Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN
Mewujudkan Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara
( Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani)

2.1 Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara.


Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi
perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi
informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga
melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun
relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat,
pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-
lain. Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi
dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan
teknologi.
Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia
seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali
diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang
telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang
bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak
dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama
dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia
tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu.
Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia,
dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia
yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta
(kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the
head, the heart, and the hand !” Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi
dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”,
asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang
iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya
sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya.
Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga
memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan
kebersamaan sebagai masyarakat manusia.
Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek
kemanusiaan yang perlu ditumbuh kembangkan pada diri peserta didik. Ki Hajar
Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologiknya.
Ki Hajar Dewantara mengawali pemikiran-pemikiran tentang pendidikannya
dengan menekankan bahwa pendidikan yang terjadi pada masa itu tidak cukup
memberikan ruang gerak kepada peserta didik untuk berkembang dan dipengaruhi
oleh muatan-muatan politik kolonialisme. Pendidikan ala Barat yang oleh Ki Hajar
Dewantoro dipandang hanya melahirkan kaum intelektual tetapi tidak memiliki nilai-
nilai luhur yang berkembang di masyarakat, sehingga kualitas sumber daya manusia
bukan manusia seutuhnya (Hatimah, 2008:1.34).
Oleh karena itu, tidak heran apabila hasil pendidikan barat melahirkan anak
dengan budi pekerti yang rusak sebagai akibat anak yang hidup di bawah paksaan dan
hukuman, yang biasanya tidak setimpal dengan kesalalahanya. Lebih jelas lagi Ki
Hajar Dewantoro menyatakan bahwa Pendidikan berarti daya upaya untuk
memasukkan “bertumbuhnya” budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran, dan
tubuh anak agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan
penghidupan anak yang kita didik selaras dengan dunianya. (Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa dalam Wahyudin, 2008:5.36).
Menurut (Amoersetya: 2012) menjelaskan beberapa konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara yaitu :
1. Filosofinya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya
adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis,
ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam
(natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan.
Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta,
kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana
yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada
kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap
masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati;
pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya
mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang
kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan
antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan
hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap
orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan
kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka,
sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain.
Pendidikan Ki Hajar Dewantara menempatkan kemerdekaan sebagai syarat dan
juga tujuan membentuk kepribadian dan kemerdekaan batin bangsa Indonesia
agar peserta didik selalu kokoh berdiri membela perjuangan bangsanya.
2. Karena kemerdekaan menjadi tujuan pelaksanaan pendidikan, maka sistim
pengajaran haruslah berfaedah bagi pembangunan jiwa dan raga bangsa. Untuk
itu, di mata Ki Hajar Dewantara, bahan-bahan pengajaran harus disesuaikan
dengan kebutuhan hidup rakyat.
3. Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai paksaan; kita
harus mengunakan dasar tertib dan damai, tata tentram dan kelangsungan
kehidupan batin, kecintaan pada tanah air menjadi prioritas. Karena ketetapan
pikiran dan batin itulah yang akan menentukan kualitas seseorang.
4. Memajukan pertumbuhan budi pekerti pikiran merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat terpisahkan, agar pendidikan dapat memajukan kesempurnaan hidup.
Yakni: kehidupan yang selaras dengan perkembangan dunia. Tanpa meninggalkan
jiwa kebangsaan.
5. Dunia terus mengalami perkembangan, pergaulan hidup antar satu bangsa dengan
bangsa lainnya tidak dapat terhindarkan. Pengaruh kebudayaan dari luar semakin
mungkin untuk masuk berakulturasi dengan kebudayaan nasional. Oleh karena
itu, seperti dianjurkan Ki Hajar Dewantara, haruslah kita memilih mana yang baik
untuk menambah kemulian hidup dan mana kebudayaan luar yang akan merusak
jiwa rakyat Indonesia dengan selalu mengingat: semua kemajuan dilapangan ilmu
pengetahuan harus terorientasikan dalam pembangunan martabat bangsa.

Ki Hajar Dewantara menyebut tujuan Pendidikan Indonesia secara garis besar dengan
membagi fasa pendidikan menjadi tiga perkembangan, yaitu :
a. Hamemayu Hayuning Sariro, yang berarti pendidikan berguna bagi
yang bersangkutan, keluarganya, sesamanya, dan lingkungannya. Disini
sangat jelas apa arti manusia sebagai makhluk individu dan sosial.
b. Hamemayu Hayuning Bongso, yang berarti pendidikan berguna bagi
bangsa , negara, dan tanah airnya. Butir ini juga ditekankan di panca
darma Ki Hadjar dan 10 Pedoman Guru.
c. Hamemayu Hayuning Bawono, yang berarti pendidikan berguna bagi
masyarakat yang lebih luas lagi yaitu dunia atau masyarakat global.
KI Hajar Dewantara merupakan pendiri Taman Siswa. Asas Taman Siswa
dirumuskan pada Tahun 1922, yang sebagian besar merupakan asas perjuangan untuk
menentang penjajahan Belanda pada waktu itu. Asas Taman Siswa ini direvisi pada
Tahun 1974 menjadi Dasar-dasar Taman Siswa, agar sesuai dengan tuntutan zaman
yang baru. Dasar-dasar ini diberi nama Panca Darma, dengan isi sebagai berikut:
1. Kemanusiaan, yaitu berupaya menghargai dan menghayati sesama manusia
dan makhluk Tuhan lainnya. Meningkatkan kesucian jiwa dan cinta kasih.
2. Kebangsaan, ialah bersatu dalam suka dan duka, dan tidak boleh bertentangan
dengan kemanusiaan.
3. Kebudayaan, yaitu kebudayaan nasional harus dilestarikan dan
dikembangkan. Untuk itu Dewantara mengemukakan konsep Tri Kon yaitu:
1) Kontinu, kebudayaan nasional harus dikembangkan secara terus
menerus.
2) Konsentrasi, kebudayaan itu harus berpusat pada kebudayaan bangsa
Indonesia. Terhadap kebudayaan asing haruslah selektif.
3) Konvergensi, kebudayaan-kebudayaan asing yang sudah diseleksi
diintegrasikan ke dalam kebudayaan-kebudayaan asli bangsa
Indonesia.
4. Kodrat alam, manusia adalah bagian dari alam, maka manusia harus dibina
dan berkembang sesuai dengan kodrat alam.
5. Kemerdekaan/kebebasan, setiap anak harus diberi kesempatan bebas
mengembangkan diri sendiri. Mereka perlu mendisiplinkan diri sendiri untuk
mengejar nilai-nilai hidup sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.(Pidatra, 2007:128)

A. Semboyan Pendidikan Ki Hajar Dewantara


Yang menjadi semboyan Taman siswa sangat terkenal hingga sekarang yaitu “Ing
Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani” (Di Depan
Menjadi Teladan, Di Tengah Membangkitkan Semangat, Dari Belakang
Mendukung). Semboyan ini juga memiliki pengetian sebagai berikut:
1. Ing Ngarso Sung Tulodho
Seseorang Pemimpin apabila didepan harus bisa memberi contoh atau menjadi
panutan bagi yang dipimpin atau warganya atau peserta didiknya. Di sini kita diajak
agar selalu memperhatikan dibelakangnya jika sudah memiliki kekuatan. Aplikasinya
bisa dalam keluarga, sekolah, masyarakat. Bidang pendidikan agar melihat anak-anak
yang kurang mampu akan di beri tunjangan dengan memberi kesempatan untuk
duduk di bangku sekolah, dan seorang guru adalah pendidik yang harus memberi
teladan. Ia pantas digugu dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya.

2. Ing Madyo Mangun Karso.


Seorang Pemimpin apabila berada ditengah tengah masyarakat harus bisa
membangkitkan semangat atau memberi motivasi supaya lebih maju, atau lebih baik.
Dalam hal ini kita sebagai masyarakat yang menjadi pusat pendorong setiap kita yang
sedang maju tanpa menjatuhkan tetapi memberi dukungan moril atau materi jika ada.
Karna seorang pemimpin yang maju tidak akan lupa kepada kita yang telah menjadi
suadaranya saat dia mendapat dukungan dari sahabatnya dan seorang guru adalah
pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus
membangun semangat dan ide-ide mereka untuk berkarya.
3. Tut Wuri Handayani.
Seorang Pemimpin apabila berada dibelakang harus bisa mendorong
masyarakat/yang dipimpin supaya senantiasa lebih maju. Berbicara pemimpin yang
berada di belakang, sebaiknya tidak melihat siapa yang akan didorongnya. Memberi
dukungan bagi sesama tanpa memandang berbagai bentuk perbedaan suku, bahasa,
budaya, pendidikan maupun kehidupan dalam status sosialnya dalam bermasyarakat
dan seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang dan
menunjuk arah yang benar bagi hidup dan karya anak-anak didiknya.

B. Konsep-Konsep Dasar Pengajaran Ki Hajar Dewantoro


a) Sistem Among
Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan karakter
dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah
termasuk ke dalam bangsa timur. Bangsa yang hidup dalam khasanah nilai-nilai
tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih saying, cinta akan kedamaian,
ketertiban, kejujuran dan sopan dalam tutur kata dan tindakan. Nilai-nilai itu disemai
dalam dan melalui pendidikan sejak usia dini anak. Dalam praksis penyemaian nilai-
nilai itu, pendidik menempatkan peserta didik sebagai subyek, bukan obyek
pendidikan. Artinya, peserta didik diberi ruang yang seluasnya untuk melakukan
eksplorasi potensi-potensi dirinya dan kemudian berekspresi secara kreatif, mandiri
dan bertanggungjawab.
Pendidikan sistem Among bersendikan pada dua hal yaitu: kodrat alam sebagai
syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan
kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir
dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan dengan
asas yang berbunyi: Tut Wuri Handayani, Ing madya mangun karsa, Ing ngarso sung
tuladha. Asas ini telah banyak dikenal oleh masyarakat daripada Sistem Among
sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya. Sistem
Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh
anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan
mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang
Dalam sikap Momong, Among, dan Ngemong, terkandung nilai yang sangat
mendasar, yaitu pendidikan tidak memaksa namun bukan berarti membiarkan anak
berkembang bebas tanp arah. Metode Among mempunyai pengertian menjaga,
membina dan mendidik anak dengan kasih sayang.

Tabel Peralatan Pendidikan KH Dewantara


NO CARA MENDIDIK RENTANG USIA ANAK
1. Memberi contoh (voorbeeld)
2. Pembiasaan (Pakulinan,
1-7 tahun
gewoontevorming)
3. Pengajaran (leering, wulang-wuruk)
4. Perintah, Paksaan, dan Hukuman
7-14 tahun
(regeering em tucht)
5. Laku (zelfbebeersching, zelfdiscipline)
6. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni,
14-21 tahun
ngrasa, believing)

Metode Among ini memiliki orientasi pendidikan ke arah siswa, atau kini lebih
populer disebut student centered. Pendidik memberikan peluang bagi anak untuk
mengembangkan kreatifitasnya dan inisiatif dalam menghadapi atau mengerjakan
sesuatu. Pendidik tidak lepas tanggung jawab begitu saja, tetapi masih terus
memantau perkembangan anak sampai anak tersebut benar-benar sudah mandiri.
Inilah maksud KH Dewantara yang mengatakan bahwa metode Among adalah
metode pendidikan yang berjiwa kekeluargaan yang bersendikan kodrat alam dan
kemerdekaan.
b) Tri Sakti Jiwa
Salah satu konsep budaya Ki Hajar Dewantoro dikenal dengan  ”Konsep Trisakti
Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa. Maksudnya, untuk melaksanakan segala
sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, hasil olah
rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. kalau untuk melaksanakan segala
sesuatu itu hanya mengandalkan salah satu diantaranya saja maka kemungkinan akan
tidak berhasil.
Ajaran-ajaran Karakter dan Budaya Ki Hajar Dewantara
1) Trihayu
Selain yang sudah disebutkan di atas, konsep pengembangan budaya Ki Hajar
dikenal dengan ”Konsep Trihayu” yang terdiri dari mamayu hayuning sarira, mamayu
hayuning bangsa, dan mamayu hayuning bawana. Maksudnya, apapun yang diperbuat
oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi
bangsa, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya. Kalau perbuatan
seseorang hanya menguntungkan dirinya saja maka akan terjadi sesuatu yang sangat
individualistik.
2) Trilogi Kepemimpinan
Dan yang menjadi semboyan pendidikan sampai saat ini adalah ”Konsep Trilogi
Kepemimpinan” yang terdiri dari Ing Ngarsa Sung Taladha, Ing Madya Mangun
Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Maksudnya, ketika berada di depan harus mampu
menjadi teladan, ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat,
dan ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan pihak-pihak
yang dipimpinya.

3) Tri Pantang
Konsepsi kebudayaan Ki Hajar yang sangat moralis tertuang dalam ”Konsep Tri
Pantang” yang terdiri dari pantang harta, praja, dan wanita. Maksudnya, kita dilarang
menggunakan harta orang lain secara tidak benar (misal korupsi),
menyalakangunakan jabatan (misal kolusi), dan bermain wanita (misal
menyeleweng). Ketiga pantangan ini hendaknya tidak dilanggar.

2.2 Pelaksanaan Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara Pada Masa Sekarang


Sistem pendidikan Indonesia dari zaman kolonial hingga sekarang tetap saja
mengecewakan. Hampir tidak ada lagi nilai-nilai kebangsaan yang ditanamkan dalam
proses penyelenggaraan pendidikan nasional kita. Pendidikan kapitalistik, seperti di
era reformasi sekarang, hanya menciptakan pemisahan orang-orang terpelajar dengan
rakyatnya, menyebabkan munculnya Stratifikasi sosial ditengah kehidupan
masyarakat. Kondisi demikian tentu sangat jauh dari konsep pendidikan dan
pengajaran yang dimaksudkan oleh Ki Hajar Dewantara.
Perubahan sistem kekuasaan merupakan penyebab utama hancurnya karaktek
pendidkan nasional. Pada era kemerdekaan, pendidikan bertujuan melekatkan
kemerdekaan pada persatuan rakyat. Lalu, sekarang pendidikan hanya dijadikan
sebagai komoditi. Pendidikan nasional saat ini memiliki segudang persoalan, mulai
dari wajah pendidikan yang berwatak pasar yang menyebabkan hilangnya daya kritis
tenaga didik terhadap persoalan bangsanya hingga pemosisian lembaga pendidikan
sebagai sarana menaikan starata sosial dan ajang mencari ijazah belaka.
Tujuan pendidikan kita dewasa ini tentulah sangat berbeda dengan tujuan
pendidikan ketika itu. Namun bila ditarik benang merahnya, maka akan terlihat
persamaannya yaitu sama-sama berkehendak mencerdaskan pikiran dan perasaan
seseorang. Tetapi amat disayangkan, bila pada akhirnya dunia pendidikan hanya
menghasilkan ketajaman pikiran, yang terkadang tidak dibarengi oleh ketajaman rasa.
Dengan kata lain, pendidikan saat ini, cenderung menghasilkan orang-orang pandai
dan cerdas, tetapi kurang pandai dan cerdas dalam perasaan. Sehingga terjadilah hal-
hal yang kerapkali menyimpang dari tujuan pendidikan semula, seperti pemalsuan
ijazah atau tawuran di antara sesama pelajar.
Peranan pendidikan, yang sejatinya untuk pembangunan bangsa, telah
didisorientasikan oleh kekuasaan guna kepentingan kapital semata. Di sini,
pendidikan tak lebih dari alat akumulasi keuntungan. Disamping itu, kandungan
pendidikan dan pengajaran sekarang ini tidak memuat nilai-nilai kebangsaan.
Pendidikan sekarang hanya melahirkan sikap individualisme, hedonisme dan
hilangnya jiwa merdeka. Hasil pendidikan seperti ini tidak dapat diharapkan
membangunan kehidupan bangsa dan negara bermartabat.

2.3 Merealisasikan Konsep Pendidikikan Ki Hajar Dewantara


Salah satu cara untuk merealisasikan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara
yaitu dengan pendidikan karakter yang akan diterapkan sebagai kurikulum di tahun
2013. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau
pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh
warga dan lingkungan sekolah. pendidikan karakter mempunyai fungsi strategis bagi
kemajuan bangsa, harus ada komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter
sebagai bagian dari jati diri bangsa. Komitmen yang harus kita jalankan semua,
mengacu kepada 5 nilai karakter bangsa untuk menjadi manusia unggul yang
disampaikan oleh Presiden SBY yaitu :
1) Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan berperilaku baik;
2) Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional;
3) Manusia Indonesia ke depan menjadi manusia yang inovatif dan terus
mengejar kemajuan;
4) Memperkuat semangat “Harus Bisa”, yang terus mencari solusi dalam setiap
kesulitan;
5) Manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai
bangsa,Negara dan tanah airnya.

A. Peran Sekolah
Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar
peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter
peserta didik. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada
setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-
nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan
konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter
tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan
salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu
akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di
luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan
dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan
prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau
pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan
karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan
pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi,
nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian,
pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya.Dengan demikian,
manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan
karakter di sekolah.
B. Peran Keluarga
Rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan
pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana
disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah
untuk kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school
of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang
penuh cinta sejati dan kasih sayang.

Anda mungkin juga menyukai