Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN KEGIATAN

ANALISIS TEMPAT BERSEJARAH DAN OBJEK SENI DI SINGOSARI


DALAM KEGIATAN STUDI WISATA SMA NEGERI 1 LAWANG TAHUN
2022

Oleh:

Silvana Widya Rochma

XI MIPA 4

SMA NEGERI 1 LAWANG

Jl. Pramuka No 152, Lawang Kabupaten Malang

Website: www.sman1-lawang.sch.id - Email: smanegeri1lawang@gmail.com


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan studi wisata adalah kegiatan yang bertujuan untuk pengenalan terhadap tempat
bersejarah. Tetapi perbedaannya studi wisata yang saya kerjakan ini bukan ditujukan ke
mahasiswa melainkan ke siswa SMA, agar siswa SMA lebih mengetahui tempat tempat
bersejarah dan menyebar luaskan wawasan. Tempat yang kita kunjungi adalah Candi Singosari.

Kerajaan Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok
pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.
Kerajaan Singasari (1222-1293) adalah salah satu kerajaan besar di Nusantara yang didirikan
oleh Ken Arok. Sejarah Kerajaan Singasari berawal dari daerah Tumapel, yang di kuasai oleh
seorang akuwu (bupati). Letaknya di daerah pegunungan yang subur di wilayah Malang dengan
pelabuhan bernama Pasuruan. Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin
oleh Raja Kertanegara (1268-1292) yang bergelar Maharajadhiraja Kertanegara Wikrama
Dharmottunggadewa. Ken Arok merebut daerah Tumapel, salah satu wilayah Kerajaan Kediri
yang dipimpin oleh Tunggul Ametung, pada 1222. Ken Arok pada mulanya adalah anak buah
Tunggul Ametung, namun ia membunuh Tunggul Ametung karena jatuh cinta pada istrinya, Ken
Dedes. Ken Arok kemudian mengawini Ken Dedes. Pada saat dikawini Ken Arok, Ken Dedes
telah mempunyai anak bernama Anusapati yang kemudian menjadi raja Singasari (1227-1248).
Raja terakhir Kerajaan Singasari adalah Kertanegara.

1.2 Tujuan Kegiatan


1. Menambah pengetahuan tentang kerajaan singasari
2. Mengetahui bagaimana kehidupan di Kerajaan Singasari
3. Memperdalam cerita sejarah tentang kerajaan Singasari

1.3 Tanggal Pelaksanaan

7 juli 2022
BAB II

HASIL KEGIATAN

Kegiatan studi wisata tahun 2022 ini mengunjungi beberapa obyek candi, yaitu

(a) Candi Singasari

(b) dan Arca Dwarapala

Berikut adalah hasil dari kunjungan tersebut.

2.1 Candi Singasari

FOTO

Candi Singosari dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara yang telah mangkat pada
tahun 1292 (leluhur raja-raja Majapahit). Prasasti Gajah Mada (1351 M) menyebutkan bahwa
adanya pembangunan caitya yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada untuk batara sang
mokta ring Siwa Buddha Laya.
Candi ini pertama kali dilaporkan oleh Nicolaus Engelhardt seorang berkebangsaan Belanda,
Gubernur Pantai Timur Laut Jawa sejak 1801. Ia melaporkan adanya reruntuhan bangunan candi
di daerah dataran tandus Malang pada tahun 1803, yang kemudian dikenal dengan nama Candi
Singosari. Sejak saat itu Candi Singosari mendapat perhatian orang Eropa lainnya. Pada tahun
1804 dilakukan pemindahan arca - arca dari reruntuhan candi, arca - arca tersebut dibawa ke
negeri Belanda pada tahun 1819.
Pembahasan awal tentang candi ini ditulis oleh J.L.A Brandes bersama dengan H.L. Leydie
Melville dan J. Kneebel dengan bukunya yang berjudul Beschrijving van Tjandi Singasari, en De
Wolkentooneelen van Panataran yang terbit pada tahun 1909. Dalam bukunya ini Brandes
mengemukakan bahwa candi itu dibangun atas keputusan Dewan Pertimbangan Agung (Battara
Sapta Prabu) yang terdiri dari tujuh pejabat tinggi Majapahit yang perintahnya disampaikan oleh
Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisynuwarddhani kepada Mahamenteri Rakrian Empu
Mada untuk mendirikan candi bagi mahabrahmana, kepala agama Siwa-Buddha, mantan
mahapatih yang gugur bersama Prabu Kertanegara. Pelaksanaan pembangunan candi diserahkan
kepada Patih Jinordhana.
Berdasar bunyi piagam tersebut, dapat disimpulkan bahwa Candi Singosari merupakan
peninggalan Majapahit di bawah kepemimpinan Tribhuwanatungga-dewi. Pembangunan candi
dimaksudkan untuk memperingati wafatnya Raja Kertanegara beserta para pejabat tinggi
Singhasari (1292 M).
Di kota Singosari yang tidak jauh dari kota Malang, terletak Candi Singosari yang
ditemukan sekitar tahun 1803 oleh Nicolaus Engelhard. Apabila memperhatikan struktur Candi
Singosari yang memiliki dua tubuh/ruangan seperti pada Candi Jawi. Diperkirakan Candi
Singosari berlatar belakang Siwa-Buddha.
Atap Candi
Candi Singosari memiliki atap berbentuk piramida yang terdiri dari beberapa tingkat dan tiap
tingkat dihias menara. Sisi-sisi bagian bawahnya berukuran 5 m. Bagian atas atap telah runtuh
sehingga bagian yang terdapat saat ini tinggal tingkat pertama dan sebagian tingkat kedua
setinggi 2,50 m. Tinggi bangunan candi yang tersisa saat ini adalah 14,10 m.
Tubuh Candi
Bagian tubuh berbentuk bujur sangkar dengan sisi-sisi berukuran 5,20 m dan tinggi 4,85 m.
Tubuh candi kosong, tidak ada ruangan utama yang harusnya ada di sana, demikian juga dengan
relung pada keempat sisi pun kosong. Melihat ukurannya memang dari awalnya relung-relung
tersebut bukan tempat arca. Tubuh candi kosong karena merupakan lambang Parama sunya,
yaitu konsep tertinggi dalam agama Buddha yang tidak berwujud. Dalam Nagarakrtagama
dikatakan Siva di ruang dalam, dan aksobhya berada di atas, tetapi karena bersifat sangat halus
(aksobhyawimbhatisuksma) tidak terlihat disebabkan oleh kekuatan siddhinya yang berhakikat
hampa.
Kaki Candi
Candi Singosari terbuat dari batu andesit, terdiri dari batur, kaki, tubuh dan atap. Batur berbentuk
bujur sangkar dengan panjang sisinya yang berukuran 13,85 m dan tinggi 1,90 m dan tidak
memiliki relief. Tangga naik ke selasar di kaki candi tidak diapit oleh pipi tangga dengan hiasan
makara seperti yang terdapat pada candi-candi lain.
Di atas batur terdapat kaki candi berdenah bujursangkar dengan panjang sisi 8,8 m dan tinggi
4,86 m. Kaki candi memiliki keistimewaan karena memiliki bilik dan penampil pada keempat
sisinya. Penampil yang terdapat pada sisi barat merupakan pintu menuju bilik candi. Pintu masuk
ini terlihat sederhana tanpa bingkai berhiaskan pahatan. Di atas ambang pintu terdapat pahatan
kepala kala yang juga sangat sederhana pahatannya. Adanya beberapa pahatan dan relief yang
sangat sederhana menimbulkan dugaan bahwa pembangunan Candi Singosari belum sepenuhnya
terselesaikan.
Di kiri dan kanan pintu bilik, agak ke belakang, terdapat relung tempat arca. Ambang relung juga
tanpa bingkai dan hiasan kepala kala. Relung serupa juga terdapat di ketiga sisi lain kaki Candi
Singosari. Ukuran relung lebih besar, dilengkapi dengan bilik penampil dan di atas ambangnya
terdapat hiasan kepala kala yang sederhana.
Sepintas bangunan Candi Singosari terlihat seolah bersusun dua, karena bagian bawah atap candi
berbentuk persegi, menyerupai ruangan kecil dengan relung di masing-masing sisi. Ruang utama
(garbhagrha) berada di kaki candi, suatu hal yang tidak lazim pada candi-candi di Indonesia,
karena biasanya ruangan candi ada di bagian tubuh candi. Kaki candi memiliki tiga penampil
pada ketiga sisinya, yang dahulunya diisi arca-arca seperti arca Durga Mahisasuramardini
(utara), Ganesha (timur), dan Trnawindhu (selatan). Kecuali arca Trnawindhu, dua arca lainnya
tidak lagi berada di tempatnya.
Ruang utama kosong, hanya terdapat sebuah yoni yang terletak diatas lapik berbentuk segi
empat, bagian atas yoni sedikit rusak. Pada lantai kaki candi terdapat sebuah saluran kecil ke
arah teras sisi utara, sehingga candi tersebut seolah-olah merupakan gambaran sebuah lingga.
Pintu candi ada di sebelah barat yang diapit sepasang relung untuk arca-arca Mahakala dan
Nandiswara. Pada bagian atas ambang pintu dan di atas ketiga relung dihias dengan kepala kala
yang sederhana.
2.2 Arca Dwarapala
Arca Dwarpala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Budha,
berbentuk manusia atau hewan. Ada dua Arca yang terletak di sebelah Barat situs Candi
Singosari. Situs itu berbentuk dua Arca Dwarapala yang dibuat dari batu Monolitik dengan
ketinggian 3,70m.Sedangkan di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang
juga terdapat 2 Arca Dwarapala yang tingginya sekitar 3,5m dan terletak di pinggir jalan, saling
berhadapan. Nama Dwarpala sendiri di ambil dari bahasa Sansekerta yang bermakna penjaga
pintu atau pengawal pintu gerbang.
Ciri ciri nya adalah kurannya sangat besar setinggi 370 cm menjadikannya sebagai arca
Dwarapala terbesar di Indonesia. Perwujudannya digambarkan menyeramkan dengan badan yang
besar, mata melotot, taring menyeringai dan berbagai perhiasan penuh ornamen tengkorak. Ia
merupakan penggambaran raksasa menakutkan, tak segan untuk mengusir makhluk yang hendak
berbuat kejahatan. Arca tersebut menjadi penjaga kawasan percandian di Candirenggo,
Singosari, Malang.
Arca Dwarapala Singosari berjumlah sepasang. Satu arca berada di sebelah utara
menghadap ke timur. Tampaknya inilah posisi arca yang masih menempati orientasi aslinya.
Pasangannya yang berada 30 meter di selatan telah berganti posisi menghadap ke utara.
Pergeseran arca tersebut tidak diketahui sejak kapan terjadi, tetapi sangat mungkin ketika
Pemerintah Hindia Belanda mengangkat arca yang pada abad 19 Masehi masih terpendam
separuh tubuh.
Keletakan orientasi arca ini menarik dikaji sebab berlawanan arah dengan Candi Singosari
yang menghadap ke barat. Peletakan umum dwarapala dalam konteks bangunan suci biasanya
berada di depan candi searah hadap dengan bangunan yang dijaganya. Masyarakat sekitar
meyakini bahwa arca raksasa tersebut menjaga tanah lapang di belakangnya yang disebut sebagai
“Alun-alun Singosari”. Pendapat lainnya diungkapkan Agus Aris Munandar dalam bukunya
“Arkeologi Pawitra” bahwa arca tersebut bukanlah menjaga bangunan suci Singosari, akan tetapi
menjaga Gunung Arjuno – Welirang yang menjadi kahyangan dewa. Dengan demikian ukuran
arca yang besar sangat lumrah sebab menjadi penjaga gunung suci yang besar pula. Gunung
tersebut memiliki konsep filosofi yang sama dengan candi sebagai rumah dewata.
Dwarapala pada mulanya merupakan Yaksa, sebangsa makhluk halus penguasa tanah
yang ditakuti manusia di India. Ia kemudian dipuja sebagai pelindung kesuburan tanah guna
mendatangkan sumber kehidupan. Saat agama Hindu dan Buddha berkembang di India, makhluk
tersebut disejajarkan dengan kelompok setengah dewa, setingkat di bawah dewata. Ia ditugaskan
mendampingi para dewata. Sebab itulah pada masa selanjutnya penggambarannya diletakkan di
depan bangunan suci sebagai penjaga. Sesuai tugasnya, yaksa tersebut diberi nama Dwarapala,
Sang Penjaga Pintu atau Penjaga Arah.
Persebaran Dwarapala di Nusantara seiring dengan perkembangan agama Hindu-Buddha.
Kerajaan-kerajaan di Jawa mengadopsi budaya India mulai dari kesenian hingga arsitekturnya.
Walau budaya India diserap dengan baik oleh masyarakat Nusantara, akan tetapi nenek moyang
tidak begitu saja menerima pengaruh asing. Mereka menyesuaikan budaya yang masuk dengan
identitas serta tradisi yang telah dianutnya, termasuk dalam penggambaran Dwarapala Singosari.
Arca tersebut walau digambarkan bengis namun tetap memperhatikan unsur keindahannya.
Penggambaran arca natural dengan detail bagian tubuh menyerupai manusia menjadi ciri khas
gaya seni Singhasari. Terlebih adanya penciri berupa hiasan demonik berupa kepala tengkorak
menguatkan ciri-ciri arca masa Singhasari akhir yang kental dengan unsur Tantrayana.
Penggambaran tersebut lah yang membedakan arca Dwarapala Singosari dengan arca Dwarapala
di India.

Penggambaran arca Dwarapala Singhasari menunjukkan identitas arca sebagai bagian


seni kerajaan. Kelengkapan arca dan pemahatan yang halus menjadi indikator kuat karya tersebut
dilakukan oleh pemahat profesional. Arca Dwarapala pertama digambarkan duduk dengan kaki
kiri ditekuk ke belakang dan kaki kanan ditekuk ke depan. Tangan kanannya memegang gada
yang disandarkan pada paha kanan, sedang tangan kanannya menunjukkan mudra mengusir,
ditandai dengan jari telunjuk dan jari tengah diacungkan serta sisanya ditekuk. Arca kedua
digambarkan serupa dengan arca pertama, hanya saja terdapat perbedaan pada posisi kaki yang
berlawanan dan tangannya tidak melakukan mudra mengusir, melainkan diletakkan di atas lutut.

Arca digambarkan beratribut raya sesuai ketentuannya sebagai Dwarapala. Ia


mengenakan tali selempang, kelat bahu, gelang tangan dan gelang kaki dari lilitan ular yang
dalam bahasa ikonografi disebut sebagai naga. Terdapat pula kalung yang berupa untaian
tengkorak dan manik-manik yang dirangkai indah mengelilingi leher hingga dada. Ikat dadanya
digambarkan berupa rangkaian manik-manik dalam bidang berbentuk segitiga. Selanjutnya arca
hanya mengenakan pakaian berupa kain sebatas perut hingga lutut. Bagian atas kain dipererat
dengan ikat pinggang yang terbuat dari tali yang dihias dengan manik-manik berpadu kepala
tengkorak. Penggambaran tersebut menguatkan posisinya sebagai arca berlanggam kerajaan.
Tidak diketahui secara pasti kapan arca Dwarapala dan kawasan percandian Singosari
ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Begitu pula dengan alasan masyarakat
meninggalkan kawasan tersebut yang masih menjadi misteri. Kabar tertua dari arca tersebut
didasarkan pada laporan Nicolaus Engelhard tahun 1803 sewaktu mengunjungi Singosari. Kala
itu kawasan di sekitar arca merupakan hutan jati yang ditumbuhi semak belukar. Kini wilayah
tersebut kembali hidup dengan ditempati masyarakat baru yang membawa peradaban baru.
Mereka hidup berdampingan dengan karya nenek moyang dari masa kuno, abad 13 Masehi
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Candi Singasari adalah candi Hindu – Buddha yang merupakan peninggalan bersejarah.
Candi Singasari terletak di Desa Candi Renggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.Candi
Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20
dalam keadaan berantakan. Restorasi dan pemugaran dimulai tahun 1934 dan bentuk yang
sekarang dicapai pada tahun 1936.
Candi Singosari dibangun dengan bentuk menyerupai limas, batu disusun dari bawah hingga ke
atas lalu dipahat dengan bagian atas lebih kecil dari bagian bawah candi. Bagian-bagian candi
memiliki fungsi yang memiliki arti tersendiri. Batur (pondasi), kaki candi, tubuh candi dan atap
memiliki fungsi yang berbeda-beda kegunaannya.
Candi Singosari lebih sesuai sebagai tempat pemujaan dewa. Candi-candi peninggalan masa
Kerajaan Singasari kian terdesak permukiman warga. Hal tersebut yang membuat Candi ini
menjadi tidak strategis untuk di jadikan wilayah cagar budaya. Untuk mengatasi masalah
tersebut yaitu dengan adanya evakuasi lahan, pemukiman warga yang terdapat di sekitar candi
tersebut di pindahkan oleh pemerintah daerah dengan mengganti biaya bangunan tersebut dan
menyediakan lahan baru untuk mengganti tempat tinggal masyarakat yang terevakuasi
(kompensasi).
Sebagai warisan budaya Indonesia yang tidak dapat di buat lagi oleh manusia zaman sekarang
sudah sepatutnya masyarakat dan pemerintah lebih oeduli terhadap warisan dunia tersebut agar
kelestarian dan aset budaya negara ini tidak punah dan hilang. Dan juga jika solusi tersebut
terealisasikan maka candi tersebut kedepannya bisa dijadikan bahan penelitian dan pembelajaran
bagi kita semua.

3.2 Saran
Candi sebagai salah satu benda cagar budaya. Sudah seharusnya kita menjaga dan melindungi
aset budaya tersebut. Wilayah candi atau cagar budaya harus bebas dari kegiatan fisik dan
pembangunan. Agar tetap menjadi aset budaya yang tetap lestari, ada baiknya candi singosari
dibuat taman wisata yang indah,nyaman, dan bersih.
LAMPIRAN

https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Singasari#:~:text=Candi%20Singasari%20merupakan%20candi
%20Hindu,10%20km%20dari%20Kota%20Malang.

https://monkeydkadek.blogspot.com/2018/03/makalah-tentang-kerajaan-singosari.html

http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2016021000328/candi-singosari

https://www.malangkab.go.id/mlg/default/detail-potensi?daerah=58#

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjatim/arca-dwarapala/

http://yoga95pradanaputra.blogspot.com/2013/11/candi-singosari.html

Anda mungkin juga menyukai