Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Reformasi ekonomi dan politik telah melahirkan tuntutan baru.
Masyarakat seolah-olah menginginkan kedaulatan yang seharusnya
menjadi menjadi miliknya dikembalikan setelah dipinjam Presiden
Soeharto dan aparatnya selama kurun waktu 32 tahun. Selain tuntutan
perubahan politik, masyarakat Indonesia merasakan bagaimana krisis
ekonomi menjadi parah karena ternyata hampir di seluruh aspek
kehidupan terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Gema reformasi memang sangat keras karena setelah guncangan
moneter yang dimulai dari Thailand Juni 1997 membuat Indonesia harus
menghadapi tekanan dalam mata uang rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat. Akhirnya pemerintah tidak sanggup menekan harga dollar
sehingga bulan September 1998 dilepas ke pasar yang akhirnya
menyebabkan ambruknya ekonomi Indonesia. Harga sembilan bahan
pokok sampai sekarang tidak stabil, bahkan cenderung meningkat.
Penderitaan rakyat Indonesia ini melahirkan kekhawatiran akan
terjadinya disintegrasi dan kerusuhan yang  akan banyak memakan
korban rakyat tak berdosa.[1]
Reformasi berlangsung setelah terjadi stagnan selama 32 tahun
kekuasaan Orde Baru. Politik dalam negeri secara bertahap diambil dari
rakyat menuju kekuatan eksekutif yang berpuncak di tangan presiden.
Pada akhirnya, seluruh kekuasaan itu berada di tangan Soeharto.
Dalam kebijakan luar negeri pun partisipasi rakyat baik melalui DPR 
maupun kalangan masyarakat seperti dunia akademis tidak diberi
tempat. Pengambilan kebijakan luar negeri menjadi tidak demokratis.[2]
1.2. Rumusan Masalah
Penulisan ini menjelaskan keadaan Politik Luar Negeri Indonesia Di Era
Reformasi.
1.3   Teknik Pengumpulan Data
Dalam Penulisan ini data yang diperoleh adalah data sekunder. Sumber
data yang digunakan adalah buku-buku mengenai organisasi
internasional serta materi-materi yang mendukung tulisan ini. Data yang
dilampirkan diperoleh melalui studi literature termasuk akses data
melalui internet.
1.4  Sistematika Penulisan
Untuk mewujudkan sebuah makalah yang sistematis maka sistem
penulisan pada bab-bab berikutnya akan tercermin pada poin-poin
sebagai berikut:
1. Pada bab 1, akan dijelaskan latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, teknik pemgumpulan data serta
sistematika penulisan.
2. Pada bab 2, akan diuraikan mengenai Indonesia dan POLUGRI di
Era Reformasi.
3. Pada bab 3, akan dipaparkan kesimpulan yang didapat dari bab
sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Politik luar negeri sebuah negara merupakan perpaduan dan cerminan
dari situasi sosial-politik, kondisi ekonomi, dan kapabilitas militer
domestik, yang dipengaruhi perkembangan yang terjadi di lingkungan
eksternalnya. Politik luar negeri juga dipengaruhi oleh faktor sejarah dan
persepsi elit pembuat keputusan. Implementasi Doktrin Politik Luar
Negeri Bebas-Aktif memberikan ruang gerak yang luas bagi diplomasi
Indonesia bagi pencapaian kepentingan nasional. Doktrin ini
mencitrakan Indonesia sebagai sebuah negara yang bersahabat dan
dapat berperan sebagai bridge builder.[3]
2.1. Runtuhnya Orde Baru
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis
moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus
memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan
terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan
rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat
mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul
demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum
demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi
besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998.
Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat
mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan.
Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery
Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang
gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”.
Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan
mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi.
Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas
menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan
DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk
karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet
Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden
Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998
Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden
RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie.
Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan
dimulainya Orde Reformasi.
Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei
1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a. masa depan Reformasi;
b. masa depan ABRI;
c. masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari
Indonesia;
d. masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya;
serta
e. masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie
dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
a.       Kebijakan dalam bidang politik Reformasi dalam bidang politik
berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan
tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga
undang-undang tersebut.
·         UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
·         UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
·         UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
DPR/MPR.
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor
perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak
Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat
kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai
golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara
terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan
pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers
dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha
Penerbitan (SIUP).
d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu
multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu
tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa
pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur.
Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon.
Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak
pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada
tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak
pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur
lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia.
Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh
dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya
yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
2.2. Reformasi Domestik
Gagasan reformasi sangat kuat disuarakan mahasiswa pada akhir 1997
dan awal 1998. Setelah selesai Sidang Umum 1998 yang melahirkan
pasangan Soeharto-BJ Habibie, gagasan reformasi semakin santer
dalam masyarakat akademis. Mahasiswa akhirnya mempelopori untuk
menjadi gagasan slogan dalam aksi unjuk rasa pro demokrasi-nya. Pada
akhirnya, reformasi diartikan sebagai usaha mendesak Presiden
Soeharto mundur dari jabatannya dan pemerintah penggantinya
menurunkan harga-harga sembako.
Setelah turun dari jabatan presiden 21 Mei lalu, Soeharto menyerahkan
jabatannya kepada Wapres Habibie. Maka lahirlah kabinet reformasi
yang sampai sekarang masih dalam tahap transisi menjelang pemilu Mei
1999. Setidaknya ada empat proses yang terjadi sebagai akibat kakunya
Orde Baru dalam menghadapi perubahan jaman. Eep Sefullah Fatah,
menyebut faktor pertama adalah sentralisasi. Dalam tahap reformasi
terjadi lah era desentralisasi. Semula Orde Baru memilih model
pengelolaan kekuasaan yang sentralistis sebagai cara untuk
mempertahankan stabilitas politik agar pertumbuhan ekonomi bisa
terkejar. Namun pada prakteknya sentralisasi melahirkan KKN.
Reformasi juga melahirkan corak yang belawanan dengan aliran
pemikiran Orde Baru yang menekankan otonomisasi. Apa yang
otonomisasi ? Menurut Eep, sejak awal kelahirannya Orde Baru
berupaya meminggirkan masyarakat dari proses pengambilan kebijakan
publik dan proses pemerintahan secara umum. Reformasi melahirkan
de-otonomisasi dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam keputusan
publik.
Orde Baru juga melahirkan unsur ketiga yakni personalisasi. Kekuasaan
yang memusat dan otonom kemudian dipersonalisasikan  di tangan
Soeharto. Apapun keputusan politik harus sesuai dengan “petunjuk
bapak presiden”. Begitulah istilah yang sering digunakan menteri dalam
menjelaskan kebijakan pemerintah. Reformasi politik menjungkirbalikkan
gagasan itu dengan mendorong ke arah de-personalisasi dimana
kekuasaan politik itu bukan berasal dan hanya di tangan presiden tapi
terutama di tangan rakyat yang bisa disalurkan melalui partai-partai
politik.
Selain tiga aspek di atas, Orde Baru juga harus menghadapi kritikan
rakyat karena kekuasaan kemudian menjadi sesuatu yang sakral, tak
boleh diganggu gugat dan tak terjangkau rakyat bawah. Dalam konteks
ini kekuasaan tak bisa salah, bebas dari kritik, tak bisa digugat apalagi
dijungkirkan. Namun dengan gelombang reformasi rakyat semakin
terbuka bahwa kekuasaan presiden atau jabatan apapun tak lain adalah
amanah rakyat, bukan titisan dewa atau dari langit.
2.3. Reformasi Masa Pemerintahan
2.3.1. MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan
legitimasi yang cukup serius.Akan tetapi, Habibie berusaha
mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara.
Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang
(UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia.
Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi
empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja.
Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa
pemerintahan Habibie yang pendek tersebut. Dengan catatan positif
atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian
masyarakat internasional ini,
Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari
masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi
dari kalangan domestik. Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari
dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga
tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk
mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan bahkan
menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar. Hal ini
memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan
domestik tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh
melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada
dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan
pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.
Keinginan Habibi mengakselerasi pembangunan sesungguhnya sudah
dimulainya di Industri pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dengan
menjalankan program evolusi empat tahapan alih tehnologi yang
dipercepat “berawal dari akhir dan berakhir diawal. Pemerintahan
Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar
negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi
kelangsungan pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam
persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie
mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada
bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan
otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur.
Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan
baru. Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih
radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi
referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.
Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat
dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada
bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie
meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum.
Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya
berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri
(right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur.
Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan
sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum
baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa
tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas
ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin
tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak
mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor
Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua,
kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling
ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada
masa itu. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat
internasional maupun domestik.
Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam
pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie
menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro
integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah
referendum. Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi
menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan
penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur.
Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan
presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI
sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal
sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro
demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
2.3.2. MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN WAHID
Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan
transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer
ini terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua.
Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi contoh penting
yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil
militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri). Bila dalam
periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara
pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid
terjadipower struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI
sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer
yang subyektif sifatnya.
Pasca reformasi, ketika Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia,
politik luar negeri Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri
Indonesia yang dijalankan oleh Soekarno pada masa orde lama, dimana
lebih menekankan pada peningkatan citra Indonesia pada dunia
internasional. Pada masa pemerintahannya, politik internasional RI
menjadi tidak jelas arahnya. Hubungan RI dengan dunia Barat
mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur. Salah satu yang
paling menonjol adalah memburuknya hubungan antara RI dengan
Australia.
Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata
internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan ke luar negeri
selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk implementasi
dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif
selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid
secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya
dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal
ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia
seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.
Namun, sebagian besar kunjungan – kunjungannya itu tidak memiliki
agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan yang absurd, Wahid
berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah
rencana yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan tipe
politik luar negeri Indonesia yang seperti ini membuat politik luar negeri
Indonesia menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat
berbagai usaha yang telah dijalankan oleh Gus Dur menjadi sia-sia
karena kurang adanya implementasi yang konkrit.
2.3.3. MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
Belajar dari pemerintah presiden yang sebelumnya, Megawati lebih
memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan
kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945.
Seperti diketahui, selama ini Komisi I DPR telah menjalankan peran
cukup signifikan dan tegas dalam mempengaruhi dan mengontrol
pelaksanaan aktivitas diplomasi Indonesia.  Karena itu, Megawati 
mengupayakan sebuah “mekanisme  kerja” yang lebih solid dengan
Komisi I DPR sehingga diharapkan dapat memunculkan concerted and
united foreign policy sebagai hasil kerja bersama lembaga eksekutif dan
legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggung jawab atas dasar
prinsip check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat
diterapkan bipartisanship foreign policy yang berlandaskan kolaborasi
partai-partai yang ada.
Terlepas dari pentingnya politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah
satu platform pemerintahan baru dalam membantu upaya pemulihan
ekonomi dan stabilitas keamanan di dalam negeri, Megawati lebih
memprioritaskan diri mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air
seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat di
mana nasib ratusan ribu atau mungkin jutaan pengungsi dalam
kondisi  amat memprihatinkan. Dengan kata lain, anggaran Presiden ke
luar negeri lebih diperhemat dan dialokasikan untuk membantu
mengurangi penderitaan rakyat di daerah-daerah itu, tanpa harus
mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai
salah satu aspek penting penyelenggaraan pemerintah yang
pelaksanaannya di bawah koordinasi Menteri Luar Negeri. Dan yang
lebih penting, untuk membuktikan kepada rakyat bahwa pemerintah
Megawati memiliki sense of urgency dan sense of crisisyang belum
berhasil dibangun pemerintahan sebelumnya.
Namun masa pemerintahan presiden Abdurachman Wahid mewarisi
pemerintahan yang lemah dan diperburuk oleh kondisi keamanan yang
tengah diambang separatism atau communal violence. Dan pada
akhirnya Megawati sebagai presiden selanjutnya juga tak mampu
membawa pemerintahan pada stabilitas yang lebih besar kendati
perpolitikan Megawati pada masa pemerintahannya jauh
memiliki temper serta filosofi politik yang jauh lebih berkualifikasi dalam
menjalankan konsiliasi nasional dan kohesi daripada alternatif. Tapi
sangat disayangkan ia tidak memiliki kemampuan untuk memaksa dan
mengkohenren admistrasinya. Hasilnya adalah perbaikan ekonomi yang
tak jauh lebih membaik dari sebelumnya
2.3.4. MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDOYONO
Bagaimanapun selama masa pemerintahan yang terdahulu SBY telah
berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan
menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa
pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan
global pun dijadikannya sebagai opportunities. Jika PLNRI yang
diterjemahkan Bung Hatta adalah ‘bagaikan mendayung di antara 2
karang’, maka Pak Banto mengatakan bahwa PLNRI di masa SBY
adalah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani 2
karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia
untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.
Kemudian, terdapat aktivisme baru dalam PLNRI masa SBY. Ini dilihat
pada: komitmen Indonesia dalam reformasi DK PBB, atau  gagasan
SBY untuk mengirim pasukan perdamaian di Irak yang terdiri dari
negara-negara Muslim (gagasan ini belum terlaksana hingga kini).
Selain itu, terdapat ciri-ciri khas PLNRI di masa SBY, yaitu:
·         terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-
negara lain (Jepang, China, India, dll).
·         terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-
perubahan domestik dan perubahan-perubahan di luar negeri.
·         ‘prakmatis kreatif’ dan ‘oportunis’, artinya Indonesia mencoba
menjalin hubungan dengan siapa saja yang bersedia membantu dan
menguntungkan pihak Indonesia.
·         TRUST, yaitu: membangun kepercayaan terhadap dunia
Internasional. Yakni: unity, harmony, security, leadership, prosperity.
5 Hal dalam konsep TRUST ini kemudian menjadi sasaran PLNRI di
tahun 2008 dan selanjutnya.
Pak Banto terlihat menilai sangat positif kinerja dari PLNRI SBY pada
masa pemerintahannya yang terdahulu. Namun kemudian, ia pun
menyebutkan sisi kekurangan dari PLNRI SBY. Menurut beliau, PLNRI
SBY kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri. Di
sini kita dapat melihatnya dari bertambah banyaknya jumlah orang
miskin di Indonesia. Padahal, jika secara konseptual PLN disebut
sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan domestik, seharusnya
PLNRI bisa menjadi media penyelesaian masalah di dalam negeri. Oleh
karena itu, banyak pihak yang menganggap PLNRI SBY dengan
sebutan: It’s about Image. Karena SBY berlaku hanya untuk
memulihkan citra baik Indonesia di luar negeri, dan kurang
memperhatikan ke dalam negeri.
2.4. Agenda Reformasi[4]
Bagaimana implikasi reformasi politik domestik  terhadap kebijakan luar
negeri ? Rakyat Indonesia memiliki kebebasan untuk mendayagunakan
kebijakan luar negeri sehingga melahirkan kemakmuran dan kemajuan
untuk seluruh lapisan masyarakat. Secara idiil, tujuan dari politik luar
negeri Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni untuk
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi
dan keadilan sosial.
Dari empat reformasi yang sudah dilakukan rakyat Indonesia tampaknya
bisa ditarik empat agenda dalam reformasi politik luar negeri.
Pertama, perumusan kebijakan dan pelaksanaan politik luar negeri tak
lagi tersentralisasi di badan eksekutif atau di tangan presiden. Dengan
tema-tema hubungan internasional seperti hak asasi manusia,
demokratisasi, lingkungan hidup dan terciptanya masyarakat madani,
maka rakyat seluruhnya memiliki akses dalam memberikan pemikiran,
menilai dan ikut memikirkan arah kebijakan luar negeri. Soal hak asasi
manusia dicatat Budiarto Shambazy sebagai salah satu aspek penting
dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Habibie seperti terlihat
dalam kebijakan pemberian otonomi lebih luas ke Timor Timur.
Begitu politik luar negeri itu tersentralisasi dalam lembaga eksekutif,
maka arahnya tidak bisa dikritik lagi. Misalnya, politik pinjaman dana
untuk pembangunan ternyata di kemudian hari memberatkan
masyarakat sehingga melahirkan utang pemerintah sekitar 60 milyar
dollar AS. Menurut Dr Hasjim Djalal, masalah korupsi dan kolusi yang
banyak dibicarakan kalangan domestik dan luar negeri bisa
mempengaruhi kredibilitas pemerintah sehingga politik luar negeri bisa
kurang efektif.
Kedua, agenda reformasi perlu dilakukan agar politik luar negeri tidak
lagi otonom dari perbuahan-perubahan dan tuntutan masyarakat.
Meminggirkan masyarakat dalam hal politik luar negeri akan melahirkan
langkah yang fatal terhadap kemajuan seluruh bangsa. Penilaian yang
meremehkan efek devaluasi Thailand dan peringatan dunia internasional
terhadap kebijakan ekonomi luar negeri pemerintah dan swasta
mengakibatkan terjadinya prahara moneter yang menyakitkan. Dengan
kata lain, keputusan pemerintah tidak otonom tetapi tergantung dari
masukan masyarakat. Dr Moh Idris Kesuma melukiskan bahwa politik
luar negeri itu tak lain daripada perjuangan seluruh bangsa Indonesia
yang pada awalnya mempertahankan kemerdekaan dan
memperjuangkan pengakuan internasional.
Ketiga, dalam jangka mendatang tidak perlu lagi keputusan penting
dalam menghadapi era globalisasi ini diserahkan ke tangan seorang
presiden atau menteri. Karena kebijakan luar negeri pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap seluruh lapisan masyarakat dari kota sampai
desa, maka pengambilan keputusan hanya di tangan satu orang dengan
asumsi ia serba tahu tentang politik luar negeri akan berakibat
kehilangan kontrol.
Keempat, meskipun orientasi politik luar negeri negeri sudah ditentukan
bebas dan aktif serta landasan idiilnya ditetapkan dalam Pembukaan
UUD 1945, namun dalam implementasinya jangan sampai terjebak pada
sakralisasi kebijakan. Politik luar negeri seperti halnya politik dalam
negeri bukanlah sesuatu yang sakral, yang suci, yang tak bisa diubah
dan dikemas dengan pendekatan baru. Desakralisasi kebijakan
eksternal bisa dilakukan jika masyarakat ikut berpartisipasi dalam
memikirkan arah bangsa Indonesia dalam memasuki abad ke-21 ini.
BAB III
KESIMPULAN
Abad kemakmuran Asia yang sering didengung-dengungkan ternyata
harus mengalami revisi. Kemakmuran itu memerlukan tahap panjang
lagi karena penguasaan medan global ternyata telah membuat
pembangunan yang ditopang pertumbuhan cepat berakhir dengan kriris
moneter. Oleh karena itu diperlukan cara pandang baru dan kajian lebih
mendalam apa yang jadi trend internasional sehingga Indonesia sendiri
bisa merumuskan kebijakan luar negeri dengan tepat. Di sinilah
mahasiswa dan pakar-pakar hubungan internasional bisa memberikan
sumbangan besar untuk mereformasi politik luar negeri yang selama ini
jarang tersentuh sehingga mengakibatkan terjadinya sakralisasi. Sudah
waktunya paradigma berpikir kita terhadap politik luar negeri diubah
dengan sudut pandang yang segar dan memberikan harapan baru.
Aspirasi Indonesia untuk me- mainkan peran “pemimpin” tidak pernah
pudar karena Indonesia merasa memiliki kelebihan-kelebihan tertentu
yang tidak dimiliki negara lain dan posisi yang cukup strategis baik di
kawasan maupun dalam percaturan internasional. Indonesia
menunjukkan kinerja positif di sektor politik dan ekonomi domestik dan
dalam kiprahnya di panggung global, walaupun dunia internasional ten-
gah menghadapi berbagai krisis.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia beberapa pasca Orde Baru ini
dilingkupi oleh pemiki-ran Konstruktivisme, yaitu aspirasi mengubah
lawan menjadi kawan, dan kawan menjadi mitra melalui peran sebagai
bridge builder. Untuk ke depan, politik luar negeri Indonesia akan
semakin aktif dan asertif. Kinerja positif di atas menjadi modal berharga
untuk mengimplementasikan aspirasi untuk memainkan peran
“pemimpin” tersebut.
Namun demikian untuk dapat memainkan peran itu, situasi domestik
perlu terus dijaga, sehingga kredensial Indonesia di mata Internasional
tetap positif. Selain itu aspirasi untuk menjadi “bridge builder” ini perlu
dilakukan secara cermat. Indonesia perlu memfokuskan perannya pada
isu/sektor-sektor tertentu saja dimana Indonesia memiliki kapasitas yang
memadai, dan menghindari godaan untuk terlibat terlalu dalam pada
terlalu banyak isu internasional sehingga mengalami over-reach.

Anda mungkin juga menyukai