Anda di halaman 1dari 11

Runtuhnya Orde Baru dan Lahirnya Reformasi

1. Runtuhnya Orde Baru

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak
tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang
melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat
terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya
kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum
demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di
Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat
mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut
adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat
mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi
aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII
menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas
menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan
UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14
menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut
menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.

Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie.
Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
2. Kondisi Politik pada Masa Pemerintahan Habibie

Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang
harus dihadapinya, yaitu:
a. masa depan Reformasi;
b. masa depan ABRI;
c. masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d. masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e. masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka
menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.

a. Kebijakan dalam bidang politik


Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde
Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-
undang tersebut.
1) UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
2) UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
3) UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.

b. Kebijakan dalam bidang ekonomi


Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya
pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers


Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini
terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat
bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam
menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers
dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan
pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain
masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang
memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk
melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30
Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa
mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia.
Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik
Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
PROSES BERAKHIRNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU
MENUJU REFORMASI

Keberhasilan pemerintaha Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus


diakui sebagai suatu prestasi besar bangsa Indonesia. Indikasi keberhasilan itu antara lain
tingkat GNP (Gross National Product) pada tahun 1977 mencapai US$1200 dengan
pertumbuhan ekonomi sebesar 7% dan inflasi di bawah 3%. Ditambah lagi dengan
meningkatnya sarana dan prasaran fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian
masyarakat Indonesia.

Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru ternyata kurang diimbangi
dengan pembangunan mental (character building). Akibatnya terjadi krisis
multidimensi yaitu:

1. Krisis Politik

Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan


politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih
banyak dipegang oleh para penguasa.

Keadaan seperti ni mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya terhadap institusi


pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidakpercayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan
reformasi. Kaum reformis yang dipelopori oleh kalangan mahasiswa yang didukung oleh para
dosen serta para rektornya mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshulffe cabinet,
dan menggelar Sidang Istimewa MPR dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya.
Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk
keanggotaan DPR dan MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.

Gerakan Reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket indang-
undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya:

 UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum.


 UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang
DPR/MPR.
 UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
 UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum.
 UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

Namun, setahun sebelum pemilihan umum yang diselenggarakan pada bulan Mei 1997,
situasi politik dalam negeri Indonesia mulai memanas. Pemerintah Orde Baru yang didukung
oleh Golongan Karya (Golkar) berusaha untuk memenangkan secara mutlak seperti pada
pemilu sebelumnya. Sementara itu, tekanan-tekana terhadap pemerintah Orde Baru di
masyarakat semakin berkembang baik dari kalangan politisi, cendikiawan, maupun kalangan
kampus.
Keberadaan partai-partai politik yang ada di legislatif seperti Parta Persatuan Pambangunan
(PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dianngap tidak
mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Krisis politik sebagai factor
penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, menyebabkan munculnya tuntutan masyarakat
yang menghendaki reformasi baik dalam kehidupan masyarakt, maupun pemerintahan di
Indonesia. Masyarakat juga menginginkan agar dilaksanakan demokratisasi dalam kehidupan
social, ekonomi, dan politik. Di samping itu, masyarakat juga menginginkan aturan hukum
ditegakkan dengan sebenar-benarnya serta dihormatinya hak-hak asasi manusia.

Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah terhadap


oposisi sangat besar, terutama terlihat dari perlakuan keras terhadap setiap orang atau
kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintah.

2. Krisis Hukum

Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan.
Misalnya, kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24 UUD 1945 bahwa
kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pamerintah
(ekskutif). Namun, pada kenyataanya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan
eksekutif. Oleh karena itu, pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena
hakim harus melayani kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat
pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah. Seringkali terjadi rekayasa dalam
proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa, keluarga kerabat atau para
pejabat Negara.

Sejak gerakan reformasi muncul, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya.
Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan
masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya. Reformasi hukum
harus secepatnya dilakukan karena merupakan tuntunan agar siap menyongsong era
keterbukaan ekonomi dan globalisasi.

3. Krisis Ekonomi

Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga
mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Krisi ekonomi Indonesia berawal
dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.

Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi
0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia
mengalami keterpurukan yaitu dengan likuidasinya sejumlah bank pada akhir tahun 1997.

Dalam perkembangan berikutnya, nilai rupiah melemah dan menembus angka Rp 10000,- per
dollar AS. Kondisi ini semakin diperparah oleh para spekulan valuta asing baik dari dalam
maupun luar negeri yang memanfaatkan keuntungan sesaat, sehingga kondisi ekonomi
nasional semakin bartambah buruk.

Memasuki tahun anggaran 1998/1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomi
lainnya. Banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utang luar negerinya yang telah
jatuh tempo. Bahkan, banyak perusahann yang mengurangi atau menghentikan sama sekali
kegiatannya. Angka pengangguran meningkat, sehingga daya beli dan kualitas hidup
masyarakat pun semakin bertambah rendah.

Kondisi perekonomian semakin memburuk karena pada akhir pada tahun 1997 persediaan
sembilan bahan pokok (sembako) di pasaran mulai menipis. Kelaparan dan kekurangan
makanan mulai melanda masyarakat, seperti di irian Barat, Nusa Tenggara Timur, dan
termasuk di beberapa daerah di Pulau jawa.

Factor lain yang menyebabkan krisi ekonomi Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar
negeri, penyimpangan terhadap Pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang sentralistik.

4. Krisis Kepercayaan

Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan


masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Berbagai aksi damai dilakukan para
mahasiswa dan masyarakat. Demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa itu semakin
bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos
angkutan pada tanggl 4 Mei 1998. puncak aksi para mahasiswa it terjadi tanggal 12 Mei 1998
di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi
kekerasan setelah tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana,
Heri Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafihin Royan. Tidak sedikit para demonstran
yang mengalami luka ringan hingga luka parah akibat bentrokan dengan aparat yang berusaha
membubarkan demostrasi mahasiswa tersebut.

Tragedi Trisakti mendorong munculnya solidaritas kalangan kampus dan masyarakat yang
menentang kebijakan pemerintah yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.
Tragedi Trisakti juga menyulut aksi kerusuhan dan penjarahan tanggal 13 &14 Mei 1998
yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Selain itu, juga terjadi kerusuhan di beberapa wilayah
lain di Indonesia. Ketika terjadi aksi anarkis tersebut, ribuan tempat tinggal pertokoan,
kantor, dan kendaraan-kendaan terutama milik keturunn China dibakar. Bahkan banyak
mayat-mayat yang telah terbakar ditemukan di pusat-pusat pertokoan. Keadaan seperti ini
juga menyebabkan kehidupan masyarakat perkotaan diliputi oleh suasana kecemasan, rasa
takut, dan tidak tentram.

Pada tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto kembali ke Indonesia setelah dua hari berada di
Mesir untuk menghadri KTT G-15. Masyarakat menuntut pertanggungjawaban atas peristiwa
Mei kelabu kepada Presiden Soeharto. Dan desakan agar Presiden Soeharto mengundurkan
diri semakin banyak disampaikan baik dari kalangan mahasiswa, pihak oposisi, bahkan dari
orang-orang terdekatnya.

Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR/MPR untuk melakukan dialog dengan para
pemimpin DPR/MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas. Mereka memilih untuk tetap
tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total dipenuhinya.
Kehadiran para mahasiswa di Gedung MPR/DPR itu mengundang lebih banyak lagi para
mahasiswa untuk datang ke gedung tersebut. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat
demonstrasi agar Presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari
Harmoko sebagai pimpinan DPR/MPR. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR
mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Malam harinya,
pimpinan ABRI menganggap bahwa himbauan itu merupakan pendapat individu pimpinan
DPR/MPR yang disampaikan secara kolektif. Ketidakjelasan sikap elite politik nasional telah
mengundang semakin banyaknya jumlah mahasiswa dan massa lainnya untuk datng ke
Gedung DPR/MPR.

Kondisi dan situasi politik nasional yang panas telah mengakibatkan nilai tukar mata uang
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat semakin lemah dikarenakan perekonomian terhenti
akibat adanya jaminan keamanan. Pada tanggal 19 Mei 1998 nilai tukar rupiah menembus
angka Rp15000,- per dollar AS. Untuk menyikapi hal ini, Presiden Soeharto mengadakan
pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian
Presiden mengumumkan tentang Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera
melakukan pemilihan umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai presiden.

Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet


tidak dapat dilakukan, karena sebagian besar mereka yang duduk dalam Dewan Reformasi itu
menolak masuk ke dalam dewan tersebut. Begitu pula seorang menteri Kabinet Pembangunan
VII menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya.

Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri /
berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan jabatan presiden kepada
Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh
Mahkanah Agung, sebagai Presiden RRepublik Indonesia yang baru di Istana Negara.

1. A. Reformasi

Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan


perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi
yang terjadi di Indonesia tahu 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan
pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, social, ekonomi, dn
hukum.

Masalah yang sangat mendesak, adalah upaya untuk mengatasi kesulitan masyarakat banyak
tentang masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga terjangkau oleh rakyat. Pada
waktu itu, harga kebutuhan pokok rakyat sempat melejit tinggi, bahkan warga masyarakat
harus antri untuk membelinya.

Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa antara lain sebagai berikut.

 Adili Soeharto dan kroni-kroninya.


 Amandemen UUD 1945.
 Penghapusan Dwifungsi ABRI.
 Otonomi daerah yang seluas-luasnya.
 Supremasi hukum.
 Pemerintahan yang bersih dari KKN.

B.Berkuasanya Pemerintahan Reformasi

Mundurnya Suharto kemudian segera digantikan oleh B.J. Habibie yang sebelumnya
menjabat sebagai wakil Presiden namun, naiknya B.J.Habibie kekursi presiden RI tidak
secara bulat dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat.
Dalam kurun waktu satu tahun, pemerintahan B.J.Habibie telah mengadakan pembaharuan
politik maupun ekonomi. Upaya-upaya pembaharuan tersebut, antara lain, Kebeasan pers,
pelepasan narapidana politik, kebebasan mendirikan partai politik, penyelenggaraan siding
istimewa MPR November 1998, pelaksanan pemilu 7 juni 1999, program rekafitulasi
perbankan pemisihan kepolisian dan TNI, dan memberikan otonomi yang luas bagi propinsi
timor timur.

Untuk melegakan jalan menuju reformasi politik serta menyelesaikan sejumlah persoaalan
yang menyangkut hak asasi manusia dan supremasi hukum, maka pada 10-14 november 1998
dilaksanakan sidang istimewa MPR.

Pada 7 juni 1999, diselenggarakan pemilihan umum anggota DPR yang diikuti 48 partai.
Namun, hasil pemilu tersebut tetap belum bias mengakhiri peran TNI/Polri dalam politik
formal legislatif karena, fraksi TNI/Poli sudah mendapat jatah 38 kursi DPR.

Dari hasil pemilu anggota DPR itu disusunlah keanggotaan MPR yang berjumlah 700 orang
dengan komposisi 500 anggota berasal dari DPR dan 200 orang anggota berasal dari seleksi
utusan daerah dan utusan golongan. Penyusunan anggota MPR ini menghasilkan 11 fraksi.
Amien Rais ketua MPR, sedangkan Akbar Tandjung terpilih sebagai ketua DPR.

Pada 19 Oktober 1999, dilaksanakan Sidang Umum MPR untuk mengambil keputusan
melalui pemungutan suara terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie yang
telah disampaikan pada 16 Oktober 1999. Hasil dari SU MPR tersebut menunjukkan 355
suara menolak, 322 suara menerima, 9 suara abstain, dan 4 suara tidak sah. Salah satu faktor
penting yang mengakibatkan ditolaknya pidato pertanggungjawaban tersebut, yaitu indicator
yang digunakan dalam pidato tersebut dinilai tersebut dinilai kalangan pegamat ekonomi
tidak akurat dan cenderung manipulatif.

SU MPR diakhiri dengan melaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan
menggantikan pemerintahan B.J. Habibie. Dalam pemilihan tersebut, MPR menyeleksi tiga
kandidat presiden, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan
Yusril Ihza Mahendra. Namun, sebelum pemungutan suara dilakukan, Yusril
menyatakan mundur dari pencalonan. Hasilnya, Gusdur keluar sebagai pemenang dengan
meraih 373 suara dan megawati merebut 313 suara. Lima suara lainnya abstain. Adapun
megawati menjadi wakil presiden RI setelah sebelumnya mengumpulkan 396 suara dalam
pemumutan suara mengalahkan Hamzah haz yang hanya memperoleh 284 suara. Jendral
Wiranto dan Akbar tanjung mengundurkan diri dari pencalonan wakil presiden. Pelantikan
Abdurahman wahid dilaksanakan pada 20 oktober 1999, sedangkan pelantikan megawati
dilaksnakan pada 21 oktober 1999. Selain telah berhasil mengangkat presiden dan wakil
presiden yang baru, SU MPR yang berlangsung dari 1-21 oktober 1999, juga telah berhasil
menetapkan 9 ketetapan MPR dan mengamdemen UUD 1945 untuk pertamakalinya.

Kabinet presiden Abdurahman wahid diberi nama Kabinet Persatuan Nasional. Komposisi
cabinet ini merupakan gabungan dari para tokoh propesiional dan para tokoh partai
pendukung pemerintahan koalisi. Pembentukan cabinet baru tersebut disambut baik oleh
masyarakat. Besarnya dukungan terhadap cabinet baru ini salah satunya bisa dilihat dari
menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga mencapai Rp. 7000,00.

Tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Abdurahman wahid


juga dihadapkan pada berbagai persoalan. Salah satu persoalan yang muncul adalah
terjadinya pertentangan dengan lembaga legislative. Dalam hal ini DPR mengeluarkan
memorandum 1 dan memorandum II kepada presiden yang berkenaan dengan masalah
bruneigate dan buloggate 1. Inti kedua memorandum tersebut iyalah peringatan agar presiden
mengubah kinerja pemerintahannya dan kembali terfokus pada program kerja
pemerintahannya sesuai amanat GBHN. Puncak pertentangan tersebut adalah pengagendaan
sidang istimewa MPR pada 1-7 agustus 2001 yang akan meminta pertanggung jawaban
presiden atas kinerja pemerintahannya.

Rencana SI MPR tersebut mengundang tanggapan yang pro dan kontra. Kalangan yang pro
menganggap SI MPR perlu diadakan sebagai sarana pertanggung jawaban presiden terhadap
kinerja pemerintahannya selama ini. Adapun kalangan yang kontra menganggap SI MPR
illegal dan tidak konstitusional sementara itu, untuk menyalesaikan masalah dengan lembaga
legislative, presiden Abdurahman wahid melakukan upaya komfromi politik dengan
menyelenggarakan pertemuan antar pimpinan partai politik pada 7 juli 2001. Namun,
pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh pimpinan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada
saat yang genting tersebut, pada 20 juli 2001 pukul 17.45, presiden Abdurahman wahid
mengangkat komisaris Jendral (Pol) Chaerudin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan
Kapolri. Selanjutnya presiden mengadakan konfrensi pers pada pukul 18.00. ia menyatakan
bahwa apabila sampai 31 juli 2001 tidak ada penyelesaian masalah ia akan menetapkan
Negara dalam keadaan darurat konstitusi. Konfromi politik yang dimaksud ialah MPR
sepakat tidak akan mengeluarkan rancangan ketetapan MPR tentang pertanggung jawaban
presiden dalam SI MPR.

Tindakan ini mengundang reaksi dari MPR yang menganggap pengangkatan tersebut
melanggar haluan Negara dan membahayakan keselamatan Negara. Presiden dinilai telah
menciptakan dualisme kepemimpinan ditubuh polri. Malalm itu juga, pukul 21.10, MPR
mengadakan rapat pimpinan. Rapat tersebut memutuskan mempercepat SI MPR menjadi 21
juli 2001 pukul 10.00 dan mengundang presiden untuk memberikan pertanggunga
jawabannya pada 23 juli 2001.

Menanggapi tindakan tersebut, presiden menjawab dengan menegaskan bahwa ia tidak akan
datang dalm SI MPR yang dipercepat karena sidang itu melanggar tatatertib MPR sehingga
tidak sah dan illegal. Presiden juga menegaskan dirinya tidak akan mengundurkan diri dari
jabatannya karena ia harus mempertaruhkan UUD 1945. Meskipun demikian, presiden tetap
mengharapkan terjadinya komfromi politik secara damai.

Sementara itu, sejumlah pimpinan partai poliitik datang kekediaman wakil presiden pada 22
juli 2001. Pertemuan tersebut merupakan upaya memberikan dorongan moril kepada
Megawati Sukarno Putri, untuk maju ke tampuk kepeminpinan nasional. Perkembangan
tersebut mendorong presiden Abdurahman wahid mengeluarkan dekrit pada 23 juli 2001
pukul 01.10 malam. Pada 23 juli 2001, pukul 08.00, SI MPR memutuskan bahwa dekrit yang
dikeluarkan presiden telah melanggar haluan Negara. Hal ini diperkuat oleh fatwa dari
Mahkamah agung yang dibacakan langsung pada sidang tersebut.

Melalui persidangan yang rumit akaibat berbagai interupsi tentang teknik perumusan
masalah, delapan dari sepuluh fraksi MPR yang beranggotakan 599 orang akhirnya setuju
dengan pemberhentian Abdurahman Wahid dari kursi Presiden dan mengangkat Megawati
Sukarno Putri sebagai presiden. Pengangkatan tersebut didasarkan pada Tap MPR No.
III/MPR/2001. Masa jabatannya terhitung dari mulai diucapkannya sumpah jabatan sampai
dengan habis sisa jabatannya pada 2004. Pada, 9 agustus 2001, presiden akhirnya
mengumumkan komposisi kabinetnya yang di berinama Kabinet Gotong Royong. Adapun
Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden setelah memperoleh suara terbanyak dalam
pemungutan suara yang dilakukan dengan system voting secara tertutup pada tanggal 26 juli
2001.

1. C. Hubungan Masa Orde Baru dengan Masa Kini (Reformasi)

Pemerintah dan seluruh masyarakat harus mengambil pelajaran dari masa orde baru dan
berusaha memperbaiki kesalahan,keburukan, dan kekurangan pada masa orde baru seperti,
pengekangan terhadap kebebasan berpendapat, ketidakadilan dalam hukum, dan ambruknya
prekonomian.

1. 1. Politik

Pada masa orde baru kebebasan berpendapat dikekang. Sedangkan pada masa reformasi,
orang bebas mengemukakan pendapatnya dimuka umum baik dalam rapat-rapat umum
maupun unjuk rasa atau demonstrasi. Namun, tentu saja harus sesuai dengan aturan yang
berlaku.

Pada masa orde baru pola pemerintahan bersifat sentralistis. Sedangkan pada masa reformasi
pola pemerintahan menjadi disentralistis, hal ini menimbulkan kepuasan pemerintah daerah
dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Karena hal ini akan lebih adil dan akan
mempercepat pemerataan dan pembangunan di daerah.

1. 2. Hukum

Pada masa orde baru hukum seakan menjadi milik para penguasa, hukum dijalankan tidak
adil dan carut marut tapi, pada masa reformasi hukum mulai ditata dengan baik dan tidak
memihak. Pemerintah pun menunjukan keseriusannya dalam bidang hukum salah satunya
dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasil dari pembentukan KPK ini
sudah terlihat dengan banyaknya para koruptor yang ditangkap.

1. 3. Ekonomi

Pemerintah pada masa reformasi berupaya memperbaiki kesejahteraan rakyat pasca krisis
moneter pada masa akhir kekuasaan orde baru dengan menggarap lima sector kebijakan
yaitu:

1. Perluasan lapangan kerja secara terus-menerus melalui infestasi dalam dan luar negeri
seefisien mungkin .
2. Penyediaan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari untuk memenuhi permintaan
pada harga yang terjangkau.
3. Penyediaan fasilitas umum seperti rumah, air minum, listrik, bahan bakar,
komunikasi, angkutan dengan harga yang terjangkau.
4. Penyediaan ruang sekolah, guru dan buku-buku untuk pendidikan umum dengan
harga terjangkau.
5. Peyediaan klinik, dokter dan obat-obatan untuk kesehatan umum dengan harga yang
terjangkau pula.
Sejak jatuhnya Suharto dan naiknya Habibie menjadi presiden, terpilihnya presiden
Abdurahman wahid dan Megawati sukarno putri yang naik menggantikan Gus Dur bertugas
untuk meningkattkan kesejahteraan kehidupanm rakyat dengan meningkatkan kehidupan
ekonomi masyarakat. Namun, dengan kondisi perekonoomian Negara yang ditinggalkan oleh
pemerintahan Suharto, tidak mungkin dapat diatasi oleh seorang presiden dalam waktu yang
singkat. Oleh sebab itu, untuk mengatasi krisis, presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan RI, memerlukan penyelesaian secara bertahap berdasarkan skala prioritas.
Bahkan, dalam upaya penyelesaian krisis ekonomi setiap komponen bangsa memiliki peran
dan tanggungjawab yang sama.

Anda mungkin juga menyukai