Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA MASA

REFORMASI I

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4

DOSEN PENGAMPU : Faisal Nomaini, S.SOS., M.SI

PROGRAM STUDI SISTEM POLITIK INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS


SRWIJAYA
ANGGOTA:

1. Abelleo Ilham (07031382025235)


2. Amrullah Muttaqin (07031282025152)
3. Ernaldi Gustrin Pratama (07031381722212)
4. M Bintang Timur Abimayu (07031382025233)
5. Muhamad Tedy setiawan (07031382025234)
6. M. Dimas Rizky Oktriandy (07031382025214)
7. Julia Ayu Sundari (07031382025183)
8. Nabilah Eka Putri (07031382025194)
9. Rizki Bunga Nabila (07031382025231)
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut almond konsep kapabilitas sistem politik merupakan “ a way of characterizing the
performance of the politica system and of change in performance, and of comparing politica
system according their performance”. Pengunaan konsep kapabilitas akan berguna kita hendak
melihat bagaimana kinerja sistem politik termasuk perubahan-perubahan dalam kinerja mereka.

Untuk melihat kapabilitas sistem politik, Almond menyarankan adanya 5 kategori


kapabilitas sistem politik yang didasarkan mengenai input dan output, yang dimaksud Almond
adalah kapabilitas ekstraktif, kapabilitas regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik,
dan kapabilitas responsif. Dengan adanya kapabilitas sistem politik ini kita dapat melihat atau
menggambarkan bagaimana sistem politik Indonesia bekerja setelah reformasi.

Pada masa presiden Habibie yang dianggap sebagai masa transisi dan sesudahnya. Pada
masa Habibie dimasukan masa transisi dikarenakan masa inilah yang rawan dan penuh gejolak
menghantarkan reformasi ke arah yang demokratis. Masa ini juga ditandai dengan terobosan-
terobosan bagi demokrasi di Indonesia meskipun seluruhnya tidak sesuai tuntutan reformasi.
Setidaknya, ada 3 prestasi besar masa pemerintahan B.J. Habibie, yakni kebebasan pers, pemilu
multipartai, dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pada masa pemerintahan Habibie mempunyai dukungan yang sangat lemah. Yang menurut
Easton, dukungan terhadap sistem politik diarahkan kepada 3 sasaran yaitu komunitas politik,
rezim politik, dan pemerintah. Pada masa pemerintahan Habibie banyak mendapat tekanan-
tekanan yang sangat kuat terhadap ketiga sasaran tersebut. Karena pemenuhan terhadap tuntutan
reformasilah yang membuat pemerintahan bisa bertahan dari tekanan walaupun masih
meninggalkan cacat. Misalnya reformasi hukum yang tidak bisa diselesaikan sampai saat ini.

Pada masa transisi yang penuh gejolak tersebut, sulit bagi pemerintah untuk mengumpulkan
sumber daya material dan manusia baik dari domestik ataupun dari internasional. Meskipun
demikian, pemerintah ini mampu memenuhi tuntutan reformasi dengan menyelenggarakan
pemilihan umum yang dipercepat pada tahun 1999 yang merupakan prestasi luar biasa
mengingat situasi politik dan keterpurukan ekonomi yang masih terus berlanjut. Pemerintah ini
juga mampu membangun jaringan sosial guna menyelamatkan orang miskin korban krisis
moneter dan anak-anak yang terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan.

Dan juga lemahnya legitimasi yang membuat kapabilitas regulatif pemerintah Habibie juga
lemah kemerosotan kredibilitas institusi-institusi hukum telah membuat untuk menyelesaikan
banyak persoalan hukum melalui lembaga-lembaga peradilan dan aparat-aparat penegak hukum.
Sebaliknya mereka cenderung menggunakan aksi massa untuk menyelesaikan persoalan yang
mereka hadapi. Dan akibatnya muncul kekerasan politik dalam skala yang cukup masif.
Kemiskinan yang terus-menerus manjadi parah akibat krisis ekonomi. Setelah Habibie turun
karena pertanggungjawaban ditolak MPR. Pemilu 1999 menetapkan PDIP sebagai pemenang
pemilu legislatif.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, konflik elit politik berlangsung terus-menerus sementara
kekerasan di tingkat massa pun terus berlanjut, kekacauan demi kekacauan terjadi sebagai
ketidakkonsistenan Gus Dur mengelola (memimpin) negara. Hampir semua kapabilitas yang
seharusnya dimiliki oleh sistem politik hampir tidak sama sekali dimiliki oleh pemerintah Gus
Dur. Serta posisi Gus Dur semakin kritis ketika ia tersandung kasus Buloggate. Akhirnya, Gus
Dur dijatuhkan atau dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden pada sidang istimewa MPR
oleh orang-orang yang dulu mendukungnya. Ia digantikan oleh Megawati Soekarno Putri selaku
wakilnya pada saat menjabat.

Pada masa pemerintahan Megawati nampaknya tidak banyak mengalami perubahan.


Bahkan, kenaikan harga BBM telah dianggap bahwa pemerintah Megawati tidak responsif
terhadap aspirasi dan penderitaan rakyat. Serta buruknya perfomance pemerintah Megawati
banyak membuat pendukungnya kecewa dan ini membuat PDIP mengalami kekalahan pada
pemilu 2004.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana perkembangan kapabilitas sistem politik indonesia pada masa reformasi I ?


1.3 Tujuan

Untuk mengetahui perkembangan kapabilitas sistem politik indonesia pada masa reformasi I.

1.4 Manfaat
 Bagi penulis, untuk dijadikan sumber pembelajaran yang menjadi hasil jawaban atas
permasalahan yang ingin diketahui dan mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan yang
luas dalam lingkup ilmu yang khusus tentang kapabilitas sistem politik indonesia pada
masa reformasi I.
 Bagi pembaca, dapat dijadikan sumber refrensi atau pedoman pengetahuan mengenai
materi tersebut.
BAB II

PEBAHASAN

2.1 Review

Saat ini, Pada masa Reformasi banyak perubahan-perubahan besar yang terjadi. Seperti pada
zaman Orba, semua serba krisis hingga akhirnya rakyat Indonesia pun berdemo meminta
Presiden Soeharto agar turun dari jabatannya. Setelah Presiden Soeharto turun, masa Reformasi
pun dimulai.

Reformasi adalah suatu perubahan tatanan kehidupan lama dengan tatanan kehidupan yang
baru yang bertujuan ke arah perbaikan kehidupan di masa depan. Orang yang mendukung
reformasi disebut dengan reformis.

Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada 1998 merupakan suatu gerakan untuk
mengadakan perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Gerakan ini muncul
karena keadaan keadaan masyarakat Indonesia sejak terjadinya krisis moneter dan ekonomi
sangat terpuruk.

Berikut ini beberapa perubahan-perubahan selama masa reformasi yang paling menonjol.
1. Pengangkatan Habibie menjadi Presiden RI
B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Indonesia pada 21 Mei 1998 setelah Soeharto
mengundurkan diri sebagai Presiden RI. Presiden Habibie bertekad mewujudkan
pemerintahan yang bersih dari KKN.
2. Kebebasan Berpendapat
Tidak seperti pada zaman Orba, kebebasan berpendapat pada masa pemerintahan Presiden
Habibie mendapatkan dukungan pemerintah. Pemerintah mengizinkan rakyat mengadakan
rapat umum maupun demonstrasi. Namun, untuk demonstrasi tetap perlu mendapatkan izin
dari kepolisian.
3. Masalah Dwi Fungsi ABRI
Dwi Fungsi ABRI membuat ABRI berperan dalam kehidupan militer dan juga dalam
kehidupan sipil. Sehingga, ABRI punya peran lebih dalam kehidupan masyarakat sipil yang
menyebabkan menguatnya peran negara pada masa Orba.
Oleh sebab itu, penghapusan Dwi Fungsi ABRI merupakan salah satu tuntutan dalam
reformasi 1998 ditanggapi pemerintah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Jumlah anggota ABRI yang duduk di DPR dikurangi, dari 75 orang menjadi 38 orang.
2. Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) memisahkan diri dari ABRI pada 5 Mei 1999.
3. Istilah ABRI diubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Udara (TNI AU), Angkatan
Darat (TNI AD), dan Angkatan Laut (TNI AL).
4. Reformasi Bidang Hukum
Kebijakan hukum pada masa Orde Baru lebih bersifat konservatif dan elitis, artinya
pelaksanaan hukum lebih mencerminkan keinginan pemerintah dan menjadi alat pelaksanaan
ideologi dan program negara, membuat rakyat seakan-akan tidak punya hak hukum di
Indonesia.
Maka, Presiden Habibie melakukan reformasi hukum sebagai berikut:
1. Melakukan rekonstruksi atau pembongkaran watak hukum Orde Baru, baik berupa
Undang-Undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan menteri.
2. Melahirkan 69 Undang-Undang.
3. Penataan ulang struktur kekuasaan kehakiman.
5. Sidang Istimewa MPR
Sidang istimewa MPR dilaksanakan pada 10 – 13 November 1998. Harapan dari sidang
istimewa MPR adalah agar MPR bisa benar-benar mewakili aspirasi rakyat dari berbagai
kalangan. Namun, saat sidang istimewa MPR berlangsung, suasana di luar gedung MPR/
DPR memanas karena tuntutan perubahan makin gencar melalui demonstrasi mahasiswa dan
kelompok masyarakat lainnya yang menginginkan perubahan.
6. Pemilu 1999
Pemilu 1999 dilaksanakan pada 7 Juni 1999 dan diikuti oleh 48 partai.
7. Sidang Hasil Pemilu 1999
Sidang Umum MPR dilaksanakan 14 – 21 Oktober 1999 yang dimulai dengan agenda
mendengarkan pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie. Salah satu penyebab ditolaknya
pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie adalah menyangkut pemberian referendum
kepada Timor Timur yang membuat Timor Timur lepas dari Indonesia.
Sebelum pembacaan pidato pertanggungjawaban ini, pada Sidang Umum MPR dilaksanakan
pemilihan ketua MPR dan DPR yang hasilnya:
1. Akbar Tanjung sebagai ketua DPR;
2. Amien Rais sebagai ketua MPR.

Lalu, pemilihan Presiden dengan 3 kandidat kuat, yaitu:


1. Megawati Soekarnoputri dari PDIP;
2. Abdurrahman Wahid dari PKB;
3. Yusril Ihza Mahendra dari PBB (kemudian mengundurkan diri).
Hasilnya,Abdurahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden dan Megawati sebagai
Wakil Presiden.

2.2 Kapabilitas Masa Reformasi 1


1. Kapabilitas Ekstraktif

SDA dan SDM sering merupakan pokok pertama bagi kemampuan suatu sistem politik.
Berdasarkan sumber-sumber ini, sudah dapat diduga segala kemungkinan serta tujuan apa
saja yang akan diwujudkan oleh sistem politik. Dari sudut ini, karena kapabilitas ekstraktif
menyangkut soal sumber daya alam dan tenaga manusia, sistem politik demokrasi liberal,
sistem politik demokrasi terpimpin, dan sistem politik demokrasi Pancasila tidak banyak
berbeda. SDA dan SDM Indonesia boleh dikatakan belum diolah secara otpimal. Oleh
karenamasih bersifat potensial.

Semenjak Soeharto lengser dari kekuasaannya, lebih dari 13 tahun yang lalu, Indonesia
telah memasuki apa yang dikenal dengan sebutan “Masa Reformasi”. Dalam khasanah ilmu
politik sendiri, masa ini disebut sebagai masa transisi dari rezim otoritarianisme ke sebuah
pembentukan rezim yang lebih demokratis. Untuk membangun momentum demokratik yang
dimaksud, diperlukan adanya beberapa perubahan mendasar pada sistem politik, yang hanya
dapat terwujud melalui serangkaian tindakan. Termasuk diantaranya adalah amandemen
konstitusional. Isu-isu pokok yang diangkat untuk dikaji dan direformasi adalah:

 Reformasi konstitusional dan perundang-undangan terhadap Lembaga legislatif dan


eksekutif untuk mendukung transisi demokrasi
 Otonomi daerah untuk menjamin partisipasi politik yang inklusif dan administrasi publik
yang efektif serta terselenggaranya pembangunan diseluruh Indonesia
 Mendefinisikan kembali hubungan sipil-militer untuk menjamin supremasi badan-badan
perwakilan yang pilih
 Memberdayakan peran masyarakat sipil baik sebagai pengawas maupun sebagai
penggerak pemerintahan demokratik
 Meningkatkan partisipasi aktif para perempuan dalam politik dan masyarakat
 Membicarakan tentang kesenjangan fundamental dan kegelisahan di dalam masyarakat
yang diakibatkan oleh pergolakan sosio-ekonomi dan kecurigaan antar agama.
 Menjamin bahwa Konstitusi dan semua hukum yang disusun sesuai dengan standar hak
asasi manusia internasional
 Indonesia harus meratifikasi semua konvensi internasional tentang hakasasi manusia
 Menjamin bahwa Prinsip-Prinsip Arah Kebijakan Negara dan Piagamtentang Hak- Hak
dan Kewajiban Mendasar Negara dan Warga Negaradi ikutsertakan dalam Konstitusi
 Menjamin bahwa hak-hak tersebut tidak dipersingkat kecuali dalam kondisi-kondisi
1. Penyaluran input: tinggi dan terpenuhi
2. Pemeliharaan nilai: Penghargaan HAM tinggi
3. Kapabilitas sistem:
a. Ekstraktif: Penyerapan SDA dan SDM mengikuti semangat otonomi
daerah
b. Distributif: Trias politika berjalan lebih bagus, Legislatif
mempunyaikekuatan.
c. Responsif: Aspirasi masyarakat diapresiasi lewat sistem multi partai
d. Simbolik: Kekuatan sistem politik sangat dipengaruhi kharisma tokoh
(Mulai dari Era Gusdur, Megawati, SBY )
e. Regulatif: Amandemen UUD 1945, perubahan sistem pemilihanumum,
Reformasi hukum dan badan peradilan
4. Integrasi vertikal: Atas-bawah, bawah-atas, diperkuat dengan pelaksanaanotonomi
daerah
5. Integrasi horisontal: Awal reformasi terjadi euforia ( legislatif heavy),selanjutnya
bisa sesuai konsep trias politika. Konflik elit politik seringterjadi
6. Partisipasi massa: Tinggi
7. Gaya politik: Pragmatis, koalisi di parlemen sangat cair, mudah terjadi
perpecahan, elit “hobby” mendirikan partai politik baru
8. Kepemimpinan: Purnawirawan, politisi, sipil
9. Keterlibatan militer: dibatasi
10. Aparat negara: Loyal kepada Negara
11. Stabilitas sistem: Tidak stabil

Fenomena Sistem politik Indonesia masa orde Baru yaitu memiliki ciri-ciri lembaga
eksekutif yang kuat yang didukung oleh lembaga legislatif yang lemah.Hal ini disebabkan
oleh adanya anggota-anggota yang di angkat dari kalangan militer dan golongan-golongan
fungsional yang lebih memperjuangkan kepentingan eksekutif daripada kepentingan
masyarakat yang diwakilinya. Hal ini menyebabkan hilangnya kontrol institusional terhadap
lembaga eksekutif.

Konsep perubahan adalah dipusatkan di sekitar komposisi lembaga legislatif yang paling
cocok bagi Indonesia, dimana legislatif bisa mendapatkan kekuasaan untuk membuat aturan
perundang-undangan disamping juga berfungsi sebagai pengawas tindakan lembaga
eksekutif serta institusi-institusi pemerintah lainnya.Keseimbangan diantara legislatif yang
berdaya dan lembaga eksekutif yang efektif. Fenomena Sistem Politik Orde Baru: Secara
efektif Indonesia memiliki suatu sistem parlemen unikameral. Fungsi legislatifnya dijalankan
lebih banyak ,tapi tidak seluruhnya oleh anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang
dipilih.

Sementara itu majelis penuh yaitu MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang terdiri
dari anggota yang dipilih di tambah dengan anggota yang diangkat, berperan sebagai suatu
institusi pemilihan yang memilih Presiden, membentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara
dan meratifikasi amandemen. Mengubah parlemen menjadi dua kamar ( Bikameral ).
Dasarnya adalah adanya perwakilan daerah yang menjamin tersalurnyakepentingan dan
aspirasi daerah-daerah di dalam lembaga legislatif nasional. Dengan kondisi keterwakilan
seperti itu, diharapkan akan memperkuat pula integrasi nasional.Selain itu, kamar yang kedua
( perwakilan daerah ) akan menjadi suatu institusi yang berguna untuk menarik keluar daerah
dari hanya sekedar perhatian kewilayahannya, menjadi berpartisipasi dan turut bertanggung
jawab dalam mengelola bersama seluruh bangsa ini. Lembaga legislatif harus hanya terdiri
dariwakil-wakil yang dipilih. Wakil dari TNI di dalam lembaga legislatif harus dihapuskan.

Lembaga legislatif membuat semua perundang-undangan, mengambil inisiatif merancang


perundang-undangan kepemimpinan, meratifikasi perjanjian dan mengkaji kontrak
internasional Lembaga legislatif harus melakukan pengawasan terhadap militer menyangkut:

a) Perencanaan anggaran militer


b) Pengangkatan perwira senior
c) Mobilisasi militer
d) Fungsi dinas intelijen pada militer

Lembaga legislatif mengawasi akuntabilitas lembaga eksekutif pada hal-hal yang


berkaitan dengan:

a) Pengeluaran anggaran publik


b) Pengangkatan pejabat senior
c) Kinerja lembaga eksekutif.

Lembaga legislatif diberdayakan agar dapat mengkaji kebijakan publik Mendefinisikan


kekuasaan, tugas dan fungsi Presiden dalam Konstitusi, terdiridari: Kekuasaan untuk
membuat keputusan-keputusan dan aturan-aturan yangkedudukannya berada di bawah
undang-undang sesuai dengan panduan dan maksud yang tertera dalam statuta tentang
kekuasaan. Berkewajiban untuk berkonsultasi dengan parlemen dan Gubernur Bank Sentral
untuk menjamin bahwa kebijakan fiskal dan perencanaan ekonomi dapat sesuai satu
denganlainnya.Berkewajiban untuk memerintah berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan
yang baik, menjalankan kekuasaannya dengan transparan dan dibawah aturan hukum.Hal Ini
memerlukan :

1. Pengangkatan pejabat pejabat publik, badan badan, komitekomite para-statal harus


dilakukan secara terbuka dan dipilih lewat proses pengangkatan yang kompetitif ;
2. Tender untuk penyediaan barang-barang dan jasa bagi operasional negaraharus
transparan Berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada parlemen dan kepada
badan-badan konstitusional lain seperti badan Ombudsman dan badan Pengawasan
Umum, Disyaratkan untuk patuh kepada ketentuan bertindak yang ditetapkan oleh
parlemen, Menghapus DPA dari konstitusi mendatang

2. Kapabilitas distributif

Kapabilitas distributif, yaitu kapabilitas sistem politik dalam mengelola dan


mendistribusikan sumber daya alam dan sumber daya manusia berupa barang, jasa,
kesempatan kerja, bahkan kehormatan dapat diberi predikat sebagai prestasi real system
Struktur Sistem Politik politik. Ukuran kapabilitas ini adalah kuantitas serta sifat tingkat
pentingnya barang yang didistribusikan.

Pada masa reformasi 1 dibawah pimpianan gusdur, kapabilitas ekstraktif yang rendah
ditambah tidak adanya stabilitas politik, penuh konflik menyebabkan kapabilitas Gusdur
(1999-2001) dianggap yang paling rendah. Akibatnya masyarakat semakin sengsara.

Peran Pemerintah Pusat dibatasi untuk menangani hanya hal-hal yang berhubungan
dengan pertahanan, kebijakan luar negeri, kebijakan fiskal-moneter dan makroekonomi,
peradilan serta agama. Yang tidak kalah penting adalah bahwa Daerah menerima bagian
pendapatan yang lebih besar dari produksi sumber daya alam lokal. Sebelumnya, Daerah
selalu merasa tidak nyaman melihat mayoritas pendapatan dari sumber daya alam lokal
mengalir kepada para pemangku kepentingan di Ibukota Jakarta. Namun, karena tidak setiap
daerah di Indonesia diberkati dengan sumber daya alam yang melimpah, kesenjangan di
antara daerah kaya dan miskin meningkat.

Kemudian kapabilitas Distributiif pemerintah Megawati (2001-2004) tingkat kapabilitas


ekstraktif masa pemerintahan Megawati pun tidak lebih baik, juga berimbas pada buruknya
kapabilitas distributifnya. Namun pada masa pemerintahan Megawati Trias politika berjalan
lebih bagus.

3. Kapabilitas regulatif

Regulatif adalah kemampuan pemerintah untuk membuat aturan- aturan yang dapat
mengontrol dan mengendalikan perilaku individu atau kelompok agar sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku. Gabriel Almond beranggapan bahwa Kapabilitas
Regulatif sama dengan pengaturan yang merujuk kepada aliran kontrol atas perilaku individu
dan relasi-relasi kelompok di dalam sistem politik. Point ini biasanya dilakukan dengan cara
menerapkan peraturan-peraturan secara umum, dimana tolok ukur penilaiannya terletak pada
sejauh mana pola-pola tingkah laku dari pada individu-individu yang ada beserta berbagai
bidang di dalamnya dapat diatur oleh suatu sistem politik.

Pada Waktu Presiden Suharto turun dari jabatannya pada Mei 1998, peristiwa ini
menandai awal dari sebuah era baru dalam sejarah Indonesia. Setelah dikuasai oleh rezim
otoriter Orde Baru Suharto selama lebih dari tiga dekade, Indonesia memulai fase baru yang
dikenal sebagai Reformasi. Era ini dipandang sebagai awal periode demokrasi dengan
perpolitikan yang terbuka dan liberal. Dalam era baru ini, otonomi yang luas kemudian
diberikan kepada daerah dan tidak lagi dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat
(desentralisasi). Dasar dari transisi ini dirumuskan dalam UU yang disetujui parlemen dan
disahkan Presiden Indonesia di tahun 1999 yang menyerukan transfer kekuasaan
pemerintahan dari Pemerintah Pusat ke pemerintah-pemerintah daerah.

Peran Pemerintah Pusat dibatasi untuk menangani hanya hal-hal yang berhubungan
dengan pertahanan, kebijakan luar negeri, kebijakan fiskal-moneter dan makroekonomi,
peradilan dan agama. Yang tidak kalah penting adalah bahwa Daerah menerima bagian
pendapatan yang lebih besar dari produksi sumber daya alam lokal. Sebelumnya, Daerah
selalu merasa tidak nyaman melihat mayoritas pendapatan dari sumber daya alam lokal
mengalir kepada para pemangku kepentingan di Ibukota Jakarta. Namun, karena tidak setiap
daerah di Indonesia diberkati dengan sumber daya alam yang melimpah, kesenjangan di
antara daerah kaya dan miskin meningkat.

Pemerintahan Bacharuddin Habibie (1998-1999)

Bacharuddin Jusuf Habibie, adalah wakil presiden selama masa jabatan presiden
sebelumnya, Suharto. Dia menggantikan Suharto pada tahun 1998 ketika Suharto turun dari
kursi kepresidenan. Namun, hal ini tidak mengakhiri sistem politik yang telah diterapkan
selama Orde Baru. Banyak orang Indonesia sangat mencurigai Habibie karena kedekatannya
dengan Suharto (yang telah menjadi sosok ayah bagi Habibie) dan fakta bahwa dia adalah
pemain penting dalam sistem patronase politik Suharto. Penolakan Habibie untuk
memerintahkan penyelidikan menyeluruh terhadap harta kekayaan Suharto hanya
memperkuat rasa ketidakpercayaan ini.

Habibie tidak memiliki pilihan lain selain meluncurkan program-program reformasi. Dia
akan melakukan "bunuh diri politik" jika tidak mematuhi tuntutan masyarakat Indonesia itu.
Selama masa kepresidenan Habibie, 30 undang-undang (UU) baru disetujui oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), beberapa di antaranya ditandai dengan perbedaan-
perbedaan fundamental dengan perpolitikan di masa lampau.

Sejumlah tindakan reformasi penting adalah:

 Dimulainya kebebasan pers


 Pemberian izin pendirian partai-partai politik dan serikat-serikat buruh baru
 Pembebasan tahanan-tahanan politik
 Pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua periode lima tahun
 Desentralisasi kekuasaan ke daerah

Keputusan penting lainnya adalah penjadwalan pemilihan umum baru, yang


diselenggarakan pada bulan Juni 1999. Kendati begitu, parlemen belum mempunyai niat
untuk mengurangi pengaruh politik militer dan memerintahkan penyelidikan terhadap
kekayaan Suharto.

4. Kapabilitas simbolik

Kapabilitas simbolik, yaitu ukuran kinerja sistem politik dalam kemampuan mengalirkan simbol
dari sistem politik kepada lingkungan intra masyarakat maupun ekstra masyarakat. Kapabilitas
simbolik dapat di bedakan dengan output simbolik. Outpun simbolik misalnya pameran kekuatan dan
upacara militer, kunjungan pejabat tinggi. Selain itu, pernyataan kebijakan para pejabat politik yang
di hubungkan dengan kepercayaan, kelakuan, dan aspirasi rakyat juga merupakan output simbolik
yang bertujuan agar kebijakan yang dikemukakan menjadi efektif. Ukuran output simbolik dapat
dilihat dari jumlah kerumunan massa yang hadir pada suatu acara dan applaus massa yang lama tanda
setuju atas pidato pemimpin tersebut misalnya, adalah dapat menjadikan indikator bagi output
simbolik ini.

Sebaliknya, indikator menurunnya output simnolik ini dapat dilihat dari melunturnya kewibawaan
seseorang pemimpin atau beberapa elit politik sehingga tingkat kepercayaan masyarakat semakin
merosot. Akibatnya, seseorang pemimpin sering diperlakukan kurang baik, diejek, diperolok-olok,
dikritik, bahkansecara ekstrem dibakar fotonya, monumen patung pemimpin tersebut diruntuhkan,
buku biografinya dibakar, bahkan pidato-pidatonya yang disiarkan di TV atauRadio tidak mau
didengarkan. Mungkin kita masih ingat dengan peristiwa jatuh nyarezim orde baru, yang semula
presiden soeharto begitu berwibawa, berkuasa dandipuji, dan kebijaan-kebijakannya diikuti sampai
awal tahu 1998, namun setelah itu ia dicaci maki, dihina, fotonya dibakar, dan demonstrasi dimana-
mana yang menghendaki ia diturunkan dari jabatan kepresidenan, dan akhirnya dapat juga dijatuhkan.

Efektivias mengalirnya simbol dari sistem politik terhadap lingkungan intradan ekstra masyarakat
menentukan tingkat kapabilitas simbolik. Faktor charisma atau latar belakang sosial elit politik yang
bersangkutan dapat menguntungkan bagi peningkatan kapabilitas simbolik. Misalnya Ir Soekarno-
Megawati,dengan keidentikan seorang pemimpin dengan tipe “panutan” dalam mitos rakyat,
misalnya terbukti dapat menstransfer kepercayaan rakyat itu menjadikapabilitas benar-benar riil.

Kapabilitas Simbolik dalam pemerintahan BJ.Habibie:

Kapabilitas simbolik pemerintah B.J Habibie dapat dikatakan buruk, karena beliau sering
menampakkan kelemahan dengan mengambil kebijakan yang tak peka dan tak popular di mata
rakyat atau tak sesuai di mata rakyat. Misalnya, dilihat dari perilaku Nepotisme dimana dengan
menaburkan bintang jasa kepada istri, adik, para sahabat dekatnya namun melawan arus rakyat
dengan mengumumkan pemberian dana pengganti pembangunan rumah Soehartodi TMII sebesar
26,6 miliar rupiah ditengah rakyat menderita.

Kapabilitas Simbolik dalam pemerintahan Gus Dur:

Kapabilitas simbolik Gus Dur pun tidak lebih baik, karena perilakunya
menampakkanketidakpekaan, misalnyaditengah rakyat sedang berjuang denga kemiskinanakibat
krisis yang taknkunjungselesai, malahan Gus Dur seringmelawat kunjungan kenegaraanke beberapa
negara. Tentu perjalanan ini memakan biayatinggi.Selain itu ketidakkonsistenanGus Dur dalam
menggulirkankebijakan dalam pengelolaannegeri ini.

Kapabilitas Simbolik dalam pemerintahan Megawati:


Kapabilitass simbolikmegawati pun tidak lebih baik, juga sering melakukan kunjungan
kenegaraan ke luarnegeri, bahkan melakukan kun jungan keluar ngeri hanyauntuk keperluan
keluarga.

5. Kapabilitas responsif

Kapabilitas responsive merupakan hubungan antara output dan input yang terdapat dalam
proses sistem politik. Output berupa kebijakan pemerintah yang diukur dari sejauh mana
dipengaruhi atau adanya masukan dari masyarakat sebagai inputnya. Pada masa
kepemimpinan Habibie dengan menteri kehakiman prof dr muladi yang produktif
menghasilkan UU yang aspiratif dan responsive, ternyata tidak mudah. Karena ada gejala
ketika tekanan reformasi agak mengendur, sejak hasil pemilu DPR 1999, semangat untuk
menghasilkan UU yang reformis juga ikut menurun. Bukan hanya jumlah UU yang
dihasilkan menurun, melainkan juga banyaknya UU yang kemudian dibatalkan mahkamah
konstitusi dan dinyatakan bertentangan dengan undang undang dasar. Hal ini dapat dilihat
dari banyaknya respon negative public terhadap proses pembuatan undang undang, seperti
saat terlihat reaksi masyarakat terhadap revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).

Cornelis Lay (1999) juga mengingatkan gerakan reformasi jika tidak jelas agendanya,
maka akan gagal mengantarkan sebuah Negara pada sistem yang demokratis, bahkan bisa
mengembalikan lagi pada otoritarianisme, setelah muncul krisis yang hebat, kemudian
munculla tuntutan demokrasi, apakah sebuah bangsa akan kembali ke sistem otoriter atau
bisa mengubah diri menjadi bangsa yang demokratis, hal itu tergantung pada kemampuan
untuk mengonsolidasikan kekuasaan politik formal ke dalam berbagai bentuk peraturan
perundangan dan rule of the game

Selain menghadapi tekanan dari dalam negeri, Habibie juga harus berhadapan dengan
intervensi ekonomi yang dipaksakan international Monetary Fund (IMF). Lembaga moneter
ini memaksa agar menghapus kebijakan subsidi. Terutama BBM dan TDL. Namun, hal itu
ditolak oleh Habibie.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa keadaan Indonesia mulai
mengalami perubahan yang signifikan setelah Habibie menerapkan beberapa kebijakan
untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi akibat krisis ekonomi, namun setelah
kepemimpinannya berakhir, beliau telah memberikan kebebasan rakyat Indonesia untuk
beraspirasi dan menyampaikan pendapat yang merupakan bentuk tuntutan rakyat kepada
pemerintah.

6. Kapabilitas interaktif

Pengerian kapabilitas interaktif adalah kemampuan suatu negara dalam mengelola hubungan
dengan negara lain. Sejak merdeka, hubungan luar negeri Indonesia berpatokan pada kebijakan luar
negeri "bebas dan aktif" dengan mencoba mengambil peran dalam berbagai masalah regional sesuai
ukuran dan lokasinya, namun menghindari keterlibatan dalam konflik di antara kekuatan-kekuatan
besar dunia. Kebijakan luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto
beralih dari sikap anti-Barat dan anti-Amerika yang menjadi ciri pemerintahan Soekarno.

Setelah Soeharto mengundurkan diri tahun 1998, pemerintah Indonesia mempertahankan garis
besar kebijakan luar negeri Soeharto yang moderat dan independen. Banyaknya masalah di dalam
negeri tidak berhasil mencegah presiden-presiden selanjutnya untuk bepergian ke luar negeri serta
partisipasi Indonesia dalam panggung internasional. Invasi ke Timor Leste oleh Indonesia pada bulan
Desember 1975, aneksasinya tahun 1976, serta referendum kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia
pada bulan Agustus 1999 memperkuat hubungan Indonesia dengan komunitas internasional.

Dalam menjalankan kegiatan politik internasional, Indonesia melakukan cara yaitu dengan
melakukan kerjasama dengan negara yang ada di dunia, sehingga Indonesia membuat konsep
Lingkaran konsentris politik luar negeri. Lingkaran konsentris merupakan pembagian regional
hubungan luar negeri yang dianggap mampu menjadi acuan Indonesia untuk melakukan hubungan
internasional. Lingkaran konsentris juga dapat didefinisakan sebagai dua lingkaran atau lebih yang
memiliki pusat yang sama. Dua lingkaran atau lebih tersebut dapat diartikan bahwa Indonesia dapat
menjalin kerjasama dengan dua negara atau lebih agar dapat mewujudkan kepentingan nasional
bangsa Indonesia. Dalam menjalankan konsep lingkaran konsentris ini, merupakan strategi Indonesia
untuk dapat mewujudkan kepentingan nasional melalui menjalin kerjasama dengan negara yang ada
di dunia.[1] Sebelum membentuk konsep lingkaran konsentris politik luar negeri, terdapat beberapa
dasar yang menjadikan Indonesia menjalin kerjasama dengan beberapa negara di dunia. Dasar
tersebut antara lain, ideologi, ekonomi, politik, dan keamanan.

Dalam dasar ideologi, Indonesia menjalin kerjasama antar negara Asia-Afrika dimana negara
tersebut adalah negara yang anti kolonialisme dan menjunjung tinggi perdamaian dunia. Keseriusan
Indonesia yaitu ditunjukkan pada saat Indonesia berada pada pimpinan Soekarno, Indonesia
merupakan negara yang melopori KAA (Konferensi Asia Afrika).[2] Selanjutnya, dalam dasar
wilayah, Indonesia memprioritaskan kerjasama pada kawasan negara Asia Tenggara dan membentuk
organisasi yaitu ASEAN. Dan yang terakhir adalah, dasar keamanan dan ekonomi. dalam dasar
tersebut Indonesia menjalin kerjasama dengan China dan Amerika Serikat karena dianggap dapat
diandalkan untuk bekerjasama dan dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia dan dapat
menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan dapat bersaing dengan negara lain.

Masa Pemerintahan BJ Habibie

Pada masa pemerintahan BJ Habibie, Indonesia kala itu sangat sibuk dalam mengurus
dan memperbaiki berbagai macam citra di ranah Internasional yang sempat hancur karena
dampak dari krisis ekonomi dan inflasi global pada masa orde baru. Belum lagi ditambag
berbagai macam kerusakan yang terjadi pada masa jejak pendapat terhadap ingin lepasnya
Timor-Timor dari Indonesia Dengan upaya kerasnya, maka Indonesia dapat menarik simpati
dari International Monetary Funds (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), sehingga Indonesia
dapat mencairkan program bantuan dan mengatasi krisis ekonomi.

Habibie terjun ke dalam urusan internasional Indonesia secara resmi dimulai ketika dia
terpilih sebagai Wakil Presiden negara pada Maret 1998. Beliau ditunjuk oleh soeharto
sebagai wakil presiden pertama eksekutif. Selain itu, belia juga bertanggung jawab
mengembamgkan dan meningkatkan ekonomi eksternal negara serta menjalin hubungan
di luar negeri untuk meningkatkan kemampuan sains dan teknologi.

Habibie juga diharapkan untuk mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan
dunia Islam. Semasa menjabat sebagai Presiden, Habibie percaya bahwa ada tiga faktor
utama yang paling penting mengenai pendekatan Indonesia terhadap urusan
internasional. Pertama, ada kebutuhan untuk memahami bahwa ‘kebangkitan bangsa’ telah
terjadi. Kedua, tidak ada jalan keluar dari fakta bahwa terdapat perhatian yang besar
terhadap hak asasi manusia beserta nilai-nilainya, dan hal tersebut dianggap sebagai
tanggung jawab integral bagi rakyat dan negara Indonesia. Ketiga, pandangan bahwa umat
manusia berada dalam posisi untuk mengendalikan dan mengembangkan aspek fisik dan
non-fisik dari kekuasaan. Dalam konteks ini, hubungan luar negeri Indonesia harus
dilakukan dengan batas-batas parameter tersebut (Singh, 2000:237).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada prinsipnya pemerintah era reformasi telah berupaya memperbaiki kesalahan-kesalahan


kebijakan pemerintah rezim sebelumnya. Kebijakan klientelistik rezim Orde baru yang menjadi
dasar hubungan kepentingan antara negara dan pengusaha ketika itu, secara legal formal
dihapuskan seiring dengan kehadiran Undang – undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat. Meskipun dalam tatanan operasional,
sampai saat ini sulit menghilangkan praktek KKN antara pengusaha dan pengusaha di Indonesia
akibat buruknya kepastian hukum.

Implementasi kebijakan Pemerintah Orde Baru yang prokapitalis, tampak pada gaya
kebijakannya yang klientelistik yaitu gaya kebijakan yang ditujukan untuk membina kekuatan
pribadi antara Soeharto dan pengusaha klien. Pengusaha klien etnis Tionghoa era Orde Baru
seperti Lim Sioe Liong mendapatkan fasilitas eksklusif dari negara dalam membangun industri
yang direncanakan pemerintah, diantaranya pembangunan industri tepung terigu dalam skala
raksasa yang pada awalnya untuk mengantisipasi kelangkaan beras. Sejalan dengan pemikiran
Arief Budiman, dalam sistem ekonomi kapitalisme seperti yang dijalankan pemerintah rezim
Orde Baru, sejujurnya aktor yang paling utama dalam pembangunan industri adalah kaum
pemilik modal yang dekat dengan elit penguasa.

Pemberian monopoli yang dinikmati beberapa perusahaan monopoli di Indonesia termasuk


lisensi produksi tepung terigu secara eksklusif oleh Bulog kepada Bogasari Flour Mills terkesan
bermuatan politik, karena pemberian lisensi produksi tepung terigu ini merupakan hasil interaksi
kelompok kepentingan dengan Pemerintah. Menjelaskan persoalan monopoli tepung terigu oleh
Bogasari/Indofood Sukses Makmur ataupun monopoli lain bukan terletak pada argumentasi
kestabilan harga, tetapi cenderung pada argumentasi kestabilan interaksi kelompok kepentingan
dengan pemerintah.

Salah satu permasalahan politik dalam hal pembuatan kebijakan publik di Indonesia adalah
munculnya ketidakseimbangan peranan antarlembaga negara, khususnya ketidakseimbangan
kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif yang terjadi pada masa rezim Orde Baru
berkuasa. Seperti yang telah dikemukakan oleh Harold D. Lasswell, permasalahan utama
ketidakseimbangan peranan dalam proses pembuatan kebijakan terletak pada rendahnya
pengetahuan anggota legislatif dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi
masyarakat.

Lemahnya peran lembaga DPR pada masa Orde Baru di Indonesia dimanfaatkan oleh
presiden dan para menterinya untuk menekan para anggota DPR supaya memenuhi keinginan
mereka. Kebijakan-kebijakan publik di masa Orde Baru seringkali tidak efektif, karena undang-
undang atau produk hukumnya tidak merefresentasikan keinginan-keinginan masyarakat,
melainkan keinginankeinginan kelompok masyarakat tertentu yang didukung oleh sebuah rezim
yang prokapitalis.

3.2 Saran

Gerakan Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 membawa dampak positif dan negatif bagi
bangsa indonesia. Dampak negarifnya seperti, meningkatnya kerusuhan di masyarakat karena
pasca reformasi pemerintah masih belum mampu melaksanakan undang-undang yang
semestinya. Dan untuk dampak positifnya ialah, masyarakat yang dulunya dikekang
kebebasannya dalam menyampaikan aspirasi/kritik kepada pemerintah, Kini sudah bisa
menyampaikan aspirasi maupun kritik dengan bebas. Dan bangsa indonesia semakin terbuka
terhadap dunia internasional, sehingga mobilitas di berbagai bidang semakin berkembang.
Sumber

https://www.academia.edu/37802895/KAPABILITAS_SISTEM_POLITIK

https://www.merdeka.com/peristiwa/isu-dan-kasus-kasus-ini-pernah-goyang-
pemerintahan-gus-dur.html?page=4

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hubungan_luar_negeri_Indonesia

https://www.researchgate.net/publication/341165366_Reformasi_Menuju_Demokrasi_Kebi
jakan_luar_negeri_masa_presidensi_B_J_Habibie

https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/reformasi/item181?

https://www.academia.edu/37802895/KAPABILITAS_SISTEM_POLITIK

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/116775-D%2000888-Negara%20dan%20pengusaha-
Kesimpulan%20dan%20Saran.pdf

Anda mungkin juga menyukai