MAKALAH
Oleh
DAFTAR ISI...................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar belakang...........................................................................................1
B. Rumusan masalah......................................................................................1
C. Tujuan penulisan.......................................................................................2
A. Pra Nawaksara...........................................................................................3
a. Pemilu (1955)......................................................................................3
b. Politik 4 Kaki.......................................................................................5
c. Golkar (1959)......................................................................................5
d. Dekrit Presiden (1959)........................................................................9
e. Manipol USDEK.................................................................................9
f. G30S....................................................................................................12
B. Nawaksara / Pel Nawaksara......................................................................29
C. Dampak Pasca Nawaksara.........................................................................45
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................50
i
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dalam Makalah kali ini, nyaitu :
1. Bagaimana rentetan peristiwa yang terjadi sebelum baik dan sesudah
dibacakannya Nawaksara / Pel Nawaksara?
1
2. Bagaimana sudut pandang banyak pihak terhadap terjadinya peristiwa
G30S dan siapa saja yang dianggap bertanggung jawab terhadap peristiwa
tersebut?
3. Apa saja teori dan fakta-fakta dibalik rentetan peristiwa tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Memberikan pengetahuan baik kepada pembaca maupun penulis
mengenai Nawaksara / Pel Nawaksara , beserta peristiwa-peristiwa sejarah
yang meliputinya.
2
BAB II
NAWAKSARA / PEL NAWAKSARA
A. Pra Nawaksara
a. Pemilu (1955)
3
pemungutan suara menjadi tanggung jawab Bersama pemerintah dan wakil
partai.
4
siapa yang akan duduk di kursi itu ditentukan oleh partai yang telah dipilih
berdasarkan kursi yang disediakan hasil dari Pemilu.
Bagaimanapun juga inti dari Pemilu 1955 pada materi kali ini terletak
pada 4 Partai yang paling mendominasi pada Pemilu 1955 ini, nyaitu PNI,
Masyumi, Nahdatul Ulama, dan PKI. Nantinya ini akan berhubungan dengan
materi berikutnya, Kabinet 4 kaki.
b. Kabinet 4 kaki
c. Golkar (1959)
Lahir dari sebuah gagasan, sebuah ide kolektiv atau korporatis alias
integralistik tentang bagaimana negara harus diorganisasi. Gagasan ini telah
diajukan bahkan semenjak tahun 1940-an, beberapa tahun sebelum Indonesia
Merdeka. Sedangkat untuk wujud organisasinya baru beroperasi pada tahun
1950-an dengan nama Golongan Karya atau yang sering disingkat Golkar.
Ada tiga tahap yang dilalui oleh Golkar dalam perkembangan sejarahnya.
Golkar secara resmi didirikan pada 20 Oktober 1964 atas rongrongan dari PKI
beserta Ormas-ormasnya.
5
diambil alih oleh para pengusaha. Gagasan-gagasan asli telah didorong ke
pinggiran.” (David Reeve, 2013 : xiii)
Dalam kutipan diatas dijelaskan mengenai tiga buah tahap yang dilalui
oleh Golkar selama perkembangannya. Ketiga tahapan tersebut terdapat pada
tiga era politik yang berbeda di Indonesia, namun yang akan dibahas kali ini
hanya dua era saja yaitu Orde Lama dan Orde baru, Dimulai dari tahun 1959…
“Hubungan antara Sukarno, pimpinan Angkatan Darat dan PKI sejak 1959
hingga 1962 adalah "konflik yang stabil", yaitu "keseimbangan kekuasaan
yang canggung namun relatif stabil". Sukarno dipandang telah berhasil
menjaga "tingkat stabilitas yang mengagumkan dalam situasi yang tidak
stabil" tersebut'. Sisi lain stabilitas ini yakni tidak satu pun dari ketiga
aktor utama memperoleh apa yang diinginkan. PKI tidak dilibatkan dalam
sistem politik dengan kekuasaan yang sesuai ukuran dan kekuatannya.
Tidak ada kabinet gotong royong dan pemimpin Angkatan Darat yang
berusaha sekuat tenaga meminimalkan peran PKI dalam institusi-institusi
Demokrasi Terpimpin lainnya. Pemimpin Angkatan Darat tidak puas
terhadap peran partai yang terus berlangsung dan dengan apa yang telah
menyimpang dari strategi "100 persen golongan karya". Rencana Sukarno
sendiri mencakup pengaturan sistem partai dan kemudian menjalankan
langkah transformasi melalui golongan karya. Walaupun peraturan
berlanjut dengan baik, rencana transformasi itu makin melemah dan
ditinggalkan pada akhir 1962.
Sistem yang baru tentu saja sangat berbeda dengan demokrasi "liberal"
dekade 1950-an. Sistem ini memang telah menetapkan peran kuat Sukarno
dan Angkatan Darat yang tidak disediakan UUDS 1950. Pada awalnya
sistem ini mengintimidasi dan mengatur 10 partai politik yang bisa
diterima presiden. Sebanyak 19 partai kecil lainnya dihapuskan. Masyumi
dan PSI, yang memiliki pengaruh dan secara ideologi bermusuhan dengan
presiden, dipaksa membubarkan diri pada 1960 dengan alasan terlibat
dalam PRRI-Permesta. Tetapi, sisi pemilu "model baru" Front Nasional
6
golongan karya dari opsi "semiradikal" gagal terwujud. Upaya
menciptakan tiga golongan karya utama pada 1960 mengalami kegagalan.
Perundang-undangan yang bertujuan untuk menarik golongan petani dan
pekerja supaya berpartisipasi secara antusias dalam hal ekonomi bisa
dikeluarkan, tetapi penerapannya dihalang-halangi oleh kekuatan pemilik
tanah, militer dan birokrasi. Pada 1963, Perundang-undangan ini bahas
menjadi sarana PKI untuk mempromosikan perannya sebagai pembela
kepentingan buruh dan petani.
Nasution yang menulis pada akhir dekade 1960-an telah keras Sukarno
karena "menyimpang" dari strategi "100 persen golonge karya" sejak 1959
dan kembali pada partai-partai-"presiden semakin menjauh dari konsep
semula dan konsep pimpinan TNI", tanpa perlu mengakui bahwa aktivitas
politik Angkatan Darat yang agresif merupakan pendorong Sukarno ke
arah itu.” (David Revee, 2013 : 171-172)
Pada awal masa Orde Lama bisa dikatakan Soekarno berhasil menjalin
hubungan yang stabil dan seimbang antara Angkatan Darat dan PKI, namun
pada akhirnya konflik terjadi juga. Angkatan Darat yang terus menekan
manuver politik dari PKI selama di pemertintahan menciptakan ketegangan
diantara kedua belah pihak. Di sisi lain, Bung Karno yang tengah menjalankan
upayanya membentuk partai-partai berdasarkan Golongan karya (Strategi
100% Golongan Karya) gagal terlaksana, meski pembubaran beberapa partai
termasuk PNI dan Masyumi telah berhasil. Namun strategi tersebut gagal
terealisasi dan menciptakan celah bagi PKI untuk menyebarkan pahamnya
sebagai partai yang dianggap pro rakyat kala itu.
Pada tahun 1966 semenjak diturunkannya Bung Karno dari jabatan dan
digantikan oleh Soeharto, mulai banyak hal yang berubah dari sini pada
Golongan karya…
“Pada pemilu 3 Juli 1971, Sekber Golkar memperoleh 62,8 persen suara
sehingga mendapatkan 236 dari 360 kursi anggota dalam DPR. Jumlah
7
kursi ini masih ditambah dengan 100 kursi yang akan diisi anggota yang
diangkat pemerintah. Jumlah suara terbesar partai 18,7 persen diperoleh
NU, sedangkan PNI hanya mendapatkan 6,9 persen dan Parmusi, penerus
Masyumi, hanya 5,4 persen. Hampir 15 tahun setelah pidato "mengubur
partai-partai" Sukarno pada 1956, pemimpin Orde Baru yang didominasi
Angkatan Darat hampir berhasil mencapai apa yang didukung Sukarno.
Cara pemerintah Orde Baru melakukan kampanye pemilu adalah ciri khas
sebuah rezim baru: penggunaan sumberdaya Departemen Dalam Negeri
serta Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) untuk memastikan
penegasan bagi pemerintah; serangan terhadap dampak- dampak yang
diklaim merusak persaingan ideologi partai; melemahkan perlawanan sipil
terorganisasi; memasukkan semua PNS, termasuk pegawai perusahaan-
perusahaan negara, ke dalam "Korps Karyawan" yang sangat besar;
pembentukan "pemerintahan hirarkis, berjenjang dan terpusat".
Hal ini tidak terjadi sebelum 1971. Pendapat sipil, minimal di Jakarta, dan
cendekiawan pengamat, cenderung beranggapan bahwa pemimpin Orde
Baru di bawah Jenderal Soeharto sebagai pemerintahan yang "lunak".
Artinya, pemerintah lebih suka mempertahankan stabilitas politik melalui
akomodasi dengan partai politik utama-PNI, NU dan setelah 1968,
Parmusi-dan hanya kepada unsur-unsur yang jelas-jelas "subversif",
terutama kantung- menggunakan tindakan keamanannya yang sangat keras
kantung sayap kiri PNI dan PKI yang tersisa. Ketika "Orde Baru"
dinyatakan pada 1966 oleh intelektual muda idealis dari kesatuan aksi,
terjadi banyak diskusi publik tentang "Orde Baru", termasuk restrukturisasi
menyeluruh kehidupan politik serta partai-partai politik tersisa sebagai
"Orde Lama dikurangi PKI". Partai-partai politik dipandang oleh kesatuan
aksi dan sekelompok kecil jenderal senior, sebagai "orang-orang radikal
8
Orde Baru", perwakilan dari visi ke belakang, loyalitas sempit yang
diungkapkan dalam persaingan ideologis yang merusak serta oportunis dan
mudah disuap Mereka dilihat sebagai penghambat bagi kemajuan menuju
"modernisasi dan "pembangunan" yang dijanjikan Orde Baru.” (David
Revee, 2013 : 279-280)
e. Manipol USDEK
9
Sebuah dasar pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Manipol USDEK
memiliki kepanjangan Manifestasi Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
1 Februari 1961
Harian Pedoman yang saya pimpin dilarang terbit oleh Presiden Sukarno
tanggal 9 Januari 1961. Mulai hari ini saya menulis diary atau catatan
harian. Penyakit zaman sekarang, apakah itu? Makan hati, kesal melihat
kea- daan, urat syaraf terganggu. Maka penderita yang satu mendapat
eksim yang lain bawazir, yang ketiga puru. Pada pokoknya semua sama
asalnya
Barak 3 rumah sakit umum yang dipimpin oleh Prof. Aulia ialah tempat
yang didatangi oleh para penderita penyakit "Manipol-Usdek". Seorang
yang parah sakitnya ialah Arudji Kartawinata, tokoh Partai Sarikat Islam
Indonesia (PSII). Tiga minggu lamanya ia memerlukan transfusi darah.
Dokter menga- takan kepadanya supaya ia kembali kepada Tuhan. Hanya
itu yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Arudji seorang pengikut
Sukarno. Segala sesu- atu berupa pangkat dan kedudukan dalam negara
diperolehnya berkat pemberian Sukarno. Antara lain diperolehnya Bintang
Mahaputra. Karena sakit, maka bintang tersebut tidak dapat disematkan di
dadanya dalam sebuah upacara di Istana. Presiden menugaskan kepada dua
menteri utamanya untuk mengantarkan bintang kepada Arudji di rumah
sakit dan menyerahkannya dalam suatu upacara. Akan tetapi dokter yang
merawat tidak mengizinkankan diadakannya upacara, sedangkan Arudji
10
Kartawinata berkehendak benar upacara diadakan. Dokter berkata
kepadanya: "Saudara rupanya belum juga kembali kepada Tuhan? Yang
lain di luar itu tidak akan dapat menyembuhkan Saudara."
Ada cerita lain yang saya dengar berhubung dengan Bintang Maha- putra.
Mr. Karim Pringgodigdo bertahun-tahun lamanya menjadi tangan kanan
Presiden Sukarno, menjabat sebagai Direktur Kabinet. la contoh pegawai
yang baik, teliti dalam pekerjaan, setia kepada atasan. Di waktu
belakangan ini dia menderita sakit. Kesehatannya berkurang dengan cepat.
Salah satu alasan ialah karena dia merasa kecewa sekali. la membaca di
surat kabar tentang orang-orang yang dianugerahi Bintang Mahaputra oleh
Presiden Sukarno. Tetapi mengapa dia tidak pula mendapat bintang itu?
Apakah Presiden melupakan dia?
Tiga hari yang lalu tersiar berita Mayor Sofjan Ibrahim bersama sembilan
orang pengikutnya menyerahkan diri kepada Angkatan Perang Republik
Indonesia (APRI) di Balaitengah, Kabupaten Tanahdatar. Sofjan Ibrahim
dulu menjabat sebagai Kepala Staf RI IV Komando Daerah Militer
Sumatra Tengah. la tokoh nomor dua sesudah Ahmad Husein ketika pada
bulan Desember 1956 diwujudkan Dewan Banteng. Ia turut dalam
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tanggal 20 Januari
1961 atau kurang lebih sebulan sebelum ulang tahun ketiga proklamasi
PRRI di Padang, Sofjan Ibrahim menyerahkan diri. Rupanya makin
terdesak orang-orang PRRI akibat operasi militer pihak APRI. Beberapa
waktu lalu Kototinggi yaitu markas besar para pemimpin PRRI jatuh ke
tangan APRI. Sungguhpun begitu tokoh- tokoh PRRI belum memikirkan
akan menghentikan perjuangan mereka yang kini mereka namakan
"melawan kezaliman Sukarno." (H. Rosihan Anwar, 2006 : 3-4)
11
sebagai perwujudan akan hausnya kekuasaan, kemunafikan dalam
pemerintahan, dan perbedaan yang tidak dapat disamakan. Manipol USDEK
juga disinnggungg dengan kalimat yang dihaluskan dalam kata Penyakit.
f. G30S
Dalam buku Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965 karya James
Luhulima dijelaskan mengenai detail peristiwa G30S beserta seluk beluk
keterlibatan AURI di dalamnya. Mulai dari pengiringan Soekarno ke
beberapa tempat selama terjadinya G30S.
12
Coup oleh apa jang disebut dengan Dewan Djendral. Sesuai pengumuman
Gerakan 30 September jang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung dari
Bataljon Tjakrabirawa, tindakan diambil untuk menjelamatkan Presiden
Soekarno dan Republik Indonesia dari kup Dewan Djendral patriotic dan
revolusioner.” (James Luhulima, 2007 : 122)
13
Pada saat kondisi genting kala itu, masih terdapat pro dan kontra antara
Presiden Soekarno dengan Mayjen Soeharto. Begitu juga dengan upaya
penjemputan presiden dari Halim, beencana melepaskan beliau dari bisik-bisik
PKI. Dijelaskan juga keberadaan Men/Pangal Laksdya Laut RE Martadinata di
PAU Halim Perdanakusuma dan beliau pun menyatakan tidak dapat keluar dari
tempat tersebut, karena tempat tersebut dikatakan misterius.
“Kaum-kaum miskin yang lapar itu pun tak perduli lagi nama-nama
mereka beserta keluarganya dimasukkan ke dalam daftar nama organisasi
si pemberi derma dengan imbalan beras, alat pertanian dan pakaian, Inflasi
650% sudah memelaratkan mereka. "Kebodohan" dan kemiskinan mereka
ketika itu, tak pernah terlintas di benak mereka akan berbuah petaka yang
teramat dahsyat, tak hanya untuk badan mereka, namun menjalar ke anak
cucu hingga puluhan tahun dengan stempel: KOMUNIS! Beberapa hari
14
setelah peristiwa pembunuhan para jenderal oleh yang katanya bernama
Gerakan 30 September (305), tiba tiba gegap gempita kekejian menjalar di
seantero nusantara. Kebencian berujung kekejaman rakyat Indonesia tiba-
tiba saja menjelma menjadi ladang pembantaian paling mengerikan yang
pernah terjadi di republik ini, kelompok-kelompok pemuda nasionalis,
keagamaan seperti pemuda Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama serta
para pemuda-pemuda Katolik, mengombak bergernuruh bersenjatakan apa
saja, mengejar ngejar, menyeret, menusuk, menembak, memenggal
anggota tubuh, dan membakar orang-orang yang dituduh bergabung
dengan partai komunis dan sayap sayap organisasinya. Padahal, sepert
yang disebutkan di bagian awal, sebagian besar dari orang-orang yang
dicap komunis itu hanyalah kaum-kaum miskin dan lapar yang tak paham
dengan politik. Mereka tak paham apa itu nasionalis, apa itu komunis...
buku-buku sejarah versi Orba, dicatat bahwa seolah-olah itu adalah reaksi
spontan masyarakat yang tak dikomando. Namun pasca pembantaian sadis
itu mulai muncul suara-suara yang sedikit menyibak latar peristiwa, salah
satunya dari komandan RPKAD sendiri, Sarwo Edhie Wibowo (mertua
SBY), bahwa Angkatan Darat bertugas menghasut penduduk untuk
membantai orang-orang yang dicap komunis. Bahkan ketua tim pencari
fakta bentukan Presiden Soekarno ketika itu menemukan bahwa
pembantaian di Banyuwangi dipimpin langsung oleh para komandan
Kodim dan Korem dibantu ketua PNI dan NU. Temuan tim pencari fakta
sungguh memiriskan hati, karena tak hanya para lelaki yang dijejerkan dan
ditembak bedil serdadu untuk kemudian ditumpuk dalam satu lubang
besar, namun para wanitanya justru mengalami siksaan yang lebih dahsyat.
Payudara mereka dipotong dan kemudian diakhiri dengan tusukan pedang
panjang, mulai dari (maaf) vagina hingga membelah perutnya! Perburuan
dan pembantaian orang-orang yang dicap PKI meluas mulai dari Aceh,
Sumatera Utara, Banyuwangi, Bali, Jawa Tengah, Lampung hingga
15
Sulawesi dan Kalimantan. Ketua PKI Bali, I Gede Puger, dipotong-potong
sebelum kepalanya dibedil. Anak istrinya pun ikut dibunuh bersamaan.
Semua "titisan komunis❞ dianggap menanggung dosa bersama dan pantas
mati.
Maka tak heran ketika Ben menanyakan kepada Latief, mantan perwira
yang mengalami siksaan luar biasa selama ditahan oleh pasukan Soeharto,
ia hanya menjawab: Saya merasa bahwa saya telah dikhianati.” (Alfred
Suci, 2015 : 425, 426 – 428)
16
banyaknya Propaganda, peralihan informasi, dan rezim yang begitu ketat…
hal ini mungkin benar adanya…
Kendati masih jadi tanda tanya besar, sulit dipungkiri Supersemar adalah
legitimasi paling awal bagi pemerintahan Orde Baru yang kemudian berkuasa
selama 32 tahun di Indonesia. Supersemar merupakan titik tonggak transisi
kekuasaan dari Bung Karno kepada Jenderal Soeharto. Supersemar adalah
penanda ber akhirnya sebuah era.
17
menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya dengan pelbagai retorikanya
sen- diri.
Bukan cuma terhadap Bung Karno, strategi skak- mat juga diterapkan
Soeharto kepada tokoh-tokoh pem- bangkang (dissident). Misalnya mereka
yang menandata- ngani Petisi 50, yang bukan saja dikebiri hak-hak politik-
nya, tetapi juga dilarang berbisnis. Bui menjadi jawaban bagi para aktivis
anti-pemerintah. Tidak terhitung be- rapa orang aktivis mahasiswa dan
pers pembela demo- krasi yang harus meringkuk di penjara karena berbeda
pendapat dengan pemerintah Orde Baru (baca: Soe- harto).” (LAI, 2010 :
10 – 12)
18
kekuasaan ini pula yang digambarkan layaknya sebuah permainan Catur dan
Supersemar merupakan senjata pamungkas Soeharto.
“1965
1966
19
Nasution. Jenderal Sarbini ditunjuk menjadi Menteri Pertahanan,
sedangkan jabatan KSAB dihapuskan.
13/14 Maret. Bung Karno mengirim surat teguran kepada Soeharto yang
dianggap melenceng dalam menjalankan Supersemar.
27 Maret. Dengan intervensi yang sangat kuat dari kubu Angkatan Darat,
dibentuklah kabinet baru. Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam
Malik termasuk dalam jajaran enam orang Wakil Perdana Menteri.
20
Presiden Soekarno tampak terpukul karena harus berkompromi. Ketika
baru membacakan beberapa nama anggota kabinet baru, ia berhenti dan
minta Leimena melanjut-kan pembacaan tersebut.
20 Juni. MPRS bersidang dan memilih A.H. Nasu tion sebagai ketua.
MPRS kemudian mencabu gelar presiden seumur hidup dari Soekarno.
Soe karno menyampaikan pidato Nawaksara, yang kemudian ditolak
MPRS karena dianggap tidak sesuai dengan permintaan rakyat mengenai
kla rifikasi keterlibatan Presiden dalam peristiwa Gerakan 30 September.
1967
1968
1970
21
21 Juni. Bung Karno meninggal dunia. Beliau konon meninggalkan wasiat
agar jasadnya dimakam- kan di Bogor, namun rezim Soeharto menolak- nya.
Akhirnya, Proklamator RI Soekarno di- makamkan di Blitar. Tampak dari
kronologi kejadian di atas, kunci ke- menangan Soeharto terletak pada lima
hal penting. Pertama, muaknya rakyat terhadap PKI yang me -rajalela dengan
provokasi dan teror pada saat itu. Soe- harto paham betul dan
memanfaatkannya sebagai alat untuk menekan Bung Karno. Dengan
Supersemar, Soeharto melakukan aksi yang populer di mata rakyat, yaitu
membubarkan PKI. Sayangnya, langkah itu semata-mata politis. Sebab secara
konkret, aksi pembantaian terhadap orang-orang komunis sudah dilakukan
dalam triwulan terakhir tahun 1965, yang secara efektif sudah membuat PKI
rata dengan tanah, dan tidak lagi memiliki kekuatan potensial sebagai rival
politik AD.” (LAI, 2010 : 12 - 17)
Sudah tidak perlu dijelaskan kembali untuk kalimat di atas, karena sudah
cukup menjelaskan detail peristiwa yang ada pada masa itu, tapi selalu ada
dari pihak yang pro pasti ada juga yang kontra. Sebuah buku berjudul
Lahirnya Surat Perintah 11 Maret karya DJ. Hasugian mengandung
propaganda yang sangat kental, layaknya Film G30S PKI yang rilis tahun
1984 yang penuh kontroversi.
Dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965 sebuah studi tentang konspirasi juga
dibahas mengenai Dekrit para Dewan Revolusi (pelaku G30S). berikut isi dari
Dekrit tersebut…
22
Untuk melancarkan tindak lanjut daripada tindakan 30 September 1965.
maka oleh pimpinan Gerakan 30 September akan dibentuk Dewan
Revolusi Indonesia yang anggotanya terdiri dari orang-orang sipil dan
orang-orang militer yang mendukung Gerakan 30 September tanpa
roserve. Untuk sementara waktu, menjelang pemilihan umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,
Dewan Revolusi Indonesia menjadi sumber daripada segala kekuasaan
dalam negara Republik Indonesia. Dewan Revolusi Indonesia adalah alat
bagi Bangsa Indonesia untuk mewujudkan Pancasila dan Panca Azimat
Revolusi seluruhnya. Dewan Revolusi dalam kegiatannya sehari-hari akan
diwakili oleh Presidium Dewan yang terdiri dari Komandan dan Wakil-
wakil Komandan Gerakan 30 September."
Akan tetapi pasal III Dekrit No. 1 menyerang Sukarno tanpa ampun, sama
sekali tidak menyebut nama serta jabatannya sebagai Presiden:
23
Revolusi Kabupaten (paling banyak 15 orang). Dewan Revolusi
Kecamatan fpaling banyak 10 orang) dan Dewan Revolusi Desa (paling
banyak 7 orang), terdiri dari orang-orang sipil dan militer yang
mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve. Dewan Revolusi Daerah
ini adalah kekuasaan tertinggi untuk daerah yang bersangkutan, dan yang
di Propinsi dan Kabupaten pekerjaannya dibantu leh Badang Pemerintah
Harian (BPH) masing-masing sedangkan Kecamatan dan Desa dibantu
oleh Pimpinan Pront Nasional setempat yang terdiri dari orang orang yang
mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve.
24
“JJ Rizal
Soekarno tak mali-mali. Dia hidup di dalam benak bangsa Indonesia dan
hal ini sukar dicari tandingannya pada tokoh sejarah serta revolusi lainnya.
Selama dan setelah pemerintahan Orde Baru Soeharto, dia selalu menjadi
topik. Polemik tentangnya muncul berkala dalam periode empat puluh dua
tahun setelah dia meninggal pada 21 Juni 1970. terutama seputar tuduhan
keterlibatannya sebagai dalang utomo peristiwa 1 Oktober 1965. Namun
pasca-kematian Soeharto, tetap saja Soekarno belum terbebas. Dia terus
menghantui dan kali ini bersama Soeharto yang juga mula menghantui
dengan pertanyaan tak terjawab dan ambigu, misalnya, siapa yang terlibat
langsung dalam G-30-S 1965 alau siapa yang bersekongkol dengan PKI?”
(Daniel Dhakidae, 2013 : 276)
25
Bung Karno memang bukan seorang demokrat, bukan seorang republik. Memang
Bung Karno juga taroh orang dalam penjara, tapi sejauh mungkin dia tidak mau
membunuh orang. Sebagian karena dia memang tidak tahu bagaimana caranya
memakai pistol. Tapi kebiasaannya sebagai pemimpin politik [adalah] ngomong,
janji, kadang-kadang menipu juga. Kalau seorang jenderal memang lain.
Pokoknya mereka lain.
EMPAT puluh tahun setelah terjadinya Tragedi 1965, tepatnya pada akhir
2005 lalu, wacana mengenai peristiwa itu mencuat secara keras baik di
media cetak maupun media elektronik. Wacana yang sama bahkan sempat
mencuat dalam wacana publik di jalan-jalan. Hal itu terjadi, antara lain,
berkat terbit- nya buku terjemahan karya Antonie C.A. Dake yang berjudul
Sukarno File: Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu
Keruntuhan. Salah satu gagasan pokok dari buku itu adalah bahwa
Sukarno-lah sebenarnya "dalang" dari Peristriwa G30S/1965. Terhadap
buku tersebut telah timbul sikap pro dan kontra di masyarakat.
Sedikit disayangkan, buku karya Dake itu maupun ber bagai tanggapan
yang muncul atasnya lebih banyak berkisar pada pertanyaan-pertanyaan di
seputar siapa sebenarnya "dalang" di balik operasi militer yang dilancarkan
oleh sejum lah perwira Angkatan Darat yang menamakan diri "Gerakan
Tigapuluh September" pada 1 Oktober 1965. Sebagaimana kita tahu, di
bawah pimpinan Letkol Untung kelompok terse but menjemput paksa
sejumlah perwira militer di Jakarta. Penjemputan paksa itu berujung pada
tewasnya tujuh orang perwira militer Angkatan Darat dan seorang putri
Jenderal Nasution. Siapa sebenarnya yang menjadi tokoh kunci dari
operasi militer itu sampai sekarang masih merupakan misteri, dan hal itu
telah menjadi fokus berbagai wacana, termasuk tulisan-tulisan di atas.
Ratusan Ribu
26
Wacana demikian tentu saja amat perlu. Akan tetapi, kalau tak hati-hati
bisa menimbulkan kesan, Tragedi yang terjadi pada tahun 1965 "hanya"-
lah Tragedi terbunuhnya kedelapan tokoh tersebut. Padahal Tragedi yang
terjadi pada tahun 1965 bukan hanya itu. Ada Tragedi lain yang tidak
kalah dahsyatnya, yakni dibunuhnya ratusan ribu warga masyarakat
Indonesia beberapa saat setelah terjadinya peristiwa pembunuhan para
petinggi militer tersebut-apa pun justifikasinya. Mereka dibunuh di Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali dan sejumlah tempat lain di ta- nah air.
Kebanyakan dari mereka yang dibunuh adalah rakyat biasa yang
kemungkinan besar tak ada sangkut-paut langsung dengan operasi militer
yang dilakukan oleh Letkol Untung dan kawan-kawan di Jakarta. Dalam
jumlah besar, mereka dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan.
Sementara itu. banyak yang lolos dari eksekusi ditangkap dan dipenjara
selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan. Sejumlah tokoh liter dan
politik yang diduga terkait dengan operasi militer 1 Oktober 1965 itu
memang diadili oleh suatu mahkamah khu- as, tetapi sejauh mana
pengadilan itu fair masih merupakan tanda tanya. Jumlah yang dibunuh
sedemikian besar, sehingga Nisa jadi merupakan pembunuhan warga sipil
terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini.
Lepas dari siapa yang benar atau siapa yang salah, pem- bunuhan itu
mengingatkan, dalam sejarahnya bangsa kita pernah melakukan
pembantaian terhadap sesama warganya dengan cara dan dalam jumlah
yang amat mengerikan. Oleh karena itu, perlulah Tragedi berdarah tersebut
terus diteliti dan dipelajari, sehingga tindakan di luar perikemanusiaan
yang adil dan beradab semacam itu tak akan terulang di masa depan.
Dalam konteks itu pulalah kiranya penting untuk mencari tahu tidak hanya
siapa dalang di balik pembunuhan. 1 Oktober 1965, melainkan juga dalang
di balik pembunuhan massal pada pekan-pekan terakhir tahun 1965 itu.
Selanjutnya, penting pula mempelajari siapa yang terutama diuntungkan,
27
serta apa saja dampak Tragedi tersebut bagi Indonesia waktu itu, kini dan
di masa depan.
Dalang Pembantaian
Secara teoretis, tampaknya tidak akan terlalu sulit menemu- kan dalang
dari peristiwa tersebut, khususnya pada tingkat nasional. Fakta bahwa
pembunuhan terjadi pada minggu ketiga Oktober di Jawa Tengah, bulan
November di Jawa Timur, dan bulan Desember di Bali menunjukkan,
pembunuhan itu tidak terjadi secara spontan dan serempak. Terkesan ada
koordinasi dan provokasi. Dengan kata lain, ada unsur "koordinator" dan
"provokator"-nya, dan itu penting untuk segera diketahui publik. Seorang
perwira RPKAD memang pernah memimpin dan mengoordinasi operasi
pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan lain-lain, namun
tampaknya dia lebih merupakan semacam "komandan lapangan" saja.
Besar kemungkinan, ada komando yang datang dari pihak yang lebih
tinggi posisinya daripada dia, misalnya dari komando pusat di Jakarta. Ke-
mungkinan macam itu tentu amat penting untuk secepatnya dikaji oleh
masyarakat.
Jika dalam kasus operasi militer yang dilakukan oleh Gerakan Tigapuluh
September dugaan tentang siapa dalang- nya berkisar pada sejumlah pihak
(seperti Bung Karno, PKI, Letkol Untung, Mayjen Soeharto, CIA, dan
lain-lain), dalam kasus pembunuhan massal 1965 dugaan serupa bisa lebih
dipersempit. Bung Karno tentu bukan dalangnya, karena tak ada tanda-
tanda dia pernah berpikir membunuh secara massal anggota Partai
komunis atau partai politik apa pun di negeri ini. Letkol Untung tentunya
juga bukan, karena pada tanggal 2 Oktober 1965 gerakan yang
dipimpinnya telah gagal dan ia melarikan diri. PKI juga tentu tidak, karena
justru mereka- lah korban pembunuhan massal itu. Akhirnya, yang tinggal
hanyalah sedikit kemungkinan, dan itu mendesak untuk segera diteliti
28
lebih lanjut. Dengan begitu, diharapkan penelitian dan wacana tentang
Tragedi 1965 tidak lagi hanya berkisar pada pencarian dalang Gerakan
Tigapuluh September saja, melain- kan juga dalang dari pembantaian
massal 1965-1966. Dengan kata lain, bahkan jika dalang dari operasi
militer 1 Oktober 1965 itu telah ditemukan, masyarakat masih harus
mencari siapa
Hingga saat ini, masih belum terjawab siapakah dalang sebenarnya dari
semua tragedy ini dan mungkin tidak akan pernah terungkap sampai
kapanpun itu.
Tan Swie Ling dalam bukunya yang berjudul. G30S 1965, Perang Dingin
dan Kehancuran Nasionalisme, yang terbit pada tahun 2010 memberikan kita
aspek sudut pandang baru mengenai pasca peristiwa G30S dan apa
dampaknya terhadap beberapa golongan masyarakat. Buku ini berkisah
tentang pengalaman hidupnya selama dia menjadi tahanan perang korban
kekejaman Orba. Jika kita telik kebelakang hal ini sudah sempat disinggung
meski masih berupa konspirasi. Namun ada baiknya kita berintropeksi diri
“sudahkah kita layak untuk menilai orang lain atas apa yang mereka tidak
lakukan?” pertanyaan tersebut penulis sematkan teruntuk para pembaca,
berharap bangsa ini tidak melakukan kesalahan yang sama.
29
B. Nawaksara / Pel Nawaksara
22 Juni 1966
Saudara-saudara sekalian.
I. RETROSPEKSI
Saya menerima pengangkatan itu de- ngan sungguh rasa terharu, karena
MPRS sebagai Perwakilan rakyat yang tertinggi di dalam Republik
Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah
"PEMIMPIN BESAR REVOLUSI RAKYAT INDONESIA".
30
Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal ini bagi saya membawa
konsekuensi yang amat berat, oleh karena seperti saudara-sau- dara juga
mengetahui, PEMIMPIN memba- wa pertanggungan jawab yang amat
berat sekali!
Saya Insya Allah, akan beri pimpinan kepada Indonesia kepada rakyat
Indonesia, kepada saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang
pertanggungjawab dan kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang Maha Murah dan Maha Asih, selalu memberikan bantuan
kepada saya secukup-cukupnya!
Sebaliknya kepada MPRS dan kepada Rakyat Indonesia sendiri, hal inipun
mem- bawa konsekuensi. Tempo hari saya ber- kata, "Jikalau benar dan
jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat men- jadi
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, termasuk
juga segenap Anggota MPRS, untuk selalu me ngikuti melaksanakan,
memfi'ilkan segala apa yang saya berikan dalam pimpinan itu!
Pertanggunganjawab yang MPRS, sebaga Lembaga Tertinggi Republik
Indonesia le- takkan di atas pundak saya, adalah suatu
pertanggunganjawab yang berat sekali, te- tapi dengan ridho Allah SWT
dan dengan bantuan seluruh rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya juga
saudara-saudara para ang gota MPRS sendiri, saya percaya bahwa Insya
Allah, apa yang digariskan oleh Pola Pem- bangunan itu dalam 8 tahun
akan terlak sana!
Saudara-saudara sekalian,
31
Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi saya
pun-dan dengan saya semua kekuatan-kekuatan pro- gresif revolusioner di
dalam masyarakat kita yang tak pernah absen dalam kancahnya revolusi
kita - saya pun yakin seyakin-ya- kinnya, bahwa tiap revolusi mensyarat
mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih lagi revolusi nasional
kita yang multi kompleks sekarang ini, dan yang berhari depan Sosialisme
Pancasila. Revo lusi demikian tak mungkin tanpa adanya pimpinan. Dan
pimpinan itu jelas tercermin dalam tri kesatuannya RE-SO-PIM, yaitu
Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasi- onal.
Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di
segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggung- anjawab saya terhadap
MPRS, pimpinan itu terutama menyangkut garis-garis be- sarnya. inipun
adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa
Undang-Undang Dasar 1945, yang menu- gaskan kepada MPRS untuk
menetapkan garis-garis besar haluan negara. Saya te- kankan garis-garis
besarnya saja dari ha- luan negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan
aksara kemurnian Undang-Undang Dasar 1945, apabila MPRS jatuh
terpelanting kembali ke dalam alam liberale democratie, dengan beradu
debat yang bertele-tele ten- tang garis-garis kecil, di mana masing-ma-
sing golongan beradu untuk memenangkan kepentingan golongan dan
mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan rakyat
banyak, kepentingan revolusi kita! Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada
jiwa Pancasila yang telah kita pancarkan ber- sama dalam Manipol-Usdek
sebagai garis-garis besar haluan negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi,
maka saya telah mendasar- kan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah
SAW: "Kamu sekalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan
diminta pertang- gunganjawabnya tentang kepemimpinannya itu di hari
kemudian."
Saudara-saudara sekalian
Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan
dalam amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi. Dan Saudara-saudara
telah mem- benarkan Amanat itu, terbukti dengan Ke- tetapan MPRS No.
IV/1963, yang men- jadikan Resopim dan Ambeg Parama-Arta masing-
masing sebagai pedoman pelak_ sanaan garis-garis besar haluan negara,
dan sebagai landasan kerja dalam melaksana- kan Konsepsi Pembangunan
seperti terkan- dung dalam Ketetapan MPRS No. I dan II tahun 1960.
32
3. Pengertian Presiden seumur hidup
Masalah dalam Sidang Umum MPRS II pada bulan Mei tahun 1963 itu
Saudara- saudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden seumur
hidup. Dan pada waktu itu pun saya telah menjawab kepu tusan saudara-
saudara itu dengan kata- kata: "Alangkah baiknya jikalau nanti MPR, yaitu
MPR hasil pemilihan umum, masih meninjau soal ini kembali." Dan se
karang ini pun saya masih tetap berpen dapat demikian!
1. Trisakti
Saya sangat gembira sekali, bahwa Ama- nat-amanat saya itu dulu, baik
"Ambeg Pa- rama-Arta", maupun "Berdikari" telah Sau- dara-saudara
tetapkan sebagai landasan- kerja dan pedoman pelaksanaan Pemba-
ngunan Nasional Sementara Berencana untuk masa 3 tahun yang akan
datang, yaitu sisa jangka waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d
1968 dengan landasan: "Ber- dikari di atas Kaki Sendiri" dalam ekonomi.
33
hanya membenarkan saja, melainkan juga menjadikannya sebagai
landasan-kerja serta pedoman bagi kita semua, ya bagi Presiden/
Mandataris MPRS/Perdana Menteri, ya ba- gi MPRS sendiri, ya bagi
DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan ormas-
ormas, ya bagi ABRI, dan bagi se- luruh rakyat kita dari Sabang sampai
Merau- ke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat.
3. Pengertian Berdikari
Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang telah
saya nya- takan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu pidato
TAKARI, bahwa berdi- kari tidak berarti mengurangi, melainkan
memperluas kerjasama internasional, teru- tama di antara semua negara
yang baru mer- deka.
34
Dan di dalam Rencana Ekonomi Per- juangan yang saya sampaikan
bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa: "Berdikari
bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus meru. pakan
prinsip dari cara kita mencapai tu. juan itu, prinsip untuk melaksanakan
pem- bangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara
atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak
berarti bahwa kita tidak mau kerjasa- ma berdasarkan sama-derajat, dan
saling menguntungkan".
Dalam rangka pengertian politik Ber- dikari demikian inilah, kita harus
menang- gulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekonomi kita dewasa ini,
baik yang hubung. an dengan inflasi maupun yang hubungan dengan
pembayaran hutang-hutang luar negeri kita.
Dekon kita pun adalah Manipol di bi- dang ekonomi, atau dengan kata lain
per kataan "political-economy"-nya pemba ngunan kita. Dekon merupakan
strategi umum, dan strategi umum di bidang pem- bangunan 3 tahun di
depan kita, yaitu tahun 1966-1968, didasarkan atas pemeliharaan
hubungan yang tepat antara keperluan un- tuk melaksanakan tugas politik
dan tugas ekonomi.
35
Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat dan
bergerak cepat, yang mau tidak mau mengharuskan semua Lembaga-
lembaga demokrasi kita untuk bergerak cepat pula tanpa menyele wengkan
Demokrasi Terpimpin kita ke arah Demokrasi Liberal.
Jiwa kesatuan antara kedua pejabat ne- gara ini, serta pembagian tugas dan
wewe- nang seperti yang ditentukan dalam Un- dang-Undang Dasar 1945
hendaknya kita sadari sepenuhnya.
VIII. PENUTUP
36
dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembar- an baru dalam sejarah
kelanjutannya revo-
Lebih dahulu tentang hal laporan program ini. Laporan progress itu saya
simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan golongan, sembilan punt. Maka
oleh karena itu saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu
sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pida- to saya, ada
yang bernama Resopim, ada yang bernama Gesuri, dan lain-lain
sebagainya. Ama- nat saya ini, saya beri judul apa? Sembilan per- kara,
pokok, pokok, pokok, pokok, saya tulis- kan di dalam amanat ini. Karena
itu saya ingin memberi nama kepada amanat ini, kepada pi- dato ini
"Pidato Sembilan Pokok", Sembilan ya sembilan apa? Kita itu biasa
memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat- amanat,
bahkan kita sering memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya
perkataan Sans- krit. Catur Pra Setia, catur empat, setia, kesetia- an. Panca
Azimat, Panca adalah lima. Ini sembi- lan pokok, ini saya namakan apa?
Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah "Nawa" Eka, Dwi, Tri Catur,
Panca, enam-syam tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, se- puluh-
dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan.
"Nawa". "Nawa" apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama "NAWA
AKSARA", DUS "NAWA AKSARA" atau kalau mau disingkat
"NAWAKSARA". Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama
"Sem- bilan Ucapan Presiden", "NAWASABDA". Nanti kalau saya kasih
nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: "Uh, uh, Pre- siden
bersabda". Sabda itu seperti raja bersab- da. Tidak, saya tidak mau
memakai perkataan "sabda" itu, saya mau memakai perkataan "Ak- sara":
bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan
sebagainya. NA- WA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya
berikan kepada pidato ini. Saya pi- dato minta wartawan-wartawan
mengumum- kan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden
NAWAKSARA.
Kemudian saya mau menyampaikan be- berapa patah kata mengenai diri
saya Sendiri. Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa tatkala saya
masih muda, masih amat muda se- kali, bahwa saya miskin dan oleh
karena saya miskin, demikianlan saya sering ucapkan: "Sa- ya tinggalkan
this material world. Dunia jasmani sekarang ini laksana saya tinggalkan,
37
karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada
saya, oleh karena saya miskin".
Maka saya meninggalkan dunia jasmani in dan saya masuk kategori dalam
pidato ketera ngan-keterangan yang sering masuk ke dalam world of the
mind. Saya meninggalkan dunia yang material ini, saya masuk di dalam
world of the mind. Dunianya alam cipta, dunia khayal, du- nia pikiran.
Dan telah sering saya katakan bah saya besar dari sega- wa di dalam world
of the mind itu, di situ berjumpa dengan orang-orang la bangsa dan segala
negara. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan nabi-nabi
besar, di dalam world of the mind itu saya berjum- pa dengan falsafah, ahli
falsafah besar. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pe
mimpin-pemimpin bangsa yang besar, dan di dalam world of the mind itu
saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber
besar.
Sesudah saya baca kalimat itu dan renung kan kalimat itu, bukan saja saya
tertarik kepada cause of freedom daripada bangsa saya sendiri dan bukan
saja saya tertarik pada cause of freedom daripada seluruh umat manusia di
dunia ini, tetapi saya karena tertarik kepada cause of freedom ini saya
ingin menyumbangkan diriku kepada deathless cause ini, deathless cause
of my own people, deathless service. Pengabdian kepada perjuangan
kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan, itupun tidak mengenai
maut, ti- dak mengenal habis. Pengabdian yang sungguh- sungguh
pengabdian, bukan service yang hanya lip-service, tetapi service yang
betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang betul-betul pengab- dian,
service yang demikian itu adalah deathless service.
Dan saya tertarik oleh saya punya pendapat sendiri, pendapat pemimpin
besar daripada bangsa yang saya sitir itu tadi, yang berkata "the cause of
freedom is a deathless cause". Saya berkata "not only the cause of freedom
is a deathless cause, but also the service of freedom is a deathless service".
38
mengenal maut. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur,
badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan, manusia
bisa dimasukkan di dalam penjara, b dan manusia bisa ditembak mati,
badan manusia bisa di buang ke pengasingan yang jauh daripada tempat
kelahiran, tetapi ia punya service of free dom tidak bisa ditembak mati,
tidak bisa dike rangkeng, tidak bisa dibuang di tempat peng asingan, tidak
bisa ditembak mati.
Karena itu maka saya terus, terus, terus sela- lu memohon kepada Allah
SWT, agar saya dibe- ri kesempatan untuk ikut menjalankan aku pu nya
service of freedom' ini. Tuhan yang menentu kan. De mens wikt, God
beslist, manusia bisa ber- kehendak macam-macam, Tuhan yang menen-
tukan. Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu.
Cuma saya juga dihadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah
saya kesempatan, kekuatan, taufik, hi- dayah untuk dedicate may self to
this great cause of freedom and to this great service.
Tentang
39
Tanggapan Majelis terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di
Depan Sidang Umum IV MPRS pada Tanggal 22 Juni 1966 yang
Berjudul Nawaksara
Mengingat
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2), pasal 2 ayat (3), dan pasal 4.
Mendengar:
Permusyawaratan dalam rapat-rapat MP dari tanggal 20 Juni sampai
dengan 5 juli 1966
MEMUTUSKAN
40
INDONESIA TER HADAP PIDATO PRESIDEN/MANDATARIS MPRS
DI DEPAN SIDANG UMUM IV MPRS PADA TANGGAL 22 JUNI
1966 YANG BERJU DUL NAWAKSARA
Pasal 1
Pasal 2
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal: 5 Juli 1966
Ketua,
41
Setelah penyampaian pidato tersebut, Bung Karno kembali
menyampaikan sebuah pelengkap bagi pidato Nawaksara pada 10 Januari
1967. Berikut isi pelengkap pidato tersebut…
No. : 01/Pres/67
Di Jakarta
Saudara-saudara,
Namun "for the sake of state-speech-ma- king", maka atas kehendak saya
sendiri saya mengucapkan "Nawaksara" itu.
42
Ampera khususnya dengan Pengemban S.P. 11 Maret 1966, dan para
Panglima Ang. katan Bersenjata beberapa kali, dengan ini saya
menyampaikan penjelasan-penjelasan sebagai pelengkapan Nawaksara
sebagai berikut:
Untuk itu, maka perlu kita kembali ke- pada prinsip perjuangan yang
berulang- ulang saya tandaskan, yaitu: pemupukan persatuan dan kesatuan
di antara segenap kekuatan progresif revolusioner di kalang an rakyat
Indonesia, serta menekankan ke- pada kewaspadaan istimewa terhadap ba
haya kekuatan kontra revolusi di dalam ne gara dan bahaya kekuatan
subversi-kontra revolusioner dari luar negeri.
Untuk memenuhi permintaan saudara saudara kepada saya mengenai
penilaian terhadap peristiwa G.30.5, maka saya sen diri nyatakan: a) G30S
ada satu "complete over-rompeling" bagi saya
b) Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan da- Jam pidato 5 Oktober 1966
saya berkata: "Sudah terang Gestok kita kutuk." Dan saya, saya
mengutuknya pula.
Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas,
bah- wa "Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan
MAHMILLUB". c) Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban SP 11
Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro' dan Mi'raj di Istana
Negara y.I., yang antara lain berbunyi: "Setelah saya mencoba memahami
pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal
5 Okto- ber 1966, dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya
sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 Sep- tember
yang didalangi oleh PKI berkesim- pulan, bahwa Bapak Presiden juga
telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI walaupun Bapak Presiden
menggunakan istilah "Gestok".
Autorisasi ini saya berikan kepada Jen deral Soeharto, pagi sebelum ia
mengucap kan pidato itu pada malam - harinya di Is tana Negara.
43
pagi sekali. Saya menyebutnya "gerakan satu Oktober", singkatnya
Gestok.
Syukur Alhamdulillah, saya dalam semua pe- ristiwa itu dilindungi oleh
Tuhan! Kalau ti- dak, tentu saya sudah mati terbunuh! Dan mungkin akan
Saudara namakan satu "tra- gedi nasional" pula. Tetapi sekali lagi saya
menanya: Kalau saya disuruh bertanggung- jawab atas terjadinya G-30-S,
maka saya me- nanya: Siapa yang dimintai pertanggung- jawab atas usaha
pembunuhan kepada Pre- siden/Pangti, dalam tujuh peristiwa yang saya
sebutkan di atas itu?
Kalau bicara tentang "Kebenaran dan Keadilan" maka saya pun minta
"Kebenaran dan Keadilan".
44
adalah satu resultante daripada proses faktor-faktor obyektif dan
masyarakat.
Satu contoh pertanyaan Siapakah yang bertanggungjawab atas terus
menanjaknya harga harga dewasa ini, dan macetnya ba nyak perusahaan
perusahaan swasta?
Sebagaimana telah saya kemukakan dalam salah satu pidato saya, maka
meng konstatir bahwa dengan adanya peristiwa peristiwa seperti DI/TII.
PKI Madiun, Andi Azis RMS. PRRI/Permesta (juga di sini saya menanya:
Siapa yang harus bertang gungjawab)-maka kita tidak boleh tidak tentu
mengalami kemunduran di segala bi dang dengan sendirinya kemunduran
itu g
Mengenai soal akhlak, perlu dimaklumi bahwa akhlak pada suatu waktu
adalah ha sil perkembangan daripada proses kesadaran dan lakutindak
masyarakat dalam keselu ruhannya, yang tidak mungkin disebabkan oleh
satu orang saja.
Wassalam
Presiden/Mandataris MPRS
45
Sukarno”
(Arifin, 2019 : 62 - 69)
Pada akhirnya Pidato Nawaksara ini ditolak oleh MPRS dan soekarno,
mau tidak mau harus turun dari jabatannya sebagai presiden kala itu, diganti
oleh Pak Harto yang nama beserta kedudukannya sangat kuat kala itu, setelah
terjadi G30S atau yang lumrah disebut Gestok.
C. Pasca Nawaksara
46
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS
PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang:
a. Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti
hakikatnya bertentangan dengan Pancasila;
b. Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang meng-
anut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khusus- nya
Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik
Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha mero- bohkan
kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan
kekerasan;
c. Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas terhadap
Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang
menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Ko-
munisme/Marxisme-Leninisme;
Mengingat:
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3),
Mendengar:
Permusyawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari tanggal 20 Juni sampai
dengan 5 Juli 1966.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KETETAPAN TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS
INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG
DI SELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI
PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP
KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN
PAHAM ATAU AJARAN KOMUNISME/MARXISME-LENINISME.”
(David Bourchier, 2006 : 45 – 46)
Ya, kebijakan yang diambil oleh Orba tidak lain dan tidak bukan adalah
pelarangan parti berbau Marxisme di Indonesia. Tidak mengherankan
mengingat peristiwa G30S lah penyebab pergantian kekuasaan.
“Dwifungsi ABRI
47
Di Indonesia, ABRI lahir dari rakyat dan di tengah-tengah rakyat sejak
meletusnya revolusi fisik dalam perjuangan melawan penjajah demi
tercapainya kemerdekaan. Sejak tercapainya kemerdekaan nasional, ABRI
ikut berjuang bersama seluruh rakyat dalam mengisi kemerde- kaan. Oleh
karena itu ABRI di Indonesia bukanlah semata-mata tentara profesional
sebagai alat Hankam, melainkan juga sebagai suatu kekuatan sosial. Hal
ini merupakan suatu fakta dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Sejak
semula ABRI telah melaksanakan kedua fungsi itu, yang kini dikenal
sebagai dwifungsi ABRI
1. Pelita l
48
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974. Program ini
menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru. Tujuan Pelita 1 adalah
meningkatkan taraf hidup rakyat, dan sekaligus meletakkan dasar-dasar
bagi pembangunan dalam tahap berikutnya. Sasaran Pelita 1 adalah
pangan, sandang. perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Program ini menitikberatkan
pada pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaruan bidang pertanian,
karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian
2. Pelita II
Dilaksanakan pada 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979, Sasaran utamanya
adalah tersedianya pangan, sandang, peru- mahan, sarana dan prasarana,
menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan
Pelita II cukup berhasil. Pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per
tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru, laju inflasi men- capai 60%.
Pada akhir Pelita 1, laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya, pada
tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
3. Pelita III
Dilaksanakan pada 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita. III
pembangunan masih mendasarkan pada Trilogi Pemba ngunan, dengan
penekanan pada segi pemerataan yang dikenal sebagai Delapan Jalur
Pemerataan, yaitu sebagai berikut:
a. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat,khususnya sandang,
pangan dan perumahan.
b. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan
Kesehatan
c..Pemerataan pembagian pendapatan.
d. Pemerataan kesempatan kerja.Pemerataan kesempatan berusaha.
f. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pemba- ngunan, khususnya
bagi generasi muda dan kaum perempuan Pemerataan penyebaran
pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
h. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
49
4. Pelita IV
Dilaksanakan pada 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya
adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi
pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian
Indonesia. Peme rintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan
fiskal Sehingga, kelangsungan pembangunan ekonomi dapat
dipertahankan.
5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994, Titik
beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiliki kondisi
ekonomi yang cukup baik dengan pertum buhan ekonomi rata-rata 6,8%
per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang
menggembirakan Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya
masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan
industri dan pertanian, serta pembangunan dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang
sebagai penggerak utana pembangunan. Pada periode ini, terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam geri yang mengganggu
perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.” (Jonar T.H.
Situmorang, 2016 : 250 – 252).
Sistem Pendidikan juga coba dikuatkan lagi, khususnya Pendidikan
kewarganegaraan yang digunakan sebagai doktrin agar paham-paham lain
tidak masuk ke Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
50
Kepustakaan Populer Indonesia.
Reeve, David. 2013. GOLKAR Sejarah yang Hilang Akar Pemikiran dan
Dinamika. Depok: Komunitas Bambu.
Fic, Victor M. 2005. Kudeta 1 Oktober 1965 sebuah studi tentang konspirasi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dhakidae, Daniel. 2013. Soekarno: membongkar sisi-sisi hidup putra sang fajar,
Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Arifin. 2019. Bung Karno, Nawaksara, dan G30S, Yogyakarta: Media Pressindo.
Ling, Tan Swie. 2010. G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme,
Depok: Komunitas Bambu.
Hasugian, DJ. 1992. Lahirnya Surat Perintah 11 Maret, Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Luhulima, James. 2007. Menyingkap dua hari tergelap di tahun 1965 : melihat
peristiwa G30S dari perspektif lain, Jakarta: Kompas.
Bourchier, David. 2006. Pemikiran sosial dan politik Indonesia periode 1965-
1999,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Suci, Alfred. 2015. Top secret konspirasi membongkar tuntas kasus konspirasi
yang belum pernah terungkap, Jakarta, Phoenix.
Harsono, Ganis. 1985. Cakrawala Politik Era Soekarno, Jakarta : Inti Idaayu
Press.
51
Galangpress.
Aning S, Floriberta. dkk. 2005. 100 tokoh yang mengubah Indonesia : biografi
singkat seratus tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia di abad 20,
Yogyakarta: Narasi.
Susan, Novri. 2012. Negara Gagal Mengelola Konflik Demokrasi dan Tata
Kelola
Konflik di Indonesia, Makassar: Universitas 45.
DS, Herman. 2015. Mengurai Kabut Pekat Dalang G30S, Yogyakarta: Palapa.
Haris, Syamsudin. 1995. Menelaah kembali format politik orde baru, Jakarta:
Gramedia.
52
53