Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
• Latar Belakang
Minangkabau juga memiliki pepatah-petitih yang khas dalam mengatur perilaku
mereka sehari-hari. Di Minangkabau ada istilah kato nan ampek. Dalam bahasa
Indonesia, kato nan ampek  ini berarti kata yang empat. Kato dari istilah diatas berarti
aturan dalam berbicara tentang bagaimana seharusnya kita berbicara dengan orang lain.
Kapan kita harus berbicara lemah lembut, kapan kita harus bicara tegas dan seterusnya itu
diatur dalam kato nan ampek
Manusia sangat erat kaitannya dengan keberadaan dari suatu kebudayaan.
Manusia lahir dan hidup bersama kebudayaan yang berkembang dalam kelompok
masyarakat tempat manusia itu dilahirkan. Kodiran (2004) menyebutkan bahwa
kebudayaan adalah warisan sosial yang dapat diturunkan dari generasi ke generasi baik
secara formal maupun informal. Ibrahim (2014) mengartikan sikap dan perilaku yang
tidak sesuai dengan etika adat di Minangkabau adalah sumbang. Dalam kamus besar
MinangkabauIndonesia, sumbang diartikan sebagai perilaku menyimpang dan janggal
serta merupakan salah satu kaidah hukum adat Minangkabau (Usman, 2002). Sedangkan
pengertian sumbang menurut adat Minangkabau adalah sikap dan perilaku Erizal Ghani,
menyatakan bahwa pengertian sumbang duo baleh adalah segala sesuatu aturan di
Minangkabau yang terlihat dari perilaku menyimpang. Dua belas perilaku itu seperti
Sumbang duduak, Sumbang tagak, Sumbang diam, Sumbang bajalan, Sumbang kato,
Sumbang caliak, Sumbang bapakaian, Sumbang bagaua, Sumbang karajo, Sumbang
tanyo, Sumbang jawab, Sumbang kurenah.

• Rumusan Masalah
• Apa yang dimaksud kato nan ampek?
• Apa yang dimaksud sumbang duo baleh?
• Bagaimana nilai filosofi budi minang?

• Tujuan
• Mengetahui kato nan ampek
• Mengetahui sumbang duo baleh
• Mengetahui nilai filosofi budi minang
BAB II
PEMBAHASAN

• Kato Nan Ampek


Padang disebut juga ranah minangkabau dengan kebudayaannya yang kental dan unik.
Tidak hanya itu, Minangkabau juga memiliki pepatah-petitih yang khas dalam mengatur perilaku
mereka sehari-hari. Di Minangkabau ada istilah kato nan ampek. Dalam bahasa Indonesia, kato
nan ampek  ini berarti kata yang empat. Kato dari istilah diatas berarti aturan dalam berbicara
tentang bagaimana seharusnya kita berbicara dengan orang lain. Kapan kita harus berbicara
lemah lembut, kapan kita harus bicara tegas dan seterusnya itu diatur dalam kato nan ampek.
Inilah kato nan ampek yang ada di Minangkabau:
• Kato mandaki
Kato mandaki atau kata mendaki adalah tata bicara seseorang kepada orang yang lebih tua
dari kita seperti berbicara kepada uda (kakak laki-laki), uni (kakak perempuan), abak (ayah),
amak(ibu) dan kepada semua orang yang lebih tua dari kita.
Saat berbicara kepada orang yang lebih tua dari kita, kita harus memperhatikan setiap
kata-kata yang kita gunakan, kita harus tahu kapan saatnya kita bicara serius ataupun bercanda.
Dalam kato mandaki, cara bicara kepada orang yang disebutkan diatas adalah dengan
menggunakan etika yang baik dan sopan.
• Kato manurun
Berbeda dengan kato mandaki, kato manurun atau kata menurun digunakan saat kita
berbicara kepada orang yang lebih muda daripada kita. Seperti saat kita berbicara kepada adik
kita. Karena mereka adalah orang yang lebih kecil dan belum sedewasa kita, maka bahasa yang
digunakan adalah bahasa lemah lembut, dan kita boleh bicara yang tegas saat menasehatinya.
• Kato mandata
Kato mandata atau kata mendatar adalah tata bicara kita kepada teman sebaya atau kepada
orang yang seumuran dengan kita. Bahasa yang digunakan adalah bahasa pergaulan yang baik.
Dalam kato mandata, teman yang baik adalah orang yang selalu ada saat duka cita maupun
dalam suka cita, jujur dalam segala hal yang berbentuk kebaikan. Oleh sebab itu dalam berteman
janganlah kita mangguntiang dalam lipatan dan manuhuak kawan sairiang, artinya adalah
janganlah kita menjadi orang yang berlaku baik hanya dihadapan teman kita.
• Kato malereang
Kato malereang atau kata melereng adalah tata bicara kita terhadap orang yang kita
segani. Hampir sama dengan kato mandaki yang juga ditujukan kepada orang yang lebih tua,
namun perbedaannya adalah kato malereang digunakan kepada orang yang kita segani seperti
mertua dan pembicaran antar tokoh adat, agama dan pemimpin. Dalam kato malereang, bahasa
yang digunakan adalah bahasa sesuai dengan situasinya. Di Minangkabau jika kita berbicara
dengan pemuka adat, biasanya mereka menggunakan kata-kata kiasan dan kata-kata yang penuh
makna. Oleh sebab itu kata-kata yang digunakan haruslah memikirkan dahulu apa yang
dikatakan, jangan mengatakan apa yang dipikirkan.

• Sumbang Duo Baleh

Sumbang adalah segala sesuatu yang salah dan melangar ketentuan adat, terutama norma
kesopanan. Setiap perempuan adalah calon bundo kanduang. Di tangannya nanti akan diwariskan
dan mewariskan harta pusako  milik keluarga sekaum. Selain itu, perempuan nanti akan menjadi
madrasah pertama bagi anak-anak mereka. Sehingga adab dan nilai sopan santun perempuan
haruslah terjaga.

Sumbang Duo Baleh  adalah peraturan tidak tertulis dalam adat minang yang berisi
tentang tata krama dan nilai sopan santun. Didalamnya termuat dua belas ketentuan dan larangan
yang mesti ditaati oleh setiap perempuan minang. Melanggar aturan ini akan berakibat hukuman
malu tidak hanya kepada dirinya sendiri, tapi juga mamak dan keluarganya.

Berikut kedua belas hal Sumbang (Salah)  yang tidak boleh dilakukan :


• Sumbang Duduak (Sumbang ketika Duduk)

Adat kebiasaan mengatur bahwa duduk yang paling pantas bagi perempuan adalah
bersimpuh. Tidak boleh bersila seperti lelaki, tidak boleh mengangkat kaki, berjongkok. Duduk
di kursipun haruslah menyamping dan merapatkan paha. Apabila berboncengan tidak boleh
mengangkang, harus menyamping.

• Sumbang Tagak (Sumbang ketika Berdiri)


Saat berdiripun, perempuan diatur untuk berdiri dengan sopan, tidak berkacak pinggang.
Dilarang berdiri di tangga atupun di depan pintu. DIlarang untuk berdiri di pinggir jalan jika
tidak ada yang dinanti, dan tentunya dilarang berdiri berdua dengan yang bukan muhrim.

• Sumbang Bajalan (Sumbang ketika Berjalan)


Bajalan si ganjua lalai, pado pai suruik nan labiah

alu tataruang patah tigo, samuik dipijak indak mati

Ketika berjalan, perempuan haruslah berkawan, tidak boleh tergesa-gesa namun harus
tetap hati-hati. Diumpamakan bahwa semut yang terinjak bahkan tidak mati. Demikian saking
hati-hatinya.

• Sumbang Bakato (Sumbang dalam Berkata kata)

Berkata haruslah dengan sopan dan memiliki tujuan, haruslah mengerti kato nan
ampek.  Ia harus tahu dengan siapa ia berkata-kata. DIlarang untuk memotong pembicaraan
orang lain, berkata dengan terlalu kegirangan.

• Sumbang Mancaliak (Sumbang dalam melihat)


Perempuan yang telah gadih  dilarang untuk bersitatap dengan lelaki yang bukan
muhrimnya, ia haruslah menundukan dan menjaga pandangannya. Saat ada tamu, sebisa
mungkin untuk tidak melihat jam terlalu sering. Karena dianggap tengah mengusir tamu secara
halus.

• Sumbang Makan (Sumbang ketika Makan)


Makanlah secukupnya, makan pelan-pelan. Dilarang makan sambil berdiri apalagi
berjalan. Sebisa mungkin tidak berbicara saat makan kecuali sangat penting. Jangan berbunyi
saat makan (mancapak).

• Sumbang Bapakaian (Sumbang dalam Berpakaian)


Pakaian harusah sopan, bersih dan rapih. Jangan memakai pakaian yang jarang dan ketat,
apalagi sampai mencetak lekuk tubuh. Kenakanlah pakaian yang pas dengan fungsi masing
masing, pakaian ke pasar tentu beda dengan pakaian sembahyang.

• Sumbang Karajo (Sumbang Ketika Bekerja)


Idealnya pekerjaan perempuan adalah pekerjaan yang ringan dan mudah. Pekerjaan kasar
dan berat hendaknya diserahkan kepada kaum lelaki, ataupun dimintakan tolong kepada laki-laki
yang ada.

• Sumbang Tanyo (Sumbang dalam Bertanya)


Dalam bertanya, dengarlah terlebih dahulu penjelasan orang lain, barulah bertanya
dengan sopan. Maksudnya sopan adalah tidak menguji apalagi merendahkan orang lain.

• Sumbang Jawek (Sumbang dalam Menjawab)


Begitu juga ketika ditanyai, jawablah dengan seperlunya dan tepat. Jangan menjawab
sekenanya, sehingga orang harus bertanya berulang ulang karena semakin bingung. Jawablah hal
yang perlu perlu saja, yang tidak perlu tidak usah dijawab.

• Sumbang Bagaua (Sumbang dalam bergaul)


Pergaulan perempuan dewasa minang haruslah terjaga. Ia tidak boleh bergaul terlalu
dekat dengan bukan muhrimnya apalagi berjalan berduaan. Selain itu akan terlihat sumbang bila
perempuan dewasa bergaul dngan anak kecil, apalagi ikut permainan mereka.

• Sumbang Kurenah (Sumbang dalam bertingkah laku)


Dalam bertingkah laku sehari-hari haruslah tetap bisa menjaga perasaa orang lain. Jang
berkata berbisik bisik, menutup hidung dalam keramaian, tertawa terbahak-bahak dll. Jaga lisan
dari hal yang akan menyinggung banyak orang.

Meskipun sifatnya tertulis, tapi kontrol dari masyarakat sangat efektif. Karena
hukumannya adalah malu, tak hanya bagi dirinya, juga pada keluarganya.

• Nilai Filosofi Budi Minang


Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam ketentuan adat, yang disebut dengan adat
Minangkabau. Ia merupakan aturan kehidupan masyarakat Minang yang berdasarkan
musyawarah dan mufakat secara turun-temurun.Adat Minang mengatur tata nilai dalam
kehidupan mulai dari hal yang kecil sampai ke perihal yang lebih luas seperti politik, ekonomi,
hukum, dan sebagainya.

Setelah Islam masuk ke tanah Minang pada tahun 1377, tata nilai kehidupan
masyarakatnya berubah dan dipengaruhi ajaran Islam. Rumusannya tidak lagi didasarkan pada
musyawarah dan mufakat, tetapi berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Namun yang harus
dipahami adalah ketika Islam datang ke Minangkabau tetap terjadi konflik antara adat dan Islam,
namun kedua hal tersebut lalu saling berintegrasi dan memunculkan suatu sistem adat yang baru.

Berikut ini adalah proses pengintegrasian adat Minang dengan Islam:

• Tahap adat basandi alua jo patuik dan syarak basandi jalil. Dalam tahap ini adat dan
syariah agama berjalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling memengaruhi.
Agama diamalkan dalam bidang akidah dan ibadah, sedangkan adat diberlakukan dalam
bidang sosial.

• Tahap adat basandi syarak dan syarak basandi adat. Dalam tahap ini adat dan syariah
sama-sama saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.

Masyarakat Minangkabau mempunyai pandangan yang kuat terhadap aturan adatnya juga
suasana kehidupan bermasyarakatnya diliputi oleh suasana religius yang kuat. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa corak filsafat Minangkabau sangat religius dalam artian Islam. Adapun
corak filsafat Minangkabau terdiri atas tiga jenis, yaitu:

• Falsafah yang tertinggi, yaitu pandangan hidup yang mendasarkan diri pada ketentuan
agama atau ketentuan hukum mutlak. Karena itu falsafah ini bersifat objektif mutlak.

• Falsafah atau pandangan hidup yang bersifat objektif terselubung. Objektif karena hukum
alam bersumber dari kekuatan gaib, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Terselubung berarti
memerlukan pemahaman orang arif bijaksana yaitu nenek moyang.

• Falsafah yang timbul dalam dan dari otak manusia (filsuf). Betapapun sempurnanya
manusia dalam berpikir secara rasional, tetap saja terdapat berbagai keterbatasan. Oleh
karena itu filsafat ini sifatnya subjektif atau individual dan relatif.

Sebelum Islam datang, tata nilai kehidupan masyarakat Minang dipengaruhi oleh kebudayaan
Hindu dan Buddha. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya situs Candi Muara Takus di Riau.
Akan tetapi kebudayaan Hindu tidak membekas dalam kebudayaan Minang, dan ketentuan
adatnya hanya didasarkan pada kaidah-kaidah alam yang diformulasikan oleh pikiran manusia
sehingga terbentuk suatu pola tingkah laku yang benar menurut adat.

Ketentuan-ketentuan ini tertuang pada petatah petitih, pantun, gurindam, dan sebagainya.
Pada umumnya semua ini mengandung berbagai aturan dan anjuran dalam bertingkah laku
berdasarkan ketentuan alam secara langsung melalui sebuah perumpamaan. Petatah petitih adat
maksudnya, “Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak
kanyiru. Nan satitik jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru.”

Jadi sebelum agama Islam masuk, nenek moyang Minang telah menjadikan hukum alam
sebagai dasar adatnya. Segala sesuatu yang terjadi di alam dijadikan sebagai panutan atau guru
bagi kehidupan sehari-hari. Dibuat petatah petitih seperti: api panas dan membakar, air
membasahi dan menyuburkan, kayu berpokok, berdahan, berdaun, berbunga dan berbuah, lautan
berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, kambing mengembik, harimau mengaum, dan
sebagainya.

Masyarakat Minang memiliki suasana religius dan pandangan terhadap adat yang kuat. Hal
ini tampak jelas dalam ungkapan adat berupa pepatah-pepatah yang menyatakan:

Syara’ mangato, adat memaki.

Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.

Pepatah ini mengatakan bahwa hukum agama (syara’) dilaksanakan oleh adat. Aturan adat
bersendikan pada hukum agama (syara’) dan hukum agama bersendikan pada kitab suci. Dengan
kata lain bahwa aturan adat merupakan pelaksanaan atau perwujudan hukum agama.Akulturasi
antara adat dan agama ditandai dengan telah dilembagakannya dua lembaga penting, yaitu figur
ulama sebagai pemangku syara’ dan niniek mamak sebagai pemangku adat. Adat diibaratkan
benteng kehidupan masyatrakat Minangkabau, seperti kata pepatah: Belanda berbenteng besi,
Minang berbenteng adat.

Nilai-nilai Islami yang terkandung dalam pepatah-petitih Minangkabau, sesungguhnya tidak


lain dan tidak bukan wujud dari relevansitas antara falsafah alam takambang jadi guru dengan
Syariat Islam, yang sudah ada sebelum Orang Minang menganal adanya Allah sang Pencipta
alam semesta. Pepatah-petitih adat yang berisi norma-norma atau aturan-aturan hidup
masyarakat Minang sejak zaman dahulu, yang konon oleh orang Minang biasa diibaratkan; sajak
gunuang marapi sagadang talua itiak. Bahwa semua rahasia alam semesta berada pada sifat-sifat
mahkluk dan benda-benda yang ada di jagat raya, dimana berlaku hukum alam. Demikianlah
Nenek Moyang Orang Minang membuat pepatah-petitih sebagai norma-norma yang mengatur
kehidupan masyarakat dengan memakai perumpamaan-perumpamaan mahkluk dan benda-benda
di alam dan berdasarkan hukum alam, yang ternyata relevan dengan Syariat Islam yang datang
berabat-abat kemudian, yaitu:

1.Perintah Allah agar manusia belajar dari alam dan bersyukuratas nikmat kehidupan yang
diperoleh (Falsafah Alam Takambang Jadi Guru).

“  Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, salodang ambiak ka niru, Nan


satitiek jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang,  alam takambang jadi guru.”

Bahwa falsafah, "Alam Takambang Jadi Guru," jelas sesuai dengan firman Allah SWT
yang terdapat dalam Al-Qur'anul Karim, tentang mempelajari alam itu bagi orang-orang yang
berfikir, antara lain dapat kita lihat dalam;Al-Quran Surat Yunnus Ayat 101;

“Katakanlah , perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa'at


tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang
tidak beriman."

Dalam ayat ini Allah menjelaskan perintah Nya kepada rasul Nya agar dia menyuruh
kaumnya untuk memperhatikan dengan mata kepala mereka dan dengan akal budi mereka segala
yang ada di langit dan di bumi. Mereka diperintahkan agar merenungkan keajaiban langit yang
penuh dengan bintang-bintang, matahari dan bulan, keindahan pergantian malam dan siang, air
hujan yang turun ke bumi, menghidupkan bumi yang mati, menumbuhkan tanam-tanaman, dan
pohon-pohonan dengan buah-buahan yang beraneka warna dan rasa. Hewan-hewan dengan
bentuk dan warna yang bermacam-macam hidup diatas bumi, memberi manfaat yang tidak
sedikit kepada manusia. Demikian pula keadaan bumi itu sendiri yang terdiri dari gurun pasir,
lembah yang terjal, dataran yang luas, samudera yang penuh dengan berbagai ikan yang
semuanya itu terdapat tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah.

Indahnya filsafat hidup orang Minangkabau tersebut dalam membina Iman Islami atau


regeliusitas masyarakatnya dapat kita lihat pada  pepatah di atas ;"Nan satitiak jadikan lauik, nan
sa kapa jadikan gunuang.." Artinya berapapun hasil yang diperoleh dalam suatu usaha dan atau
dalam menerima pemberian orang lain, harus tetap diterima dan disyukuri dengan
ihklas, sedangkan, "alam ta kambang jadi guru," merupakan anjuran untuk selalu introspeksi
diri, agar selalu belajar dari tanda-tanda alam dan kejadiannya, bahwa hasil usaha atau
pemberian orang sedikit atau banyak tentu ada sabab musababnya.

Setelah masuk Islam barulah diketahui bahwa manusia hanya berusaha Allah yang
menentukan. Sungguh, penulis yakin, keindahan filsafat tersebut hanya akan dapat dirasakan
oleh orang-orang yang berfikir dan yakin kepada Allah. Bahwa Islam sangat memuliakan
pekerjaan menuntut ilmu, banyak referensi ayat dan hadits yang menganjurkan untuk menuntut
ilmu, ayat yang pertama turun (Al-Alaq) juga merupakan tuntunan untuk menimba ilmu.
Rasulullah bersabda tuntutlah ilmu dari ayunan sampai dengan liang lahat, dan hadits yang lain
Rasulullah SAW juga menganjurkan umat Islam untuk menuntut ilmu ke negeri Cina sekalipun.
Dan ternyata Orang Minang jauh sebelum mengenal Islam sudah belajar dari apa saja yang ada
di alam semesta seperti digambarkan oleh pepatah tentang falsafah alam takambang jadi guru
tersebut. Bahwa tidak terhitung ayat Allah yang relevan dengan falsafah tersebut, yang menyuruh
manusia belajar dari alam, selain surat Al-Alaq, diantaranya; QS. Al-Baqarah (2) ayat 164; QS.
'Ali `Imran (3) ayat 190; QS. Al-'An`am (6) ayat 99; QS. Yunus (10) ayat 6;QS. Yunus (10)
ayat 67;QS. Ar-Ra`d (13)ayat  3;

2.Tentang Kebenaran dan Ke-Esaan Allah (Nan Bana Badiri Sandirinyo)

"Kamanakan barajo ka Mamak, Mamak barajo ka Pangulu, Pangulu barajo ka Mufakat,


Mufakat barajo ka alua jo patuik, alua jo patuik barajo ka nan bana, nan Bana. Nan Bana
badiri sandirinyo"

Kedatangan Syariat Islam ke bumi Minangkabau,merupkan rahmat yang tidak terhingga,


karena keterbatasan daya fikir orang Minang dibukakan oleh Syariat Islam tentang keberadaan
Allah sang Pencipta alam semesta, yang sebenarnya sudah dimiliki oleh Orang Minang secara
alam di bawah sadarnya yang merupakan fitrah manusia, sebagaimana pepatah
adat, Nan  Bana  Badiri Sandirinyo.  Bahwa masuknya ajaran Islam memberi jawaban yang pasti
dan final terhadap filosofi alam takambang jadi guru mengenai, “nan bana tagak dengan
sendirinyo”, sebagaimana firman Allah dalamSurat Al-Ikhlas ayat 1-4;Artinya;

“Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-
Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.  Dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia.”
Kalau diperhatikan dengan seksama pepatah, “nan bana tagak dengan
sendirinyo”, dapatlah dikatakan, alam bawah sadar nenek moyang orang Minang sudah
menyadari akan ke- Esaan Allah, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia, seakan-
akan sudah sampai kepada mereka surat Al- Ihklas. Pada hal hukum adat sudah terbentuk
sejak mulainya peradaban orang Minang, yang sering diibaratkan,” sejak gunung merapi
sagadang talua itiak”,artinya sudah lama sekali. Diperkirakan Orang Minang ( Suku bangsa
Melayu Muda) datang kepulau Perca (Sumatra) 2500-2000 SM.

3.Tentang Demokrasi Dan Egaliter dan Kepemimpinan

“Duduak samo randah, tagak samo tinggi,

Basilang api di tungku di sinan makonyo masak,

Kapalo samo ba bulu pandapek ba lain-lain,,

Gajah mati maninggakan gadieng,

Harimau mati maninggakan baling,

Manusia mati maninggakan namo.

ditinggikan sarantiang didaulukan salangkah,

rajo alim rajo disambah, rajo zalim rajo di sanggah.”

Bahwa Allah sangat menganjurkan sifat demokratis dan Egaliter atau persamaan


kedudukan antar manusia , derajat kemulyaan manusia hanya dibedakan dari tingkat
ketaqwaannya, sebagai mana firman Allah;Artinya: “Dan bagiorang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan
musyawarat antara merekadan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan
kepada mereka.” (QS Asy Syura ayat 38)
Bermusaywarah untuk mencapai mufakat merupakan budaya yang sudah mendarah
daging dalam masyarakat Minangkabau untuk mencapai kebenaran atas sesuatu masalah, yang
sebelum memeluk Islam, orang Minang hanya memutus masalah berdasarkan alur dan patut
berpedoman kepada hukum alam dan kebenaran yang dirasakan hati nurani, seperti juga dalam
pepatah, nan bana berdiri dengan sendirinya di atas. Bahwa perdebatan dalam musyawarah
merupakan hal yang lumrah (Duduak samo randah, tagak samo tinggi Basilang api di tungku di
sinan makonyo masak, Kapalo samo ba bulu pandapek ba lain-lain), dimana setiap orang sama
kedudukannya dan saling menghargai pendapat orang lain. Disamping itu kewajiban menjaga
nama baik dan harkat martabat diri juga merupakan hal yang sangat dijunjung oleh orang
Minang.

Minangkabau sejak lama dikenal sebagai daerah yang memiliki budaya politik yang 
relatif sejalan dengan nilai-nilai demokrasi modern. Pepatah duduak samo randah tagak samo
tinggi (duduk sama rendah tegak sama tinggi) yang merefleksikan egaliterianisme masyarakat
Minang.Praktik kehidupan sosial sehari-hari di Minang juga mencerminkan adanya budaya
demokrasi. Antara pemimpin dengan rakyat tak terlalu berjarak.

Sejarah mencatat beberapa tokoh peletak dasar nilai demokrasi dalam Konstitusi RI juga
berasal dari Minang, seperti Sistem demokrasi dengan musyawarah mufakat, misalnya, pada
dasarnya kombinasi nilai demokrasi Barat dengan nilai-nilai budaya lokal, termasuk
Minang.  Demikian pula dalam sejarahetnis Minang yang tak mengenal adanya sistem
kerajaan. Minangkabau diperintahdalambentuk nagari-nagari yang tak ubahnya seperti republik-
republik kecil. Sedangkan kerajaan tak lebih sebagai simbolisasi etnik belaka. Nagari-nagari
tidaklah tunduk kepada Raja Pagaruyung.Nagari-nagari inilah basis bagi berkembangnya nilai-
nilai demokrasi di Minangkabau. Kehidupan masyarakat berlangsung relatif harmonis dan
egaliter. Pemimpin pemerintahan yang dijabat wali nagari dipilih lewat wakil-wakil rakyat di
legislatif nagari.

Sedangkan otoritas adat dan tradisi dipegang Kerapatan Adat Nagari. Pada tahap ini
kearifan-kearifan lokal, seperti tradisi musyawarah mufakat, masih tertanam kuat dalam proses
relasi sosial dan politik di nagari.

4.Tentang kewajiban laki-laki terhadap keluarga dan masyarakat.

Bahwa laki-laki jadi pemimpin tidak saja dalam artian sosial kemasyarakatan dan
pemerintahan, tetapi juga pemimpin dalam keluarganya, seperti tertuang dalam pepatah berikut;

“Kaluak Paku kacang Balimbiang, Tampuruang lenggang-lenggangkan

Bao manurun ka Saruaso, Tanamlah siriah jo ureknyo,

Anak di pangku kamanakan dibimbiang, Urang kampuang dipatenggangkan,Tenggang


nagari jan binaso,

Tenggang sarato jo adaiknyo.”

Artinya, seorang laki-laki tidak saja bertanggung jawab terhadap anaknya, tetapi juga
terhadap anak saudaranya, orang kampungnya, negerinya dan eksistensi budayanya. Tanggung
jawab yang besar seperti ini yang diemban oleh laki-laki Minang merupakan salah satu alasan
orang Minang merantau agar dapat membahagiakan semua pihak, dan merupakan hal yang
lumrah seorang keponakan tinggal bersama pamannya yang secara financial lebih mampu dari
orang tuanya, sehingga pendidikanna terjamin, karena pendidikan sangat penting bagi orang
Minang. Menurut penulis ini pulalah yang kemudian memunculkan adegium; kok ndak
kamanukuak, jan mahabihan. Artinya, posisi sebagai paman yang bertanggung jawab terhadap
keponakannya membuatnya malu untuk berbagi harta dengan saudara perempuannya, meskipun
harta tersebut merupakan warisan orang tuanya yang secara hukum kewarisan Islam dia berhak.
Dan itu pula yang menyebabkan seorang ayah di Minang kalau mau membangun rumah, yang
difikirkan hanya rumah untuk anak perempuan,tidak untuk anak laki-laki. Itu pula sebabnya
charisma dan wibawa seorang paman atau mamak sangat tinggi dan dihormati oleh saudara
perempuan dan kemenakannya. Dalam realita dewasa ini, meskipun jarang terjadi, namun sudah
mulai ada laki-laki yang meminta bahagian harta warisan orang tuanya kepada saudara
perempuannya, bahkan sampai bersengketa ke Pengadilan Agama. Laki-laki yang seperti ini
biasanya dapat sanksi dari masyarakat berupa cemo’oh, seperti;ba orok se lah lai ! ( pakai rok
sajalah lagi !), artinya dia itu disindir, tak layak sebagai laki-laki. Inilah sebenarnya salah satu
sebab yang sering menjadi kontraversi dalam masyarakat awam yang tidak mengerti hukum adat
Minangkabau, menyatakan adat Minang itu bertentangan dengan Syariat Islam. Pada hal tak ada
satu filosofi adat pun yang menyatakan demikian, yang ada rasa tanggung-jawab terhadap
saudara perempuan yang diamanatkan oleh adatlah, yang membuat laki-laki Minang malu
berbagi dengan saudara perempuannya, dan itupun akan berkaitan dengan wibawa dan nama
baiknya di tengah masyarakat. Seorang yang dapat menunaikan tanggung-jawab dengan baik
dalam keluarganya, maka akan mendapat penghargaan yang tinggi dari masyarakat, dimanapun
ia berada. Tentang kewajiban seorang laki-laki dalam keluarga di dalam Al-Quran:

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros” QS. Al-Isra/17:26

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak
yatim (2) dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin (3)” QS. Al-Maun/107:1-3..

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-
ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’râf/7: 96).

“dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang
aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman
diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang
yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa
neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS.Al-Baqarah/2:126)

5.Tentang hak-hak azazi manusia 

Nan buto pahambuih lasuang (Yang buta peniup lesung)

 Nan pakak palapeh badia (Yang tuli pelepas bedil)

 Nan patah pangajuik ayam (Yang patah pengusir ayam)

 Nan lumpuah paunyi rumah ( Yang lumpuh penunggu rumah) 

Nan binguang kadisuruah-suruah (Yang dungu untuk suruh-suruhan)

Nan buruak palawan karajo (Yang jelek penantang kerja)


Nan kuek paangkuik baban (Yang kuat pengangkut beban)

 Nan tinggi jadi panjuluak (Yang tinggi jadi galah)

 Nan randah panyaruduak (Yang pendek penyeruduk) 

Nan pandai tampek batanyo (Yang pandai tempat bertanya)

 Nan cadiak bakeh baiyo (Yang cerdik tempat berunding) 

Nan kayo tampek batenggang (Yang kaya tempat minta tolong)

 Nan rancak palawan dunia (Yang cantik pelawan dunia)

Budaya Minang, sangat menghargai manusia sebagai ciptaan Allah, bagaimanapun


keadaan manusia , semua adalah citaan Allah, sebagaimana Allah menyebut dalam Al-Quran,
bahkan seekor nyamukpun ada gunanya diciptakan Allah dalam Al-Qur’an, surat Albaqarah,ayat
26;

“Sesungguhnya Allah tidak malu membuat perbandingan apa saja. (semisal ) nyamuk
hingga ke suatu yang lebih daripadanya (karena perbuatan itu ada hikmahnya) yaitu kalau orang-
orang yang beriman maka mereka mengetahui bahwa perbandingan itu benar dari tuhan mereka.
Dan adapun orang kafirpula mereka berkata  apakah maksud allah membuat perbandingan
dengan ini (jawabnya) : tuhan akan menjadikan banyak orang sesat dengan sebab perbandingan
itu, dan akan menajadikan banyak orang mendapat petunjuk dengan sebabnya; dan tuhan tidak
akan menjadikan sesat dengan sebab perbandingan itu melainkan orang-orang yang
fasik.” Nyamuk merupakan hewan kecil penghisap darah mungkin sangat di benci semua orang
karena gigitannya yang menyebabakan gatal-gatal, juga karena nyamuk bisa menyebarkan
berbagai jenis penyakit yang berbahaya seperti malaria dan demam berdarah. Lalu timbul
pertanyaan dalam hati kita mengapa nyamuk di ciptakanAllah kalau hanya membawa penyakit
pada manusia. Anggapan orang bahwa nyamuk adalah penghisap dan pemakan darah tidaklah
sepenuhnya benar. Hanya nyamuk betina yang menghisap darah dan bukan yang jantan. Di
samping itu, nyamuk betina menghisap darah bukan untuk kebutuhan makan mereka. Sebab baik
nyamuk jantan maupun betina, keduanya hidup dengan memakan "nectar", yakni cairan manis
yang disekresikan oleh bunga tanaman (sari madu bunga). Satu-satunya alasan mengapa nyamuk
betina, dan bukan jantan, menghisap darah adalah karena darah mengandung protein yang
dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan telur nyamuk. Dengan kata lain, nyamuk
betina menghisap darah untuk mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya.

Bagi orang beriman dan bagi mereka mau mengambil hikmah di balik diciptakannya
nyamuk tentu hal ini sebuah hikmah.  kalau tidak masih ragu akan ciptaan allah yang bernama
nyamuk mari kita lihat bukti-bukti yang sebenarnya sudah ada disekeliling kita. Karena nyamuk
merupakan mahkluk yang membawa penyakit tentu manusia tidak ingin di gigit dan di jangkiti
penyakit dengan nyamuk ini.  Maka manusia  mencari sesuatu yang bisa membuat nyamuk pergi
menjauhdari kita. Hal ini dimanfaatkan oleh para produsen untuk menciptakan sesuatu yang bisa
mencegah nyamuk. Maka muncul ide manusia untuk membuat obat anti nyamuk. Obat nyamuk
ini diproduksi oleh oleh produsen. Selanjutnya produsen tentu membutuhkan karyawan dengan
jumlah yang banyak. Dari sini tentu kita sudah tahu langkah selanjutnya. Setelah sebuah produk
ada tentu butuh distributor hingga sebuah produk itu bisa sampai ke konsumen, setelah lahir obat
anti nyamuk, selanjutnya giliran para usawan untuk melihat pasar, dari obat nyamuk bakar lahir
lagi obat nyamuk lation dan selanjutnya. Akhirnya  kita sadari   nyamuk yang tadinya kita
anggap di ciptakan hanya untuk membawa mudharat ternyata bisa membangun ekonomi
manusia. Dibukanya pabrik obat nyamuk yang mempekerjakan  karyawan, tingkat pengangguran
berkurang karena lapangan kerja telah dibuka.Seperti Itulah hikmah dari nyamuk yang bisa
membuat lapangan pekerjaan, memang bukan nyamuk yang membuat lapangan pekerjaan. Yang
membuat nya adalah pengusaha yang menciptakan pabrik. Tapi tetap nyamuk yang menjadi
sebab timbulnya lapangan pekerjaan baru. setelah itu ratusan bahkan  ribuan orang bisa bekerja
di tempat pabrik obat nyamuk tersebut.  Masihkah engkau ragu akan ciptaan allah swt.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan konsepsi dan sistem adat beserta falsafahnya,
masyarakat Minangkabau sangatlah menjaga hubungan diri dengan Tuhan, juga kepada sesama
manusia. Mereka percaya bahwa dengan berbuat baik kepada orang lain, hal tersebut tidak hanya
berdampak baik bagi orang tersebut namun juga terhadap dirinya sendiri. Itu sebabnya
masyarakat Minangkabau selalu berusaha untuk menciptakan harmoni positif bagi lingkungan.
Selain itu mereka juga percaya bahwa akal dan budi harus berjalan beriringan agar tercipta
sebuah keseimbangan dalam diri.
BAB III

PENUTUP

• Kesimpulan

Konsepsi dan sistem adat beserta falsafahnya, masyarakat Minangkabau sangatlah


menjaga hubungan diri dengan Tuhan, juga kepada sesama manusia. Mereka percaya bahwa
dengan berbuat baik kepada orang lain, hal tersebut tidak hanya berdampak baik bagi orang
tersebut namun juga terhadap dirinya sendiri. Itu sebabnya masyarakat Minangkabau selalu
berusaha untuk menciptakan harmoni positif bagi lingkungan. Selain itu mereka juga percaya
bahwa akal dan budi harus berjalan beriringan agar tercipta sebuah keseimbangan dalam diri.

Adapun kato nan ampek yang dipegang sampai saat ini oleh masyarakat Minangkabau
yaitu kato mandaki,kato mandata,kato maurun, dan kato malerang. Adapun sumbang 12 baleh
yaitu Sumbang Duduak (Sumbang ketika Duduk), Sumbang Tagak (Sumbang ketika Berdiri),
Sumbang Bajalan(Sumbang ketika Berjalan), Sumbang Bakato (Sumbang dalam Berkata kata),
Sumbang Mancaliak (Sumbang dalam melihat), Sumbang Makan (Sumbang ketika Makan),
Sumbang Bapakaian (Sumbang dalam Berpakaian), Sumbang Karajo (Sumbang Ketika
Bekerja),Sumbang Tanyo (Sumbang dalam Bertanya), Sumbang Jawek (Sumbang dalam
Menjawab), Sumbang Bagaua (Sumbang dalam bergaul), Sumbang Kurenah (Sumbang dalam
bertingkah laku)

• Saran

Pada kesempatan ini kami mengajak pembaca untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai mewujudkan nilai budi pekerti dalam budaya minangkabau yang bisa
digunakan saat proses belajar mengajar baik di sekolah maupun di perguruan tinggi untuk
meningkatkan kemampuan siswa.

Daftar Rujukan

Amir MS. 2011. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Citra
Harta Prima

LKAAM. 2002. Pandangan Hidup Banagari. Padang: Surya Cipta Offest


Nuraeni, Heny Gustini, dan Muhammad Alfan. 2013. Studi Budaya di Indonesia. Jakarta:
Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai