Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH ILMU FIQIH

Hukum Syara’ dan Unsur-unsurnya

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Ilmu Fiqih

Dosen Pengampu:

Prof. Dra. Hj. Nina Nurmila, M.A.,Ph.D.

Disusun Kelompok 2:

Adillah Tsinta Mulyanti (1192060002)

Andin Silva Amira (1192060010)

Dewi Rahayu (1192060024)

Elsa Amelia (1192060031)

4A - Pendiidkan Biologi

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan
makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya yang selalu diharapkan syafaatnya hingga pada umatnya sampai akhir
zaman.

Makalah ini membahas mengenai Hukum Syara’ dan Unsur-unurnya,kami


berterimakasih kepada semua pihak yang berpartisipasi dalam pembuatan makalah
ini.Terimkasih kepada Prof. Dra. Hj. Nina Nurmila, M.A.,Ph.D. yang telah
membimbing dan mengarahkan dalam mata kuliah ilmu fiqih selaku dosen pengampu.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih belum sempurna baik segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran demi tercapainya makalah yang lebih baik lagi.

Bandung, 12 Maret 2021

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………..………………….I
DAFTAR ISI…………………………………………………………..…………………….II
BAB I............................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................ 1
BAB II............................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN............................................................................................................ 3
A. Arti Hukum................................................................................................................3
B. Hukum Taklifi dan Wadl’I........................................................................................ 3
C. Azimah dan Rukhshah.............................................................................................10
D. Mahkum 'Alaih........................................................................................................ 15
E. Hakim dan Mahkum Bih..........................................................................................16
BAB III.........................................................................................................................20
PENUTUP.................................................................................................................... 20
A. Kesimpulan..............................................................................................................19
B. Saran........................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................21

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam mempelajari Ushul Fiqh terdapat bermacam-macam hukum yang


diantaranya yaitu hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata
“Hukum” dan kata “Syara”. Kata Hukum berasal dari bahasa arab. “Hukum” yang
secara etimologi berarti “memutuskan atau menetapkan dan menyelesaikan”.
Sedangkan kata Syara’ secara etimologi berarti “jalan-jalan yang biasa dilalui air,
maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju kepada Allah. Dalam Al-
Quran terdapat 5 kali disebutkan kata syara’ dalam arti ketentuan atau jalan yang
harus ditempuh.

Jadi Hukum Syara’ berarti seperangkat peraturan, berdasarkan ketentuan Allah


tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku, serta mengikat untuk
semua umat yang beragama Islam. Dalam hukum syara’ terdapat beberapa pembagian
hukum. Unsur- unsur hukum syara yang akan kita bahas pada pembahasan kali ini
yaitu Arti Hukum,Hukum Taklifi dan Wadl’i,’Azimah dan Rukhshah,Mahkum
‘Alaih,Hakim dan Mahkum Bih.

Hukum Syara’ merupakan hukum yang erat hubungannya atau bertalian dengan
perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan
sesuatu sebagai pengatur hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hukum ?

2. Bagaimana pengertian tentang Hukum Taklifi dan Wadl’I ?

3. Apa yang di maksud dengan azimah dan rukhshah ?

4. Apa pengertian dari Mahkum ‘Alaih ?

5. Apa yang dimaksud dengan Hakim dan Mahkum Bih.?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan hukum,dan juga
perbedaan antara hukum taklifi dan wadl'l

1
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang rukshah dan azimah

3. Untuk mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan Mahkum alaih

4. Untuk mengetahui dan memahami tentang Hakim dan Mahkum bih

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Arti Hukum

Secara bahasa berarti mencegah dan memutuskan. Adapun hukum menurut


terminologi ushul fiqh yaitu khitab (doktrin) syar’i (Allah) yang bersangkutan dengan
perbuatan orang yang sudah mukalaf. Baik doktrin itu berupa tuntutan (perintah,
larangan), anjuran untuk melakukan, atau anjuran untuk meninggalkan. Atau berupa
takhyir (kebolehan untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Atau wad’i
(menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’/ penghalang).

Pengertian hukum islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada


wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang
sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua
pemeluknya. Dan hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul untuk
melaksanakannya secara total.

B. Hukum Taklifi dan Wadl’I

A) Hukum Taklifi

Secara garis besar para ulama ushul fiqh membagi hukum syarak pada dua
macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi menurut para ahli
ushul fiqh adalah sebagai berikut.

‫ما أقتضى طلب فعل من المكلف او كفه عن فعل او تخييره بين الفعل والكف عنه‬

Artinya : ketentuan-ketentuan yang menghendaki adanya tuntutan kepada mukallaf


untuk melakukan, atau melarang untuk dilakukan, atau memilih untuk melakukan atau
tidakmelakukan. Dinamakan hukum taklifi adalah karena jenis hukum-hukum
tersebut mengandung “tuntututan” , baik untuk mengerjakan atau untuk meninggalkan,
atau untuk member alternatif memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya.
Dengan kata lain, hukum taklifi adalah titah atau firman Allah yang berhubungan
dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar tuntutan (iqtidha’) atau atas
dasar kebebasan memilih (takhyir).

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa apabila hukum taklifi adalah ketentuan
Allah swt. yang bersifat perintah, larangan atau pilihan antara mengerjakan atau

3
meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan adanya
sebab, syarat atau penghalang adanya hukum taklifi. Sebagai contoh, jika hukum
taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam, hukum wadh’i
menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadi
sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat maghrib. Patut pula diketahui
bahwa hukum taklifi dengan berbagai macamnya selalu berada dalam batas
kemampuan seorang mukallaf, sedangkan hukum wadh’i sebagaian ada yang di luar
kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.

Contoh hukum taklifi yang berisi tuntutan untuk mengerjakan, adalah perintah
Allah swt. untuk mengerjakan salat sebagaimana tercantum pada firman Allah swt.
QS Al-Baqarah : 43, dan perintah Allah swt. Untuk melaksanakan puasa sebagaimana
tercantum pada QS Al-Baqarah : 183 sebagai berikut :

( 43 : ‫و اقيموا الصلوة )البقرة‬

Artinya : Dan kerjakanlah oleh kamu sekalian salat

( 183 : ‫كتب عليكم الصيام )البقرة‬

Artinya : Telah diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa

Contoh hukum taklifi yang berisi larangan untuk mengerjakan, adalah larangan
Allah swt membunuh tanpa alasan yang benar sebagaimana tercantum pada firman
Allah swt QS Al-An’am : 151 dan larangan Allah swt untuk tidak memakan bangkai,
darah dan daging babi sebagaimana tercantum pada QS Al-Maidah : 3 sebagai
berikut :

( 151 : ‫ول تقتلواالنفس التى حرم ا ال با لحق ) ال نعام‬

Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah
(membunuhnya), kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar.

( 3 : ‫حرمت عليكم الميتت والدم ولحم الخنزير ) المائدة‬

Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.

4
Contoh hukum taklifi yang berisi kebolehan memilih antar mengerjakan atau
meninggalkannya, ialah mengqashar salat dalam bepergian, sebagaimana tercantum
pada firman Allah swt pada QS Al-Nisa’ : 101) sebagai berikut :

( 101 : ‫و إ ذا ضربتم فى الرض فليس عليكم جنا ح ا ن تقصروا من الصل ة )النسا ء‬

Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tiada mengapa bagimu
mengqashar salatmu

Patut dikemukakan bahwa hukum taklifi itu membicarakan hukum syarak dari
aspek sifatnya yang memberi tuntutan atau pembebanan hukum kepada mukallaf.
Tuntutan tersebut secara garis besar ada 3 (tiga) macam, yaitu 1) perintah untuk
dikerjakan; 2) larangan agar ditinggalkan; atau 3) member alternatif pilihan antara
mengerjakan atau meninggalkan. berikut uraian kelima macam hukum taklifi tersebut,
antara lain:

1. Wajib

Wajib menurut jumhur ulama merupakan sinonim atau persamaan dari kata
fardhu, yaitu tuntutan yang bersifat mengikat, tegas atau harus dikerjakan dan apabila
ditinggalkan, maka pelakunya berdosa lagi tercela. Sebagai contoh adalah perintah
mengerjakan shalat lima kali sehari semalam dan menghormati kedua orang tua
hukumnya wajib. Hukum wajib ini terbagi menjadi beberapa macam, terganting diari
sisi mana pembagiannya. Seperti pembagian berdasarkan waktu pelaksanaan, dari
sifat tuntutan, dari sisi umum-khusus, atau dari sisi kadar yang dituntut.

2. Mandub (Sunah)

Mandub merupakan sinonim persamaan kata dari nafilah, sunah, tathawwu’ dan
ihsan. Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan mandub sebagai

‫المندوب هو ما طلب الشا رع فعله طلبا غير لزم أوما يثا ب فا عله ول يعا قب تاركه‬

Artinya : Mandub ialah perbuatan yang dituntut Syari’. dengan tuntutan yang tidak
pasti, atau sesuatu yang diberi pahala bagi pelakunya, akan tetapi tidak berdosa
meninggalkannya.

Perbuatan yang termasuk kategori sunah ini dibagi menjadi dua, yaitu sunah
muakkadah dan sunah ghairu muakkadah.

5
Pertama, Sunah muakkadah adalah sunah yang Nabi saw. Senantiasa mengerjakannya
meskipun perbuatan tersebut bukan hal yang wajib. Sebagai contoh ialah shalat witir,
shalat sunah 2 rakaat sebelum fajar, setelah zhuhur, setelah maghrib dan setelah isya’.

Kedua, Sunah ghairu muakkadah, yaitu sunah yang Nabi saw tidak secara rutin
mengerjakannya. Sebagai contoh ialah shalat sunah 4 rakaat sebelum zhuhur, 4 rakaat
sebelum ashar, 4 rakaan sebelum isya’ atau sedekah sunah dalam keadaan darurat dan
tidak ada orang lain yang sedekah.

3. Haram (Larangan)

Haram ialah perbuatan yang dilarang oleh Syari’ melakukannya dengan larangan
yang tegas dan pasti dan dikenakan hukuman bila dilakukan. Ulama Hanafi membagi
tuntutan yang menyebabkan penolakan perbuatan menjadi 2 (dua) bagian dengan
memperhatikan cara penetapannya.

Pertama, Haram yang telah tetap secara pasti (qath’i), yaitu haram yang berdasarkan
nash-nash Alquran dan Sunah mutawatir serta ijmak. Ini akibatnya adalah tahrim yang
menurut mereka merupakan kebalikan fardlu.

Kedua, Haram yang tetap secara zhanni (dugaan kuat), yaitu haram yang dasarnya
adalah khabar-khabar ahad dan qiyas. Ini akibatnya ialah karahah tahrim, lawan kata
dari wajib

4. Makruh

Makruh yaitu perbuatan yang Syari’ menuntut kepada mukallaf untuk


meninggalkannya, tetapi tuntutannya tidak tegas atau tidak keras. Sifat tuntutan yang
demikian dapat diketahui dari redaksi nash syarak sendiri. Atau ada larangan yang
disertai pernyataan bahwa larangan tersebut menunjukkan hukum makruh, bukan
haram. Sebagai contoh ialah firman Allah swt.

( 101 : ‫ل تسألوا عن أشيا ء إ ن تبد لكم تسؤكم ) المائدة‬

Artinya : Dan janganlah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal yang apabila
diterangkan kepadamuniscaya akan menyusahkanmu.

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa boleh jadi Syari’ menuntut hal-hal di


mana mukallaf diperbolehkan memilih salah satu di antaranya dari apa yang telah

6
ditetapkan dalam tasyri’. Sudah barang tentu maksud khitab itu ialah larangan untuk
mengumpulkan antara keduanya dan seseorang harus memilih salah satu di antara
keduanya. Akibatnya ialah larangan mengumpulkan antara keduanya dan haruslah ia
melakukan salah satunya.

5. Mubah

Mubah mengandung pengertian bahwa seseorang diberikan kebebasan memilih


oleh Syari’ antara mengerjakan atau meninggalkannya. Artinya, seorang mukallaf
tidaklah dituntut untuk melakukannya dan tidak pula dituntut menjauhinya.

B) Hukum Wadl’I

Hukum wadh’i adalah hukum yang memiliki tujuan untuk menjadikan suatu hal
menjadi sebab atau menjadi syarat atau penghalang atas adanya suatu hukum.
Menurut Al-Amidi, termasuk hukum wadh’i membicarakan hukum sesuatu apakah ia
sah atau batal, ‘azimah atau rukhshah, sah atau rusak (fasid).167 Sebagai contoh ialah,
kepemilikan harta sampai batas nishab merupakan syarat bagi [emiliknya untuk
membayar zakat. Kondisi suci seorang muslim yang baligh dari hadas dan najis
merupakan syarat sahnya shalat. Pembunuhan pewaris oleh calon ahli waris
merupakan sebab gugurnya hak mewarisi.

Hukum wadh’i tidak harus berhubungan langsung dengan tingkah laku manusia,
tetapi bisa berbentuk ketentuan-ketentuan yang ada kaitannya dengan perbuatan
mukallaf yang dinamakan hukum taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk sebab-
akibat, atau syarat dan yang diberi syarat atau penghalang dan yang dikenakan
halangan. Dengan demikian, hukum wadh’i itu ada 3 macam :

1) Sabab (sebab)

Secara bahasa, sebab berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada apa
yang dimaksud. Dalam bahasa indonesia , sabab disebut dengan “sebab” yang nerarti
hal yang menimbulkan terjadinya sesuatu.168 Sebab menurut jumhur ulama adalah
sesuatu yang jelas batas-batasnya, yang oleh Allah dijadikan sebagai tanda bagi
adanya hukum.169 Berdasarkan definisi ini, ada 2 (dua) esensi yang terkandung di
dalamnya. Pertama sesuatu itu tidak sah dijadikan sebagai sabab keculi Allah sendiri
yang menjadikannya, karena hukum taklifi merupakan pembebanan dari Allah swt.,

7
maka yang membebani adalah Allah swt. dan jika yang membebani adalah Pembuat
hukum (Syari’), maka Dia-lah menjadikan sebab – sebab hukum-hukumnya. Kedua,
sebab-sebab ini bukanlah faktor penyebab adanya hukum taklifi, melinkan sekedar
indikasi kemunculannya. Selanjutnya mengenai “sabab” ini terbagi menjadi 2 (dua)
yaitu:

1. Sabab yang berada di luar batas kemampuan mukallaf. Sabab yang berada
di luar batas kemampuan mukallaf ialah sabab yang dijadikan Allah swt. sebagai
pertanda atas adanya hukum. Kita tidak dapat mengetahui kenapa hal itu yang
dijadikan pertanda hukum oleh Allah swt.

2. Sebab yang berada dalam batas kemampuan mukallaf. Sebab yang berada
dalam batas kemampuan mukallaf ialah sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf yang
ditetapkan oleh pembuat hukum akibat hukumnya.

3. Sebab dalam bentuk perbuatan mukllaf di atas terbagi pula kepada tiga
macam: 1) Sebab yang dituntut oleh pembuat hukum untuk diadakan : artinya dituntut
untuk memperbuatnya; 2) Dituntut dalam bentuk tuntutan untuk meningalkannya; 3)
Diberi izin untuk melakukannya selama berada dalam batas kemampuan mukallaf.

2. Syarat

Para ahli memberikan definisi yang berbeda terhadap syarat dalam bentuk
perbedaan yang tidak begitu berarti. Dari satu sisi, syarat sama dengan sebab, yaitu
bahwa hukum tergantung kepada adanya, sehingga bila tidak ada syarat, maka pasti
hukum pun tidak ada. Berbeda halnya dengan sebab, keberadaan sebab menuntut
adannya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu menuntut adannya hukum. Oleh
karena itu ulama ushul mendefinisikan syarat sebagai :

‫ ويلزم من عد مه عدم الحكم ول يلزم من وجوده وجود الحكم‬,‫ال مر الذ ى يتوقف عليه وجود الحكم‬

Artinya : sesuatu yang tergantung kepada adanya hukum, dan pasti jika tidak ada
syarat, maka tidak akan ada hukum, meskipun dengan adanya syarat tidak otomatis
aka nada hukum.

Syarat itu ada tiga bentuk antara lain:

8
1. Syarat ‘aqli; Seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui.
Adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.

2. Syarat ‘adi; Artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku; seperti ber-
sentuhnya api dengan barang yang daat terbakar menjadi syarat berlangsungnya
kebakaran.

3. Syarat syar’i; Syarat berdasarkan penetapan syarak, seperti sucinya badan


menjadi syarat untuk shalat.

3. Mani’ (penghalang)

Definisi mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara


terminologi, sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum
atau penghalang bagi berfungsinya sesuatu sebab. Sebuah akad perkawinan yang sah
karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi.
Tetapi masalah waris mewaris itu bisa terhalang di sebabkan suami misalnya
membunuh istrinya.

Dari segi sasaran yang dikenai pengaruhnya, ada dua macam mani’ yaitu :

1. Mani’ yang berpengaruh terhadap sebab, dalam arti adanya mani’


mengakibatkan “sebab” tidak dianggap berarti lagi. Dengan tidak berartinya sebab itu
dengan sendirinya musabab atau hukum pun tidak akan ada karena dia mengikuti
kepada sebab.

2. Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak adanya


hukum meskipun ada sebab yang mengakibatkan adanya hukum.

Ditinjau dari segi hasil suatu perbuatan hukum dalam hubungannya dengan 3
hukum wadh’i tersebut, para ahli memasukkan ke dalam hukum wadh’i tiga hal lagi,
yaitu sah, fasad dan batal. Ketiga istilah tersebut merupakan sifat-sifat yang
mengiringi hukum-hukum syarak, baik hukum taklifi maupun hukum wadh’i. Sebagai
contoh adalah shalat yang merupakan objek hukum taklifi, akan dinilai sah apabila
dilaksanakan dengan terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sahnya shalat.
Sebaliknya, shalat tidak dianggap sah apabila tidak memenuhi syarat-syaratnya atau
dilaksanakan tidak sesuai waktunya.

9
1. Shah

Pengertian shah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “sah” –
digunakan secara mutlak dengan dua pandangan : Dimaksud dengan shah bahwa
perbuatan itu mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan
itu mempunyai arti secara hukum. Dimaksud dengan “sah” bahwa perbuatan itu
mempunyai pengaruh atau arti untuk kehidupan akhirat; seperti berhaknya atas pahala
dari Allah swt. Bila dikatakan perbuatan itu diharapkan mendapat pahala diakhirat.

2. Fasad

Fasad merupakan kebalikan dari shah. Istilah ini tidak berlaku di kalangan
jumhur ulama karena bagi mereka, fasid mempunyai arti yang sama dengan batal,
baik dalam bidang ibadat maupun muamalah. Pengertian fasid hanya berlaku di
kalangan ulama Hanafiyah, itupun hanya dalam bidang muamalah ini ada perbedaan
antara fasid dengan batal. Dengan demikian, terdapat kesamaan pendapat dalam hal
penamaan batal dengan fasid dalam ibadat, yaitu sesuatu perbuatan yang dilakukan
tidak memenuhi rukun dan syarat, atau belum berlaku sebab atau terdapat mani’.

3. Batal

Batal yang ada dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “batal” – yaitu
kebalikan dari sah.

C. Azimah dan Rukhshah

A) ‘Azimah
Azimah menurut kalangan para ahli ushul adalah

‫ما شرع من الحكام الكلية ابتداء‬

Artinya: hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum
umum.
Azimah adalah ketetapah hukum berdasarkan dalil syar’I tanpa adanya perubahan
Seperti kewajiban sholat 5 waktu secara sempurna pada waktu yang telah di
tentukan.Azimah merupakan ketetapan hukum yang wajib dikerjakan tidak boleh

10
ditinggalkan karena merupakan hukum asal dan menjadi kewajiban seutuhnya bagi
orang islam yang telah mukallaf.
Dari segi istilah, ramai ulama’ telah memberikan pengertian azimah. Antaranya
Imam Al-Ghazali mendefinisi azimah sebagai “sesuatu yang menyebabkan kamu
melakukan apa yang diwajibkan Allah”. Imam As-Syathibi pula mendefinisikannya
sebagai “beberapa hukum umum yang telah ditetapkan sejak awal lagi”. Dalam kata
lain dengan bahasa yang lebih mudah, bahawa azimah merupakan perintah asal
sesuatu hukum tetapi dibatalkan atau diubah bentuknya disebabkan keadaan darurat.
Ia menunjukkan taklifan (bebanan tanggungjawab) untuk orang-orang beriman.

Macam-macam ‘Azimah Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ‘azimah ada
empat macam, yaitu :

 Hukum yang disyariatkan sejak semula untuk kemashlahatan umat manusia


seutuhnya seperti ibadah, muamalah, jinayah dan seluruh hukum yang bertujuan
untuk mencapai kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat.
 Hukum yang disyariatkan karena adanya suatu sebab yang muncul, seperti
hukum mencaci maki berhala atau sesembahan agama lain. Hal ini dilarang oleh
Allah, karena orang yang menyembah berhala atau sesembahannya dicela akan
berbalik mencela Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-An’am,
6:108 : “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.”
 Hukum yang disyariatkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum sebelumnya,
sehingga mansukh seakan-akan tidak pernah ada. Status nasikh dalam kasus seperti
ini adalah ‘azimah. Misalnya, firman Allah dalam persoalan pemalingan arah kiblat
dalam surat Al-baqoroh 2:144: “Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” Maksudnya
ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke langit berdoa dan menunggu-nunggu
turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.
 Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum, seperti firman
Allah dalam surat An-Nisa, 4:24: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita
yang bersuami,kecuali budak-budak yang kamu miliki” Dalam ayat ini Allah

11
mengharamkan mengawini para wanita yang telah bersuami dengan lafaz yang
bersifat umum, kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak.

B) Rukhshah
Secara Etimologi, Rukhshah berarti Kemudahan, Kelapangan,keringanan dan
Kemurahan. Sedangkan kata rukhshah menurut terminologi adalah hukum yang
ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.Pada dasarnya, rukhshah
adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syari’at bagi mukallaf yang
mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan
kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari bentuk
asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat
tertentu.Bisa pula dimaknai sebagai diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang,
beserta wujudnya dalil yang melarang. Pada prinsipnya adanya rukhshah dalam setiap
uzur yang ditemui bertujuan untuk mewujud-kan maqasid al-syariah, dimana ber-
tujuan untuk memelihara lima aspek pokok dalam kehidupan manusia yaitu agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.
Bila ditilik dari sisi hukumnya, menurut ulama syafi’iyah rukhshah terbagi menjadi
lima:
a. Rukhshah wajib. Contohnya memakan bangkai bagi orang yang sedang
kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya tersumbat
hingga tak bisa bernafas. Jika makan bangkai atau minum arak yang notabene haram
merupakan satusatunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan jiwanya, maka hal itu
wajib dilakukan.
b. Rukhshah sunnah. Misalnya shalat qashar bagi seorang musafir yang telah
melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi
orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa.
Demikian pula mengakhirkan shalat zhuhur, karena cuaca pada awal waktu zhuhur
sangat panas atau seperti melihat muka dan dua telapak tangan calon istri saat
meminangnya semua contoh di atas merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan.
c. Rukhshah mubah. Contohnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan
sewa-menyewa (ijarah) dua jenis transaksi dikategorikan rukhshah yang mubah
karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam pada
permulaannya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak
wujud (ma’dum) dan manfaat dalam ijarah juga dinilai ma’dum.

12
d. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian
luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama’ shalat atau berbuka puasa bagi
seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya begitu
pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai di
atas harga standar sementara dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk
membelinya semua toleransi (rukhshah) dalam contoh di atas lebih utama untuk tidak
dikerjakan.
e. Rukhshah makruh. Contohnya menqashar shalat dalam perjalanan yang belum
mencapai tiga marhalah,kemakruhan ini dimotivasi untuk menghindari khilaf imam
Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar sebelum perjalanan mencapai tiga
marhalah (142 km versi Hanafiah). Sementara al-Syafi’iah menilai dua marhalah
cukup untuk melakukan qashar.
Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi menjadi dua yaitu
rukhshah melaksanakan dan rukhshah meninggalkan:
a. Rukhshah melaksanakan ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan
yang menurut asalnya harus ditinggalkan. Dalam bentuk ini asal perbuatan adalah
terlarang dan haram hukumya inilah hukum azimah-nya dalam keadaan darurat atau
hajat, perbuatan yang terlarang itu menjadi boleh hukumnya.
b. Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan
yang menurut hukum ‘azimah-nya adalah wajib atau nadb (sunah). Dalam bentuk
asalnya, hukumnya adalah wajib atau sunah tetapi dalam keadaan tertentu si mukalaf
tidak dapat melakukannya, dengan arti bila dilakukannya akan membahayakan
terhadap dirinya dalam kondisi yang demikian ini maka dibolehkan dia meninggalkan.
Rukhshah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan, maka dalam hal
ini keringanan ada 7 bentuk yaitu:
 Keringanan seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at, haji, umrah, dan
jihad dalam keadaan udzur.
 Keringanan seperti meng-qashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat bagi
orang yang berada dalam perjalanan.
 Keringanan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena
tidak ada air, mengganti kewajiban berdiri dalam shalat dengan duduk, berbaring atau
dengan isyarat dalam keadaan tidak mampu, mengganti puasa wajib dengan memberi
makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa.

13
 Keringanan seperti pelaksaan shalat dzuhur dalam waktu ashar pada jama’
ta’khir karena dalam perjalanan. Menangguhkan pelaksaan puasa ramadhan kewaktu
sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam perjalanan. Keringanan
seperti mendahulukan mengerjakan shalat ashar pada waktu zuhur dalam jama’taqdim
di perjalanan.
 Keringanan seperti cara-cara pelaksaan shalat dalam perang yang berubah dari
bentuk biasanya yang disebut shalat khauf.
 Keringanan seperti membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan
meninggalkan perbuatan wajib karena ada udzur, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku padanya
rukhshah. Maksutnya apakah masih berlaku pada waktu itu atau tidak dalam hal ini
ulama Hanafiyah membagi rukhshah menjadi dua macam yaitu rukhshah tarfih dan
rukhshah isqath :
 Rukhshah tarfih ialah rukhshah yang meringankan dari pelaksanaan hukum
‘azimah tetapi hukum ‘azimah berikut dalilnya tetap berlaku. Contohnya yaitu saat
mengucapkan ucapan yang mengkafirkan yang terlarang dalam hukum ‘azimah, itu
dibolehkan bagi orang yang dalam keadaan terpaksa, selama hatinya tetap dalam
keimanan.
 Rukhshah isqath ialah menggugurkan hukum azimah terhadap pelakunya saat
keadaan rukhshah itu berlangsung.Contohnya yaitu meng-qashar shalat dalam
perjalanan.
Hukum Mengamalkan Rukhshah adalah “jawaz”, yakni boleh
mengerjakannya.Dalam posisi hukum yang demikian, maka seseorang boleh memilih
antara mengerjakan hukum asal yang ‘azimah atau mengerjakan hukum rukhshah
yang diberi keringanan. Oleh karena itu bagi seorang musafir pada bulan Ramadan,
boleh baginya memilih antara mengerjakan hukum ‘azimah yang asal yaitu berpuasa,
atau memanfaatkan dispensasi rukhshah untuk tidak berpuasa. Ketentuan hukum yang
demikian adalah karena nash syarak yang terdapat dalam Alquran atau Hadis Nabi
telah menempatkana rukhshah pada posisi kebebasan memilih opsi dan memberikan
kemudahan merupakan bagian dari maqashid al-syari’ah,Namun dalam hal
menggunakan hukum rukhshah bagi orang yang telah memenuhi syarat terdapat
perbedaan pendapat dikalangan ulama.Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum
mengamalkan rukhshah itu tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan adanya

14
rukhshah itu. Dengan demikian, menggunakan hukum rukhshah dapat menjadi wajib
seperti memakan bangkai bagi yang tidak mendapatkan makanan halal, sedangkan ia
khawatir seandainya tidak menggunakan rukhshah akan mencelakakan dirinya.
Hukum rukhshah ada pula yang sunah seperti berbuka puasa ramadhan bagi orang
yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula yang semata-mata ibahah seperti jual beli
salam.Imam al-Syathibi berpendapat, bahwa hukum rukhshah adalah boleh atau
ibahah secara mutlak ( Bahrudin:2019)

Jika dicermati adanya ‘azimahdan rukhshah dalam hukum Islam sesungguhya


adalah untuk memberikan kemaslahatan dan menghindarkan manusia dari
kemudharatan yang merupakan tujuan pembentukan hukum Islam. Pada kondisi
normal bagi setiap mukallaf berlaku hukum ‘azimah tetapi pada kondisi-kondisi
tertentu hukum ‘azimah tidak menyampaikan manusia kepada tujuan hukum sehingga
mukallaf harus menggunakan rukhshah sesuai dengan tingkat kesulitan yang
dihadapinya. Dalam artian rukhshah terhadap satu orang tidak bisa diberlakukan sama
terhadap orang yang lain.

D. Mahkum ‘Alaih

Mahkum `alaih ialah seorang mukallaf atau subyek hukum yang dibebani
perintah hukum. Atau mahkum alaih adalah mereka yang perbuatannya menjadi
tempat berlakunya hukum Allah. Dinamakan juga dengan istilah mukallaf karena
dialah yang dibebani dengan hukum. Untuk menetapkan beban taklif hukum kepada
mukallaf diperlukan beberapa syarat, sebagai berikut :

1. Orang Mukallaf Sanggup Memahami Titah/Khitab yang Dihadapkan Kepadanya

Dalam aspek ini khitab/titah harus dapat dipahami maksud dan tujuan perintah
hukum, maka titah/perintah tidak dihadapkan kepada orang yang kurang akal, idiot,
gila dan belum mengerti arti perintah/suruhan, seperti kanak-kanak, dan orang belum
dewasa. Khitab itu baik dari Al-Qur'an maupun Al-Sunnah bersumber dari bahasa
Arab, padahal mereka banyak yang tidak faham bahasa Arab, maka jalan untuk
mengatasinya ditempuh melalui beberapa jalan, yaitu:

a. Menterjemahkan Al-Qur'an dan Al-Sunnah ke dalam bahasa Indonesia, atau ke


dalam bahasa mereka yang dipakai dalam hidup mereka,

15
b. Menyerukan kepada orang (beriman) yang tidak mengetahui bahasa Arab untuk
mempelajari bahasa Arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan Al-Sunnah,

c. Kita wajib mengadakan upaya untuk ummat kita mempelajari bahasa asing
dengansempurna, untuk menyampaikan kandungan Al-Qur'an dan Al-Sunnah kepada
orang asing itu.

2. Berakal Sehat.

Akal/rasio adalah alat untuk memahami maksud shara', untuk itu dibebankan
suatu taklif hukum dipersyaratkan orang yang bersangkutan itu berakal sehat.
Menentukan kriteria orang telah berakal sangat sukar/kompleks, karena itu shara'
menjadikan bilangan umur sebagai tanda bagi orang telah berakal, dilengkapi dengan
memperhatikan skills, kapabilitas dan pekerjaan yang dilakukannya sehari-hari.

Pribadi manusia itu dalam mencapai kesempurnaan akalnya melalui beberapa


periode, ahli Usul Hanafiyah telah menerangkan hukum-hukum yang berkaitan
dengan manusia sejak masih berada dalam kandungan ibu sampai dengan
kesempurnaan akalnya. Mereka membagi hidup manusia kepada empat periode,
sebagai berikut:

Periode pertama : Janin ketika masih dalam kandungan ibu,

Periode kedua : Bayi mulai dari kelahiran hingga mempunyai kemampuan tamyiz
(kemampuan membedakan antara baik dan buruk),

Periode ketiga : mulai dari memiliki kemampuan tamyiz hingga sampai umur
(balligh),

Periode keempat : mulai dari sampai umur (balligh) hingga sampai meninggal dunia.

E. Hakim dan Mahkum Bih

A) Hakim

Secara etimologi pertama pembuatan hukum yang menetapkan dan memunculkan


sumber hukum, kedua, yang menentukan, menjelaskan, memperkenalkan dan
menyingkapkan.Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa hakim adalah allah
swt .dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber yang ditetapkan kepada seluruh
mukalaf.Dalam islam tidak ada syariat kecuali dari allah baik yang berkaitan dengan
hukum-hukum taklif ( wajib,sunah, mubah, makruh, dan haram ).maupun yang
berkaitan dengan hukum-hukum wad'i (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid,

16
'azimah dan rukhsah) menurut kesepakatan para ulama semua hukum di atas ber
bersumber dari allah melalui nabi muhammad SAW maupun hasil ijtihad para
muztahid melalui berbagai teori istimbath lainya untuk menyingkap hukum yang
datang dari Allah.

‫للا لحكم‬

Artinya: Tidak ada hukum kecuali bersumber dari allah

Dari pemakaian kaidah tersebut, para ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum
sebagai titah allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf baik berupa
tuntutan ,pemilihan maupun wad'I. Sedangkan dari pengertian kedua tentang hakim di
atas, ulama ushul fiqih membedakan sebagaimana berikut.

Sebelum muhammad diangkat menjadi rasul para ulama ushul fiqih berbeda beda
pendapat tentang siapa yang menemukan memperkenalkan dan menjelaskan hukum .
sebagian ulama ushul fiqih dari golongan ahlussunnah wal jama'ah berpendapat
bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara, sementara akal tidak mampu
mencapainya oleh sebab itu hakim adalah Allah yang menyingkap hukum dari hakim
itu adalah syara namun suara belum ada.

Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat nabi
muhammad belum diangkat menjadi rasul adalah Allah namun akal pun sudah
mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah dan menyingkap serta
menjelaskannya sebelum datangnya syara.

Di kalangan para ulama ushul fiqih persoalan-persoalan ini dikenal dengan istilah
“al-tahsin wa al-taqbih”yakni pertanyaan bahwa sesuatu baik atau buruk. Sedangkan
setelah nabi muhammad diangkat menjadi rasul dan menyebarkan dakwah islam para
ulama usul sepakat bahwa hakim adalah syariat yang turun dari Allah yang di bawah
oleh rasulullah SAW apa yang telah dihalalkan oleh Allah hukumnya adalah halal
begitu pula yang diharamkan nya hukumnya adalah haram juga disepakati bahwa apa-
apa yang di halalkan itu disebut hasan (baik) di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi
manusia sedangkan segala sesuatu yang diharamkan allah disebut qabih (buruk) yang
di dalamnya terdapat kemadaratan atau kerusakan bagi manusia (Rachmat syafei,199:
345-349)

17
B) Mahkum Bih

Mahkum bih adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk
dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk
dilakukan atau tidak dalam istilah usul fiqih yang disebut mahkum bih atau objek
hukum adalah sesuatu yang berlaku pada hukum cara kerja hukum adalah perbuatan
itu sendiri hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat umpamanya
“Daging babi” pada daging babi itu tidak berlaku hukum bagi suruhan atau larangan
berlaku hukum larangan adalah padamu “Memakan daging babi” yaitu sesuatu
perbuatan memakan bukan pada zat bang daging babi itu (Amir syaifuddin, 2008:
383). Oleh karena itu menurut ulama ushul fiqih yang dimaksud dengan mahkum bih
adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukalaf yang terkait dengan perintah
syari (allah dan rasulnya) baik yang bersifat tuntutan mengerjakan tuntutan
meninggalkan memiliki suatu pekerjaan dan yang bersifat sebab si syarat halangan
azimah rukhsah, sah,dan bathial (Rachmat syafei, 1999: 317)

1) Syarat-Syarat mahkum bih

Perbuatan sebagai objek hukum itu melekat pada manusia hingga bila pada suatu
perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum maka berlaku pada manusia
yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif, dengan demikian untuk
menentukan apakah seorang dikenai beban hukum terdapat suatu perbuatan
tergantung pada apakah perbuatan itu telah memenuhi syarat untuk menjadi objek
hukum (Amir syaifuddin, 2008: 383)

Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan
hukum) antara lain:

A. Mukalaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan sehingga tujuannya dapat


ditangkap dengan jelas dan dapat di laksana misalnya seorang mukalaf tidak
terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat sebelum ia tahu rukun syarat dan
kaifayah sholat.
B. Mukalaf harus mengetahui sumber taklif seseorang harus mengetahui bahwa
tuntutan itu dari allah sehingga ia melaksanakannya karena allah semata tidak
ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan perbuatan belum adanya
perbuatan yang jelas adapun yang dimaksud dengan pengetahuan muka lap

18
tentang apa yang dituntut kepada-nya adalah kemampuan untuk mengetahui
perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya
C. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan dan berada
dalam kemampuan yang dilaksanakan berkaitan dengan perbuatan mungkin
atau tidak mungkin dilakukan

2) Macam-macam mahkum bih

Para ulama ushul membagi mahkum bih dari dua segi yaitu dari segi keberadaan
secara material dan syara serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
Adapun jika dari segi keberadaan dan syarat mahkum bih terdiri dari:

A. perbuatan yang secara material ada tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait
dengan cara seperti makan dan minum.

B. perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara seperti
perzinaan, pencurian dan pembunuhan.

C. perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam cara apabila memenuhi
rukun dan syarat yang ditentukan seperti shalat dan zakat.

D. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara serta mengakibatkan adanya
hukum syara yang lain seperti nikah, jual beli dan sewa menyewa.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum menurut terminologi ushul fiqh yaitu khitab (doktrin) syar’i (Allah) yang
bersangkutan dengan perbuatan orang yang sudah mukalaf. Baik doktrin itu berupa
tuntutan (perintah, larangan), anjuran untuk melakukan, atau anjuran untuk
meninggalkan. Atau berupa takhyir (kebolehan untuk memilih antara melakukan dan
tidak melakukan. Atau wad’i (menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’/
penghalang). Dalam mempelajari Ushul Fiqh tersebut terdapat bermacam-macam
hukum yang diantaranya yaitu hukum syara’ yang merupakan hukum yang erat
hubungannya atau bertalian dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan,
pemberian pilihan, atau penetapan sesuatu sebagai pengatur hukum. Dalam hukum
syara’ tersebut terdapat beberapa pembagian hukum. Unsur- unsur hukum syara yang
di antaranya yakni Arti Hukum, Hukum Taklifi dan Wadl’i, ’Azimah dan Rukhshah,
Mahkum ‘Alaih, Hakim dan Mahkum Bih.

Secara garis besar para ulama ushul fiqh telah membagi hukum syarak pada dua
macam, yaitu hukum taklifi ( ketentuan Allah swt. yang bersifat perintah, larangan
atau pilihan antara mengerjakan atau meninggalkannya ) dan hukum wadh’I ( hukum
yang menjelaskan adanya sebab, syarat atau penghalang adanya hukum taklifi ).

B. Saran

Kami penulis tentunya masih menyadari jika dalam pembuatan makalah di atas
masih banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharap saran dan kritik dari para pembaca agar dalam pembuatan makalah di
kemudian hari dapat menjadi lebih baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Baharudin Moh. 2019. Ilmu Ushul Fiqih. Lampung: Anugrah Utama Raharja.

Caniago Sulastri. 2014.’Azimah dan Rukhshah Suatu Kajian Dalam Hukum Islam.
JURIS. Vol 13 No 2. Hal 116-118

Damiri Ahmad. 2014. Kaidah Hukum yang Berkaitan dengan Rukhshah dan Azimah.
Adliya.Vol 8 No 1. Hal 251

Hidayat, Muhammad Rifqi. 2015. Analisis Fikih Klasik Terhadap Badan Hukum
Sebagai Aqid. Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah. Vol 2 No 2.

Rosyadi, Imron dan Muhammad Muinudinillah Basri. 2020. Hukum Ekonomi Syariah.
Jawa Tengah: Muhammadiyah University Press.

Sanusi, Ahmad dan Sohari. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.

Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

21

Anda mungkin juga menyukai