Anda di halaman 1dari 15

Adegan 1

Soekarno dijanjikan kemerdekaan oleh jepang

Adegan 2

Sutan syahrir denger radio kalo jepang menyerah pd sekutu + pemuda ngomong

Adegan 3

Pemuda dateng ke rmh soekarno dan m hatta untuk dibawa ke rangasdengklok karena katanya
mau ada pemberontakan peta melawan jkt di jkt. (banyak)

Adegan 4

Rengasdengklok berunding antara tua dan muda, diputuskan bahwa akan melaksanakan
kemerdekaan secepatnya

Adegan 5

Kembali ke jkt ke rmh laksamana muda maeda, membuat teks di ruang makan

Adegan 6

Proklamasi
Adegan 1

12 Agustus 1945

Sukarno, Hatta dan Dr. Radjiman bertemu pimpinan Jepang di kota Saigon. Pada pertemuan itu,
Terauchi, seorang pejabat Jepang mengutarakan pemberian hadiah dari pemerintah Jepang

Terauchi : "Tuan-tuan, saya mengabarkan bahwa pemerintah Jepang telah memutuskan untuk
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia."

Bung Karno : "Kami berjanji akan berusaha segiat-giatnya untuk melaksanakan kewajiban kami
dengan segenap jiwa dan raga yang berkobar-kobar."

Hatta : "Ini merupakan peluang demi masa depan Indonesia. Kita harus mempercepat
persiapan kita untuk melaksanakan kemerdekaan kita. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
harus segera bersidang dan mengesahkan UUD Republik Indonesia."
Adegan 2

Pada t​ anggal 14 agustus 1945,​ para kaum muda mengadakan rapat di Jakarta. Dalam rapat ini,
Sutan Syahrir mengumumkan bahwa dia mendapat informasi tentang menyerahnya Jepang pada
sekutu.

Sutan Syahrir : “Assalamu’alaikum Wr.Wb.”

Kaum Muda : “Waalaikumsalam Wr.Wb”

Sutan Syahrir : “Saudara-saudara, saya dapat berita yang menggembirakan bagi kita semua, bahwa
Jepang telah menyerah kepada Sekutu, saya mendengar berita tersebut dari radio luar negeri, maka
telah terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia.”

Sukarni : “Sungguh kabar gembira yang anda kabarkan tadi, tapi apa itu kekosongan
kekuasaan?”

Sutan Syahrir : “Biar saya perjelas, jadi sekarang jepang sudah tidak berkuasa lagi

di negeri kita, karena telah menyerah pada sekutu sedangkan sekutu belum menguasai Indonesia”

Sukarni : “Baik, saya mengerti”

Chairul Shaleh : “Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mengisi kekosongan kekuasaan ini?”

Suhud : “Bagaimana jika kita meminta pada Bung Karno dan Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepatnya?

Latif : “Ya..ya.. saya setuju dengan itu karena ini memang waktu yang tepat untuk
memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia”

Chairul Shaleh: “Hmm.. baiklah kalau kalian semua setuju, mari kita pergi ke rumah Bung Karno
untuk membicarakan hal ini.”

Adegan 3
Wikana dan Darwis pada tanggal yang sama, dan presisnya tanggal ​15 Agustus 1945​, pada
jam 10.00 malam atau 20.00, datanglah Wikana dan Darwis kekediaman bung Karno waktu itu, jalan
Pegangsaan Timur no.56.

Darwis : Assalamualaikum wr wb

Bung karno : waalaikumsalam wr wb

Kedua pemuda itu menanyakan kepada bung Karno bagaimana sikapnya sebagai Pemimpin Rakyat
terhadap soal Kemerdekaan Indonesia pada situasi Jepang sudah menyerah.

Bung Karno : “Saya belum percaya akan penyerahan Jepang, sebelum fihak resmi (Gunseikan atau
Sumobucho) menyampaikan berita itu. Tentang Kemerdekaan Indonesia, tentu akan tetap Merdeka,
karena soal ini sekarang menunggu waktu saja, sebab segala persiapan segala-sesuatunya sekarang
hampir selesai”.

Darwis dan Wikana: “Apakah kita harus menunggu Kemerdekaan itu dipersenkan kepada kita dari
Jepang, sedang Jepang sendiri sudah menyerah kalah dalam perang sucinya?”

Bung Karno :“Ya, kita Rakyat harus menunggu dahulu, karena soal Kemerdekaan (hadiah!) sudah
pasti”.

Darwis dan Wikana: “Mengapa tidak Rakyat sendiri yang menyatakan Kemerdekaan kita? Mengapa
bukan Rakyat kita yang Memproklamirkan Kemerdekaan itu?

Bung Karno : “Hal ini tak dapat saya putuskan, tetapi harus lebih dahulu saya rembungkan dengan
teman-teman lainnya dan saya harus lebih dahulu mendengarkan keterangan resmi tentang penyerahan
Jepang itu dan lain-lain kelanjutannya yang berhubungan dengan persiapan Kemerdekaan itu".
TEGAS

Tidak lama kemudian, dalam suasana diskusi belum selesai, datanglah HATTA,
SOEBARDJO dan DR. BUNTARAN MARTOADMODJO, dan ikut dalam perundingan itu. Bung
Karno memberikan keterangan kepada ketiga pemimpin diatas, tentang maksud kedatangan kedua
pemuda diatas.

Bung Karno:“Saya mengerti maksud Saudara-saudara dan saya sudah mendengar pula tentang
penyerahan Jepang itu, tetapi resminya belum. Tentang maksud supaya Rakyat kita yang
Memproklamirkan Kemerdekaan, itupun sudah pula saya dengar dari Sjahrir, yamg membawa berita
penyerahan tersebut dan menanyakan bagaimana jika kita (Soekarno-Hatta) mengumumkan
Proklamasi Kemerdekaan itu. ​Tetapi saya belum setuju jika kita (Soekarno-Hatta) yang
mengumumkan Proklamasi itu, sebelum kita mendengar secara resmi penyerahan Jepang, dan
sebelum kita mendengar bagaimana pikiran dan pertimbangan GUNSEIKAN dan SOMUBUCHI
tentang Kemerdekaan yang dijanjikan itu."

Hatta :"Dan Kami-pun (Soekarno-Hatta) tak dapat ditarik-tarik atau didesak supaya mesti
juga mengumumkan Proklamsi itu. Kecuali jika saudara-saudara memang sudah slap dan sanggup
Memproklamirkan, cobalah! sayapun ingin melihat kesanggupan saudara-saudara (Pemuda)".

Wikana dan Darwis :“Kalau begitu pendirian saudara-saudara berdua baiklah! Dan kami
Pemuda​-Pemuda tidak menanggung sesuatunya jika besok siang Proklamasi belum dapat diumumkan.
Kami Pemuda-Pemuda akan bertindak dan menunjukkan kesanggupan yang saudara-saudara-saudara
kehendaki”.

Bung Karno : “Ini batang leherku, seretlah saya kepojok situ dan potonglah leherku malam ini juga !
Kamu tidak usah menunggu sampai besok !).”

Kaum Muda :"Bahwa Kemerdekaan harus terus dinyatakan sendiri oleh Rakyat, dan jangan
menunggu Kemerdekaan hadiah. Putusan terhadap bung Karno-Hatta, harus dibawa menyingkir
keluar kota, dimana Rakyat dan PETA bersedia menerimanya”.

.
Setelah bung Hatta bangun karena kaget, bertanyalah Hatta kepada Soekarni: Apa
maksudnya? Sukarni menjawab: “Bung Hatta lekas bersiap, karena keadaan sudah
memuncak-genting, Rakyat sudah tidak sabar menunggu lagi. Belanda dan Jepang sudah bersiap-siap
pula untuk menghadapi segala kemungkinan. Pemuda dan Rakyat tidak berani menanggung
akibat-akibat apa yang akan terjadi jika saudara masih didalam kota”.

Bung Hatta yang mendengarkan keadaan situasi memuncak dan kejadian-​kejadian yang
mungkin membahayakan jiwa mereka, barulah ia bersiap-siap, walaupun hati dan perasaannya yang
agak dongkol, karena dibangunkan dari kesenangan tidurnya.

Dr. Muwardi yang ditetapkan supaya membangunkan bung Karno ragu-ragu dan belum
membangunkan Bung Karno, dan karena itu ia menunggu kedatangan Chaerul Saleh. Sesudah
Chaerul datang bersama D. Asmoro, barulan Dr. Muwardi terpaksa membangunkan bung Karno.

Sesudah bung Karno bangun, ia bertanya kepada ketiga pemuda tersebut “apakah maksud
kalian membangunkan pada jam pagi dekat subuh itu?". Chaerul Saleh menerangkan bahwa​.​keadaan
sudah memuncak, kegentingan harus diatasi. Orang-orang Belanda dan Jepang sudah bersiap-siap
untuk menghadapi kegentingan-kegentingan itu, sebab juga mereka menanti sesuatu Aksi Rakyat
didalam kota. Karena itu keamanan Bung Karno-Hatta didalam kota tidak terjamin oleh Rakyat dan
Pemuda. Karenanya diminta supaya bung pada jam ini juga (04.15) meninggalkan kota!

Bung Karno membuka pintu lebih karena suara langkah sepatu yang ramai di serambi
depan, bukan karena ketukan. Jangan-jangan para mahasiswa lagi. ​Apa lagi maunya
mereka?​ Ia belum tidur, atau sudah bangun untuk makan sahur. Ia agak terkejut karena
yang subuh itu menghadap adalah seorang prajurit PETA, dengan pakaian lengkap dan
pedang samurai.
Shodancho Singgih dengan sikap tegap seorang militer memberi hormat kepada Bung
Karno, yang tampak menyambut si tamu dengan sikap tenang. Ia telah mengenal Singgih.
Bung Karno :“Ada apa malam buta begini datang ke rumah?”

Singgih : “Kami dari PETA ingin bicara dengan Bapak, tapi tidak di sini,” jawan Singgih.

“Oh, tidak di sini? Lalu mau bicara di mana?

“Yang jelas tidak di sini,” kata Singgih, kali ini dengan ketegasan yang bernada memaksa.

“Saya tidak bisa pergi, karena besok ada rapat PPKI mengenai proklamasi.”

“Kami mohon perhatian, Pak. Kalau tidak genting dan gawat waktu malam buta begini, kami
tidak akan datang. Keamanan di Jakarta sudah tidak aman untuk Bung Karno dan Bung
Hatta. Oleh karena itu, kami dari tentara PETA ingin bicara dengan Bapak.”

Soekarni yang juga mengenakan pakaian tentara PETA menambahkan, “Nanti pagi sebelum
matahari terbit akan ada pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh tentara PETA diikuti
mahasiswa, pemuda, pelajar, dan Heiho. Tujuannya untuk melucuti Jepang. Pertempuran
akan hebat dan revolusi akan berkobar.”

“Kami mohon Bapak percaya kepada PETA untuk mengamankan Bapak sebagai pimpinan
kami,” kata Singgih.

Bung Karno terdiam. Kepada PETA dia percaya. Lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi Hatta
harus ikut.”

“Ya, tentu saja! Sekarang berpakaian, Bung. Kami akan menjemput Hatta!”

Dari dalam kamar Fatmawati mendengar percakapan itu. Disusul sedikit suara gaduh dari
ruang makan. Ia mengintip, ia melihat beberapa pemuda menyandang pistol dan samurai.
Beberapa pemuda itu ia kenal. Sukarni salah satu di antaranya.

Bayi Guntur terbangun. Fatmawati lekas menggendongnya. Menenangkan bayinya, tapi


sesungguhnya dia menenangkan dirinya sendiri. Ia ingin memastikan tidak akan ada yang
terjadi padanya, pada anaknya, dan pada suaminya Sukarno.
Ketika Sukarno masuk ke kamar itu dengan wajah tertekan, Fatmawati belum tahu apa yang
sedang dan akan terjadi.

“Fat, pemuda-pemuda itu akan membawaku ke luar kota. Fat ikut apa tinggal?”

Fatmawati menjawab tegas, “Fat sama Guntur ikut. Ke mana Mas pergi di situ aku berada
juga.”

“Ya, kalau begitu, lekas siapkan apa yang perlu dan bisa dibawa.”

Fat sama sekali tak ingat untuk membawa pakaiannya sendiri. Ia hanya membungkus
pakaian bayinya. Memakaikan topi pada Guntur, lalu menggendengnya dengan selendang
panjang.

Shodancho Sutrisno diperintahkan untuk kembali ke Markas Daidan di Jl. Jaga Monyet 2,
untuk memastikan rencana Shodanco Hamdani berjalan dengan baik demi kelancaran
operasi malam itu.

Tiba di rumah Hatta. Beliau juga sedang sahur. Singgih dan Soekarni diajak makan sahur
bersama. Mereka menolak untuk makan, kecuali ikut minum sekadarnya. Tentu mereka tak
nyaman untuk makan, karena ketegangan yang merayapi mereka. Mereka mengulangi hal
yang tadi disampaikan kepada Sukarno. Hatta setuju saja. Tak ada perdebatan. Lalu
mereka bergerak kembali ke rumah Sukarno.

“Kemana kita akan pergi di malam buta begini?” tanya Hatta ketika sudah berada di rumah
Sukarno.

“Itu soal nanti. Yang perlu sekarang kita mengikuti Shodancho Singgih. Sebab menurut
laporan, keadaan Jakarta, sudah tidak aman lagi untuk kita. Sebentar lagi akan ada
pemberontakan rakyat yang dipimpin prajurit PETA. Singgih menjamin soal keamanan
karena dijaga oleh tentaranya,” kata Sukarno kepada Hatta.

“Lalu bagaimana rapat yang akan diadakan nanti dengan para anggota PPKI,” tanya Hatta.

“Kita tunda dulu sampai keadaan mengizinkan,” jawab Sukarno.


Hatta menjawab, “Baiklah, kalau memang itu keputusan Bung Karno.”

“Singgih, kau belum mau juga memberi tahu kemana akan membawa kami?” Tanya
Sukarno.

“Saya harus merahasiakannya Bung, sampai kita sampai di sana. Percayalah itu adalah
tempat yang paling aman dalam situasi sekarang ini,” jawab Singgih tenang.

Bedford disopiri Iding bin Salimar, di sebelahnya duduk Fatmawati yang memangku Guntur.
Di belakang, berderet di jok sebelah kiri, Bung Karno dan Bung Hatta dikawal seorang
penembak jitu. Sedangkan di deretan kanan duduk Singgih, dr. Sutjipto, dan Soekarni.

Adegan 4

Kira-kira jam 40.30 pagi, tanggal 16 Agustus 1945 berangkatlah bung Karno dengan
membawa isterinya Fatmawati dan anaknya Guntur, sedang Sukarni bersama J. Kunto dan
Hatta dalam satu mobil yang lain, menuju keluar kota. Sedangkan Chaerul Saleh dan D.
Asmoro kembali ke Jalan Cikini Raya 71 untuk mempersiapkan segala sesuatunya, untuk
pengerahan Massa menghadapi segala kemungkinan. Ditempat tersebut Chaerul Saleh
mengadakan serentetan perundingan dengan grup-grup Pemuda Pejoang, dan juga
mengadakan serentetan perundingan dengan pemimpin-pemimpin Seinendan, para
pemimpin Barisan Pelopor dan juga oknum-oknum PETA yang diwakili oleh Chundancho
Abdul Latif. Yang dibicarakan yaitu mengenai perebutan Kekuatan dan Kekuasaan yang
berada di Jakarta. Sebab di Rengas Dengklok sudah dilakukan pergantian kekuasaan, dari
tangan Jepang ketangan tentara Peta.

“Bung, kita sekarang berada di Chudan PETA Rengasdengklok, dibawah Daidan Purwakarta. Inilah
tujuan kita. Mohon maaf karena komandan di sini, yaitu Chudanco Soebeno dan Shodancho Umar
Bahsan sedang menghadap Daidancho Purwakarta. Tapi, percayalah kami membawa Bung berdua
karena mereka dan semua prajurit di sini adalah adalah prajurit nasionalis. Camat Hadipranoto, camat
di sini juga orang nasionalis. Kita di daerah yang paling aman.”
di luar ruangan justru semakin ramai prajurit dan rakyat Rengasdengklok. Sesekali ada yang
bereriak, “Hidup Bung Karno! Hidup Bung Hatta! Modar Jepang! Indonesia merdeka!”
Singgih dan Soekarni sekali lagi menegaskan pendirian mereka. Mereka terus meyakinkan
Sukarno dan Hatta bahwa Jepang sudah menyerah kepada Sekutu, dan tak mungkin lagi
Jepang memenuhi janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. “Ada dua
pilihan, Bung. Pertama, mengumumkan kemerdekaan untuk memenuhi kehendak rakyat,
dengan risiko mendapat kesulitan dari pihak Jepang. Atau sebaliknya mengikuti kehendak
Jepang, meneruskan persiapan kemerdekaan yang dijanjikan Jepang, dengan akibat
mengecewakan rakyat,” kata Singgih, sudah mendapatkan lagi kepercayaan dirinya.

Ahmad Soebardjo & Sayuti Melik: (Datang)

Ahmad Soebardjo: “Hey, kalian! Sudahlah, lepaskan mereka, rasanya sangat tidak pantas menahan
tokoh nasionalis seperti ini”

Sayuti melik: “Bagaimana bila kita rundingkan secara baik-baik?”

Latif : “Baiklah..”

Chairul Shaleh: “Jadi bagaimana, Bung?”

Soekarno: “Baiklah.. Saya akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia”

Sutan Syahrir: “Ya baguslah, tapi dimana kita akan membuat teks proklamasinya?”

Ahmad Soebardjo: “Bagaimana jika kita ke rumah laksamana Maeda, di Jakarta? Dia teman saya,
orang jepang yang mendukung kemerdekaan Indonesia”

Sayuti Melik: “Ya saya dengar juga dia perwira tinggi militer, jadi keamanannya bias terjamin.
Tempatnya strategis”

Soekarno: “Yasudah, kita pergi ke sana”

Rombongan berangkat, dengan naik mobilnya Soebardjo. Dalam perjalanan J. Kunto tidak
mau bicara apapun. Sesudah sampai di Rengas Dengklok. Kedatangan rombongan ini dijemput sendiri
oleh Soekarni yang berpakaian seragam militer tentara Peta. Mereka kaget melihat Soekarni
berpakaian militer. Sesudah menegor Soekarni dengan pertanyaan “Kamu telah menyulitkan kerja kita
dengan menculik Soekarno-Hatta ketempat ini”. Jawab Soekarni: “Maaf tindakan ini bukan prakarsa
pribadi. Saya adalah abdi Revolusi. Saya hanya memenuhi tugas Revolusi yang dibebankan kepada
saya”. Sesudah itu, Soekarni membawa rombongan Soebardjo menemui Komandan Batalyon
(Chudancho) Mayor SOEBENO, menantu dari RP SINGGIH S, teman Soebardjo, sarjana hukum
lulusan Universitas Leiden, negeri Belanda.

Sesudah dipersilahkan duduk oleh Mayor Soebeno, maka Mayor Soebeno yang didampingi
Soekarni dan J. Kunto menanyakan kepada Soebardjo: “apa maksud kedatangan saudara” dengan
nada serius.

“Kami datang kemari untuk menjemput Bung Karno dan Hatta, serta membawa kembali ke
Jakarta, untuk mempercepat Proklamasi Kemerdekaan”, jawab Soebardjo.

"Bisakah saudara mengatakan pada kami, apakah Jepang sudah menyerah?”, Mayor Soebono
(Chudancho) bertanya kepada Soebardjo. Jawab Soebarjo: “kami datang kemari justru akan memberi
tahu penyerahan Jepang kepada bung Karno dan Hatta.

“Apakah saudara datang atas nama Kaigun?” tanya Soebono. Soebardjo menjawab: "Tidak,
sama sekali tidak! Bung Diro dan saya telah datang kemari dengan persetujuan Wikana dari kelompok
pemuda serta teman-teman lainnya. Mereka setuju untuk membawa bung Karno dan Hatta kembali ke
Jakarta, dengan syarat bahwa keselatan mereka berdua dan para Pemuda setuju atas jaminan saya.
Mereka telah menerima jaminan saya, bahwa saya sepenuhnya menjamin dan bertanggung-jawab atas
berhasilnya atau gagalnya Proklamasi”.

“Apakah saudara bisa Memproklamirkan kemerdekaan sebelum tengah malam?” tanya


Soebeno lebih lanjut. Jawab Soebardjo, “Tidak mungkin. Sekarang sudah jam 20.00 malam. Kami
harus kembali dahulu, dan kemudian memanggil para angauta PPKI untuk mengadakan sidang kilat.
Hal ini memerlukan banyak waktu. Saya khawatir bahwa kami harus bekerja semalam suntuk.
“Bagaimana kalau jam pukul 6.00 pagi besok?” tanya Soebeno. Soebardjo menjawab, “Saya akan
berusaha sedapat-dapatnya, kami pasti telah siap”. “Jika tidak bagaimana?” Chudancho itu bertanya.

Jawaban Soebardjo: “Mayor, jika segala sesuatunya gagal, sayalah yang memikul tanggung
jawabnya, dan mayor boleh tembak mati saya”.

Baiklah kalau demikian. Sekarang saudara boleh menemui Bung Karno dan Hatta, dan
memberi tahukan kepada mereka tentang penyerahan Jepang itu, “penegasan Mayor Soebeno.

Kami semua berdiri dari tempat duduk masing-masing, dan menuju keluar. Soekarni
menunjuk jalan pada Soebarjo kerumah tempat “persembunyian Soekarno-Hatta, Fatmawati dan
Guntur yang berumur baru 9 bulan. Rumah yang ditinggali kedua pemimpin diatas, adalah rumah tua,
kepunyaan seorang Cina pengusaha disitu, yang mempunyai pabrik beras. Rumah tersebut tidak jauh
dari asrama Peta.

Dengan cepat Soekarno menanya Soebardjo: “Apakah Jepang sudah menyerah?” Jawab
Soebardjo segera, “Saya datang kemari untuk memberi tahu, bahwa Soebardjo sudah diberi tahu oleh
Maeda bahwa Jepang sudah menyerah. Ia meminta Soebardjo untuk memberi tahukan kabar ini
kepada bung seperti yang dijanjikan.

Mereka cepat-cepat berpakaian dan sesudah selesai berpakaian berangkatlah rombongan


Soekarno-Hatta-Soebardjo-Soekarni-J.Kunto dengan tiga mobil menuju Jakarta dari Rengas
Dengklok.

Adegan 5

Sekitar Pukul 20.00, ​16 Agustus 1945

Sampailah di kediaman Bung Karno. Hanya Fatmawati dan Guntur yang turun. Bung Karno
melanjutkan menemani Bung Hatta pulang.

Pukul 22.00, 16 Agustus 1945

Bung Karno bersama Subadjo menjemput Bung Hatta menuju rumah Laksamana Maeda. Dalam
pertemuan itu Maeda meminta Bung Karno mencegah pemberontakan. "Tuan-tuan, kita harus
mencegah pemberontakan para pemuda dan tentara PETA malam ini karena mereka pasti akan
berhadapan dengan tentara Jepang."

Jatuhnya pilihan pada rumah Laksamana Maeda karena rumah tersebut punya hak imunitas terhadap
Angkatan Darat Jepang sehingga kedua pemimpin itu tetap aman. Di ruang makan Laksamana Maeda
dirumuskan naskah proklamasi kemerdekaan yang merupakan pemikiran tiga tokoh, yaitu Soekarno,
M. Hatta, dan Achmad Soebardjo. Hatta dan Achmad Soebardjo menyampaikan pemikirannya secara
lisan, sedangkan Soekarno bertindak sebagai penulis konsep naskah proklamasi tersebut. Proses
penyusunan naskah ini juga disaksikan golongan muda yang diwakili oleh Sukarni, Sudiro, dan BM
Diah. Sementara, dari pihak Jepang ada S. Miyoshi dan S. Nishijima. Para pemuda yang berada di luar
meminta agar teks proklamasi bernada keras. Akan tetapi, S. Nishijima tak mengizinkan agar tak
terjadi hal yang tak diinginkan dan memicu amarah dari tentara Jepang.

Ketika konsep naskah itu selesai, Soekarno menyarankan agar mereka yang hadir dalam perumusan
naskah proklamasi ikut menandatangani selaku wakil bangsa Indonesia. Saran tersebut ditentang oleh
golongan pemuda yang tidak setuju jika naskah proklamasi ditandatangani oleh anggota PPKI hasil
bentukan Jepang. Mereka menolak karena kemerdekaan Indonesia merupakan jerih payah seluruh
elemen bangsa. Akhirnya, Sayuti Melik mengusulkan Soekarno Hatta menandatangani naskah
proklamasi dan mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa
Indonesia" setelah diketik.

Setelah mendapatkan pinjaman mesin ketik, Sayuti Melik didampingi BM Diah dipercaya Soekarno
untuk mengetik naskah proklamasi.

Adegan 6

Soekarno: “Nah, sekarang naskah prolamasi sudah selesai, tapi dimana proklamasi ini akan
dibacakan?”

Suhud: “Lapang IKADA”

Soekarno: “Tidak, disitu keamanan kita tidak terjamin”

Fatmawati: “Maaf, boleh saya mengusulkan? Bagaimana bila di rumah saya?”

Soekarno: “Ya, itu bagus”

Hatta: “Ya, saya juga setuju”


Ahmad Soebardjo: “Iya bisa, disana aman”

Akhirnya proklamasi pun sepakat untuk dibacakan di rumah Ir.Soekarno. Pada tanggal 17 Agustus
1945 dini hari, semuanya bersiap siap. Disaat semuanya sedang sibuk, suhud tiba-tiba datang
menghampiri Bung Karno.

Suhud: “Permisi tuan, apakah akan ada proses pengibaran bendera merah putih?”

Soekarno: “Tentu saja harus, itu merupakan lambang Negara kita”

Suhud: “Tapi benderanya tidak ada”

Soekarno: “Apa?! Baiklah, akan ku perintahkan Fatmawati untuk menjahitkan bendera sekarang juga.
Tolong panggilkan dia”

Suhud: (pergi memanggil Fatmawati)

Fatmawati: “Ada apa pak? Mengapa tiba-tiba memanggilku?”

Soekarno: “ Tolong jahitkan kain merah dan kain putih menjadi satu sekarang juga untuk menjadi
bendera.”

Fatmawati: “Apa?! Sekarang?! Baiklah akan aku usahakan.”

Fatmawati pun menjahitkan bendera merah putih dan mereka semua mempersiapkan pengibaran
bendera pula.

Latif : “Maaf bung, apakah acara proklamasi ini sudah bisa dimulai ? ini sudah jam 09.45”

Soekarno: “Oh ya, mari kita ke depan.”


Soekarno pun membacakan pidatonya sebentar dan membacakan naskah Proklamasi. Suhud dan
Latif pun mengibarkan bendera merah putih yang diiringi lagu Indonesia Raya ciptaan
WR.Supratman

Beberapa orang nampak gelisah karena Bung Hatta tidak kunjung datang. Bung Karno pun bersikeras
tidak akan membacakan bersama tanpa kehadiran rekanya itu. Akhirnya lima menit menjelang pukul
10.00 Hatta datang dan disambut meriah.

Dalam buku Sepekan Menjelang Kemerdekaan yang ditulis Buntje Harbunangin, selesai membacakan
naskah proklamasi, Bung Karno memberikan pidato singkatnya. "Demikianlah saudara-saudara, kita
sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita.
Mulai saat ini kita menyusun negara kita. Negara Merdeka, dengan Republik Indonesia merdeka,
kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kita, kemerdekaan kita ini"

Anda mungkin juga menyukai