Anda di halaman 1dari 8

candi mendut

Candi Mendut terletak di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten


Magelang, Jawa Tengah, sekitar 38 km ke arah barat laut dari Yogyakarta.
Lokasinya hanya sekitar 3 km dari Candi Barabudhur, yang mana Candi Buddha ini
diperkirakan mempunyai kaitan erat dengan Candi Pawon dan Candi Mendut.
Ketiga candi tersebut terletak pada satu garis lurus arah utara-selatan.

Belum didapatkan kepastian mengenai kapan Candi Mendut dibangun, namun


J.G. de Casparis menduga bahwa Candi Mendut dibangun oleh raja pertama dari
wangsa Syailendra pada tahun 824 M. Dugaan tersebut didasarkan pada isi
Prasasti Karangtengah (824 M), yang menyebutkan bahwa Raja Indra telah
membuat bangunan suci bernama Wenuwana. Casparis mengartikan Wenuwana
(hutan bambu) sebagai Candi Mendut. Diperkirakan usia candi Mendut lebih tua
daripada usia Candi Barabudhur. ini pertama kali ditemukan kembali pada tahun
1836. Seluruh bangunan candi Mendut diketemukan, kecuali bagian atapnya.
Pada tahun 1897-1904, pemerintah Hindia Belanda melakukan uapaya
pemugaran yang pertama dengan hasil yang cukup memuaskan walaupun masih
jauh dari sempurna. Kaki dan tubuh candi telah berhasil direkonstruksi. Pada
tahun 1908, Van Erp memimpin rekonstruksi dan pemugaran kembali Candi
Mendut, yaitu dengan menyempurnakan bentuk atap, memasang kembali stupa
stupa dan memperbaiki sebagian puncak atap. Pemugaran sempat terhenti
karena ketidaktersediaan dana, namun dilanjutkan kembali pada tahun 1925.

Arsitektur candi

Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu
alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak
lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya.
Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya
bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil
yang terpasang sekarang adalah 48 buah. Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.

Hiasan pada candi Mendut

Tiga arca di dalam candi Mendut, arca Dhyani Buddha Wairocana diapit
Boddhisatwa Awalokiteswara dan Wajrapani.

Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling.
Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa dewata gandarwa dan
apsara atau bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda. Pada kedua tepi tangga
terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan jataka.

Hariti.

Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya,


Wajrapāṇi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua
bidadari, Harītī (seorang yaksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan
Āţawaka.

Buddha dalam posisi dharmacakramudra.

Di dalam induk candi terdapat arca Buddha besar berjumlah tiga: yaitu Dhyani
Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan
arca Buddha terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa, lambang
Buddha. Di sebelah kiri terdapat arca Awalokiteśwara (Padmapāņi) dan sebelah
kanan arca Wajrapāņi.
Relief-relief

Di bawah ini pembicaran mendetail beberapa relief akan disajikan.

Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)

Brahmana dan seekor kepiting.

Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari
Pancatantra atau jataka. Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia
bawah dan bernama Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam
hewan.

Maka berjalanlah dia untuk bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan


seekor kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada, dibawa di pakaiannya.
Maka kata sang brahmana: “Kubawanya ke sungai, sebab aku merasa kasihan.”
Maka iapun berjalan dan berjumpa dengan sebuah balai peristirahatan di tepi
sungai. Lalu dilepaslah si kepiting oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega
hatinya. Sedangkan sang brahmana beristirahat di balai-balai ini. Ia tidur dengan
nikmat, hatinya nyaman.

Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan merupakan ancaman
bagi sang brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya si gagak: “Jika ada orang
datang ke mari untuk tidur, ceritakan padaku, aku mangsanya.”

Si gagak melihat sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah keluar si ular


katanya: “Aku ingin memangsa matanya kawan.” Begitulah perjanjian mereka.

Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata si kepiting di
dalam hati: “Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan ular. Sama-sama buruk
kelakuannya.” Terpikir olehnya bahwa si kepiting berhutang budi kepada sang
brahmana. Ia ingin melunasi hutangnya, maka pikirnya. “Ada siasatku, aku akan
berkawan dengan keduanya.” Maka ujar si kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan
kupanjangkan leher kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang
brahmana.” – “Aku setuju dengan usulmu, <laksanakanlah> dengan segera.”
Begitulah kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan
leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si kepiting dan keduanya
langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular. ==

Relief 2 (Angsa dan kura-kura)

Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari
Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun cerita
yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan di relief ini:

Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai,
banyak tunjungnya beranekawarna, ada putih, merah dan (tunjung) biru.

Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau Kumudawati yang
asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si Cakrangga (nama)
angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu bersama-sama tinggal
di telaga Kumudawati.

Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan,


sedangkan si Kacapa (nama) si betina.
Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati semakin
mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu berpamitan
kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya:

“Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab
semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak
kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini,
mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan yang bernama
Manasasana. Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak mengering walau
musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan.” Begitulah kata si
angsa.Maka si kura-kurapun menjawab, katanya:

“Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan
meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri.

Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana
pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil
persahabatan kami dengan kalian.

Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah
olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan sini dengan
isteriku. Kuatlah kami nanti membawa terbang kamu, [hanya] janganlah kendor
anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang kita atasi selama kami
menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda tegur juga. Jika ada yang
bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, jangan tidak
mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami tak akan
berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir mati.”Maka demikianlah
kata angsa.

Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung dan pangkalnya
dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa
oleh angsa, akan mengembara ke telaga Manasasara, tempat tujuan yang
diharapkannya. Telah jauh terbang mereka, sampailah di atas ladang
Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan betina yang bernaung di bawah pohon
mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama si betina. Maka
mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang, keduanya sama
menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku, lihatlah itu ada hal
yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!”Lalu si
anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-
kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau
kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya!”
Begitulah kata si anjing jantan.

Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah


mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering, sarang karu-karu.

Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke


tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak
dipatuhi nasehatnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke danau
Manasasara.

Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)

Dharmabuddhi dan Dustabuddhi

Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar. Suatu hari
Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada kawannya Dustabuddhi.
Lalu mereka berdua menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap
kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan
membagi secara adil. Tapi Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari mengambil
semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan menyeretnya ke
pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan dihukum.

Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)Relief 4 (Dua burung betet yang
berbeda)

Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun berbeda
kelakuannya karena yang satu dididik oleh seorang penyamun. Sedangkan yang
satu oleh seorang pendeta

Vihara Buddha Mendut

Arca Buddha sumbangan Jepang.

Persis di sebelah candi Mendut terdapat vihara Buddha Mendut. Vihara ini
dahulunya adalah sebuah biara Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi
kepada rakyat pada tahun 1950-an. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah
yayasan Buddha dan di atasnya dibangun vihara. Dalam vihara ini terdapat
asrama, tempat ibadah, taman, dan beberapa patung Buddha. Beberapa di
antaranya adalah sumbangan dari Jepang.

Anda mungkin juga menyukai