Anda di halaman 1dari 15

Kebijakan Politik Dalam Negeri Orde Baru

Kebijakan Politik Dalam Negeri Orde Baru

1. Pembentukan Kabinet Pembangunan

Kabinet pertama pada masa peralihan kekuasaan adalah Kabinet Ampera dengan tugasnya Dwi
Dharma Kabinat Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi sebagai
persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet Ampera terkenal dengan
nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni

· Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan

· Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968

· Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional

· Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya

· Setelah MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menetapkan Soeharto sebagai presiden RI untuk masa
jabatan lima tahun, maka dibentuklah

Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut Panca Krida yang meliputi:

1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi

2. Menyusun dan melaksanakan Pemilihan Umum

3. Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September

4. Membersihkan aparatur Negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.


2. Pembubaran PKI dan Organisasi massanya

Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai
pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:

· Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No
IX/MPRS/1966

· Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia

· Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30
September 1965.

3. Penyederhanaan Partai Politik

Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai- partai politik
menjadi tiga kekuatan social politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan
pada kesamaan ideology, tetapi lebih atas persamaan program. Tigakekuatan social politik itu
adalah:

· Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI

· Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba,
IPKI, dan Parkindo

· Golongan Karya

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upayamenciptakan
stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan
sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama, karena
adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsiserta pemahaman Pancasila
sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
4. Pemilihan Umum

Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun
1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu.[
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP memperoleh 5,43 %dengan
peroleh 27 kursi. Dan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara hanya mendapat11 kursi. Hal
disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah
menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP
.Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan
kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan
asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalamkenyataannya Pemilu diarahkan
untuk kemenangan salah satu kontrestan Pemilu yaituGolkar.Kemenangan Golkar yang selalu
mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana
perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan
Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru
presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-
undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa
catatan.

5. Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI

Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda kepada ABRI,
yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi
ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah
tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama.
di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.
Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai
stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya telah diperankan ABRI sejak zaman
Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan meneruskan
perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang
dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah G 30 S PKI,
yangmelahirkankan Orde Baru. Boleh dikatakan peran dinamisator telah menempatkan ABRI pada
posisiyang terhormat dalam percaturan politik bangsa selama ini.

6. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah referendum yang diadakan pada tahun 1969 di Papua
Barat yang untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau
Indonesia. Pemilihan suara ini menanyakan apakah sisa populasi mau bergabung dengan Republik
Indonesia atau merdeka. Para wakil yang dipilih dari populasi dengan suara bulat memilih persatuan
dengan Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB, meskipun validitas suara telah ditantang dalam
retrospeksi.

Sebagai bagian dari perjanjian New York , Indonesia sebelum akhir tahun 1969 wajib
menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat. Pada awal tahun 1969, pemerintah
Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera. Penyelenggaraan Pepera dilakukan 3 tahap yakni
sebagai berikut,

· Tahap pertama dimulai pada tanggal 24 maret 1969. Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan
deewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera.

· Tahap kedua diadakan pemilihan Dewan Musyawarah pepera yang berakhir pada bulan Juni 1969.

· Tahap ketiga dilaksanakan pepera dari kabupaten Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus
1969 di Jayapura.

Pelaksanaan Pepera itu turut disaksikan oleh utusan PBB, utusan Australia dan utusan Belanda.
Ternyata hasil Pepera menunjukkan masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan NKRI.
Hasil Pepera itu dibawa ke sidang umum PBB dan pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum
PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera

7. Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)

Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk
menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan namaEkaprasatya Pancakarsa atau
Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945secara murni dan konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah
menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4
ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan
adanya pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan
persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini
rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Dan sejak tahun
1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan kehidupan berorganisasi. Semua
bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai
sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila
menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya
dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan
industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Dan Pancasila dianggap memiliki kesakralan
(kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.

SUMBER : https://arikhamid.wordpress.com/tag/kebijakan-politik-
orde-baru/
Kebijakan-kebijakan Politik pada Masa Orde Baru dalam Bidang Politik, Ekonomi dan Sosial
budaya
Edukasi
Kebijakan-kebijakan Politik pada Masa Orde Baru dalam Bidang Politik, Ekonomi dan Sosial
budaya
Kebijakan politik pada masa orde baru – Kebijakan pembangunan yang dibuat oleh
pemerintah masa orde baru didasarkan cerminan dinamika pergulatan pemikiran tentang
ekonomi-politik pembangunan yang berkembang dalam sebuah komunitas politik pada
negeri ini.

Oleh sebab itu untuk bisa memahami kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, kita harus
lebih mengkaji berbagai pemikiran yang berkembang di kalangan tokoh dunia bisnis,
pemimpin politik, dan kalangan intelektual.

Masa era orde baru ditandai dengan pelantikan presiden baru pengganti Presiden Soekarno
yaitu Jendral Soeharto. Pada saat itu Jendral Soeharto dilantik pada tanggal 12 Maret 1967
sebagai Presiden Republik Indonesia. Dan pada pemerintah orde barulah penataan kembali
tatanan seluruh kehidupan bangsa dan negara serta menjadi titik awal evaluasi terhadap
penyelewengan pada masa pemerintahan terdahulu.
Kebijakan Politik Luar Negeri Pada Masa Orde Baru

Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Kabinet Ampera atau kabinet yang dibuat pada masa
pemerintahan Presiden Soeharto dalam menata ulang politik luar negeri, antara lain:
1. Kembalinya Indonesia Menjadi Anggota PBB

Pada tanggal 28 September 1966, Indonesia kembali menjadi salah satu anggota PBB. Dan
tercatat sejarah Indonesia menjadi negara ke-60 yang telah bergabung dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa tersebut. Kebijakan itu pun membuat Indonesia memperoleh banyak
manfaat, yaitu:

Indonesia mendapatkan sumbangan dari PBB dalam bidang kebudayaan, sosial dan
ekonomi.
PBB mempunyai andil besar dalam proses kembalinya Irian Barat ke wilayah Indonesia.
PBB juga berperan dalam mempercepat pengakuan de jure ataupun de facto kemerdeaan
Indonesia di mata dunia.

2. Pemulihan Hubungan Dengan Malaysia

Pada masa orde baru diputuskan untuk memulihkan hubungan dengan Negara Malaysia
yang ditetapkan pada ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966. Usaha untuk menjalin hubungan
baik dengan Malaysia akhirnya berhasil dicapai dengan pendatanganan Jakarta Accord pada
tanggal 11 Agustus 1966. Sebenarnya normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia itu
merupakan hasil perundingan di Bangkok (29 Mei hingga 1 Juni 1966)

Perundingan tersebut dikenal dengan Perundingan Bangkok. Dari perundingan tersebut


menghasilkan beberapa hal, yaitu:

Kedua pemerintahan ( Indonesia & Malaysia ) menghentikan segala bentuk permusuhan.


Persetujuan pemulihan hubungan diplomatik antar kedua negara tersebut.
Rakyat Serawak dan Sabah akan diberi kesempatan guna menegaskan kembali keputusan
yang telah diambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.

3. Membentuk Sebuah Organisasi Antar Negara Asia Tenggara Yaitu ASEAN

Organisasi ASEAN itu prakarsai lima menteri luar negeri di kawasan Asia Tenggara yaitu
Adam Malik dari Indonesia, Tun Abdul Razak dari Malaysia, Narsisco Ramos dari Filipina,
Thanat Khoman dari Thailand dan S. Rajaratnam dari Singapura. Deklarasi ASEAN
dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Salah satu tujuan utama
didirikannya ASEAN itu untuk bekerja sama secara regional dalam perkembangan
kebudayaan, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial.
4. Mengikuti Berbagai Organisasi Internasional

Indoensia banyak sekali mendapatkan bantuan dana untuk pembangunan. Salah satu
organisasi Internasional yang membantu Indonesia yaitu Consultative Group on Indonesia
(CGI). Namun sebelum mendapat bantuan dari CGI, Indonesia mendapatkan bantuan
terlebih dahulu dari Inter-Governmental Group On Indonesia (IGGI) yang didirikan pada
tahun 1967.
Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan jangka panjang dengan bunga yang ringan
kepada Negara Indonesia dalam permasalahan pendanaan pembanggunan Indonesia.
Anggota IGGI terdiri atas dua kelompok, yaitu:

Badan keuangan dunia, baik regional dan internasional, antara lain Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE), Dana Moneter Internasioanl (Internatiaonal Monetary Fund), Dana Moneter
Internasional, Bank Pembangunan Asia(Asian Development Bank, dan juga Bank Dunia
(World Bank).
Negara kreditor, yaitu Kanada, Amerika Serikat, Selandia Baru, Australia, Jerman Barat,
Belanda, Jepang, Swiss, Italia, Belgia, Prancis dan juga Inggris.

Pembentukan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC)

Perkembangan ekonomi dan dunia pada saat itu berubah dengan cepat, hal itu menjadi
latar belakang terbentuknya APEC. Pada saat itu Putaran Urugay dalam hal masalah
perdagangan bebas gagal disepakati. Menimbulkan kekhawatiran akan menimbulkan sikap
proteksi dari negara-negara maju.

Indonesia pun sebagai anggota APEC, saat itu ditunjuk sebagai ketua APEC untuk periode
1993 hingga 1995. Berperan sebagai ketua APEC, Indonesia sukses menyelenggarakan
Pertemuan APEC di daerah Bogor pada tanggal 14-15 November 1994 yang dihadiri oleh 18
negara. Dan saat sidang APEC di Tokyo pada tahun 1995, memutuskan untuk era
perdagangan bebas akan mulai diterapkan di tahun 2003 bagi negara mau dan tahun 2010
untuk negara berkembang.

SUMBER : https://saatsantai.com/masa-orde-baru/
1. Kebijakan politik era Orde Baru
Pelaksanaan politik Orde Baru diletakkan pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Tonggak munculnya Orde Baru jelas sebagai wujud pelaksanaan
Supersemar yang bukan hanya diartikan sebagai kepercayaan Presiden Soekarno kepada
Letjen Soeharto, namun juga kehendak rakyat Indonesia. Pada tanggal 20 Juni 1966, MPRS
menyelenggarakan sidang umum yang menerima dan menetapkan Supersemar dalam salah
satu kesepakatan, dari 24 ketetapan yang dihasilkannya.

Berikut ketatapan MPRS terkait Supersemar dan perkembangan politik pada saat itu :

Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang memperkuat kebijaksanaan presiden/panglima


tertinggi ABRI/pemimpin besar revolusi/mandataris MPRS Republik Indonesia yang
dituangkan dalam Supersemar dan meningkatkan menjadi Ketetapan MPRS.
Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tentang pemilihan umum yang dilaksanakan secara
Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER). Pemungutan suara dilakukan selambat-
lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan
Politik Luar Negeri yang Bebas Aktif. Bertujuan membentuk satu persahatan yang baik
antara Indonesia dan semua negara di dunia, terutama negara negara di Asia-Afrika atas
dasar kerja sama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan
kolonialisme menuju perdamaian dunia yang sempurna.
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera yang
menggantikan Kabiner Dwikora.
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia
(PKI), pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah RI dan larangan setiap
kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham dan ajaran
Komunisme/Marxisme/Leninisme.

Di hari yang sama pada Sidang Umum MPRS tanggal 20 Juni 1966, Presiden Soekarno
menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di hadapan anggota MPRS berkaitan dengan
pemberontakan G30S/PKI. Pertanggungjawaban tersebut berjudul Nawaksara. Kemudian di
ganti dengan judul "Pelengkap Nawaksara" setelah presiden melengkapi
pertanggungjawabannya pada 10 Januari 1967. Akan tetapi, pertanggungjawaban tersebut
akhirnya di tolak oelh MPRS melalui Ketetapan MPRS No. V/MPRS/1966. Oleh karna itu,
MPRS melaksanakan Sidang Istimewa pada tanggal 7-12 Maret 1967 yang menghasilkan 4
ketetapan yaitu :
Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan
Negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Letjen Soeharto pemegang Tap MPRS No.
IX/MPRS/1966 sebagai pejabat presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilu.
Ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 tentang Peninjauan Kembali Tap MPRS No.
I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN).
Ketetapan MPRS No. XXXV/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS No.
XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi.
Ketetapan MPRS No. XXXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS No.
XXVI/MPRS/1966 tentang Pencabutan Panitia Penelitian Ajaran-ajaran Pemimpin Besar
Revolusi Bung Karno.

Selain itu, pemerintahan Orde Baru juga menerapkan wajibnya penataran P-4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) . Sebagaimana kita ketahui bahwa pancasila
ditetapkan sebagai falsafah landasan idiil negara Indonesia. Pancasila sudah ditetapkan
sebagai dasar negara sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Namun, ide untuk
merumuskan setiap pasal tentang apa yang terkandung di dalamnya baru muncul setelah
tiga dasawarsa lamanya.

Perumusan P-4 berawal dari dibentuknya sebuah kepanitiaan yang dinamakan Panitia Lima
yang beranggotakan lima orang Presiden Soeharto. Antara lain : Drs. Mohammad Hatta
sebagai ketua, Mr Ahmad Subarjo, Prof. Mr. A.G. Pringgodogdo, Prof. Mr. Sunaryo, dan Mr.
A.A Maramis. Pada tanggal 10 Februari 1975, panitia ini menyampaikan hasil kerjanya yang
diberi nama "Uraian Pancasila" kepada pers "Uraian Pancasila" ini selanjutnya diserahkan
kepada pemerintah untuk dibahas bersama-sama dengan mempertimbangkan usulan dari
berbagai pihak. Setelah mencapai kesepakatan dalam pembahasan, maka hasilnya,
dinamakan "Eka Prastya Pancakarsa".

Pada Sidang Umum MPR RI tanggal 11-23 Maret 1978, pemerintah mengajukan "Eka Prastya
Pancakarsa" untuk dibahas dan mendapat pengesahan dari MPR. Akhirnya MPR dengan
ketetapan No. II/MPR/1978 menetapkannya sebagai Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila atau di singkat P-4.

Tujuan Penataran P-4 adalah membentuk masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa
Pancasilais atau manusia Pancasilais. Manusia Pancasilais adalah manusia yang dalam
keadaan apapun selalu mengamalkan Pancasila secara konsisten dan konsekuen. Konsisten
berarti setia kepada apa yang di yakini benar dan adil. Konsekuen berati kemampuan
menghadapi konsekuensi atai akibat dari sikap laku dengan tabah, sabar, tawakal, serta
bertanggung jawab.

Pada tanggal 1 Oktober 1978, untuk pertama kalinya diadakan penetaran tingkat nasional
yang di buka langsung oleh Presiden Soeharto. Penataran itu diikuti oleh para pejabat tinggi
negara. Setalah itu, diadakan penataran-penataran tingkat daerah yang diikuti oleh para
pejabat daerah dan PNS. Dimana orang yang menatar adalah para pejabat tinggi yang
pernah mengikuti penataran tingkat nasional. Begitu seterusnya sampai tingkat penataran
paling bawah hinggah seluruh masyarakat Indonesia mendapat penataran P-4.

Sasaran dilakukannya penataran P-4 tidak hanya diperuntukan bagi Pegawai Negeri Sipil
maupun pejabat-pejabat negara, tetapi juga bagi para pelajar, mahasiswa, pegawai swasta,
dan masyarakat umum. Hal ini disebabkan Pancasila merupakan sistem nilai budaya dan
filisofis idiil bangsa Indonesia, yang harus dihayati dan di amalkan oleh segenap rakyat
Indonesia. Penataran P-4 ini sering disebut dengan re-ideologi Pancasila.

Pada pelaksanaan program penataran P-4, tidaklah berjalan dengan tanpa hambatan. Ada
pihak-pihak yang tidak setuju dengan pelaksanaan penataran P-4 tersebut. Hal ini
dikarenakan penataran P-4 dianggap sebuah doktrin yang mau tidak mau harus dijadikan
dasar pemikiran. Bagi sebagian kelompok, ini dianggap sebagai bentuk pengekangan
kebebasan berpikir dan berpendapat atau dengan kata lain kurang demokratis. Setiap
organisasi organisasi yang muncuk di Indonesia haruslah menyertakan Pancasila sebagai
asas tunggal organisasinya.

Setiap orang yang dianggap tidak sepaham dengan Penataran Pancasila tersebut pada
akhirnya diculik dan dilakukan tindakan terhadapnya. Kaum yang menentang keras
pemaksaan penataran P-4 ini, sebagian besar justru berasal dari mahasiswa. Mereka kurang
sepakat jika pancasila dipaksakan kedalam setiap jiwa individu bangsa Indonesia. Bagi
pemerintah, golongan-golongan tersebut sangat berpotensi membahayakan negara
sehingga dapat melakukan tindakan makar.

Tindakan pemerintah ini membuat ketidakpuasan dari para aktivis. Pemerintah Orde Baru
semakin tidak populer dan cenderung dianggap diktator oleh para aktivis. Pada
kenyataannya, pihak-pihak oposisi pun di tumpas habis, pemerintah berdiri kukuh dengan
melarang setiap bentuk kritikan. Tentu hal ini membuat pemerintahan Orde Baru
memerintah dengan tanpa dikontrol. Tindakan yang paling keras dilakukan pemerintahan
Orde Baru adalah adanya Petrus (Penembak Misterius) dan DOM (Daerah Operasi Militer).
Petrus merupakan pihak yang diutus oleh pemerintah untuk menculik dan menghabisi
nyawa para aktivis yang sangat kritis menentang kebijakan pemerintahan Orde Baru. Petrus
biasanya di ambil dari kalangan dinas intelejen negara. Banyak aktivis yang tiba-tiba hilang
dan ternyata mereka telah dihabisi oleh pemerintah. Pemerintah tidak perlu melakukan
persidangan untuk menjerat setiap lawan-lawan politiknya. Cukup dengan penyelidikan
intelejen negara hingga orang tersebut benar benar dicurigai sebagai aktivis garis keras, dan
langsung dihabisi oleh Petrus.

Sedangkan DOM, merupakan kebijakan pemerintah untuk menerapkan daerah militer bagi
daerah-daerah yang dicurigai terdapat banyak kelompok penentang pemerintah. Salah satu
daerah korban DOM zaman Orde Baru adalah Daerah Istemewa Aceh. Penerapan DOM di
Aceh telah banyak memakan korban, bahkan banyak nyawa warga sipil melayang. Tentu hal
ini sangat melanggar Hak Asasi Manusia.

Diantara peristiwa-peristiwa diluar batas kemanusiaan yang terjadi masa Orde Baru adalah
Geger Talangsari, Lampung Berdarah, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Malari, dan
Peristiwa Kudatuli. Peristiwa-peristiwa tersebut dilakukan oleh pemerintah karena
penentangan terhadap pemerintah. Peristiwa tersebut menguap begitu saja setelah terjadi.
Akhirnya, para aktivis melakukan gerakan bawah tanah untuk setiap pergerakannya. Hal ini
bertujuan agar gerakannya tidak diketahui oleh pemerintah. Baru setalah era Reformasi
gerakan-gerakan ini berani bermunculan secara terang-terangan.

2. Politik luar negeri era Orde Baru


Politik luar negeri Indonesia era Orde Baru adalah politik luar negeri Bebas Aktif. Hal ini
mengandung maksud tidak memihak masing-masing blok kekuatan besar pada waktu itu
yang dapat berpotensi menimbulkan perang. Blok yang ada adalah Blok Barat milik AS dan
sekutunya dengan paham liberal dan Blok TImur milik Uni Soviet dan sekutunya yang
berideologi komunis. Sedangkan aktif dengan selalu menjaga perdamaian dunia dengan
cara-cara tertentu. Pada masa Orde Lama, sebenarnya politik luar negeri Indonesia juga
Bebas Aktif. Namun, pada kenyataannya lebih ke Blok Timur. Berikut langkah-langkah
kebijakan pemerintahan Orde Baru di bidang politik luar negeri.

a. Indonesia kembali menjadi anggota PBB


Pada masa pemerintahan Orde Lama, sebenarnya Indonesia telah menjadi anggota PBB
pada tanggal 28 September 1950. Namun, pada tanggal 1 Januari 1965, pemerintahan Orde
Baru memutuskan keluar dari PBB karena permasalahan dengan Malaysia. Pada zaman Orde
Baru, Indonesia kembali aktif di keanggotaan PBB. Pada waktu itu, DPR-GR berhasil
mendesak pemerintahan agar mau aktif kembali keanggotaan PBB. Indonesia kembali ke
PBB secara resmi pada tanggal 28 September 1966. Keanggotaan indonesia di PBB secara
nyata tampak dengan terpilihnya Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik sebagai ketua
Majelis Umum PBB saat masa sidang tahun 1974.

b. Mengakhiri konfrontasi dengan malaysia


Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia sebenarnya terjadi karena Indonesia menganggap
jika Malaysia merupakan proyek neokolonisasi Inggris yang ditujukan kepada Indonesia.
Selain itu, juga merupakan pangkalan asing yang ditujukan kepada Indonesia. Tentu ini akan
mengancam revolusi di Indonesia dan juga menentang New Emerging Force di Asia
Tenggara.

Di samping itu, Indonesia juga menentang Malaysia yang akan membentuk negara federasi
Malaysia. Upaya penyelesaian konfrontasi dengan Malaysia dilakukan dengan cara
diplomasi tanpa kekerasan. Pada waktu itu Filipina adalah negara yang menjadi penengah
upaya diplomasi. Pada tanggal 31 Juli - 5 Agustus 1966 di lakukan perundingan yang
melibatkan Indonesia, Malaysia, dan Filipina dengan menghasilkan tiga dokumen, yaitu
Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunite Bersama.

Untuk mempererat hubungan ketiga negara, dibentuklah forum Maphilindo (Malaysia,


Philippine, Indonesia) yang dapat di gunakan untuk memecahkan persoalan ketiga negara.
Pada tanggal 11 Agustus 1966, ditandatangani normalisasi hubungan Indonesia Malaysia.
Malaysia di wakili oleh Tun Abdul Razak, sedangkan Indonesia diwakili oleh Adam Malik.

Persetujuan tersebut merupakan hasil perundingan di Bangkok pada tanggal 29 Mei - 1 Juni
1966. Dengan nama Persetujuan Bangkok. Isi persetujan tersebut ialah :

Rakyat Sabah dan Serawak akan diberikan kesempatan lagi dalam mengambil keputusan
mengenai kedudukan mereka di Malaysia
Kedua pemerintah (Malaysia dan Indonesia) menyetujui pemulihan hubungan diplomatik
Menghentikan tindakan-tindakan permusuhan

Dengan adanya Persetujuan Bangkok, diakhirilah politik konfrontasi yang tidak sesuai
dengan politik Bebas Aktif Indonesia. Politik yang dilakukan selanjutnya adalah politik hidup
bertetangga dan bersahabat baik dengan negara lain.
3. Politik dalam negeri era Orde Baru
Kepemimpinan Presiden Soeharto di era Orde Baru sangat berbeda dengan gaya
kepemimpinan di era Orde Lama. Pada era Orde Baru, guna menjamin kekuasaannya,
Presiden Soeharto memfokuskan pemerintahan pada rehabilitasi dan stabilisasi nasional.
Bidang yang menjadi perhatian adalah masalah-masalah perekonomian. Pada tanggal 1 April
1969, dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita 1 1967-1974). Fokus
dibidang ekonomi ini diikuti dengan penataan dan konsolidasi bidang politik agar tidak
mengganggu jalannya pembangunan khususnya dibidang ekonomi. Proses konsolidasi ini
dapat terlihat dengan peristiwa pemilu pertama masa Orde Baru.

Pemilu adalah sarana yang digunakan untuk perpindahan kekuasaan secara damai dan
konstitusional bagi sebuah negara demokrasi. Pemilu pertama pada masa Orde Baru
dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971. Asas pemilihan yang digunakan dalam pemilu tahun
1971 adalah Umum, Langsung, Bebas, dan Rahasia sesuai penjelasan Undang-undang
Nomor 15 tahun 1969.

Pada pemilu tahun 1971 terdapat partai politik pendatang baru, yaitu Golkar. Partai Golkar
merupakan partai yang langsung memenangkan suara terbanyak dalam pemilu tersebut.
Padahal partai Golkar merupakan partai yang baru. Ada beberapa alasan yang sebenarnya
membuat Golkar tidak mengherankan bisa menang dalam pemilu pertama. Pertama, Golkar
didukung oleh ABRI dan birokrasi pemerintahan. Kedua, Golkar mengusung isu-isu
pembangunan saat berkampanye. Ketiga, keterlibatan ABRI dan Birokrasi pemerintahan
dalam pemenangan Golkar. Jadi, tidaklah mengherankan jika pada kenyataannya Golkar
menjadi pemenang pemilu.

Pada pemilu berikutnya hanya ada tiga partai politik yang akan mengikuti pemilu. Ketiga
partai politik ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya
(Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Perampingan jumlah kontestan pemilu ini
dikarenakan agar dapat terwujudnya stabilitas politik yang dicita-citakan sejak awal. Selain
itu, tentunya mempermudah presiden Soeharto dalam mengendalikan pemerintahan.
Golkar sendiri merupakan partai yang menjadi kendaraan politik Orde Baru. Oleh karenanya,
sejak pemilu tahun 1977 sampai pemilu 199, hanya ada tiga partai politik yang mengikuti
pemilu.

Pada hasil-hasil pemilu zaman Orde Baru jelas sangat terlihat bagaimana dominasi Golkar
atas kedua partai lain. Alasan utama jelas karena partai Golkar adalah partai bentukan Orde
Baru sebagai kendaraan politiknya, jadi pada setiap pemilu, Golkar selalu menang dan
Presiden Soeharto selalu kembali menjabat sebagai presiden.
Dengan sistem semacam ini maka Presiden Soeharto merupakan satu-satunya operator
tunggal dalam penataan sistem politik nasional. Beliau menjadi presiden, ketua dewan
pembina partai Golkar, dan panglima tertinggi ABRI. Hal ini pula yang menyebabkan beliau
dapat berkuasa selama 32 tahun serta dapat melakukan kebijakan apa pun dalam
pemerintahan. Presiden Soeharto memang mampu menciptakan stabilitas politik dan
keamanan serta mampu menekan angka kemiskinan, meningkatkan pertumbuhan, serta
mampu berswasembada beras. Akan tetapi, karena kontrol, beliau dapat melakukan apa
pun dalam pemerintahan bahkan untuk kepentingan pribadinya, salah satunya adalah KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

KKN kerap kali dilakukan oleh penguasa Orde Baru ini, khususnya praktek korupsi. Virus
inilah yang kemudian menyebar kroni-kroni Presiden Soeharto yang merupakan pejabat-
pejabat pemerintah. Pada akhirnya KKN telah membawa bangsa Indonesia ke jurang krisis
moneter yang berkepanjangan.

Kebijakan politik lain yang diambil oleh pemerintahan Orde Baru adalah menepatkan peran
ganda ABRI yang di kenal dengan Dwifungsi ABRI. Alasan yang mendasari kebijakan tersebut
tertuang dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. "Segala warga negara bersama kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Bukan hanya dalam politik dalam pemerintahan, ternyata kedudukan ABRI dalam
masyarakat Indonesia juga merambat di sektor ekonomi. Banyak anggota ABRI yang menjadi
kepala perusahaan BUMN maupun komisaris di berbagai perusahaan swasta. Tentu hal ini
memicu anggapan dari rakyat bahwa Dwifungsi ABRI adalah wujud intervensi militer dan
legitimasi militer untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat. Adapula yang menafsirkan
Dwifungsi ABRI sebagai dwikekuasaan, dan ada juga yang menafsirkannya sebagai
dwipengabdian.

SUMBER : http://balagia.blogspot.co.id/2017/02/kebijakan-
kebijakan-era-orde-baru.html

Anda mungkin juga menyukai