan Mansukh ………………….…………………………………94

BAB IX KAIDAH FIQIYAH ASAIYAH

A. Niat dan Tujuan ……………………………….………………………..103


B. Keyakinan ……………………………………………………………...103
C. Kondisi Menyulitkan …………………………………………………..104
D. Kondisi Membahayakan ..……………………………………………...105

BAB X PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………….107
B. Saran …………………………..……………………………………….114

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………115

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Visi, Misi, dan Tujuan Perkuliahan


1. Visi
Sebagai hamba Allah yang beriman, sudah selayaknya kita mengerti
dan melaksanakan apa yang Allah kehendaki, sekaligus menjauhi apa
yang tidak diridhoi Allah. Untuk mengetahui dan melaksanakan
kehendak Allah kita harus mengetahui hukum Islam yang telah ada.
Namun, hukum Islam menghadapi tantangan lebih serius, terutama pada
abad kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Misi
Untuk menjawab berbagai permasalahan baru yang berhubungan
dengan hukum Islam, para ahli yang sudah tidak bisa lagi sepenuhnya
mengandalkan ilmu tentang fiqih, hasil ijtihad di masa lampau.
Alasannya, karena ternyata warisan fiqih yang terdapat dalam buku-
buku klasik, bukan saja terbatas kemampuannya dalam menjangkau
masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya. Oleh karena itu,
umat Islam perlu mengadakan penyegaran kembali terhadap warisan
fiqih.
3. Tujuan Perkuliahan
Selesai mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan
mengetahui: Pengertian Ushul Fiqih, Objek Pembahasan Ushul Fiqih,
Sejarah Perkembangan Ushul Fiqhi, Pembagian Serta Pengertian
Hukum Wadh’I dan Taklifi, Sumber - Sumber Hukum Islam,
Metodologi Hukum Islam, Kaidah – Kaidah Ushuliyah, dan Kaidah –
Kaidah Fiqiyah Asasiyah.

B. Pengertian Ushul Fiqhi


Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang
digariskan dalam Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh). Menurut aslinya kata
"Ushûl al-Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab " yang berarti
asal-Ushul Fikih. Maksudnya, pengetahuan Fikih itu lahir melalui proses
pembahasan yang digariskan dalam Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh).

Menurut Istilah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fikih (Ushûl
al-Fiqh) ini, Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) itu ialah, suatu ilmu yang
membicarakan berbagai ketentuan dan kaedah yang dapat digunakan dalam
menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam
pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil
bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hokum dengan
memergunakan dalil ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasul yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum
Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula

1
peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat
ditentukan hukum atau statusnya dengan memergunakan dalil.

C. Objek Kajian Ushul Fiqhi


Yang menjadi objek utama dalam pembahasan Ushul Fikih (Ushûl
al-Fiqh) ialah al-Adillah asy-Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan
sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian
dan kedudukannya dalam hukum al- Adillah asy-Syar'iyyah itu dilengkapi
dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan
memergunakan masing-masing dalil itu.
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan
ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) ini meliputi:
1. Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya,
seperti hakim, mahkumfih, dan mahkum alaih.
2. Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum.
3. Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber
dalil itu.
4. Pembahasan tentang ijtihad.
Meskipun yang menjadi objek bahasan ushul fiqh ada 4, namun
wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa yang menjadi inti objek kajian ushul
Fiqh adalah tentang dua hal yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-
ahkam (hukum-hukum syara’) yang menjadi objek bahasan ushul fiqh
adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya
dengan penetapan sebuah hukum dan sebaliknya segi sebagaimana tetapnya
suatu hukum dengan dalil.

D. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqhi


Sumber hukum pada masa Rasulullah s.a.w. hanyalah al-Quran dan
as-Sunnah (al-Hadîts). Dalam pada itu kita temui diantara sunnah-
sunnahnya ada yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad.
Misalnya, beliau melakukan qiyâs terhadap peristiwa yang dialami oleh
Umar ibn al-Khaththab r.a., sebagai berikut.
"Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang
besar; saya mencium isteri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka
Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya: Bagaimana pendapatmu,
seandainya kamu berkumur-kumur dengan air dikala kamu sedang
berpuasa? Lalu saya jawab: tidak apa-apa dengan yang demikian itu.
Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa!”.
Pada Hadits di atas Rasulullah s.a.w. menetapkan tidak batal puasa
seseorang karena mencium isterinya dengan mengqiyâskan kepada tidak
batal puasa seseorang karena berkumur-kumur.
Diterangkan oleh Muhammad Ali as-Sayis, bahwa Hadits tersebut
menunjukkan kepada kita adanya pilihan Rasulullah s.a.w. terhadap salah
satu urusan, karena untuk menjaga kemaslahatan umatnya. Seandainya
beliau tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, hal itu tidak akan terjadi.
Dalam hal itu, dari penelitian sebagian ulama terhadap berbagai peristiwa

2
hidup Rasulullah s.a.w., berkesimpulan bahwa beliau bisa melakukan
ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu,
terutama dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan
hukum. Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri:
"Sungguh saya memberi keputusan diantara kamu tidak lain dengan
pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu) kepadaku”.
Rasulullah s.a.w. adalah seorang manusia juga sebagaimana
manusia yang lain pada umumnya maka hasil ijtihadnya bisa benar dan bisa
salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda:
"Saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang
saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar; dan segala
yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga
seorang manusia, bisa benar danbisa salah.."
Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah, Allah menurunkan
wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan
kepada yang benar.
Jika terhadap hasil ijtihad Rasulullah s.a.w. tersebut, tidak
diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang
benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk
ke dalam kandungan pengertian as-Sunnah (al-Hadits).
Kegiatan ijtihad pada masa ini, bukan saja dilakukan oleh beliau
sendiri, melainkan beliau juga memberi ijin kepada para sahabatnya untuk
melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau dalam
menghadapi suatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dalam al-
Quran dan as-Sunnah, sebagaimana yang terjadi ketika beliau mengutus
Mu'adz bin Jabal ke Yaman, yang diterangkan dalam Hadits sebagai
berikut:
"(Rasulullah s.a.w. bertanya): Bagaimana cara kamu memutusi jika
datang kepadamu suatu perkara? Ia menjawab: Saya putusi dengan
(hukum) yang terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya: Jika tidak kamu
dapati (hukum itu) dalam kitah Allah? Ia menjawab : Maka dengan Sunnah
Rasulullah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati dalam Sunnah
Rasulullah juga dalam kitab Allah? Ia menjawab : Saya akan berijtihad
dengan pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah s.a.w.
menepuk dadanyadan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik kepada utusan Rasulullah s.a.w. yang diridhai oleh Rasulullah.”
(H.R Abu Dawud)
Bahkan beliau pernah memerintahkan 'Amr bin 'Ash untuk memberi
keputusan terhadap suatu perkara, padahal beliau di hadapannya. Atas
perintah itu, lalu 'Amr bertanya kepada beliau: Bahkan beliau pernah
memerintahkan 'Amr bin 'Ash untuk memberi keputusan terhadap suatu
perkara, padahal beliau di hadapannya. Atas perintah itu, lalu 'Amr bertanya
kepada beliau:
"Apakah Aku (pantas) berijtihad pada saat engkau ada ya
Rasulullah? Dia (Rasulullah s.a.w.) bersabda: Jika engkau benar, maka

3
engkau akan mendapatkan dua pahala, dan jiha engkau salah, maka engkau
akan mendapatkan satu pahala.” (Hadits Riwayat Al-Haitsami).
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.,
demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah s.a.w. masih
hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang
digunakannya, sekali pun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaedah-
kaedah (aturan-aturan)nya; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul
Fikih (Ushûl al-Fiqh) ; karena pada masa Rasulullah s.a.w., demikian pula
pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaedah-kaedah dalam
berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah s.a.w. dan pada masa
sahabat telah terjadi praktik berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu
tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul
Fikih (Ushûl al-Fiqh) karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan
adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah s.a.w. mengetahui cara-cara
nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung,
sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaedah-kaedah dalam
berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbâb an-nuzûl)
ayat-ayat al-Quran, sebab-sebab datang (asbâb an-nuzûl) al-Hadits,
memunyai ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-
dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka
memunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka
sendiri (Arab) yang juga bahasa al-Quran dan as-Sunnah. Dengan
pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa
membutuhkan adanya kaedah-kaedah.
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar
abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin
luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan
bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan
kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang
bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-
daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama
Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan
semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak
didapati ketetapan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah. Untuk itu
para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan
hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan
karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang
berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga
mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi
perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil
dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut,
bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga
antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.

4
Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk
menyusun kaedah-kaedah syari'ah yakni kaedah-kaedah yang bertalian
dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam
berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan
banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam.
Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat
terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik
berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan
maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit
menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami
nash-nash syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaedah-
kaedah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara'
sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau
datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaedah-kaedah syar'iyah dan kaedah-kaedah
lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah
Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh).
Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali
menyusun kitab Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) ialah Imam Abu Yusuf -
murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada
kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang
pertama kali membukukan kaedah-kaedah Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-
Fiqh) dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-
Syafi’i (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan
kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh)
yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para
ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh).
Pembahasan tentang Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) ini,
kemudian dilanjutkan oleh para ulama generasi selanjutnya.

5
BAB II
PEMBAGIAN HUKUM WAD’I DAN TAKLIFI

A. Pengertian
Hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian:
1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah suatu hukum yang memerintahkan atau
melarang sesuatu atau pemberian pilihan untuk melakukan sesuatu atau
tidak.Hukum taklifi terdiri dari wajib, mandub, mubah, makruh, dan
haram.
2. Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’I adalah suatu hukum yang terkait dengan
pelaksanaan hukum taklifi.Hukum wadh’I terdiri dari sebab, syarat,
maani’, sah dan batal, ‘azimah dan rukhshah. Hukum islam sendiri
diperuntukkan untuk mukallaf sebagai subjek. Subjek hukum islam
dinamakan mahkum ‘alaih. Dan semua yang berkaitan langsung dengan
hukum Islam dinamakan mahkum fiih.Dengan begitu, mahkum fiih
adalah perbuatan dari pelaksanaan hukum Islam sendiri.
B. Pembagian
1. Hukum Taklifi
berdasarkan jumhur ulama’ hukum taklifi dilihat dari benruk
tuntutannya dapat dibedakan menjdi:
a. Perintah melakukan perbuatan secara tegas dan pasti atau biasa
disebut ijab, perbuatannya disebut dengan wajib dan pengaruh
perbuatannya disebut wujud. Hukum yang bersifat wajib yaitu
perbuatan yang menghasilkan pahala bagi yang melakukan dan
menghasilkan dosa bagi yang tidak melakukan atau melanggarnya.
Sebagai contoh, perintah mengerjakan sholat wajib lima waktu.
b. Perintah melakukan perbuatan yang dilakukan secara tidak tegas dan
pasti atau disebut dengan nadab. Perbuatannya disebut dengan
mandubatau sunah atau mustahab. Dan pengaruh perbuatannya
disebut dengan nadab juga. Perkara yang mandub ini merupakan
perkara yang tidak mengikat sehingga pelakunya akan mendapat
pahala sedangkan pelanggar perbuatannya juga tidak mendapat apa-
apa.
c. Perintah menghindari suatu pebuatan yang dilakukan secara tegas
dan pastiatau biasa disebut tahrim. Perbuatannya disebut haram dan
pengaruh perbuatannya disebut hurmah. Perkara yang haram
menimbulkan dosa bagi pelakunya dan menimbulkan pahala bagi
yang menjauhinya.
d. Perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan tetapi tuntutan
tersebut tidak bersifat pasti dan tegas. Perkara ini biasa disebut
dengan karahah, pengaruh perbuatannya juga disebut karahah,
sedangkan perbuatannya disebut makruh.

6
e. Perkara yang oleh Allah tidak diperintahkan untuk dilaksanakan dan
tidak pula dilarang untuk melaksanakannya. Perkara seperti ini
disebut dengan ibahah, pengaruh perbuatannya juga disebut dengan
ibahah, dan pebuatannya disebut dengan mubah. Perbuatan ini tidak
menimbulkan pahala ataupun dosa bagi pelakunya.

2. Hukum Wadh’I
Yang disebut dengan hukum wadh’i merupakan segala hal yang
terkait dengan pelaksanaan hukum taklifi.Sehingga dapat dikatakan
bahwa hukum wadh’i tidak berhubungan langsung dengan tuntutan
Allah (hukum taklifi) melainkan terkait dengan pelaksanaannya baik
mencakup sebab, syarat, maani’, sah dan batal.Dan beberapa ulama’
ushul fiqh memasukkan rukhshah dan ‘azimah kedalam pembahasan
hukum wadh’i. Hukum wadh’I dapat timbul ketika ada keterikatan
antara dua subjek. Dua subjek tersebut antara lain sebab-musabbab,
syarat-yang memerlukan syaratkan, mani’-mamnu’, dan ‘azimah-
rukhshah.
a. Sebab
Yang disebut dengan sebab adalah segala sesuatu yang menjadikan
ada atau tidaknya suatu hokum. Ulama membedakan sebab ini
menjadi beberapa bagian:
1.) Illat
yaitu alasan yang mengakibatkan adanya hukum taklifi. Sebagai
contoh, illat diharamkannya khamr adalah memabukkan.
2.) Sebab
yaitu tanda atau tolak ukur atau waktu pelaksanaan hukum
taklifi. Sebagai contoh, datangnya Idul Fitri ditandai dengan
kemunculan hilal.
b. Syarat
Yang disebut dengan syarat adalah sesuatu yang keberadaanya tidak
selalu menimbulkan hukum. Jadi, syarat dan sebab dapat dikatakan
sama. Yaitu sama-sama menimbulkan hukum, tapi syarat tidak dapat
selalu menimbulkan hukum.Sebagai contoh, terlihatnya hilal
merupakan sebab datangnya Idul fitri tapi setelah melaksanakan
wudlu seseorang belum dikatakan bahwa sholatnya sah karena untuk
melaksanakan sholat juga harus menghadap kiblat. Dari segi
peletakan syarat itu sendiri dibedakan menjadi:
1.) Rukun
Segala sesuatu yang dipenuhi saat melaksanakan suatu hukum
atau masuk dalam rangkaian hukum tersebut. Sebagai contoh,
membaca Surat Al-Faatikhakh dalam sholat.
2.) Syarat
Segala sesuatu yang dipenuhi sebelum melaksanakan suatu
hukum dan dilakukan diluar pelaksanaan hukum tersebut.
Sebagai contoh, pelaksanakan wudlu sebelum sholat.

7
c. Maani
Maani’ didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat
menghilangkan suatu hukum atau menjadikan hukum tersebut batal.
Maani’ dapat dibedakan menjadi:
1.) Maani’ terhadap hukum. Yaitu adanya penghalang yang
menyebabkan batalnya hukum. Sebagai contoh, terhalangnya
perolehan waris karena pewaris berbeda agama dengan ahli
waris.
2.) Maani’ terhadap sebab hukum. Yaitu adanya penghalang yang
menjadikan gugurnya sebab hukum sehingga berdampak pula
pada batalnya hukum. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki
harta senisab tetapi tidak memiliki kewajiban berzakat karena
hutang yang mengurangi nisab tersebut.
d. Sah dan batal
Sah dan batal merupakan hasil pelaksanaan hukum taklifi yang
dikaitkan dengan hukum wad’i. Manakala dalam melaksanakan
hukum taklifi, hukum wad’Inya telah dipenuhi atau tidak terdapat
maani’ maka pelaksanaan hukum taklifi tersebut dihukumi sah.
Sebaliknya apabila dalam melaksanakan hukum taklifi, hukum
wadh’inya tidak dipenuhi seluruhnya atau adanya maani’ maka
pelaksanaan hukum taklifi tersebut dihukumi batal.
e. ‘Azimah dan Rukhshah
Istilah ‘azimah diartikan sebagai sesuatu yang berlaku secara umum
tanpa melihat situasi dan kondisi.Sebagai contoh, kewajiban sholat
bagi seluruh mukallaf.Sedangkan rukhshah diartikan sebagai sesuatu
yang menimbulkan adanya pengecualian dikarenakan suatu udzur
tertentu.Sebagai contoh, kebolehan mengqashar sholat bagi
musafir.Adanya rukhshah ini dilatarbelakangi oleh kaidah “kesulitan
menyebabkan adanya kemudahan”.‘azimah dan rukhshah berkaitan
dengan hukum taklifi dan hukum wadh’i berdasarkan kesesuaian
pelaksanaanya dan dalil awal yang berkaitan dengannya. Bentuk-
bentuk rukhshah diantaranya:
1.) Adanya pembatalan kewajiban. Contoh, kebolehan tidak
melaksanakan sholat jum’at bagi lelaki yang sakit.
2.) Adanya pengurangan kewajiban. Contoh, kebolehan
mengqashar sholat.
3.) Kebolehan mengganti kewajiban. Contoh, kebolehan mengganti
puasanya orang tua dengan fidyah.
4.) Penangguhan kewajiban. Contoh, sholat jama’ takhir.
5.) Pendahuluan pelaksanaan kewajiban. Contoh, sholat jama’
taqdim.

8
BAB III
SUMBER HUKUM ISLAM (I)

A. ALQURAN

Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam. Al-Qur’an adalah firman


Allah SWT yang. Diturunkan kepada Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬secara berangsur-
angsur melalui malaikat Jibril. Al- Qur’an menggunakan bahasa Arab
dengan makna yang benar sebagai hujah bagi Rasulullah ‫ ﷺ‬dan dijadikan
sebagai pedoman hukum bagi seluruh umat manusia disamping merupakan
amal ibadah bagi yang membacanya. Al-Qur’an pertama kali diturunkan di
Mekkah tepatnya di Gua Hira pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M dan
berakhir di Madinah pada tahun 633 M dalam rentang waktu 22 tahun.
Telah kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci
umat Islam dan merupakan pedoman hidup yang abadi. Dikatakan abadi
karena kemurniannya sejak diturunkan sampai di akhir zaman senantiasa
terpelihara.
Allah SWT menjamin pasti kemurnian Al-Qur’an, seperti dalam
firmannya.

٩ َ‫إِنَّا ن َۡحن ن ََّز ۡلنَا ٱلذ ِۡك َر َوإِنَّا لَهۥ َل َٰ َح ِفظون‬

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya


kami benar-benar menjaganya”. (QS. Al-Hijr: 15: 9).

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup yang pertama dan utama bagi


umat Islam. Pada masa Rasulullah ‫ ﷺ‬setiap persoalan solusinya selalu
dikembalikan kepada Al-Qur’an. Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri dalam perilakunya
sehari-hari selalu mengacu pada al-Qur’an. Oleh karena itu kita sebagai
seorang muslim kita harus menggunakan al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

Seperti dalam firman-Nya,

َ ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن َٰٓوا أ َ ِطيعوا ٱللَّهَ َو َرسولَهۥ َو َل ت ََولَّ ۡوا‬
٠٢ َ‫ع ۡنه َوأَنت ۡم ت َۡس َمعون‬

“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan


janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar
(perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal: 8: 20)

9
Ayat tersebut mengandung dua perintah yang pertama adalah
perintah untuk taat kepada Allah SWT, taat berarti kita harus menjalankan
smua perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangannya.

Dan perintah-perintah Allah itu ada dalam Al-Qur’an, jadi kalau kita
taat kepada Allah kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada
dalam Al-Qur’an. Perintah yang kedua adalah taat kepada Rasulullah ‫ﷺ‬,
artinya kita harus taat kepada Sunnah dan hadits-haditsnya. Baik perintah
maupun larangannya.

1. Kehujahan Al-Qur’an
Alasan yang dapat dipertanggung jawabkan bahwa Al-Qur’an
merupakan hujah dan hukum-hukumnya dijadikan sebagai undang-undang
yang harus diikuti dan ditaati oleh manusia, dimana Al-Qur’an diturunkan
dari Allah SWT dan disampaikan kepada manusia dengan jalan yang
pasti (qoth’i) sehingga tidak terdapat keraguan karena tidak ada campur
tangan manusia di dalamnya.
Hal inilah yang mengartikan bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar
sepanjang masa. Banyak argumentasi yang menunjukkan bahwa Al Qur’an
itu datang dari Allah SWT dan merupakan mukjizat yang mampu
menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang
menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al Qur’an
adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para
ahli syi’ir orang arab atau siapapun.
Walid bin Mughirah berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an itu
terdapat sesuatu yang lezat, dan pula keindahan, apabila dibawah
menyuburkan dan apabila di atas manghasilakn buah. Dan manusia tidak
akan mungkin mampu berucap seperti Al Qur’an”
2. Fungsi dari Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam
Fungsi dari Al-Qur’an sebagai petunjuk, penjelas, pembeda dan obat.
a. Al-Qur’an sebagai petunjuk artinya al-Qur’an merupakan suatu aturan
yang harus diikuti, layaknya sebuah papan jalan yang ada pada jalan-
jalan. Seseorang yang tidak mengetahui jalan, jika ia mengabaikan
petujuk jalan itu dan dan berjalan tidak sesuai dengan petunjuknya sudah

10
pastilah orang tersebut akan tersesat. Sama seperti orang hidup di dunia
ini, jika ia mengabaikan petunjuk dari Allah SWT maka pastilah jalannya
akan tersesat.
b. Al-Qur’an sebagai penjelas artinya di dalam al-Qur’an sudah dijelaskan
tentang segala sesuatu yang ditanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya
al-Qur’an harus dijadikan rujukan dari semua peraturan yang dibuat oleh
manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri tanpa ada
dasar-dasarnya dari al-Qur’an.
c. Al-Qur’an sebagai pembeda, maksudnya sebagai pembeda antara yang
benar dan salah. Kita bisa mengetahui suatu hal apakah itu benar atau
salah dari al-Qur’an. Selain itu juga pembeda antar muslim dan luar
muslim, antar nilai yang diyakini benar oleh orang mukmin dan nilai
yang dipegang oleh orang-orang kufur.
d. Al-Qur’an sebagai obat. Ibarat resep dari seorang dokter, pasien sering
sulit untuk membacanya bahkan memahaminya. Tetapi seorang pasien
percaya bahwa resep tersebut tidak mungkin salah karena dokter diyakini
tidak mungkin berbohong. Sama seperti halnya dengan Al-
Qur’an, sebagai resep yang diberikan oleh Allah SWT dan sudah pasti
resep tersebut tidak mungkin salah karena Allah Maha Mengetahui dan
Penyembuh.

11
B. As Sunnah
Hukum Islam yang selanjutnya yatitu As Sunnah. As Sunnah adalah
perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan / persetujuan / diamnya)
Rasulullah ‫ ﷺ‬terhadap sesuatu hal / perbuatan seorang sahabat yang
diketahuimya.
Sunnah merupakan sumber syari’at Islam yang nilai kebenarannya sama
dengan Al Qur’an, karena sebenarnya As Sunnah juga berasal dari wahyu. Al
Qur’an telah menegaskan bahwa selain dari Al Qur’an, Rasulullah SAW juga
menerima wahyu yang lain, yaitu ‘Al Hikmah’ yang pengertiannya sama
dengan As Sunnah, baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan (diamnya).
Jadi, As Sunnah juga dianggap sebagai sumber hukum / syariat Islam
bersifat pasti (qoth’i) kebenaranya; sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum
primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal
atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, Al-Qur’an
membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali.
Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-
Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
1. Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum
As Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin)
yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus
percaya bahwa As Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Di dalam
Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
a. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah SWT dan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬.
(Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, An-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, Al-
Mujadalah: 13, An-Nur: 54, Al-Maidah: 92).
b. Orang yang menyalahi As Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal:
13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
c. Berhukum terhadap As Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-
Nisa: 65).
2. Fungsi Sunnah tehadap Al Qur’an
Berikut ini ada lima (5) fungsi As Sunnah terhadap Al Qur’an adalah
sebagai berikut ini:

12
a. Menguraikan Keumuman (Mujmal) Al Qur’an
Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah /
penunjukannya), yaitu dalil yang belum jelas maksud dan perinciannya.
Misalnya perintah sholat, membayar zakat, dan menunaikan haji. Al
Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara
pelaksanaan sholat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain
yang berkaitan dengan sholat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang
lain.Imam Ibnu Hazm, seorang ulama besar Andalusia pada masa
Abbasiyah menjelaskan : “Sesuatu di dalam Al Qur’an terdapat
ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, maka kita
mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini rujukan kita hanya kepada
Sunnah Nabi ‫ﷺ‬. Adapun ijma’ hanya terdapat dalam kasus – kasus
tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib
kembali kepada Sunnah.”
b. Pengkhususan Keumuman Al Qur’an
Umum (‘Aam) adalah lafadz yang mencakup segala makna yang pantas
dengan satu ucapan saja. . Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam),
‘ar rijaalu’ (orang-orang lakilaki), dll. Dalam hadis sahih disebutkan,
”Kami para nabi tidak mewariskan (harta). Apa yang kami tinggalkan
menjadi sedekah.” (HR Bukhari). Ini untuk mengkhususkan ayat Al
Qur’an tentang waris, “Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan ... .” (QS. An-
Nisa’: 11)
c. Taqyid (Pen-syaratan) terhadap Ayat Al Qur’an yang Mutlak
Mutlak ialah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada
suatu jenis, misalnya lafadz budak, mu’min, kafir, dan lain-lain. Di
dalam Al Qur’an banyak di jumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa
memberi persyaratan). Misalnya : “Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan
(keduanya).” (QS Al Maidah:38).
Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun
kecil). Kemudian As Sunnah memberikan persyaratan nilai barang
curian itu sebanyak seperempat dinar emas keatas.
Sabda Rasulullah SAW : “Potonglah dalam pencurian seharga
seperempat dinar dan janganlah dipotong yang kurang dari itu”. (HR
Ahmad).
Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi pencuri
(sebagaimana QS Al-Maidah: 38), yaitu pada pergelangan tangan dan
bukan dari tempat lainnya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah
SAW.

13
d. Pelengkap Keterangan Sebagian dari Hukum-Hukum
Peranan As Sunnah yang lain adalah untuk memperkuat dan
menetapkan apa yang telah tercantum dalam Al Qur’an, disamping
melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang asalnya dari Al
Qur’an. Penegasan Al Qur’an tentang haramnya memperistri dua orang
saudara sekaligus. “(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam
perkawinan) dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau.” (Qs. An Nisaa’: 23)
Dalam ayat tersebut tidak disebutkan tentang haramnya seseorang
mengumpulkan (memadu) seorang wanita saudara ibu (bibi) dengan
anak perempuan dari saudara laki-laki istri (kemenakan). As Sunnah
menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi ‫ ﷺ‬:
“Tidak boleh seseorang memadu wanita dengan ‘ammah (saudara
bapaknya, bibi), atau dengan saudara ibu (khala) atau anak perempuan
dari saudara perempuannya (kemenakan) dan tidak boleh memadu
dengan anak perempuan saudara laki-lakinya, sebab kalau itu kalian
lakukan, akan memutuskan tali persaudaraan.”(HR An-Nasa’i dan Ibnu
Majah).
e. As Sunnah menetapkan Hukum-Hukum Baru yang Tidak Terdapat
dalam Al Qur’an Sunnah juga berfungsi menetapkan hukum-hukum
yang baru, yang tidak ditemukan dalam Al Qur’an dan bukan merupakan
penjabaran dari nash yang sudah ada dalam Al-Qur’an, akan tetapi
merupakan aturan-aturan baru yang hanya terdapat dalam
sunnah. Misalnya, diharamkannya ‘keledai jinak’ untuk
dimakan (peristiwa saat belum dibagi ghanimah), setiap binatang yang
bertaring dan setiap burung yang bercakar.
3. Kehujahan As Sunnah
Tidak berbeda dengan Al Qur’an, As Sunnah juga berasal dari wahyu Allah
yang diturunkan kepada manusia melalui Rasulullah ‫ﷺ‬. Hanya saja ada
perbedaan antara Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu dari segi lafadznya.
Dalam hal ini lafadz (redaksi bahasa) As Sunnah berasal dari
Rasulullah ‫ ﷺ‬sedangkan Al Qur’an lafadznya langsung dari Allah SWT.
Dari segi riwayat dan kekuatan dalil, As Sunnah dibagi ke dalam dua bagian,
yaitu :
a. Mutawatir
Hadits Mutawatir adalah suatu hadits yang disampaikan oleh para
sahabat, tabi’in dan tabiit tabi’in dengan jumlah tertentu dalam setiap
thabaqat-nya (generasi). Dalam setiap thabaqat tersebut, periwayat yang
membawanya haruslah mempunyai syarat-syarat yang tidak
memungkinkan mereka untuk berdusta. Sifat dari hadits Mutawatir ini
adalah qath’i (pasti) yang artinya tidak ada keraguan di dalamnya.

14
b. Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir pada
tiga thabaqat. Hadits ahad ini dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok
berdasarkan jumlah perawi dan kualitas perawi. Dari segi jumlah perawi
hadits ahad dibagi menjadi gharib (satu orang), aziz (dua orang), dan
mashyur (tiga orang atau lebih). Sedangkan dari segi kualitas perawi,
hadits ahad dibagi menjadi shahih, hasan dan dhaif.

15
BAB IV
SUMBER HUKUM ISLAM (II)

A. Ijma’

Pengertian Ijma’ Menurut bahasa:


1. Bermaksud atau berniat
Sesuai dengan QS Yunus : 71 yang berarti: Dan bacakanlah kepada mereka
berita tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya. “hai kaumku, jika
terasa berat bagimu tinggal bersamaku dan peringatanku kepadamu dengan
ayat-ayat Allah, maka kepada Allah lah aku bertawakal, karena itu
bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu untuk
membinasakannya. Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Lalu
lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti
jalan yang Beliau tempuh. Dan hadis Rasulullah SAW yang artinya, “barang
siapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak
sah.”
2. Kesepakatan terhadap sesuatu
Suatu kaum dikatakan telah berijma’ bila mereka bersepakatan terhadap
sesuatu sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Yusuf ayat 15, yang
menerangkan keadaan saudara-saudara Yusuf as. Adapun perbedaan antara
kedua arti diatas adalah, pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak,
sedangkan yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena
tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.

Menurut istilah: Para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’
menurut istilah diantaranya:
1. Pengarang kitab fushulul bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah
kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW. dalam suatu
masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
2. Pengarang kitab tahrir, Al Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah
kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap
masalah syara’. Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada
suatu masa setelah wafatnya Rasul SAW. atas sesuatu hukum syara’ dalam suatu kasus
tertentu.

Beberapa pengertian tentang ijma’


1. Terdapat beberapa orang mujtahid karena kesepakatan baru bias terjadi apabila
ada beberapa mujtahid.
2. Harus ada kesepakatan diantara mereka.
3. Kebulatan pendapat harus tampak nyata, baik dengan perbuatannya, misalnya,
Qodli dengan keputusannya atau dengan perkataannya, misalnya dengan
fatwanya.
4. Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid tidaklah disebut ijma’

16
Macam-Macam Ijma’
Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma’, maka ijma bisa
dibagi kepada beberapa bagian:
1. Ijma’ al-ummat.
2. Ijmaush sahabat yaitu persesuaian paham segala ulama sahabat terhadap
sesuatu urusan.
3. Ijma’ Ahl al-Madinah yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahli Madinah
terhadap sesuatu kasus. Ijma’ ini bagi Imam Malik adalah hujjah.
4. Ijma’ Ahl al-kufah, ijma’ ini dianggap hujjah bagi Imam Hanifah.
5. Ijma’ al-Khulafa’ al-Arba’ah.
6. Ijma’ al Syaykhayni yaitu persesuaian paham Abu Bakar dan Umar dalam
suatu hukum.
7. Ijma’ al-itrah yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahli Bait.

Ditinjau dari cara terjadinya dan martabatnya ijma dibagi menjadi:


1. Ijma’ al-sharih
Yaitu ijma’ dengan tegas persetujuan dinyatakan baik dengan ucapan maupun
dengan perbuatan.
2. Ijma’ Sukuti
Yaitu ijma’ yang dengan tegas persetujuan dinyatakan oleh sebagian mujtahid,
sedang sebagian lainnya diam, tidak jelas apakah mereka menyetujui atau menentang.
Ijma’ sukuti dinyatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria diantaranya:
a. Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya
kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan
adanya kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian mujtahid, maka tidak
dikatakan ijma’ sukuti, melainkan ijma’ sharih. pula bila terdapat tanda-
tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itu pun bukan
ijma’.
b. Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bias dipakai untuk
memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk
mengemukakan pendapatnya. Namun, perlu diingat bahwa tidak mungkin
menentukan lamanya waktu bagi seorang mujtahid untuk mengeluarkan
fatwanya karena setiap mujtahid memerlukan waktu yang berbeda, cepat
atau lambat, dalam mengeluarkan fatwanya.
c. Permasalahan yang di fatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan
ijtihadi yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Adapun tentang
permasalahan yang tidak boleh di ijtihadi, atau yang bersumberkan dalil-
dalil qath’i, apabila seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari
dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam, hal itu tidak bias disebut
ijma’. Karena diamnya mereka tidak bisa dikatakan
menyepakati, melainkan meremehkan pemberi fatwa, tersebut karena
ilmunya masih dangkal.
Ijma’ bentuk pertama yang disebut juga ijma’ hakiki atau qauli, yaitu mereka hujjah
menurut pendapat jumhur, sedangkan ijma’ dalam bentuk kedua disebut ijma’ al-
I’tibari dalam pendapat jumhur bukan hujjah. Hanya ulama-ulama hanafiah
menganggap ijma’ sukuti ini sebagai hujjah, karena diamnya seorang mujtahid

17
dianggap menyetujui apabila masalahnya telah dikemukakan kepadanya dan telah
diberi waktu untuk membahasnya serta diamnya bukan karena rasa takut.

Kedudukan dan Permasalahan Ijma’


Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ijma’ merupakan sumber hukum yang kuat
dalam menetapkan hukum islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam sumber hukum
islam. Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum islam ditunjukkan dalam nash Al-
Qur’an dan Al-Hadist, diantaranya ialah, Q.S An-Nisa: 59.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan
Ulil Amri di antara kamu”.
Rasulullah SAW bersabda:

“Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan”.

“Apa yang dilihat oleh orang Islam sebagai kebaikan, maka menurut Allah STW
itu juga baik”.

Dengan demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternatif dalam


menetapkan hukum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak ada
atau kurang jelas hukumnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban
melaksanakannya. Jumhur berkata, ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana.
Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syiah menyatakan ijma’ itu tidak mungkin
terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:

Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur tentang


diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus
memenuhi dua kriteria berikut:
1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan untuk mengadakan
ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.

Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qadhi ataupun yang
zanni.

B. Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Menurut bahasa, qiyas ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan
definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap
kedudukan qiyas dalam istimbat hukum. Dalam hal ini, mereka berbagi dalam
dua golongan berikut ini.
Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia,
yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya menurut
Golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syarik yakni merupakan dalil
hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat illahiyah yang di buat syarik
sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada baik dirancang
oleh para mujtahid ataupun tidak.

18
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut maka mereka
memberikan definisi qiyas sebagai berikut:
a. Shadr Asy-Syari’at menyatakan bahwa qiyas adalah pemindahan hukum
yang terdapat pada ashl kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat
diketahui dengan logika bahasa.
b. Al human menyatakan bahwa qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus
dengan kasus lainnya karena kesamaan illat hukumnya yang tidak dapat
diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.

Qiyas adalah suatu proses penyikapan kesamaan hukum suatu kasus yang
tidak disebutkan dalam suatu nash. Dalam suatu hukum yang disebutkan
dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.

Qiyas adalah “mempersamakan hukum sesuatu kasus yang tidak di nash kan
karena adanya persamaan illat hukumnya”.

2. Hukum Qiyas
Kedudukan Qiyas Dalam Sumber Hukum Islam, menurut Jumhur Ulama’
berpendapat bahwa Qiyas itu adalah menjadi hujjah syari’ah (sumber hukum
syari’at) bagi amal perbuatan manusia dan berada pada tingkatan ke empat
dari dalil-dalil syar’i. Hal demikian ini apabila pada suatu peristiwa itu tidak
ada ketepatan hukumnya yang berdasarkan nash atau ijma’, maka peristiwa
tersebut disamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan
telah ada ketetapan hukumnya dalam nash. Alasan yang dikemukakan oleh
jumhur ulama’ dalam menetapkan kehujjahan qiyas adalah firman
Allah SWT yang berbunyi:

“Maka ambillah (kejadian itu menjadi alasan, hai orang-orang yang


mempunyai pandangan”. (Q.S Al-Hasyr: 2)

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka


kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)”.( Q.S An-
Nisa: 59)

3. Macam-macam Qiyas
a. Qiyas Illat
Yaitu mempersamakan soal cabang dengan soal pokok karena persamaan
illatnya. Qiyas illat terbagi kepada dua bagian yaitu:
1) Qiyas Jali. Yaitu apabila illat tersebut berdasarkan dalil yang Qath’i,
yang tidak ada kemungkinan lain selain untuk menunjukkan illat.
2) Qiyas Khofi, yaitu apabila illat tersebut berdasarkan dalil yang mungkin
dijadikan illat, mungkin pula bukan illat.
b. Qiyas Dalalah.
Yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan, yang disebutkan hanyalah hal-
hal yang menunjukkan adanya illat tersebut. Contohnya mengqiyaskan

19
wajib zakat harta anak-anak dengan wajib zakat harta orang dewasa. Dalil
illatnya adalah dapat bertambahnya harta tersebut.
c. Qiyas Syibih
Yaitu qiyas ketika cabang bisa diqiyaskan dengan dua pokok yang banyak
persamaannya. Contohnya mengqiyaskan budak dengan orang merdeka
karena sama-sama turunan adam. Budak dapat juga diqiyaskan dengan
hewan, karena keduanya adalah harta benda yang dapat dimiliki, tetapi
budak lebih banyak persamaannya dengan harta karena dapat diperjual-
belikan, diwariskan, diwakafkan, dan lain-lain.

4. Cara Mencari Illat


Ada tiga cara yang masyhur untuk mengetahui illat hukum yaitu:
a. Dengan nash, illat yang ditunjukkan oleh nash adakalanya syarih (benar)
dan adakalanya dengan isyarah. Illat yang ditunjukkan oleh nash itu sendiri
dengan memperhatikan kata-kata yang digunakannya.
b. Dengan ijma’, apabila ijma’ itu dan sampainya kepada kita juga qadh’i dan
adanya illat itu dalam cabang juga demikian, serta tidak ada dalil yang
menentangnya, maka hukumnya qadh’i. Apabila tidak demikian halnya
hukumnya bernilai Danni.
c. Dengan al-Sabr wa al-Taqsim, yaitu dengan cara meneliti mencari illat yang
paling tepat diantara beberapa kemungkinan illat. Ini adalah pekerjaan
seorang mujtahid dalam memilih mana yang paling tepat menjadi illat.
Untuk mengetahui illat semacam ini sudah tentu diperlukan suatu
pemahaman yang mendalam baik tentang sistem hukum islam secara
keseluruhan, maksud syara’ maupun perinciannya, disamping diperlukan
ketajaman berfikir.

20
BAB V
METODOLOGI HUKUM ISLAM (I)

A. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad (‫( االجتهاد‬dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada (‫ )اجتهد‬yang
berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala
kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berupaya
serius dalam berusaha atau berusaha yang bersungguh-sungguh.
Sementara secara istilah, para ulama ushul mendefinisikan ijtihad
sebagai berikut:
a. Wahbah al-Zuhaili
‫ هو عملية استنباط األحكام الشرعية من أدلتها التفصيلية في الشريعة‬: ‫االجتهاد‬.
Ijtihad adalah melakukan istimbath hukum syari`at dari segi
dalildalilnya yang terperinci di dalam syari`at.1
b. Imam al-Ghazali
Ijtihad adalah suatu istilah tentang mengerahkan segala yang
diushakan dan menghabiskan segenap upaya dalam suatu
pekerjaan, dan istilah ini tidak digunakan kecuali terdapat beban
dan kesungguhan. Maka dikatakan dia berusaha keras untuk
membawa batu besar, dan tidak dikatan dia berusaha (ijtihad) dalam
membawa batu yang ringan. Dan kemudian lafaz ini menjadi istilah
secara khusus di kalangan ulama, yaitu usaha sungguh-sungguh dari
seorang mujtahid dalam rangka mencari pengetahuan hukum-
hukum syari`at. Dan ijtihad sempurna yaitu mengerahkan segenap
usaha dalam rangka untuk melakukan penncarian, sehingga sampai
merasa tidak mampu lagi untuk melakukan tambahan pencarian
lagi.2
c. Abdul Hamid Hakim
Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka
untuk memperoleh hukum syara’ dengan jalan istinbath dari
alqur’an dan as-sunnah.3

1
Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, (Bairut: dar al-fikr al-Mu’ashir, 1999), hlm 231.
2
Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, ditahqiq dan diterjemahkan kedalam
bahasa inggris oleh Ahmad Zaki hamad, (Riyadh KSA: Dar al-Maiman linasr wa al-tauzi’, tt), hlm.
640.
3
Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awaliyah, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt) hlm 47

21
d. Abdul hamid Muhammad bin Badis al-shanhaji
‫ وأهله هو المتبحر‬،‫االجتهاد هو بدل الجهد في استنباط الحكم من الدليل الشرعي بالقواعد‬
‫ والفهم الصحيح للكَلم العربي‬،‫في علوم الكتاب والسنة ذو اإلدراك الواسع لمقاصد الشريعة‬.
Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk melakukan
istibath hukum dari dalil syara’ dengan kaidah-kaidah. Dan orang
melakukan ijtihad tersebut adalah orang yang pakar dalam bidang
ilmu-ilmu al-Quran dan al-sunnah, memiliki pengetahuan yang luas
tentang maqasid syariah (tujuan-tujuan hukum islam), dan memiliki
pemahaman yang benar terkait dengan bahasa Arab.4

Dari definisi di atas, dapat difahami bahwa ijtihad itu, pertama usaha
intelektual secara sungguh-sungguh; kedua, usaha yang dilakukan itu
adalah melakukan istibath (menyimpulkan) dan menemukan hukum;
ketiga, pencarian hukum dilakukan melalui dalildalil baik dari alqur’an
dan Sunnah; keempat, orang yang melakukan ijtihad itu adalah seorang
ulama yang memiliki kompetensi, dan keluasan wawasan serta
pengetahuan dalam bidang hukum Islam.

2. Kedudukan dan Hukum Ijtihad


Ijtihad menurut ulama ushul merupakan pokok syari’at yang
ditetapkan oleh Allah AWT dan rasul-Nya, dan dapat diketahui melalui
kitabnya, Alquran dan al-Sunnah.
Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan
benar agar engkau menetapkan di antara manusia dengan jalan yang
telah ditunjukkan oleh Alloh kepadamu. (QS, An Nissa’ :105)
Ayat ini menunjukan ketetapan ijtihad dengan jalan menetapkan
hukum melalui Alquran dan al-Sunnah. Cara seperti ini, menurut para
ulama adalah ijtihad dengan jalan qiyas, yaitu menyamakan ketentuan
hukum yang sudah ada ketetapannya di dalam nash dengan kasus yang
terjadi yang belum ada ketentuanya hukumnya dengan melihat
persamaan illat di antara keduanya.
Sementara ketentuan ijtihad dari al-Sunnah sebagaimana yang
dikutip oleh Imam Asy- Syafi’iy di dalam kitabnya Al-Risalah. Beliau

4
Abdul Hamid Muhammad Bin Badis Al-Shanhaji, Mabadi’ al-Ushul, ditahqiq oleh Dr. Amar
Thalibiy, (TTp: al-Syirkah al-wathaniyah li al-nasr wa al-tauzi’,1980), Hlm. 47

22
meriwayatkan dengan sanad yang berasal dari Amr bin Ash yang
mendengar dari Rasulullah saw bersabda:
‫اذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر واحد‬
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan ijtihad di dalam
hal itu, kemudian ia benar maka ia mendapatkan dua pahala, akan tetapi
apabila ia menetapkan hukum, berijtihad dan ia salah as mendapatkan
satu pahala saja”.5
Dari ayat dan hadis di atas, dapat difahami bahwa ijtihad merupakan
suatu hal yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam setiap
zaman dalam rangka untuk menjawab persoalan yang terus
berkembang.
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari Bik dalam kitabnya Ushul
Al-Fiqh, bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi tiga
macam, yaitu :
a. Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu
masalah dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya
diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia
sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
b. Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu
dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya,
sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang
mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu
tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya,
maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang
belum terjadi.6

5
Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Bin Al-Abbas Al-Syafii, Al-Risalah, ditahqiq oleh Ahmad
Syakir, (Mesir: Maktabah al-halabiy, 1940)
6
Muhammad Khudlari, Ushul al-Fiqh, (Bairut-Libanon: dar al-fikr, 1988), hlm. 368

23
3. Syarat-syarat dan tingkatan Mujahid
Ijtihad merupakan tugas besar dan berat bagi seorang mujthid. Oleh
karena itu para ulama ushul menetapkan beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melakukan ijtihad, baik syarat-
syarat yang menyangkut pribadi maupun syarat-syarat keilmuan yang
harus dimilikinya.
Menurut Abdul hamid Hakim bahwa seorang mujtahid harus
memenuhi empat syarat ijtihad, yaitu:7
a. Mempunyai pengetahuan yang cukup (alim) tentang al-kitab dan
al-Sunnah.
b. Mempunyai kemampuan berbahasa Arab yang memadai,
sehingga mampu menafsirkan kata-kata yang asing (gharib) dari
Alquran dan sunnah.
c. Menguasai ilmu ushul fiqh 4. Mempunyai pengetahuan yang
memadai tentang nasikh dan mansukh
Tanpa memenuhi persyaratan tersebut, maka sesorang tidak
dapat dikategorikan sebagai mujtahid yang berhak melakukan
ijtihad. Ulama mujtahid menurut ahli ushul dibedakan tingkatanya
tergantung pada aktivitas ijtihad yang dilakukanya. Dr. Abd Salam
Arief, membedakan tingkatan mujtahid dalam empat kategori,
yaitu:8
a. Mujtahid Mutlaq Mustaqil (Mujtahid Independen)
Meujtahid independen adalah seorang mujtahid yang
membangun teori dan kaidah istinbat sendiri, tanpa
bersandar kepada kaidah istinbat pihak lain. Yang termasuk
dalam jajaran kelompok ini antara lain: imam empat mazhab,
yaitu Abu Hanifah, Malik bin anas, Imam al-Syafi’i, dan

7
Hakim, Abdul Hamid, al-Bayan, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt), hlm. 168- 171.
8
Dr. H. Abd. Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara fakta dan realita: kajian
Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 37-38

24
Imam Ahmad bin Hanbal; laits bi Saad, al-Auzai, Sufyan al-
Tsauri, Abu saur, dan sebagainya.
b. Mujtahid Muntasib (Mujtahid Afiliatif)
Mujtahid afiliatif adalah mujtahid yang melakukan
ijtihad dengan menggunakan kaidah istinbath tokoh mazhab
yang diikutinya, meskipun dalam masalah-masalah furu’ ia
berbeda pendapat dengan imam yang diikutinya itu. Dan
yang masuk dalam tingkatan ini adalah diantaranya: Abu
Yusuf, Muhammad Saibani, Zufar dari kalangan Hanafiyah.
Abd al-Rahman bi Qasim dan Ashab bin Wahab, dari
kalangan Malikiyah. Al-Buwaiti, al-Za’farani, al-Muzani
dari kalangan Syafi’iyyah. Al-qadhi Abu Ya’la, Ibn
Qudamah, Ibn Taimiyah, dan Ibn Qayyim dari kalangan
Hanabilah.
c. Mujtahid fi al-mazhab
Mujahid fi al-mazhab adalah para mujtahid yng
mengikuti sepenuhnya imam mazhab mereka baik dalam
kaidah istinbath ataupun dalam persoalan-persoalan
furu’iyyah. Mereka berijtihad pada masalah-masalah yang
ketentuan hukumnya tidak didapatkan dari imam mazhab
mereka. Mereka juga adakalanya meringkas kaidahkaidah
istinbat yang dibangun oleh imam mereka.
d. Mujtahid Murajih
Mujtahid murajih adalah mujtahid yang tidak
mengistinbatkan hukum furu’, mereka melakukan ijtihad
hanya terbatas membandingkan beberapa pemikiran hukum
mujtahid sebelumnya, kemudian memilih salah satu yang
dianggap arjah (paling kuat).
4. Ruang lingkup Ijtihad
Dilihat dari sisi ruang lingkupnya, ijtihad dapat dibedakan dalam
dua kategori yaitu:

25
a. Al-Masail Al-Furu'iyyah Al-Dhoniah yaitu masalah-masalah
yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash Alquran dan Hadist.
Hukum islam tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil dhoni
atau ayat-ayat Alquran dan hadis yang statusnya dhoni
mengandung banyak penafsiran sehingga memerlukan upaya
ijtihad untuk sampainya pada ketentuan yang meyakinkan.
b. Al-Masail Al-Fiqhiyah Al-Waqa’iyah Al-Mu’ashirah, yaitu
hukum Islam tentang sesuatu yang baru, yang sama sekali belum
ditegaskan atau disinggung oleh Alquran, hadist, maupan Ijmak
para ulama'.
5. Pembagian Ijtihad
Dilihat dari macamnya, menurut al-Dualibi, sebagaimana dikatakan
oleh Wahbah Al-Zuhaili, ijtihad dibedakan dalam tiga macam:
a. Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukumhukum
syari`ah dari nash-nash syar`i.
b. Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukumhukum
syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al
Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa
yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.
c. Al-Ijtihad al-Isthishlahi, yaitu meletakkan hukumhukum
syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak
terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar ra`yu
yang disandarkan atas isthishlah.9 Maksud istislah adalah
dengan memelihara kepentingan hidup manusia yaitu menarik
manfaat dan menolak madlarat dalam kehidupan manusia.
Menurut Dr. Yusuf Qordhowi mencakup tiga tingkatan:
1) Dharuriyat yaitu hal-hal yang penting yang harus
dipenuhi untuk kelangsung hidup manusia.

9
Wahbah al-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr, ), hlm. 594.

26
2) Hajjiyat yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia
dalam hidupnya.
3) Tahsinat yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas kebi
4) saan dan akal yang baik
B. Istihsan
1. Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang
baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar
dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau
kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan
untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau
kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan
hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan
peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah
hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang
pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula
peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat,
tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang
mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang
pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan
untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
2. Dasar Hukum Istihsan

27
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi,
menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu
memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang
telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu
kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan
menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah,
tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya
adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab
Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian
Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar
hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah
menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam
Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa
nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah
SWT."
Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan:
"Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang
yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut
istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang
diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat
itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas
bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan
menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan
itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang
lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik,

28
kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan
pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya
AlMuwafaqat menyatakan: "orang yang menetapkan hukum
berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya
semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa
hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan
sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".
3. Macam-macam Istihsan
Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di
atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
a. Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang
mengharuskan pemindahan itu.
b. Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil
yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab
Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu
dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.
C. Istislah
1. Penegertian Istislah
Menurut bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong
kepada kebaikan manusia baik dalam arti menarik atau
menghasilakan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti
menolak/menghindarkan kemadharatan atau kesusahan. Pengertian
yang lain menyatakan Istishlah adalah logika yang baik tentu baik
untuk dipergunakan. Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu
suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan,
maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu
penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya
masalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan keuntungan
(manfaat) dan menjauhkan madharat (kesusahan).
‫ألمحافﻆة علﻰ مﻗصو الﺷرﻉ‬

29
“Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)”.
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan
harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan
tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak
selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering
didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, di zaman
jahiliyah wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang
menurut mereka sesuai dengan adat-istiadat mereka, tetapi
pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya
tidak dinamakan mashlahah.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara lanjut al-Ghazali, ada
lima bentuk yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang pada intinya
untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ diatas maka
dinamakan mashlahah. Al-Khawarizmi menyatakan :
‫المحافﻆة علﻰ مﻗصود الﺷرﻉ بد فع الفاسد عن الخلﻕ‬
“memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum )
dengan cara menghindarkan kesusahan dari manusia
Dari uraian diatas dapat kita mengerti bahwa tujuan dari
hukum Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia
dunia maupun akhirat. Kemaslahatan ini merupakan lima tujuan
syara’ yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Disampig itu, juga segala upaya untuk mencegah segala bentuk
kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’
tersebut juga dinamakan mashlahah.
2. Macam-macam Istislah
Dalam kajian para ahli al-ijtihad mengemukakan terdapat
tiga jenis mashlahah, yaitu :
a. Mashlahah yang diakui ajaran syari’ah.
Yang terdiri atas tiga macam tingkat kebutuhan manusia,
yaitu :

30
1) Mashlahah al-Dharuriyyah,
Yaitu kemaslahatan yang berhubungan
dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia
dan diakhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima,
yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara
jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara
keturunan, (5) memelihara harta. Kelima
kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-
khamsah.
Dharuriyyah, (bersifat mutlak) karena
menyangkut komponen kehidupannya sendiri
sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut
terpelihara dirinya (jiwa, raga, dan kehormatan)
akal pikirannya, harta bendanya, nasab
keturunannya dan kepercayaan agamanya.
Permasalahan diataslah yang merupakan dasar
mashlahah.
2) Mashlahah al-Hajiyah,
Yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kebutuhan pokok, untuk
menghindarkan kesulitan dan kemadharatan
dalam kehidupannya. Misalnya, dalam bidang
ibadah di beri keringanan meringkas
(qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang
sedang musafir; dalam bidang mu’amalah
dibolehkan berburu binatang dan memakan
makanan yang baik-baik, di bolehkan jual beli
pesanan (bay’ al-salam), kerjasama dalam
pertanian (muzara’ah) dan
perkebunan (musaqqah). Semua ini disyari’atkan

31
Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-
mashalih al-khamsah diatas.
3) Mashlahah al-Tahsiniyyah
Yaitu kemaslahatan yang merupakan
kebutuhan pelengkap dalam rangka memelihara
sopan santun dan tata-krama dalam kehidupan.
Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang
bergizi, berpakaian yang bagus-bagus,
melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amal
tambahan, dan berbagai jenis cara
menghilangkan najis dari badan manusia.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan,
sehingga seorang Muslim dapat menentukan
prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan
sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyyah harus
lebih didahulukan dari kemaslahatan hajiyyah,
dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan
dari kemaslahatan tahsiniyyah.
b. Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari’ah
yaitu kepentingan yang bertentangan dengan
mashlahah yang diakui terutama pada tigkat pertama.
Mashlahah ini disebut Mashlahah al-Mulghah.
Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang
ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan
ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa
orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari
bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan
memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-
turut, atau memberikan makan 60 orang fakir miskin
(H.R. al-Bukhari dan Muslim). Al-Laits ibn Sa’ad (94-
175 H/ahli fiqh Maliki di Spayol), menetapkan hukuman

32
puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa
Spayol) yang melakukan hubungan seksual dengan
istrinya di siang hari Ramadhan. Para ulama memandang
hukum ini bertentangan dengan hadits Rasullah diatas,
karena bentuk-bentuk hukuman itu harus ditetapkan
secara berurut. Kemaslahatan seperti ini, menurut
kesepakatan para ulama, disebut dengan mashlahah al-
mulghah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.
c. Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan
kedua
Mashlahahini disebut dengan Mashlahah al-
Mursalah.
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang
keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula
dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.
Kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi kedalam dua
macam yaitu :
1) Mashlahah al-gharibah, yaitu kemashlahatan
yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali
tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci
maupun secara umum. Para ulama ushul fiqh
tidak dapat mengemukakan contoh pastinya.
Bahkan Imam Syathibi mengatakan
kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam
praktek, sekalipun ada dalam teori.
2) Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan
yang tidak didukung oleh sekumpulan makna
nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan
makna nash (ayat atau hadist).

33
Najm al-Din al Thufi (675-716 H/1276-1316 M, ahli
ushul fiqh Hambali), tidak membagi mashlahah tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh diatas.
Menurutnya, mashlahah merupakan dalil yang bersifat
mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan
hukum syara’, baik mashlahah itu mendapat dukungan dari
syara’ maupun tidak.

D. Istishhab
1. Pengertian
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada
hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada
hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil
yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah
menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang
mengubah ketetapan hukum tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya
hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum
adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan
hukumnya.
Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan
yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku
hukumnya pada masa sekarang.
Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah-
mendefinisikan istishab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu
di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis)
sekarang atau di masa datang.”
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa istishab ialah:
a. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan
tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang
mengubahnya.

34
b. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah
ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh Istishab: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan
perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat
yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu
maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum
dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan
dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka
walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum
yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A
dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
2. Dasar hukum Istishab
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul
istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau
menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena
tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini
sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan
hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti
dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C,
maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu
keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan
antara yang halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya
istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang
telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah
merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap,
tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu
hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya
istishab dapat dijadikan dasar hujjah.
3. Macam-macam Istishab

35
Istishab terbagi dalam beberapa macam diantaranya :
a. Istishab al-baraah al-Ashliyyah (‫)أ بددرءةبالص‬
Menurut Ibn al-Qayyim disebut Bar’at al-Adam
alAshliyyah, yaitu bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan
bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil
atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau
mempertanggungjawabkan sesuatu.
Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan
untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam
–setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak adanya dalil
yang membebankan hal itu.
Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang menuduh
bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa
mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang
tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang
atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.
b. Istishab al-ibahah al-ashliyah
yaitu Istishab yang berdasarkan atas hukum asal dari sesuatu
yang Mubah.Istishab semacam ini banyak berperan dalam
menetapkan hukum di bidang muamalah. Landasannya adalah
sebuah prinsip yang mengatakan ,hukum dasar dari sesuatu yang
bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari selama
tidak ada dalil yang melarangnya,seperti makanan,minuman,hewan
dll.
Dalam menetapkan hukum asal suatu barang (missal: jenis
makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalilnya baik dalam
al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas).
c. Istishab al-hukm
yaitu Istishab yang berdasarkan pada tetapnya status hukum yang
telah ada selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.Misalnya
seseorang yang telah melakukan akad nikah akan selamanya terikat

36
dalam jalinan suami istri sampai ada bukti yang menyatakan bahwa
mereka telah bercerai.
d. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti
Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya
dimasa lalu tetaplah dihukum demikian sehingga diyakini ada
perubahannya. Disebut juga dengan Istishabul Madhi Bilhali yakni
menetapkan hukum yang telah lalu sampai sekarang.
Dasar Istishab ini berdasarkan pada Kaidah Kulliyah Yang
berbunyi : “Dasar hukum adalah kekal apa yang telah ada pada
huklum yang telah ada Atau apa yang telah diyakini adanya pada
suatu masa dihukumi tetap adanya (selama belum ada dalil yang
mengubahanya. Ulama’ Syafi’iyah dan Hanbaliyah menggunakan
Istishab ini secara mutlaq. Dalam arti bisa menetapkan hak-hak yang
telah ada pada waktu tertentu dan seterusnya serta bisa pula
menetapkan hak-hak yang baru. Tapi untuk Malikiyah hanya
menggunakan yang wasaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang
telah ada.
Sedangkan untuk yang baru tidak mau dipakai Istishab, yang
dipakai oleh Ulama’ Hanafiyah adalah “Lidaf’i Li Itsbt”.
Para Ulama’ yang menyedikitkan Turuqul Istinbat
meluaskan penggunaan Istishab ,misal golongan Dhahiri,karena
mereka menolak penggunaan Qiyas. Demikian pula Madhabz
Syafi’I menggunakan Istishab kerena tidak menggunakan Istihsan
beliau menggunakannya sebagai alat untuk menetapkan hukum.
4. Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad,
istishab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang
mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari alQur’an, al-Sunnah,
ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang
ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam
berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia

37
harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu
ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana),
maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik
pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal).
Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya
adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”

38
BAB VI
METODOLOGI HUKUM ISLAM (II)

A. Al’uruf
1. Pengertian Al’uruf
al-Urf (‫( العرف‬secara bahasa berasal dari kata ‘arafa – ma’rifah
– irfan – ma’ruf (‫ عرفان – معرفة – عرف‬- ‫ معروف‬,(yang berarti mengenal,
pengetahuan, dikenal, ketenangan (‫ الطمأننة و السكون‬.(Bahwa sesuatu yang
dikenal oleh seseorang menjadikanya tenang dan tentram, sebaliknya
sesutau yang tidak dikenal, menjadikan seseorang bersikap kasar dan
liar. Ibn Faris, sebagaimana dikutip oleh Umar sulaiman alAsyqar,
menyatkan bahwa al-‘urf adalah urutan sesuatu yang mana bagian satu
terhubung dengan bagian yang lainya secara tersambung.10
Kata lain yang sering dipersamakan dan dipertukarkan
penggunaanya dengan kata al-urf adalah adat (‫) عادة‬. Secara bahasa, adat
(‫)علدة‬berasal dari kata kerja lampau (fi’il madhi), yaitu ‘adaya’udu-
‘audan-‘adat (‫ عودا – يعود – عاد‬- ‫) عادة‬, yang memiliki makna kembali,
mengulang, dan berulang. Sehingga adat memiliki makna sesuatu yang
diulang-ulang dan menjadi terbiasa dan dibiasakan oleh masyarakat.
Sementara secara istilah, para ulama memberikan pengertian dalam
beragam perspektif.
a. Fairuz Abadi
Al-‘urf adalah nama setiap perbuatan yang kebaikannya dikenal
oleh syariat dan akal. Dan al-‘urf adalah yang dikenal dari
perbuatan ihsan (baik).11
b. Abdul wahab Khallaf.
Al-‘urf adalah apa yang sudah dikenal oleh manusia, dan mereka
menjalaninya, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun larangan.
Dan ini dinamakan dengan adat. Dan dalam istilah syara’, tidak ada

10
Umar Sulaiman bin Abdullah al-Asyqar, Nadharat fi Ushul al-Fiqh, (Yordania: Dar al-Nafais,
2015), hlm. 148.
11
Umar Sulaiman bin Abdullah al-Asyqar, Nadharat fi Ushul al-Fiqh, (Yordania: Dar al-Nafais,
2015), hlm. 148

39
perbedaan antara al-urf dan al-adat. Adapun alurf amali adalah
seperti yang kenalnya manusia terhadap jual beli tanpa
menggunakan sighat. Dan al-urf al-qauli adalah seperti pengenalan
manusia dalam pengungkapan kata al-walad yang digunakan untuk
anak laki-laki bukan untuk anak perempuan.12

Dengan demikian urf mencakup sikap saling pengertian


dan kesepakatan diantara manusia. Sekalipun merupakan
kesepakatan masyarakat, urf berbeda dengan Ijmak. Karena Ijmak
merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus.
Sementara urf merupakan kesepakatan terhadap suatu perbuatan
oleh suatu masyarakat.

2. Dasar dan kehujjahan Al’urf


Pada umumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan
umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa
nash. Dalam prakteknya, para ulama berbeda pendapat terkait
penggunakan urf sebagai dasar hujjah:
a. Yang memperbolehkan
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa para ulama dahulu
banyak menggunakan urf dalam metodologi hukum mereka. Abdul
wahab Khalaf menyatakan bahwa metode al-urf digunakan oleh
Imam malik, Abu hanifah dan para sahabatnya, dan demikian juga
Imam al-Syafi’i. Beliau mengungkapkan sebagai berikut:
‫ واإلمام مالك‬،‫ والعرف في الشرﻉ له اعتبار‬،‫العادة ﺷريعة محكمة‬:‫ولهذا ﻗال العلماء‬
‫ وأبو حنيفة وأصحابه اختلفوا في أحكام بناء‬،‫بنﻰ كثيرا من أحكامه علﻰ عمل أهل المدينة‬
‫ والشافعي لما هبط إلﻰ مصر غير بعض األحكام التي كان ﻗد ذهب‬،‫علﻰ اخت َلف أعرافهم‬
‫ ولهذا له مذهبان ﻗديم وجديد‬،‫ لتغير العرف‬،‫إليها وهو في بغداد‬
Oleh karena itu para ulama berpendapat: kebiasaan (adat)
adalah hukum yang legal. Dan kebiasaan memiliki pertimbangan

12
Abdul Wahab khallaf, Ilmu Ushul al-fiqh, hlm.89

40
di dalam syariat. Imam Malik telah banyak membangun
hukumhukumnya atas dasar tradisi kebiasaan orang-orang
Madinah. Sementara Abu Hanifah dan para sahabatnya mereka
banyak berbeda pendapat dalam persoalan-persolan hukum karena
didasarkan pada perbedaan-perbedaan kebiasaan (tradadisi)
mereka. Demikian juga ketika Imam al-Syafi’i pindah ke Mesir,
beliau melakukan perubahan beberapa hukum yang dulu beliau
pegangi ketika di Baghdad, karena factor perubahan kebiasaan
(adat). Oleh karena itu Imam al-syafii memiliki dua pendapat, yaitu
lama dan yang baru (qaul qadim dan qaul jadid).13
Dari pendapat yang dikemukan oleh Abdul Wahab Khallaf
tersebut, menunjukan bahwa urf digunakan secara luas oleh para
ulama mujtahid dalam metode pengambilan dan penetapan hukum
Islam. Dan para ulama yang mendukung penggunaan al-urf sebagai
metode penetapan hukum, berargumen berdasarkan pada beberapa
ayat alquran:
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS
al-A’raf [7]: 199)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, (QS Ali Imron [3]: 110)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian
yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, (QS al-Taubah [9]: 71)
b. Yang tidak memperbolehkan
Ibnu Hajar seperti yang disebutkan al-Khayyath, mengatakan
bahwa para ulama’ Syafi’iyah tidak membolehkan berhujjah

13
Abdul Wahab khalaf, Ilm ushul al-Fiqh, hlm. 90.

41
dengan Al-urf apabila dalam Urf tersebut bertentangan dengan
nash.
3. Syarat-syarat Al’urf (adat)
Menurut Abdul Karim Bin Ali Bin Muhammad Al-Namlah,
bahwa al-urf (adat) dapat menjadi hujah syar’iyyah ketika terpenuhi
beberapa syarat. Yaitu:
a. Hendaknya Al’urf bersifat umum
b. Hendaknya Al’urf itu diterima oleh mayoritas
c. Hendaknya Al’urf itu ada ketika di implementasikan
d. Hendaknya Al’urf itu dipelihara
e. Hendaknya Al’urf itu tidak bertentangan dengan suatu dalil
f. Hendaknya Al’urf tidak bertentangan dengan Al’urf yang lain
dalam satu negara (tempat)
4. Macam-macam Al’urf
Dilihat dari baik dan buruknya
a. Urf Sahih
Urf sahih adalah kebiasaan atau adat yang benar, yang sesuai
dengan syara’. Dalam hal ini, Abdul wahab Khallaf Mengatakan:
Urf shahi adalah sesuatu yang telah dikenal oleh manusia dan
tidak bertentangan dengan syara’, dan tidak menghalalkan yang
telah diharamkan serta tidak mengharamkan yang telah dihalalkan
oleh Syara’, dan serta tidak membatalkan sesuatu yang wajib.14
b. Urf fasid
Urf fasid (‫)الفاسد العرف‬adalah kebiasan yang rusak berdasarkan
pertimbangan syara’. Sebagai contoh budaya judi pada saat pesta
pernikahan, minumminuman keras pada saat pesta, kumpul kebo,
sabung ayam, memriba dan sebagainya. Semua itu adalah
perbuatan yang diharamkan oleh syariat.
Dilihat Dari Materi Yang Menjadi Sumber Kebiasaan

14
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 89

42
a. Urf Perkataan
Urf qauli (perkataan) adalah kebiasaan yang berlaku dalam
penggunaan bahasa atau ucapan.
b. Urf Perbuatan.
Urf fi’li adalah adat kebiasaan yang yang dilakukan dalam wujud
perbuatan oleh suatu masyarakat. Contoh dalam kebiasaan ini
adalah kebiasaan orang-orang di Negara maju jual beli dengan cara
menggunakan mesin, dimana transaksi dilakukan dengan mesin
baik menyetor barang dan mengambil barang. Oleh karena itu,
kebiasaan jual beli yang semacam ini tidak menyalahi aturan aqad
dalam syariat.
Dilihat dari sumbernya.
a. Al-urf al-‘am (‫)العام رفالع‬
Al-Urf Al-Am (‫)العام رفالع‬, yaitu kebiasaan umum; yaitu kebiasaan
yang telah dikenal oleh umat manusia di berbagai negara. Sebagai
contoh: transaksi pemesan pembuatan produk barang, seperti
pemesanan pakaian dan sebagainya.
b. Al’urf al-khas (‫)الخاص رفالع‬
Al-urf al-khas (‫)الخاص رفالع‬kebiasaan khusus, yaitu kebiasaan yang
sudah dikenal oleh sebagaian besar manusia di sebagian Negara.
Sebagai contoh pengungkapan kata al-dabah (‫( الدابة‬untuk
menyebut binatang kuda di Iraq, hal ini dapat berbeda makna ketika
digunakan di Mesir.
c. Al-‘urf al-Syar’iy
Al-urf al-Syar’i, yaitu lafal yang digunakan oleh syara’ yang
dimaksudkan untuk makna yang khusus. Seperti misalnya, kata
shalat. Sesunggunya kata shalat dalam pengertian bahasa bermakna
doa, tetapi syara’ menggunakan istilah untuk sesuatu yang
khusus.15

15
Abdul Karim Bin Ali Bin Muhammad Al-Namlah, Al-Jami’ Lil Masail Ushul AlFiqh Wa Tatbiqatuha
‘Ala Al-Madzhab Al-Rajih, (Riyad-Saudi: Maktabah AlRusyd, 2000), Hlm. 389

43
B. Syar’u Man Qoblana
1. Pengertian Syar’u Man Qoblana
Syar’u man qablana berarti syari’at sebelum Islam. Yang
dibahas oleh ulama ushul fiqh adalah, apakah hukumhukum yang ada
bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam?
Para ulama sepakat bahwa seluruh syari’at yang diturunkan
Allah sebelum Islam melalui para rasul-Nya telah dibatalkan secara
umum—tidak secara menyeluruh dan rinci– oleh syariat Islam. Oleh
karena itu, syar’u man qablana bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Yang tetap berlaku sampai sekarang berdasarkan pada nas, seperti
puasa dalam al-Baqarah (2): 183.
b. Yang hanya berlaku bagi umat terdahulu saja, karena sudah
dinaskh oleh al-Qur’an. Seperti dalam al-An’am (6): 146, tentang
keharaman bagi Yahudi semua binatang yang berkuku, lemak sapi
dan domba, sebagai hukuman atas kedurhakaan mereka.
c. Yang disebutkan oleh nas (al-Qur’an maupun sunah), tetapi tidak
secara tegas disebutkan tetap berlakunya dan tidak pula di-naskh,
seperti dalam al-Ma’idah (5): 45, “Dan Kami telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada
qisasnya.”
Terhadap klasifikasi yang ketiga di atas, terdapat perbedaan
pendapat. Menurut Jumhur ulama yang terdiri atas ulama
Hanafiyyah, Malikiyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah
satu pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal, umat Islam terikat dengan
hukum-hukum itu, alasannya:
a. Syari’at sebelum Islam itu juga syari’at yang diturunkan Allah dan
tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalannya, karenanya
umat Islam terikat. Banyak sekali ayat yang menyuruh umat Islam
mengikuti syari’at para Nabi; seperti syari’at Nabi Ibrahim (dalam

44
an-Nahl [16]:123) dan syari’at Nabi Nuh (dalam asy-Syura [42]:
13.
b. Rasulullah bersabda: ‫م ﺷن ﺷف ﺷصــاةﺷبوﺷناــ ا ﺷـ ــ ا ﺷبذبذكرد ﺷقربشق‬
‫ﺷوبقمشبد ــاةش دذكرهش–بددخ رهشوما مشوبدترمذهشوبدنا ئ ﺷوبـ دود‬: ‫دﺷشاﻉ د‬-
Menurut Jumhur, ayat yang dibacakan Rasulullah tersebut
merupakan ayat yang ditujukan kepada Nabi Musa. Sedangkan
ulama Asy’ariyyah, Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian ulama
Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal,
syari’at sebelum Islam tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah dan
umatnya. Pendapat ini juga dikemukakan Imam al-Gazali, al-
Amidi, Ibn Hazm az-Zahiri, dan Fakhruddin arRazi (ahli fiqh
Syafi’i). Alasan mereka adalah:
a. Ketika Rasulullah mengutus Mu’ad Ibn Jabal menjadi qadi di
Yaman, terjadi dialog tentang bagaimana memutuskan perkara.
Dalam dialog itu, Rasul tidak menganjurkan untuk merujuk ke
syari’at sebelum Islam.
b. Firman Allah dalam al-Ma’idah (5): 48: ‫ﺷمنكمشفـرفأش ن دكلشجع ومنا‬
‫ج‬
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang..”
Maksudnya setiap umat mempunyai syari’at sendiri dan suatu umat
tidak dituntut untuk mengambil syari’at umat lain.
c. Syari’at Islam merupakan Syari’at yang berlaku untuk seluruh
umat manusia, sedangkan syari’at umat sebelum Islam hanya
berlaku bagi kaum tertentu.
Muhammad Abu zahrah, menyatakan apabila syari’at sebelum
Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum itu hanya
berlaku bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk
mengikutinya. Tetapi, apabila hukum-hukum itu bersifat umum
maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti
hukuman qisas dan puasa yang ada dalam al-Qur’an.

45
C. Saad Az-zari’ah
1. Pengertian Az-zari’ah
Secara etimologi, zari’ah berarti “jalan yang menuju kepada
sesuatu” atau identik dengan wasilah (perantara). Ada juga yang
mengkhususkan pengertian zari’ah dengan “sesuatu yang membawa
kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan”. Tetapi menurut
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (pakar fiqh Hanbali) zari’ah berarti umum;
zari’ah mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang, disebut
dengan sadd azzari’ah (‫( ﺷبدذربعأ س‬dan yang dituntut untuk
dilaksanakan, disebut fath az-zari’ah (‫)ـتحشبدذربعأ‬
Sadd az-zari’ah yang dimaksud oleh para ahli ushul fiqh,
adalah:
“Mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik
untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat jalan/
sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan”.
Misalnya dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas
waktu perhitungan zakat sehingga wajib mengeluarkan zakatnya)
datang, seorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakati,
menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga berkurang
nishab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat. Perbuatan seperti
ini dilarang dengan dasar pemikiran bahwa hibah yang hukumnya
sunah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.
Tujuan penetapan hukum atas dasar Sadd az-zari’ah, adalah
untuk menuju kemaslahatan, karena tujuan umum ditetapkannya
hukum adalah untuk kemaslahatan manusia dan menjauhkan
kerusakan. Untuk sampai pada tujuan ini, syara memerintahkan sesuatu
dan adakalanya melarang sesuatu. Dalam memenuhi perintah dan
larangan ada yang dapat dipenuhi dengan langsung dan ada pula yang
harus dipenuhi melalui sarana.

46
2. Kehujjahan Sadd Az-Dzari’ah
kehujjahan Sadd Az-Dzari’ah Terdapat perbedaan pendapat’.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa Sadd az-zari’ah
dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara.
Alasannya:
a. Al-An’am (6): 108:
“Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum musyrik,
karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan makian
yang sama, bahkan lebih.
b. Hadis
‫ ايرسول لال كيف يلعن الرجل والديه؟‬:‫ ﻗيل‬,‫ان من اكرب الكبائر ان يلعن الرجل والديه‬
‫ﻗال‬: ‫يسب ااب الرجل فيسب اابه ويسب امه –البخارى و مسلم وابو داود‬-
Hadis ini, menurut Ibn Taimiyyah, menunjukkan bahwa sadd
az-zari’ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum
syara, karena sabda Rasul tersebut masih bersifat dugaan, namun
atas dasar dugaan itu Rasul melarangnya. Dalam kasus lain Rasul
melarang memberi pembagian harta warisan kepada anak yang
membunuh ayahnya (HR. al-Bukhari dan Muslim), untuk
menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak
yang ingin segera mendapat harta warisan.
Sedangkan ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Syi’ah dapat
menerima Sadd az-Zari’ah apabila kemafsadatan yang akan
muncul itu dapat dipastikan akan terjadi, atau sekurang-kurangnya
diduga keras (gilbah azzan) akan terjadi; Artinya ada zari’ah yang
diterima dan ada yang ditolak.
Terjadinya perbedaan pendapat antara Malikiyyah dengan
Hanabilah di satu pihak serta Hanafiyyah dengan Syafi’iyyah di
pihak lain dalam berhujjah dengan sadd azzari’ah, adalah
disebabkan perbedaaan pandangan tentang niat dan lafal dalam
masalah transaksi. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan
bahwa dalam suatu transaksi yang dilihat dan diukur adalah

47
akadnya, bukan niat dari orang yang melakukan akad. Jika akad itu
telah memenuhi syarat dan rukun, maka sah. Adapun masalah niat
yang tersembunyi dalam akad, diserahkan sepenuhnya kepada
Allah. Mereka mengatakan bahwa selama tidak ada indikasi yang
menunjukkan niat dari pelaku, maka berlaku kaidah:
‫املعترب ىف اوامرلال املعىن واملعترب ىف امور العباد االسم واللفﻆ‬
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak
Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hakhak hamba
(manusia) adalah lafalnya.”
Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad itu dapat
ditangkap dengan jelas atau diketahui melalui beberapa indikator
yang ada, maka ketika itu berlaku kaidah:
‫العربة ابملعاىن ال اباللفاظ واملباىن‬
“Yang menjadi patokan dasar adalah makna/ niat, bukan
lafal dan bentuk”.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah mengatakan bahwa
untuk mengukur sah atau tidaknya suatu pekerjaan adalah: niat,
tujuan dan akibat dari pekerjaan itu. Ibn Qayyim al-Jauziyyah
mengatakan apabila niat sejalan dengan perilaku, maka akad itu
sah. Apabila tujuan orang itu tidak sesuai dengan semestinya, tetapi
tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan
tujuan tersebut, maka dianggap sah, tetapi antara pelaku dengan
Allah tetap ada perhitungan. Apabila ada indikator yang dapat
menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan
tujuan syara, maka akadnya sah. Namun jika bertentangan, maka
perbuatannya itu fasid (rusak) dan tidak ada efek hukumnya.
Dengan demikain, menurut Wahbah az-Zuhaili, Ulama
Malikiyyah dan Hanabilah dalam menilai perbuatan seseorang
berpegang kepada tujuan dan akibat hukum dari perbuatan itu,
sedangkan Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpegang kepada bentuk
akad dan perbuatan yang dilakukuan. Sedangkan ulama Zahiriyyah

48
tidak menerima sadd azzari’ah sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara. Penolakan ini sesuai dengan prinsip
mereka yang hanya beramal berdasarkan nas secara harfiyyah dan
tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.
D. Mazhab Sahabat
1. Pengertian Mazhab Sahabat
Madzhab Shahabi berarti “pendapat para Sahabat Rasulullah
saw”. Yang dimaksud ‘pendapat sahabat’ adalah pendapat para sahabat
tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun
ketetapan hukum, sedangkan ayat dan hadis tidak menjelaskan hukum
kasus yang dihadapi sahabat itu, di samping belum adanya ijma para
sahabat yang menetapkan hukumnya.
2. Kehujjahan Mazhab Shahabi
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat
sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat
dijadikan hujjah, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum.
Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat sahabat yang terkait
dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat
diterima sebagai hujjah.
Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah
pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad sematamata, apakah
menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya?
Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, qaul qadim asySyafi’i dan
pendapat terkuat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, menyatakan
pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat itu
bertentangan dengan qiyas, maka pendapat sahabat yang didahulukan.
Alasan mereka:
 Ali Imran (3): 110
 At-Taubah (9): 100
 Hadis:
‫ص ح ـ ﺷك دنج ﺷـ بامشبقت بتمشبدت بتم‬

49
“Sahabatku ibarat bintang, siapa pun kamu ikuti, maka kamu akan
mendapat petunjuk. HR. Abu Dawud.”
 Hadist:
‫روبه بـ دبود وبحـ ـ حندل‬-...‫بقت وب ـ دذب م ـع ي‬
Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa
sangat mungkin apa yang dikatakan para sahabat itu, datangnya dari
Rasulullah, bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan
kepada petunjuk Rasulullah; para sahabat tidak akan mengeluarkan
pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting (ini
menunjukkan sifat kehatihatiannya). Di sisi lain, apabila orang awam
dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti
pendapat sahabat tentu akan lebih boleh, karena Rasulullah mengatakan
bahwa generasi sahabat adalah generasi terbaik (HR. alBukhari).
Sedangkan sebagian Syafi’iyyah, Jumhur Asy’ariyyah,
Mu’tazilah, dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat tidak
dapat dijadikan hujjah, karena ijtihad mereka sama dengan ulama
lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain. Alasannya:
a. Al-Harsy (59):2
Implikasi dari perintah melakukan I’tibar (ijtihad) adalah larangan
bertaqlid (mengikuti pendapat orang lain tanpa dalil), karena untuk
menentukan suatu hukum diperlukan dalil, sedangkan taqlid dikecam
syara’
b. An-Nisa (4):59
Rujukan yang diperintahkan—bila terjadi perdebatan– adalah al-
Qur’an dan Sunnah. Apabila seseorang hanya mengambil pendapat
sahabat, maka itu berarti meninggalkan kewajiban untuk merujuk
kepada alQur’an dan Sunnah.
Selanjutnya ulama Syafi’iyyah mengatakan, dari penelusuran
terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa sebagian pendapat
mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan bukan hal
yang mustahil, karena tidak ada jaminan mereka pasti benar.

50
Adakalanya mereka juga berbeda pendapat dalam menetapkan hukum
suatu kasus, seperti kasus pembagian warisan kakek dengan saudara
laki-laki, sehingga sulit diketahui pendapat mana yang benar. Melalui
induksi, para pakar UF menetapkan bahwa tidak wajib seorang
mujtahid mengikuti hasil ijtihad orang lain. Oleh sebab itu, mengikuti
pendapat sahabat pun menjadi tidak wajib.
Akan tetapi, Imam Syafi’i, menurut Mustafa Dib alBugha
(pakar UF Universitas Damaskus, Syiria), banyak mengambil pendapat
para sahabat, bahkan ijma yang ia terima sebagai dalil dalam
menetapkan hukum adalah ijma para sahabat. Banyak hukum-hukum
parsial (rinci) yang diambilnya dari pendapat para sahabat. Bila terjadi
perbedaan pendapat di antara para sahabat, Imam Syafi’i mengambil
pendapat yang lebih dekat kepada kandungan al-Qur’an dan Sunnah.
Ulama Hanafiyyah membedakan antara pendapat sahabat yang
sama sekali bukan permasalahan ijtihadiyyah dengan pendapat sahabat
yang popular (tersebar luas) dan tidak diketahui ada sahabat lain yang
menentangnya, serta pendapat sahabat yang didasarkan pada ijtihad
tetapi tidak popular.
3. Macam-macam Mazhab Sahabati
Dalam pandangan Abu Zahrah, fatwa sahabat bisa terdiri dari beberapa
bentuk:
a. Apa yang disampaikan sahabat itu berupa berita yang didengarnya
dari Nabi, tetapi ia tidak menyatakan bahwa berita itu sabagai
sunnah Nabi SAW.
b. Apa yang diberitakan sahabat itu sesuatu yang didengarnya dari
orang yang pernah mendengarnya dari Nabi, tetapi orang tersebut
tidak memperjelaskan bahwa yang didengarnya itu berasal dari
Nabi.
c. Sesuatu yang disampaikan sahabat itu merupakan hasil
pemahamannya terhadap ayat-ayat al Qur’an yang orang lain tidak
memahami.

51
d. Sesuatu yang disampaikan sahabat terlalu disepakati lingkugannya,
namun, yang menyampaikannya hanya sahabat itu seorang diri.
e. Apa yang disampaikan sahabat merupakan hasil pemahamannya
atas dalil-dalil karena kemapuannya dalam bahasaan dalam
pengguaan dalil lafal Pemahaman sahabat bukan dari apa yang
diriwayatkan dari Nabi SAW, dan sahabat tersebut mengalami
kesalahan dalam pemahaman tersebut.

52
BAB VII
KAIDAH USHULIYAH (l)

A. Amr Dan Nahi


1. pengertian Amr
Amr secara bahasa terambil dari masdar ‫ أمرا‬-‫ یأمر‬-‫ أمر‬yang artinya
perintah16Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut
Ibn Subki Amr adalah tuntutan untuk berbuat, bukan meninggalkan yang
tidak memakai latar (tinggalkanlah) atau yang sejenisnya,17 tapi ada
yang mengatakan menyuruh melakukan tanpa paksaan.18Tetapi definisi
yang sering dipakai oleh para ulama adalah ‫طلب الفعل علي وجھ اإلستعالء‬
yaitu permintaan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang
yang kedudukannya lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih
rendah
Adapun syarat dengan lafadz "‫( "علي وجھ اإلستعالء‬dari sisi orang yang
kedudukannya lebih tinggi) persyaratan ini diperselisihkan, karena
apakah memang harus yang memerintah itu lebih tinggi dari yang
disuruh? Padahal ada sebagian ulama yang mengategorikan menjadi
amr dua yaitu untuk doa (permohonan) dan iltimas (ajakan), yang
pertama bisa dibilang perintah dari orang yang kedudukannya lebih
rendah kepada yang lebih atas, sedangkan yang kedua dari orang
sejajar,19 jadi tidak ada tuntutan bahwa yang memerintah harus lebih
tinggi kedudukannya.
2. Sighat Amr
Dalam Al Qur’an banyak dijumpai sighat amr yang berbeda-beda,
hal inilah yang menjadi perbincangan para ulama. Ulama sepekat bahwa

16
Ahmad. W. Munawwir, Al-Munawir, (Jakarta: Pustaka Praja, 1997), 38
17
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Pt. Logos Wacana Ilmu, 2001), 163
18
Jalal ad-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran, (Beirut: Maktabah Ashriyah, 1998) J. 3, 242
19
Hasyim, Principle…..h.181

53
fi’il amr-lah yang bisa dijadikan sebagai sighat amr20 dan dijadikan
acuan hukum sebagai sesuatu yang wajib tanpa memerlukan petunjuk.
Tetapi ada bentuk lain dari selain fi’il amr yang bisa dipahami sebagai
sighat amr yaitu fi’il mudhari’ yang disertai lam ‘am ‫فمن ﺷهدمنكم الشهر‬
‫فليصمه‬dan ada juga sighat amr itu dijumpai dalam bentuk jumlah
khabariyah yang dimaksud didalamnya bukan hanya sekedar memberi
khabar tetapi adalah perintah untuk melakukan ‫والوالدات يرضعن اولدهن‬
‫حولين كاملين لمن اراد أن يتم الرضا عه‬maksud ayat ini bukan hanya sekedar
ikhtibar (memberi khabar) tentang penyusuan atas anak adalah satu
tahun dan yang kalau ingin sempurna maka dianjurkan dua tahun, tetapi
maksudnya adalah perintah untuk menyusui selama dua tahun.
3. Macam-macam penggunaan Am
Penggunaan kata amr bisa dikategorikan menjadi dua yaitu secara
hakiki yang mengandung makna perintah dan majazi yaitu mengandung
makna lain selain perintah dan keluar dari makna asalnya ‫األصل فﻰ األمر‬
‫للوجوب‬yaitu asal dari amr adalah untuk mewajibkan21 seperti ‫أﻗيمو‬
‫االصالة‬dalam ayat ini ada kewajiban untuk mendirikan shalat. Adapun
makna amr (perintah) yang hakiki itu pun ada yang mengartikan
musytarak karena didalamnya terkandung makna wajib, sunnah, atau
bahkan mubah.22 Terlepas dari pendapat itu bahwa ketika ada amr maka
itu bisa menunjukkan beberapa kemungkinan makna karena adanya
petunjuk-petunjuk atau penjelasan, diantaranya adalah:11

20
Dalam disiplin ilmu balaghah, sighat amr juga bisa dijumpai dengan sighat isim fi’il
amr seperti lafdz ‫ امين‬yang artinya ‫ ا ستجب‬dan masdar pengganti dari fi’il amr ‫وﻗضي ربك ال تعبدوا ال‬
‫ اي أحسنوا با لوالدين إياه و با لوالين إحسا‬-‫ نا‬seperti Lihat Mushtafa al-Ghalayin, Jami’ ad-Durus al-
Arabiyah, (Beirut: Al-
Maktabah al-Ashriyah, 1987)J. 1, h.33 dan 155-156
21
Fathi al-Darini, Al-Manhaj al-Islamiyah Fi Ijtihadi bi al-Ra’yi, (Damasyqi: Dar al-
Kutub alHadis, 1975), 704
22
tentang perbedaan ini bisa dilihat lebih lanjut pada pembahasan ushul fiqh, karena
didalamnya banyak dibahas dan dijelaskan mengenai konskwensi hokum yang diambil dari nash
yang mengadung amr, lihat Saifuddin Abi Al-hasan Al-Amidy, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam,
(Beirut: Dar al-Kutub, tt) 11Lihat lebih lanjut al-Suyuthi, al-Itqan Fi Ulum al-Quran, (Beirut:
Maktabah al-Ashriyah, 1988), J. 3, h.243 dan Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…... 166-171

54
a. Untuk hukum Nadb atau sunnah, artinya amr yang ada bukan untuk
wajib.
Umpannya firman Allah surat al-nur (24); 33 ‫فكا تبوهم إن علمتم فيهم‬
‫خيرا‬Lafadz katabah ‫ كتابه‬yaitu kemerdekaan dengan pembayaran
cicilan yang disuruh dalam ayat tersebut menimbulkan hukum nadb,
sehingga bagi yang menganggap tidak perlu maka tidak ada
ancaman

b. Untuk suruhan bersifat mendidik (irsyad), seperti dalam surat al-


Baqarah (2): 282, tentang apa yang sebaiknya dilakukan seseorang
setelah berlangsung hutang piutang‫ واستشهدوا ﺷهيدين‬Ayat ini mendidik
umat untuk mendatangkan dua saksi pada saat berlangsung transaksi
hutang piutang untuk kemaslahatan mereka. 3. Untuk hukum ibahah
atau boleh, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 60. ‫كلوا‬
‫واﺷربوا من رزﻕ ﷲ‬Suruhan dalam ayat ini tidak mengandung tuntutan
apa-apa terhadap orang yang menerima amr tetapi melainkan hanya
suatu kebolehan.
c. Untuk tahdid atau guna untuk menakut-nakuti, contoh dalam surat
Ibrahim (14): 30. ‫ تمتعوا فإن ﷲ مصيركم الﻰ ﷲ‬Meskipun dalam ayat ini
digunakan kata amr, namun tidak mengandung tuntutan apa-apa,
bedanya dengan ibahah diatas, adalah dalam bentuk tahdid itu
disebutkan janji yang tidak enak
d. Untuk imtinan atau merangsang keinginan untuk melakukan, seperti
dalam surat al An’am (6): 142. ‫كلوا مما رزﻗكم ﷲ‬Meskipun imtinan ini
sama dengan ibahah dari segi tidak ada hukuman, namun diantara
keduanya ada perbedaan , pada ibahah hanya semata izin untuk
berbuat sedangkan pada imtinan ada qarinah berupa kebutuhan kita
kepadanya dan ketidakmampuan kita untuk mengajaknya.
e. Untuk Ikram atau memuliakan yang disuruh, seperti terdapat dalam
surat al-Hijr (15): 46 ‫ادخلوا بسالم امنين‬
f. Untuk taskhir yaitu menghinakan, contoh yang terdapat dalam surat
al-Baqarah (2): 65, ‫ كنوا ﻗردة خاسئين‬dalam ayat ini tidak terkandung
perintah, karena tidak mungkin Allah menyuruh menjadi kera.
g. Untuk ta’jiz yaitu melemahkan yang berarti menyatakan
ketidakmampuan seseorang. Umpannya dalam surat al-Baqarah (2):
23. ‫ فأتوا بسورة من مثله وإن كنتم فﻰ ريب مما نزلنا علﻰ عبدنا‬Sebenarnya Allah
mengetahui bahwa orang yang disuruh dalam ayat ini tidak akan
mungkin mampu membuat satu ayat pun yang semisal dengan ayat
al-Quran, tetapi Allah menyuruhnya juga untuk berbuat demikian.
Suruhan ini bukan dalam arti yang sebenarnya tetapi hanya sekedar
menyatakan ketidakmampuan manusia.
h. Untuk Ihanah artinya mengejek dalam sikap merendahkan, seperti
dalam surat alDukhan (4): 49 ‫ ذﻕ إنك انت العزيز الكريم‬dalam ayat ini

55
Allah berkata pada arang kafir bukan bermaksud untuk menyuruh
melainkan mengejek.
i. Untuk Taswiyah artinya menyamakan pengertian antara berbuat atau
tidak berbuat,umpanya dalam surat al-Thur (52): 16
‫فا صبروا اول تصبروا سواء عليكم‬
j. Untuk doa, seperti dalam surat Ibrahim (14): 41 ‫اللهم اغفو لي ولوالدي‬
k. Untuk tamanni yang berati mengangankan suatu yang tidak akan
terjadi seperti kata penyair ‫أل أيها الليل الطويل أل أنجلي بصبح وما اإلصبا ح‬
‫منك بامثل‬suruhan ini tidak akan terwujud juga karena malam tidak
dapat dijadikan sasaran perintah.
l. Untuk ihtiqar artinya menganggap enteng terhadap yang disuruh,
seperti dalam surat al-Syua’ra (26):43 ‫ القوا ما انتم ملقون‬dalam ayat ini
Musa menganggap enteng para ahli sihir itu, bukan menyuruh.
m. Untuk takwin dalam arti penciptaan, seperti yang terdapat dalam
surat yasin (36):82
A. ‫إذا ارد ﺷيئا ان يقول له كن فيكون‬
n. Untuk takhyir artinya memberi pilihan seperti hadis Nabi
‫إذا لم تستح فا صنع ما ﺷئت‬

56
4. Kaidah -kaidah Amr
Dalam uraian tentang kaidah ini ada sebagian pembahasan yang
telah disebut didepan tetapi tidak menyeluruh, yaitu bahwa asal dari amr
adalah untuk wajib. Pembahasan mengenai kaidah amr ini penulis
banyak mengambil dari Qawaid at-Tafsir jam’an wa dirasatan karena
pembahasaannya yang sudah menyangkut keseluruhan, walaupun ada
penguatan dari buku-buku yang lain, adapun kaidah-kaidah itu adalah:
Pertama, Amr menunjukkan wajib kecuali ada hal atau petunjuk
yang membatalkannya.
Menurut pendapat jumhur apabila amr tidak disertai dengan
petunjuk atau penjelasan yang memberinya makna kekhususan maka itu
berfaidah wajib. Contoh asal amr adalah wajib surat an-Nur: 56. ‫و أﻗيموا‬
‫الصالةوأتوا الزكاة‬Adapun contoh amr yang tidak menunjukkan wajib
karena ada petunjuk yang memberikan makna khusus surat an-Nur: 33
‫فكا تبوهم إن علمتم فيهم خيرا‬menujukan nadb.23
Kedua, Adanya amr atas sesuatu mengharuskan larangan atas
kebalikanya.
Hal ini karena tidak mungkin menjalankan perintah dengan
sempurna kecuali dengan meninggalkan lawannya. Ulama sepakat
perintah untuk melakukan sesuatu memang menyatakan larangan untuk
melakukan yang sebaliknya, seperti ketika Allah memrintahkan untuk
meng-Esakan-Nya, shalat, zakat, puasa, haji dan yang lain , maka Allah
secara otomatis melarang adanya syirik, meninggalkan shalat, tidak
zakat dan lain-lain.24 Tetapi perlu dipertimbangkan apakah perbuatan
sebaliknya yang dilarang itu terdiri dari satu perbuatan atau bermacam-
macam perbuatan, seperti ketika orang diperintah bergerak, maka dia itu
dilarang untuk diam atau diperintah untuk berdiri? Hal ini dipersoalkan
bagi mereka (kelompok muktazilah seperti juwayni dan Ibnu Hajib)
yang tidak sependapat dengan adanya kaidah bahwa perintah tidak
menyatakan larangan atas kebalikannya.
Ketiga, Amr mengharuskan dikerjakan segera kecuali ada petunjuk.

23
Khalid bin al-Utsman al-Sabt, Qawiid Tafsir……. 481
24
Abd. Rahman Nashir as-Sa’di, 70 Kaidah Penafsiran al-Quran, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001). Terj. Mursani dan Mustahab, h. 112 dan Hasyim Kamali, Principles….. 184

57
Setiap lafadz amr yang datang dari syari’ maka diharuskan
menyegerakan pelaksanaannya. Dalam hal ini sekelompok ulama
membaginya menjadi dua yaitu perintah yang dikaitkan dengan waktu,
maka boleh kapan saja asal dilaksanakan dan yang kedua perintah yang
tidak terkait dengan waktu, yaitu waktunya ditentukan oleh Allah.25
Contoh yang dibatasi waktu menunaikan seperti shalat fardhu, maka
pelaksaannya bisa diundur sampai batas waktu akhir yang ditentukan
tetapi hilang kewajiban itu setelah waktunya habis. Adapun contoh yang
tidak menetapkan waktu adalah seperti perintah untuk melaksanakan
denda (kaffarat) maka pelaksaanya bisa diundur tanpa batas waktu,
tetapi dianjurkan untuk dilaksanakan segera.26
Keempat, Tuntutan amr yang dihubungkan dengan syarat atau sifat
yang mengandung arti secara berulang.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hal ini hanya dapat ditentukan
menurut kerangka indikasi-indikasi yang memang menentukan bahwa
diulang-ulangnya pelaksanaan perintah itu adalah wajib. Namun
demikian, apabila tidak terdapat indikasi seperti itu maka syarat minimal
perintah itu dipenuhinya sekali. Adapun indikasi yang menuntut
pengulangan adalah suatu perintah dimunculkan dengan menggunakan
ungkapan kondisional (adat syarat). Contoh bahwa adanya amr harus
dilaksanakan dengan berulang-ulang adalah ayat 6 surat al-Maidah. ‫وإن‬
‫كنتم جنبا فالطهروا‬Ayat ini menjelaskan bahwa setiap kali orang melakukan
jimak maka setiap kali itu pula orang itu harus mandi janabah. Demikian
juga apabila amr dikaitkan dengan suatu sebab atau sifat, misalnya
dalam surat bani Israil : 18 ....... ‫ أﻗم الصالة لدلوك الشمس الي غسق الليل‬Ayat ini
menuntut dilaksankanya perintah berulang-ulang apabila sebab
untuknya ada, yaitu apabila waktu salat yang ditentukan tiba
Kelima, Amr yang datang setelah adanya larangan hukumnya
seperti semula.
Dalam beberapa ayat Al Qur’an terdapat lafal amr yang terletak
sesudah adanya larangan (amr ba’da nahy) yang berarti disuruh
melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang melakukannya, tapi
kemudian hal ini sering menimbulkan perbedaan apakah berarti wajib
atau mubah?

25
Mengenai pembahasan tentang pembatasan dan tidaknya ini menurut Hasyim dibaginya
menjadi waktu fleksibel dan waktu ketat, sedangkan dalam bahasa Amir Syarifudin dikategorikan
menjadi waktu muwassa’ dan Mudhyya’ Lihat Hasyim, Principles…..h. 183 dan Amir Syarifydin,
Ushul Fiqh.… 185
26
tetapi tentang penjelasan yang detail dapat dilihat di Muhammad Adib Shalih, Tafsir
Nusus…..h. 345-359. Didalamnya dijelaskan panjang lebar tentang perbedaan pendapat para ulama

58
Didalam ulum Al Qur’an dijelaskan bahwa perintah setelah larangan
hukumnya seperti sebelum adanya larangan, jika itu mubah maka
menjadi mubah, jika wajib maka jadi wajib dan seterusnya.27 Tetapi
menurut mazhab Hanbali, imam Malik dan Syafi’I, perintah setelah
larangan mengandung maksud pembelahan bukan wajib dan inilah yang
disepakati oleh para ulama.28 Seperti contoh kebolehan untuk berburu
setelah diharamkan selama haji, surat al-Maidah: 1 ‫غير محل الصيد و أنتم‬
‫حرم‬suruhan berburu itu datang setelah dilarang dalam surat al-maidah
ayat 2. ‫ وإذا حللتم فاصطدوا‬Seperti juga kebolehan untuk berdagang setelah
diharamkan pada waktu shalat jumat Surat al- Jumuah ayat 10
o. ‫فا سعو الي ذكر ﷲ وذرا البيع‬
Keenam, Amr yang terdapat pada pertanyaan (yang boleh) mak
hukumnya boleh.
Pembahasan ini pada bahasan ushul Fiqhi di bahasakan ‫األمر بعد‬
‫اإلستعذا ن‬yaitu perintah setelah mintak izin dan pada dasarnya sama seperti
kaidah perintah setelah larangan, yaitu tidak menghendaki hukum wajib,
karena mintak izin dan larangan keduanya adalah merupakan qarinah
untuk berpaling dari perintah wajib kepada makna yang lain 29 seperti
dalam surat al-Maidah: 4 ‫يسألونك ماذا أحل لهم ﻗل أحل لكم الطيبا ت وما علمتم من‬
‫الجوارح مكلبين تعلمونهن مما علمكم ﷲ فكلوا مما أمسكن عليكم‬Amr disini adalah hasil
permintaan izin dan konsekwensi hukumnya adalah mubah
Ketuju,Perintah itu tergantung pada nama apakah hal itu adalah
menuntut pada peringkasan.
Makna dari kaidah ini adalah sesungguhnya jika hukum disandarkan
pada pada kully, maka keseluruhan dan bagian-bagian itu sepadan
(sama), baik dalam tinggi rendahnya ataupun banyak sedikitnya. Seperti
contoh surat An-nisa’: 92.( ‫ ) فتحرير رﻗبه‬Ayat ini memakai bentuk
peringkasan tidak dijelaskan siapa-siapa yang kena taklif maka
terkandung didalamnya hukum umum, yaitu dihukumnya baik
perempuan maupun orang yang masih kecil, hal itu bisa berubah kalau
ada pengecualian.
Kedelapan, Amr dengan bentuk yang berbeda, maka boleh memilih
Pada dasarnya lafadz amr menuntut suatu perbuatan tertentu untuk
dilaksanakan,, namun ada pula lafdz amr yang menuntut untuk
melakukan salah satu diantara beberapa alternatif perbuatan yang

27
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, J.2, .5
28
Abi al-Husain al-Bashri, Al-Mu’tamad Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub, Tt),.
75
29
Khalid bin Utsman al-Sabt, Qawaid…...488

59
disebutkan dalam nash yang dimaksud, amr seperti itu disebut
mukhayyar (dalam bentuk pilihan)30 seperti yang terdapat dalam surat al-
Maidah ayat 89 ‫فكفا رته إطعا م عشرة مسا كين من أوسط ما تطعمون اهليكم او كسوتهم‬
‫او تحرير رﻗبه‬Amr dalam ayat ini menuntut melaksnakan satu diantara tiga
pilihan yaitu memberi makna sepuluh orang fakir miskin, memberi
pakaian terhadap sepuluh orang miskin atau memerdekakan hamba
sahaya, tetapi kemudian persoalanya apakah yang dimaksud adalah
melaksanakan semua yang disebutkan atau hanya salah satu darinya?.
Menurut ulama ushul Fiqhi mengatakan bahwa kewajiban dalam amr itu
berlaku terhadap semua pilihan, tetapi menurut ulama yang lain
mengatakan bahwa bila salah satu diantara pilihan itu diilaksanakan,
maka tuntutan amr telah terpenuhi dan memadahi, yang terakhir ini yang
disepakati31
Kesembilan, Adanya Amr untuk umum maka mengharuskan
dilakukan setiap individu kecuali ada qarinah.
Amr yang ditujukan pada umum adakalanya dengan lafadz umum
yang ditujukan pada setiap individu yang mungkin kena taklif (terbebani
hukum) seperti ‫و أﻗيموا الصالة وأتو الزكاة‬amr di sini menggunakan lafadz
umum tetapi setiap orang Islam wajib menjalankannya, dan ada pula
yang amr yang ditujukan pada umum tapi tidak dengan lafadz umum
seperti Nahy
‫والتكن منكم امة يدعو ن الي الخير ويأ مرون با لمعروف‬
Sepuluh, Amr yang ada dalam Al Qur’an bisa diarahkan kepada orang yang
tidak masuk didalamnya, tetapi yang lain terkenai hukum amr itu, dan ada juga
yang diarahkan kepada orang yang masuk didalamnya dan merupakan amr untuk
orang tersebut juga.

Contoh yang pertama surat An-Nisa’: 47 ( ‫)يا أيها الذين أوتوا الكتاب أمنوا بما نزلنا‬
Dalam

ayat ini dimaksudkan fa’ilnya dalam ahli kitab untuk beriman kepada kitab yang
telah
diturunkan Allah, tetapi amr yang ada tidak hanya untuk ahli kitab saja, tetapi
orang yang sudah beriman terkena amr itu yaitu agar beriman kepada kitab yang
telah ditunkan Allah.
Adapun contoh yang kedua surat an-Nisa’:136 ( ‫ ) يا أيها الذين أمنوا أمنوا‬Amr
disini ditujukan kepada orang mukmin, sehingga semua orang mukmin terkena

30
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh……..192
31
Khalib bin Utsman al-Sabt, Qaidah……. 491

60
amr ini karena hal itu berguna untuk menambahkan keimanan seseorang,
memperbaiki dan menyempurnakan yang masih kurang bukan berarti perintah
Allah tidak ada kegunaan dan manfaat didalamnya.32

1. Pengertian Nahy
Nahy secara bahasa kebalikan dari amr, nahy bentuk masdar dari -
‫ ينهينهيا‬- ‫نهي‬yang artinya mencegah atau melarang22‫ز‬Sedangkan menurut
istilah nahy adalah ungkapan yang meminta agar suatu perbuatan
dijauhi yang dikeluarkan oleh orang yang kedudukan ya lebih tinggi
kepada orang yang kedudukanya lebih rendah33 tetapi dalam ulum Al
Qur’an disebutkan lebih sederhana yaitu tuntutan untuk meninggalkan
suatu perbuatan, atau mencegah untuk melakukan pekerjaan tertentu.34
Dari pengertian tersebut dapat diambil benang merah, bahwa nahy
harus mengandung kriteria:
1. Nahy harus berupa tuntutan
2. Tuntutan tersebut harus berupa meninggalkan
3. Tuntutan untuk meninggalkan harus ditujukan oleh sighat nahy

32
Abd. Rahman Nashir as-Sa’di, 70 Kaidah…... 145
Munawir……….. .734
22

33
Muhammad Adib, Tafsir Nusus .J.2 . 377
34
Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1994),
h.165, Al-Syaukani, al-Itqan………J. 3, ..243, Khalid bin Utsman as-Sabt, Qawaid….J.2,.h.506

61
2. Sighat Nahy
Seperti halnya amr, nahy dalam menyatakan suatu larangan pun
memiliki beberapa sighat, seperti:35
a. Bentuk tipikal dari larangan (nahy) dalam bahasa arab adalah dengan
menggunakan fi’il mudhari’ yang didahuluui dengan lam nahy, seperti
dengan wazan ‫ ل تفعل‬yang menunujukkan pelarangan36. Seperti dalam
surat al-Isra’: 32 ‫وساء سبيال ول تقربوا الزنا إنه كن فا حشة‬, tetapi ada yang
membahasakanya dalam bentuk nakirah, apabila ada kata nakirah yang
mengandung nahy (larangan) melakukan yang ditunjukkanya, maka
larangan itu menunjukkan pada pengertian yang bersifat umum, contoh
dalam surat al-Nisa’:36 ‫ وعبدوا ﷲ ول تشركوا به ﺷيئا‬dalam ayat ini
ditegaskan, adanya larangan mempersekutukan Allah dengan cara dan
bentuk apapun, karena itu termasuk dosa besar.37
b. Dengan sighat fi’il amr yang menunjukkan larangan, seperti terdapat
dalam surat alJumuah:100 ‫) وذرا البيع‬
c. Dengan lafadz nahy, contoh surat al-Nahl: 90 ‫وينهي عن القحشاء والمنكر‬
d. Larangan kadang dikemukakan dalam bentuk pernyataan atau jumlah
khabariyah, contoh surat al-Baqarah: 221

‫حرمت عليكم أمها تكم وبنا تكم‬

3. Makna Nahy
Larangan seperti halnya perintah membawa berbagai variasi makna,
meskipun makna pokok dari nahy adalah menunjukkan suatu yang haram
( ‫)األ صل في النهي التحريم‬, tetapi kadangkala keluar dari makna asal karena
ada petunjuk yang menunjukkan tidak hanya meneunjukkan keharaman,
tetapi juga beberapa makna, seperti:38
a. Untuk makruh ( ‫) كراهة‬atau ketercelaan seperti ayat Al Qur’an yang
meminta orang-orang beriman untuk tidak mengharamkan makanan-
makanan yang dihalalkan Allah kepadamu, surat al-Maidah (5):87 ‫ل‬
‫تحرموا طيبات ما أحل ﷲ لكم ول تعتدوا‬
b. Untuk mendidik atau tunutunan ( ‫) إرﺷاد‬seperti dalam ayat Al Qur’an
yang meminta orang beriman agar tidak menanyakan masalah-masalah
apabila dijelaskan maka akan menimbulkan kesulitan, surat al-Maidah
(5):101 ‫ل تسألوا عن أﺷياء إن تبدلكم تسؤ كم‬
c. Untuk permohonan ( ‫ ) دعاء‬seperti dalam surat Ali Imran (3):8

35
Hasyim, Principles….185, Muhammad Adib, Tafsir Nusus….J. 2, h.377-378
36
Al-Syaukani, Al-Itqan……h. 243
37
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998),
h.68
38
Isa Zahran, AL-Muntakhab Fi Ushul Fiqh, (Kairo: Jamiah al-Azhar,1998), h.117

62
‫ربنا ل تزغ ﻗلوبنا بعد إذهديتنا‬
d. Untuk merendahkan ( ‫) تحقير‬, seperti dalam surat al-Hijr (15):88
e. Untuk penjelasan akibat ( ‫) بيا ن العا ﻗبة‬, seperti terdapat dalam surat
Ibrahim (14): 42
f. Untuk keputua-asaan ( ‫) اليأس‬, seperti terdapat dalam surat al-Tahrim
(66): 7 ‫يا أ يها‬
Oleh karena nahy dapat membawa berbagai makna, maka para
ulama berbeda pendapat tentang manakah diantara makna-makna itu
yang merupakan makna hakiki, ada sebagian ulama yang mengatakan
bahwa makna hakiki dari nahy adalah karahah (ketercelaan), menurut
pendapat jumhur mengatkan bahwa makna hakiki dari nahy adalah
untuk tahrim, tetapi maknanya bisa berubah kalau ada indikasi-indikasi
yang menunjukkan demikian.39

4. Kaidah -Kaidah Nahy


Seperti halnya amr, dalam memahami nahy yang sering dijumpai
dalam nash Al Qur’an dibutuhkan juga adanya kaidah-kaidah atau rambu-
rambu Didalam memahaminya, dintara kaidah-kaidah itu adalah:30
Pertama, Nahy menuntut adanya Tahrim, Disegerakan dan Terus-
menerus (Selamanya). Dalam kaidah ini terdapat tiga hal: pertama; Pada
hakikatnya asal nahy adalah untuk menunjukkan hukum haram dan ia baru
bisa menjadi bukan haram bila ada dalil/qarinah yang menunjukkan.
Dalam hal ini ulama sepakat bahwa ketika Allah
menunjukkan/menampilkan dengan bentuk larangan maka itu pasti ada
manfaat bagi yang kena taklif dan ada kerusakanya atau madharat
didalamnya.
Kedua; Adanya larangan itu menunjukkan atas kesegerahan untuk
dipatuhi, dengan kata lain apa yang dilarang wajib dijauhi secepat
mungkin.
Ketiga, Tuntutan lafadz nahy berlaku untuk selamanya. Perintah
Allah atas apa yang dilarang tidak bisa berubah kecuali ada dalil yang
dapat menghilangkan dan memberikan pembatasan waktu. Contoh dalam
kaidah ini dapat diambil dari surat al-An’am (6): 151.

39
Tetapi menurut ulama ushul mengatakan bahwa pada dasarnya perbedaan itu bukan
diakibatkan karena berbeda pandangan dalam menentukan asal makna nahy, Akan tetapi,
perbedaan itu didasarkan pada ada atau tidaknya qarinah yang memalingkan larangan dari makna
tahrim kepada makna yang lain. Bagi mereka yang mengatakan tidak ada qarinah yang
memalingkan dari sighat nahy kepada arti selin tahrim, memutuskan hurum haram. Sebaliknya bila
ada qarinah yang mendukung kepada arti karahah maka keputusanyapun menjadi makruh. Lihat
Musthafa Said Khan, Atsarul Ikhtilaf Fi AlQawaid al-Ushuliyah Fi Ikhtikaf al-Fuqaha, (Beirut:
Muassash al-Risalah, 1985), h. 339 30Khalib bin Utsman. Qawaid Tafsir…..h. 509-517.

63
Dalam ayat ini menunjukkan bahwa haram memakan riba, harus
dijauhi dengan segera dan berlaku selamanya sampai kapanpun (dawam)
Kedua, Nahy atas sesuatu yang tidak dapat dihindari mengandung
dilalah atas nahy yang diharuskan (menjauhi) dalam proses awal. Maksud
dari kaidah ini adalah ketika Allah memakai kalimat dalam Al Qur’an yang
menunjukkan larangan tidak tegas, maka hal itu menunjukkan hal yang
sangat haram, seperti dalam surat al-Isra: 32. ‫ول تقربوا الزني‬Dalam ayat ini
memakai larangan-Nya dengan kata-kata ‫( ول تقربوا‬jangan mendekati), hal
ini mengandung pengertian yang sangat penting dan dalam yaitu larangan
atas zina, karena mendekati saja Allah sudah melarangnya apalagi
melakukanya. Contoh lain dalam surat al-An’am : 151
‫ول تقربوا الفواحش ما طهر منها وما بطن‬

Ketiga, Jika Syari’ mencegah atas sesuatu (secara umum), maka


berlaku atas sebagainya, begitu juga dengan amr, jika syari’
memerintahkan atas sesuatu maka berlaku atas keseluruhannya juga.
Kaidah ini mengandung pengertian bahwa ketika syari’ memerintahkan
untuk melakukan sesuatu maka pasti ada manfaatnya dan dalam hal
kebagusan, oleh karena itu diharuskan untuk melakukan semuanya.
Berbeda dengan nahy, ketika syari’ melarang melakukan maka hal itu
mengharuskan untuk dihilangkan karena ada madharat nya atau karena
kotor (khabis) dan adanya larangan itu berlaku umum yaitu semua bagian-
bagiannya-pun haram kecuali ada pengecualian, seperti larangan Allah
atas anjing maka semua bagian dari anjing itu haram, seperti juga khamar.
Contoh larangan syari’ seperti dalam surat al-Maidah: 3 ‫حرمت عليكم الميتة‬
‫و الدم‬......‫ ولحم الخنزير وما اهل لغير ﷲ‬Dalam ayat ini dijelaskan hal-hal yang
diharamkan secara mutlak itu berlaku atas semua bagian-bagiannya, baik
sebagian itu sedikit atau banyak, diharamkan bangkai maka haram juga
kain kafannya, lemaknya, dagingnya dan bagian yang lain kecuali ada dalil
yang mengecualikannya seperti mengulitinya.

Sedangkan contoh amr yang berlaku atas keseluruhannya seperti


dalam surat al Baqarah: 23 ‫حتي تنكح زوجا غيره‬Dalam ayat ini diharuskan
menyempurnakan akad dan dukuh bersamaan.

Keempat, Hadirnya Nahy atas insya’40 dengan bentuk khabar itu


lebih mendalam dari pada dengan bentuk insya’ itu sendiri.

40
Dalam ilmu balaghah kalam terbagi menjadi dua yaitu kalam insya’ dan kalam khabar.
Kalam insya’ adalah kalimat yang pembicaranya tidak dapat disebut sebagai orang yang benar atau
sebagai orang yang dusta. Sedangkan kalam khabar adalah kalimat yang pembicaranya dapat

64
Maksudnya ketika ada pernyataan yang mengandung insya tapi
dengan bentuk khabar maka syari’ menginginkan agar segera dilakukan,
baik itu mengenai perintah atau larangan. Hal ini seperti kaidah: 1)
datangnya nahy dengan bentuk khabar (seperti nafi tapi yang dimaksudkan
nahy) dan yang ke 2) datangnya amr dengan bentuk khabar.

B. Pengertian ‘Amm dan Khas


1. Pengertian 'Amm
Al ‘ammm secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan
secara terminologi atau istilah, Muhammad Adib Saleh mendefinisikan
bahwa al ‘amm adalah lafaz yang diciptakan untuk pengertian umum
sesuai dengan pengertian tiap lafaz itu sendiri tanpa dibatasi dengan
jumlah tertentu.41
Lafaz amm ini adalah menurut kepada bentuk dari suatu lafaz, di
dalam lafaz itu tersimpul, atau masuk semua jenis yang sesuai dengan
lafaz itu. Sebagaimana kita katakan al-insan (manusia, maka di dalam
kata-kata al-insan ini termasuk semua manusia yang ada di dunia ini,
baik manusia itu kecil ataupun besar, baik dia merdeka maupun dia
masuk golongan budak, baik dia bebas maupun dia terikat. Adakalanya
lafaz umum itu ditentukan dengan lafaz yang telah disediakan untuk itu,
seperti lafaz “kullu, jami’u, dan lain-lain.
Maka yang dimaksud dengan ‘amm yaitu suatu lafaz yang
dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh)
dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.
Seperti kita katakan arrijal, maka lafaz ini meliputi semua laki-laki.42

dikatakan sebagai orang yang benar atau dusta, bila kalimat itu sesuai dengan dengan kemyataan
maka pembicaranya adalah benar, dan bila kalimat itu tidak sesuai dengan kenyataan maka
pembicaranya adalah dusta. LihatAli alJarimi dan Mushtafa Utsman, Al-Balaghah al-Wadhihah,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo,2004), terj. Mujiyo, dkk. 198

41
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 196.

42
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996),
184

65
Manna’ Khalil al-Qattan mendefinisikan ‘Amm sebagai berikut
yaitu: “lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas
baginya tanpa ada pembatasan”.43
Adapun Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Amm sebagai berikut
yaitu Al-‘Amm ialah lafaz yang menurut arti bahasanya menunjukkan
atas mencakup dan menghabiskan semua satu-satuan yang ada di dalam
lafaz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan
itu.44
Al-‘amm (keumuman) ialah lafaz yang menunjukkan pengertian
yang meliputi seluruh objek-objeknya seperti:

‫الية‬.…‫سانَ لَ ِفي خسر‬


َ ‫ا َِّن ا ِلن‬

“sesungguhnya manusia itu dalam kerugian….”.(QS. Al Asr:2)

2. Lafal –Lafal ‘Amm


Menurut Manna’ Khalil Al-Qattan45, sedikitnya ada 6 sifat ‘Amm
diantaranya : Kull, seperti firman Allah :

ِ ‫( ك ُّل نَفس ذَائِقَة ال َم‬ali ‘Imran : 185) dan … ‫(خَا ِلق ك ِل ﺷَيئ‬al-An’am : 102).
‫ت‬
Searti dengan kulladalah jami’.

Lafaz-lafaz yang di-ma’rifah-kan dengan alyang bukan al-


‘ahdiyah.Misalnya :‫سانَ لَ ِفي خسر‬
َ ‫( َوال َعص ِر ا َِّن ا ِلن‬al-‘Asr : 1-2). Maksudnya,

Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa,
43

Bogor, 2011), 312

44
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada), 298

Manna’ Khalil Al-Qattan, 316.


45

66
setiap manusia, berdasarkan ayat selanjutnya :‫( اِلَّ الَّذِينَ ا َ َمنوا‬al-Asr : 3).
Juga seperti : ,‫(واَ َح َّل الله البَي َع‬al-Baqarah
َ َ ‫َّارﻗَة فَاﻗ‬
: 275) dan ‫طعوا‬ ِ ‫َّارﻕ والس‬
ِ ‫َوالس‬
‫( …أي ِديَه َما‬al-Ma’ idah : 38)

Isim Nakirah dalam konteks Nafy dan Nahi, seperti :

ِ‫ث َولَفسوﻕَ َولَ ِجدَا َل فِي ال َحج‬ ِ ‫( فَالَ ت َقل لَه َما أ‬Al-Isra’
َ َ‫( فَالَ َرف‬al-Baqarah : 197), ‫ف‬
: 23), ataudalam konteks syarat seperti :

‫ﻰ يَس َم َع َكالَ َم الل ِه‬


َّ ‫اركَ فَا َ ِجره َحت‬
َ ‫( َواِن ا َ َحد ٌ ِمنَ المش ِر ِكينَ است َ َج‬Al-bara’ah : 6)

Al-Lati dan Al-Lazi serta cabang-cabangnya. Misalnya : ‫َوالَّذِي ﻗَا َل ِل َوا ِلدَي ِه‬
‫( أف لَك َما‬al-Ahqaf : 17) maksudnya setiap orang yang mengatakan
seperti itu, berdasa‫هللا‬firman sesudahnya dalam sigat jamak, yaitu :
‫(اولَئِكَ الَّذِينَ َح َّق َعلَي ِه القَول‬al-Ahqaf : 18)

Semua isim syarat. Misalnya : ‫ف‬ َّ َ‫فَ َمن َح َّج البَيتَ ا َ ِواعتَ َم َرفَالَ جنَا َح َعلَي ِه اَن ي‬
َ ‫ط َو‬
‫( ِب ِه َما‬al-Baqarah : 158) ini untuk menunjukkan umum bagi semua yang
berakal. Dan ‫( َو َما تَف َعلو ِمن خَير َيعلَمه الله‬al-Baqarah : 197) ini untuk
menunjukkan bagi yang tidak berakal.

Ismul-Jins (kata jenis) yang di-idafat-kan kepada isim ma’rifah.


Misalnya ‫( َفل َيحذَ ِر ا َّلذِينَ يخَا ِلفونَ َعن أَم ِر ِه‬An-Nur : 63) maksudnya segala
perintah Allah. Dan ‫صيكم الله في ِ أَولَدِكم‬ ِ ‫( يو‬An-nisa’ : 11)

3. Macam-macam ‘Amm

Abdul Wahab Khalaf menyimpulkan bahwa menurut hasil


penelitiannya terhadap beberapa nash, telah ditetapkan bahwa al-‘amm
itu ada tiga bagian46 :

46
Abdul Wahab Khalaf, 305

67
‘Amm yang tetap dalam keumumannya (Al-‘amm al-baqi ala umumih)

Seperti ‘Amm dalam firman Allah SWT :

‫ض اِلَّ َعلَﻰ الل ِه ِرزﻗ َها‬


ِ ‫َو َما ِمن دَابَّة فِي الَر‬

“dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah
yang memberi rezekinya.” (QS. Hud : 6)

Dan firman Allah :

ِ ‫َو َج َعلنَا ِمنَ الما َ ِء ك َّل ﺷَيئ َحي‬

Dan daripada air ,kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (QS.Al
Anbiya 30)

Di dalam masing-masing ayat tersebut terdapat ketetapan sunnah tuhan


yang umum yang tidak ditakhsiskan atau diganti. Jadi Al-‘Amm yang
terdapat dalam dua ayat tersebut, adalah pasti dalalahnya tentang
keumumannya dan tidak mempunyai kemungkinan bahwa yang
dimaksud dari padanya adalah kekhususan.

Contoh lain seperti dicontohkan oleh Manna Khalil al-Qattan misalnya:

dalam surat An-Nisa’ ayat 176 :‫لﻰ ُّك ِل ﺷَيئ ﻗَدِي ٌر‬
َ ‫والله َع‬.

Dalam surat Al-Kahfi ayat 49 :‫ولَ َيظ ِلم َربُّكَ أَ َحدًا‬.


َ

Dalam surat An-Nisa’ ayat 23 :‫‘ح ِر َمت َعلَيكم ا َّم َهاتكم‬

68
Amm dalam ayat-ayat di atas tidak mengandung kekhususan.47 (Al-
‘amm al-murad bihi al-khusus)

Yaitu ‘amm yang dibarengi dengan qorinah yang dapat meniadakan


ketetapan al-‘amm kepada keumumannya, dan dapat menjelaskan
bahwa yang dimaksud dari padanya ialah sebagian satuannya. Seperti
firman Allah :

… ً‫سبِيال‬
َ ‫ﻉ اِلَي ِه‬ َ َ ‫ت َم ِن است‬
َ ‫طا‬ ِ َّ‫علَﻰ الن‬
ِ ‫اس ِح ُّج البَي‬ َ ‫َولل ِه‬

”mengerjakan haji ke baitullah adalah kewajiban manusia terhadap


Allah” (QS. Ali Imron:97)

Manusia dalam pengertian nash ini adalah ‘amm, yang dimaksud


dengan itu khusus orang-orang mukallaf. Karena akal itu (sebuah
batasan) yang menetapkan tidak masuknya anak kecil dan orang-orang
gila. Seperti firman Allah :

َ ‫ب أَن َيت َ َخلَّفوا‬


)۱٠ .: ‫عن َرسو ِل الل ِه (التوبة‬ ِ ‫َما َكانَ ِألَه ِل ال َمدِينَ ِة َو َمن َحولَهم ِمنَ الَع َرا‬

“tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab


Baduwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai
Rasulullah (untuk pergi berjuang) (QS. At-Taubah : 120)

Sepintas lalu difahami bahwa ayat tersebut menunjukkan makna umum,


yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang sekitarnya termasuk
orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut menyertai

Manna’ Khalil Al-Qattan, 317


47

69
Rasulullah pergi berperang. Namun yang dimaksud oleh ayat tersebut
bukanlah makna umum itu, tetapi hannyalah orang-orang yang mampu.48

Contoh lain adalah seperti firman Allah ;

َ َّ‫اَلَّذِينَ ﻗَا َل لَهم النَّاس ا َِّن الن‬


‫اس ﻗَد َج َمعوا لَكم فَاخشَوهم فَزَ ادَهم اِي َمانًا َوﻗَالوا َحسبنَا‬
)۱٧۳ : ‫الله َونِع َم ا َلو ِكيل (ال عمران‬

Maksud An-nas yang pertama adalah Nu’aim bin Mas’ud, sedang An-
Nas kedua adalah Abu Sufyan. Kedua lafaz tersebut tidak dimaksudkan
untuk makna umum. Kesimpulannya ditunjukkan pada ayat sesudahnya
‫ اِنَّ َما ذَا ِلكم‬sebab syarat dengan ‫ ذَا ِلكم‬hanya menunjukkan kepada satu orang
tertentu.

‘Amm yang di khususkan (Al-‘amm al-makhsus)

yaitu ‘amm al-Muthlaq yang dibarengi dengan qorinah yang dapat


meniadakan kemungkinan mentakhsisnya, dan tidak pula merupakan
qorinah yang dapat meniadakan dalalahnya atas umum. Seperti
kebanyakan nash yang di dalamnya terdapat sighot umum, adalah
digeneralkan dari qorinah-qorinah berupa akal atau lafaz, atau urf
(kebiasaan) yang dapat menentukan umum atau khusus. Ini jelas umum
sampai ada dalil yang 0.Seperti : َ‫طلَّقَات يَت ََربَّصن‬
َ ‫“والم‬perempuan-perempuan
َ
yang dijatuhi talak itu menahan diri atau menunggu” .dalam
membedakan antara, al-‘amm yang dimaksudkan dengan itu al-khusus
dan al-amm al-makhsus, imam Asy-Syaukani berkata : Al-‘amm yang
dimaksudkan dengan itu al-khusus ialah bukan umum. Seperti kitab-
kitab taklif yang umum. Maka yang dimaksud dengan al-amm di sana
ialah khususnya orang-orang yang menjadi objek taklif. Karena akal

48
Satria Effendi, M. Zein Ushul Fiqh, 199

70
merupakan batasan yang menghendaki memperkecualikan bukan
mukallaf.49

‘Amm macam ini banyak ditemukan dalam Quran sebagaimana akan


dikemukakan nanti. Contohnya, ayat 97surat ali Imran :

ً‫س ِبيال‬
َ ‫ﻉ اِلَي ِه‬ َ َ ‫ت َم ِن است‬
َ ‫طا‬ ِ َّ‫لﻰ الن‬
ِ ‫اس ِح ُّج ال َبي‬ َ ‫ع‬َ ‫َولل ِه‬

2. Pengertian Khas

Lafaz khas merupakann lawan dari lafaz ‘amm, jika lafaz ‘amm
memberikan arti umum, yaitu suatu lafaz yang mencakup berbagai
satuan-satuan yang banyak, maka lafaz khas adalah suatu lafaz yang
menunjukkan makna khusus.50 Definisi lafaz khas dari para ulama adalah
sebagai berikut:

Menurut Manna al-Qaththan, lafaz khas adalah lafaz yang merupakan


kebalikan dari lafaz ‘amm, yaitu yang tidak menghabiskan semua apa
yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.

Menurut Musthafa Said al-Khin, lafaz khas adalah setiap lafaz yang
digunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang
diketahui.

Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf, lafaz khas adalah lafaz yang
digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu.51

49
Abdul Wahab Khalaf, 306

50
Mohammad Nor Ikhwan, Memahami Bahasa Al-qur’an,( Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), 185

51
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), 299.

71
Khas adalah lawan kata ‘amm, karena itu tidak menghabiskan semua apa
yang pantas baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah mengeluarkan
sebagian apa yang dicakup lafaz ‘amm. Dan Mukhassis (yang
mengkhususkan) ada kalanya muttasil, yaitu yang antara ‘amm dan
Mukhassis tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan adakalanya munfasil, yaitu
kebalikan dari muttasil52

Seperti yang dikemukakan Adib Shalih, lafaz khas adalah lafaz yang
mengandung satu pengertian tunggal secara tunggal atau beberapa
pengertian yang terbatas. Sedangkan Saiful Hadi mengatakan lafaz
khusus adalah lafaz yang menunjukkan arti satu atau lebih tapi masih
dapat di hitung atau terbatas, seperti 53]‫ أَلف ِر َجال‬,‫ َرجالَ ِن‬,ٌ‫َرجل‬

Jadi yang dimaksud dengan khas ialah lafaz yang tidak meliputi
mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa
menghendaki kepada batasan.54

Manna’ khalil Al-Qattan, 319


52

53
Saeful Hadi, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), 46

54
Nazar Bakri, 195

72
C. Mujmal dan Mubayyan

1. Pengertia Mujmal dan Mubayyan

Arti Mujmal menurut bahasa adalah kabur atau tidak jelas, samar-samar.
Maksudnya suatu perkara atau lafadz yang tidak jelas atau hal-hal yang
memerlukan penjelasan. Mujmal menurut istilah Ushul Fiqhi adalah lafadz
atau mantuq yang memerlukan bayan (penjelasan).
Mujmal adalah suatu perkataan yang belum jelas maksudnya dan untuk
mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan ini disebut
Bayan. Dalam arti lain, kandungan maknanya masih global dan
memerlukan perincian. Ketidak jelasan tersebut disebut ijmal.

Arti mubayyan menurut bahasa adalah yang menjelaskan. Maksudnya


adalah suatu lafadz yang mengandung penjelasan.Mubayyan menurut
istilah Ushul Fiqhi adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil
(kabur) kepada bentuk yang terang.

Mubayyan adalah suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa memerlukan


penjelasan dari lainnya (Saebani, 2009: 261).

B.Bentuk -bentuk lafaz mujmal dan mubayyan

1.Lafadz mufrad yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari satu kalimat. Lafadz-
lafadz mufrad juga dilihat dari segi jenis ada tiga macam:

Isim artinya nama atau nama benda.

Contoh: ‫ ٍختاز‬boleh sebagai pelaku (fa‟il), dalam hal ini diartikan dengan
“orang yang memilih”, dan boleh juga sebagai maf‟ul (tujuan) atau
penderita, yang dalam hal ini diartikan dengan “orang yang dipilih”.

a.Fi”il aritnya kata kerja

73
Contoh: ‫ عسعس‬boleh diartikan dengan “datang” dan boleh juga dengan arti
“kembali‟ atau “pulang”. ‫ باﻉ‬boleh diartikan dengan “menjual” dan boleh
dengan “membeli”.

B Huruf (‫ )حسف‬kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat yang tidak
akan berarti bila tidak disambung dengan yang lainnya.

Contoh: ٍ artinya „dan” kedudukannya boleh sebagai ataf (‫ )عطف‬artinya


penyambung, tetapi boleh juga sebagai al-Ibtida‟ (‫ )البتداء‬artinya kata awal
atau permulaan (Djalil, 2010: 110).

Yang termasuk mufrad diantaranya adalah :

C.Lafadz yang diletakkan untuk dua makna secara hakikat, yakni lafadz
lafadz yang musytarak, seperti lafadz ‫ اىقسء‬yang diletakkan untuk
menunjukkan makna “suci” dan makna “haid”.
1) Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan sebab
adanya musyabahah (keserupaan) dalam sebuah titik persamaan. Seperti
lafadz ‫ اى ٘ز‬yang layak untuk diarahkan pada makna “akal” dan
“cahaya matahari”.
2) Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan sebab
adanya mumatsalah (kemiripan). Seperti lafadz ‫اىجس‬
ٌ yang layak diarahkan
pada “langit‟ dan “bumi”, atau benda-benda yang lain.
3) Lafadz yang terkena imbas I‟lal, seperti lafadz ‫ اىَختاز‬yang diarahkan
pada bentuk isim fa‟il atau isim maf‟ul (Afandi dan Huda, 2013: 157 158).

2. Lafadz-lafadz murakkab yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari beberapa


kalimat.
Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:

٢٣٧ : ‫ اىبقسة‬. . .‫عف اىري ب دَٰٓ عقدة اىٍناح‬


٘ ‫ا‬
Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah… (QS. Al-
Baqarah: 237)

Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami, karena
maknanya tidak tunggal, berarti hukumnya belum pasti. Oleh karena itu,

74
tidak diamalkan sebelum ada penjelasan atau al-Bayan (Saebani, 2009:
262). Mubayyan atau penjelasan dilihat dari segi jenisnya, terbagi kepada
beberapa macam:

٘ ‫)ب ابا‬
1. Penjelasan dengan kata-kata (‫باىق ٍ٘ه‬
Contoh, firman Allah yang berbunyi:

ً ً ‫فص ا ً ثالثت ا ااٌا‬


١٩٦: ‫ اىبقسة‬...‫فف اىحج سبعت اذا زجعتٌ تيل عشسة ماٍيت‬
“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam waktu haji, dan tujuh hari
setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. (QS. Al-
Baqarah: 196).
Perkataan “sepuluh hari yang sempurna‟ pada ayat tersebut adalah sebagai
penjelasan dari tiga dan tujuh hari yang disebutkan sebelum itu.

2. Penjelasan dengan perbuatan (‫)ب ابا باىفعو‬

Contoh, seperti cara-cara Shalat yang harus diikuti sebagaimana yang


diterangkan dengan perbuatan beliau sendiri, sebagaimana sabdanya yang
berbunyi:
ً ‫صي ٍ٘ا َمٍَ ا زا ٌ تَ ازا ٌ ٘ت َا ًّ اص‬
.‫ حد ٌث‬. ‫ي‬ ٘
“Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan sholat.”
(hadis)

3. Penjelasan dengan tulisan atau surat (‫)ب ابا باىنتاب‬

Contoh, seperti ukuran zakat dan diat anggota-anggota badan, banyak Nabi
melakukan dengan surat-surat, untuk dikirim ke daerah-daerah Islam di
waktu itu.

4. Penjelasan-penjelasan dengan isyarat (‫)ب ا بالﺷازة‬

Contoh, seperti penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan Ramadhan,
dengan mengucapkan
‫ حد ٌث‬.‫ ٕنرا‬،‫ ٕنرا‬،‫اىش ٍٖس ٕنرا‬
ٖ
“Satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian” (Hadist).
Sewaktu Nabi mengucapkan “sekian” pertama dan kedua adalah dengan
mengangkat semua jari tangan, dan sedang waktu mengucapkan “sekian”
yang ketiga, Nabi melipatkan satu ibu jarinya. Hal tersebut merupakan

75
isyarat yang menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah dua puluh
Sembilan hari. Yang demikianlah penjelasan dengan isyarat.

5. Penjelasan dengan meninggalkan (‫)ب ابا باىتسك‬


Contoh, seperti yang disebutkan dalam satu riwayat oleh Jabir:

ِ ‫ ابا‬. ‫ض ٍ٘ء َا ست اىٍاز‬


‫ب حباحبا‬ ٘ ً ‫ي عد‬
٘ ‫اى‬ ٍٔ ‫زس ٍ٘ه ﷲ عي‬
ٌ ‫عي س‬ ٘ ‫س ٍِ ب‬
ٌ َ‫اى سٌاى‬
َ ‫ماما اخساج‬
“Adalah akhir dua perkara dari Nabi SAW. (adalah) tidak mengambil
wudhu

(lagi) setelah makan sesuatu yang dibakar.” (Hadist Ibnu Hibban).

Dari riwayat tersebut tampak bahwa pada mulanya, setiap makan


sesuatu yang dibakar maka Nabi SAW. Wudhu, kemudian Nabi tinggalkan,
yakni Nabi tak wudhu lagi walau makan makanan yang dibakar. Nabi
meninggalkan wudhu dalam hal tersebut, oleh ulama dikatakan sebagai
penjelasan atau bayan dengan meninggalkan (Djalil, 2010: 113- 115).

5. C.implekasi hukum Mujmal dan Mubayyan


1. Hukum dan kaidah mujmal

Tentang hukum mujmal pada umumnya ulama berkata:

ٍِ ‫ف اىﻰ اا بٌٍ ب‬
ٍٔ ‫اىت ٍ٘ﻗف ف‬ ٌ
٘ ‫حن اى َجٍَ و‬
“Hukum mujmal adalah tawaquf (ditunda, ditangguhkan) sampai
ada atau terdapat bayan (penjelasan).”
Maksudnya adalah apabila terdapat satu dalil yang bersifat mujmal,
sedang bayannya belum didapat atau belum ditemukan, maka dalil tersebut
tidak boleh diamalkan sebelum mendapatkan penjelasan atau bayan dari
dalil tersebut.

Tapi ada sebagian ulama yang tidak sendirian dengan ketentuan di


atas, antara lain Daud Adzahiri yang berpendapat bahwa boleh
mengamalkan dalil yang mujmal bila tidak terdapat bayan atau
penjelasannya. Alasan beliau antara lain adalah tidak mungkin terdapat dalil
yang mujmal setelah Nabi wafat, karena sebelum Nabi wafat, Islam telah
disempurnakan terlebih dahulu (Djalil, 2010:
109).

76
2. Hukum menangguhkan penjelasan

Hukum menangguhkan penjelasan yang dimaksudkan di sini adalah


misalnya seorang bertanya tentang suatu perkara yang berhubungan dengan
agama, dalam hal demikian apakah kita boleh menangguhkan jawaban
karena sesuatu hal, dan bagaimana bila saat itu si penanya sangat
memerlukan hukumnya.

Dilihat dari segi waktunya, maka penangguhan ada dua macam,


masing-masing terdapat ketentuan ulama:

.‫تاءخٍس اىب ااىبا ععِ ﻗت اىحاجت ل ٘ج ٍ٘ش‬

“menangguhkan penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak boleh.”

Alasan ketentuan di atas adalah, bila dalam hal demikian kita


menangguhkan penjelasan, berarti kita membenarkan seseorang berijtihad
salah atau membenarkan seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak
sesuai dengan kehendak agama.

Di samping itu beralasan itu berlandaskan juga dengan hadits yang


berasal dari Aisyah, yang mana ketika Fatimah binti Abi Hubeisy bertanya
pada Nabi
„apakah boleh meninggalkan sholat, karena dirinya selalu „istihadah”‟,
yakni tidak pernah suci. Maka Nabi menjawab:

“Tidak, itu adalah cairan dan bukan darah haid, dan bila datang haid
maka tinggalkanlah sholat, dan bila telah habis (waktu haid) maka cucilah
darah itu dari dirimu dan shalatlah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadits ini tampak bahwa, tidak boleh ditangguhkan penjelasan


pada waktu yang diperlukan, karena bila Nabi menundanya berarti Nabi
telah membenarkan orang tersebut tidak Shalat.

Oleh sebagian ulama, hadits Aisyah tersebut dipakai juga sebagai alasan,
bahwa wanita-wanita istihadhah tidak wajib bersuci setiap akan sholat.

.‫تاءخٍس اىب ااىبا ععِ ﻗت اىخطاب ٘ج ٍ٘ش‬

77
BAB VIII
KAIDAH USHULIYAH (ll)

A. Mutlaq dan Muqayyad


Pengertian Mutlak dan Muqayyad
‫المطلق هو اللفﻆ الخاص الذي يدل علﻰ فرد ﺷائع او افراد علﻰ سبيل ﺷيوﻉ و لم يتقيد بصفة‬
‫من صفات‬
Mutlak ini didefenisikan oleh para ulama yaitu: menyebutkan bahwa mutlak
itu adalah suatu lafal yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian tanpa
diikat oleh batasan tertentu Mutlak ialah lafal-lafal yang menunjukan
kepada pengertian yang tidak ada batasan oleh hal lain. Maksudnya lafal
tersebut masih mutlak, seperti firman Allah
Artinya “Maka (wajib atasnya) memerdekakan seseorang hamba sahaya”
(QS Mujadilah 3)
Jadi dapat saya simpulkan bahwa mutlak itu tidak ada ikatan (batas) yang
tertentu, disini dicontohkan dalam firman Allah Swt. dalam ayat diatas
menjelaskan tentang hamba sahaya, disini tidak dijelaskan hamba sahaya
yang seperti apa mukmin atau bukan, oleh sebab itu mutlak itu lebih luas
pengertiannya. Mutlak itu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa
adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya.
Atau
‫المطلق الدال علﻰ الماهية بالﻗيد وهو مع المقيد كالعام و الخاص ﻗال العلماء متﻰ وجد الدليل‬
‫علﻰ تقييد المطلق صيراليه و ال فال بل يبقﻰ المطلق علﻰ الطالﻕ و المقيد علﻰ تقييد لن الله‬
.‫تعالﻰ خاطبنا بالغة العرب‬

Mutlak adalah suatu kata untuk menunjukan kepada suatu materi dengan
tanpa ikatan. Muthlaq dengan muqayyad itu sama dengan ‘amm dan khas.
Para ulama berkata kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat
(menjadikan nya muqayyad), maka yang Muthlaq itu di tafsirkan dengan
nya. Dan jika tidak di temukan, maka juga tidak. Tetapi yang mutlak itu

78
tetap pada kemuthlakan nya. Dan yang muqayyad tetap pada makna nya
karena Allah menurunkan firman nya kepada kita dengan bahasa Arab.

Pengertian Muqayya

‫المقيد هو لفﻆ خاص يدل علﻰ فرد ﺷائع مقيد بصفة من الصفات او هو الفﻆ الدال علﻰ مدلول معين‬
Muqayyad didefinisikan juga oleh para ulama Ushul yaitu: menurut Syaikh
Al-Khudari Beik, Muqayyad ialah lafal yang menunjukan suatu objek
(afrad) atau beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu.
Sedangkan menurut Zaky Al-Din Sya ’ban, muqayyad ialah suatu lafal yang
menunjukan atas satu objek atau beberapa objek dan ia telah oleh suatu sifat.
Dan menurut Mustafa Said Al-Khin, yaitu petunjuk makna lafal kepada
sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan yang mempersempit
cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu maknanya.
Atau ‫المطلق الدال علﻰ الماهية بالﻗيد وهو مع المقيد كالعام و الخاص ﻗال العلماء متﻰ وجد الدليل‬
‫علﻰ تقييد المطلق صيراليه و ال فال بل يبقﻰ المطلق علﻰ الطالﻕ و المقيد علﻰ تقييد لن الله‬
.‫تعالﻰ خاطبنا بالغة العرب‬

Mutlak adalah suatu kata ulang menunjukan kepada suatu materi dengan
tanpa ikatan. Muthlaq dengan muqayyad itu sama dengan ‘amm dan khas.
Para ulama berkata kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat
(menjadikan nya muqayyad), maka yang Muthlaq itu di tafsirkan dengan
nya. Dan jika tidak di temukan, maka juga tidak. Tetapi yang mutlak itu
tetap pada kemuthlakan nya. Dan yang muqayyad tetap pada makna nya
karena Allah menurunkan firman nya kepada kita dengan bahasa Arab.

Kaidah nya adalah bahwa jika Allah menghukumi suatu dengan suatu sifat
atau syarat dan datang hukum yang lain secara mutlak (tidak ada sifat dan
syarat nya), maka ditinjau. Jika hukum itu tidak memiliki dasar yang
dijadikan sebagai rujukan, kecuali hukum yang muqayyad itu, maka
wajiblah mengikat hukum itu dengan nya. Dan jika ada hukum dasar yang
lain nya, maka mengembalikan nya kepada slah satunya adalah tidak lebih
baik dari pada yang lainnya ‫ش َهادَة َ ِللَّ ِه‬
َّ ‫فَإِذَا ِب َمعروف َوأَﺷ ِهدوا ذَ َوي َعدل ِمنكم َوأ َ ِﻗيموا ال‬

79
ِ َ‫اآلخ ِر بَلَغنَ أَ َجلَه َّن فَأَمسِكوه َّن بِ َمعروف أَو ف‬
‫ارﻗوه َّن َو َمن‬ ِ ‫ذَ ِلكم يو َعﻆ بِ ِه َمن َكانَ يؤ ِمن بِاللَّ ِه َواليَو ِم‬
)٠( ‫ق اللَّهَ يَجعَل لَه َمخ َر ًجا‬
ِ َّ ‫يَت‬

Apabila mereka telah mendekati akhir iddah nya, maka rujukilah mereka
dengan baik atau lepaskan lah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.

B. Mantuq dan Mafhum


Pengertian Mantuq Secara etimologi manthuq berasal bahasa Arab ( -‫نطق‬
‫ )ينطق‬yang artinya berbicara, ‫( منطوﻕ‬isim maf’ul) berarti yang dibicarakan.
Manthuq adalah arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan (yakni,
petunjuk arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan)[1].
Menurut Syafi’i Karim, mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan
ucapan lafal itu sendiri.[2] Dan menurut Mudzakir, adalah suatu (makna)
yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukan makna
berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.[3] Dari definisi ini
diketahui bahwa apabila suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafaz
menurut ucapan (makna tersurat), yakni menunjukkan makna yang
berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan disebut pemahaman secara
manthuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah
pada QS. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :

‫فَالَ ت َقل لَه َما أف َولَ تَن َهره َما‬


Artinya : “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mantuq ayat ini menunjukkan
haramnya mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua.
Larangan atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan
dalam ayat ini.
Macam-macam Manthuq
Dalam kitab “Zubdah al-Itqan fi Ulum al-Qur’an” karya Prof. Dr.
Muhammad bin Alwi Al-Maliki membagi mantuq atas dua bagian, yaitu

80
lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti yaitu nash, dan
lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti yaitu zahir dan
mu’awal.
Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti.
lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti atau nash, ialah
lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang
dimaksud secara tegas (sarih), tidak mengandung kemungkinan makna
lain.[4] Pengertian nash yang lain yaitu merupakan suatu lafadz yang
bentuknya sendiri telah dapat menunjukan makna yang dimaksud secara
tegas, tidak mengandung kemungkinan makna lain.[5] Misalnya firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 196:
ٌ‫َاملَة‬ َ ‫صيَام ثَالَث َ ِة أَيَّام فِﻰ ال َحجِ َو‬
ِ ‫سبعَة إِذَا َر َجعتم تِلكَ َعش ََرة ٌ ك‬ ِ َ‫ف‬
Artinya : “Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna”.
Penyipatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan
“sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (metafora). Inilah yang dimaksud
dengan nash. Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 175:
ِ ‫َوأَ َح َّل اللَّه البَي َع َو َح َّر َم‬
‫الربَا‬
Artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas tentang kehalalan jual beli dan
keharaman riba.
Lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti.
Zahir
Zahir merupakan lafaz yang diberi pemahaman dengan arti yang lebih
diunggulkan. Zahir ialah lafaz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera
dipahami ketika diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang
lemah (marjuh).[6] Jadi, zahir itu sama dengan nash dalam hal penunjukannya
kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain ia
berbeda dengannya karena nash hanya menunjukkan satu makna secara tegas
dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain, sedang zahir di

81
samping menunjukkan satu makna ketika diucapkan juga disertai
kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya firman Allah
dalam QS. Al-Baqarah ayat 173:
… ‫… فَ َم ِن اضط َّر غَي َر بَاغ َولَ َعاد‬
Artinya : “… tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedangkan ia tidak menginginkan dan melewati batas …”
Lafaz “bag” digunakan untuk makna ”al-Jahil” (bodoh,tidak tahu) dan ”Az-
Zalim” (melampaui batas, zalim), tetapi kemungkinan arti yang kedua lebih
jelas dan lebih umum digunakan. Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 222
:
… َ‫… َولَ تَق َربوه َّن َحتَّﻰ َيطهرن‬
Artinya : “…dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum suci …”
Lafaz “yathhurna” mempunyai kemungkinan arti “suci dengan terhentinya
haid” dan arti “suci dengan mandi janabah dan wudu”, tetapi dari kedua arti
tersebut, kemungkinan arti yang kedua lebih jelas dan lebih umum digunakan.
Kemungkinan arti yang pertama dari contoh-contoh di atas
disebut marjuh (tidak diunggulkan), sementara kemungkinan arti kedua yang
kedua disebut rajih (diunggulkan).
Muawwal
Muawwal merupakan Lafaz yang diberi pemahaman dengan arti yang tidak
diunggulkan (marjuh) karena terdapat indikasi ketidak-mungkinan diberi
pemahaman dengan arti yang diunggulkan (rajih). Mu’awwal ialah lafaz yang
diartikan dengan makna marjuh karena ada suatu dalil yang menghalangi
dimaksudkannya makna yang rajih.[7] Mu’awwal berbeda dengan zahir,
zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang
memalingkan kepada yang marjuh Misalnya firman Allah dalam Al-Qur’an :
… ‫… َوه َو َم َعكم أَينَ َما كنتم‬
Artinya : “… Dia (Allah) akan selalu bersama kalian di mana pun berada …”
Tidak mungkin memberikan kata “bersama” pada ayat itu dengan “dekat”
dalam pengertian tempat yang merupakan arti rajih. Karenanya, kata itu harus
diberi pemahaman dengan arti lain yang marjuh. Yakni kekuasaan dan ilmu-

82
Nya atau penjagaan dan pemeliharaan yang diberikan-Nya. Contoh lain
dalam QS. Al-Isra ayat 24 :
َّ َ‫َواحفَض لَه َما َجنَا َح الذُّ ِل ِمن‬
… َ‫الرح َمة‬
Artinya : “dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kasih sayang …”
Tidak mungkin memberikan pemahaman kata “adz-dzulli” pada ayat itu
dengan pengertian “sayap” yang merupakan arti rajih karena pada
kenyataannya memang manusia tidak memiliki sayap. Karenanya, kata itu
harus diberi pemahaman dengan arti lain yang marjuh, yakni perlakuan yang
baik terhadap kedua orang tua.
Pengertian Mafhum dan Macam-macamnya
Pengertian Mafhum
Mafhum secara berasal bahasa Arab (‫ )فهم – يفهم‬yang artinya Fa‫( فهوم‬isim
maf’ul) berarti yang difahami. Mafhum (pemahaman) adalah arti yang tidak
diperlihatkan oleh lafaz yang diucapkan (yakni, petunjuk artinya keluar dari
unsur-unsur huruf yang dicapkan).[8] Menurut Syafi’i Karim, mafhum adalah
sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi bukan dari ucapan lafaz itu
sendiri.[9] Dan menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan oleh lafaz
tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.[10]
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu
lafaz tidak bersandar bunyi ucapan (makna tersirat) disebut pamahaman
secara mafhum. Dengan kata lain, mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan
oleh suatu lafaz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman
yang terdapat pada ucapan tersebut. Misalnya, hukum yang dipahami
langsung dari teks firman Allah pada QS. Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
‫فَالَ ت َقل لَه َما أف َولَ تَن َهره َما‬
Artinya : “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mafhum, dimana melaluinya dapat
diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan
yang menyakiti keduanya.

83
Mafhum juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu: mafhum muwaqafah dan
mukhakhalafah
Pengertian Mafhum Muwafaqah dan Bentuk-bentuknya
Pengertian Mafhum Muwafaqah Mafhum
Muwafaqah adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum
yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, karena
ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum
yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.[11] Mafhum
Muwafaqah merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu
selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz manthuq, dengan kata lain makna
yang hukumnya sesuai dengan manthuq.[12]
Pembagian Mafhum Muwafaqah
Mafhum Muwafaqah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Fatwa al-Khitab
Fatwa al-Khitab merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz
mafhum lebih kuat daripada yang dimiliki oleh lafaz mantuq, yaitu apabila
hukum yang dipahami dari lafal lebih utama dari hukum yang ditangkap
langsung dari lafal itu.
Misalnya memukul, menghardik, dan meludahi orang tua yang dipahami dari
firman Allah SWT dalam surah al-Isra’(17) ayat 23 di atas, berbeda
kualitasnya dengan sekedar mengatakan “ah” atau “cis” kepada orang tua.
Dari segi akibat, memukul, menghardik dan meludahi orang tua, lebih berat
dibanding hanya sekedar mengatakan “ah” atau “cis”. Oleh sebab itu hukum
makna yang dipahami di luar lafal itu bisa lebih utama (lebih tinggi
kualitasnya) dari hukum yang dipahami dari lafal itu sendiri.
Lahnu al-Khitab
Lahnu al-Khitab merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz
mafhum itu sama tingkatannya dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq.
Misalnya firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 10 :
… ‫إِ َّن الَّذِينَ يَأكلونَ أَم َوا َل اليَت َا َمﻰ ظل ًما‬

84
Artinya : “sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim …”
Mafhum-Nya, memakan harta anak yatim sama saja dengan hukum
melenyapkannya, membuang atau membakarnya. Karena pada hakikatnya,
makna-makna ini mengacu pada satu hal yaitu menghabiskan harta anak
yatim secara lazim.

2. Pengertian Mafhum Mukholafah dan Macam-macamnya


Pengertian Mafhum Mukholafah
Mafhum Mukhalafah merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz
mafhum itu tidak selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq, dengan kata
lain makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq.[13] Mafhum Mukhalafah
adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami
selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan.
Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum ’ah ayat 9:
‫صال ِة ِمن َيو ِم الجم َع ِة فَاس َعوا ِإلَﻰ ذِك ِر اللَّ ِه َوذَروا ال َبي َع‬ َ ‫ِإذَا نود‬
َّ ‫ِي ِلل‬
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka
bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum
Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi
oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada salah satu sifatnya. Dalam
mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan)
dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
‫فِي السَّائِ َم ِة زَ كا َ ِة‬
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang
digembalakan.[15]
Mafhum sifat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:

85
ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنوا إِن َجا َءكم فَا ِس ٌق بِنَبَإ فَت َ َبيَّنوا أَن ت‬
‫صيبوا ﻗَو ًما بِ َج َهالَة فَتصبِحوا‬
َ‫َعلَﻰ َما فَعَلتم نَاد ِِمين‬
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang
fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib
diteliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang
yang adil wajib diterima.
Hal (keterangan keadaan)
Seperti firman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
‫صيد َ َوأَنتم حر ٌم َو َمن ﻗَتَلَه ِمنكم متَ َع ِمدًا فَ َجزَ ا ٌء ِمثل َما‬
َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنوا ل ت َقتلوا ال‬
‫ساكِينَ أَو‬ َ ‫طعَام َم‬ َ ٌ ‫ارة‬ َ َّ‫ﻗَت َ َل ِمنَ النَّعَ ِم يَحكم بِ ِه ذَ َوا َعدل ِمنكم هَديًا بَا ِل َغ الكَعبَ ِة أَو َكف‬
‫ف َو َمن َعادَ فَيَنتَ ِقم اللَّه ِمنه َواللَّه‬ َ ‫صيَا ًما ِليَذوﻕَ َوبَا َل أَم ِر ِه َعفَا اللَّه َع َّما‬
َ َ‫سل‬ ِ َ‫َعدل ذَلِك‬
ٌ ‫َع ِز‬
‫يز ذو انتِقَام‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa diantara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan
binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan
dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke
Ka ‘bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan
orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang
dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya.
Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan barang siapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi
mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya
karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar
denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:

86
ِ‫ث َول فسوﻕَ َول ِجدَا َل فِي ال َحج‬ َ ‫ال َح ُّج أَﺷه ٌر َمعلو َماتٌ فَ َمن فَ َر‬
َ َ‫ض فِي ِه َّن ال َح َّج فَال َرف‬
‫ب‬
ِ ‫ون يَا أو ِلي األلبَا‬ َّ ‫َو َما ت َفعَلوا ِمن خَير يَعلَمه اللَّه َوت َزَ َّودوا فَإ ِ َّن خَي َر‬
ِ ‫الزا ِد التَّق َوى َواتَّق‬
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak
boleh rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah taqwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
Mafhum Illiat
Mafhum illat adalah menghubungkan hukum sesuatu karena illatnya atau
sebabnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.[16]
Mafhum ghayah
Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang
menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal
ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam
firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:
....‫ق‬ َ ‫صلَوةِ فاَغسِلوا وجوهَكم واَي ِديَكم أ‬
ِ ِ‫ِلﻰ ال َم َراف‬ َ ‫اِذَا ﻗنتم ا‬
َّ ‫ِلﻰ ال‬
“bila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
Mafhum laqaab
Mafhum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan
hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
‫ح ِر َمت َعلَيكم أ َّم َهاتكم‬
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum
mukhalafahnya adalah selain para ibu.[17]
Mafhum hasr
Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
‫إِيَّاكَ نَعبد و ِإيَّاكَ نَستَ ِعين‬

87
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak
dimintai pertolongan. Oleh karena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa
hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
Mafhum syarat
Mafhum syarat adalah petunjuk lafadz yang memberi faedah adanya hukum
yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang
sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...‫ت َحمل فَأَن ِفقوا َعلَي ِه َّن‬
ِ َ‫و ِإن ك َّن أول‬...
َ
“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka
berikanlah kepada mereka hnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang
hamil, tidak wajib diberi nafkah.55[18]
C. Muradif dan Musytarak
Pengertian Muradif dan Musytarak
Menurut KH. Mahfudh Shiddiq, yang dimaksud muradif adalah yang
memiliki arti satu, akan tetapi memiliki beberapa lafaz. Sedangkan yang
dimaksud dengan musytarak adalah yang memiliki lafahz satu, akan tetapi
memiliki arti lebih dari satu.
Untuk lebih jelasnya dalam memahami pengertian muradif dan musytarak,
adalah sebagai berikut:
Pengertian Muradif
Yang dimaksud muradif ialah kalimat yang lafadznya banyak, sedangkan
artinya sama, (sinonin), seperti lafadz al-asad dan al- laitis artinya singa.
Pengertian Musytarak
Musytarak ialah lafadz yang digunakan untuk dua arti atau lebih dengan
pengunaan yang bermacam-macam. Dalam definisi lain yaitu lafadz yang
digunakan dua makna yang berbeda atau lebih. Seperti lafadz quruu’ yang
memiliki arti berbeda, ada yang mengartikan suci, dan haidh.

55[18]
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003) h. 222

88
Lafadz musytarak diciptakan untuk beberapa makna yang penunjuknya
kepada makna itu dengan jalan bergantian tidak sekaligus. Misalnya lafadz
‘ain yang diciptakan untuk beberapa makna. Yakni mata untuk melihat, mata
air,dan lain sebagainya
Jadi lafadz musytarak dapat diartikan lafadz yang diletakan atas dua makna
atau lebih dengan peletakan bermacam-macam dimana lafadz itu menunjukan
makna yangditetapkan secara bergantian, artinya lafadz itu menunjukan
makna ini atau makna itu. Sebagaimana lafadz ain ditetapkan menurut bahasa
untuk pandangan, untuk mata air yang bersumber, dan mata-mata. Lafadz
alquru ditetapkan dalam bahasa untuk pengertian suci dan haidh.
Ketika kita menjumpai suatu lafadz dalam al-qur’an dan ditemukan
pemaknaian yang berbeda dari referensi yang lain maka lafadz tersebut
termaksuk lafadz musytark.
Penyebab Adanya Lafadz Musytarak
Penyebab adanya lafaz musytarak dalam bahasa banyak sekali, diantaranya
yang terpenting ialah perbedaan kabilah dalam mempergunakan lafazd untuk
menunjukan kepada beberapa makna. Sebagian kabilah memutlakan lafadz
yad pada seluruh hasta, sebagian kabilah yang lain memutlakan lafadz yad
pada lengan dan telapak tangan. Dan sebagian lain kabilah memutlakan nya
pada telapak tangan secara khusus. Selanjutnya para ulama mengutip bahasa
menetapkan bahwasanya tangan dalam bahasa arab adalah lafadz musytarak
antara pengertian yang tiga tersebut. Dimana sebabnya lagi ialah penetapan
suatu lafadz itu dipergunakan tidak pada penetapannya secara majas.
Apapun yang menjadi persekutuan makna dalam bahasa maka sesungguhnya
lafadz yang musytarak antara dua makna atau lebih tidaklah sedikit di dalam
bahasa, dan terdapat dalam nash-nash syar’iyyah, baik ayat-ayat Al-Qur’an
maupun Hadis Rasulullah.
Timbulnya Lafadz Musytarak
perbedaan beberapa suku di dalam lafadz-lafadz untuk menunjukan beberapa
arti. Suku bangsa arab terdiri dari dua golongan, yaitu, golongan Adnan, dan
golongan Qathan. Masing-masing golongan ini terdiri dari suku yang

89
bermacam-macam dan dusun yang terpencar-pencar, yang berbeda-beda
tempat dan lingkungannya. Kadang-kadang suatu suku membuat nama untuk
suatu pengertian. Kemudian suku lain menamakan suku tersebut untuk suatu
pengertian lainnya yang tidak dimaksud dengan suku pertama. Kadang-
kadang antara kedua pengertian itu tidak ada sangkut pautnya. Tatkala bahasa
arab diambil orang lain dan dibukukan kedua pengertian itu diambil begitu
saja tanpa memperhatikan hubungan dengan suku yang memuatnya semula.
Misalnya sebagian suku mengartikan ( ‫ ) اليد‬dengan keseluruhan hasta
(tangan), yang lain mengartikan dengan lengan tangan atau telapak tangan,
dan yang lain lagi mengartikan dengan tapak tangan saja. Maka para ahli
bahasa menetapkan bahwa ( ‫ ) اليد‬menurut bahasa arab adalah lafadz yang
mempunyai tiga arti yaitu lafadz yang digunakan untuk arti secara hakiki,
kemudian digunakan untuk arti lain secara majas.
antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama. Karenanya satu lafadz
bisa digunakan untuk kedua pengertian tersebut. Inilah yang di sebut isytarak
ma’ani (persekutuan batin). Kadang-kadang orang lantas melupakan arti yang
dapat mengumpulkan kedua pengertian tersebut, dan disangkanya hanya
isytarak lafzi (persekutuan), lafadz saja. Sebagaimana lafadz qur’un yang
artinya semula ialah waktu tertentu. Karena malaria disebut qur’un, karena
mempunyai waktu yang tertentu. Orang perempuan dikatakan mempunyai
qur’un sebab ia mempunyai datang bulan yang tertentu dan waktu suci yang
tertentu.
Arti dasar yang menghubungkan berbagai pengertian qur’un ialah waktu yang
tertentu (isytirak ma’nawi). Tetapi arti yang menghubungkan arti kemudian
dilupakan, sehingga tidak dikenal hubungan suci dan datang bulan dan
dinamakan isytirak lafzi.
Mula-mula sesuatu lafadz digunakan untuk suatu arti, kemudian berpindah
kepada arti yang lain dengan jalan majas, karena adanya ‘ alaqah
(hubungannya). Alaqah ini kemudian dilupakan dan kemudian hilang maka
disangka kata tersebut digunakan untuk kedua arti yang sebenarnya (haqiqi)
tanpa mengetahui adanya alaqah tersebut.

90
Hukum Lafadz Musytarak dan Dalalahnya
Maksud dari pada syar’at ialah agar kita beramal menurut ketentuan arti lafal-
lafal yang datang dari padanya. Lafadz musytarak tidak menunjukan salah
satu artinya yang tertentu. (dari arti-arti lafadz musytarak) selama tidak ada
hal-hal (qarinah) yang menjelaskannya. Apabila ada lafadz musytarak tanpa
penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh salah satu artinya maka dengan
sendirinya lafadz musytarak tersebut ditinggalkan. Sebab tidak mungkin kita
bisa beramal sesuai dengan petunjuknya (lafal musytarak) selama kita tidak
mengetahui maksud sebenarnya. Berhubungan dengan itu, tiap-tiap lafadz
musytarak yang datang dari syari’at tentu disertai qarinah, baik qawliah
(perkataan) atau haliyah (keadaan/suasana).
Contoh:
(222 : ‫طلٌقَات يَت ََربَّصنَ بِاَنف ِس ِهينَ ث َ َالثَة ﻗرؤ ) البقرة‬
َ ‫َوالم‬
Artinya:
“Istri-istri yang diceraikan, hendaklah berdiam diri (beribadah) tiga kali suci.
(QS. Al-Baqarah : 228)
Lafal qur’un memiliki dua arti, yaitu datang bulan (haid) dan suci. Mana yag
dikehendaki ayat tersebut dari kedua arti ini. Yang dikendaki ialah datang
bulan menurut satu pendapat. Keterangan adalah sebagai berikut.
Sebagaimana yang telah diterangkan diatas, bahwa arti qur,un semula ialah
waktu yang tertentu. Waktu yang tertentu hanya dapat dalam hal-hal yang
bergiliran, yang datang kepada keadaan yang asal (pokok). Maka yang
bergiliran disini tidak hanya yang datang bulan sebab suci adalah keadaan
yang asal. Dapat pula ditambahkan keterangannya:
maksud Iddah ialah untuk mengetahui tantang tidak adanya kandungan. Tidak
adanya kandungan hanya dapat diketahui dengan adanya datang bulan.
Qur’an tidak bisa menyebutkan hal-hal yang baik didengar.
Dari contoh diatas kita mengetahui bahwa yang dimaksud lafadz musytarak
disini hanya satu arti saja. Qarinah disini ialah haliyyah (keadaan).
Contoh lain:
Kata yad (tangan) dalam firman Allah SWT.

91
(82 : ‫) المعدة‬ َ ‫َّارﻗَة فَاﻗ‬
‫طعوا اَي ِديَهم‬ ِ ‫َّارﻕ َوالس‬
ِ ‫َوالس‬
Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya” (QS, Al-Maidah : 38)
Kata tersebut adalah musytarak antara dzira’ (Dari ujung jari hingga ujung
bahu), antara telapak tangan dan lengan (Dari ujung jari hingga siku).dan
antara tangan kiri dan kanan. Jumhur mujtahid beristidlal dengan sunah
amaliyyah untuk menentukan yang dimaksud dengan tangan ayat itu, yakni
dari ujung jari sampai dengan dua pengelangan pada tangan kanan.
Tidaklah sah menghendaki suatu lafadz musytarak dengan dua makna atau
lebih secara sekaligus, sekiranya hukum yang ada dalam satu waktu, karena
sebenarnya suatu lafadz tidaklah dikehendaki oleh syar’i kecuali pada satu
makna saja dari beberapa maknanya, artinya bahwa lafadz itu adaklanya
menunjukan arti itu.
Demikian pula dalam halnya nash perundang-undangan hukum positif,
apabila lafadz musytarak didalamnya antara sejumlah makna kebiasaan, dan
pembuat undang-undang tidak menjelaskan makna yang dikehendaki dari
lafadz itu, maka wajib dilakukan ijtihad untuk menentukan maknanya.
Tidaklah sah memalsukan lebih dari satu makna pada lafadz musytarak yang
terdapat dalam nash, karena lafadz musytarak tidaklah ditetapkan kecuali
untuk satu makna saja, akan tetapi satu makna itu berkisar antara satu makna
atau lebih.
Jika lafadz musytarak ada dalam nash syara’ itu musytarak antara makna
kebahasaan dan makna terminologi syar’i, maka wajib dimaksudkan sebagai
maknanya yang bersifat terminologi syar’i. Kata sholat misalnya ditetapkan
menurut bahasa untuk pengertian doa, dan ia ditetapkan menurut syara’ untuk
ibadah tertentu. Yang dimaksud lafadz itu adalah maknanya yang bersifat
syar,i.yaitu ibadah tertentu. Bukan makna kebahasaan yaitu doa. Kata thalaq
ditetapkan menurut bahasa untuk melepaskan ikatan saja, dan menurut syara’

92
ia diletakan untuk pelepasan ikatan pernikahan yang sahih. Maka yang
dikehendaki adalah makna syaribukan makna secara bahasanya saja.
Demikian lafadz musytarak antara makna lughowi dan makna syar’i apabila
dalam nash syar,i maka maksud syar’idari lafadz itu adalah makna yang
ditetapkannya untuknya. Sebab ketika lafadz tersebut diindahkan dari
pengertian kebahasaannya kepada pengertian khusus yang dipergunakannya,
maka lafadz dalam bahasa syar’i dalalahnya atas pengertian yang ditetapkan
syar’i kepadanya,demikian pula dalam nash perundang-undangan hukum
positif apabila lafadz yang ada dalam nash mempunyai dua makna yaitu
makan dalam bahasa dan makan dalam terminologi perundang-undangan,
maka wilayah yang dikehendaki adalah pengertian yang bersifat perundang-
undangan bukan kebahasaan, karena sebab yang telah kami jelaskan
Apabila lafadz musytarak dalam nash syar’i adalah musytarak antara
sejumlah makna kebahasaan, maka wajib dilakukan ijtihaduntuk menentukan
makna yang dikehendaki dari padanya, karena syar’i tidaklah tidaklah
menghendaki pada suatu lafadz kecuali salah satu makna saja. Dan seorang
mujtahid berkewajiban untuk mengambil penunjuk dengan berbagai qarinah
dan tanda-tanda serta dalil-dalil untuk menentukan maksudnya itu.
Hal-hal diatas dilakukan untuk tidak menimbulkan kebangunan pada
masyarakat awan jika menjumpai lafadz musytarak. Tidaklah sah
menghendaki lafadz musytarak dengan dua makna atau lebih secara
sekaligus, sekiranya hukum yang ada dalam satu waktu karena sebenarnya
suatu lafadz tidaklah dikehendaki oleh syar’i kecuali pada satu makna
saja.dari beberapa maknanya.
Bentuk-Bentuk Lafal muradif dan musytarak.
Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadz muradif dan musytarak, hal utama
yang harus diperhatikan adalah siyaqul kalamnya.oleh kare itu kami akan
berikan contoh-contoh sebagai berikut.
Contoh Lafadz Muradif
dalam Al-Qur’an seorang akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif
seperti berikut:

93
Al-Khauf dan khasyah artinya ( Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang
sama akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia jika kata Al-Khasayah adalah
lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya dari pada kata Al-Khauf.
Seperti contoh berikut:
‫َوُلِا اذَ ي ا اذ ال ا‬ ‫يل ان هار نِ ا َ ن‬
‫َّ ااا َرمنم ا ام ن‬ ‫روَُْ ن نْ ي ا هِ مُل ا‬
ُ ‫ن اُ اا ام هَ هالِا اَ َ ُن هو اا امَاََُلِا‬
Artinya:
“ Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah diperintahkan
supaya dihubungkan dan mereka takut kepada tuhannya dan takut terhadap
hisab yang buruk.”
Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyah di
khususkan hanya untuk Allah SWT. Sebab lafadz al-khasyah berfaedah
memuliakan. Sedangkan lafadz al-khauf melemahkan atau dha’if.
Asy-syukh dan al-bukhl.artinya pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan
al-bukhl dengan kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelanaan
atau aibnya, namun al-bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut:
َ َ‫ُ ن‬ ‫اا اذَ َ اُل اِواَ هار ا هَ ن‬
‫َ ن ا‬
Artinya:
“Dan dia (muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang
gaib.”
Hasad dan Al-Hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut:

َ‫توا هلل ُ هو ناراَ اذ اََّن او نرلا ه ُلمُا ا‬


‫يَالُل ُل هار ُل اَوَاُلِا نالاا ا هَّ ا‬
‫وَ نْ عُ هُ را ه َال َ نَُْلِا َ لا َُاَّاَ اَّل َ نْ هَ ُُ هو م نُلمِ ُاِا ي ا هِ مُْا نِبرُلا َ ااو ار ار ا‬

Artinya:
“ Orang-orang yang Baduwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu
berangkat untuk mengambil barang rampasan, biarlah kami niscaya kami
mengikutimu, mereka hendak merubah janji Allah. Katakanlah: “kamu
sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan
sebelumnya; mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada kami.
Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”
As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut:
‫هار ُلَه نل نذَ ا‬ ُُ َْ‫ي ن‬
‫ا‬ ‫اا نرلا ه لاْنَ ا‬ ‫هاسماَ ن‬
ِ ‫َُّاا ن ب‬
ُُ َ ‫اا اَمارنْا‬

Artinya:

94
“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan
orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang
berdosa.”
Contoh Lafadz musytarak
contoh lafadz musytarak yang sering kita jumpai dalam surah Al-Baqarah :
288 yang artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’.”
Lafadz quruu’ dalam ayat tersebut, dalam bahasa bahasa arab bisa berarti
suci dan bisa berarti pula berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang
mujtahid harus mengerahkan segala.kemampuaanya untuk mengetahui arti
yang dimaksud oleh syari’dalam ayat tersebut.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas.
Sebagian ulama yaitu iman syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan
beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muanas pada adad’
(kata bilangan: tsalatsah) yang menurut kaidah bahasa ma’dudnya harus
mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan iman abu hanifah
mengartikan masa haidh. Dalam hal ini beliau beralasan bahwa lafadz
tsalasah adalah lafadz yang khas secara dzair menunjukan sempurnanya
masing-masing quru’dan tidak ada pengurangan dan tambahan.

D. Nasikh WAL Mansukh


Pengertian Nasakh Wal Mansukh
Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata
nasakh dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan,
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempa tempat lain, mengganti atau
menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan.56. Nasakh dalam
istilah para ahli ilmu ushul Fiqhi adalah membatalkan hukum syar’i dengan
dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat
atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun pembatalan
sebagian, menurut keperluan yang ada. Atau: Melahirkan dalil yang datang
kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih
dulu.57

56
Usman. Ulumul Qur’an (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal. 256
57
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, ( Bandung: Gema Risalah
Press, 1997 ), hlm. 391

95
Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai
berikut:
Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:
‫رفع الحكم الشرعي بخطاب ﺷرعي‬
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’
yang lain”

Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:


‫رفع الحكم الشرعي بدليل ﺷرعي متأخر‬
“Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang
datang kemudian”.58
Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti Nasikh
sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut:
Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang
ditetapkan kemudian.
Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian.
Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar. 4)
Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.59
Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian
(mutaakhkhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum
yang datang kemudian guna membatu
mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang
terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan
terakhir.60
Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang
dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut
istilah para ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil

58
Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 3, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober 2018
59
Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari
http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/ pada
tanggal 24 Oktober 2018
60
Muhammad Chirzin. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 1998), hal. 40 7 Abdul Djalal. Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), hal. 122

96
syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti
dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’
pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya
situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum.7
syarat -syarat Nasikh
Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui
syarat syarat nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang
dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat
atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu
maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu,
maka yang demikian itu tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Di samping
itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara nashshi, dan
ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat yang nasikh
(menghapus).
Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat,
datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas
menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak
dapat dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun qiyas
(analogi).
Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang
ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang pula
berupa sunnah.
Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang
sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang
menghapus dan atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.61

61
Usman. Ulumul Qur’an….., hal. 262

97
Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat
dilakukan apabila :
Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala
segi.
Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan
daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
Harus diketahui secara meyakinkan perturutan turunnya ayat-ayat tersebut,
sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang
diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.62

Pembagian Nasakh
Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam:63
•Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam
pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya
ada ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat
240:

‫ﻰ ۡٱل َح ۡو ِل غ َۡي َر‬ َٰ ِ ‫َوٱلَّذِينَ يت َوٍَ ۡفوٍَ نَ ِمنك ۡم َو َيذرٍَ ونَ ۡأزٍَ َوٍَ ٍَٰجا َو‬
َ ‫صيَّة ِل ٍٍِ ۡزٍَ َوٍَ ٍَٰ ِج ِهم َّمت َ ًعٍَ ا إ ِل‬
ٍََ‫ِإ ۡخ َرا ٖ ج فإ َ ِن ٍۡ َخ َر ۡجنَ فَل‬
‫يم‬ٞ ‫يز َح ِك‬ ِ ‫ليٍَ ك ۡم في ِ َما فَعل ٍَۡنَ ف َٰٓي ِ أن‬
ٌ ‫َفسٍه َِّن ِمن َّمعۡ رو ٖ ف َوٱللٍَّ َع ِز‬ ۡ ‫جنَا َح َع‬
Yang artinya:
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isteri nya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa
bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat

62
Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 5, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober 2018
63
Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim
Jaya, 2009),hal. 334

98
yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana".

Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada ayat 234:

ۡ َ‫َفسٍه َِّن ۡأرٍَ بَعَة‬


‫أشٍَ ه ر‬ ِ ‫بص ٍۡنَ ب ِأن‬َّ ٍَ‫َوٱلَّذِينَ يت َوٍَ ۡفوٍَ نَ ِمنك ۡم َويَذرٍَ ونَ ۡأزٍَ َوٍَ ٍَٰجا يت ََر‬
‫َو َع ۡشر ۖا فَإ ِذا َ بلٍََ ۡغنَ أ َجٍَ لَه َّن‬
ِ ‫َفسٍه َِّن بٱ ِۡل َمعۡ رو‬
‫ٖف‬ ِ ‫كمٍ فيِ َما فَعل ٍَۡنَ ف َٰٓي ِ أن‬ ۡ ٍَ‫لي‬ۡ ‫فَلٍََ جنا َ َح َع‬
‫ر‬ٞ ِ‫َوٱللٍٍَّ بِ َما ۡتعٍَ َملونَ َخبي‬
Yang artinya :
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddah nya, Maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat".

Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah


Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua macam:
Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad:
Jumhur ulama’ berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits
ahad, sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits
ahad dzanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan
sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga).

Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir:


Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan
Iman Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Allah berfirman dalam surat an-Najm ayat 3-4:
ۡ
َ ٍۡ ‫إن‬
ٍٍََّ‫هوٍ إِل‬ ََٰٓ َٰ ‫َو َما ين َِطق َع ِن ٱل َه َو‬
ِ ۞‫ى‬
َ َٰ ‫ي يو َح‬ٞ ‫َو ۡح‬
‫ﻰ‬
Yang artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

99
Sedangkan Asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain
menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat
106:
َّ ‫ت بِخ َۡي ر ِم ۡن َها َٰٓ ۡأوٍَ ِم ۡث ِلهَ ٍ ٍٖآَٰ ألٍََ ۡم ۡتعٍَ لَ ۡم‬
ٍ ٍَ‫أنٍَ ٱل َّل‬ ِ ٍۡ َ ‫س ۡخ ِم ۡن َءايَة ۡأوٍَ نن ِس َها نأ‬
َ َ‫۞ َما نن‬
ٌ ‫لﻰٍَ ك ِل ٍٍِ ﺷ َۡي ء ﻗَد‬
‫ِير‬ َ َٰ ‫َع‬
Yang artinya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya.”
Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang dahulunya
menghadap baitul maqdis berdasarkan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat
al-Baqarah: 144 untuk menghadap Ka ‘bah. ‫فوٍَ ِل َو ۡج َهكَ ﺷ َۡط َر ۡٱل َم ۡس ِج ِد ۡٱل َح َرا ِِم‬
َ
Yang artinya :
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”.

Tetapi nasakh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat.
Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an,
dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal
ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak
bertentangan.

Nasakh Sunnah dengan Sunnah


Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) nasakh mutawatir dengan
mutawatir, 2) nasakh ahad dengan ahad, 3) nasakh ahad dengan mutawatir,
4) nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang
pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Qur’an
dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh
dengan keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.64

64
Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 336

100
Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai larangan berziarah
kubur pada waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul dengan hadisnya yang
lain membolehkan ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat
ziarah kubur.
‫ارةِ القبو ِر أَلَ فَزوروهَا‬
َ َ‫كنت َن َهيتكم َعن ِزي‬
Yang artinya : “Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur,
sekarang berziarah kuburlah kamu.” (H.R. Muslim)
Ruang Lingkup Nasakh
Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan
dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar
(berita) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut
tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada Zat Allah,
sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya dari hari kemudian, serta tidak berkaitan pula
dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.
Hal ini karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.
Naskh tidak terjadi dalam berita atau kabar yang jelas-jelas tidak bermakna
talab
(tuntutan ; perintah atau larangan), seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (al-
wa’id).65
Penununjukan adanya nasakh dalam syariat. Firman Allah SWT:
‫َوإِذا َ بَدل ٍَّۡنا ََٰٓ َءايَة‬
‫اي ة‬ َ ‫َّم َكانَ َء‬
Yang artinya “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang
lain”. (An Nahl: 101)
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang
nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja. Ayat yang Allah jadikan
pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh.

Hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an


Hikmah nasakh secara umum ialah sebagai berikut:
Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling
sempurna. Karena itu, syari’at agama islam ini menasakh semua syariat dari

65
Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 326

101
agama agama sebelum islam. Sebab, syari’at Islam ini telah mencakup
semua kebutuhan seluruh umat manusia dari segala periodenya, mulai dari
Nabi Adam a.s. yang kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi
akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah
banyak dan kompleks.
Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa
terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman.
Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan
semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang
sederhana sampai ke tingkat yang sempurna.
Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan
penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia
mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau dengan begitu lalu mereka ingkar
dan membangkang?
Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia
mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah sampai
yang sulit. Sebab, semakin sulit menjalankan suatu peraturan Tuhan, akan
semakin besar manfaat, faedah dan pahalanya.
Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam, sebab dalam
beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan
pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.66

66
Abdul Djalal. Ulumul Qur’an,… hal. 148

102
BAB IX
KAIDAH FIQIYAH ASASIYAH

A. Niat dan Tujuan

Niat dan tujuan di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan


dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan
pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun
makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu
perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi
sematamata karena nafsu atau kebiasaan. Misalnya seperti, niat untuk
menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan
zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya
sematamata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram
untuk dilakukan.
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama
mengenai niat, diantaranya sebagai berikut:67

Firman Allah SWT yang artinya: “Barang siapa menghendaki


pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang
siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala
akhirat itu”. (QS. Al-Imran: 145).

ِ ‫إِنَّ َمااألَع َما َ ل بالنيا‬


َ ‫ت َواِ َّن َما َ لكلمرئ ٍِ َمان‬
﴾‫َوى )اخرجهالبخارى‬

Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan


sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhari
dari Umar bin Khattab).

﴾‫نِ َية المؤ ِم ِن خَي ٌر ِمن َع َمل ِه )رواه الطبرانﻰ‬


Artinya: “Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya
(yang kosong dari niat)”. (HR. Thabrani dari Shalan Ibnu Said).

B. Keyakinan

Kaidah fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan


keraguan. ‫ نْيِ َقيلا‬secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu.
AlYaqi@n juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada kearguan

67
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang
praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), 34

103
didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya
pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk.

Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu


Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:68

1. Keragu-raguan yang berasal dari haram.


2. Keragu-raguan yang berasal dari mubah.
3. Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas
bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus
kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut ‫ب رنءة نأل صل‬
‫( نْ ذمة‬hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung
jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan.

Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini


mengenai keyakinan dean keraguan, antara lain sebagai berikut:

Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi


Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

Artinya: “ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda :


“Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya,
lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah
belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara
atau mencium bau.” (HR. Muslim).

C. Kondisi Menyulitkan

Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/‫ نْ ت ي س ير ت ج لب نْ م ش قه‬ialah


kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan atau
kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum), maka
syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi
tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan
dan kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ ‫ت ج لب نْ م ش قه‬
‫ نْ ت ي س ير‬menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan
secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau sukar tetapi ada kemudahan
di dalamnya yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi
oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut
berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional
pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih. Dalam Firman Allah
Q.S An-Nahl ayat 7:

68
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: sejarah dan kaidah-kaidah asasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002), 128

104
Artinya: “Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang
akmu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri
(kesukaran)”.

Yang dimaksud ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang


disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah
hukum. Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung
unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya
pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer.
Sedangkan al-taisir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam
hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:69

‫ي سر ي ا نْ د إن‬
Artinya: “Agama itu mudah, tidak memberatkan” (yusrun lawan
dari kata ‘usyrun).

D. Kondisi Membahayakan

Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya itu harus


dihilangkan yang didasarkan pada hadist nabi “َِ ‫” ضرنر َِ و ضرر‬. Kedua,
bahwa keadaan dharurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang. Ketiga,
kebolehan ( dalam melakukan hal yang dilarang ) itu sekedarnya saja.
Keempat, bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya serupa. Kelima,
bahaya khusus ditanggung untuk mencegah bahaya umum.

Dharurat bermakna sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika


ditinggalkan sekiranya tak ada sesuatu lain yang dapat menempati
posisinya. Sebagian ulama berargumen bahwa hal yang dapat menyebabkan
hilangnya nyawa atau hilangnya anggota tubuh. Sedangkan kebutuhan ialah
sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika ditinggalkan namun
posisinya masih dapat diselesaikan dengan hal lain. Namun yang perlu
diperhatikan adalah syarat - syarat untuk memenuhi kaidah ini karena
banyak orang yang mengambil dispensasi dari kaidah ini tanpa
memperhatikan syaratnya. Diantaranya : Pertama, dharurat dapat
dihilangkan dengan melakukan yang dilarang. Kedua, tidak menemukan
solusi lain. Ketiga, yang dilarang lebih kecil ( resikonya ) daripada
dharurat.70

Kaidah untuk memperbolehkan sesuatu yang dilarang syariat ini


tidak bersifat mutlak, di sisi lain mempunyai batas-batas tertentu. Dan disisi
lain masih memiliki ketergantungan pada kaidah lain. Maka perlu untuk

69
Abdul Helim, Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at Taisir,
http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al masyaqqah.html, ( diakses pada tanggal
20 Mei 2014)
70
Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah, hlm. 48.

105
menyinergikan antara kaidah satu dengan yang lain. Sebagaimana firman
Allah dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Baqarah: 173).

106
BAB X
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian Ushul Fiqhi
Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang
digariskan dalam Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh). Menurut aslinya
kata "Ushûl al-Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab " yang
berarti asal-Ushul Fikih. Maksudnya, pengetahuan Fikih itu lahir
melalui proses pembahasan yang digariskan dalam Ilmu Ushul Fikih
(Ushûl al-Fiqh).
2. Objek Kajian Ushul Fiqhi
Yang menjadi objek utama dalam pembahasan Ushul Fikih (Ushûl
al-Fiqh) ialah al-Adillah asy-Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang
merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari
membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum al- Adillah
asy-Syar'iyyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam
merumuskan hukum dengan memergunakan masing-masing dalil itu.
3. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqhi
Dengan disusunnya kaedah-kaedah syar'iyah dan kaedah-kaedah
lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah
terwujudlah Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh).
Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali
menyusun kitab Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) ialah Imam Abu
Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak
sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang
pertama kali membukukan kaedah-kaedah Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-
Fiqh) dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris
asy-Syafi’i (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-
Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul
Fikih (Ushûl al-Fiqh) yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena
itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu
Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh).
Pembahasan tentang Ilmu Ushul Fikih (Ushûl al-Fiqh) ini,
kemudian dilanjutkan oleh para ulama generasi selanjutnya.
4. Pembagian Hukum Wadh’I dan Taklifi
berdasarkan jumhur ulama’ hukum taklifi dilihat dari benruk
tuntutannya dapat dibedakan menjadi:
a. Perintah melakukan perbuatan secara tegas dan pasti atau biasa
disebut ijab
b. Perintah melakukan perbuatan yang dilakukan secara tidak tegas
dan pasti atau disebut dengan nadab.

107
c. Perintah menghindari suatu pebuatan yang dilakukan secara tegas
dan pastiatau biasa disebut tahrim.
d. Perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan tetapi tuntutan
tersebut tidak bersifat pasti dan tegas.
e. Perkara yang oleh Allah tidak diperintahkan untuk dilaksanakan
dan tidak pula dilarang untuk melaksanakannya.

Yang disebut dengan hukum wadh’i merupakan segala hal yang


terkait dengan pelaksanaan hukum taklifi.Sehingga dapat dikatakan
bahwa hukum wadh’i tidak berhubungan langsung dengan tuntutan
Allah (hukum taklifi) melainkan terkait dengan pelaksanaannya baik
mencakup sebab, syarat, maani’, sah dan batal.Dan beberapa ulama’
ushul fiqh memasukkan rukhshah dan ‘azimah kedalam pembahasan
hukum wadh’i. Hukum wadh’I dapat timbul ketika ada keterikatan
antara dua subjek. Dua subjek tersebut antara lain sebab-musabbab,
syarat-yang memerlukan syaratkan, mani’-mamnu’, dan ‘azimah-
rukhshah.
5. Sumber-sumber Hukum Islam
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam. Al-Qur’an adalah
firman Allah SWT yang. Diturunkan kepada Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬secara berangsur-angsur melalui malaikat Jibril.
Al- Qur’an menggunakan bahasa Arab dengan makna yang benar
sebagai hujah bagi Rasulullah ‫ ﷺ‬dan dijadikan sebagai pedoman
hukum bagi seluruh umat manusia disamping merupakan amal
ibadah bagi yang membacanya. Al-Qur’an pertama kali
diturunkan di Mekkah tepatnya di Gua Hira pada tanggal 17
Ramadhan tahun 611 M dan berakhir di Madinah pada tahun 633
M dalam rentang waktu 22 tahun.
b. As-Sunnah
Hukum Islam yang selanjutnya yatitu As Sunnah. As Sunnah adalah
perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan / persetujuan / diamnya)
Rasulullah ‫ ﷺ‬terhadap sesuatu hal / perbuatan seorang sahabat yang
diketahuimya.
c. Ijma’
Beberapa pengertian tentang ijma’:
1.) Terdapat beberapa orang mujtahid karena kesepakatan baru bias
terjadi apabila ada beberapa mujtahid.
2.) Harus ada kesepakatan diantara mereka.
3.) Kebulatan pendapat harus tampak nyata, baik dengan
perbuatannya, misalnya, Qodli dengan keputusannya atau dengan
perkataannya, misalnya dengan fatwanya.

108
4.) Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid tidaklah
disebut ijma’
d. Qiyas
Menurut bahasa, qiyas ialah pengukuran sesuatu dengan
yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang
sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-
beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan
qiyas dalam istimbat hukum. Dalam hal ini, mereka berbagi dalam
dua golongan berikut ini.
Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan
ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya menurut
Golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syarik yakni
merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat
illahiyah yang di buat syarik sebagai alat untuk mengetahui suatu
hukum. Qiyas ini tetap ada baik dirancang oleh para mujtahid
ataupun tidak.
6. Metodologi Hukum Islam
a. Ijtihad
Ijtihad (‫( االجتهاد‬dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada
(‫ )اجتهد‬yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat atau
mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa,
ijtihad ialah berupaya serius dalam berusaha atau berusaha yang
bersungguh-sungguh.
Dari beberapa definisi didalam pembahasan materi, dapat
difahami bahwa ijtihad itu, pertama usaha intelektual secara
sungguh-sungguh; kedua, usaha yang dilakukan itu adalah
melakukan istibath (menyimpulkan) dan menemukan hukum;
ketiga, pencarian hukum dilakukan melalui dalildalil baik dari
alqur’an dan Sunnah; keempat, orang yang melakukan ijtihad itu
adalah seorang ulama yang memiliki kompetensi, dan keluasan
wawasan serta pengetahuan dalam bidang hukum Islam.
b. Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau
mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan
hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum
lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil
syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

109
c. Istislah
Menurut bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong
kepada kebaikan manusia baik dalam arti menarik atau
menghasilakan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti
menolak/menghindarkan kemadharatan atau kesusahan. Pengertian
yang lain menyatakan Istishlah adalah logika yang baik tentu baik
untuk dipergunakan. Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu
suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan,
maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu
penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
d. Istishhab
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada
hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang
pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai
ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain,
ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil
yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
e. Al’uruf
al-Urf (‫( العرف‬secara bahasa berasal dari kata ‘arafa –
ma’rifah – irfan – ma’ruf (‫ عرفان – معرفة – عرف‬- ‫ معروف‬,(yang berarti
mengenal, pengetahuan, dikenal, ketenangan (‫الطمأننة و السكون‬
.(Bahwa sesuatu yang dikenal oleh seseorang menjadikanya tenang
dan tentram, sebaliknya sesutau yang tidak dikenal, menjadikan
seseorang bersikap kasar dan liar. Ibn Faris, sebagaimana dikutip
oleh Umar sulaiman alAsyqar, menyatkan bahwa al-‘urf adalah
urutan sesuatu yang mana bagian satu terhubung dengan bagian
yang lainya secara tersambung.
f. Syar’u Man Qoblana
Syar’u man qablana berarti syari’at sebelum Islam. Yang
dibahas oleh ulama ushul fiqh adalah, apakah hokum-hukum yang
ada bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam?
Para ulama sepakat bahwa seluruh syari’at yang diturunkan
Allah sebelum Islam melalui para rasul-Nya telah dibatalkan secara
umum—tidak secara menyeluruh dan rinci– oleh syariat Islam.
g. Saad Az-Zari’ah
Secara etimologi, zari’ah berarti “jalan yang menuju kepada
sesuatu” atau identik dengan wasilah (perantara). Ada juga yang
mengkhususkan pengertian zari’ah dengan “sesuatu yang membawa
kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan”.

110
Sadd az-zari’ah yang dimaksud oleh para ahli ushul fiqh,
adalah:
“Mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan,
baik untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat
jalan/ sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada
kerusakan”.
h. Mazhab Sahabat
Madzhab Shahabi berarti “pendapat para Sahabat Rasulullah
saw”. Yang dimaksud ‘pendapat sahabat’ adalah pendapat para
sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa
fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat dan hadis tidak
menjelaskan hukum kasus yang dihadapi sahabat itu, di samping
belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukumnya.
7. Kaidah-kaidah Ushuliyah
a. Amr dan Nahi
Amr secara bahasa terambil dari masdar ‫ أمرا‬-‫ يأمر‬-‫ أمر‬yang
artinya perintah71Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat.
Menurut Ibn Subki Amr adalah tuntutan untuk berbuat, bukan
meninggalkan yang tidak memakai latar (tinggalkanlah) atau yang
sejenisnya,72 tapi ada yang mengatakan menyuruh melakukan tanpa
paksaan.73Tetapi definisi yang sering dipakai oleh para ulama adalah
‫طلب الفعل علي وجه اإلستعالء‬

Yaitu permintaan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari


orang yang kedudukannya lebih tinggi kepada orang yang
kedudukannya lebih rendah
Sedangkan Nahi secara bahasa kebalikan dari amr, nahy
bentuk masdar dari -‫ ينهينهيا‬- ‫نهي‬yang artinya mencegah atau
melarang22‫ز‬Sedangkan menurut istilah nahy adalah ungkapan yang
meminta agar suatu perbuatan dijauhi yang dikeluarkan oleh orang
yang kedudukan ya lebih tinggi kepada orang yang kedudukanya
lebih rendah74 tetapi dalam ulum Al Qur’an disebutkan lebih
sederhana yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau
mencegah untuk melakukan pekerjaan tertentu.

71
Ahmad. W. Munawwir, Al-Munawir, (Jakarta: Pustaka Praja, 1997), 38
72
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Pt. Logos Wacana Ilmu, 2001), 163
73
Jalal ad-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Quran, (Beirut: Maktabah Ashriyah, 1998) J. 3, 242
74
Muhammad Adib, Tafsir Nusus .J.2 . 377

111
b. Amm dan Khas
Al ‘ammm secara etimologi berarti merata, yang umum.
Sedangkan secara terminologi atau istilah, Muhammad Adib Saleh
mendefinisikan bahwa al ‘amm adalah lafaz yang diciptakan untuk
pengertian umum sesuai dengan pengertian tiap lafaz itu sendiri
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
khas merupakann lawan dari lafaz ‘amm, jika lafaz ‘amm
memberikan arti umum, yaitu suatu lafaz yang mencakup berbagai
satuan-satuan yang banyak, maka lafaz khas adalah suatu lafaz yang
menunjukkan makna khusus.
c. Mujmal dan Mubayyan
Arti Mujmal menurut bahasa adalah kabur atau tidak jelas,
samar-samar. Maksudnya suatu perkara atau lafadz yang tidak jelas
atau hal-hal yang memerlukan penjelasan. Mujmal menurut istilah
Ushul Fiqhi adalah lafadz atau mantuq yang memerlukan bayan
(penjelasan).
Arti mubayyan menurut bahasa adalah yang menjelaskan.
Maksudnya adalah suatu lafadz yang mengandung
penjelasan.Mubayyan menurut istilah Ushul Fiqhi adalah
mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur) kepada
bentuk yang terang.
d. Mutlaq dan Muqayyad
Mutlak ini didefenisikan oleh para ulama yaitu:
menyebutkan bahwa mutlak itu adalah suatu lafal yang
menunjukkan kepada sesuatu pengertian tanpa diikat oleh batasan
tertentu Mutlak ialah lafal-lafal yang menunjukan kepada pengertian
yang tidak ada batasan oleh hal lain. Maksudnya lafal tersebut masih
mutlak.
Muqayyad didefinisikan juga oleh para ulama Ushul yaitu:
menurut Syaikh Al-Khudari Beik, Muqayyad ialah lafal yang
menunjukan suatu objek (afrad) atau beberapa objek tertentu yang
dibatasi oleh lafal tertentu.
e. Mantuq dan Mafhum
Pengertian Mantuq Secara etimologi manthuq berasal bahasa
Arab (‫ ينطق‬-‫ )نطق‬yang artinya berbicara, ‫( منطوﻕ‬isim maf’ul) berarti
yang dibicarakan. Manthuq adalah arti yang diperlihatkan oleh lafaz
yang diungkapkan (yakni, petunjuk arti tidak keluar dari unsur-
unsur huruf yang diucapkan).
Mafhum berasal dari bahasa Arab (‫ )فهم – يفهم‬yang artinya
Fa‫( فهوم‬isim maf’ul) berarti yang difahami. Mafhum (pemahaman)

112
adalah arti yang tidak diperlihatkan oleh lafaz yang diucapkan
(yakni, petunjuk artinya keluar dari unsur-unsur huruf yang
dicapkan).
f. Muradif dan Musytarak
Menurut KH. Mahfudh Shiddiq, yang dimaksud muradif
adalah yang memiliki arti satu, akan tetapi memiliki beberapa lafaz.
Sedangkan yang dimaksud dengan musytarak adalah yang memiliki
lafaz satu, akan tetapi memiliki arti lebih dari satu.
g. Nasikh dan Mansukh
Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an
mengemukakan arti kata nasakh dalam beberapa makna, diantaranya
adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke
tempa tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau
mengubah, dan pengalihan. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu
ushul Fiqhi adalah membatalkan hukum syar’i dengan dalil yang
datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat
atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun
pembatalan sebagian, menurut keperluan yang ada. Atau:
Melahirkan dalil yang datang kemudian yang secara implisit
menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.
Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang
dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan
menurut istilah para ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang
diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan
dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang
datang kemudian. Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa
ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti
dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hokum.
8. Kaidah-kaidah Fiqiyah Asasiyah
a. Niat dan Tujuan
Niat dan tujuan di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah
diartikan dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai
dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan
kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu
melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah
ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah
kepada Allah, tetapi sematamata karena nafsu atau kebiasaan.

113
b. Keyakinan
Secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. AlYaqin
juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada kearguan
didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang
artinya pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk.
c. Kondisi Menyulitkan
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/‫ت ج لب نْ م ش قه‬
‫ نْ ت ي س ير‬ialah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan
adanya kemudahan atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi
mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga
mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu mampu menerapkan dan
melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran.
d. Kondisi Membahayakan
Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya itu harus
dihilangkan yang didasarkan pada hadist nabi “َِ ‫” ضرنر َِ و ضرر‬.
Kedua, bahwa keadaan dharurat dapat memperbolehkan hal yang
dilarang. Ketiga, kebolehan ( dalam melakukan hal yang dilarang )
itu sekedarnya saja. Keempat, bahaya tidak boleh dihilangkan
dengan bahaya serupa. Kelima, bahaya khusus ditanggung untuk
mencegah bahaya umum.
B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak
kesalahan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, untuk memperbaiki
makalah ini, penulis meminta kritik dan saran yang membangun dari
pembaca agar kedepannya akan lebih baik lagi.Demikian saran ini lebih dan
kurangnya mohon dimaafkan, terimakasih.

114
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Nur. Perbuatan dan Tanggung Jawab Hukum dalam Konteks
Ushul Fiqh. Jurnal An-Nahdhah STAIN Maarif Jambi

Bahri, Samsul.2008. Metodologi HUKUM ISLAM. Yogyakarta : Penerbit TERAS

Dahlan, Zaini, dkk. 1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta:

Bumi Aksara dan DEPAG Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqih.
Semarang : DINA UTAMA

Koto, Alaiddin.2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta:Rajagrafindo Persada

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, DDII, Jakarta, 1972.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar Fikr al-Arabi, 1958.

H.A.Djazuli, Ilmu Fiqh, Orba Sakti, Bandung 1993.

Al-Khudari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Baerut, 1981.

Abdul Hamid Hakim, As-Sulam dan Al-Bayan, Sa'adiyah Putra, Jakarta. Syafi'i
Karim, Fiqih Ushul Fiqh, Departemen Agama RI. 1995.

Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Al-Ma'arif, 1986.

Al-Jurjani, Al-Ta‟rifat, Dar Al Kitab Al Arabi, Baerut 1992.

Qamarudin Saleh, Asbabun Nuzul, Diponegoro, Bandung, 1993.

Munawar Khalil, Kembali Kepada Alqur'an dan Al-Sunnah, Bulan Bintang, 1977.

Muhammad al-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadits, al-Harmain, Surabaya, 1985.

Syekh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum


Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1996.

Helim, Abdul, Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at Taisir,


http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-al
masyaqqah.html, (diakses pada tanggal 13 Maret 2021).

Kaidah Prinsip dan kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi


Maqashidiha,http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidahprinsipdankaidahasasiyy
ah.html#ixzz30MflVBjQ (diakses pada tanggal 13 Maret 2021).

115
Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah Dahlan, Abd.
Rahman, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta,

Asy-Syafii, Ahmad Muhammad, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah muassasah


tsaqofah al- Jamiiyah .1983.

Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta. Bulan bintang. 1976)

Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam Imam


menyelesaikan masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2007)

Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta bulan bintang 1975) Jaih
Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002).

Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001).

116

Anda mungkin juga menyukai