Anda di halaman 1dari 71

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.


Puji syukur Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang dengan
memberi taufik, hidayah serta rahmat-Nyalah kami bisa menyelesaikan
tugas semester ganjil ini dengan sebaik mungkin.
Tak lupa untaian terima kasih dari kami kepada Bapak Dr. Suwendi
M.Ag yang telah memberi bimbingan dan arahan kepada kami agar
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa pula untaian terima
kasih kami ucapkan kepada teman-teman yang selalu membantu baik
moril maupun materil serta pihak-pihak yang telah membantu proses
pembuatan makalah ini.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas semesterganjil di Universitas Islam Jakarta dengan mata kuliah
filsafat pendidikan islam. Kami menyadari makalah ini masih sangat jauh
dari sempurna, untuk itu kami selaku penyusun makalah ini mohon kritik
dan saran bagi para pembaca agar di kemudian hari dapat disempurnakan
dengan baik.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita yang membacanya dan
akan lebih baik lagi jika diamalkan menjadi ilmu yang bermanfaat
terutama bagi para pembaca yang membutuhkannya.
Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
malang, 30 September 2015
Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
Sejak pertengahan abad ke-19 telah banyak para pemuda
Indonesia yang belajar di Mekkah dan Madinah untuk menekuni agama

Islam di pusat-pusat studi di Timur Tengah, terutama di Mekkah, karena di


sana banyak bertebaran berbagai literatur ke-Islaman. Realitas ini sangat
memungkinkan bagi mereka untuk mencapai tingkat pengetahuan yang
lebih luas serta pandangan yang lebih terbuka mengenai sosok Islam.
Diantara mereka yang berhasil dalam mengkaji Islam adalah
Syekh Nawawi al Bantani dari Banten, Jawa Barat, Syekh Mahfudz
Attarmisi dari Pacitan Jawa Timur, serta Syekh Ahmad Chatib Sambas dari
Kalimantan. Kesuksesan mereka ini ditandai dengan kedalaman ilmu yang
mereka miliki, hal ini bukan saja diakui oleh masyarakat Tanah Suci
Mekkah saja, tapi juga diakui oleh masyarakat Arab pada umumnya.
Ketokahan K. H. Hasyim Asyari sering kali dicampurkan dalam persoalan
sosial politik. Hal ini dapat dipahami karena sebagian dari sejarah
kehidupan K. H. Hasyim Asyari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan
bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebihlebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup
aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.
Akan tetapi, K. H. Hasyim Asyari sejatinya merupakan tokoh yang piawai
dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat
disaksikan bahwa K. H. Hasyim Asyari bisa dikategorikan sebagai
generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren,
terutama di Jawa.

BAB II
BIOGRAFI KH. HASYIM ASYARI
A.

KELAHIRAN DAN MASA KECIL


Kiai Haji Muhammad Hasyim Asyari lahir pada hari Selasa Kliwon,

24 Dzulqadah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di


Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur.
Ayahnya bernama Kiai Asyari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya
bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.

Dilihat dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang


pemimpin agama yang berkedudukan baik dan mulia. KH .M. Hasyim
Asyari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI
(Lembupeteng). Garis keturunan ini bila ditelusuri lewat ibundanya
sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti
Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran Nawa
bin Joko Tingkir alias Mas Karebet bin Prabu Brawijaya VI.Ada yang
mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan
dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu
Peteng(BrawijayaVII).
Semenjak masih anak-anak, Muhammad Hasyim dikenal cerdas dan rajin
belajar. Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya
sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai
ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits
dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13
tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang
usianya jauh lebih tua dari dirinya.
Disamping cerdas, Hasyim kecil juga dikenal rajin bekerja. Watak
kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk
berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada
orang lain. Itu sebabnya, Hasyim kecil selalu memanfaatkan waktu
luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang.
Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut
ilmu.
B.

MENCARI ILMU
Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan

diri Muhammad Hasyim sebagai musyafir pencari ilmu.Kerinduan akan


tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk pergi ke kota Mekah. Pada
tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah.
Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan
mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah,
antara lain: Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi,

Syekh Khatib al-Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim


Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas alMaliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi,
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar
Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi
mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat
mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin
Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi.
Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar
di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh
Nawawi al-Bantani, Syekh Anmad Khatib al-Minakabawi, dll. Di sana beliau
mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh
Sadullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli
hadis di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul
Wahhab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH.
Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh
(Tayu).
Sepulangnya ke tanah air beliau tinggal di Kediri selama beberapa bulan.
Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang
yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana membantu sang kakek.
Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asyari, mengajar di Pondok
Keras.
KH. M. Hasyim Asyari adalah seorang ulama yang luar biasa.
Hampir seluruh kiai di Jawa mempersembahkan gelar Hadratus Syekh
yang artinya Maha Guru kepadanya, karena beliau adalah seorang
ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran
madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang
prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits.
Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam
Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan
pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri.

C.

PENDIRIAN PESANTREN TEBUIRENG

Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KH.


Hasyim Asyari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun
1899 M. Dengan segala kemampuannya, Tebuireng kemudian
berkembang menjadi pabrik pencetak kiai. Sehingga pemerintah Jepang
perlu mendata jumlah kiai di Jawa yang dibikin di Tebuireng. Pada tahun
1942 Sambu Bappang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data tentang
jumlah kiai di Jawa mencapai dua puluh lima ribu kiai. Kesemuanya itu
merupakan alumnus Tebuireng.
Dari sini dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam
pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad XX. Ribuan
kiai di Jawa hampir seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Karena itu tidaklah
heran bila kemudian juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin para kiai
yang gigih mempertahankan madzhab. semua itu dapat dipahami
sebagai hasil pengabdian Hadratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim
Asyari dalam perjalanan yang cukup panjang.
D.

PENDIDIK SEJATI

Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam
mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran,
memutuskan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan
mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda
informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai
Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi
alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada
kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang
bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi
bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi
kemampuan ekonomi santri. Ada yang mondok hanya dengan bekal
sekarung beras, bahkan ada yang tanpa bekal sedikitpun.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang
selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di

Tebuireng: Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal


mengajar ngaji.
E.

SEPAK TERJANG KH. HASYIM DILUAR DUNIA PESANTREN


Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia

pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau


dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat
jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah bisa diukur dengan
angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang
pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau
terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling
memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak
ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali
ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo maupun Jenderal
Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam rangka
perjuangan mengusir penjajah.
Pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asyari ditangkap dan dijebloskan ke
dalam penjara di Jombang. Hal ini disebabkan karena beliau menentang
kebijakan jepang dalam menerapkan budaya saikerei di tanah air.
Kemudian beliau dipindah ke Mojokerto, dan akhirnya ditawan bersamasama serdadu Sekutu di dalam penjara Bubutan, Surabaya.
Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa habis-habisan hingga
jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan. Namun
berkat pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban tentara Jepang
itupun luluh karena serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa para kiai
alumni Tebuireng. Beberapa kiai dan santri meminta dipenjarakan
bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda setia kawan dan pengabdian
kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah berusia 70 tahun.
Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam memulai gerakan
bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah
Jepang agaknya mulai takut, hingga kemudian pada 6 Syaban 1361 H
bertepatan dengan tanggal 18 Agustus 1942, Kiai Hasyim dibebaskan.

Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947,


KHM. Hasyim Asyari berpulang ke Rahmayullah. Atas jasa beliau,
pemerintah Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Nasional.
BAB III
KARYA KH.HASYIM ASYARI
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga
penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi
hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan
waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga
menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai
problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang
belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun
kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min alAqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jamaah, AlRisalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti
Majalah Nahdhatul Ulama, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel
Oelama. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas
masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum
memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum
rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga
mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti alMawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok
tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.
Diantara karya beliau adalah :
1. Al-Tibyan fi al-Nahy an Muqathaah al-Arham wa al-Aqarib wa alIkhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan
pentingnya interaksi sosial (1360 H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jamiyyah Nahdhatul
Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi
Nahdhatul Ulama (1971 M).

3. Risalah fi Takid al-Akhdz bi Madzhab al-Aimmah al-Arbaah. Risalah


untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi
umat (1935).
5. Arbain Haditsan Tataallaq bi Mabadi Jamlyah Nahdhatul
Ulama. Berisi 40 hadis Nabi yang terkait dengan dasar-dasar
pembentukan Nahdhatul Ulama.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada Rasul),
ditulis tahun 1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna al-Maulid bi al-Munkarat.
Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang
dicampuri dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jamaah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Saah
wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bidah. Risalah Ahl Sunnah Wal
Jamaah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda
hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bidah.
9. Ziyadat Taliqat ala Mandzumah as-Syekh Abdullah bin Yasin alFasuruani. Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan.
Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhauul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang
benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah
secara syari; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam
perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tisa Asyarah. Mutiara yang
memancar dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini
diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf
Hasyim, diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah
dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama
dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H/1937
M.

13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan


tentang marifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa
Jawa.
14. Adab al-Alim wa al-Mutaallim fima Yahtaju ilaih al-Mutaallim fi Ahwal
Talimih wama Yatawaqqaf alaih al-Muallim fi Maqat Talimih. Tatakrama
pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik,
merupakan resume dari Adab al-Muallim karya Syekh Muhammad bin
Sahnun (w.256 H/871 M); Talim al-Mutaallim fi Thariq at-Taallum karya
Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa alMutakallim fi Adab al-Alim wa al-Mutaallim karya Syeikh Ibn Jamaah.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip
karya KH Hasyim Asyari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1.

Hasyiyah ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh

al- Islam Zakariya al-Anshari.


2.

Ar-Risalah at-Tawhidiyah.

3.

Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-Aqaid

4.

Al-Risalah al-Jamaah

5.

Tamyiz al-Haqq min al-Bathil

6.

Al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus

7.

Manasik Shughra

BAB IV
PEMIKIRAN KEPENDIDIKAN KH.M. HASYIM ASYARI
Hasyim Asyari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan
pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara
langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya.
Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi
pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam
masalah-masalah pendidikan.
Salah satu karya monumental Hasyim Asyari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Mutaallim
fima Yahtaj ilah al Mutaalim fi Ahuwal Taallum wama Yataqaff al Muallim

fi Maqamat Talimih, Pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih


beliau tekankan pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak
menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Di antara pemikiran beliau
dalam masalah pendidikan adalah:
a. Signifikansi Pendidikan
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah
mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan
manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal
yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : Pertama, bagi
murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali
berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau
menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya
meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata.
Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh
pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu
persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau
adalah niat yang baik dan lurus.
Belajar menurut Hasyim Asyari merupakan ibadah untuk mencari ridha
Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia
dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan
dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar
menghilangkan kebodohan.
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju
kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan
hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai
kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan
penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh
orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan normanorma Islam.
b. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar

Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan

keduniaan

Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar,

bersabar dan qanaah

Pandai mengatur waktu

Menyederhanakan makan dan minum

Berhati-hati (wara)

Menghindari kemalasan

Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan

Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.

Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asyari lebih menekankan kepada
pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan
jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan,
minum, tidur dan sebagainya. Makan dan minum tidak perlu terlalu
banyak dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah Muhammad saw. Serta
jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-malasan. Banyakkan
waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan
waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
2) Etika seorang murid terhadap guru

Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru

Memilih guru yang wara

Mengikuti jejak guru

Memuliakan dan memperhatikan hak guru

Bersabar terdapat kekerasan guru

Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu

Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru

Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru

Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya

Gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.

Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada pendidikan


pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat langka di
tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru
dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu

mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang
ditawarkan oleh Hasyim Asyari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat
dalam memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak
guru, dan sebagainya.
3) Etika murid terhadap pelajaran

Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ain

Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama

Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang

dipercaya

Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu

Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan

Pancangkan cita-cita yang tinggi

Kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa

catatan

Pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan continue (istiqamah)

Tanamkan rasa antusias dalam belajar.

Penjelasan tersebut di atas seakan memperlihatkan akan sistem


pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat kolot, hanya terjadi
komunikasi satu arah, guru satu-satunya sumber pengajaran, dan murid
hanya sebagai obyek yang hanya berhak duduk, dengar, catat dan hafal
(DDCH) apa yang dikatakan guru. Namun pemikiran yang ditawarkan oleh
Hasyim Asyari lebih terbuka, inovatif dan progresif. Beliau memberikan
kesempatan para santri untuk mengambil dan mengikuti pendapat para
ulama, tapi harus hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama.
Hal tersebut senada dengan pemikiran beliau tentang masalah fiqh,
beliau meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang
mengklaim mampu menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis, yang
mengemukakan pendapat mereka tanpa memiliki persayaratan yang
cukup untuk berijtihad itu hanya berdasarkan pertimbangan pikiran
semata. Beliau percaya taqlid itu diperbolehkan bagi sebagian umat
Islam, dan tidak boleh hanya ditujukan pada mereka yang mampu
melakukan ijtihad.
c. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru

1) Etika seorang guru

Senantiasa mendekatkan diri pada Allah

Takut pada Allah, tawadhu, zuhud dan khusu

Bersikap tenang dan senantiasa berhati-hati

Mengadukan segala persoalan pada Allah

Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih dunia

Tidak selalu memanjakan anak

Menghindari tempat-tempat yang kotor dan maksiat

Mengamalkan sunnah Nabi

Mengistiqamahkan membaca al- Quran

Bersikap ramah, ceria dan suka menabur salam

Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu

Membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.

Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas


pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asyari adalah
etika atau statement yang terakhir, dimana guru harus membiasakan diri
menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali
dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil
karangan atau tulisan beliau.
2) Etika guru dalam mengajar

Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat

Mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian

Berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan doa

Biasakan membaca untuk menambah ilmu

Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa

Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau

marah

Usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong

Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan

profesional yang dimiliki

Menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik bandel

Bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan

Memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya

terlambat dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksudkan

Beri anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum

dipahaminya.
Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asyari lebih bersifat
pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari praktik
yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam
konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri ini.Terlihat juga betapa beliau
sangat memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan seorang guru.
Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan,
tetapi juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak wangi.
Agaknya pemikiran Hasyim Asyari juga sangat maju dibandingkan
zamannya, ia menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan memandang
murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan
memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan menyampaikan
berbagai persoalan di hadapan guru.
3) Etika guru bersama murid

Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu

Menghindari ketidak ikhlasan

Mempergunakan metode yang mudah dipahami anak

Memperhatikan kemampuan anak didik

Tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang

lain

Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu

Membantu memecahkan masalah-masalah anak didik Bila ada

anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.


Kalau sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika
membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Namun
kali ini gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan dengan etika
guru bersama murid menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan.
Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang
kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi profesional.

Hasyim Asyari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru


perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan memberi
motivasi serta latihan-latihan yang bersifat membantu murid-muridnya
memahami pelajaran. Selain itu, guru juga harus memahami muridmuridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara individual
dan memecahkan persoalan yang dihadapi murid, mengarahkan murid
pada minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus bersikap arif.
Jelas pada saat Hasyim Asyari melontarkan pemikiran ini, ilmu pendidikan
maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang beredar dan dikaji
secara luas belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga kegenuin-an pemikiran beliau patut untuk dikembangkan selaras dengan
kemajuan dunia pendidikan.
d. Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal Lain Yang Berkaitan
Dengannya.
Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa
disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap
buku dan alat-alat pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu, namun
biasanya hanya bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis, dan
seringkali juga hanya dianggap sebagai aturan yang umum berlaku dan
cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi bagi Hasyim
Asyari memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu diperhatikan.
Di antara etika tersebut adalah:

Menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki buku

Merelakan dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku

pelajaran, sebaliknya bagi peminjam menjaga barang pinjamannya

Memeriksa dahulu bila membeli dan meminjamnya

Bila menyalin buku syariah hendaknya bersuci dan mengawalnya

dengan basmalah, sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka


mulailah dengan hamdalah dan shalawat Nabi.
Kembali tampak kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat
permasalahan dan seluk beluk proses belajar mengajar. Etika khusus yang
diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar adalah etika terhadap
buku yang dijadikan sumber rujukan, apalagi kitab-kitab yang digunakan

adalah kitab kuning yang mempunyai keistimewaan atau kelebihan


tersendiri. Agaknya beliau memakai dasar epistemologis, ilmu adalah Nur
Allah, maka bila hendak mempelajarinya orang harus beretika, bersih dan
sucikan jiwa. Dengan demikian ilmu yang dipelajari diharapkan
bermanfaat dan membawa berkah.
Pemikiran seperti yang dituangkan oleh Hasyim Asyari itu patut untuk
menjadi perhatian pada masa sekarang ini, apakah itu kitab kuning atau
tidak, misalnya kitab kuning yang sudah diterjemahkan, atau buku-buku
sekarang yang dianggap sebagai barang biasa, kaprah dan ada di manamana. Namun untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat dalam belajar
etika semacam di atas perlu diterapkan dan mendapat perhatian.
Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang
dikemukan oleh Hasyim Asyari. Kelihatannya pemikiran tentang
pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan
oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asyari mengemukakan bahwa
tujuan utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud
agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk
kehidupan di akhirat kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa
pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu kepada pendekatan diri
kepada Allah dan kesempurnaan insani.
BAB V
SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN TEBUIRENG
A. Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng
menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk
pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas
diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam).
Materinya pun hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan
Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf
pego (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun
ditambah, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai

kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh jumlahnya


sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak
dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam
pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Mashum Ali, menantu
pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Sistem madrasah
merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh Hadratusy Syeikh dari
Mekah.
Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi
menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal
dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki masrasah
lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara
khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi
pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama
Madrasah Salafiyah Syafiiyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi
Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah
kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran
Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928 kedudukan Kiai Maksum sebagai
kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas, sedang Kiai Maksum sendiri
ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200
meter arah barat Tebuireng).
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat,
namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi
beliau terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak
pernah bosan mengikuti pengajian beliau.
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu
pada Hari Selasa dan Hari Jumat. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2
hari libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan
sawah dan ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan
Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan kepada para santri untuk
mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti jamiyah. Sedangkan pada
Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering bersilaturrahim

ke sanak famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok


pesantren.
Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk
memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para
santri. Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul
Wahid mampu meyakinkan bahwa materi bahasa asing sangat penting
bagi santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya membolehkan.
Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih
Bukhari (4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini
dimulai pada tanggal 15 Syaban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan
(kurang lebih 40 hari). Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji
kepada beliau. Menurut satu sumber, guru Kiai Hasyim yang pernah ngaji
ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan menurut sumber lainnya
adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.
Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan
penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang
dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti
dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang
nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Menurut hasyim Asyari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab
untuk menafsirkan al-Quran dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.
BAB VI
RELEVANSI PEMIKIRAN KH.HASYIM ASYARI DENGAN PENDIDIKAN
SEKARANG
Relevansi pemikiran K. H. Hasyim Asyari terhadap pendidikan sekarang
nampak pada munculnya berbagai lembaga yang dinaungi panji-panji
islam atau lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren. Pesantren
sampai sekarang masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan
mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas, dalam arti mendalam
pengetahuan agamanya, agung moralitasnya dan besar dedikasi
sosialnya. Walaupun banyak corak dan warna profesi santri setelah belajar

dari pesantren, namun figur kiai masih dianggap sebagai bentuk paling
ideal, apalagi ditengah krisis ulama sekarang ini.
KH. Ilyas Rukyat (al-Maghfurlah) mengatakan, munculnya figur santri
sebagai seorang ulama masih menjadi harapan besar pesantren. Label
kiai tidak bisa diberikan oleh pesantren, tapi oleh masyarakat setelah
melihat ilmu, moral, dan perjuangannya ditengah masyarakat. Santri
tersebut mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar dengan bahasa
sederhana yang bisa dipahami dan dilaksanakan masyarakat luas.
Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu muncul
sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral, dan dedikasi
sosialnya sedikit jumlahnya. Modernisasi pesantren mempengaruhi visi
seorang santri dalam melihat masa depannya. Banyak dari mereka yang
berkeinginan menjadi seorang birokrat, kaum professional, intelektual,
dan wirausahawan. Ragam profesi yang mereka sandang ini menunjukkan
elastisitas dan fleksibelitas pesantren dalam membentuk generasi masa
depan bangsa. Namun, fenomena kelangkaan ulama menjadi masalah
serius yang menarik diperbincangkan. Identitas pesantren sebagai
lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu agama) dipertanyakan banyak
pihak. Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji
dan mengembangkan ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu.
Sehingga pesantren sekarang semakin sulit melahirkan ulama besar.
Menurutnya, figur santri yang mendalam pemahaman aqidah dan syariah
masih menjadi figur ideal ditengah goncangan pemikiran keislaman yang
passifsekarangini. Disinilah tantangan besar pesantren, bagaimana
memadukan visi melahirkan seorang kiai yang berkualitas di satu sisi dan
mengakomodir modernisasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai
lembaga tafaqquh fiddin disisi yang lain.

Modernisasi kehidupan yang menyentuh semua aspek kehidupan akibat


revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi meniscayakan semua pihak
untuk meresponnya secara aktif dan kontekstual. Masalah-masalah
kontemporer yang datang silih berganti menuntut partisipasi aktif

pesantren untuk ikut memberikan kontribusi maksimal agar mampu


memandu gerak dinamika sejarah dengan nilai-nilai sucinya. Seorang kiai
atau santri dituntut untuk aktif mengikuti perkembangan informasi dan
melakukan revitalisasi tradisi intelektualnya untuk merumuskan jawabanjawaban sederhana yang aplikatif bagi aneka macam problem
kontemporer tersebut. Disinilah letak relevansi dan aktualitas pesantren
ditengah moderasi kehidupan.
Kalau pesantren tidak mampu merespons masalah kontemporer dengan
khazanah intelektualnya, maka krisis keilmuan pesantren akan berimbas
pada krisis identitas santri dalam menatap masa depannya. Krisis
identitas ini akan menurunkan kepercayaan diri santri dalam mengarungi
masa depannya. Efeknya, semangat santri dalam mengkaji khazanah
intelektual dan wacana kontemporer sebagai modal aktualisasi diri
ditengah kehidupan sosial menjadi rendah.
Inilah masalah serius yang harus segera ditanggulangi. Karena kebutuhan
akan lahirnya ulama masa depan yang berkualitas sudah sangat
mendesak supaya kehidupan dunia modern tidak berjalan tanpa kontrol
dan over action. Akhirnya, kita berharap pesantren mampu menjawab
kritik pedas selama ini tentang kelangkaan ulama yang berkualitas tinggi,
bukan sekedar ulama biasa. Yang perlu diyakini, pesantren mampu
melakukan tugas sucinya ini dengan kerja keras menuju keridloan Allah
Swt.

PENUTUP
Demikianlah makalah tentang BIOGRAFI KH. HASYIM ASYARI yang kami
sususn ini , semoga bermanfaat dan berguna bagi kita semua dalam
mempelajari serta untuk menambah pengetahuan. Apabila ada
kekurangan maupun kesalahan dalam penyampaian makalah ini, kami
selaku penulis mohon kritik dan saran yang membangun agar tidak
terulang lagi kesalahan di kemudian hari dan juga kami selaku penulis
minta dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dan

kesalahan dalam penyampaiannya, karena kesempurnaan hanyalah milik


Allah SWT dan kesalahan hanyalah milik manusia itu sendiri.

PEMIKIRAN PENDIDIKAN PESANTREN TRADISIONAL


K.H. HASYIM ASYARI
Oleh : Padjrin El-Raiz
Mahasiswa PAI 04 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
IAIN Raden Fatah Palembang
Abstrak : Pesantren merupakan Bapak pendidikan Islam di Indonesia.
Pesantren tradisional dalam sejarahnya tidak hanya berkontribusi dalam
mencerdaskan anak bangsa, melainkan berkontribusi juga dalam
mengusir para penjajah untuk merebut kemerdekaan. Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang
bersifat tradisional dan berciri khusus, baik sistem pendidikan, sistem
belajar maupun tujuan serta fungsinya. Seiring dengan berjalannya waktu,
pesantren tradisional mengalami pengembangan dengan tetap
memelihara karakteristiknya. Usaha pengembangan tersebut, tidak
terlepas dari peranan pendiri berbagai lembaga pendidikan Islam sejak
dahulu sampai sekarang serta partisipasi dari berbagai pihak yang terkait.
Di antara pendiri yang berjasa adalah K.H. Hasyim Asyari. Beliau
menuangkan pemikirannya di berbagai bidang seperti politik, pendidikan
pesantren (tujuan, kurikulum dan metode pendidikan), akhlak, kebijakan,
dan organisasi kemasyarakatan (Nahdlatul Ulama).
Kata Kunci : Pendidikan, Pesantren Tradisional, K.H. Hasyim Asyari
Pendahuluan
Pondok pesantren yang merupakan Bapak dari pendidikan Islam di
Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini

bisa dilihat dari perjalanan historisnya, bahwa sesungguhnya pesantren


dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah islamiyah, yakni
menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak
kader-kader ulama dan dai (Hasbullah : 1999, 40). Pesantren pada awal
perjalanannya digunakan sebagai basis dakwah dan budaya-budaya Islam
klasik. Di samping sebagai basis dakwah, pesantren juga dijadikan
sebagai basis mencetak kader-kader ulama dan dai sebagai pengantar
pesan dakwah kepada umat manusia.
Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis
kultural dapat dikatakan sebagaitraining center yang otomatis
menjadi cultural central Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh
masyarakat, setidak-tidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara
defacto tidak dapat diabaikan oleh pemerintah (Hasbullah : 1999, 40).
Pesantren berubah dari pusat pendidikan menjadi pusat budaya
dikarenakan dalam pendidikan pesantren tidak mengenal sistem kasta
(tingkatan ekonomi) berbeda dengan sistem pendidikan yang dikelola oleh
penjajah, sehingga apabila nama besar sebuah pesantren tersiar dari
mulut ke mulut maka berbondong-bondong masyarakat sekitar bahkan
luar daerah memasukkan anak mereka untuk dididik menjadi orang yang
alim. Dengan bercampurnya masyarakat di sekitar dan luar daerah secara
tidak langsung terjadinya kontak budaya dengan keragaman budaya
masing-masing.
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, yaitu sekitar abad ke-18-an,
nama pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat
berbobot terutama dalam bidang penyiaran Islam. Kelahiran pesantren
baru, selalu diawali dengan cerita perang nilai antara pesantren yang
akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya, dan diakhiri dengan
kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren dapat diterima untuk
hidup di masyarakat, dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat
sekitarnya dalam bidang kehidupan moral (Hasbullah : 1999, 42).
Kehadiran pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga
pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial
keagamaan. Dengan sifatnya yang lentur (fleksibel), sejak awal

kehadirannya, pesantren mampu mengadaptasikan diri dengan


masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Sehingga mendapat
kepercayaan dari masyarakat untuk mendidik anak-anak mereka.
Zamaksyari Dhofier (1982, 44-60) menjelaskan lima elemen dasar
lahirnya pesantren di Indonesia yaitu kiai, pondok, masjid, santri, dan
kitab-kitab klasik. Kiai sebagai cikal bakal berdirinya pesantren biasanya
tinggal di tempat pemukiman baru yang cukup luas. Karena terpanggil
untuk berdakwah mereka mendirikan masjid yang cukup sederhana.
Jamaah semakin ramai dan yang tempat tinggalnya jauh mereka ingin
menetap bersama kiai. Dan kemudiaan dibuat beberapa pondok (pondok
sebagai tempat tinggal) bahkan asrama khusus agar tidak mengganggu
ketenangan beribadah di masjid. Dengan bertempat di masjid, kiai
mengajar para santri dengan materi kitab Islam klasik. Ini berarti bahwa
suatu lembaga pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima
elemen tersebut, akan berubah statusnya menjadi pesantren.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia
yang bersifat tradisional dan berciri khusus, baik sistem pendidikan,
sistem belajar maupun tujuan serta fungsinya. Saat ini jumlah pesantren
di Indonesia ada sekitar 7.000 buah dengan santri sekitar 10 juta orang
dan jumlah tenaga pengajar sekita 150 ribu orang (Akmal Hawi, 2008,
93). Melihat data tersebut, pendidikan pesantren dianggap strategis
dalam pembangunan bangsa Indonesia jika dikelola dengan baik. Senada
dengan hal itu, Ahmad Malik Fajar (1999, 3), menyatakan bahwa pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam yang sejak awal
berdirinya telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya mencerdaskan
bangsa dan juga telah memberikan andilnya yang besar dalam
pembinaan dan pengembangan kehidupan umat Islam di Indonesia.
Pesantren dengan karakteristik khususnya mampu melahirkan
ulama/pemikir besar di negeri ini seperti Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan,
Abdurrahman Wahid, dan lainnya.
Mengenai peranan dan keberadaan pesantren di Indonesia, Jalaluddin
(2000, 1-2) menegaskan bahwa, upaya menyampaikan nilai-nilai agama
Islam kepada manusia diperlukan suatu wadah yang tepat sebagai sarana

untuk mengembangkannya. Wadah yang dimaksud adalah


lembaga madrasah diniyah dan pondok pesantren. Sebab hanya ada dua
lembaga pendidikan itulah kurikulum pendidikan agama Islam
dilaksanakan secara utuh. Dengan demikian, pesantren memiliki
kontribusi bagi negeri ini dalam kemerdekaan Indonesia dan bidang
pendidikan.
Pesantren tradisional hingga saat ini masih terpelihara keberadaannya
dengan tetap memegang peranan mendidik akhlak. Pesantren tradisional
saat ini mulai bergerak ke arah pengembangan untuk memenuhi
kebutuhan dan harapan masyarakat dengan karakteristik khususnya.
Salah satu pesantren tradisional yang mengalami pengembangan dengan
tetap memelihara tradisionalnya adalah pesantren yang didirikan oleh
K.H. Hasyim Asyari yaitu pesantren Tebuireng. Pesantren Tebuireng
menganut salah satu kaidah ushul fiqh yaitumemelihara tradisi lama itu
baik dan mengambil tradisi baru itu lebih baik.
Pesantren Tebuireng banyak mengalami pembaharuan baik di bidang
manajemen, kurikulum, dan metode pendidikan. Hal ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan mencetak ulama/dai yang mampu
bersosialisasi dengan zaman yang selalu berubah-ubah. Pembaharuan
tersebut tidak terlepas dari sumbangan pemikiran K.H. Hasyim Asyari
yang fleksibel.
Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asyari
K.H. Hasyim Asyari dilahirkan pada 14 Februari 1871, di Pesantren
Gedang, Desa Tambakrejo, sekitar dua kilometer ke arah utara Kota
Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, Asyari adalah pendiri Pesantren Keras di
Jombang, sementara kakeknya, Kiai Usman adalah kiai terkenal dan
pendiri Pesantren Gedang yang didirikan pada akhir abad ke-19. Selain
itu, Moyangnya, Kiai Sihah adalah pendiri Pesantren Tambakberas,
Jombang (Ronald Alan : 2004, 164). Ayah K.H. Hasyim Asyari sebelumnya
merupakan santri terpandai di Pesantren Kiai Usman. Ilmu dan akhlaknya
sangat mengagumkan sang kiai sehingga ia dikawinkan dengan anaknya.
Ibu K.H. Hasyim Asyari merupakan anak pertama dari tiga saudara laki-

laki dan dua perempuan: Muhammad, Leler, Fadil, dan Nyonya Arif. Ayah
K.H. Hasyim Asyari berasal dari Tingkir dan keturunan Abdul Wahid dari
Tingkir. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka
Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi, K.H. Hasyim Asyari
juga dipercayai merupakan keturunan dari keluarga bangsawan (Lathiful
Khuluq : 2008, 16-17).
Pada usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya
untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi
santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo,
kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya.
Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan
menuntut ilmu ke Pesantren Kedemangan, Bangkalan, Madura, di bawah
asuhan K.H. Kholil yang dikenal sangat alim. Setelah lima tahun menuntut
ilmu di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar
di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Yaqub yang
kelak menjadi mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama
lima tahun.
Semangatnya dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah
suci, Makkah. Selama di Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama
besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syaikh Mahfudzh AlTirmasi (Tremas, Pacitan), Syaikh Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad
Amin Al-Athar, Syaikh Ibrahim Arab dan lain-lain. Pada saat ia tinggal di
Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram
bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari
berbagai negara. Di antaranya ialah Syaikh Al-Maimani (mufti di Bombay,
India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadits di Makkah), dan lain-lain.
K.H. Hasyim Asyari dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir
seumur hidupnya, beliau mengabdikan diri pada lembaga pendidikan,
terutama di Ponpes Tebuireng, Jombang. Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim
membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Di sana
beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai
tempat tinggal. Dari bangunan kecil inilah emberio Pesantren Tebuireng

dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh Kiai
Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah, sedangkan
bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri
belajar baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi
28 orang (Syamsul Kurniawan : 2011, 208). Ini menunjukkan bahwa sifat
sabar dan ulet yang diwariskan oleh keluarganya benar-benar melekat
dalam karakternya. Dengan karakter yang ia milikinya, menjadikan ia
dikagumi dan dipuji oleh kalangan masyarakat Islam khususnya Indonesia.
Pemikirannya dalam pendidikan pesantren tradisional diantaranya
tertuang dalam karyanya yang monumental yaitu kitab Adab al-Alim wa
al-Mutaallim fima Yahtaj ila al-Mutaalim di Ahuwal Taallum wa ma
Yataqaff al-Muallim di Maqamat Talimi. Kitab ini membahas masalah
pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan akhlak (etika)
(Syamsul : 2011, 207-211). Mengingat bahwa ruh dari pendidikan Islam
adalah pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak merupakan tujuan awal dari
tujuan pendidikan Islam.
Mujib (2004, 319), bahwa K.H. Hasyim Asyari sejatinya merupakan tokoh
yang piawai dan gerakan dan pemikiran kependidikan. Beliau
dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem
pendidikan pesantren, terutama di Jawa. Bahkan Kiai Kholil (gurunya)
memuji akan ketinggian ilmunya dan Kiai Kholil seringkali mengikuti
pengajiannya.
Pendidikan Pesantren Tradisional
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keterampilan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara (UU Sisdiknas : 2011, 3). Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (KBBI : 1994, 232).

Dengan demikian, pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan dengan


sadar dan terencana untuk mengubah sikap dan tata laku dengan
memiliki kekuatan keterampilan spiritual, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, dan akhlak mulia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Perkataan Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan per di
depan dan akhiran an berarti tempat tinggal tinggal para
santri. Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil,
yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa
istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku
suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu
(Zamakhsyari : 1982, 18). Dengan demikian, pesantren merupakan
tempat tinggal para santri yang belajar untuk memahami ajaran agama
Islam.
Sedangkan kata tradisional berasal dari kata dasar tradisi yang berarti
tatanan, budaya atau adat yang hidup dalam sebuah komunitas
masyarakat. Kata tradisional tersebut juga selalu merujuk pada
peninggalan kebudayaan klasik/kuno (Amin Haedari: 2004, 13). Menurut
istilah, pesantren tradisional adalah sistem pendidikan Islam yang
bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang alQur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidahkaidah tata bahasa-bahasa Arab, dengan konsentrasi pada kitab-kitab
klasik (Depag RI: 2003, 32).
Dengan demikian, pendidikan pesantren tradisional adalah suatu tempat
yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan yang terencana dalam
usaha mengubah sikap dan tata laku seseorang ke arah yang positif
melalui sistem klasik/lama seperti penggunaan kitab-kitab klasik dalam
pembelajarannya. Pendidikan pesantren tradisional khususnya di
Indonesia saat ini menjadi koleksi budaya Indonesia yang memiliki
kontribusi bagi bangsa dan umat Islam.
Pemikiran Pendidikan Pesantren Tradisional K.H. Hasyim Asyari
1.

Manajemen Pendidikan

Sudah menjadi common sense bahwa pesantren lekat denan figur kiai.
Kiai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat
seluruh kebijakan dan perubahan. Kepemimpinan yang sentralistik pada
individu yang bersandar pada kharisma serta hubungan yang bersifat
paternalistik. Kebanyakan pesantren menganut pola serba-mono: monomanajemen dan mono-administrasi sehingga tidak ada delegasi
kewenangan ke unit-unit kerja yang ada dalam organisasi (Shulton: 2004,
14-15).
Dalam tradisi pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier, kiai merupakan
elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Kiai merupakan
sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and
authority) dalam kehidupan pesantren. Senada dengan hal, Abdurrahman
Wahid mengemukakan bahwa kiai merupakan yang tertinggi dari hirarki
kekuasaan intern di pesantren dan memiliki kedudukan ganda sebagai
pengasuh dan sekaligus pemilik pesantren (Nunu: 2010, 1-2).
Dalam pendidikan pesantren khususnya tradisional manajemen
pendidikannya dikelola oleh kiai atau pendiri itu sendiri. Di mulai dari
kebijakan, kurikulum, materi pelajaran, metode pembelajaran, dan lain
sebagainya. Sedangkan bagi pembantunya apabila hendak menerapkan
kebijakan harus mendapat izin dari sang kiai. K.H. Hasyim Asyari dalam
mengelola pesantrennya menganut dua gaya kepemimpinan sebagai
berikut :
Pertama, paternalistik yaitu gaya kepemimpinan kebapakan atau
mengutamakan kharisma yang ada dalam pribadinya. Gaya
kepemimpinan ini terlihat dari rasa tanggung jawabnya untuk melindungi
komponen yang ada di dalam pesantren seperti keluarga, ustadz, santri,
dan masyarakat. Kharisma yang dimiliki oleh K.H. Hasyim Asyari berupa
ketinggian ilmunya, pengalaman mendidik, akhlak, dan tasawuf. Dengan
kharismanya membuat para pembantunya selalu mematuhi apa yang
menjadi kebijakannya serta tidak seorangpun yang berani
membantahnya. Hal ini wajar dikarenakan kontribusi/peran yang amat
besar bagi kemajuan pesantren. Apapun kebijakannya selalu

memperhatikan dari segi agamis dan sosioligis sehingga dapat diterima


secara rasionalistik bagi para pembantunya.
Kedua, demokratis yaitu suatu gaya kepemimpinan yang menganggap
dirinya bagian dari kelompok dan bersama-sama dengan
kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan
bersama. Gaya kepemimpinan ini antonim dari gaya kepemimpinan
otoriter. K.H. Hasyim Asyari menerapkan gaya kepemimpinan ini dalam
memajukan pesantrennya, beliau menganggap bahwa untuk memajukan
pesantren tidak dapat dilakukan sendiri. Gaya ini terlihat ketika ia
mengabulkan permintaan salah satu menantunya Kiai Ali Mashum untuk
memasukkan kurikulum umum seperti bahasa Indonesia, matematika,
Sejarah, Geografi di Madrasah Syafiiyah (Zuhairini: 2008, 203). Dan juga
mengabulkan permintaan anaknya Wahid Hasyim untuk memasukkan
metode tutorial sebagai metode pembelajaran.
Gaya kepemimpinan yang diterapkan K.H. Hasyim Asyari dalam
mengelola manajemen pesantrennya patut untuk dicontoh oleh kepala
sekolah dalam mengelola sekolah/madrasah yang ia pimpin supaya
menjadi sekolah yang berkualitas. Dan juga patut untuk dicontoh oleh
guru dalam mengelola pembelajaran di kelas supaya dapat mencetak
anak didiknya yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
2.

Tujuan Pendidikan

Belajar menurut Hasyim Asy'ari merupakan ibadah untuk mencari ridha


Allah Swt. yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk
sekedar menghilangkan kebodohan (Syamsul: 2011, 213).
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju
kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan
hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai
kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan
penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh
orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-

norma Islam. Dengan nilai-nilai Islam tersebut dapat membawa seseorang


mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Dari pemikiran Hadratus Syekh tersebut, memberikan pesan kepada para
pendidik sekarang dalam mengajar, jangan hanya memberikan ilmu
pengetahuan saja melainkan hal yang utama adalah menanamkan nilainilai Islam kepada anak didiknya agar anak didik dapat membentengi
dirinya dari pengaruh negatif perubahan zaman. Dengan pengendalian
tersebut, anak didik akan mendapatkan kebahagian baik di dunia maupun
di akhirat.
3.

Signifikansi Pendidikan

Tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya. Hal yang


demikian dimaksudkan agar ilmu yang dimilikinya menghasilkan manfaat
sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Mengingat begitu
pentingnya maka syariat mewajibkan untuk menuntutnya dengan
memberikan pahala yang besar. Pada bagian lain juga dijelaskan bahwa
ilmu merupakan sifat yang menjadikan jelas identitas pemiliknya
(Syamsul: 2011, 212). Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seluruh
umat Islam di dunia. Dengan ilmu dapat membawa kebahagian di dunia
maupun di akhirat kelak. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda :










Artinya : Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim
laki-laki dan muslim perempuan. (HR. Ibnu Majah)
K.H. Hasyim Asyari, terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam
menuntut ilmu, Pertama, bagi murid, hendaknya ia berniat suci menuntut
ilmu, jangan sekali-sekali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan
melecehkan atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru, dalam
mengajarkan ilmu hendaknya ia meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak
mengharapkan materi semata-mata. Di samping itu, yang diajarkan
hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan yang diperbuat (Syamsul:
2011, 212-213). Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda :







.



Artinya : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan


sesungguhnya setiap orang (dibalas) berdasarkan apa yang diniatkannya.
(HR. Bukhori Muslim)
Secara spesifik, K.H. Hasyim Asyari menjelaskan hal-hal yang harus
diperhatikan oleh guru dan siswa :Pertama, bagi guru, guru harus memiliki
karakteristik yaitu professional; kasih sayang; berwibawa; takut pada
Allah, tawadhu, zuhud dan khusyu; menjaga diri dari hal hal yang
menurunkan martabat; pandai mengajar; berwawasan luas; dan
mengamalkan ajaran Al- Quran dan Al-Hadist (Hasyim Asyari: 1415, 5585).
Kedua, bagi siswa, siswa harus mengetahui tugas dan tanggung jawab
ketika belajar (membersihkan hati; membersihkan niat; pandai mengatur
waktu; menyederhanakan makan dan minum dan barhati-hati;
menyedikitkan waktu; menghindari kemalasan; dan meninggalkan hal-hal
yang kurang berfaedah), etika terhadap guru (memperhatikan guru,
mengikuti jejak guru; memuliakan guru; bersabar; duduk dengan rapi;
berbicara sopan; dan tidak menyela guru), etika terhadap pelajaran
(memperhatikan ilmu yang bersifat pokok; berhati-hati dalam
menanggapi ikhtilaf ulama; bercita-cita tinggi; senantiasa menganalisa
dan menyimak ilmu; menanyakan apa yang tidak dipahami; selalu
membawa catatan; dan belajar secara kontinu, dan menanamkan rasa
antusias belajar) (Hasyim Asyari: 1415, 24-45).
Pemikiran K.H. Hasyim Asyari tentang pendidikan pesantren lebih
menekankan pada pendidikan etika (akhlak). Hal ini terlihat dari hal-hal
yang harus diperhatikan oleh guru dan murid dalam pembelajaran. Ini
merupakan sebagai contoh bahwa K.H. Hasyim Asyari sebagai seorang
pendidik sejati. Pemikiran yang ditawarkan oleh beliau bersumber dari
pengalaman sebagai seorang pendidik dan ilmu tasawuf.
4.

Metode Pembelajaran

Sistem belajar dan metode belajar yang diterapkan dalam Pesantren


Tebuireng pada awal perkembangannya, mengakomodasi sistem
pendidikan Islam klasik (sebelum Madrasah Nizhamiyah di Baghdad) yakni
sistem individual atau halaqah, sistem individual yang diterapkan melalui

metode wetonan dan sorogan, dan metode hafalan merupakan istilahistilah lain dari metode yang diterapkan pada Islam klasik. Subyek yang
amat menentukan dalam aplikasi pendidikan yang diterapkan adalah
tenaga pengajar. Adapun metode-metode yang digunakan di pesantren
yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asyari adalah sebagai berikut :
a.

Metode Wetonan atau Bandongan

Metode wetonan atau bandongan merupakan metode utama pengajaran


di lingkungan pesantren. Dalam sistem ini sekelompok santri membentuk
halaqah. Di sana guru membaca, menerjemahkan dan menerangkan, dan
sekaligus mengulas kitab kuning yang dipelajari. Para santri
mendengarkan bacaan dan uraian guru sambil memperhatikan kitabnya
sendiri dan membuat catatan penting. Biasanya catatan itu meliputi arti
kata-kata yang sulit dan keterangan tentang hal-hal yang dianggap pelik
(Niswah: 2010, 214-215).
Bentuk penerapan dari metode ini, K.H. Hasyim Asyari membaca kitab
kepada anak didiknya seperti kitab Fath al-Qorib, kiai membaca,
menerjemahkan, dan menerangkan baik dari segi isi maupun tata bahasa
(nahwu shorof). Sedangkan santri hanya mendengarkan dan membuat
catatan yang penting (kata-kata sulit atau keterangan yang dianggap
penting. Biasanya metode ini diikuti 50 santri hingga 500 santri. Metode
ini sangat efektif, bila seorang santri telah melewati
sistem sorogan (individual).
b.

Metode Sorogan

Metode sorogan merupakan cara belajar individual yang biasanya


digunakan dalam belajar kitab berbahasa Arab. Pada pengajian dengan
sistem ini guru membacakan beberapa baris dari kitab yang dipelajari
kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa (Melayu dan
lainnya). Pada gilirannya si santri mengulangi bacaan tersebut dan
menerjemahkannya kata demi kata seperti yang dilakukan oleh gurunya.
Melalui cara ini, diharapkan murid sekaligus dapat mengetahui arti dan
fungsi setiap kata dalam kalimat Bahasa Arab yang dibacanya. Pelajaran
tambahan hanya akan diberikan bila si santri telah menguasai dengan
baik bahan pelajaran terdahulu. Biasanya seorang guru yang mengajar

dengan sistem ini hanya membimbing murid, tiga atau empat orang saja
(Niswah: 2010, 214). Sistem sorogan ini menuntut kesabaran, ketaatan,
dan disiplin pribadi dari murid. Sistem ini terbukti sangat efektif sebagai
taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim.
Bentuk penerapan metode ini, kiai membaca, mengartikan satu-persatu
kalimat bahasa Arab, kemudian menerjemahkannya. Selanjutnya kiai
memerintahkan kepada salah satu santri untuk melakukan hal yang sama
seperti yang dilakukan sang kiai. Dari metode ini, ada tiga hal yang
dilakukan oleh santri yaitu (1) membaca kalimat bahasa Arab; (2)
mengartikan satu persatu kalimat bahasa Arab; dan (3) memahami makna
dari kalimat yang dibacakan. Metode ini akan efektif, apabila murid sabar,
rajin, taat, dan disiplin sedangkan guru mengawasi, menilai dan
membimbing secara maksimal serta memperhatikan kemampuan setiap
anak didik.
c.

Metode Hafalan

Hafalan, metode yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya


dipakai untuk menghafalkan kitab-kitab tertentu, semisal Alfiyah Ibnu
Malik atau juga sering juga dipakai untuk menghafalkan Al-Quran, baik
surat-surat pendek maupun secara keseluruhan. Metode ini cukup relevan
untuk diberikan kepada murid-murid usia anak-anak, tingkat dasar, dan
tingkat menengah. Pada usia diatas itu, metode hafalan sebaiknya
dikurangi sedikit demi sedikit, dan lebih tepat digunakan untuk rumusrumus dan kaidah-kaidah (Amien: 2004, 17).
Dalam metode hafalan para santri diberi tugas untuk menghafal bacaanbacaan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri
ini kemudian di setorkan dihadapan kiai atau ustadznya secara priodik
atau insidental tergantung kepada petunjuk sebelumnya. Dengan
demikian, titik tekan pada pembelajaran ini adalah santri mampu
mengucapkan atau melafalkan sekumpulan materi pembelajaran secara
lancar dengan tanpa melihat atau membaca teks.
d.

Metode Hiwar atau Musyawarah

Metode hiwar atau musyawarah hampir sama dengan metode diskusi


yang umum kita kenal selama ini. Bedanya metode hiwar ini dilaksanakan

dalam rangka pendalaman atau pengayaan materi yang sudah ada di


santri. Yang menjadi ciri khas dari hiwar ini, santri dan guru biasanya
terlibat dalam sebuah forum perdebatan untuk memecahkan masalah
yang ada dalam kitab-kitab yang sedang di santri (Amien: 2004, 18).
Metode ini hanya digunakan oleh Hadratus Syekh bagi santri-santri senior
dalam kelas musyawarah yang dibuatnya. Dalam kelas musyawarah, kiai
menyeleksi dengan ketat bagi santri yang ingin memasuki kelas tersebut.
Diharapkan dengan metode ini, dapat menciptakan ulama-ulama yang
handal dari segi keilmuan.
5.

Materi Pendidikan

Materi pendidikan Islam yang diajarkan di Pesantren Tebuireng yang ia


pimpin adalah Bahasa Arab, Membaca Al-Qur,an, Nahwu dan Shorof,
Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, fiqh (Kitab Fathul Qorib), Hadits (Kitab
Shohih Bukhori dan Shohih Muslim), ilmu tasawuf (Kitab Ihya Ulumuddin),
murojaah Al-Quran, sejarah rasulullah (Kitab al-Tahrir dan Al-Syifa fi
Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi Iyadh), fiqh mazhab Imam Syafii
(Kitab al-Muhaddzab, Ilmu Hadits (Kitab Al-Muwattha).
Sedangkan materi pendidikan umum yang diajarkan di Madrasah
Salafiyah Syafiiyah Tebuireng yaitu Bahasa Indonesia (Melayu),
Matematika, Geografi, Bahasa Belanda dan Sejarah (Zuhairini, 2004, 203).
Pesantren Tebuireng tidak hanya menyelenggarakan pendidikan agama
saja tetapi menyelenggarakan pendidikan umum juga. Pelajaran umum ini
digunakan untuk kepentingan santri ketika keluar dari pesantren.
Pelajaran ini sangat bermanfaat setelah sepuluh tahun diterapkan, karena
pada saat itu Jepang mewajibkan menulis surat menggunakan bahasa
Indonesia. Secara tidak langsung hanya keluaran dari Tebuireng saja yang
dapat melakukan hal tersebut. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
santri untuk mendapatkan kemerdekaan dari para penjajah.
Penutup
Pendidikan pesantren tradisional yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asyari
merupakan pesantren yang mengalami pengembangan ke arah
peningkatan kualitas yang mampu beradaptasi dengan semua lapisan

masyarakat. Pengembangan tersebut terlihat dari usaha kiai mendirikan


madrasah di pesantrennya yaitu Madrasah Salafiyah Syafiiyah dan juga
menambah kurikulum pendidikan umum di pesantrennya yaitu bahasa
Indonesia, Geografi, Matematika, dan Sejarah. Kebijakan ini pada awalnya
mendapat pertentangan dari kalangan ulama-ulama tradisional di Jawa,
namun dengan kharisma beliau, pertentangan tersebut merendah.
Kebijakan tersebut dilakukan tidak lain untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Kebijakan tersebut mendapatkan hasil setelah 10 tahun
berlalu yaitu pada zaman Jepang.
Pemikiran pendidikan pesantren tradisional K.H. Hasyim Asyari mencakup
manajemen pendidikan, tujuan pendidikan, signifikansi pendidikan,
metode pendidikan, dan materi pendidikan.
K.H. Hasyim Asyari menggunakan sistem mono-manajemen dalam
mengelola pesantrennya dengan gaya kepemimpinan paternalistik dan
demokratis. Paternalistik merupakan gaya kepemimpinan yang
menonjolkan kebapakan/kharisma. Sedangkan demokratis merupakan
gaya kepemimpinan yang menyatakan bahwa untuk menuju kemajuan
tidak dapat dilakukan dengan sendiri melainkan butuh akan bantuan
orang lain.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendapatkan ridho Allah Swt.
mengilangkan kebodohan, dan mengembangkan dan melestarikan nilainilai Islam untuk mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat.
Signifikansi pendidikan merupakan kedudukan ilmu pengetahuan. Betapa
pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia sehingga Nabi
Muhammad mewajibkan untuk menuntut ilmu dan Allah Swt.
menganjarkan pahala dan derajat tinggi bagi orang yang berilmu. Hal
yang terpenting dalam ilmu pengetahuan adalah niat karena Allah Swt.
dan mengamalkannya. Dalam menuntut ilmu pengetahuan, ada beberapa
yang harus diperhatikan oleh guru dan anak didik, yaitu akhlak ketika
belajar, akhlak kepada guru, dan akhlak kepada pelajaran. Begitu juga
guru harus profesional, berwibawa, dan lain sebagainya.
Metode pendidikan yang biasa digunakan di pesantren tradisional K.H.
Hasyim Asyari ialah metode sorogan,

bandongan/wetonan, hafalan, musyawarah. Metode ini tetap bertahan


seiring dengan berkembangnya metode pendidikan yang lebih
mengaktifkan siswa.
Meteri pendidikan yang ditawarkan K.H. Hasyim Asyari terbagi menjadi
dua, yaitu materi pendidikan Islam (Tasawuf, Hadits, Tafsir, Quran, Akhlak,
Tauhid, dan sejenisnya) dan materi pendidikan umum (Sejarah, Bahasa
Indonesia, Matematika, dan Geografi). Materi pendidikan umum
dimasukkan ketika beliau mendirikan Madrasah Salafiyah Syafiiyah. Hal
ini diperlukan untuk menjawab tantangan zaman yaitu ulama pintar ilmu
agama dan ilmu umum.
Apa yang ditawarkan oleh K.H. Hasyim Asyari dalam hal pendidikan
pesantren tradisional untuk menjawab tantangan zaman yang selalu
berkembang ke arah modern. Dan juga menafikan anggapan sebagian
masyarakat bahwa pesantren sebagai tempat pendidikan kolot dan
kaku. Serta menafikan anggapan sebagian masyarakat bahwa pesantren
sama halnya dengan kerajaan kecil. Wallahu Alam Bi Asshowab
TAGS :

K.H. HASYIM ASYARI Pembaharu pemikiran Islam Indonesia)


By Youchenky Salahuddin Mayeli on Monday, November 24, 2014

A. Pendahuluan
Ketokahan K. H. Hasyim Asyari sering kali diceburkan dalam persoalan
sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah
kehidupan K. H. Hasyim Asyari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan
bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebihlebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup
aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.
Akan tetapi, K. H. Hasyim Asyari sejatinya merupakan tokoh yang piawai
dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat

disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asyari mau tiak mau bisa dikategorikan


sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan
pesantren, terutama di Jawa.[1]
B. Biografi
Nama lengkap K. H. Hasyim Asyari adalah Muhammad Hasyim Asyari ibn
Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa
Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qaidah 1287 H. bertepatan
dengan tanggal 14 Februari 1871.[2] Asal-usul dan keturunan K.H
M.Hasyim Asyari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit
dan kerajaan Islam Demak. Silsilah keturunannya, sebagaimana
diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahwa leluhurnya
yang tertinggi ialah neneknya yang kedua yaitu Brawijaya VI. Ada yang
mengatakan bahwa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan
dari perkawinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng
(Brawijaya VII).[3]
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim
Asyari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping
masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga
pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya.
Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur
belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang
masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asyari sudah berani menjadi guru
pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak
jarang lebih tua dari umurnya sendiri.[4]
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak.
Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu
menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan,
ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena
sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[5] Semasa

hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama


pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Quran dan literatur agama lainnya.
Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren,
terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban,
Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asyari merasa
terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Yakub
yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Yakub lambat laun
merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asyari dalam perilaku
kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya,
Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asyari
melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Yakub tersebut.
Setelah nikah, K. H. Hasyim Asyari bersama istrinya segera melakukan
ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asyari
menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini
didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah
dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahuntahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asyari mempelajari berbagai macam
disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafiiyah dan ilmu Hadits,
terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H. Hasyim Asyari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah
menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu
melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak
terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat
belajarnya untuk menuntut ilmu. K. H. Hasyim Asyari semasa tinggal di
Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn
Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid
Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid Abd Allah AlZawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314
H. K. H. Hasyim Asyari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia

membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat


menjadi terkenal di wilayah Jawa.[6] Tanggal 31 Januari 1926, bersama
dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asyari mendirikan
Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asyari pun
semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama temantemannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
K. H. Hasyim Asyari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul
Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asyari pernah ditahan
selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di
Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan,
atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan
Jepang, Hasyim Asyari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional
oleh Presiden RI.
Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asyari mendirikan partai Nahdatul Ulama
(NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais Am (ketua umum) dijabat
oleh K. H. Hasyim Asyari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor
Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan
Madura. K. H. Hasyim Asyari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng,
Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk
kepentingan agama dan pendidikan.[7]
Pemikiran K. H. Hasyim Asyari tentang Pendidikan
Tepat pada tanggal 26 Rabi Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906
M., Hasyim Asyari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena
kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu
pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai
dan terkenal.[8]

Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais Am Nahdlatul
Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asyari mengusulkan sistem pengajaran
di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang
sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian
para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asyari dengan alasan
akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.
Pada tahun 1916 1934 Hasyim Asyari membuka sistem pengajaran
berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua
tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani
yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang
berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab
sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.
Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa
Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah
lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.
Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan
secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang
dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti
dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang
nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam. Menurut
hasyim Asyari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk
menafsirkan al-Quran dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.[9]
Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional,
khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan
sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat
besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren.
Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di
Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan
kiai Hasyim.[10]

Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah


mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan
manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal
yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi
murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali
berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau
menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya
meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata.
Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh
pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu
persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau
adalah niat yang baik dan lurus.[11]
Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asyari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitab Adab Al-Alim wa Al-Mutaallum wa ma Yataqaff
Al-Muallimin fi Maqamat Talimih yang dicetak pertama kali pada tahun
1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap
masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika.
Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.
Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
[12] Belajar menurut Hasyim Asyari merupakan ibadah untuk mencari
ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk
sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu
menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu
mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan normanorma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat
Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam
harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.[13]

Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas


pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asyari adalah
etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis,
mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai.
Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau
tulisan beliau. Betapa majunya pemikiran Hasyim Asyari dibanding tokohtokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan
pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik
zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya
para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar
membiasakan diri untuk menulis.[14]
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam
mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran,
memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan
mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda
informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai
Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi
alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada
kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang
bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.[15]
Menurut Hasyim Asyari ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh
seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika
bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asyari ada dua puluh
etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.
Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan
apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam
keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam
perbuatan.

Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal.


Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam
perbuatan.
Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat
juga dikatakan rendah hati.
Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya.
Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.
kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi
semata.
kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal.
Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.
Kedua belas, menghindari tempat tempat yang dapat menimbulkan
maksiat.
ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam.
Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul.
Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah,

ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha


mempertajam ilmunya.
Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.
Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang
tidak diketahuinya.
Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.
Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi
pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik.
Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun
akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan
mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak. Untuk itu perlu
kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk
memiliki etika tersebut.[16]
Pemikiran K. H. Hasyim Asyari tentang Sosial
Aktivitas K. H. Hasyim Asyari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan
organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya,
seperti Syekh Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.[17] Mengenai
orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat
dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi
yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah,
sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh.
Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama
dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya
kembali langsung ke Al-Quran dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil
Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Quran
dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama
besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang
keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman

keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah


seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari
21 tahun ia menjadi Rais Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).
[18]
KH Hasyim Asyari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama
agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk
kemaslahatan; kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang
setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri. Demikian pernyataan
KH Hasyim Asyari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar.
Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu
badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari
ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah
al-Muawanah.[19]
Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada
1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7
September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asyari, yang
bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No.
29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional,
suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai
tokoh nasional.
Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar
menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok
pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU
(undang-undang dasar jamiah NU).[20]
Karya K. H. Hasyim Asyari
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga
penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi
hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan

waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga
menerima tamu. Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan
jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat
Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai
Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi
Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah
Wa al-Jamaah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya. Kiai Hasyim
juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah
Nahdhatul Ulama, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama.
Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalahmasalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum
memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum
rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga
mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti alMawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok
tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.[21]
Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asyari telah menyumbangkan
banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya
adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H.
Hasyim Asyari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-Alim wa
Al-Mutaallimin, (2) Ziyadat Taliqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4)
Al-Risalat Al-Jamiat, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin,
(6) Hasyiyah Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh
Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tisi
Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahyan Muqathiah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat AlTauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-Aqaid.
Kitab ada Al-Alim wa Al-Mutaallimin merupakan kitab yang berisi tentang
konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22
Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asyari menulis kitab ini didasari
oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika
(adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan

pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya


harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[22]
Analisis
Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asyari
sejak muda. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan
mengajar santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di
Mekkah ia pun sudah mengajar. Sepulang dari Mekkah ia membantu
ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia
mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang. Hasyim
Asyari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi,
perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan
sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asyari meyakinkan bahwa
mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada
masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun
1899 di Tebuireng berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana.
Bertahun-tahun kiai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi
berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat
sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan
pesat.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim
Asyari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja
sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin,
sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya
di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asyari yang kemudian dikenal dengan
sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).
Peranan kiai Hasyim Asyari sangat besar dalam pembentukan kaderkader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif

mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan


masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.
Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asyari, yang
bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No.
29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional,
suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai
tokoh nasional.

Daftar Pustaka
[1] A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta.
2004 h. 319

[2] Ibid, h. 319

[3] httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm

[4] httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[5] httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=liha
t&id=30.htm

[6] A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 319-320

[7] Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993. h. 138-139

[8] A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320

[9]httplppbi-fiba.blogspot.com200903komparasi-pemikiran-kh-ahmaddahlan-dan.html

[10] Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru


Van Hoeve. Jakarta. 2003). h. 309

[11] httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[12] Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
2005). h. 218

[13] httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[14] httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[15] httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lih
at&id=30.htm

[16] httpriwayat.wordpress.com20080707etika-pendidik-islam-menurutkh-hasyim-asy%E2%80%99ari.htm

[17] A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320

[18] Ensiklopedia Islam, Op Cit. h. 309

[19] Nuril M Nasir Alumnus Mahad al-Islamiyyah as-Salafiyyah asySyafiiyah, Pamekasan, Madura
httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2Fu
IEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm

[20] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Cet IV. PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 1997). h. 102

[21]httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lih
at&id=30.htm

[22] A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 321

Top of Form

Search

Bottom of Form
KONSEP PENDIDIKAN KH HASYIM ASY'ARI
22.50

No comments

Penelusuran terhadap perkembangan peradaban dan kemajuan Islam


dalam sejarahnya yang cukup panjang akan menghadapi problematika
sendiri ketika tidak mengapresiasi teori-teori dan eksperimen-eksperimen
pendidikan Islam. Sebab, pendidikan merupakan elan vital dalam
transformasi peradaban umat manusia. Sebagaimana dinyatakan oleh
Asma Hasan Fahmi, tokoh pendidikan kontemporer, pendidikan Islam
menciptakan kekuatan-kekuatan yang mendorong untuk mencapai tujuan
dan sekaligus menentukan perencanaan dan arah tujuan tersebut.[1]
Dengan demikian, dinamika sebuah peradaban, mau tidak mau,
melibatkan peranan pendidikan, sungguhpun dalam format dan kapasitas
yang sederhana. Apabila orang menganggap peradaban Islam itu sebagai
titik perkembangan yang penting dalam sejarah manusia, karena ia
mengandung unsur-unsur yang membawa perubahan-perubahan
intellectual [intelektual], sosial dan politik, maka demikian pula orang
harus melihat kepada pendidikan Islam yang merupakan fundamen bagi
perubahan tersebut, dan sebagai pendidikan yang mempunyai pengaruhpengaruh dan keistimewaan-keistimewaan yang memberi corak-corak
yang berbeda dengan pendidikan-pendidikan yang lain.[2] Para ahli
pendidikan Islam telah menyediakan konsep-konsep pendidikannya dalam
buku secara utuh atau tulisan yang menjadi bagian dalam tulisan lain,
seperti Ibn Khaldun (808 H./1405 M) yang menuangkan pemikiran
kependidikannya ke dalam Muqaddimah; al-Nawawi (676 H./1278 H.)
dalam Adab al-Dris wa al-Mudris; Ibn Sahnn (wafat 973 H./1274 M.)
dalam Kitab Adab al-Muallimn; Ibn Miskawaih dalam Tahdzb al-Akhlq;
al-Zarnuji (wafat 600 H./1203 M.) dalam Talm al-Mutaalim Thuruq alTaallum; Ibn Jamah (733 H./1333 M.) dalam Tadzkirat al-Smi wa alMutakallim f Adab al-Alim wa al-Mutaallim, dan sebagainya.[3]

Begitupun pada masa modern, tidak sedikit para intelektual muslim yang
telah mampu menghadirkan karya-karya besarnya di bidang pendidikan.
Sebut saja, di antaranya, KH. Hasyim Asyari dengan karyanya, Adab
al-lim wa al-mutaallim fm yahtj ihah al-mutaallim f Ahuwl taallum
wa m yataqaff alaih al-muallim f maqmat talmih. Sungguhpun
demikian, pemanfaatan terhadap kajian teoritisasi pendidikan Islam yang
dilakukan oleh generasi muslim-akhir sangat minim. Kalangan intelektual
muslim agaknya kurang memberi perhatian secara serius terhadap
kekayaan Islam itu. Kajian yang lebih intens dilakukan adalah justeru
berkutat pada sebuah pengulangan kajian praktis yang menghasilkan
teoritisasi yang terbatas, baik dilihat dari sisi ruang maupun waktu.
Kurangnya animo intelektual-muslim dalam mengapresiasi khazanah
pendidikan tampaknya disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama,
pengalaman tradisi kependidikan yang berlangsung, terutama, semenjak
jatuhnya Baghdad oleh kaum Mongol hingga masa-masa belakangan,
kurang memberikan warisan yang menjanjikan bagi pembangunan
peradaban. Pada sisi tradisi akademik misalnya, jadal yang pada awalnya
didedikasikan sebagai metodologi dalam mencari argumentasi-ilmiah
kemudian dijadikan sebagai ajang untuk saling menjatuhkan, sehingga
yang terjadi kemudian adalah kalah-menang. Kedua, kecenderungan yang
menggejala dalam dunia intelektual-muslim dewasa ini agaknya lebih
banyak memfokuskan pada persoalan-persoalan yang memiliki ikatan erat
dengan wacana keagamaan. Sementara persoalan pendidikan dipahami
sebagai sesuatu yang lain (the other) dari kerangka keagamaan. Ketiga,
mungkin sebagai faktor yang paling penting, disiplin kependidikan
merupakan bagian ilmu pengetahuan yang kurang memiliki mata rantai
yang bertautan dalam proses sejarahnya jika dibanding dengan disiplin
ilmu yang lain, seperti ulm al-Qurn, ulum al-hadts, dan fiqh.
Beberapa alasan di atas agaknya memberikan pengaruh yang cukup
signifikan terhadap lemahnya perhatian terhadap dunia pendidikan.
Melihat kenyataan di atas, tampaknya menjadi urgen jika kemudian
segera dilakukan kajian mengenai pendidikan Islam, terutama yang
berkaitan dengan khazanah pendidikan Islam. Melalui pengkajian yang

dihasilkan tokoh pendidikan dimungkinkan akan menghasilkan tawarantawaran konsep pendidikan alternatif untuk perkembangan dewasa ini.
Atau paling tidak, khazanah pendidikan itu dapat diapresiasi dengan baik.
Tulisan ini sesungguhnya berusaha mengangkat tokoh kependidikan yang
hidup pada abad modern dengan obyek kajian KH. Hasyim Asyari. Tokoh
ini patut diangkat oleh karena memiliki beberapa pertimbangan. Pertama,
KH. Hasyim Asyari telah menyediakan sebuah risalah kependidikan yang
disusun secara khusus, yang berjudul Adab al-lim wa al-mutaallim fm
yahtj ilaih al-mutaallim f Ahwl taallum wa m yatawaqaf alaih almuallim f maqmat talmih. Di dalam kitab tersebut, terkandung
muatan-muatan kependidikan [Islam] yang patut dipertimbangkan. Kedua,
ketokohan KH. Hasyim Asyari masih belum banyak dikaji oleh kaum
intelektual. Padahal, ia merupakan salah satu tokoh yang memiliki
pengaruh cukup kuat pada zamannya. Ketiga, karya kependidikan KH.
Hasyim Asyari, Adab al-lim wa al-mutaallim, dalam banyak hal,
terutama sistematika dan redaksinya, memiliki sejumlah kesamaan
dengan karya Ibn Jamah, Tadzkirat al-Smi.[4] Misalnya, dalam etika
bagi peserta didik terhadap dirinya, Ibn Jamah dan Hsyim Asyri samasama menyebutkan sepuluh hal, yakni menyucikan jiwa dari hal-hal yang
kotor, niat mencari ilmu karena Allah, bukan karena materi, menggunakan
kesempatan untuk meraih ilmu pengetahuan, qanah dan sabar,
membagi waktu dengan baik, mengurangi makan dan minum, hati-hati
dalam berperilaku, mengurangi makanan yang menyebabkan kebodohan
dan kelemahan, mengurangi tidur, dan menjauhi pergaulan dengan lawan
jenis.[5] Beberapa kesamaan ini, pada sisi tertentu, menunjukkan
kemungkinan adanya afinitas ilmiah atau unsur lain yang membuat
kemiripan itu terjadi. Akan tetapi, pada sisi lain, karya KH. Hasyim Asyri
ini mendeskripsikan cukup menarik jika kemudian dikaji. K.H. Hasyim
Asyari: Sketsa Biografis Nama lengkap KH. Hasyim Asyari adalah
Muhammad Hasyim Asyari ibn Abd al-Wahid ibn Abd al-Halimyang
mempunyai gelar Pangeran Bonaibn Abd al-Rahmanyang dikenal
dengan Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyoibn Abdullah ibn Abdu al-Aziz ibn
Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden Ain al-Yaqinyang disebut

dengan Sunan Giri.[6] Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang,


Jawa Timur, pada hari Selasa Kliwon 24 Dzulqadah 1287 H. bertepatan
dengan tanggal 14 Pebruari 1871.[7] KH. Hasyim Asyari wafat pada jam
03.45 dini hari tanggal 25 Juli 1947 bertepatan dengan 7 Ramadhan tahun
1366 dalam usia 79 tahun.[8] Semasa hidupnya, ia mendapatkan
pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu
al-Quran dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut
ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi
Shona, Siwalan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan
Sidoarjo. Setelah lama menimba ilmu di pondok pesantren Sidoarjo,
ternyata KH. Hasyim Asyari merasa terkesan untuk terus melanjutkan
studinya. Ia berguru kepada KH. Yakub yang merupakan kyai di pesantren
tersebut. Kyai Yakub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan
Hasyim Asyari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia
menjodohkannya dengan puterinya, Khadijah.[9] Tepat pada usia 21
tahun, tahun 1892, Hasyim Asyari melangsungkan pernikahan dengan
putri KH. Yakub tersebut. Setelah nikah, KH. Hasyim Asyari bersama
isterinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci,
mertua KH. Hasyim Asyari menganjurkannya untuk menuntut ilmu di
Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa
seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di
Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, KH. Hasyim Asyari
mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, di antaranya adalah ilmu fiqh
Syfiiyah dan ilmu hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Di saat KH. Hasyim Asyari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah
menetap 7 bulan di Makkah, isterinya meninggal dunia pada waktu
melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak
terselamatkan. Sungguhpun demikian, hal ini tidak mematahkan
semangat belajarnya untuk menuntut ilmu. KH. Hasyim Asyari semasa
tinggal di Mekkah berguru kepada Syeikh Ahmad Amin al-Athar, Sayyid
Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan al-Atthar, Syeikh Sayid
Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid
Abdullah al-Zawawy, Syeikh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim

Dagastani.[10] Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun dan pada tahun 1900


M. atau 1314 H. KH. Hasyim Asyari pulang ke kampung halamannya. Di
tempat itu, ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu relatif
singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa. Keberhasilan KH. Hasyim Asyri
dalam membuka kajian keagamaan ini didukung oleh faktor
kepribadiannya yang luhur dan pantang putus asa, disamping ia memiliki
kekuatan spiritual, karamah (keajaiban yang dimiliki oleh seorang wali).
James Fox, seorang antropolog dari Australian National Universtity (ANU),
menganggap KH. Hasyim Asyri seorang wali, sebagaimana dalam
tulisannya: Jika kiai pandai masih dianggap sebagai wali, ada satu
figur dalam sejarah Jawa kini yang dapat menjadi kandidat utama untuk
peran wali. Ini adalah ulama besar, Hadratus Syaikhkiai Hashim Ashari
[Hasyim Asyri] Memiliki ilmu dan dipandang sebagai sumber berkah
bagi mereka yang mengetahuinya, Hasyim Asyari semasa hidupnya
menjadi pusat pertalian yang menghubungkan para kiai utama seluruh
Jawa. Kiai Hasyim juga dianggap memiliki keistimewaan luar biasa.
Menurut garis keturunannya, tidak saja ia berasal dari garis keturunan
ulama pandai, dia juga keturunan Prabu Brawijaya.[11] Bagi Hasyim
Asyari, semangat mengembangkan ilmu pengetahuan tidak ada putusputusnya. Ia selalu merasa tidak puas terhadap apa yang dicapai pada
saat itu. Semangat ini kemudian mendorong Hasyim Asyari untuk
berpindah ke tempat lain. Akhirnya, ia memilih daerah yang penuh
dengan tantangan dan dikenal sebagai daerah hitam. Tepat pada
tanggal 26 Rabi al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Pebruari 1906 M., Hasyim
Asyari mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di pesantren inilah KH.
Hasyim Asyari banyak melakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan
sehingga ia tidak hanya berperan sebagai pimpinan pesantren secara
formal, tetapi juga pemimpin masyarakat secara informal. Sebagai
pemimpin pesantren, KH. Hasyim Asyri melakukan pengembangan
institusi pesantrennya, termasuk mengadakan pembaharuan sistem dan
kurikulum belajar. Jika pada saat itu pesantren hanya mengembangkan
sistem halaqah, maka KH. Hasyim Asyri memperkenalkan sistem belajar
madrasah dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, di samping

pendidikan keagamaan. Patut diketahui bahwa sistem madrasah dan


memasukan kurikulum pendidikan umum di dalam pesantren ini
merupakan sesuatu yang relatif baru dalam dunia pendidikan pesantren
pada saat itu. Sedangkan perannya sebagai pemimpin informal, KH.
Hasyim Asyri memberikan bantuan pengobatan kepada masyarakat
yang membutuhkan, termasuk juga kepada keturunan Belanda.[12]
Aktivitas KH. Hasyim Asyari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan
organisasi Nahdlatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya,
seperti Syekh Abdul Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri, pada tanggal 31
Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H.[13] Organisasi ini didukung oleh para
ulama, terutama ulama Jawa, dan komunitas pesantren. Memang pada
awalnya, organisasi ini dikembangkan untuk meresponi wacana khilafah
dan gerakan purifikasi yang ketika itu dikembangkan Rasyid Ridla di Mesir,
tetapi pada perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan
rekonstruksi sosial keagamaan yang lebih umum. Bahkan, dewasa ini,
Nahdlatul Ulama berkembang menjadi organisasi sosial keagamaan
terbesar di Indonesia. Sebagai seorang intelektual, KH. Hasyim Asyari
telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan
peradaban, di antaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil
ditulisnya. Karya-karya tulis KH. Hasyim Asyari yang terkenal adalah
sebagai berikut. 1. Adab al-lim wa al-mutaallim fm yahtj ilaih almutaallim f Ahwl taallum wa m yatawaqaf alaih al-muallim f
maqmat talmih. 2. Ziydat talqt, radda fh manzhmat al-syaikh
Abd Allh bin Ysn al-Fsrni allat bihujbih al Ahl Jamiyyah Nahdlat
al-Ulam. 3. al-Tanbiht al-wjibt liman yashna al-maulid al-munkart. 4.
al-Rislat al-jmiat, sharh fh ahwal al-maut wa asyrth al-sat ma
bayn mafhm al-sunnah wa al-bidah. 5. al-Nr al-mubn f mahabbah
sayyid al-mursaln, bain fhi man al-mahabbah lirasl Allh ma w
yataallaq bih man itttbih wa ihy al-sunnatih. 6. Hsyiyah al fath
al-rahmn bi syarh rislat al-wal Rusln li syaikh al-Ism Zakariy alAnshri. 7. al-Durr al-muntatsirah f al-masil al-tisi asyrat, sharh fh
masalat al-thriqah wa al-wilyah wa m yataallaq bihim min al-umr
al-muhimmah li ahl al-tharqah. 8. al-Tibyn f al-nahy an muqthiah al-

ikhwn, bain fh ahammiyat shillat al-rahim wa dharur qathih. 9. alRislat al-tauhdiyah, wahiya rislah shaghrat f bayn aqdah ahl alsunnah wa al-jamah. 10. al-Qalid f bayn m yajib min al-aqid. Akan
tetapi, cukup disayangkan bahwa sejumlah karya KH. Hasyim Asyri itu
tidak seluruhnya dapat diperoleh oleh masyarakat umum secara bebas.
Ada sebagian karya-karyanya yang belum dipublikasikan. Dimungkinkan
karya-karya yang belum dipublikasikan itu disebabkan oleh sistem
dokumentasi yang kurang maksimal. Terbukti, perhatian organisasi ke-NUan kurang terlihat dalam mendokumentasikan dan mempublikasikan
karya-karya KH. Hasyim Asyari, yang merupakan founding father NU.
Sungguhpun demikian, dari sebagian karya KH. Hasyim Asyri dan datadata yang tersedia itu cukup memberikan ketertarikan bagi sebagian
intelektual untuk melakukan penelitian dari berbagai perspektif. Terbukti
terdapatnya penelitian yang memfokuskan baik pada ketokohan KH.
Hasyim Asyri maupun pada pemikirannya yang relatif banyak. Bahkan,
penelitian itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri an sich, tetapi juga di
luar negeri. Karya Kependidikan: Adab al-lim wa al-Mutaallim Kitab Adab
al-lim wa al-Mutaallim merupakan kitab yang berisi tentang konsep
pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumaday
al-Tsni tahun 1343 H.[14] KH. Hasyim Asyari menulis kitab ini didasari
oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika
(adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan
pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya
harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[15] Dalam konteks ini,
KH. Hasyim Asyri tampaknya berkeinginan bahwa dalam melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan itu disertai oleh perilaku sosial yang santun
(al-akhlq al-karmah). Memang, konsep kependidikan yang bertitik tolak
pada etika, termasuk karya KH. Hasyim Asyri, ini kurang menjanjikan
bagi pengembangan nalar yang kritis. Hal ini lebih disebabkan oleh titik
sentral antara akhlak yang luhur dan nalar yang kritis berseberangan
secara diametral. Akhlak lebih dibanyak ditentukan oleh faktor keyakinan
(hati), sebagai sumber berperilaku, sedangkan nalar beranjak dari akal
pikiran (ratio). Keduanya, hati dan akal pada akhirnya akan menghasilkan

kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Kitab Adab al-lim wa almutaallim ini, secara keseluruhan, terdiri atas delapan bab yang masingmasing membahas tentang keutamaan ilmu dan ilmuwan serta
pembelajaran, etika yang mesti dicamkan dalam belajar, etika seorang
murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang
harus dipedomani bersama guru, etika yang harus diperhatikan bagi guru,
etika guru ketika dan akan mengajar, etika guru terhadap muridmuridnya, etika menggunakan literatur, dan alat-alat yang digunakan
dalam belajar. Kedelapan bab tersebut sesungguhnya dapat
diklasifikasikan menjadi tiga bagian penting, yakni signifkansi pendidikan,
tanggung jawab dan tugas murid, serta tanggung jawab dan tugas guru.
Bagi kalangan pesantren, kitab ini bukanlah literatur baru yang mereka
jumpai. Terutama di pesantern-pesantren Jawa Timur, kitab Adab al-lim
wa al-mutaallim ini menjadi buku dars yang selalu dikaji. Buku ini telah
dicetak dalam jumlah yang relatif banyak yang untuk terbitan pertama
dicetak tahun 1415 H. oleh maktabah al-turts al-islmiy pondok
pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Secara akademis, sudah ada
yang meneliti karya KH. Hasyim Asyari ini namun masih dalam jumlah
yang relatif minim. Sejauh penelusuran penulis, paling tidak ada dua
penelitian yang telah dilakukan untuk kepentingan penyelesaian tesis di
program pascasarjana (S2) IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang
memfokuskan pada kitab ini. Kedua penelitian tersebut adalah Maslani,
M.Ag. dengan judul penelitian Pemikiran KH. Hasyim Asyari dalam
Karyanya Adab al-lim wa al-mutaallim: Suatu Upaya Pengungkapan
Belajar-Mengajar tahun 1997 dan Nurdin, M.Ag. dengan judul penelitian
Etika Belajar Mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran KH. Hasyim
Asyari dalam Kitab Adab al-lim wa al-mutaallim tahun 1999. Pada
penelitian pertama, pembahasan tampaknya lebih banyak difokuskan
pada teoritisasi mengenai signifikansi pendidikan dan tugas serta
tanggung jawab bagi murid dan guru.[16] Sedangkan penelitian terakhir
menelusuri konsep etika belajar mengajar dalam perspektif KH. Hasyim
Asyari dan implikasinya bagi dunia pendidikan Islam.[17] Karakteristik
Pemikiran K.H. Hasyim Asyari Hasan Langgulung membuat polarisasi

terhadap karakteristik pemikiran pendidikan. Polarisasi itu didasarkan atas


literatur-literatur kependidikan yang ditulis oleh sejumlah penulis-muslim.
Menurutnya, ada empat corak pemikiran kependidikan Islam yang dapat
dipahami. Pertama, corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah
sajian dalam spesifikasi fiqh, tafsir dan hadits yang kemudian mendapat
perhatian tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan.
Model ini diwakili oleh Ibn Hazm (384-456 H.) dengan karyanya Kitb alMufashshal f al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal. Kedua, corak pemikiran
pendidikan yang bermuatan sastra. Contohnya adalah Abdullah ibn
Muqaffa (106-142 H./724-759 M.) dengan karyanya Risalat al-Shahbah
dan al-Jhiz (160-255 H./755-868 M.) dengan karyanya al-Tj f Akhlk alMuluk. Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis. Contohnya adalah
corak pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mutazilah, Ikhwn alShafa dan para filosof. Keempat, pemikiran pendidikan Islam yang berdiri
sendiri dan berlainan dengan beberapa corak di atas, tetapi ia tetap
berpegang pada semangat al-Quran dan hadits. Corak yang terakhir ini
terlihat pada karya Muhammad ibn Sahnn (wafat 256 H./871 M.) dengan
karyanya Adab al-Muallim, dan Burhan al-Dn al-Zarnuji (wafat 571 atau
591 H.) dengan karyanya Talm al-Mutaallim Thariq al-Taallum.[18] Jika
mengacu pada tawaran Hasan Langgulung di atas maka tampaknya Adab
al-lim wa al-mutaallim dapat digolongkan pada corak terakhir. Hal ini
didasarkan atas kenyataan yang ada dalam kitab tersebut yang tidak
memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqh, sastera, dan filsafat. Kitab ini
semata-mata memberi petunjuk praktis bagi orang-orang yang terlibat
dalam proses pendidikan. Selain itu, Adab al-lim wa al-mutaallim
mempunyai banyak kesamaan dengan Talm al-Mutaallim karya alZarnuji dan lebih-lebih dengan Tadzkirat al-Smi wa al-Mutakalim f Adab
al-lim wa al-mutaallim karya Ibn Jamah. Kesamaan ini paling tidak
adalah pada tingkat sama-sama membahas secara khusus ide-ide
kependidikan dengan mengutip pandangan sejumlah ulama. Di sisi lain,
karakter pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asyari dapat dimasukkan ke
dalam garis madzhab Syafiiyah. Bukti yang cukup kuat untuk
menunjukkan hal itu adalah banyaknya ulama syafiiyah, termasuk Imam

al-Syafii sendiri, yang sering kali dikutip oleh penulis kitab ini ketimbang
ulama madzhab lain. Dengan pengungkapan ide-ide madzhab yang
dianutnya, menurut Abd al-Muidz Khan, pasti mempengaruhi
pemikirannya tentang pendidikan.[19] Kecenderungan lain dalam
pemikiran KH. Hasyim Asyari adalah mengetengahkan nilai-nilai estetis
yang bernafaskan sufistik. Kecenderungan ini dapat terbaca dalam
gagasan-gagasannya, misalnya dalam keutamaan menuntut ilmu. Untuk
mendukung itu dapat dikemukakan bahwa bagi KH Hasyim Asyari
keutamaan ilmu yang sangat istimewa adalah bagi orang yang benarbenar li Allh tala. Kemudian, ilmu dapat diraih jika jiwa orang yang
mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat dan
aspek-aspek keduniawian.[20] Kecenderungan demikian agaknya lebih
didominasi oleh pemikiran KH. Hasyim Asyri yang juga menekankan
pada dimensi sufistik sehingga cukup kentara nuansa-nuansa demikian
pada karyanya itu. Bahkan, kecenderungan ini merupakan wacana umum
bagi literatur-literatur kitab kuning yang tidak bisa dihindari dari
persoalan-persoalan sufistik, yang secara umum merupakan bentuk
replikasi atas prinsip-prinsip sufisme al-Ghazali. Signifikansi Pendidikan
Sisi pendidikan yang cukup menarik perhatian dalam konsep pendidikan
KH. Hasyim Asyari adalah sikapnya yang sangat mementingkan ilmu dan
pengajaran. Kekuatan dalam hal ini terlihat pada penekanannya bahwa
eksistensi ulama, sebagai orang yang memiliki ilmu, menduduki tempat
yang tinggi. Karena itu, dalam bab pertama kitab Adab al-lim wa almutaallim, KH. Hasyim Asyari mengawali pembahasannya mengenai hal
itu dengan urutan-urutan argumentasi nash (al-Quran) kemudian hadits
dan pendapat para ulama. KH. Hasyim Asyari memaparkan tingginya
status penuntut ilmu dan ulama dengan mengetengahkan dalil bahwa
Allah mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman.[21] Di tempat
lain, KH. Hasyim Asyari menggabungkan surat al-Fathir (Q.S. 35) ayat 8
dan surat al-Bayinah (Q.S. 89) ayat 7-8. Premis dalam surat pertama
menyatakan bahwa ulama merupakan makhluk yang paling takut kepada
Allah, sedangkan pada surat kedua dinyatakan bahwa orang yang takut
kepada Allah adalah makhluk yang terbaik. Kedua premis ini kemudian

memberi sebuah konklusi bahwa ulama merupakan makhluk yang terbaik


di sisi Allah (khair al-bariyyah). Dalam memahami tesis di atas, KH.
Hasyim Asyri sesungguhnya berusaha mengedepankan pemikiran
bahwa dalam menghadapi segala persoalan hendaknya dimulai dari
paradigma normatif yang bersumbu pada titik sentral ketuhanan.
Paradigma ini diasumsikan akan mampu menyelesaikan persoalanpersoalan secara tuntas dan tidak menimbulkan spekulasi yang
berkepanjangan. Dimensi ketuhanan hendaknya mampu menjelma pada
partikulasi-partikkulasi, terutama dalam perilaku sosial, sehingga secara
kesuluruhan menunjukkan satu bingkaian yang utuh. Tampaknya, KH.
Hasyim Asyri berkeyakinan bahwa orang yang mampu menunjukkan
integritas dalam berperilaku adalah makhluk Tuhan yang terbaik.
Ketegasan tingginya derajat orang yang berilmu ini seringkali diulang,
misalnya dengan argumentasi hadits al-ulam waratsat al-anbiy,
[ulama adalah pewaris Nabi]. Hadits ini sesungguhnya menyatakan secara
jelas bahwa derajat para ulama adalah setingkat lebih rendah di bawah
derajat para Nabi. Sementara menurut KH. Hasyim Asyari, tidak ada
derajat yang lebih mulia daripada derajat Nabi. Oleh karena itu, derajat
ahli ibadah lebih rendah daripada ulama. Bahkan, KH. Hasyim Asyari
sering mengutip hadits dan pendapat ulama serta menyatakan
pendapatnya tentang perbandingan ibadah dengan ilmu. Menurut Nabi,
tingginya derajat ulama jika dibanding dengan ahli ibadah, pertama,
bagaikan utamanya Nabi dibanding dengan manusia selainnya, kedua,
bagaikan terangnya bulan purnama dibanding dengan cahaya bintang,
dan ketiga, bagi setan lebih sulit menggoda seorang cendekiawan
daripada menggoda seorang cendekiawan daripada seribu ahl ibadah.[22]
Pemikiran KH. Hasyim Asyari di atas tampaknya mengikuti pemikiran
tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti al-Ghazali. Sebab, pemikiran KH.
Hasyim Asyari ini sama dengan hirarki yang dibuat oleh al-Ghazali, yakni
ahl al-ilm lebih utama daripada ahl al-ibadah, dengan menyajikan alasanalasan ayat al-Quran, hadits, dan pendapat para ulama.[23] Pemikiran KH.
Hasyim Asyari ini tampaknya menyiratkan sebuah pengertian bahwa
yang menjadi sentral pendidikan adalah hati. Penekanan pada hati ini

dengan sendirinya membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan


progresivisme dan essensialisme. Aliran progresivismeyang dipelopori
oleh John Deweymenyatakan bahwa sentral pendidikan adalah pikiran
dan kecerdasan. Pikiran dan kecerdasan ini merupakan motor penggerak
dan penentu ke arah kemajuan sekaligus penuntun bagi subyek untuk
mampu menghayati dan menjalankan sebuah program.[24] Dengan
demikin, aliran progresivisme menitikberakan pada aspek kecerdasan.
Sedangkan aliran essensialisme menyatakan bahwa materi utamalah
yang menentukan dan memantapkan pikiran serta kecerdasan manusia.
Materi (bahan pengajaran) itulah yang sekaligus menjadi unsur-unsur
yang hakiki dalam sebuah perkembangan peradaban dan kebudayaan.
[25] Atas dasar klasifikasi tersebut, menjadi semakin jelas bahwa KH.
Hsyim Asyari menempatkan corak kependidikannya sebagai corak yang
berbeda dari corak-corak kependidikan yang lain, yakni tidaklah bercorak
progressif ataupun esensialis. Perbedaan-perbedaan ini dimungkinkan
oleh karena adanya titik pandang yang tidak sama dalam memahami
manusia. Baik aliran progresivisme maupun essensialisme, sama-sama
mendasarkan pandangannya pada penelitian-penelitian yang bersifat
fisik-empiris. Sedangkan KH. Hasyim Asyariyang identik dengan
pemikiran al-Ghazalimenyimpulkan bahwa substansi manusia bukan
terletak pada usur fisiknya, tetapi pada hatinya. Sebagai pandangan
kependidikan yang didasarkan atas hati, memang dengan sendirinya akan
menghadapi kesulitan tersendiri, terutama dikontekskan dalam usaha
verifikasi dan pembuktian ilmiah. Sebab, usaha verifikasi dan pembuktian
ilmiah membutuhkan kerangka empris sehingga agak sulit untuk mencari
titik temunya. Kecenderungan para filosof Barat dalam memandang
manusia lebih banyak dari sisi antroposentris, sedangkan filosof Islam
dalam hal ini, misalnya, al-Ghazalimemandangnya dari sisi theosentris.
Dengan demikian, dalam pendidikan Islam, tugas pendidik tidak hanya
mencerdaskan pikiransebagaimana aliran progresivismeatau
menyiapkan bahan pengajaran yang baiksebagaimana aliran
essensialismemelainkan juga pada bagaimana membimbing,
mengarahkan, dan menuntun hati agar dekat kepada Allah.[26]

Sungguhpun demikian, dalam kenyataan banyak dijumpai bahwa tugas


kependidikan lebih banyak difokuskan pada aspek yang terakhir itu, yakni
bagaimana membentuk orang-orang yang shaleh dalam perspektif Tuhan,
tentunya Tuhan dalam sesuatu yang dipahaminya. Sementara aspek yang
lain, yang tidak kalah pentingnya, yakni penguatan kecerdasan dan
penguasaan materi pelajaran, menjadi terabaikan. Hal ini dimungkinkan
oleh berbagai hal, di antaranya adalah cukup intennya intervensi
pemahaman keagamaan yang kurang memberi penghargaan terhadap
aspek kecerdasan dalam aplikasi kependidikan. Kenyataan ini semakin
mempermudah dalam menafikan dimensi-dimensi kependidikan yang
kritis. Relasi Peserta Didik-Pendidik Untuk memperoleh ilmu yang
bermanfaat, KH. Hasyim Asyari menyarankan kepada peserta didik untuk
memperhatikan sepuluh etika yang mesti dicamkan ketika belajar.
Kesepuluh etika itu di antaranya adalah membersihkan hati dari berbagai
penyakit hati dan keimanan, memiliki niat yang tulusbukan
mengharapkan sesuatu yang material, memanfaatkan waktu dengan
baik, bersabar dan memiliki sikap qanaah, pandai membagi waktu, tidak
terlalu banyak makan dan minum, bersikap hati-hati, menghindari dari
makanan yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan, tidak
memperbanyak tidur, dan menghindari dari hal-hal yang kurang
bermanfaat. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik, peserta
didik mesti memilih dan mengikuti pendidik yang baik pula. Dalam hal ini,
perlu adanya batasan atau karakteristik pendidik yang baik. KH. Hasyim
Asyari menyebutkan ciri-ciri tersebut, yaitu cakap dan profesional
(kalimaat ahliyatuh), kasih sayang (tahaqqaqat syafaqatuh), berwibawa
(zhaharat muruatuh), menjaga diri dari hal-hal yang merendahkan
martabat (urifat iffatuh), berkarya (isytaharat shiynatuh), pandai
mengajar (ahsan talm), dan berwawasan luas (ajwa tafhm). Kehatihatian dalam memilih pendidik ini didasarkan atas pandangannya bahwa
ilmu itu sama dengan agama. Oleh karena itu, peserta didik harus tahu
dari mana agama itu diperoleh.[27] Tentu saja, persyaratan-persyaratan
itu tidak selamanya secara keseluruhan ditemukan dalam seorang guru.
Adanya persyaratan-persyaratan itu tampaknya lebih difokuskan pada

kerangka yang dapat menuntun peserta agar kritis-selektif dalam memilih


guru sehingga proses pengalaman kependidikannya nanti dapat memberi
hasil. Peserta didik harus memiliki anggapan (image) dalam dirinya bahwa
pendidik itu mempunyai kelebihan tersendiri dan sangat berwibawa,
sehingga peserta didik harus mengetahui dan mengamalkan etika
berbicara dengan pendidik. Bahkan, ketika peserta didik berangkat ke
pendidik hendaknya bersedekah dan berdoa terlebih dahulu untuk
pendidik.[28] Peserta didik harus senantiasa sabar terhadap segala
kekasaran dan kesalahan pendidik, selama tidak menjadi kebiasaan dan
tidak menggoyahkan keimanan. Meski sikap yang ditampilkan pendidik
tidak mencerminkan etika dan akhlak yang luhur, tetapi bagi peserta didik
hendaknya menyikapiya dengan arif. Sebab, respon demikian memberi
kebahagiaan dan menjaga perasaan pendidik, di samping ilmu yang
didapat lebih bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.[29] Perspektif
demikian agaknya lebih banyak didukung oleh asumsi-asumsi bahwa guru
merupakan sosok yang patut digugu dan ditiru sementara peserta didik
didudukkan sebagai orang yang belum memiliki kecakapan-kecakapan
tertentu sehingga masih menergantungkan pada guru itu. Pola hubungan
antara peserta didik dengan pendidik seperti yang dikembangkan KH.
Hasyim Asyari di atas agaknya menyiratkan pada sebuah pemahaman
bahwa pendidikan itu lebih banyak ditekankan oleh aspek guru. Guru
tidak hanya sebagai transmitor pengetahuan (knowledge) kepada peserta
didik, tetapi juga pihak yang memberi pengaruh secara signifikan
terhadap pembentukan perilaku (etika) peserta didik. Akhir Tulisan di atas
memperlihatkan bahwa KH. Hasyim Asyari merupakan tokoh pendidikan
yang dibuktikan dengan karyanya berjudul Adab al-lim wa al-mutaallim.
Dalam karyanya itu, KH. Hasyim Asyari cenderung lebih menekankan
pada unsur hati sebagai titik tolak pendidikannya. Sebab, hatilah yang
mendorong sebuah etika itu muncul. Kecenderungan pada aspek hati ini
dengan sendirinya membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan
yang lain, seperti aliran progresivisme dan essensialisme. Di samping itu,
KH. Hasyim Asyari memandang pendidik sebagai pihak yang sangat
penting dalam pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang mampu

mentransmisikan ilmu pengetahuan di samping pembentuk sikap dan


etika peserta didik. Wa Allh alam.[] Daftar Pustaka Aceh, Abubakar.
1975. Sejarah Hidup KH A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Jakarta:
Panitia Buku Peringatan KH A Wahid Hasyim. Adnan, Abdul Basit. 1982.
Kemelut di NU: Antara Kyai dan Politisi. Solo: Mayasari. Asyari, K.H.
Hasyim. 1415. Adab al-lim wa al-mutaallim fm yahtj ilaih almutaallim f Ahwl taallum wa m yatawaqaf alaih al-muallim f
maqmat talmih. Jombang: Turts al-Islmiy. Barnadib, Imam. 1986.
Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan. Yogyakarta: Andi Offset. Bruinessen,
Martin van. 1994. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru
(terj. Farid Wajidi). Yogyakarta: LKiS. Fahmi, Asm Hasan. 1979. Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam (terj. Ibrahim Husein). Jakarta: Bulan
Bintang. al-Ghazali, Abu Hamid. 1939. Ihy Ulm al-Dn (juz I). Kairo:
Mushthafa al-Bbi al-Halabi. al-Kinni, Badr al-Dn ibn Jamah. 1354.
Tadzkirat al-smi f adab al-lim wa al-mutaallim. Beirut: Dr al-Marif.
Langgulung, Hasan. 1992. Asas-asas Pendidikan Islam (cet. ke-2). Jakarta:
Pustaka al-Husna. Maslani. 1997. Pemikiran KH. Hasyim Asyari dalam
Karyanya Adab al-lim wa al-mutaallim: Suatu Upaya Pengungkapan
Belajar-Mengajar, Tesis. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga. Mochtar,
Affandi. 1993. The Method of Muslim Learning as Illustrated in al-Zarnujis
Talim al-Mutaallim Tariq al-Taallum, Tesis. Montreal: McGill University.
Nakosteen, Mehdi. 1964. History of Islamic Origins of Western Education
A.D. 800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education.
Colorado: University of Colorado Press. Nugraha, Ridjaluddin Fadjar. 1983.
Peranan KH Hasyim Asyari dalam Kebangkitan Islam di Indonesia,
Skripsi. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah. Nurdin. 1999. Etika Belajar
Mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran KH. Hasyim Asyari dalam
Kitab Adab al-lim wa al-mutaallim, Tesis. Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga. Syihab, Muhammad Asad. 1994. Hadlratussyaikh Muhammad
Hasyim Asyari. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
________________________________________ [1] Asm Hasan Fahmi, Mabdi
al-Tarbiyah al-Islmiyah diterjemahkan oleh Ibrahim Husein, Sejarah dan
Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. ke-1, h. 7.

[2] Ibid. [3] Informasi mengenai para penulis pendidikan abad


pertengahan dan karyanya dapat dilihat pada Mehdi Nakosteen, History of
Islamic Origins of Western Education AD. 800-1350 with an Introduction to
Medieval Muslim Education, (Colorado: University of Colorado Press,
1964), h. 75-106. [4] Badr al-Dn Ibn Jamah al-Kinni, Tadzkirat al-smi
f adab al-lim wa al-mutaallim, (Beirut: Dr al-Marif, 1354 H.) [5] Baca
Ibid., hal. 67-85 dan Muhammad Hsyim Asyri, Adab al-lm wa alMutaallim f m Yahtj ilaih al-Mutaallim f Ahwl Talmih wa m
Yatawaqaf alaih al-Muallim f Maqmt Talmih, (Jombang: Maktabah alTurts al-Islmy, pondok pesantren Tebu Ireng, 1415 H.), hal. 24-28. [6]
KH. Hasyim Asyari, ibid., h. 3. [7] Ibid. Baca juga, Ridjaluddin Fadjar
Nugraha, Peranan KH Hasyim Asyari dalam Kebangkitan Islam di
Indonesia, Skripsi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1983), h.7 [8]
Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asyari,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1994), h. 73. Lihat Abdul Basit Adnan,
Kemelut di NU: antara Kyai dan Politisi, (Solo: Mayasari, 1982), cet. ke-1,
h. 35. [9] Sebagaimana lazimnya tradisi pesantren, jika sang kyai
mengetahui ada santrinya yang cerdas, pintar, tulus, dan potensial, maka
sang kyai menjodohkannya dengan anaknya. Begitu juga terhadap
Hasyim Asyari, Kyai Yakub pada suatu hari memanggil santrinya itu,
Hasyim, saya mengerti dan tahu bahwa engkau seorang santri yang
benar-benar rajin dan sungguh-sungguh dalam belajarnya. Dan lebih tahu
dan mengerti pula saya bahwa setengah dari pada sifat-sifatmu, ialah
tiada suka membantah akan perintah guru. Hal itu telah saya ketahui
benar-benar. Maka oleh karena itu saya menghendaki menjodohkan
kamu dengan anak saya sendiri yang bernama Khadijah, bagaimana
pendapatmu? Baca Ridjaluddin Fadjar Nugraha, op.cit., h. 16-17. [10] Abu
Bakar Aceh, Sejarah Hidup KH A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,
(Jakarta: Panitia Buku Peringatan KHA Wahid Hasyim, 1975), h. 35. [11]
Lihat James J. Fox, Ziarah visits to the tombs of the Wali, the Founders of
Islam on Java, dalam M.C. Ricklefs (ed.), Islam in the Indonesian Social
Context, (Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies, Monash
University, 1991), h. 30, dalam Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama:

Biografi KH. Hasyim Asyari, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 20. [12]


Diceritakan bahwa pada suatu hari, anak seorang bos pabrik gula
keturunan Belanda sakit parah yang tidak dapat disembuhkan oleh
banyak dokter. Ia baru sembuh setelah minum air yang telah diberkahi
KH. Hasyim Asyari. Baca ibid. [13] H. Abu Bakar Aceh, op.cit., h. 473. [14]
Lihat KH. Hasyim Asyari, op.cit., h. 101. [15] Baca ibid., h. 11-12. [16]
Baca Maslani, Pemikiran KH. Hasyim Asyari dalam Karyanya Adab
al-lim wa al-mutaallim: Suatu Upaya Pengungkapan Belajar-Mengajar,
Tesis, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1997). [17] Baca Nurdin, Mag.,
Etika Belajar Mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran KH. Hasyim
Asyari dalam Kitab Adab al-lim wa al-mutaallim Tesis, (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga, 1999). [18] Baca Hasan Langgulung, Asas-asas
Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), cet. ke-2, h. 123-129.
[19] Abd al-Muidz Khan dalam Affandi Mochtar, The Method of Muslim
Learning as Illustrated in al-Zarnujis Talim al-Mutaallim Tariq al-Taallum,
Tesis, (Montreal: McGill University, 1993), h.9-10. [20] Baca KH. Hasyim
Asyari, op.cit., h. 22-23. [21] Lihat Q.S. al-Mujdilah (58): 11. [22] Lihat
sabda Nabi yang artinya, segala sesuatu sesembahan kepada Allah tidak
ada yang lebih berharga daripada kepandaian dalam beragama. Bagi
setan lebih sulit menggoda satu orang yang ahl ilm daripada seribu ahl
ibadah. [23] Baca al-Ghazali, Ihy ulm al-Dn, juz I, (Kairo: Mushthafa alBbi al-Halabi, 1939), h. 6-7. [24] Lihat Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan
Suatu Tinjauan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1986), h. 11. [25] Lihat Maslani,
op.cit., h. 47. [26] Ibid. [27] KH. Hasyim Asyari, op.cit., h. 29. [28] Ibid., h.
30-31. [29] Ibid., h. 32-33.

Ilham Kadir
TIDAK banyak yang mengetahui jika KH. Hasyim Asyari adalah seorang
tokoh pendidikan yang sangat komplit. Kebanyakan masyarakat
Indonesia, baik warga Nahdatul Ulama (NU) lebih-lebih di luar NU hanya
tau jika KH. Hasyim Asyari hanyalah seorang ulama sekaligus aktivis.

Pendiri NU ini adalah sosok pendidik yang sumbangsihnya dalam dunia


pendidikan tidak bisa disepelekan.
Di tengah kurang berhasilnyauntuk tidak mengatakan gagalsistem
pendidikan di Indonesia, ada baiknya jika para pengambil kebijakan di
negeri ini untuk kembali mengkaji dan menelaah pokok-pokok pemikiran
pendidikan KH. Hasyim Asyari.
Pendidikan yang ditawarkan oleh KH. Hasyim Asyari adalah pendidikan
yang berbasis karakter yang sedang digembar-gemborkan oleh Menteri
Pendidikan saat ini untuk dijadikan sebagai acuan dalam pembentukan
karakter peserta didik. Itu artinya pemikiran pendidikan pengasas
organisasi Islam terbesar di dunia ini telah melampaui zamannya.Pokokpokok pemikiran pendidikan KH. Hasyim AsyAri, dapat dengan jelas
diketahui dalam kitabnya, Adabul Alim wal Mutaallim (Maktabah Turats
Islamiy, 1415 H).
Peran guru
Masalah pendidikan di negeri ini, selain kurikulum, metode juga menjadi
sorotan. Ini dapat dipahami karena metode memang lebih penting dari
kurikulum, Ath-thoriqah ahammu minal madah. Namun metode juga
sangat tergantung pelaksanaannya pada guru, sebab guru lebih penting
dari metode itu sendiri, al-mudarris ahammu min ath thariqah. Namun,
roh seorang guru lebih bermakna dari jasadnya sendiri, wa ruhul mudarris
ahammu min mudarris nafsuhu. Karena metode secanggih apa pun, jika
berada pada guru yang tidak bersemangat akan nihil hasinya. Prinsip
keterkaitan antara kurikulum, metode, dan guru, telah disadari
pentingnnya oleh Hasyim Asyari dan para ulama-ulama muktabar yang
terjun langsung mengurus lembaga pendidikan.
Di pondok pesantren misalnya, ada prinsip bahwa metode lebih penting
dari materi; guru lebih penting dari metode; dan jiwa guru lebih penting
dari guru itu sendiri. Jadi selain materi dan guru, jiwa guru sangat
berperang penting dalam keberhsilan pengajaran. Karena dengan jiwa
keikhlasan dan pengabdiannya, guru akan dapat mewarnai murid. Ini
sesuai pendapat Sir Pency Nunn, seorang guru besar pendidikan di

University of London yang mengatakan bahwa baik buruknya suatu


pendidikan tergantung kebaikan, kebijakan, dan kecerdasan pendidik.
KH Hasyim Asyari, juga tampil menawarkan beberapa etika yang harus
dimiliki oleh seorang pendidik sebagai bekal dalam melaksanakan
tuganya, sebagaimana berikut ini: seorang guru harus senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah); senantiasa takut kepada
Allah (al-khauf ilallah); senantiasa bersikap tenang dan selalu berhati-hati
(wara); senantiasatawadhu, khusyuk, mengadukan segala persoalannya
hanya kepada Allah; tidak menggunakan ilmunya hanya untuk meraih
kepentingan dunia semata; tidak terlalu memanjakan anak didik; berlaku
zuhud dalam kehidupan duniawi; menghindari berusaha dalam hal-hal
yang rendah; menghindari tempat-tempat yang kotor dan tempat
maksiat; senantiasa mengamalkan sunnah Nabi; istiqamah dalam
membaca Al-Quran; selalu bersikap ramah, ceria, dan suka menaburkan
salam; membersihkan diri dari segenap perbuatan yang tidak disukai oleh
Allah (ijtniabul manhiyat); selalu menumbuhkan semangat untuk
menambah ilmu pengetahuan; tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara
menyombongkannya; dan membiasakan diri menulis, mengarang, dan
meringkas.
Ada pun etika adab-adab seorang guru ketika mengajar, Hasyim AsAri
menawarkan gagasan tentang etika atau adab-adab guru ketika mengajar
sebagaimana berikut: Mensucikan diri dari hadas dan kotoran; berpakaian
yang sopan dan rapi serta usahakan berabau wangi; berniatlah beribadah
ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik; sampaikanlah hal-hal
yang diajarkan oleh Allah; biasakanlah membaca untuk menambah ilmu
pengetahuan; berilah salam ketika masuk ke dalam kelas; sebelum
mengajr mulailah terlabih dahulu dengan berdoa untuk para ahli ilmu
yang telah lama meninggalkan kita; berpenampilan yang kalem dan jauhi
hal-hal yang tidak pantas dipandang mata; menjauhkan diri dari banyak
bergurau dan banyak tertawa; jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi
lapar, marah, mengantuk, dan sebagainya; pada waktu mengajar
hendaklah mengambil duduk yang strategis; usahakan tampil dengan
sikap ramah, lemah lembut, jelas dalam betutur, tegas, lugas, dan tidak

sombong; dalam mengajar hendaklah mendahulukan materi-materi yang


penting dan disesuaikan dengan profesi yang dimiliki; jangan sekali-sekali
mengerjakan hal-hal yang bersifat syubhat dan bisa membinasakan;
perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak
terlalu lama, serta menciptakan ketenangan dalam ruangan belajar;
menasihati dan menegur dengan baik bila terdapat anak didik yang
bandel; bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan yang
ditemukan; berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya
ketinggalan dan ulangilah penjelasan agar tahu apa yang dimaksud; dan
bila sudah selesai, berilah kesempatan kepada anak didik untuk
menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum dipahami.
Tidak hanya itu, Hasyim Asyari masih menawarkan beberapa adab guru
terhadap para murid-muridnya, sebagaimana berikut: seorang guru harus
berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta
menghidupkan syariat Islam; menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar
keduniawian; hendaknya selalu melakukan intrsopeksi diri; menggunakan
metode yang mudah dipahami oleh para murid; membangkitkan antusias
peserta didik dengan memotivasinya; memberikan latihan-latihan yang
bersifat membantu; selalu memperhatikan kemampuan peserta didik;
tidak terlalu mengorbitkan salah seorang peserta didik dan menafikan
yang lainnya; mengarahkan minat peserta didik; bersikap terbuka dan
lapang dada terhadap peserta didik; membantu memecahkan masalah
dan kesulitan para peserta didik; bila terdapat peserta didik yang
berhalangan hendaknya mencari hal ikhwal kepada teman-temannya;
tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik; dan selalulah
rendah hati, tawadhu.*
Penulis pemerhati pendidikan Islam dan anggota Majelis Intelektual-Ulama
Muda Indoesia (MIUMI)
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Anda mungkin juga menyukai