Anda di halaman 1dari 55

NAWAKSARA / PEL NAWAKSARA

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Perjuangan Bangsa


pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Oleh

Mochammad Salman Alfarizi NPM 22500008


Leonardi Azaryandani H.A NPM 22500041

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PASUNDAN
CIMAHI
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

A. Latar belakang...........................................................................................1
B. Rumusan masalah......................................................................................1
C. Tujuan penulisan.......................................................................................2

BAB II NAWAKSARA / PEL NAWAKSARA ..........................................3

A. Pra Nawaksara...........................................................................................3
a. Pemilu (1955)......................................................................................3
b. Politik 4 Kaki.......................................................................................5
c. Golkar (1959)......................................................................................5
d. Dekrit Presiden (1959)........................................................................9
e. Manipol USDEK.................................................................................9
f. G30S....................................................................................................12
B. Nawaksara / Pel Nawaksara......................................................................29
C. Dampak Pasca Nawaksara.........................................................................45

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................50

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Nawaksara merupakan sebuah pidato pertanggungjawaban Soekarno yang
disampaikan saat sidang MPRS yang berlangsung tanggal 22 Juni 1966. Dalam
Bahasa Sangsakerta Nawaksara sendiri memiliki arti Sembilan Aksara.
Nawaksara bisa dikata sebagai titik balik peralihan dari masa pemerintahan
Orde Lama ke era pemerintahan Orde baru. Peristiwa-peristiwa yang berkenaan
dengan peralihan Orde Lama ke Orde Baru pastilah erat kaitannya dengan Tragedi
G30S, bahkan Nawaksara juga bisa dibilang menjadi usaha terakhir Bung Karno
untuk mempertahankan jabatan beserta nama baiknya selepas terjadinya peristiwa
G30S tersebut.
Terlalu banyaknya pihak yang terlibat dan adanya intervensi antara Blok
Barat dan Blok Timur menciptakan banyaknya sejarah yang simpang siur dan
juga disembunyikan. Pada akhirnya hal tersebut mengakibatkan banyaknya sudut
pandang dari beberapa pihak, konspirasi yang bermunculan, dan juga
keberpihakan terhadap dua kubu besar dunia yang diakibatkan oleh sebuah
pertanyaan “Siapa pelaku sebenarnya dari peristiwa G30S…?”
Hal tersebutlah yang coba diungkap penulis, melalui berbagai sumber buku
dengan sudut pandang berbeda pada masing-masingnya yang mencakup setiap
peristiwa penting mengenai Nawaksara yang juga mencakup Sebelum dan
Sesudahnya.

B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dalam Makalah kali ini, nyaitu :
1. Bagaimana rentetan peristiwa yang terjadi sebelum baik dan sesudah
dibacakannya Nawaksara / Pel Nawaksara?

1
2. Bagaimana sudut pandang banyak pihak terhadap terjadinya peristiwa
G30S dan siapa saja yang dianggap bertanggung jawab terhadap peristiwa
tersebut?
3. Apa saja teori dan fakta-fakta dibalik rentetan peristiwa tersebut?

C. Tujuan Penulisan
Memberikan pengetahuan baik kepada pembaca maupun penulis
mengenai Nawaksara / Pel Nawaksara , beserta peristiwa-peristiwa sejarah
yang meliputinya.

2
BAB II
NAWAKSARA / PEL NAWAKSARA

A. Pra Nawaksara

Pra Nawaksara ini akan berfokus pada kejadian-kejadian penting


yang terjadi sebelum disampaikannya pidato pertanggung jawaban
tersebut dan memiliki kaitan erat dengan terjadinya Nawaksara / Pel
Nawaksara.

a. Pemilu (1955)

Pemilu 1955 memiliki peran penting dalam sejarah demokrasi Indonesia.


Pemilu yang dilaksanakan untuk memillih anggota Legislatif ini menjadi
penentu awal dari nampaknya kekuatan politik partai di Indonesia. Pemilu
1955 ini akan menjadi rantai awal dari rentetan peristiwa Nawaksara yang
akan dijelaskan berikutnya.

“PEMILIHAN umum yang diadakan pada September dan Desember 1955


sebagai suatu eksperimen demokrasi… menyusul sedikit pengalaman
dengan pemilihan umum propinsi dan kotapraja. Pemilihan anggota
Volksraad (Dewan Rakyat) sebelum Perang Dunia II, yang
diselenggarakan dengan pemilih yang sangat terbatas… hak pilih
diberikan kepada seluruh warga negara Indonesia yang berusia di atas 18
tahun atau sudah kawin. Karena belum ada lembaga pemilihan umum
yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab
bersama pemerintah dan panitia-panitia yang beranggotakan wakil
partai…” (Herbert Feith, 1999 : 1)

Dapat diketahui dari kutipan di atas bahwa Pemilu pertama di Indonesia


ini mengambil taring pengalaman dari Pemilihan Volksraad (Dewan Rakyat)
pada zaman Hindia Belanda, tepatnya sebelum meletusnya PD 2. Belum
dibentuknya Lembaga pemilihan umum juga menyebabkan berjalannya

3
pemungutan suara menjadi tanggung jawab Bersama pemerintah dan wakil
partai.

“Setelah perdebatan dalam Dewan Keamanan PBB yang diadakan


menyusul Agresi Belanda II terhadap Republik Indonesia pada Desember
1948, ada tanda-tanda pada mulanya pengakuan kedaulatan penuh akan
diperoleh Indonesia melalui pemilihan umum yang diawasi PBB. Tetapi
cara penyelesaian ini terpotong dengan munculnya "Jalan Baru", rangkaian
perundingan langsung antara Indonesia dan Belanda yang berujung dengan
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Berdasarkan hasil KMB
itulah Indonesia menjadi negara berdaulat penuh pada 27 Desember
1949… Sejak 1950, janji-janji mengenai pemilihan umum nasional sudah
sering dikemukakan oleh berbagai kabinet, akan tetapi langkah-langkah
nyata ke arah itu selalu terhambat oleh gabungan berbagai faktor.
Termasuk ke dalam hambatan itu, timbulnya urusan pemerintahan yang
lebih mendesak dan gerakan menentang pemilihan umum yang
dilancarkan oleh sejumlah partai serta kelompok-kelompok anggota
Parlemen sementara…” (Herbert Feith 1999 : 3)

Terjadinya Pemilu 1955 juga tidak lepas kaitannya dengan Konferensi


Meja Bundar (KMB) dan janji para pemerintah setelahnya, mengenai
pelaksaan Pemilu sebagai wujud Demokrasi di Indonesia. Banyaknya
pertentangan, hambatan, dan seringnya pergantian kabinet menyebabkan
diundurnya Pemilu ini jauh dari awal direncanakan, Diawali oleh kabinet
Wilopo, dilanjut kabinet Ali Amidjojo, dan Terlaksana pada kabinet
Burhanudin.

Pemilu berhasil dilaksanakan dengan jumlah pemilih yang terdaftar


berkisar 43.104.404 orang. Pemilihan dibagi ke dalam 16 wilayah, dengan 10
buah partai yang dapat dipilih, dan 24 kelompok baik nasional maupun
daerah yang dapat dipilih. Pemilihan juga ditentukan dengan penyediaan
kursi yang dihitung per persennya berdasarkan partai yang dipilih, jadi bagi

4
siapa yang akan duduk di kursi itu ditentukan oleh partai yang telah dipilih
berdasarkan kursi yang disediakan hasil dari Pemilu.

Bagaimanapun juga inti dari Pemilu 1955 pada materi kali ini terletak
pada 4 Partai yang paling mendominasi pada Pemilu 1955 ini, nyaitu PNI,
Masyumi, Nahdatul Ulama, dan PKI. Nantinya ini akan berhubungan dengan
materi berikutnya, Kabinet 4 kaki.

b. Kabinet 4 kaki

Terhubung dengan materi sebelumnya Kabinet 4 kaki terbentuk dari


empat buab partai yang paling mendominasi kala itu, partai-partai yang
dimaksud tersebut adalah Partai Nasional Indoonesia (PNI), Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU), dan Partai Komunis
Indonesia (PKI).

c. Golkar (1959)

Lahir dari sebuah gagasan, sebuah ide kolektiv atau korporatis alias
integralistik tentang bagaimana negara harus diorganisasi. Gagasan ini telah
diajukan bahkan semenjak tahun 1940-an, beberapa tahun sebelum Indonesia
Merdeka. Sedangkat untuk wujud organisasinya baru beroperasi pada tahun
1950-an dengan nama Golongan Karya atau yang sering disingkat Golkar.
Ada tiga tahap yang dilalui oleh Golkar dalam perkembangan sejarahnya.
Golkar secara resmi didirikan pada 20 Oktober 1964 atas rongrongan dari PKI
beserta Ormas-ormasnya.

“Dalam tahap pertama organisasi ini, 1957-1965, organisasi-organisasi


Golkar berubah dari melawan semua partai menjadi rival politik bagi
sebuah partai tunggal, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahap
kedua, 1968-1998, organisasi Golkar digunakan untuk menjadi kendaraan
elektoral bagi militer dan Orde Baru. Pada tahap ketiga, 1998 hingga
sekarang, Golkar sendiri ironisnya berubah menjadi sebuah partai dan

5
diambil alih oleh para pengusaha. Gagasan-gagasan asli telah didorong ke
pinggiran.” (David Reeve, 2013 : xiii)

Dalam kutipan diatas dijelaskan mengenai tiga buah tahap yang dilalui
oleh Golkar selama perkembangannya. Ketiga tahapan tersebut terdapat pada
tiga era politik yang berbeda di Indonesia, namun yang akan dibahas kali ini
hanya dua era saja yaitu Orde Lama dan Orde baru, Dimulai dari tahun 1959…

“Hubungan antara Sukarno, pimpinan Angkatan Darat dan PKI sejak 1959
hingga 1962 adalah "konflik yang stabil", yaitu "keseimbangan kekuasaan
yang canggung namun relatif stabil". Sukarno dipandang telah berhasil
menjaga "tingkat stabilitas yang mengagumkan dalam situasi yang tidak
stabil" tersebut'. Sisi lain stabilitas ini yakni tidak satu pun dari ketiga
aktor utama memperoleh apa yang diinginkan. PKI tidak dilibatkan dalam
sistem politik dengan kekuasaan yang sesuai ukuran dan kekuatannya.
Tidak ada kabinet gotong royong dan pemimpin Angkatan Darat yang
berusaha sekuat tenaga meminimalkan peran PKI dalam institusi-institusi
Demokrasi Terpimpin lainnya. Pemimpin Angkatan Darat tidak puas
terhadap peran partai yang terus berlangsung dan dengan apa yang telah
menyimpang dari strategi "100 persen golongan karya". Rencana Sukarno
sendiri mencakup pengaturan sistem partai dan kemudian menjalankan
langkah transformasi melalui golongan karya. Walaupun peraturan
berlanjut dengan baik, rencana transformasi itu makin melemah dan
ditinggalkan pada akhir 1962.

Sistem yang baru tentu saja sangat berbeda dengan demokrasi "liberal"
dekade 1950-an. Sistem ini memang telah menetapkan peran kuat Sukarno
dan Angkatan Darat yang tidak disediakan UUDS 1950. Pada awalnya
sistem ini mengintimidasi dan mengatur 10 partai politik yang bisa
diterima presiden. Sebanyak 19 partai kecil lainnya dihapuskan. Masyumi
dan PSI, yang memiliki pengaruh dan secara ideologi bermusuhan dengan
presiden, dipaksa membubarkan diri pada 1960 dengan alasan terlibat
dalam PRRI-Permesta. Tetapi, sisi pemilu "model baru" Front Nasional

6
golongan karya dari opsi "semiradikal" gagal terwujud. Upaya
menciptakan tiga golongan karya utama pada 1960 mengalami kegagalan.
Perundang-undangan yang bertujuan untuk menarik golongan petani dan
pekerja supaya berpartisipasi secara antusias dalam hal ekonomi bisa
dikeluarkan, tetapi penerapannya dihalang-halangi oleh kekuatan pemilik
tanah, militer dan birokrasi. Pada 1963, Perundang-undangan ini bahas
menjadi sarana PKI untuk mempromosikan perannya sebagai pembela
kepentingan buruh dan petani.

Nasution yang menulis pada akhir dekade 1960-an telah keras Sukarno
karena "menyimpang" dari strategi "100 persen golonge karya" sejak 1959
dan kembali pada partai-partai-"presiden semakin menjauh dari konsep
semula dan konsep pimpinan TNI", tanpa perlu mengakui bahwa aktivitas
politik Angkatan Darat yang agresif merupakan pendorong Sukarno ke
arah itu.” (David Revee, 2013 : 171-172)

Pada awal masa Orde Lama bisa dikatakan Soekarno berhasil menjalin
hubungan yang stabil dan seimbang antara Angkatan Darat dan PKI, namun
pada akhirnya konflik terjadi juga. Angkatan Darat yang terus menekan
manuver politik dari PKI selama di pemertintahan menciptakan ketegangan
diantara kedua belah pihak. Di sisi lain, Bung Karno yang tengah menjalankan
upayanya membentuk partai-partai berdasarkan Golongan karya (Strategi
100% Golongan Karya) gagal terlaksana, meski pembubaran beberapa partai
termasuk PNI dan Masyumi telah berhasil. Namun strategi tersebut gagal
terealisasi dan menciptakan celah bagi PKI untuk menyebarkan pahamnya
sebagai partai yang dianggap pro rakyat kala itu.

Pada tahun 1966 semenjak diturunkannya Bung Karno dari jabatan dan
digantikan oleh Soeharto, mulai banyak hal yang berubah dari sini pada
Golongan karya…

“Pada pemilu 3 Juli 1971, Sekber Golkar memperoleh 62,8 persen suara
sehingga mendapatkan 236 dari 360 kursi anggota dalam DPR. Jumlah

7
kursi ini masih ditambah dengan 100 kursi yang akan diisi anggota yang
diangkat pemerintah. Jumlah suara terbesar partai 18,7 persen diperoleh
NU, sedangkan PNI hanya mendapatkan 6,9 persen dan Parmusi, penerus
Masyumi, hanya 5,4 persen. Hampir 15 tahun setelah pidato "mengubur
partai-partai" Sukarno pada 1956, pemimpin Orde Baru yang didominasi
Angkatan Darat hampir berhasil mencapai apa yang didukung Sukarno.

Cara pemerintah Orde Baru melakukan kampanye pemilu adalah ciri khas
sebuah rezim baru: penggunaan sumberdaya Departemen Dalam Negeri
serta Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) untuk memastikan
penegasan bagi pemerintah; serangan terhadap dampak- dampak yang
diklaim merusak persaingan ideologi partai; melemahkan perlawanan sipil
terorganisasi; memasukkan semua PNS, termasuk pegawai perusahaan-
perusahaan negara, ke dalam "Korps Karyawan" yang sangat besar;
pembentukan "pemerintahan hirarkis, berjenjang dan terpusat".

Hal ini tidak terjadi sebelum 1971. Pendapat sipil, minimal di Jakarta, dan
cendekiawan pengamat, cenderung beranggapan bahwa pemimpin Orde
Baru di bawah Jenderal Soeharto sebagai pemerintahan yang "lunak".
Artinya, pemerintah lebih suka mempertahankan stabilitas politik melalui
akomodasi dengan partai politik utama-PNI, NU dan setelah 1968,
Parmusi-dan hanya kepada unsur-unsur yang jelas-jelas "subversif",
terutama kantung- menggunakan tindakan keamanannya yang sangat keras
kantung sayap kiri PNI dan PKI yang tersisa. Ketika "Orde Baru"
dinyatakan pada 1966 oleh intelektual muda idealis dari kesatuan aksi,
terjadi banyak diskusi publik tentang "Orde Baru", termasuk restrukturisasi
menyeluruh kehidupan politik serta partai-partai politik tersisa sebagai
"Orde Lama dikurangi PKI". Partai-partai politik dipandang oleh kesatuan
aksi dan sekelompok kecil jenderal senior, sebagai "orang-orang radikal

8
Orde Baru", perwakilan dari visi ke belakang, loyalitas sempit yang
diungkapkan dalam persaingan ideologis yang merusak serta oportunis dan
mudah disuap Mereka dilihat sebagai penghambat bagi kemajuan menuju
"modernisasi dan "pembangunan" yang dijanjikan Orde Baru.” (David
Revee, 2013 : 279-280)

Pada masa kepemimpinan Soeharto dapat dilihat pembentukan arah


politik Golkar yang diikuti oleh PNS, guru, dan Karyawan. Di era Orba juga
iniliah yang membuat Golkar dikenal sebagai partai Anti-Orde Lama,
dikarenakan pada masa tersebut setiap hal yang berbau paham kiri akan
ditolak bahkan dibubarkan oleh pemerintah.

d. Dekrit Presiden (1959)

Dekrit Presiden, sebuah deklarasi hukum yang disampaikan oleh kepala


negara secara langsung mengenai sebuah keputusan terhadap suatu perkara
hukum. Dekrit Presiden juga pernah dinyatakan Soekarno pada tahun 1959
yang berisi tentang : Berlakunya kembali UUD 1945, Pembubaran Badan
Konstituante, Dan Dibentuknya DPAS dan MPRS.

“1.5 Periode UUD 1945, Berdasarkan Dekrit Presiden (5 Juli 1959-1999)

Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 menyatakan berlakunya Periode Kedua


UUD 1945. Periode in dikenal pula tiga kurun waktu, Orla dengan
kepemimpinan Presiden Soekarno, Orba dengan kepemimpinan Presiden
Soeharto, dan Reformasi dengan tiga kali pergantian kepemimpinan (pra
dan pasca pemilu 1999) Presiden Bacharuddin Jusuf (B.J.) Habibie.
Presiden Abdurrahman Wahid, hingga Presiden Megawati Soekarnoputri
(amandemen konstitusi 1999-2004, pen.).

Dalam pembahasan lembaga perwakilan rakyat pada periode kedua UUD


1945 ini, akan dibahas secara bertahap” (Efriza Syafron Rozi, 2010 : 34)

e. Manipol USDEK

9
Sebuah dasar pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Manipol USDEK
memiliki kepanjangan Manifestasi Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

“PENYAKIT "MANIPOL USDEK"

1 Februari 1961

Harian Pedoman yang saya pimpin dilarang terbit oleh Presiden Sukarno
tanggal 9 Januari 1961. Mulai hari ini saya menulis diary atau catatan
harian. Penyakit zaman sekarang, apakah itu? Makan hati, kesal melihat
kea- daan, urat syaraf terganggu. Maka penderita yang satu mendapat
eksim yang lain bawazir, yang ketiga puru. Pada pokoknya semua sama
asalnya

yaitu bersifat psychosomatic. Pemeo orang, itulah penyakit "Manipol-


Usdek."

Barak 3 rumah sakit umum yang dipimpin oleh Prof. Aulia ialah tempat
yang didatangi oleh para penderita penyakit "Manipol-Usdek". Seorang
yang parah sakitnya ialah Arudji Kartawinata, tokoh Partai Sarikat Islam
Indonesia (PSII). Tiga minggu lamanya ia memerlukan transfusi darah.
Dokter menga- takan kepadanya supaya ia kembali kepada Tuhan. Hanya
itu yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Arudji seorang pengikut
Sukarno. Segala sesu- atu berupa pangkat dan kedudukan dalam negara
diperolehnya berkat pemberian Sukarno. Antara lain diperolehnya Bintang
Mahaputra. Karena sakit, maka bintang tersebut tidak dapat disematkan di
dadanya dalam sebuah upacara di Istana. Presiden menugaskan kepada dua
menteri utamanya untuk mengantarkan bintang kepada Arudji di rumah
sakit dan menyerahkannya dalam suatu upacara. Akan tetapi dokter yang
merawat tidak mengizinkankan diadakannya upacara, sedangkan Arudji

10
Kartawinata berkehendak benar upacara diadakan. Dokter berkata
kepadanya: "Saudara rupanya belum juga kembali kepada Tuhan? Yang
lain di luar itu tidak akan dapat menyembuhkan Saudara."

Ada cerita lain yang saya dengar berhubung dengan Bintang Maha- putra.
Mr. Karim Pringgodigdo bertahun-tahun lamanya menjadi tangan kanan
Presiden Sukarno, menjabat sebagai Direktur Kabinet. la contoh pegawai
yang baik, teliti dalam pekerjaan, setia kepada atasan. Di waktu
belakangan ini dia menderita sakit. Kesehatannya berkurang dengan cepat.
Salah satu alasan ialah karena dia merasa kecewa sekali. la membaca di
surat kabar tentang orang-orang yang dianugerahi Bintang Mahaputra oleh
Presiden Sukarno. Tetapi mengapa dia tidak pula mendapat bintang itu?
Apakah Presiden melupakan dia?

Tiga hari yang lalu tersiar berita Mayor Sofjan Ibrahim bersama sembilan
orang pengikutnya menyerahkan diri kepada Angkatan Perang Republik
Indonesia (APRI) di Balaitengah, Kabupaten Tanahdatar. Sofjan Ibrahim
dulu menjabat sebagai Kepala Staf RI IV Komando Daerah Militer
Sumatra Tengah. la tokoh nomor dua sesudah Ahmad Husein ketika pada
bulan Desember 1956 diwujudkan Dewan Banteng. Ia turut dalam
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tanggal 20 Januari
1961 atau kurang lebih sebulan sebelum ulang tahun ketiga proklamasi
PRRI di Padang, Sofjan Ibrahim menyerahkan diri. Rupanya makin
terdesak orang-orang PRRI akibat operasi militer pihak APRI. Beberapa
waktu lalu Kototinggi yaitu markas besar para pemimpin PRRI jatuh ke
tangan APRI. Sungguhpun begitu tokoh- tokoh PRRI belum memikirkan
akan menghentikan perjuangan mereka yang kini mereka namakan
"melawan kezaliman Sukarno." (H. Rosihan Anwar, 2006 : 3-4)

Sebuah catatan harian dikemukakan dalam buku berjudul Sukarno,


Tentara, PKI segiitiga kekuasaan sebelum prahara politik 1961-1965 karya H.
Rosihan Anwar. dalam pandangan beliau seakan menilai Manipol USDEK
sebagai sebuah hal yang tabu, dikarenakan Manipol USDEK dianggap

11
sebagai perwujudan akan hausnya kekuasaan, kemunafikan dalam
pemerintahan, dan perbedaan yang tidak dapat disamakan. Manipol USDEK
juga disinnggungg dengan kalimat yang dihaluskan dalam kata Penyakit.

Namun dalam catatan yang lain berkenaan dengan Demokrasi terpimpin,


kita dapat mendapatkan lebih, 1 dan lain hal mengenai sudut pandang orang
yang dekat dengan beliau kala itu. Orang tersebut adalah Ganis Harsono,
dalam bukunya yang berjudul Cakrawala Politik Era Soekarno. Dalam buku
tersebut tepatnya pada bab awal demokrasi terpimpin, dijelaskan mengenai
tujuan Soekarno membuat kabinet baru yang diisi oleh kaum muda dan upaya
beliau mempersiapkan Angkatan bersenjata sebagai penerusnya.

f. G30S

Gerakan 30 September, sudah tidak asing di telinga, sebuah kejadian


yang dapat dikata sebagai tragedi dalam sejarah perpolitikan di Indonesia.
Mengenai penculikkan 6 jenderal 1 ajudan yang dieksekusi oleh banyak pihak
sebagai usaha pembersihan pemerintahan dari aspek-aspek Sekutu dengan
dalih tuduhan jenderal Anti-Revolusioner. Pertentangan antara Angkatan
Darat dengan beberapa partai berpaham kiri khususnya PKI telah menjadi
konflik kecil setelah sekian lama dan pada akhirnya G30S lah yang menjadi
puncak sekaigus akhir dari konflik tersebut, mengakhiri eksistensi dari salah
satu pihak. Dalam sub-bab kali ini penulis akan menyampaikan banyak
perspektif dari banyak pihak. Terkait banyaknya hal yang disembunyikan
pada peristiwa ini. Segelintir catatan: G30S inilah penyebab dibacakannya
pidato Nawaksa oleh Presiden Soekarno.

Dalam buku Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965 karya James
Luhulima dijelaskan mengenai detail peristiwa G30S beserta seluk beluk
keterlibatan AURI di dalamnya. Mulai dari pengiringan Soekarno ke
beberapa tempat selama terjadinya G30S.

“Bahwa tanggal 30 September tindakan-tindakan telah diambil untuk


menjelamatkan Presiden Soekarno dan Republik Indonesia dari sebuah

12
Coup oleh apa jang disebut dengan Dewan Djendral. Sesuai pengumuman
Gerakan 30 September jang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung dari
Bataljon Tjakrabirawa, tindakan diambil untuk menjelamatkan Presiden
Soekarno dan Republik Indonesia dari kup Dewan Djendral patriotic dan
revolusioner.” (James Luhulima, 2007 : 122)

Dalam buku tersebut dipercayai bahwa alasan utama Gerakan 30


September merupakan dalih perlindungan terhadap presiden Soekarno dari
COUP yang berpeluang dilakukan oleh Dewan Jendral, namun pada
kenyataannya ini diambil dari sudut pandang para pelaku itu sendiri yang
pada kenyataannya isu dari Dewan jenderal itu sendiri tidak benar-benar ada.

“Kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto yang telah mengambil alih


pimpinan Angkatan Darat, Kolonel KKO Bambang Widjanarko
melaporkan bahwa Presiden Soekamo memanggil Mayjen Pranoto
Reksosamodra untuk menghadap Namun, Mayjen Soeharto menjawab,
Mayjen Pranoto Rekso- samodra tidak diizinkan untuk menghadap
Presiden Soekarno di PAU Halim Perdanakusuma, dengan alasan keadaan
masih ruwet dan Angkatan Darat telah kehilangan enam jenderal sehingga
tidak mau kehilangan lagi. Lewat Kolonel KKO Bambang Widjanarko,
Mayjen Soeharto menitipkan pesan agar Presiden Soekarno dibawa keluar
dari PAU Halim Perdanaku- suma, selambat-lambatnya sebelum lewat
tengah malam.

Kolonel KKO Bambang Widjanarko kembali menghadap Presiden


Soekarno selepas pukul 20.00. Dengan disaksikan oleh Dr Johannes
Leimena, Laksdya Udara Omar Dani, Inspektur Jenderal Polisi Sutjipto
Judodihardjo, Brigjen Soe tardio, dan Brigjen Soenarjo, Kolonel KKO
Bambang Widja- narko melaporkan hasil pembicaraannya dengan Mayjen
Soeharto. Presiden Soekarno sangat kecewa, bahkan marah, karena
Mayjen Soeharto tidak mengizinkan Mayjen Pranoto Reksosamodra untuk
memenuhi panggilannya.” (James Luhulima, 2007 : 123 – 124)

13
Pada saat kondisi genting kala itu, masih terdapat pro dan kontra antara
Presiden Soekarno dengan Mayjen Soeharto. Begitu juga dengan upaya
penjemputan presiden dari Halim, beencana melepaskan beliau dari bisik-bisik
PKI. Dijelaskan juga keberadaan Men/Pangal Laksdya Laut RE Martadinata di
PAU Halim Perdanakusuma dan beliau pun menyatakan tidak dapat keluar dari
tempat tersebut, karena tempat tersebut dikatakan misterius.

Presiden Soekarno telah direncanakan pindah dari Halim sebelum tengah


malam. Di didi lain terjadi ketegangan pula antara para tentara, nyaitu Batalyon
Raiders 530/Brawijaya dan Batalyon Raiders 454/Diponegoro diberi ultimatum
untuk menyerah dan bergabung dengan markas Kostrad sebelum pukul 19.00.
Dijelaskan Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dani bercakap dengan Soekarno
mengenai akan dibawa kemana kah Soekarno ini? Berbagai destinasi telah
dipersiapkan dan pada akhirnya Bogor lah yang dituju untuk pengamanan
Presiden, tepatnya Istana Bogor. Rombongan Presiden tiba di Istana Bogor
pada pukul 23.50.

Selama peristiwa terjadi, terjadi pula ketegangan militer antara Kostrad


dengan Auri yang diperkirakan ikut dan menjadi bagian dalam Gerakan 30
September ini…

Dalam sebuah buku yang berjudul “Top secret konspirasi membongkar


tuntas kasus konspirasi yang belum pernah terungkap,” dibahas mengenai
peristiwa G30S berdasarkan sudut pandang lain yang masih dipertanyakan
keabsahannya…

“Kaum-kaum miskin yang lapar itu pun tak perduli lagi nama-nama
mereka beserta keluarganya dimasukkan ke dalam daftar nama organisasi
si pemberi derma dengan imbalan beras, alat pertanian dan pakaian, Inflasi
650% sudah memelaratkan mereka. "Kebodohan" dan kemiskinan mereka
ketika itu, tak pernah terlintas di benak mereka akan berbuah petaka yang
teramat dahsyat, tak hanya untuk badan mereka, namun menjalar ke anak
cucu hingga puluhan tahun dengan stempel: KOMUNIS! Beberapa hari

14
setelah peristiwa pembunuhan para jenderal oleh yang katanya bernama
Gerakan 30 September (305), tiba tiba gegap gempita kekejian menjalar di
seantero nusantara. Kebencian berujung kekejaman rakyat Indonesia tiba-
tiba saja menjelma menjadi ladang pembantaian paling mengerikan yang
pernah terjadi di republik ini, kelompok-kelompok pemuda nasionalis,
keagamaan seperti pemuda Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama serta
para pemuda-pemuda Katolik, mengombak bergernuruh bersenjatakan apa
saja, mengejar ngejar, menyeret, menusuk, menembak, memenggal
anggota tubuh, dan membakar orang-orang yang dituduh bergabung
dengan partai komunis dan sayap sayap organisasinya. Padahal, sepert
yang disebutkan di bagian awal, sebagian besar dari orang-orang yang
dicap komunis itu hanyalah kaum-kaum miskin dan lapar yang tak paham
dengan politik. Mereka tak paham apa itu nasionalis, apa itu komunis...

buku-buku sejarah versi Orba, dicatat bahwa seolah-olah itu adalah reaksi
spontan masyarakat yang tak dikomando. Namun pasca pembantaian sadis
itu mulai muncul suara-suara yang sedikit menyibak latar peristiwa, salah
satunya dari komandan RPKAD sendiri, Sarwo Edhie Wibowo (mertua
SBY), bahwa Angkatan Darat bertugas menghasut penduduk untuk
membantai orang-orang yang dicap komunis. Bahkan ketua tim pencari
fakta bentukan Presiden Soekarno ketika itu menemukan bahwa
pembantaian di Banyuwangi dipimpin langsung oleh para komandan
Kodim dan Korem dibantu ketua PNI dan NU. Temuan tim pencari fakta
sungguh memiriskan hati, karena tak hanya para lelaki yang dijejerkan dan
ditembak bedil serdadu untuk kemudian ditumpuk dalam satu lubang
besar, namun para wanitanya justru mengalami siksaan yang lebih dahsyat.
Payudara mereka dipotong dan kemudian diakhiri dengan tusukan pedang
panjang, mulai dari (maaf) vagina hingga membelah perutnya! Perburuan
dan pembantaian orang-orang yang dicap PKI meluas mulai dari Aceh,
Sumatera Utara, Banyuwangi, Bali, Jawa Tengah, Lampung hingga

15
Sulawesi dan Kalimantan. Ketua PKI Bali, I Gede Puger, dipotong-potong
sebelum kepalanya dibedil. Anak istrinya pun ikut dibunuh bersamaan.
Semua "titisan komunis❞ dianggap menanggung dosa bersama dan pantas
mati.

Analisis menarik menurut Ben, bahwa perwira-perwira yang bertugas


menculik para jenderal itu memiliki keterkaitan dengan Soeharto ketika
masih memimpin di Divisi Diponegoro Semarang. Letkol Untung, Letkol
Latief, Lettu Dul Arief, tiga perwira utama penggerak penculikan adalah
bekas anak buah Soeharto di Semarang. Ketika Untung menikah, Soeharto
berpayah-payah ikut menyambanginya di pelosok desa di Jawa Tengah.
Ketika Ben pun heran, jika memang akan terjadi kudeta bersenjata pada 30
putra Soeharto khitanan, Latief datang dan demikian sebaliknya.
september itu, mengapa dua jenderal pengendali pasukan di Jakarta justru
tak ikut diculik. Yah, Jenderal Soeharto yang menguasai pasukan Kostrad
dan Umar Wirahadikusuma yang ketika itu menguasai pasukan dengan
jabatannya sebagai panglima militer di Jakarta? Dugaannya adalah
Soeharto memang telah mengetahui (atau merancang?) bahwa akan da
gerakan penculikan dan pembunuhan para jenderal dengan isu kudeta
terhadap Presiden Soekarno. Gerakan itu sengaja dirancang untuk gagal
dan memberi kesempatan bagi Soeharto dan pasukannya untuk masuk
seolah-olah mengamankan situasi.

Maka tak heran ketika Ben menanyakan kepada Latief, mantan perwira
yang mengalami siksaan luar biasa selama ditahan oleh pasukan Soeharto,
ia hanya menjawab: Saya merasa bahwa saya telah dikhianati.” (Alfred
Suci, 2015 : 425, 426 – 428)

Banyaknya sejarah yang ditutupi menyebabkan simpang siur antar satu


informasi dengan informasi lainnya, namun tidak diragukan lagi dengan

16
banyaknya Propaganda, peralihan informasi, dan rezim yang begitu ketat…
hal ini mungkin benar adanya…

Adapun Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) banyak Menyisakan


misteri yang sampai sekarang belum terungkap kebenarannya. Para pelaku
sejarah menceritakan asal-usul surat perintah itu menurut versi masing-
masing. Tentu saja dengan kepentingan yang masing- masing pula. Berbagai
improvisasi pun merebak. Semua itu dipicu oleh raibnya naskah asli
Supersemar sebagai dokumen sejarah yang sangat penting bagi republik ini.

Kendati masih jadi tanda tanya besar, sulit dipungkiri Supersemar adalah
legitimasi paling awal bagi pemerintahan Orde Baru yang kemudian berkuasa
selama 32 tahun di Indonesia. Supersemar merupakan titik tonggak transisi
kekuasaan dari Bung Karno kepada Jenderal Soeharto. Supersemar adalah
penanda ber akhirnya sebuah era.

“Salah satu kutub polemik tentang Supersemar yang paling banyak


diangkat oleh pelbagai kalangan adalah pertanyaan soal apakah surat
perintah itu adalah hasil kup (kudeta) Jenderal Soeharto terhadap Bung
Karno atau bukan. Tidak ada jawaban positif atas pertanyaan tersebut.
Bahkan Soeharto sendiri, tidak memberikan ja-waban tegas. Dalam buku
otobiografinya yang berjudul Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, ia
hanya menuliskan: "Menurut saya, perintah itu dikeluarkan di saat negara
dalam keadaan gawat, di mana integritas Presiden, ABRI dan rakyat
sedang berada dalam bahaya, sedangkan keamanan, ketertiban dan
pemerintahan berada dalam keadaan berantakan."

Soeharto mengakui Supersemar sering dipersoal- kan orang, apakah surat


perintah itu semata-mata seba- gai instruksi Presiden kepadanya, atau
berisi suatu "pemindahan kekuasaan eksekutif secara terbatas". Ketidak-
mampuan Soeharto menjelaskan masalah ini semakin membuat orang
bertanya-tanya. Di sisi lain, bukan tidak mungkin, Soeharto mencoba

17
menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya dengan pelbagai retorikanya
sen- diri.

"Pertandingan Catur" Bung Karno vs Soeharto

Penggulingan kekuasaan Soekarno tidak terjadi dalam waktu singkat.


Tetapi sangat pelan-pelan, hingga memakan waktu dua tahun lebih, antara
tahun 1965- 1967. Soeharto memetik kemenangan-kemenangan kecil
dengan memainkan pion dan perwira sebelum meng- ambil langkah
mematikan, skak mat, terhadap Presiden Soekamo.

Sulit dikatakan Jenderal Soeharto mengkudeta Pre- siden Soekarno.


Sebaliknya, tidak bisa juga disimpulkan jika Jenderal Soeharto sama sekali
tidak mengincar ja batan Presiden. Kenyataannya, Jenderal Soeharto yang
didukung Angkatan Darat, melolosi kekuatan politik Presiden Soekarno,
mengisolasi Presiden Soekarno dari para pendukungnya, dan akhirnya
memaksa Presiden Soekarno meletakkan jabatan. Itulah sebabnya,
beberapa pengamat dan sejarawan menyebut proses pengambil- alihan
kekuasaan yang sabar itu sebagai "creeping coup d'etat (kudeta
merangkak), sebuah tipikal pengambil- alihan kekuasaan dalam dunia
politik Indonesia yang berpondasikan budaya politik Jawa.

Bukan cuma terhadap Bung Karno, strategi skak- mat juga diterapkan
Soeharto kepada tokoh-tokoh pem- bangkang (dissident). Misalnya mereka
yang menandata- ngani Petisi 50, yang bukan saja dikebiri hak-hak politik-
nya, tetapi juga dilarang berbisnis. Bui menjadi jawaban bagi para aktivis
anti-pemerintah. Tidak terhitung be- rapa orang aktivis mahasiswa dan
pers pembela demo- krasi yang harus meringkuk di penjara karena berbeda
pendapat dengan pemerintah Orde Baru (baca: Soe- harto).” (LAI, 2010 :
10 – 12)

Bahkan meski hanya tersirat sekalipun, perpindahaan kekuasaan dari


Bung Karno ke Pak Harto tetap terasa seperti sebuah Coup. Perpindahan

18
kekuasaan ini pula yang digambarkan layaknya sebuah permainan Catur dan
Supersemar merupakan senjata pamungkas Soeharto.

“1965

1 Oktober (dinihari). Penculikan dan pembunuhan para jenderal AD.

1 Oktober. Setelah tahu Men/Pangad Jenderal A. Yani gugur di tangan


Gerakan 30 September, Pangkostrad Mayjen Soeharto mengambil alih
kepemimpinan AD dengan restu Pangdam Jaya, Mayjen Umar
Wirahadikusumah dan perwira tinggi lain. Sorenya, ketika bertemu
Jenderal A.H. Nasution, jabatan itu ditawarkan. Tetapi Nasution menolak.
Ternyata Bung Karno meng- ambil alih jabatan itu dan menunjuk Mayjen
Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Pangad. Tapi Mayjen Soeharto
tidak mengizinkan May- jen Pranoto pergi ketika dipanggil menghadap
Presiden.

3 Oktober. Bung Karno mengangkat Mayjen Soeharto sebagai penanggung


jawab pemulihan kamtib- mas dan Mayjen Pranoto sebagai caretaker
pelak- sana harian.

4 Oktober. Bung Karno menunjuk Mayjen Soeharto

menjadi Men/Pangad. 6 Oktober. Jabatan Men/Pangad disahkan. Tak lama

berselang, Mayjen Pranoto "diamankan" di markas KOSTRAD dan tidak


diketahui rimbanya. Belakangan diketahui dia ditahan.

16 Oktober. Presiden Sukarno mengatakan bahwa peristiwa pembunuhan


para jenderal merupa- kan "gelombang kecil dalam samudera revolu- si".
Pernyataan ini merupakan kemenangan moral bagi AD dan blunder bagi
Presiden, karena simpati rakyat yang mulai mengkristal.

1966

21 Februari. Bung Karno mengumumkan kabinet baru. Menteri-menteri


yang anti-PKI digusur, termasuk Menhankam/KSAB Jenderal A.H.

19
Nasution. Jenderal Sarbini ditunjuk menjadi Menteri Pertahanan,
sedangkan jabatan KSAB dihapuskan.

11 Maret. Sidang kabinet. Suasana tidak terkendali. Demonstrasi di mana-


mana. Karena ada isu pa- sukan liar, Komandan Cakrabirawa Brigjen
Sabur memberikan nota kepada Presiden me- ngenai situasi yang gawat.
Merasa panik, Presi- den Soekarno menyerahkan sidang kepada Wa-
perdam II Leimena dan terbang ke Istana Bogor. Para jenderal TNI AD
menyusul Presiden ke Bogor. Sore harinya, terjadi negosiasi yang a antara
alot para jenderal dan Presiden Soekarno me- ngenai pemberian mandat
kepada AD untuk mengendalikan situasi. Malamnya, keluarlah
Supersemar.

12 Maret. Dinihari, kesibukan di Markas KOSTRAD meningkat. Hari itu


juga, mandat Supersemar digunakan Mayjen Soeharto sebagai pijakan un
tuk membubarkan PKI. Terjadi show of force Ang katan Darat atas
kemenangan terhadap PKI.

13/14 Maret. Bung Karno mengirim surat teguran kepada Soeharto yang
dianggap melenceng dalam menjalankan Supersemar.

16 Maret. Presiden Soekarno kembali menjelaskan soal Supersemar. Ia


menegaskan dirinya masih berkuasa penuh sebagai kepala eksekutif peme-
rintahan dan mandataris MPRS. Ia juga mene- gaskan, hanya dirinya yang
berkuasa mengang- kat menteri-menteri.

18 Maret. Sejumlah 15 orang menteri ditangkap, ter- masuk Waperdam I


Soebandrio, Waperdam II Chaerul Saleh dan Jusuf Muda Dalam. Manuver
Soeharto ini mengejutkan Bung Karno. Sebab menteri-menteri yang
ditangkap adalah orang- orang yang loyal tanpa reserve terhadap Bung
Karno.

27 Maret. Dengan intervensi yang sangat kuat dari kubu Angkatan Darat,
dibentuklah kabinet baru. Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam
Malik termasuk dalam jajaran enam orang Wakil Perdana Menteri.

20
Presiden Soekarno tampak terpukul karena harus berkompromi. Ketika
baru membacakan beberapa nama anggota kabinet baru, ia berhenti dan
minta Leimena melanjut-kan pembacaan tersebut.

20 Juni. MPRS bersidang dan memilih A.H. Nasu tion sebagai ketua.
MPRS kemudian mencabu gelar presiden seumur hidup dari Soekarno.
Soe karno menyampaikan pidato Nawaksara, yang kemudian ditolak
MPRS karena dianggap tidak sesuai dengan permintaan rakyat mengenai
kla rifikasi keterlibatan Presiden dalam peristiwa Gerakan 30 September.

Sepanjang bulan Juli. Soeharto bertindak membentu kabinet dan


membersihkan orang-orang Bung Karno.

Oktober. MPRS meminta Presiden Karno meleng kapi pidato Nawaksara.

1967

12 Januari. Bung Karno menyampaikan secara te tulis pidato Pelengkap


Nawaksara. Ia mengata kan, peristiwa G 30 S/PKI disebabkan oleh k
blinger-nya pemimpin PKI, liciknya Nekolin dan kenyataan adanya orang-
orang aneh.

17 Februari. MPRS menolak pertanggungjawaba Bung Karno.

20 Februari. Soeharto dan para panglima angkatan lainnya mendatangi


Bung Karno di Bogor. Setelah berbicara selama tiga jam, Soekarno
bersedia menyerahkan kekuasaan pada Soeharto. Karir politik Soekarno
berada di ufuk senja, dan dia menghadapi ketidakpastian masa depan.

7 Maret. MPRS bersidang dan memutuskan untuk mencabut mandat dari


Bung Karno dan meng- alihkannya ke Soeharto. Dengan demikian Soe-
harto menjadi pejabat Presiden.

1968

27 Maret. SK MPRS mengukuhkan Soeharto sebagai kepala negara.

1970

21
21 Juni. Bung Karno meninggal dunia. Beliau konon meninggalkan wasiat
agar jasadnya dimakam- kan di Bogor, namun rezim Soeharto menolak- nya.
Akhirnya, Proklamator RI Soekarno di- makamkan di Blitar. Tampak dari
kronologi kejadian di atas, kunci ke- menangan Soeharto terletak pada lima
hal penting. Pertama, muaknya rakyat terhadap PKI yang me -rajalela dengan
provokasi dan teror pada saat itu. Soe- harto paham betul dan
memanfaatkannya sebagai alat untuk menekan Bung Karno. Dengan
Supersemar, Soeharto melakukan aksi yang populer di mata rakyat, yaitu
membubarkan PKI. Sayangnya, langkah itu semata-mata politis. Sebab secara
konkret, aksi pembantaian terhadap orang-orang komunis sudah dilakukan
dalam triwulan terakhir tahun 1965, yang secara efektif sudah membuat PKI
rata dengan tanah, dan tidak lagi memiliki kekuatan potensial sebagai rival
politik AD.” (LAI, 2010 : 12 - 17)

Sudah tidak perlu dijelaskan kembali untuk kalimat di atas, karena sudah
cukup menjelaskan detail peristiwa yang ada pada masa itu, tapi selalu ada
dari pihak yang pro pasti ada juga yang kontra. Sebuah buku berjudul
Lahirnya Surat Perintah 11 Maret karya DJ. Hasugian mengandung
propaganda yang sangat kental, layaknya Film G30S PKI yang rilis tahun
1984 yang penuh kontroversi.

Dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965 sebuah studi tentang konspirasi juga
dibahas mengenai Dekrit para Dewan Revolusi (pelaku G30S). berikut isi dari
Dekrit tersebut…

“Siaran tentang Dekrit No. 1 Dewan Revolusi (DOKUMEN No.9)


mengulang beberapa bagian dari Komunike pagi untuk memberi efek
bahwa suatu pembersihan telah dilakukan malam itu terhadap Dewan
Jenderal yang berencana melakukan kudeta pada Hari Angkatan
Bersenjata tanggal 5 Oktober Usaha ini telah digagalkan dan beberapa
jenderal ditangkap.

Inti Dekrit itu adalah pasal II. yang mengatakan:

22
Untuk melancarkan tindak lanjut daripada tindakan 30 September 1965.
maka oleh pimpinan Gerakan 30 September akan dibentuk Dewan
Revolusi Indonesia yang anggotanya terdiri dari orang-orang sipil dan
orang-orang militer yang mendukung Gerakan 30 September tanpa
roserve. Untuk sementara waktu, menjelang pemilihan umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,
Dewan Revolusi Indonesia menjadi sumber daripada segala kekuasaan
dalam negara Republik Indonesia. Dewan Revolusi Indonesia adalah alat
bagi Bangsa Indonesia untuk mewujudkan Pancasila dan Panca Azimat
Revolusi seluruhnya. Dewan Revolusi dalam kegiatannya sehari-hari akan
diwakili oleh Presidium Dewan yang terdiri dari Komandan dan Wakil-
wakil Komandan Gerakan 30 September."

Akan tetapi pasal III Dekrit No. 1 menyerang Sukarno tanpa ampun, sama
sekali tidak menyebut nama serta jabatannya sebagai Presiden:

"Dengan jatuhnya seluruh Kekuasaan Negara ke tangan Dewan Revolusi


Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner.
Sampai pembentukan Dewan Menteri baru oleh Dewan Revolusi
Indonesia, para bekas Menteri diwajibkan melakukan pekerjaan- pekerjaan
rutin menjaga ketertiban dalam departemen masing-masing. dilarang
melakukan pengangkatan pegawai baru dan dilarang mengambil tindakan-
tindakan yang bisa berakibat luas. Semua bekas Menteri berkewajiban
memberikan pertanggungan jawab kepada Dewan Revolusi Indonesia cq.
Menteri-menteri baru yang akan ditetapkan oleh Dewan Revolusi
Indonesia."

Pasal IV menyebutkan susunan kekuasaan baru yang ada di negara ini:

"Sebagai alat daripada Dewan Revolusi Indonesia, di daerah-daerah


dibentuk Dewan Revolusi Propinsi (paling banyak 25 orang). Dewan

23
Revolusi Kabupaten (paling banyak 15 orang). Dewan Revolusi
Kecamatan fpaling banyak 10 orang) dan Dewan Revolusi Desa (paling
banyak 7 orang), terdiri dari orang-orang sipil dan militer yang
mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve. Dewan Revolusi Daerah
ini adalah kekuasaan tertinggi untuk daerah yang bersangkutan, dan yang
di Propinsi dan Kabupaten pekerjaannya dibantu leh Badang Pemerintah
Harian (BPH) masing-masing sedangkan Kecamatan dan Desa dibantu
oleh Pimpinan Pront Nasional setempat yang terdiri dari orang orang yang
mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve.

Pasal V Dekrit itu menyatakan bahwa Presidium Dewan Revolusi terdiri d


para Komandan dan Wakil Komandan Gerakan 30 September, Ketua Dew
Revolusi adalah Komandan Gerakan itu, yaitu Untung, sementara Wakil
Ket Dewan adalah Wakil Komandan Gerakan itu. Pasal VI. pasal terakhir
menyatakan bahwa komposisi Dewan Revolusi Tingkat Propinsi harus
disetas oleh Dewan Revolusi di Jakarta. Dewan Revolusi Tingkat Propinsi
kemudies akan menyetujui komposisi Dewan Revolusi Kabupaten, dan
selanjut Dewan Revolusi Kabupaten akan menyetujui komposisi Dewan
Revolus Kecamatan, begitu seterusnya hingga tingkat Desa. Di sini
"sentralisa demokrasi', salah satu aspek paling penting rezim komunis
seluruh dunia. terlihat jelas dan tengah menyongsong masa depannya.

Dekrit No.1 ditandatangani oleh Presidium dengan 5 anggota dari Gerakan


30 September, terdiri dari Untung, sebagai Komandannya, dan Wakil
Komandan yang mewakili keempat angkatan: Brigjen Supardjo mewakili
AD Letkol Udara Heru mewakili AURI; Kolonel Laut Sunardi mewakili
Angkatan Laut; Komisaris Besar Polisi Anwas mewakili Kepolisian."
(Victor M. Fic, 2005 : 183 – 186)

Sudah begitu jelas pada penyampaian Dekrit oleh Dewan Revolusi,


bahwa sebenarnya merekalah yang ingin melakukan Coup, bahkan secara
verbal mereka sudah berani menyerang presidennya sendiri. Namun masih
menjadi pertanyaan… apakah Bung Karno terlibat dalam peristiwa G30S ini?

24
“JJ Rizal

Soekarno tak mali-mali. Dia hidup di dalam benak bangsa Indonesia dan
hal ini sukar dicari tandingannya pada tokoh sejarah serta revolusi lainnya.
Selama dan setelah pemerintahan Orde Baru Soeharto, dia selalu menjadi
topik. Polemik tentangnya muncul berkala dalam periode empat puluh dua
tahun setelah dia meninggal pada 21 Juni 1970. terutama seputar tuduhan
keterlibatannya sebagai dalang utomo peristiwa 1 Oktober 1965. Namun
pasca-kematian Soeharto, tetap saja Soekarno belum terbebas. Dia terus
menghantui dan kali ini bersama Soeharto yang juga mula menghantui
dengan pertanyaan tak terjawab dan ambigu, misalnya, siapa yang terlibat
langsung dalam G-30-S 1965 alau siapa yang bersekongkol dengan PKI?”
(Daniel Dhakidae, 2013 : 276)

Mengutip pendapat dari JJ Rizal seorang sejarawan, Soekarno hanyalah


korban dari usaha Coup 2 belah Pihak, tidak menutup kemungkinan beliau
condong pada salah satunya, tapi apapun hasilnya beliau akan tetap
dilengserkan dari jabatannya.

Dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi disebutkan bahwa beliau


merupakan pemrakarsa dari tragedi G30S sebagai upaya menghindari Coup,
namun tidak terbesit di benak untuk menyiksa apalagi menghabisi ke 7
jenderal target G30S tersebut, melainkan hanya upaya intogerasi dan
penahanan.

Selain dari penculikkan dan pembunuhan 7 Perwira Militer AD sorotan


juga terdapat pasca Peristiwa G30S terjadi. Ya, sebuah pembantaian masal
bagi orang-orang yang terlibat dengan PKI. Ribuan orang menjadi korban
pembantaian tersebut. Lantas siapakah pelaku sebenarnya Pembantaian masal
tersebut?

“DALANG TRAGEDI 1965¹

25
Bung Karno memang bukan seorang demokrat, bukan seorang republik. Memang
Bung Karno juga taroh orang dalam penjara, tapi sejauh mungkin dia tidak mau
membunuh orang. Sebagian karena dia memang tidak tahu bagaimana caranya
memakai pistol. Tapi kebiasaannya sebagai pemimpin politik [adalah] ngomong,
janji, kadang-kadang menipu juga. Kalau seorang jenderal memang lain.
Pokoknya mereka lain.

~Daniel Lev (1999)

EMPAT puluh tahun setelah terjadinya Tragedi 1965, tepatnya pada akhir
2005 lalu, wacana mengenai peristiwa itu mencuat secara keras baik di
media cetak maupun media elektronik. Wacana yang sama bahkan sempat
mencuat dalam wacana publik di jalan-jalan. Hal itu terjadi, antara lain,
berkat terbit- nya buku terjemahan karya Antonie C.A. Dake yang berjudul
Sukarno File: Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu
Keruntuhan. Salah satu gagasan pokok dari buku itu adalah bahwa
Sukarno-lah sebenarnya "dalang" dari Peristriwa G30S/1965. Terhadap
buku tersebut telah timbul sikap pro dan kontra di masyarakat.

Sedikit disayangkan, buku karya Dake itu maupun ber bagai tanggapan
yang muncul atasnya lebih banyak berkisar pada pertanyaan-pertanyaan di
seputar siapa sebenarnya "dalang" di balik operasi militer yang dilancarkan
oleh sejum lah perwira Angkatan Darat yang menamakan diri "Gerakan
Tigapuluh September" pada 1 Oktober 1965. Sebagaimana kita tahu, di
bawah pimpinan Letkol Untung kelompok terse but menjemput paksa
sejumlah perwira militer di Jakarta. Penjemputan paksa itu berujung pada
tewasnya tujuh orang perwira militer Angkatan Darat dan seorang putri
Jenderal Nasution. Siapa sebenarnya yang menjadi tokoh kunci dari
operasi militer itu sampai sekarang masih merupakan misteri, dan hal itu
telah menjadi fokus berbagai wacana, termasuk tulisan-tulisan di atas.

Ratusan Ribu

26
Wacana demikian tentu saja amat perlu. Akan tetapi, kalau tak hati-hati
bisa menimbulkan kesan, Tragedi yang terjadi pada tahun 1965 "hanya"-
lah Tragedi terbunuhnya kedelapan tokoh tersebut. Padahal Tragedi yang
terjadi pada tahun 1965 bukan hanya itu. Ada Tragedi lain yang tidak
kalah dahsyatnya, yakni dibunuhnya ratusan ribu warga masyarakat
Indonesia beberapa saat setelah terjadinya peristiwa pembunuhan para
petinggi militer tersebut-apa pun justifikasinya. Mereka dibunuh di Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali dan sejumlah tempat lain di ta- nah air.
Kebanyakan dari mereka yang dibunuh adalah rakyat biasa yang
kemungkinan besar tak ada sangkut-paut langsung dengan operasi militer
yang dilakukan oleh Letkol Untung dan kawan-kawan di Jakarta. Dalam
jumlah besar, mereka dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan.
Sementara itu. banyak yang lolos dari eksekusi ditangkap dan dipenjara
selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan. Sejumlah tokoh liter dan
politik yang diduga terkait dengan operasi militer 1 Oktober 1965 itu
memang diadili oleh suatu mahkamah khu- as, tetapi sejauh mana
pengadilan itu fair masih merupakan tanda tanya. Jumlah yang dibunuh
sedemikian besar, sehingga Nisa jadi merupakan pembunuhan warga sipil
terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini.

Lepas dari siapa yang benar atau siapa yang salah, pem- bunuhan itu
mengingatkan, dalam sejarahnya bangsa kita pernah melakukan
pembantaian terhadap sesama warganya dengan cara dan dalam jumlah
yang amat mengerikan. Oleh karena itu, perlulah Tragedi berdarah tersebut
terus diteliti dan dipelajari, sehingga tindakan di luar perikemanusiaan
yang adil dan beradab semacam itu tak akan terulang di masa depan.
Dalam konteks itu pulalah kiranya penting untuk mencari tahu tidak hanya
siapa dalang di balik pembunuhan. 1 Oktober 1965, melainkan juga dalang
di balik pembunuhan massal pada pekan-pekan terakhir tahun 1965 itu.
Selanjutnya, penting pula mempelajari siapa yang terutama diuntungkan,

27
serta apa saja dampak Tragedi tersebut bagi Indonesia waktu itu, kini dan
di masa depan.

Dalang Pembantaian

Secara teoretis, tampaknya tidak akan terlalu sulit menemu- kan dalang
dari peristiwa tersebut, khususnya pada tingkat nasional. Fakta bahwa
pembunuhan terjadi pada minggu ketiga Oktober di Jawa Tengah, bulan
November di Jawa Timur, dan bulan Desember di Bali menunjukkan,
pembunuhan itu tidak terjadi secara spontan dan serempak. Terkesan ada
koordinasi dan provokasi. Dengan kata lain, ada unsur "koordinator" dan
"provokator"-nya, dan itu penting untuk segera diketahui publik. Seorang
perwira RPKAD memang pernah memimpin dan mengoordinasi operasi
pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan lain-lain, namun
tampaknya dia lebih merupakan semacam "komandan lapangan" saja.
Besar kemungkinan, ada komando yang datang dari pihak yang lebih
tinggi posisinya daripada dia, misalnya dari komando pusat di Jakarta. Ke-
mungkinan macam itu tentu amat penting untuk secepatnya dikaji oleh
masyarakat.

Jika dalam kasus operasi militer yang dilakukan oleh Gerakan Tigapuluh
September dugaan tentang siapa dalang- nya berkisar pada sejumlah pihak
(seperti Bung Karno, PKI, Letkol Untung, Mayjen Soeharto, CIA, dan
lain-lain), dalam kasus pembunuhan massal 1965 dugaan serupa bisa lebih
dipersempit. Bung Karno tentu bukan dalangnya, karena tak ada tanda-
tanda dia pernah berpikir membunuh secara massal anggota Partai
komunis atau partai politik apa pun di negeri ini. Letkol Untung tentunya
juga bukan, karena pada tanggal 2 Oktober 1965 gerakan yang
dipimpinnya telah gagal dan ia melarikan diri. PKI juga tentu tidak, karena
justru mereka- lah korban pembunuhan massal itu. Akhirnya, yang tinggal
hanyalah sedikit kemungkinan, dan itu mendesak untuk segera diteliti

28
lebih lanjut. Dengan begitu, diharapkan penelitian dan wacana tentang
Tragedi 1965 tidak lagi hanya berkisar pada pencarian dalang Gerakan
Tigapuluh September saja, melain- kan juga dalang dari pembantaian
massal 1965-1966. Dengan kata lain, bahkan jika dalang dari operasi
militer 1 Oktober 1965 itu telah ditemukan, masyarakat masih harus
mencari siapa

sebenarnya dalang dari pembunuhan massal 1965. Pada akhirnya,


terpulang kepada masyarakat Indone sia sendiri (bukan hanya para peneliti
asing) untuk men- cari dan menemukan siapa sebenarnya tokoh kunci di
balik pembunuhan dalam skala besar itu. Terpulang pula kepada
masyarakat, langkah apa yang mau diambil jika tokoh itu nanti akhirnya
ditemukan.” (Dr. Baskara T. Wardaya, SJ, 2009 : 141 – 144)

Hingga saat ini, masih belum terjawab siapakah dalang sebenarnya dari
semua tragedy ini dan mungkin tidak akan pernah terungkap sampai
kapanpun itu.

Tan Swie Ling dalam bukunya yang berjudul. G30S 1965, Perang Dingin
dan Kehancuran Nasionalisme, yang terbit pada tahun 2010 memberikan kita
aspek sudut pandang baru mengenai pasca peristiwa G30S dan apa
dampaknya terhadap beberapa golongan masyarakat. Buku ini berkisah
tentang pengalaman hidupnya selama dia menjadi tahanan perang korban
kekejaman Orba. Jika kita telik kebelakang hal ini sudah sempat disinggung
meski masih berupa konspirasi. Namun ada baiknya kita berintropeksi diri
“sudahkah kita layak untuk menilai orang lain atas apa yang mereka tidak
lakukan?” pertanyaan tersebut penulis sematkan teruntuk para pembaca,
berharap bangsa ini tidak melakukan kesalahan yang sama.

29
B. Nawaksara / Pel Nawaksara

Dalam Buku yang berjudul Bung Karno, Nawaksara, dan G30S


dijelaskan secara rinci bagaimana isi dari pidato yang disampaikan
Soekarno pada siding pertanggungjawaban MPRS…
“ "Nawaksara"

Pidato Presiden Sukarno di Depan Sidang Umum IV MPRS pada Tanggal

22 Juni 1966

Saudara-saudara sekalian.

I. RETROSPEKSI

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, maka pagi ini saya berada di


muka Sidang Umum MPRS yang IV. Sesuai dengan Ke- tetapan MPRS
No. 1/1960 yang membe- rikan kepada diri saya Bung Karno, gelar
Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan
Ketetapan- ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saya hari ini saya
ingin mengulangi lebih dulu apa yang pernah saya kemukakan da lam
Amanat saya di muka Sidang Umum !! MPRS pada tanggal 15 Mei 1963
berjudul "Ambeg Parama Arta" tentang hal ini:
1. Pengertian Pemimpin Besar Revolusi Dalam pidato saya "Ambeg
ParamaArta" itu, saya berkata "MPRS telah memberikan kekuasaan penuh
kepada saya untuk me- laksanakannya, dan dalam memberi keku- asaan
penuh kepada saya itu, MPRS me- namakan saya bukan saja Presiden,
bukan saja Panglima Tertinggi Angkatan Perang tetapi mengangkat saya
juga menjadi: "PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDO- NESIA".

Saya menerima pengangkatan itu de- ngan sungguh rasa terharu, karena
MPRS sebagai Perwakilan rakyat yang tertinggi di dalam Republik
Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah
"PEMIMPIN BESAR REVOLUSI RAKYAT INDONESIA".

30
Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal ini bagi saya membawa
konsekuensi yang amat berat, oleh karena seperti saudara-sau- dara juga
mengetahui, PEMIMPIN memba- wa pertanggungan jawab yang amat
berat sekali!

"Memimpin" adalah lebih berat da- ripada sekedar "Melaksanakan",


"Memim- pin" adalah lebih berat daripada sekedar "menyuruh
melaksanakan!" Saya sadar, le- bih daripada yang sudah-sudah setelah
MPRS mengangkat saya menjadi "Pemim pin Besar Revolusi", bahwa
kewajiban saya adalah amat berat sekali, tetapi Insya Allah SWT, saya
terima pengangkatan sebagai "Pe mimpin Besar Revolusi" itu dengan rasa
tanggungjawab yang setinggi-tingginya!

Saya Insya Allah, akan beri pimpinan kepada Indonesia kepada rakyat
Indonesia, kepada saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang
pertanggungjawab dan kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang Maha Murah dan Maha Asih, selalu memberikan bantuan
kepada saya secukup-cukupnya!

Sebaliknya kepada MPRS dan kepada Rakyat Indonesia sendiri, hal inipun
mem- bawa konsekuensi. Tempo hari saya ber- kata, "Jikalau benar dan
jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat men- jadi
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, termasuk
juga segenap Anggota MPRS, untuk selalu me ngikuti melaksanakan,
memfi'ilkan segala apa yang saya berikan dalam pimpinan itu!
Pertanggunganjawab yang MPRS, sebaga Lembaga Tertinggi Republik
Indonesia le- takkan di atas pundak saya, adalah suatu
pertanggunganjawab yang berat sekali, te- tapi dengan ridho Allah SWT
dan dengan bantuan seluruh rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya juga
saudara-saudara para ang gota MPRS sendiri, saya percaya bahwa Insya
Allah, apa yang digariskan oleh Pola Pem- bangunan itu dalam 8 tahun
akan terlak sana!

Demikianlah saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada amanat


"Ambeg Parama-Arta".

Saudara-saudara sekalian,

Dari Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut, dapatlah Saudara ketahui,


bagaima na visi serta interpretasi saya tentang predi kat Pemimpin Besar
Revolusi yang saudara- saudara berikan kepada saya.

31
Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi saya
pun-dan dengan saya semua kekuatan-kekuatan pro- gresif revolusioner di
dalam masyarakat kita yang tak pernah absen dalam kancahnya revolusi
kita - saya pun yakin seyakin-ya- kinnya, bahwa tiap revolusi mensyarat
mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih lagi revolusi nasional
kita yang multi kompleks sekarang ini, dan yang berhari depan Sosialisme
Pancasila. Revo lusi demikian tak mungkin tanpa adanya pimpinan. Dan
pimpinan itu jelas tercermin dalam tri kesatuannya RE-SO-PIM, yaitu
Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasi- onal.

2. Pengertian Mandataris MPRS

Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di
segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggung- anjawab saya terhadap
MPRS, pimpinan itu terutama menyangkut garis-garis be- sarnya. inipun
adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa
Undang-Undang Dasar 1945, yang menu- gaskan kepada MPRS untuk
menetapkan garis-garis besar haluan negara. Saya te- kankan garis-garis
besarnya saja dari ha- luan negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan
aksara kemurnian Undang-Undang Dasar 1945, apabila MPRS jatuh
terpelanting kembali ke dalam alam liberale democratie, dengan beradu
debat yang bertele-tele ten- tang garis-garis kecil, di mana masing-ma-
sing golongan beradu untuk memenangkan kepentingan golongan dan
mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan rakyat

banyak, kepentingan revolusi kita! Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada
jiwa Pancasila yang telah kita pancarkan ber- sama dalam Manipol-Usdek
sebagai garis-garis besar haluan negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi,
maka saya telah mendasar- kan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah
SAW: "Kamu sekalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan
diminta pertang- gunganjawabnya tentang kepemimpinannya itu di hari
kemudian."

Saudara-saudara sekalian

Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan
dalam amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi. Dan Saudara-saudara
telah mem- benarkan Amanat itu, terbukti dengan Ke- tetapan MPRS No.
IV/1963, yang men- jadikan Resopim dan Ambeg Parama-Arta masing-
masing sebagai pedoman pelak_ sanaan garis-garis besar haluan negara,
dan sebagai landasan kerja dalam melaksana- kan Konsepsi Pembangunan
seperti terkan- dung dalam Ketetapan MPRS No. I dan II tahun 1960.

32
3. Pengertian Presiden seumur hidup

Masalah dalam Sidang Umum MPRS II pada bulan Mei tahun 1963 itu
Saudara- saudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden seumur
hidup. Dan pada waktu itu pun saya telah menjawab kepu tusan saudara-
saudara itu dengan kata- kata: "Alangkah baiknya jikalau nanti MPR, yaitu
MPR hasil pemilihan umum, masih meninjau soal ini kembali." Dan se
karang ini pun saya masih tetap berpen dapat demikian!

II. LANDASAN KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN

Kembali sekarang sebentar kepada Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut


tadi itu. Amanat itu kemudian disusul de ngan Amanat saya "Berdikari"
pada pem- bukaan Sidang Umum MPRS II pada tanggal 11 April 1966, di
mana dengan te- gas saya tekankan tiga hal:

1. Trisakti

Pertama: bahwa revolusi kita mengejar suatu idee besar, yakni


melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat, Amanat Penderitaan Rakyat
seluruhnya, seluruh rakyat sebulat- bulatnya.

Kedua: bahwa revolusi kita berjuang mengem ban Amanat Penderitaan


Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuannya yang bulat menyeluruh, dan
hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita diselewengkan
sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongannya
sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja! Ketiga: bahwa kita
dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap
berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan be-
bas dalam politik, berkepribadian dalam ke budayaan dan berdikari dalam
ekonomi, sekali lagi berdikari dalam ekonomi!

Saya sangat gembira sekali, bahwa Ama- nat-amanat saya itu dulu, baik
"Ambeg Pa- rama-Arta", maupun "Berdikari" telah Sau- dara-saudara
tetapkan sebagai landasan- kerja dan pedoman pelaksanaan Pemba-
ngunan Nasional Sementara Berencana untuk masa 3 tahun yang akan
datang, yaitu sisa jangka waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d
1968 dengan landasan: "Ber- dikari di atas Kaki Sendiri" dalam ekonomi.

Ini berarti bahwa Lembaga Tertinggi dalam negara kita, Lembaga


Tertinggi dari revolusi kita, Lembaga Negara Tertinggi yang menurut
kemurnian jiwa dan aksa- ranya UUD-Proklamasi kita adalah pen- jelmaan
kedaulatan rakyat, membenarkan Amanat-amanat saya itu. Dan tidak

33
hanya membenarkan saja, melainkan juga menjadikannya sebagai
landasan-kerja serta pedoman bagi kita semua, ya bagi Presiden/
Mandataris MPRS/Perdana Menteri, ya ba- gi MPRS sendiri, ya bagi
DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan ormas-
ormas, ya bagi ABRI, dan bagi se- luruh rakyat kita dari Sabang sampai
Merau- ke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat.

Memang di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka


Trisakti ki- ta, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian
dalam kebudayaan, berdi- kari di bidang ekonomi, adalah senjata yang
paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajurit-prajurit
revolusi kita, un- tuk menyelesaikan revolusi nasional kita yang maha
dahsyat sekarang ini.

2 . Rencana Ekonomi Perjuangan

Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan


perekono- mian bagaimanapun sulitnya saya minta jangan dilepaskan jiwa
"self-reliance" ini, jiwa percaya kepada kekuatan diri-sendiri, jiwa selfhelp
atau jiwa berdikari. Karenanya, maka dalam melaksanakan Ketetapan-
ketetapan MPRS No. V dan VI tahun 1965 yang lalu, saya telah meminta
Bappenas dengan bantuan dan kerjasama dengan Mup- penas, untuk
menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjuangan
seperti yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang
lalu.

Garis-garis Ekonomi Perjuangan ter- sebut telah selesai dan saya


lampirkan ber- sama ini Ikhtisar Tahunan tentang pelak- sanaan Ketetapan
MPRS No. II/MPRS/1960. Di dalamnya Saudara-saudara akan mem-
peroleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 3 tahun 1966-
1968, yaitu Pra- syarat Pembangunan, dan pola pembiayaan tahun 1966 s/d
1968 melalui Rencana Ang- garan 3 tahun.

3. Pengertian Berdikari

Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang telah
saya nya- takan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu pidato
TAKARI, bahwa berdi- kari tidak berarti mengurangi, melainkan
memperluas kerjasama internasional, teru- tama di antara semua negara
yang baru mer- deka.

Yang ditolak oleh Berdikari adalah keter- gantungan kepada imperialisme,


bukan ker- jasama yang sama-derajat dan saling meng- untungkan.

34
Dan di dalam Rencana Ekonomi Per- juangan yang saya sampaikan
bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa: "Berdikari
bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus meru. pakan
prinsip dari cara kita mencapai tu. juan itu, prinsip untuk melaksanakan
pem- bangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara
atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak
berarti bahwa kita tidak mau kerjasa- ma berdasarkan sama-derajat, dan
saling menguntungkan".

Dalam rangka pengertian politik Ber- dikari demikian inilah, kita harus
menang- gulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekonomi kita dewasa ini,
baik yang hubung. an dengan inflasi maupun yang hubungan dengan
pembayaran hutang-hutang luar negeri kita.

III. HUBUNGAN POLITIK DAN EKONOMI Masalah Ekubang tidak


dapat dilepas- kan dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas
Manifesto Politik kita.

Dekon kita pun adalah Manipol di bi- dang ekonomi, atau dengan kata lain
per kataan "political-economy"-nya pemba ngunan kita. Dekon merupakan
strategi umum, dan strategi umum di bidang pem- bangunan 3 tahun di
depan kita, yaitu tahun 1966-1968, didasarkan atas pemeliharaan
hubungan yang tepat antara keperluan un- tuk melaksanakan tugas politik
dan tugas ekonomi.

Demikianlah tugas politik-keamanan kita, politik-pertahanan kita, politik


dalam negeri kita, politik luar negeri kita dan se- bagainya.

IV. DETAIL KE DPR

Detail dan tugas-tugas ini kiranya tidak perlu diperbincangkan dalam


Sidang Umum MPRS, karena tugas MPRS ialah menyangkut garis-garis
besarnya saja. Detailnya seyogyanya ditentukan oleh pemerintah bersama-
sama dengan DPR, dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang
Dasar 1945.

V. TETAP DEMOKRASI TERPIMPIN

Sekalipun demikian perlu saya peri- ngatkan di sini, bahwa Undang-


Undang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris MPRS bertindak lekas
dan tepat dalam ke- adaan darurat demi keselamatan Negara Rakyat dan
Revolusi kita.

35
Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat dan
bergerak cepat, yang mau tidak mau mengharuskan semua Lembaga-
lembaga demokrasi kita untuk bergerak cepat pula tanpa menyele wengkan
Demokrasi Terpimpin kita ke arah Demokrasi Liberal.

VI. MERINTIS JALAN KE ARAH PEMURNIAN PELAKSANAAN


UUD 1945

Dalam rangka merintis jalan ke arah pe murnian pelaksanaan Undang-


Undang Dasar 1945 itulah, saya dengan surat ter- tanggal 4 Mei 1966
kepada Pimpinan DPRGR memajukan:

a. RUU Penyusunan MPR, DPR, dan DPRD.

b. RUU Pemilihan Umum.

c. Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959 jo Penetapan Presiden No. 3 tahun


1966 untuk diubah menjadi Undang-undang, agar su- paya DPA dapat
ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

VII. KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

Undang-Undang Dasar 1945 itu menye- but pemilihan jabatan Presiden


dan Wakil Presiden, masa jabatannya serta isi sumpahnya dalam satu
nafas, yang tegas bertujuan agar terjamin kesatuan pandangan, kesatu- an
pendapat, kesatuan pikiran dan kesatuan tindak antara Presiden dan Wakil
Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4 ayat 2 UUD).

Dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang


dan ke- kuasaan Negara serta Pemerintahan (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17 ayat 2).

Jiwa kesatuan antara kedua pejabat ne- gara ini, serta pembagian tugas dan
wewe- nang seperti yang ditentukan dalam Un- dang-Undang Dasar 1945
hendaknya kita sadari sepenuhnya.

VIII. PENUTUP

Demikian pula hendaknya kita semua, di luar dan di dalam MPRS


menyadari sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS
sekarang dengan MPR hasil pemilihan umum yang akan datang, agar
supaya benar-benar kemurnian pelaksa- naan Undang-Undang Dasar 1945

36
dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembar- an baru dalam sejarah
kelanjutannya revo-

lusi Pancasila kita. Demikianlah saudara-saudara, teks la- poran program


saya kepada MPRS. Izinkanlah saya sekarang mengucapkan beberapa
patah kata pribadi kepada saudara-saudara, terutama sekali mengenai
pribadi saya.

Lebih dahulu tentang hal laporan program ini. Laporan progress itu saya
simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan golongan, sembilan punt. Maka
oleh karena itu saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu
sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pida- to saya, ada
yang bernama Resopim, ada yang bernama Gesuri, dan lain-lain
sebagainya. Ama- nat saya ini, saya beri judul apa? Sembilan per- kara,
pokok, pokok, pokok, pokok, saya tulis- kan di dalam amanat ini. Karena
itu saya ingin memberi nama kepada amanat ini, kepada pi- dato ini
"Pidato Sembilan Pokok", Sembilan ya sembilan apa? Kita itu biasa
memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat- amanat,
bahkan kita sering memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya
perkataan Sans- krit. Catur Pra Setia, catur empat, setia, kesetia- an. Panca
Azimat, Panca adalah lima. Ini sembi- lan pokok, ini saya namakan apa?

Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah "Nawa" Eka, Dwi, Tri Catur,
Panca, enam-syam tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, se- puluh-
dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan.
"Nawa". "Nawa" apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama "NAWA
AKSARA", DUS "NAWA AKSARA" atau kalau mau disingkat
"NAWAKSARA". Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama
"Sem- bilan Ucapan Presiden", "NAWASABDA". Nanti kalau saya kasih
nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: "Uh, uh, Pre- siden
bersabda". Sabda itu seperti raja bersab- da. Tidak, saya tidak mau
memakai perkataan "sabda" itu, saya mau memakai perkataan "Ak- sara":
bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan
sebagainya. NA- WA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya
berikan kepada pidato ini. Saya pi- dato minta wartawan-wartawan
mengumum- kan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden
NAWAKSARA.

Kemudian saya mau menyampaikan be- berapa patah kata mengenai diri
saya Sendiri. Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa tatkala saya
masih muda, masih amat muda se- kali, bahwa saya miskin dan oleh
karena saya miskin, demikianlan saya sering ucapkan: "Sa- ya tinggalkan
this material world. Dunia jasmani sekarang ini laksana saya tinggalkan,

37
karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada
saya, oleh karena saya miskin".
Maka saya meninggalkan dunia jasmani in dan saya masuk kategori dalam
pidato ketera ngan-keterangan yang sering masuk ke dalam world of the
mind. Saya meninggalkan dunia yang material ini, saya masuk di dalam
world of the mind. Dunianya alam cipta, dunia khayal, du- nia pikiran.
Dan telah sering saya katakan bah saya besar dari sega- wa di dalam world
of the mind itu, di situ berjumpa dengan orang-orang la bangsa dan segala
negara. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan nabi-nabi
besar, di dalam world of the mind itu saya berjum- pa dengan falsafah, ahli
falsafah besar. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pe
mimpin-pemimpin bangsa yang besar, dan di dalam world of the mind itu
saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber
besar.

Saya berjumpa dengan orang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya dari


membaca buku-buku. Salah satu pemimpin besar daripada sesuatu bangsa
yang berjuang untuk kemerde- kaan, ia mengucapkan kalimat sebagai
berikut. The cause of freedom is a deathless cause. Perjuangan untuk
kemerdekaan adalah satu perjuangan yang tidak mengenal mati. The cause
of freedom is a death less cause.

Sesudah saya baca kalimat itu dan renung kan kalimat itu, bukan saja saya
tertarik kepada cause of freedom daripada bangsa saya sendiri dan bukan
saja saya tertarik pada cause of freedom daripada seluruh umat manusia di
dunia ini, tetapi saya karena tertarik kepada cause of freedom ini saya
ingin menyumbangkan diriku kepada deathless cause ini, deathless cause
of my own people, deathless service. Pengabdian kepada perjuangan
kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan, itupun tidak mengenai
maut, ti- dak mengenal habis. Pengabdian yang sungguh- sungguh
pengabdian, bukan service yang hanya lip-service, tetapi service yang
betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang betul-betul pengab- dian,
service yang demikian itu adalah deathless service.

Dan saya tertarik oleh saya punya pendapat sendiri, pendapat pemimpin
besar daripada bangsa yang saya sitir itu tadi, yang berkata "the cause of
freedom is a deathless cause". Saya berkata "not only the cause of freedom
is a deathless cause, but also the service of freedom is a deathless service".

Dan saya, saudara-saudara telah memberi- kan, menyumbangkan atau


menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini,
kepada service of freedom, dan saya sa- dar sampai sekarang the service of
freedom is a deathless service, yang tidak mengenal akhir, yang tidak

38
mengenal maut. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur,
badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan, manusia
bisa dimasukkan di dalam penjara, b dan manusia bisa ditembak mati,
badan manusia bisa di buang ke pengasingan yang jauh daripada tempat
kelahiran, tetapi ia punya service of free dom tidak bisa ditembak mati,
tidak bisa dike rangkeng, tidak bisa dibuang di tempat peng asingan, tidak
bisa ditembak mati.

Dan saya beritahu kepada saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri,


saya, saudara-sau- dara telah lebih daripada tiga puluh lima tahun, hampir
empat puluh tahun dedicate myself to this service of freedom. Yang saya
menghendaki agar supaya seluruh, seluruh, seluruh rakyat Indone sia
masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of freedom ini is
a deathless service. Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah di tangan- nya
Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya dedicate my self, may all to this
service of freedom, itu adalah Tuhan punya urusan.

Karena itu maka saya terus, terus, terus sela- lu memohon kepada Allah
SWT, agar saya dibe- ri kesempatan untuk ikut menjalankan aku pu nya
service of freedom' ini. Tuhan yang menentu kan. De mens wikt, God
beslist, manusia bisa ber- kehendak macam-macam, Tuhan yang menen-
tukan. Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu.
Cuma saya juga dihadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah
saya kesempatan, kekuatan, taufik, hi- dayah untuk dedicate may self to
this great cause of freedom and to this great service.

Inilah saudara-saudara yang saya hendak katakan kepadamu dalam saya


pada hari se- karang ini memberi laporan kepadamu. Moga- moga Tuhan
selalu memimpin saya, moga-mo- ga Tuhan selalu memimpin saudara-
saudara sekalian.

Sekianlah.” (Arifin, 2019 : 38 – 57)

Dan berikut akan dipaparkan mengenai keputusan MPRS terhadap pidato


pertanggungjawaban Bung Karno yang bertajuk Nawaksara tersebut…

“Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik


Indonesia
No. 5/MRS/1966

Tentang

39
Tanggapan Majelis terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di
Depan Sidang Umum IV MPRS pada Tanggal 22 Juni 1966 yang
Berjudul Nawaksara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS


PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK
INDONESIA

Menimbang: a. Bahwa keseluruhan pidato Presiden

Mandataris MPRS yang disampaikan kepa da MPRS pada tanggal 22 Juni


1966 yang ber judal NAWAKSARA, yang meliputi batang tubuh laporan
dan lampiran-lampirannya kurang memenuhi harapan rakyat, khususnya
anggota-anggota Majelis Permusyawa- ratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia karena tidak memuat secara jelas pertang- gunganjawab tentang
kebijaksanaan Presi- den/Mandataris MPRS mengenai peristiwa kontra
revolusi G.30.S/PKI beserta epiloog- nya.

b. Bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia


dalam me- lakukan penilaian terhadap pidato tersebut tidak dapat
melepaskan diri dari keadaan kehidupan sosial-politik sebelum dan sesu-
dah 1 Oktober 1966 yang menjadi tanggung jawab rakyat Indonesia,
khususnya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Repu- blik
Indonesia.

c. Bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, serta berlandaskan


pada dasar falsa- fah Pancasila, yang berjiwa persatuan dan kesatuan, hati
nurani yang luhur dan penuh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Majelis Permusyawaratan Rakyat Semen- tara Republik Indonesia
mengutamakan terselenggaranya kejayaan masa depan revolusi Indonesia
untuk mencapai tiga segi kerangka tujuannya.

Mengingat
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2), pasal 2 ayat (3), dan pasal 4.

Mendengar:
Permusyawaratan dalam rapat-rapat MP dari tanggal 20 Juni sampai
dengan 5 juli 1966

MEMUTUSKAN

KEPUTUSAN TENTANG TANGGAPANMA JELIS


PERMUSYAWARATAN RAKYAT SE MENTARA REPUBLIK

40
INDONESIA TER HADAP PIDATO PRESIDEN/MANDATARIS MPRS
DI DEPAN SIDANG UMUM IV MPRS PADA TANGGAL 22 JUNI
1966 YANG BERJU DUL NAWAKSARA

Pasal 1

Setelah mendengar, mempelajari, dan meme hami Pidato


Presiden/Mandataris MPRS yang berjudul Nawaksara, minta kepada
Presiden supaya melengkapi laporan pertanggunga jawabnya kepada
MPRS, khususnya mengen sebab-sebab terjadinya peristiwa G.30.S/PK
beserta epiloognya dan kemunduran ekonom serta akhlak.

Pasal 2

Menugaskan kepada Pimpinan serta Badan Pekerja MPRS untuk


menanggapi hal tersebut di atas.
Pasal 3

Mengharapkan agar untuk masa selanjutnya Presiden memberi


pertanggunganjawab yang selengkap-lengkapnya sesuai dengan makna
Undang-Undang Dasar 1945.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal: 5 Juli 1966

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA


REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

Dr. A.H. Nasution Jenderal TNI

Wakil ketua, Wakil ketua,

Osa Maliki H.M. Subchan Z.E.

Wakil ketua, Wakil ketua,

M. Siregar Mashudi Brigjen


TNI” (Arifin, 2019 : 58 - 61)

41
Setelah penyampaian pidato tersebut, Bung Karno kembali
menyampaikan sebuah pelengkap bagi pidato Nawaksara pada 10 Januari
1967. Berikut isi pelengkap pidato tersebut…

“Pelengkap Pidato Nawaksara

Jakarta, 10 Januari 1967

No. : 01/Pres/67

Hal : Pelengkapan Pidato Nawaksara Kepada Yth. Presiden Republik


Indonesia Pimpinan MPRS

Di Jakarta

Saudara-saudara,

Menjawab nota Pimpinan MPRS No. Nota 2/Pimp/MPRS/1966 perihal


melengkapi la- poran pertanggunganjawab sesuai keputusan MPRS
No.5/MPRS/1966, maka dengan ini saya nyatakan

I. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan


Keputusan MPRS sebelum Sidang Umum IV, tidak ada keten- tuan, bahwa
Mandataris harus memberikan pertanggunganjawab atas hal-hal yang "ca-
bang". Pidato saya yang saya namakan "Na- waksara" adalah atas
kesadaran dan tang- gung jawab saya-sendiri, dan saya maksud- kannya
sebagai semacam "Progress report sukarela" tentang pelaksanaan mandat
MPRS yang telah saya terima terdahulu.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan bahwa MPR menentukan


garis- garis besar haluan negara, dan tentang pelak- sanaan garis-garis
besar haluan negara ini- lah Mandataris harus mempertanggung- jawabkan
(Lihat UUD pasal 3). Juga dalam penjelasan daripada pasal 3 UUD ini
nyata benar bahwa Mandataris harus memper- tanggungjawabkan tentang
pelaksanaan keputusan MPRS mengenai garis-garis be- sar haluan negara
itu. Dus tidak tentang hal-hal lain.

Namun "for the sake of state-speech-ma- king", maka atas kehendak saya
sendiri saya mengucapkan "Nawaksara" itu.

11. Sebagai pemenuhan daripada ketentuan- ketentuan Undang-Undang


Dasar 1945 me ngenai hubungan fungsionil antara Presiden/Mandataris
dengan MPRS, maka telah berkonsultasi dengan presidium Kabi net

42
Ampera khususnya dengan Pengemban S.P. 11 Maret 1966, dan para
Panglima Ang. katan Bersenjata beberapa kali, dengan ini saya
menyampaikan penjelasan-penjelasan sebagai pelengkapan Nawaksara
sebagai berikut:

Pertama-tama saya memperingatkan Saudara-saudara, bahwa saya di


samping "Nawaksara" itu telah menyerahkan ba- nyak lampiran kepada
MPRS. Dan saya se- karang mengajak Saudara dan segenap rak- yat
Indonesia untuk menyadari lagi, bahwa situasi politik di tanah air kita
adalah ga- wat, sehingga kita bersama harus berusaha sekuat tenaga untuk
meniadakan situasi konflik, demi untuk menyelamatkan revo- lusi kita.

Untuk itu, maka perlu kita kembali ke- pada prinsip perjuangan yang
berulang- ulang saya tandaskan, yaitu: pemupukan persatuan dan kesatuan
di antara segenap kekuatan progresif revolusioner di kalang an rakyat
Indonesia, serta menekankan ke- pada kewaspadaan istimewa terhadap ba
haya kekuatan kontra revolusi di dalam ne gara dan bahaya kekuatan
subversi-kontra revolusioner dari luar negeri.
Untuk memenuhi permintaan saudara saudara kepada saya mengenai
penilaian terhadap peristiwa G.30.5, maka saya sen diri nyatakan: a) G30S
ada satu "complete over-rompeling" bagi saya

b) Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan da- Jam pidato 5 Oktober 1966
saya berkata: "Sudah terang Gestok kita kutuk." Dan saya, saya
mengutuknya pula.

Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas,
bah- wa "Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan
MAHMILLUB". c) Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban SP 11
Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro' dan Mi'raj di Istana
Negara y.I., yang antara lain berbunyi: "Setelah saya mencoba memahami
pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal
5 Okto- ber 1966, dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya
sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 Sep- tember
yang didalangi oleh PKI berkesim- pulan, bahwa Bapak Presiden juga
telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI walaupun Bapak Presiden
menggunakan istilah "Gestok".
Autorisasi ini saya berikan kepada Jen deral Soeharto, pagi sebelum ia
mengucap kan pidato itu pada malam - harinya di Is tana Negara.

Saya memang selalu memakai kata Ge tok. Pembunuhan kepada Jenderal-


jenderal dan ajudan dan pengawal-pengawal terjadi pada 1 Oktober pagi-

43
pagi sekali. Saya menyebutnya "gerakan satu Oktober", singkatnya
Gestok.

d) Penyelidikan yang seksama menunjukkan, bahwa peristiwa G.30.S itu


ditimbulkan oleh "pertemuannya" tiga sebab, yaitu:
a. Kebelingeran pimpinan PKI
b. Kelihaian subversi Nekolim
c. Memang adanya oknum-oknum yang "tidak benar".

e) Kenapa saya saja yang diminta pertang- gunganjawab atas terjadinya


G.30.S atau yang saya namakan Gestok itu? Tidakkah misalnya Menko
Hankam (waktu itu) juga bertanggungjawab?

Sehubungan dengan ini saya menanya: Siapa yang bertanggungjawab atas


usaha membunuh Presiden/Pangti dengan peng granatan hebat di Cikini?

Siapa yang bertanggungjawab atas pemberon- dongan dari pesawat udara


kepada saya oleh Maukar?
Siapa yang bertanggungjawab atas penggranat- an kepada saya di
Makassar?

Siapa yang bertanggungjawab atas pemortiran kepada saya di Makassar?


Siapa yang ber- tanggungjawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di
dekat gedung Stanvac?

Siapa yang bertanggungjawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di


selatan Cisalak? Dan lain-lain, dan lain-lain.

Syukur Alhamdulillah, saya dalam semua pe- ristiwa itu dilindungi oleh
Tuhan! Kalau ti- dak, tentu saya sudah mati terbunuh! Dan mungkin akan
Saudara namakan satu "tra- gedi nasional" pula. Tetapi sekali lagi saya
menanya: Kalau saya disuruh bertanggung- jawab atas terjadinya G-30-S,
maka saya me- nanya: Siapa yang dimintai pertanggung- jawab atas usaha
pembunuhan kepada Pre- siden/Pangti, dalam tujuh peristiwa yang saya
sebutkan di atas itu?

Kalau bicara tentang "Kebenaran dan Keadilan" maka saya pun minta
"Kebenaran dan Keadilan".

f) Adilkah saya sendiri disuruh bertanggung- jawab atas kemerosotan di


bidang ekonomi? Marilah kita sadari, bahwa keadaan ekonomi suatu
bangsa atau negara, bukanlah disebab- kan oleh satu orang saja, tetapi

44
adalah satu resultante daripada proses faktor-faktor obyektif dan
masyarakat.
Satu contoh pertanyaan Siapakah yang bertanggungjawab atas terus
menanjaknya harga harga dewasa ini, dan macetnya ba nyak perusahaan
perusahaan swasta?

Sebagaimana telah saya kemukakan dalam salah satu pidato saya, maka
meng konstatir bahwa dengan adanya peristiwa peristiwa seperti DI/TII.
PKI Madiun, Andi Azis RMS. PRRI/Permesta (juga di sini saya menanya:
Siapa yang harus bertang gungjawab)-maka kita tidak boleh tidak tentu
mengalami kemunduran di segala bi dang dengan sendirinya kemunduran
itu g

menyangkut pula pada bidang ekonomi. ) Tentang "kemerosotan akhlak"


di sini juga saya sendiri saja yang harus bertanggung- jawab?

Mengenai soal akhlak, perlu dimaklumi bahwa akhlak pada suatu waktu
adalah ha sil perkembangan daripada proses kesadaran dan lakutindak
masyarakat dalam keselu ruhannya, yang tidak mungkin disebabkan oleh
satu orang saja.

Satu contoh pertanyaan misalnya: Siapa kah yang bertanggungjawab


bahwa se karang ini puluhan pemudi sekolah me nengah dan mahasiswa
wanita menjadi korban daripada perbuatan amoral?
b) Dus: dengan menyadari faktor-faktor yang kompleks, yang menjadi
sebab-musabab dari terjadinya peristiwa-peristiwa sebagai termaktub di
atas, demikian pula mengingat kompleksitas dari pengaruh-pengaruh pe
ristiwa-peristiwa tersebut kepada segala bidang, maka tidak adillah kiranya
hal-hal

itu ditekankan pertanggungjawabnya kepa-

da satu orang saja.

i) Demikianlah jawaban saya atas surat Saudara-saudara tertanggal 22


Oktober itu. Hendaknya jawaban saya ini Saudara ang- gap sebagai
pelengkap Nawaksara, yang Saudara minta, sebagai pelaksanaan dari-
pada keputusan MPRS No.5/MPRS/1966

Wassalam

Presiden/Mandataris MPRS

45
Sukarno”
(Arifin, 2019 : 62 - 69)
Pada akhirnya Pidato Nawaksara ini ditolak oleh MPRS dan soekarno,
mau tidak mau harus turun dari jabatannya sebagai presiden kala itu, diganti
oleh Pak Harto yang nama beserta kedudukannya sangat kuat kala itu, setelah
terjadi G30S atau yang lumrah disebut Gestok.

C. Pasca Nawaksara

Ada banyak perubahan yang terjadi selama pergantian kekuasaan


antara Orde Lama ke Orde Baru. Ada banyak kebijakan pula yang diambil
berdasarkan perpindahan kekuasaan ini, berikut penjelasannya…
“ Mengutuk Komunisme
Kubu Organisis 45
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) berikut
ini memperkuat dan memperluas pelarangan terhadap PKI dan organisasi-
organisasi sekutunya, yang sebelumnya sudah dikeluarkan oleh angkatan
darat atas nama Sukarno pada 12 Maret 1966, sehari setelah
dikeluarkannya Supersemar. Bacaan ini diambil dari Majelis
Permusyawaratan Rakyat (1989: 179-81).
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
KETETAPAN
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
No.: XXV/MPRS/1966
tentang

Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi


Terlarang si Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai
Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan
atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme.

46
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS
PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang:
a. Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti
hakikatnya bertentangan dengan Pancasila;
b. Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang meng-
anut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khusus- nya
Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik
Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha mero- bohkan
kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan
kekerasan;
c. Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas terhadap
Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang
menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Ko-
munisme/Marxisme-Leninisme;
Mengingat:
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3),
Mendengar:
Permusyawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari tanggal 20 Juni sampai
dengan 5 Juli 1966.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KETETAPAN TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS
INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG
DI SELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI
PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP
KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN
PAHAM ATAU AJARAN KOMUNISME/MARXISME-LENINISME.”
(David Bourchier, 2006 : 45 – 46)
Ya, kebijakan yang diambil oleh Orba tidak lain dan tidak bukan adalah
pelarangan parti berbau Marxisme di Indonesia. Tidak mengherankan
mengingat peristiwa G30S lah penyebab pergantian kekuasaan.
“Dwifungsi ABRI

47
Di Indonesia, ABRI lahir dari rakyat dan di tengah-tengah rakyat sejak
meletusnya revolusi fisik dalam perjuangan melawan penjajah demi
tercapainya kemerdekaan. Sejak tercapainya kemerdekaan nasional, ABRI
ikut berjuang bersama seluruh rakyat dalam mengisi kemerde- kaan. Oleh
karena itu ABRI di Indonesia bukanlah semata-mata tentara profesional
sebagai alat Hankam, melainkan juga sebagai suatu kekuatan sosial. Hal
ini merupakan suatu fakta dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Sejak
semula ABRI telah melaksanakan kedua fungsi itu, yang kini dikenal
sebagai dwifungsi ABRI

Suatu fakta sejarah pula, bahwa ABRI selalu merupakan kekuatan


pengawal dan pengaman Pancasila dari segala macam rongrongan dan
penyelewengan, baik dari kaum ekstrem kanan maupun kaum ekstrem kiri.

Sejak timbulnya Orde Baru di Indonesia sesudah terjadinya peng-


khianatan Gestapu/PKI dan runtuhnya Orde Lama, ABRI telah meru-
pakan suatu faktor yang dominan dalam kehidupan nasional dalam ber-
bagai bidang. Lebih daripada itu, ABRI merupakan stabilisator dan dina-
misator serta pengaman bagi politik Orde Baru.” (David Bourchier, 2006 :
47 – 48)
Dalam hal keamanan, Orde baru sudah tidak asing dengan yang Namanya
Dwifungsi ABRI. Dikala Angkatan bersenjata dimasukkan ke dalam
pemerintahan sebagai pengawas dan penyelesai masalah secara langsung di
masyarakat.
Selain itu ada juga yang Namanya Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Sebuah projek dari masa orde baru untuk melakukan boost terhadap
perekonomian di Indonesia.
“Pembangunan Lima Tahun

Salah satu program yang terkenal dari pemerintahan Soeharto adalah


Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Pembangunan ini nyata terlihat dan
bisa dinikmati oleh rakyat Indonesia. Pada masa pemerintahan Soeharto,
program ini berhasil dilakukan sebanyak 6 kali. Berikut sekilas ulasan
mengenai program-program tersebut:

1. Pelita l

48
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974. Program ini
menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru. Tujuan Pelita 1 adalah
meningkatkan taraf hidup rakyat, dan sekaligus meletakkan dasar-dasar
bagi pembangunan dalam tahap berikutnya. Sasaran Pelita 1 adalah
pangan, sandang. perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Program ini menitikberatkan
pada pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaruan bidang pertanian,
karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian

2. Pelita II
Dilaksanakan pada 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979, Sasaran utamanya
adalah tersedianya pangan, sandang, peru- mahan, sarana dan prasarana,
menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan
Pelita II cukup berhasil. Pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per
tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru, laju inflasi men- capai 60%.
Pada akhir Pelita 1, laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya, pada
tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.

3. Pelita III
Dilaksanakan pada 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita. III
pembangunan masih mendasarkan pada Trilogi Pemba ngunan, dengan
penekanan pada segi pemerataan yang dikenal sebagai Delapan Jalur
Pemerataan, yaitu sebagai berikut:
a. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat,khususnya sandang,
pangan dan perumahan.
b. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan
Kesehatan
c..Pemerataan pembagian pendapatan.
d. Pemerataan kesempatan kerja.Pemerataan kesempatan berusaha.
f. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pemba- ngunan, khususnya
bagi generasi muda dan kaum perempuan Pemerataan penyebaran
pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
h. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

49
4. Pelita IV
Dilaksanakan pada 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya
adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi
pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian
Indonesia. Peme rintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan
fiskal Sehingga, kelangsungan pembangunan ekonomi dapat
dipertahankan.

5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994, Titik
beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiliki kondisi
ekonomi yang cukup baik dengan pertum buhan ekonomi rata-rata 6,8%
per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang
menggembirakan Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.

6. Pelita VI
Dilaksanakan pada 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya
masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan
industri dan pertanian, serta pembangunan dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang
sebagai penggerak utana pembangunan. Pada periode ini, terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam geri yang mengganggu
perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.” (Jonar T.H.
Situmorang, 2016 : 250 – 252).
Sistem Pendidikan juga coba dikuatkan lagi, khususnya Pendidikan
kewarganegaraan yang digunakan sebagai doktrin agar paham-paham lain
tidak masuk ke Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Yogyakarta:

50
Kepustakaan Populer Indonesia.

Reeve, David. 2013. GOLKAR Sejarah yang Hilang Akar Pemikiran dan
Dinamika. Depok: Komunitas Bambu.

Anwar, Rosihan. 2006. Sukarno, Tentara, PKI : segitiga kekuasaan sebelum


prahara politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Fic, Victor M. 2005. Kudeta 1 Oktober 1965 sebuah studi tentang konspirasi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dhakidae, Daniel. 2013. Soekarno: membongkar sisi-sisi hidup putra sang fajar,
Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Arifin. 2019. Bung Karno, Nawaksara, dan G30S, Yogyakarta: Media Pressindo.

Ling, Tan Swie. 2010. G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme,
Depok: Komunitas Bambu.

Hasugian, DJ. 1992. Lahirnya Surat Perintah 11 Maret, Bandung: Remaja Rosda
Karya.

Luhulima, James. 2007. Menyingkap dua hari tergelap di tahun 1965 : melihat
peristiwa G30S dari perspektif lain, Jakarta: Kompas.

Bourchier, David. 2006. Pemikiran sosial dan politik Indonesia periode 1965-
1999,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Syafron Rozi, Efriza. 2010. PARLEMEN INDONESIA GELIAT VOLKSRAAD


HINGGA DPD Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti, Bandung:
Alfabeta.

Suci, Alfred. 2015. Top secret konspirasi membongkar tuntas kasus konspirasi
yang belum pernah terungkap, Jakarta, Phoenix.

Tim Lembaga Analisis Informasi. 2010. Kontroversi Supersemar : dalam transisi


kekuasaan Soekarno-Soeharto, Yogyakarta: Media Pressindo.

Harsono, Ganis. 1985. Cakrawala Politik Era Soekarno, Jakarta : Inti Idaayu
Press.

Kasenda, Peter. 2014. Bung Karno Panglima Revolusi, Yogyakarta: Galang


Pustaka.

Wardaya, SJ, Dr. Baskara T. 2009. Bung Karno Menggugat!, Yogyakarta:

51
Galangpress.

Pour, Julius. 2010. Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang,


Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Situmorang, Jonar T.H. 2016. Presiden daripada Soeharto, Yogyakarta, Palapa.

Trionggo, Ira. 2014. Rindu Soeharto, Yogyakarta: Penerbit Bangkit.

Kasendra, Peter. 2013. Soeharto: bagaimana bisa dia melanggengkan


kekuasaannya selama 32 tahun?, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Aning S, Floriberta. dkk. 2005. 100 tokoh yang mengubah Indonesia : biografi
singkat seratus tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia di abad 20,
Yogyakarta: Narasi.

Susan, Novri. 2012. Negara Gagal Mengelola Konflik Demokrasi dan Tata
Kelola
Konflik di Indonesia, Makassar: Universitas 45.

Mirnawati. 2012. KUMPULAN PAHLAWAN INDONESIA TERLENGKAP,


Jakarta, CIF.

DS, Herman. 2015. Mengurai Kabut Pekat Dalang G30S, Yogyakarta: Palapa.

Haris, Syamsudin. 1995. Menelaah kembali format politik orde baru, Jakarta:
Gramedia.

52
53

Anda mungkin juga menyukai