BAB I
PENDAHULUAN
Sejak pertengahan abad ke-19 telah banyak para pemuda
Indonesia yang belajar di Mekkah dan Madinah untuk menekuni agama
BAB II
BIOGRAFI KH. HASYIM ASYARI
A.
MENCARI ILMU
Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan
C.
PENDIDIK SEJATI
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam
mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran,
memutuskan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan
mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda
informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai
Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi
alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada
kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang
bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi
bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi
kemampuan ekonomi santri. Ada yang mondok hanya dengan bekal
sekarung beras, bahkan ada yang tanpa bekal sedikitpun.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang
selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di
Ar-Risalah at-Tawhidiyah.
3.
4.
Al-Risalah al-Jamaah
5.
6.
7.
Manasik Shughra
BAB IV
PEMIKIRAN KEPENDIDIKAN KH.M. HASYIM ASYARI
Hasyim Asyari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan
pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara
langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya.
Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi
pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam
masalah-masalah pendidikan.
Salah satu karya monumental Hasyim Asyari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Mutaallim
fima Yahtaj ilah al Mutaalim fi Ahuwal Taallum wama Yataqaff al Muallim
keduniaan
Berhati-hati (wara)
Menghindari kemalasan
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asyari lebih menekankan kepada
pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan
jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan,
minum, tidur dan sebagainya. Makan dan minum tidak perlu terlalu
banyak dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah Muhammad saw. Serta
jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-malasan. Banyakkan
waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan
waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
2) Etika seorang murid terhadap guru
Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang
ditawarkan oleh Hasyim Asyari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat
dalam memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak
guru, dan sebagainya.
3) Etika murid terhadap pelajaran
dipercaya
catatan
marah
dipahaminya.
Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asyari lebih bersifat
pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari praktik
yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam
konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri ini.Terlihat juga betapa beliau
sangat memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan seorang guru.
Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan,
tetapi juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak wangi.
Agaknya pemikiran Hasyim Asyari juga sangat maju dibandingkan
zamannya, ia menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan memandang
murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan
memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan menyampaikan
berbagai persoalan di hadapan guru.
3) Etika guru bersama murid
lain
dari pesantren, namun figur kiai masih dianggap sebagai bentuk paling
ideal, apalagi ditengah krisis ulama sekarang ini.
KH. Ilyas Rukyat (al-Maghfurlah) mengatakan, munculnya figur santri
sebagai seorang ulama masih menjadi harapan besar pesantren. Label
kiai tidak bisa diberikan oleh pesantren, tapi oleh masyarakat setelah
melihat ilmu, moral, dan perjuangannya ditengah masyarakat. Santri
tersebut mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar dengan bahasa
sederhana yang bisa dipahami dan dilaksanakan masyarakat luas.
Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu muncul
sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral, dan dedikasi
sosialnya sedikit jumlahnya. Modernisasi pesantren mempengaruhi visi
seorang santri dalam melihat masa depannya. Banyak dari mereka yang
berkeinginan menjadi seorang birokrat, kaum professional, intelektual,
dan wirausahawan. Ragam profesi yang mereka sandang ini menunjukkan
elastisitas dan fleksibelitas pesantren dalam membentuk generasi masa
depan bangsa. Namun, fenomena kelangkaan ulama menjadi masalah
serius yang menarik diperbincangkan. Identitas pesantren sebagai
lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu agama) dipertanyakan banyak
pihak. Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji
dan mengembangkan ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu.
Sehingga pesantren sekarang semakin sulit melahirkan ulama besar.
Menurutnya, figur santri yang mendalam pemahaman aqidah dan syariah
masih menjadi figur ideal ditengah goncangan pemikiran keislaman yang
passifsekarangini. Disinilah tantangan besar pesantren, bagaimana
memadukan visi melahirkan seorang kiai yang berkualitas di satu sisi dan
mengakomodir modernisasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai
lembaga tafaqquh fiddin disisi yang lain.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang BIOGRAFI KH. HASYIM ASYARI yang kami
sususn ini , semoga bermanfaat dan berguna bagi kita semua dalam
mempelajari serta untuk menambah pengetahuan. Apabila ada
kekurangan maupun kesalahan dalam penyampaian makalah ini, kami
selaku penulis mohon kritik dan saran yang membangun agar tidak
terulang lagi kesalahan di kemudian hari dan juga kami selaku penulis
minta dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dan
laki dan dua perempuan: Muhammad, Leler, Fadil, dan Nyonya Arif. Ayah
K.H. Hasyim Asyari berasal dari Tingkir dan keturunan Abdul Wahid dari
Tingkir. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka
Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi, K.H. Hasyim Asyari
juga dipercayai merupakan keturunan dari keluarga bangsawan (Lathiful
Khuluq : 2008, 16-17).
Pada usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya
untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi
santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo,
kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya.
Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan
menuntut ilmu ke Pesantren Kedemangan, Bangkalan, Madura, di bawah
asuhan K.H. Kholil yang dikenal sangat alim. Setelah lima tahun menuntut
ilmu di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar
di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Yaqub yang
kelak menjadi mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama
lima tahun.
Semangatnya dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah
suci, Makkah. Selama di Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama
besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syaikh Mahfudzh AlTirmasi (Tremas, Pacitan), Syaikh Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad
Amin Al-Athar, Syaikh Ibrahim Arab dan lain-lain. Pada saat ia tinggal di
Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram
bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari
berbagai negara. Di antaranya ialah Syaikh Al-Maimani (mufti di Bombay,
India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadits di Makkah), dan lain-lain.
K.H. Hasyim Asyari dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir
seumur hidupnya, beliau mengabdikan diri pada lembaga pendidikan,
terutama di Ponpes Tebuireng, Jombang. Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim
membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Di sana
beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai
tempat tinggal. Dari bangunan kecil inilah emberio Pesantren Tebuireng
dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh Kiai
Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah, sedangkan
bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri
belajar baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi
28 orang (Syamsul Kurniawan : 2011, 208). Ini menunjukkan bahwa sifat
sabar dan ulet yang diwariskan oleh keluarganya benar-benar melekat
dalam karakternya. Dengan karakter yang ia milikinya, menjadikan ia
dikagumi dan dipuji oleh kalangan masyarakat Islam khususnya Indonesia.
Pemikirannya dalam pendidikan pesantren tradisional diantaranya
tertuang dalam karyanya yang monumental yaitu kitab Adab al-Alim wa
al-Mutaallim fima Yahtaj ila al-Mutaalim di Ahuwal Taallum wa ma
Yataqaff al-Muallim di Maqamat Talimi. Kitab ini membahas masalah
pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan akhlak (etika)
(Syamsul : 2011, 207-211). Mengingat bahwa ruh dari pendidikan Islam
adalah pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak merupakan tujuan awal dari
tujuan pendidikan Islam.
Mujib (2004, 319), bahwa K.H. Hasyim Asyari sejatinya merupakan tokoh
yang piawai dan gerakan dan pemikiran kependidikan. Beliau
dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem
pendidikan pesantren, terutama di Jawa. Bahkan Kiai Kholil (gurunya)
memuji akan ketinggian ilmunya dan Kiai Kholil seringkali mengikuti
pengajiannya.
Pendidikan Pesantren Tradisional
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keterampilan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara (UU Sisdiknas : 2011, 3). Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (KBBI : 1994, 232).
Manajemen Pendidikan
Sudah menjadi common sense bahwa pesantren lekat denan figur kiai.
Kiai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat
seluruh kebijakan dan perubahan. Kepemimpinan yang sentralistik pada
individu yang bersandar pada kharisma serta hubungan yang bersifat
paternalistik. Kebanyakan pesantren menganut pola serba-mono: monomanajemen dan mono-administrasi sehingga tidak ada delegasi
kewenangan ke unit-unit kerja yang ada dalam organisasi (Shulton: 2004,
14-15).
Dalam tradisi pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier, kiai merupakan
elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Kiai merupakan
sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and
authority) dalam kehidupan pesantren. Senada dengan hal, Abdurrahman
Wahid mengemukakan bahwa kiai merupakan yang tertinggi dari hirarki
kekuasaan intern di pesantren dan memiliki kedudukan ganda sebagai
pengasuh dan sekaligus pemilik pesantren (Nunu: 2010, 1-2).
Dalam pendidikan pesantren khususnya tradisional manajemen
pendidikannya dikelola oleh kiai atau pendiri itu sendiri. Di mulai dari
kebijakan, kurikulum, materi pelajaran, metode pembelajaran, dan lain
sebagainya. Sedangkan bagi pembantunya apabila hendak menerapkan
kebijakan harus mendapat izin dari sang kiai. K.H. Hasyim Asyari dalam
mengelola pesantrennya menganut dua gaya kepemimpinan sebagai
berikut :
Pertama, paternalistik yaitu gaya kepemimpinan kebapakan atau
mengutamakan kharisma yang ada dalam pribadinya. Gaya
kepemimpinan ini terlihat dari rasa tanggung jawabnya untuk melindungi
komponen yang ada di dalam pesantren seperti keluarga, ustadz, santri,
dan masyarakat. Kharisma yang dimiliki oleh K.H. Hasyim Asyari berupa
ketinggian ilmunya, pengalaman mendidik, akhlak, dan tasawuf. Dengan
kharismanya membuat para pembantunya selalu mematuhi apa yang
menjadi kebijakannya serta tidak seorangpun yang berani
membantahnya. Hal ini wajar dikarenakan kontribusi/peran yang amat
besar bagi kemajuan pesantren. Apapun kebijakannya selalu
Tujuan Pendidikan
Signifikansi Pendidikan