MAHKUM FIHI
Makalah ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Disusun oleh :
FAKULTAS TARBIYAH
2023
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
A. Pengertian Hukum................................................................................. 3
BAB III
PENUTUP .......................................................................................................... 9
A. Kesimpulan ............................................................................................ 9
B. Saran....................................................................................................... 9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata “Islam”. Kedua
kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan
terdapat dalam Al-Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “Hukum Islam”
sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan
terpakai, namun bukan merupkan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an ; juga tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa
Arab. Karena itu kita tidak akan menemukan artinya secara definitif.
Untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata
“hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan
kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata
“Hukum” karena setiap definisi akan menemukan titik lemah. Karena itu untuk
memudahkan memahami pengertian hukum, brikut ini akan diketengahkan definisi
hukum secara sederhana, yaitu : “seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi
wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”
Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum fihi dan
mahkum alaihi. Dalam perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai
pengertian yang berbeda-beda menurut para ulama’, sehingga perlulah kita
mengetahui serta memahami apa itu al-hakim, mahkum fihi dan mahkum alaihi.
Karena semua pengertian pemahaman mempunyai dasar ataupun latar belakang
sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat dalam penetapan hukum, perlu pemahaman
lebih dalam penggunaanya. Konsep dasar tentang al-hakim, mahkum fihi dan
mahkum alaihi penuh perbedaan pendapat para ulama dalam pengertian serta
penggunaanya dalam hukum islam. Diantara masalah yang sangat penting yang
harus dijelaskan dalam kajian syari'at Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak
mengeluarkan hukum, yak ni siapakah Sang Pembuat Hukum Al-Hakim itu. Sebab
pengetahuan terhadap Al Hakim akan membawa pengetahuan terhadap hukum dan
hal-hal yang berkaitan dengannya bahwa hukum syara’ itu ialah kehendak Allah
tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat
hukum ialah Allah SWT.
Demikian makalah ini dibuat agar mahasiswa dapat memahami pengertian hukum,
Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum ‘alaih.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum
Menurut istilah ahli fiqih, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau
sabda Rasulullah. Apabila disebut syara’, maka yang dikehendaki adalah hukum
yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fikih,
bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlaq. Mayoritas ulama’
membagi hukum kepada dua jenis, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i.1
1. Hukum Takhlifi
Hukum Taklifi adalah tuntunan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk
berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Atau hukum taklifi
adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf atau ,menuntut untuk
berbuat atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya. Hukum taklifi dapat diartikan pula sebagai titah Allah yang
berhubungan dengan mukallaf dalam bentuk tuntutan dan pemberian pilihan untuk
berbuat atau tidak berbuat.
2. Hukum Wad’i
Hukum Wad’i adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab bagi
sesuatu yang lain atau menjadi syarat baginya atau menjadi penghalang baginya.
Contohnya adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab sesuatu
yang lain. Hukum wad’i dapat diartikan pula sebagai titah Allah yang berhubungan
dengan sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum taklifi.
1
Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fiqih. (Jakarta: Amzah, 2005), hal 86.
3
B. Pengertian Hakim
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari
hukum syariat adalah Allah SWT. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-An’am
ayat 57
Artinya:
“menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia yang menerangkan
sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am/ 6:57)
Meskipun para ulama ushul sepakat bahwa yang membuat hukum adalah Allah
SWT, tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang
dibuat Allah SWT hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya
Rasulullah saw atau akal secara independen bisa juga mengetahuinya.2
2
Abdul Wahab Khalaf, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press
4
dalam hal ini para Ulama Fiqh menetapkan kaidah :
الحكم االهلل
Artinya
Dari kaidah diatas, ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah
SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan,
pemilihan maupun wadhi’.
Diantara alasan para ulama Ushul Fiqh untuk mendukung pernyataan diatas adalah,
sebagai berikut:
1. QS. Al-Maidah: 44
Artinya:
“barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah,
maka mereka adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah:44)
2. QS. Al-Maidah: 49
Artinya:
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang
ditunkan Allah,...” (QS. Al-Maidah:49)
Artinya:
“barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah,
mak mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Maidah:45).
5
4. Keharusan untuk merujuk kepada al-Qur’an dan sunah apabila terjadi
perbedaan pendapat
فان تنا زعتم فى شيئ فردوه الى هللا والرسول ان كنتم تؤمنون باهللا و اليوم األ خر
Artinya:
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh
Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan
tuntutan Allah itu. Dalam istilah Ushul Fiqh, subjek hukum itu disebut Mukallaf
atau orang-orang yang dibebani hukum, atau mahkum’ alaih yaitu orang yang
kepadanya diperlakukan hukum.3
“Agama itu didasarkan pada akal; tidak ada arti agama bagi orang yang tidak
berakal.”
Ia telah mampu menerima beban taklif dan beban hukum yang dalam istilah ushul
diseut ahlul al-taklif. Kecakapan menerima taklif adalah kepantasan untuk
menerima taklif. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai
hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.
3
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 424
6
Ahliyah al-wujub naqish (kecakapan dikenai hukum secara lemah) yaitu kecakapan
seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban atau
kebalikannya. Sifat lemah pada kecakapan ini disebabkan karena hanya salah satu
kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada padanya.
1. Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir
sampai mencapai umur 7 tahun.
2. Ahliyah al-ada naqishah atau cakap berbuat secara lemah, yaitu manusia yang
telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.
3. Ahliyah al-ada kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaaitu
manusia yang telah mencapai umur dewasa.4
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah
objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i
(Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan
meninggalkan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan,
azimah, rukhsah, sah serta batal.5 Objek hukum adalah “ perbuatan “ itu sendiri.6
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu
hukum. Misalnya :
4
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Op Cit hal 423
5
Al-Badarsi: II: 148
6
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal, 350
7
1. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 43 :
ص ٰلوة
َّ َواَق ِۡي ُموا ال
“ Dirikanlah shalat..”
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf , yakni tuntutan untuk
mengerjakan shalat atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
“ Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan
sesuatu sebab yang benar,,”
Ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf
, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa hak itu
hukumnya haram. Dengan beberapa contoh ayat di atas, diketahui bahwa objek
hukum itu adalah perbuatan mukallaf
8
BABA III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum itu berasal dari Allah SWT dan sifatnya Kekal yang semuanya
tertulis dalam Al-qur’an. Namun tidak semua Hukum itu diketahui oleh orang lain,
maka dari itu Allah yang menetapkan Hukum dan Allah menurunkannya kepada
para Rosul baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu dalam bentuk
sunnah. Hukum adalah tuntunan bagi manusia, manusia disini adalah sebagai
Mahkum ‘alaih atau Subjek hukum. Subjek artinya pelaku, jadi subjek hukum ialah
mengetahui tuntutan Allah dan mampu melaksanakan tuntutan tersebut. Jika ada
Subjek pastilah ada Objek, Objek Hukum tersebut adalah “perbuatan” manusia itu
sendiri.
B. Saran
Dalam era islam masa kini, masih banyak orang yang melanggar dan tidak
mengikuti aturan atau hukum yang dibuat Hakim. Padahal hukum sudah jelas
tercantum dalam Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Manusia sebagai subjek hukum
seharusnya dapat mampu menjalankan perbuatan dalam Al-qur’an dan sunnah yang
sebagai ojek hukum. Jika Subjek dan Objek hukum tidak berjalan dengan baik, telah
dijelaskan dalam hukum akan ada beban hukum yang dibebankan pada manusia itu
sendiri.
Demikianlah akhir makalah ini. Jika ada penulisan makalah yang kurang
tepat kami mohon maaf. Terimakasih kepada pembaca yang telah menyempatkan
membaca makalah tentang Hukum, Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum ‘alaih yang
kami buat. Semoga bermanfaat.
9
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag.2005, Kamus Ilmu
Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah.
Abdul Wahab Khalaf, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy,
Bandung: Gema Risalah Press.
Syarifuddin, Amir. 1999 Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu
10