Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan kebudayaan yang beragam.


Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan keragaman suku bangsa, ras, agama
dan budaya. Namun keragaman ini menimbulkan konflik dimana-mana. Keadaan
seperti ini menggambarkan bahwa unsur-unsur yang ada di Indonesia belum
berfungsi secara satu kesatuan.

Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan


dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama
yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu
mendatang. Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi
diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain
dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang
besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat
sendiri jika tidak dikelola dengan baik.

Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas


yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia
sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada
dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk keragaman Etnis?
2. Bagaimana bentuk keragaman Agama?

1
BAB II

PEMBAHASAN

Keragaman disini memiliki makna sebagai suatu kondisi dalam masyarakat


dimana terdapat perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang, terutama suku bangsa dan
ras, agama dan keyakinan, ideology, adat kesopanan, serta situasi ekonomi. Sedangkan
kesederajatan memiliki makna sebagai suatu kondisi dimana dalam perbedaan dan
keragaman yang ada manusia tetap memiliki satu kedudukan yang sama dan satu
tingkatan hierarki.
Di Indonesia unsur keragamannya dapat dilihat dalam suku bangsa dan ras,
agama dan keyakinan, ideologi dan politik, tata karma, kesenjangan ekonomi, dan
kesenjangan sosial. Semua unsur tersebut merupakan hal yang harus dipelajari agar
keragaman hal tersebut tidak membawa dampak yang buruk bagi kehidupan
bermasyarakat di Indonesia.
A. Keragaman Etnis

Suku bangsa (etnis) adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan
identitas akan kesatuan kebudayaan. Orang-orang yang tergolong dalam satu suku
bangsa tertentu, pastilah mempunyai kesadaran dan identitas diri terhadap kebudayaan
suku bangsanya, misalnya dalam penggunaan bahasa daerah serta mencintai kesenian
dan adat istiadat.

Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogen.


Bangsa kita mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat
(tradisi). Semua itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Misalnya dalam upacara adat, rumah adat, baju adat, nyanyian dan tarian daerah, alat
musik, dan makanan khas.
Suku bangsa merupakan kumpulan kerabat (keluarga) luas. Mereka percaya
bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama. Mereka juga merasa sebagai satu
golongan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka mempunyai bahasa dan adat istiadat
sendiri yang berasal dari nenek moyang mereka. Dari mana asal nenek moyang bangsa

2
Indonesia? Ada teori yang menyatakan penduduk Indonesia berasal dari daratan Cina
Selatan, Provinsi Yunan sekarang. Ada juga teori “Nusantara.”

Menurut teori pertama Suku bangsa Yunan datang ke Indonesia secara bergelombang.
Ada dua gelombang terpenting:
1. Gelombang pertama terjadi sekitar 3000 tahun yang lalu. Mereka yang pindah
dalam pe-riode ini kemudian dikenal sebagai rumpun bangsa Proto Melayu. Proto
Melayu disebut juga Melayu Polynesia. Rumpun bangsa Proto Melayu tersebar
dari Madagaskar hingga Pasifik Timur. Mereka bermukim di daerah pantai.
Termasuk dalam bangsa Melayu Tua adalah suku bangsa Batak di Sumatera,
Dayak di Kalimantan, dan Toraja di Sulawesi.
2. Gelombang kedua terjadi sekitar 2000 tahun lalu, disebut Deutero Melayu. Mereka
disebut penduduk Melayu Muda. Mereka mendesak Melayu Tua ke pedalaman
Nusantara. Termasuk bangsa Melayu Muda adalah suku bangsa Jawa, Minang-
kabau, Bali, Makassar, Bugis, dan Sunda.

Menurut teori “Nusantara” penduduk Indonesia tidak berasal dari luar. Teori ini
didukung banyak ahli, seperti J.Crawfurd, K.Himly, Sutan Takdir Alisjahbana, dan
Gorys Keraf. Menurut para ahli ini penduduk Indonesia (bangsa Melayu) sudah
memiliki peradaban yang tinggi pada bada ke-19 SM. Taraf ini hanya hanya dapat
dicapai setelah perkembangan budaya
yang lama. Hal ini menunjukkan penduduk Indonesia tidak berasal dari mana-mana,
tetapi berasal dan berkembang di Nusantara.
Meskipun ada teori yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai
nenek moyang yang sama, kenyataannya ada beraneka ragam suku bangsa yang
mendiami wilayah Indonesia.Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah suku bangsa di
Indonesia. Diperkirakan ada 300 sampai 500 suku bangsa yang tinggal di Indonesia.
Perbedaan jumlah ini dikarenakan perbedaan para ahli dalam mengelompokkan suku
bangsa. Sedangkan keragaman suku bangsa di Indonesia antara lain disebabkan oleh:
1. perbedaan ras asal,
2. perbedaan lingkungan geografis,

3
3. perbedaan latar belakang sejarah,
4. perkembangan daerah,
5. perbedaan agama atau kepercayaan, dan
6. kemampuan adaptasi atau menyesuaikan diri.
Ciri-ciri perbedaan suku bangsa:
a) Tipe fisik, seperti warna kulit, rambut, dan lain-lain.
b) Bahasa yang dipergunakan, misalnya Bahasa Batak, Bahasa Jawa, Bahasa
Madura, dan lain-lain.
c) Adat istiadat, misalnya pakaian adat, upacara perkawinan, dan upacara kematian.
d) Kesenian daerah, misalnya Tari Janger, Tari Serimpi, Tari Cakalele, dan Tari
Saudati.
e) Kekerabatan, misalnya patrilineal(sistem keturunan menurut garis ayah) dan
matrilineal(sistem keturunan menurut garis ibu).
f) Batasan fisik lingkungan, misalnya Badui dalam dan Badui luar.

Dari faktor-faktor di atas, faktor lingkungan geografis dan kemampuan adaptasi atau
menyesuaikan diri sangat berpengaruh. Faktor lingkungan geografis yang menyebabkan
keanekaragaman suku bangsa antara lain sebagai berikut.
1. Negara kita berbentuk kepulauan. Penduduk yang tinggal di satu pulau terpisah
dengan penduduk yang tinggal di pulau lain. Penduduk tiap pulau
mengembangkan kebiasaan dan adat sendiri. Dalam waktu yang cukup lama akan
berkembang menjadi kebudayaan yang berbeda.
2. Perbedaan bentuk muka bumi, seperti daerah pantai, dataran rendah, dan
pegunungan. Penduduk beradaptasi dengan kondisi geografis alamnya. Adaptasi
itu dapat terwujud dalam bentuk perubahan tingkah laku maupun perubahan ciri
fisik. Penduduk yang tinggal di daerah pegunungan misalnya, akan berkomunikasi
dengan suara yang keras supaya dapat didengar tetangganya. Penduduk yang
tinggal di daerah pantai atau di daerah perairan akan mengembangkan keahlian
menangkap ikan, dan sebagainya. Perubahan keadaan alam dan proses adaptasi
inilah yang menyebabkan adanya keanekaragaman suku bangsa di Indonesia.

4
Besar kecilnya suku bangsa yang ada di Indonesia tidak merata. Suku bangsa yang
jumlah anggotanya cukup besar, antara lain suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Melayu,
Bugis, Makassar, Minangkabau, Bali, dan Batak. Biasanya suatu suku bangsa tinggal di
wilayah tertentu dalam suatu provinsi di negara kita. Namun tidak selalu demikian.
Orang Jawa, orang Batak, orang Bugis, dan orang Minang misalnya, banyak yang
merantau ke wilayah lain.
Keanekaragaman Budaya suku bangsa di Indonesia
Istilah budaya berasal dari kata Sansekerta, yaitu buddayah ataubuddhi yang
berarti akal budi. Kebudayaan berarti segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi
manusia. Ada tiga bentuk kebudayaan, yaitu kebudayaan dalam bentuk gagasan,
kebiasaan, dan benda-benda budaya.
a. Kebudayaan yang berupa gagasan, antara lain ilmu pengetahuan, adat istiadat,
dan peraturan.
b. Kebudayaan yang berupa kebiasaan, antara lain cara mencari makan (mata
pencarian), tata cara pergaulan, tata cara perkawinan, kesenian, dan bermacam-
bermacam upacara tradisi.
c. Kebudayaan yang berupa benda adalah semua benda yang diciptakan oleh
manusia, seperti alat-alat keperluan sehari-hari, rumah, perhiasan, pusaka
(senjata), kendaraan, dan lain-lain.
Manusia menciptakan kebudayaan untuk bertahan hidup dan memenuhi
kebutuhannya. Selain itu, kebudayaan juga diciptakan untuk mengolah alam agar
bermanfaat untuk kehidupan manusia. Karena kondisi lingkungan alam berbeda-beda,
maka terjadilah keanekaragaman kebudayaan.
Faktor lingkungan geografis yang menyebabkan keanekaragaman suku bangsa
antara lain sebagai berikut.
 Negara kita berbentuk kepulauan. Penduduk yang tinggal di satu pulau terpisah
dengan penduduk yang tinggal di pulau lain. Penduduk tiap pulau
mengembangkan kebiasaan dan adat sendiri. Dalam waktu yang cukup lama
akan berkembang menjadi kebudayaan yang berbeda.
 Perbedaan bentuk muka bumi, seperti daerah pantai, dataran rendah, dan
pegunungan. Penduduk beradaptasi dengan kondisi geografis alamnya. Adaptasi

5
itu dapat terwujud dalam bentuk perubahan tingkah laku maupun perubahan ciri
fisik. Penduduk yang tinggal di daerah pegunungan misalnya, akan
berkomunikasi dengan suara yang keras supaya dapat didengar tetangganya.
Penduduk yang tinggal di daerah pantai atau di daerah perairan akan
mengembangkan keahlian menangkap ikan, dan sebagainya. Perubahan keadaan
alam dan proses adaptasi inilah yang menyebabkan adanya keanekaragaman
suku bangsa di Indonesia. Besar kecilnya suku bangsa yang ada di Indonesia
tidak merata. Suku bangsa yang jumlah anggotanya cukup besar, antara lain
suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bugis, Makassar, Minangkabau,
Bali, dan Batak.
Biasanya suatu suku bangsa tinggal di wilayah tertentu dalam suatu provinsi di negara
kita. Namun tidak selalu demikian. Orang Jawa, orang Batak, orang Bugis, dan orang
Minang misalnya, banyak yang merantau ke wilayah lain.
Suku – suku bangsa yang tersebar di Indonesia merupakan warisan sejarah bangsa,
persebaran suku bangsa dipengaruhi oleh factor geografis, perdagangan laut, dan
kedatangan para penjajah di Indonesia. Keragaman suku bangsa satu dengan suku
bangsa yang lain di suatu daerah dapat terlihat dari ciri-ciri berikut:

1. Tipe fisik, seperti warna kulit, rambut, dan lain-lain.


2. Bahasa yang dipergunakan, misalnya Bahasa Batak, Bahasa Jawa, Bahasa
Madura, Bahasa Minang dan lain-lain.
3. Adat istiadat, misalnya pakaian adat, upacara perkawinan, dan upacara
kematian.
4. Kesenian daerah, misalnya Tari Janger, Randai, Tari Serimpi, Tari Cakalele, dan
Tari Saudati.
5. Kekerabatan, misalnya patrilineal (sistem keturunan menurut garis ayah) dan
matrilineal (sistem keturunan menurut garis ibu).
6. Batasan fisik lingkungan, misalnya Badui dalam dan Badui luar.

Sikap Menghormati Keragaman Suku Bangsa

6
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa kita yang mengungkapkan
persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman. Walaupun kita terdiri atas
berbagai suku yang beranekaragam budaya daerah, namun kita tetap satu bangsa
Indonesia, memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa Indonesia dan tanah
air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai lambang identitas
bangsa dan kita bersatu padu di bawah falsafah dan dasar negara Pancasila.
Kita sebagai bangsa Indonesia harus bersatu padu agar manjadi satu kesatuan
yang bulat dan utuh. Untuk dapat bersatu kita harus memiliki pedoman yang dapat
menyeragamkan pandangan kita dan tingkah laku kita dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, akan terjadi persamaan langkah dan tingkah laku bangsa Indonesia.
Pedoman tersebut adalah Pancasila, kita harus dapat meningkatkan rasa persaudaraan
dengan berbagai suku bangsa di Indonesia.
Membiasakan bersahabat dan saling membantu dengan sesama warga yang ada
di lingkungan kita, seperti gotong royong akan dapat memudahkan tercapainya
persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib
sepenanggungan, sebangsa, dan sehati dalam kekuatan wilayah nasional dengan segala
isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah.
Dalam mengembangkan sikap menghormati terhadap keragaman suku bangsa,
dapat terlihat dari sifat dan sikap dalam kehidupan sehari-hari.diantaranya adalah
sebagai berikut:
- kehidupan bermasyarakat tercipta kerukunan seperti halnya dalam sebuah keluarga.
- antara warga masyarakat terdapat semangat tolong menolong, kerjasama untuk
menyelesaikan suatu masalah, dan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
- dalam menyelesaikan urusan bersama selalu diusahakan dengan melalui musyawarah.
- terdapat kesadaran dan sikap yang mengutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
Sikap dan keadaan seperti tersebut di atas harus dijunjung tinggi serta
dilestarikan. Untuk lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, kita dapat
melaksanakan pertukaran kesenian daerah dari seluruh pelosok tanah air. Dengan
adanya kegiatan pertukaran kesenian daerah tersebut dan memberikan manfaat bagi
bangsa Indonesia, antara lain:

7
a) dapat saling pengertiaan antarsuku bangsa.
b) dapat lebih mudah mencapai persatuan dan kesatuan.
c) dapat mengurangi prasangka antar suku.
d) dapat menimbulkan rasa kecintaan terhadap tanah air dan bangsa.

B. Keragaman Agama

Bangsa Indonesia percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaannya. Agama yang berkembang yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha, dan Konghu Cu. Di samping itu juga berkembang kepercayaan,
dimana organisasi kepercayaan di Indonesia diperkirakan ada sekitar 200.
Agama Hindu tiba di kepulauan Indonesia pada abad pertama (awal tarikh
Masehi), dibawa oleh para musafir (pedagang) dari India yaitu Maha Resi Agastya,
yang di jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana.
Kedatangan agama Budha dimulai dengan aktivitas perdagangan pada awal abad
pertama, saat dimulainya perdagangan melalui jalur laut yaitu kedatangan para
pedagang dan peziarah dari India (Gunawarman) atau pun dari China (Fa-Hien dan I-
Tsing) yang melewati Selat Malaka.
Menurut para sejarawan, pada abad ke-13 M agama Islam masuk ke nusantara
yang dibawa oleh para pedagang muslim dari Arab, Gujarat dan Persia. Kristen Katolik
tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis. Orang Portugis tertarik dengan
kekayaan rempah-rempah di Kepulauan Maluku dan memiliki tujuan untuk
menyebarkan agama Katolik Roma di Indonesia (missionaris).
Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-
16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di
wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang
Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen
menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja,
Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya
adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.
Keberadaan umat beragama Konghu Cu beserta lembaga-lembaga keagamaannya di

8
Nusantara ini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan kedatangan
perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke tanah air.

Kekerasan atas nama agama sering mewarnai kehidupan manusia. Entah ia muncul
sebagai akibat hubungan antarumat beragama yang tidak dibarengi sikap toleran, atau ia
sengaja diciptakan untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu. Jika ditelaah lebih
dalam, sesungguhnya konflik antar agama lebih banyak disebabkan faktor ekonomi dan
faktor politik, di samping juga adanya usaha sengaja dari kelompok yang ingin
mempertahankan atau meraih status sosial yang lebih baik. Dan apabila konflik agama
tidak diberikan perhatian serius dari semua pihak, maka bangsa Indonesia akan
menghadapi persoalan besar, yakni disintegrasi bangsa dan carut marutnya NKRI.

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Konsep awal yang harus difahami adalah


tidak ada satupun agama di Indonesia yang kita kenal sampai sekarang berasal dari
Indonesia. Semua agama, apakah agama Hindu, Buddha, Islam, Nasrani dan
Konghuchu adalah berasal dari luar Indonesia, mungkin tidak terlalu berlebihan kalau
dikatakan semua agama di Indonesia adalah “agama import” (Subagya, 1981:5). Namun
demikian, semua itu diterima dan berkembang karena dapat menyesuaikan diri dengan
unsur-unsur lokal melalui proses akulturasi. Kedatangan berbagai agama di tanah air,
bukan masuk dalam wilayah yang tidak mengenal sistem religi, melainkan sudah
mengenalnya walaupun awalnya masih sederhana. Seperti kedatangan agama Hindu dan
Buddha, masyarakat Indonesia sudah mengenal sistem kepercayaan animisme dan
dinamisme, yang dikenal juga dengan nama agama tradisional. Hal ini dibuktikan
dengan sudah dikenalnya nama sang pencipta di setiap daerah dengan nama yang
berbeda-beda (Subagya, 1981: 66-68). Begitu juga dengan kedatangan agama Islam
yang diperkirakan sejak abad VII pada masa kerajaan Sriwijaya. Kedatangan para
pedagang Islam tersebut dalam wilayah yang penduduknya sudah mengenal agama
Buddha. Sejak awal abad XVI yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak
merupakan puncak perkembangan agama Islam di tanah air. Peranan wali/sunan sangat
penting dengan menggunakan media budaya setempat, seperti melalui wayang,
9
gending-gending Jawa dsb, bahkan semua itu dilestarikan (Lombard, 2005:340-341).
Jadi sekilas latar belakang sejarah tersebut menunjukkan, bahwa perkembangan agama
apapun di Indonesia tidak diawali dengan konflik, tetapi melalui cara-cara damai dan
beradab.

Abdul Rahman dan Khambali menulis, bahwa setiap penganut agama biasanya
cenderung eksklusivitas dengan mengklaim bahwa agama mereka adalah satu-satunya
agama yang benar (Rahman & Kambali, 2013). Namun di lain pihak masih terdapat
kelompok-kelompok keagamaan yang menentang sekularisme, libralisme, dan
pluralisme. Perbedaan ideologi keagamaan inilah kemudian bisa menyebabkan
munculnya konflik (Jellen, 2007:39). Begitu juga masalah mayoritas dan minoritas.
Menurut Haerudin, bahwa pluralisme adalah paham, sikap terbaik untuk mengelola dan
menyongsong anugerah keberagaman (pluralitas). Sebuah sikap yang berasal dari
pandangan, bahwa manusia beragama dialah manusia yang mencintai Tuhan, sementara
mustahil mencintai Tuhan tanpa mencintai ciptaanNya (Nurcholis & M. Dja'far, 2014:
xi).

Kesadaran dan niat, etikad untuk bersatu merupakan kunci untuk hidup
berdampingan sehingga memunculkan rasa kebangsaan yang sejati (Soekarno, 1965: 3-
4). Ini artinya hendaknya mulai dari dalam diri sendiri (faktor internal), disamping
adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengkondisikan (faktor eksternal)
sehingga dapat memunculkan kesadaran untuk hidup bersama dalam keberagaman.
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan masalah, semua itu sebuah
pilihan dengan segala konsekuensinya. Dengan segala dinamika dan kompleksitas
kehidupan dalam masyarakat, menurut Pruitt dan Rubin (Pruit & Rubin, 2011: 56-59),
terdapat lima strategi dasar dalam menyelesaikan konflik yaitu:

1. Contending (bertanding, bersaing), segala usaha untuk menyelesaikan konflik


menurut kemauan seseorang tanpa memperdulikan pihak lain. Pihak-pihak yang
menerapkan strategi ini tetap mempertahankan aspirasinya sendiri dan mencoba
membujuk pihak lain untuk mengalah, termasuk diantaranya dengan mengeluarkan
ancaman.

10
2. Problem Solving (pemecahan masalah), usaha mengidentifikasi masalah yang
memisahkan kedua belah pihak dan mengembangkan serta mengarah pada sebuah solusi
yang memuaskan kedua belah pihak. Cara ini dapat dilakukan dengan cara kompromi
dan integratif. Kompromi adalah alternatif nyata yang berada di antara posisi yang lebih
disukai oleh masing-masing pihak. Sedangkan integratif adalah rekonsiliasi kreatif atas
kepentingan-kepentingan berdasar masing-masing pihak

3. Yielding, (mengalah), dimana orang harus menurunkan aspirasinya sendiri, tidak


berarti penyerah total, karena mengalah bukan berarti kalah.

4. Inaction (diam), adalah tindakan temporer yang tetap membuka kemungkinan bagi
upaya menyelesaikan kontroversi.

5. Withdrawing (menarik diri), adalah sebagai upaya untuk menghindari pertengkaran


dengan cara menghindarkan diri dari masalah yang dihadapi.

Di Indonesia kesadaran untuk hidup rukun antar warga negara yang berbeda,
termasuk perbedaan agama hendaknya berpedoman pada nilai-nilai Pancasila. Faktor
internal, hendaknya dikaitkan dengan tingkat kesadaran masyarakat akan pendidikan,
seharusnya dibarengi juga dengan tingkat kesadaran akan “hakekat” dari kehidupan.
Bahwa dunia ini adalah plural, dari berbagai segi apakah itu agama, suku, etnis, dan
semua itu adalah kodrat yang tidak mungkin dapat diingkari. Karena itu prinsip, bahwa
“berbeda adalah rahmat” sangat tepat dalam kehidupan ini.

Akhirnya dalam spirit kesatuan inilah, kita menghargai keberbedaan. Perbedaan


agama-agama ini harus dikenal dan diolah lebih lanjut, karena perbedaan ini secara
potensial bernilai dan penting bagi setiap orang beragama dalam memperkaya imannya.
Dan tidak ada salahnya kalau ada pedoman yang universal, bahwa “Tuhan hanya satu
tetapi orang bijak menyebut banyak nama”, tentu dengan tidak mengurangi ketaatan
terhadap agama yang dianutnya, dan tidak mengatakan agama orang lain lebih jelek dari
agamanya. Setiap pemeluk agama hendaknya selalu berusaha mencari ayat-ayat yang
bersumber dari kitab sucinya dengan menonjokan kesamaan-kesamaan yang ada, bukan
hanya berbicara tentang sorga dan neraka, apalagi yang ditonjolkan perbedaannya saja.

11
Jadi, mencapai surga bergantung pada bagaimana sikap dan perilaku kita, bagaimana
kita memperlakukan orang lain (Ali, 2008).

Faktor eksternal, terkait dengan kebijakankebijakan pemerintah dalam bentuk


peraturanperaturan atau perundang-undangan yang dikeluarkan. Sejak Indonesia akan
menjadi negara yang berdaulat, yaitu mempersiapkan sebagai negara yang merdeka
tanggal 17 Agustus 1945 sudah sangat disadari oleh para pendiri bangsa ini bahwa
Indonesia sebagai negara yang bersifat keberagaman dalam keberagamaan. Karena itu
segala kebijakannya selalu mempertimbangkan keberagaman tersebut sehingga dapat
mengakomodir semua kepentingan yang ada. Seperti ditetapkannya Pancasila sebagai
dasar negara oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Penetapan ”Ketuhanan Yang Maha
Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila adalah keputusan yang tepat dan berorientasi
masa depan bangsa. Semua ini semata-mata untuk tetap menjaga keutuhan bangsa,
karena keberagaman sangat sensitif untuk memicu konflik. Seperti dalam perumusan
dasar negara kita yang dikenal dengan nama Pancasila, nilai-nilai yang tercantum dari
sila pertama sampai kelima bersifat universal artinya dapat diterima oleh semua
kalangan. Begitu juga dengan rumusan UUD 1945 khususnya pasal 29 yang
mengakomodir kepentingan warganya untuk beribadat sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya. Andaikatapun ada ketidaksetujuan terhadap kebijakan
tersebut adalah masalah personal dan minoritas. Ini artinya negara menjamin
kemerdekaan memeluk agama,sedangkan pemerintah berkewajiban melindungi
penduduk dalam melaksanakan ajaran agama dan ibadat, sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai, serta
tidak mengganggu ketentraman umat dan ketertiban umum. Munculnya peristiwa-
peristiwa sparatisme pasca kemerdekaan, awalnya bukanlah karena agama, tetapi lebih
karena fakor ekonomi dan politik, kemudian barulah munculnya faktor agama yang ikut
berkontribusi terhadap peristiwa sparatis tersebut.

Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui


bahwa sebelum agama-agama "resmi" (agama yang diakui); Islam, Kristen Katolik,
Kristen Protestan, Hindu dan Buddha, Konghu Cu, masuk ke Nusantara, di setiap
daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli (Data Kementrian Kebudayaan

12
dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar,
sementara keseluruhan penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih), seperti: Sunda
Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten, Sunda
Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa
penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; Buhun di Jawa Barat; Kejawen di
Jawa Tengah dan Jawa Timur; Parmalim, agama asli Batak; Kaharingan di Kalimantan;
Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Aluk
Todolo agama asli orang Toraja (Tana Toraja, Toraja Utara, dan Mamasa); Wetu Telu
di Lombok; dan Naurus di Pulau Seram, Provinsi Maluku. Negara Republik Indonesia
mendegradasi agama-agama asli tersebut sebagai ajaran animisme atau hanya sebagai
aliran kepercayaan.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Fakta menunjukkan Indonesia mempunyai penduduk yang terdiri dari banyak


ras, suku bangsa (etnik), serta agama berbeda yang tersebar di hamparan kepulauan
dari Sabang sampai Merauke. Ras menyangkut ciri-ciri jasmani pada manusia yang
diwariskan secara turun temurun. Secara rasial penduduk Indonesia terdiri dari ras
Paleomongolid, merupakan campuran Mongolid asli dan Weddid yang hitam,
mereka merupakan keturunan dari tiga ras sekaligus, yaitu hitam, kuning, dan putih.

Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai etnik, seperti Papua, Maluku,


Toraja, Bugis, Makasar, Dayak, Madura, Jawa, Sunda, Betawi, Batak, Aceh,
Minang, Bali, Sasak, Bima, Timor, Flores, dan sebagainya. Beberapa faktor yang
menyebabkan terbentuknya kemajemukan masyarakat di Indonesia antara lain yaitu
yang pertama, faktor bentuk fisik wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan,
yang kedua Indonesia terletak di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, dan
yang ketiga Kondisi iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama di
antara berbagai daerah di kepulauan Nusantara. Masing-masing etnik memiliki
sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik yang tidak sama.

B. Saran

Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi
penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alimandan. 1995. Status Sosial Ekonomi. Jakarta: Mitra Utama

Budiyanto. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:Erlangga.

Herimanto, Winarto. 2011. ilmu sosial dan budaya dasar. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Wahana, Jaka dan Kirbrandoko, 1995, Pengantar Mikro Ekonomi Jilid I, Terjemahan
Cetakan pertama, Binarupa Aksara, Jakarta

15

Anda mungkin juga menyukai