Anda di halaman 1dari 19

.

Krisis Politik

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik
pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu
dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah
dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi
yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi
rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat,
melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru, kehidupan
politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau
orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:

1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif
(menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).

2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.

3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak memiliki
kebebasan untuk mengontrolnya.

4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan.

5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden
melalui Sidang Umum MPR, tetapipemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.

B. Krisis Hukum

Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam
bidang hukumpun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan
untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh
keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan
dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakan bahwa‘kehakiman memiliki kekuasaan yang
merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah(eksekutif).
C.Krisis Ekonomi

Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan
perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang
melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.00 menjadi Rp
2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah
terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti: 1)Hutang luar negeri Indonesia yang
sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya
hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.

D. Krisis Sosial

Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang
represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan
agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Ketimpangan
perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran,
persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat
merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.

E. Krisis Kepercayaan

Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan
politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan pelaksanaan
pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
Kronologi Peristiwa Reformasi Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi dapat dipaparkan sebagai
berikut:

1. Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil
Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003. Presiden Suharto membentuk dan melantik Kabinet
Pembangunan VII.
2. Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi
dan aksi keprihatinan yang menuntut penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako),
penghapusan KKN, dan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan.

3. Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi
bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana,
Hery Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas dan puluhan mahasiswa
lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para
mahasiswa dan kalangan kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.

4. Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan
sehingga kegiatan masyarakat mengalami kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan
isinya dijarah, bahkan ratusan orang mati terbakar.

5. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya
menduduki DPR dan MPR Pada saat yang bersamaan, tidak kurang dari satu juta manusia berkumpul di
alunalun utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung, guna mendengarkan maklumat
dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VII.

6. Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi
‘anjuran agar Presiden Suharto mengundurkan diri.

7. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh
masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan
diketuai oleh Presiden Soeharto.

8. Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden Suharto meletakkan jabatannya
sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung.

Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J.
Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.

Beberapa sebab lahirnya gerakan reformasi adalah krisis moneter, ekonomi, politik, hukum, sosial,
budaya, dan kepercayaan terhadap pemerintahan Presiden Suharto. Nilai tukar rupiah terus merosot.
Para investor banyak yang menarik investasinya. Inflasi mencapai titik tertinggi dan pertumbuhan
ekonomi mencapai titik terendah selama pemerintahan Orde Baru. Kehidupan politik hanya kepentingan
para penguasa. Hukum dan lembaga peradilan tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya.
Pengangguran dan kemiskinan terus meningkat. Nilai-nilai budaya bangsa yang luhur tidak dapat
dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
telah sampai pada titik yang paling kritis. Oleh karena itu, krisis kehidupan masyarakat Indonesia sering
disebut sebagai krisis multidimensional. Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para
mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan
pada tanggal 4 Mei 1998. Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa
tuntutan, seperti:

1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya

2. Laksanakan Amandemen UUD1945

3. Penghapusan Dwi fungsi ABRI

4. Pelaksanaan Otonomi daerah seluas-luasnya

5. Tegakkan Supermasi Hukum

6. Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN

Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, seluruh lapisan
masyarakat Indonesia berduka dan marah. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibu
kota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13— 14 Mei 1998, yang menimbulkan banyak korban
baik jiwa maupun material. Semua peristiwa tersebut makin meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan
tuntutan pengunduran Soeharto dari kursi kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian dipilih oleh
kebanyakan kelompok massa mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto mengerucut pada aksi
pendudukan gedung DPR/MPR. Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah peristiwa monumental dalam
proses pelengseran Soeharto dari tampuk kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi. Dalam peristiwa
ini, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk mendesak
Soeharto.

Latar belakang terjadinya Reformasi

Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, tujuan
lahirnya gerakan reformasi adalah untuk memperbaiki tatanan perikehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan faktor atau
penyebab utama lahirnya gerakan reformasi. Namun, persoalan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak
faktor yang mempengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan
konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966, Orde Baru
bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan penyimpangan
terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat
merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk
mempertahankan kekuasaan.

Reformasi merupakan gerakan moral untuk menjawab ketidak puasan dan keprihatinan atas kehidupan
politik, ekonomi, hukum, dan social. Reformasi bertujuan untuk menata kembali kehidupan berma-
sayarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan
demikian, hakikat gerakan reformasi bukan untuk menjatuhkan pemerintahan orde baru, apalagi untuk
menurunkan Suharto dari kursi kepresidenan Namun, karena pemerintahan orde baru pimpinan Suharto
dipandang tidak mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara, maka Suharto diminta untuk

mengundurkan secara legawa dan ikhlas demi perbaikan kehidupan bangsa dan Negara Indonesia yang
akan dating. Reformasi yang tidak terkontrol akan kehilangan arah, dan bahkan cenderung menyimpang
dari norma-norma hukum. Dengan demikian, cita-cita reformasi yang telah banyak sekali menimbulkan
korban baik jiwa maupun harta akan gagal. Untuk itu, kita sebagi pelajar Indonesia harus dan wajib
penjaga kelangsungan reformasi agar berjalan sesuai dengan harapan para pahlawan reformasi yang
gugur.

LATAR BELAKANG REFORMASI DI INDONESIA

Reformasi di Indonesia tahun 1998 adalah suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kearah yang lebih baik secara konstitusional.
Artinya adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hokum, social, dan budaya yang
lebih baik, demokratis berdasarkan orinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraa.

Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Krisis
politik, ekonomi, hokum, dan krisis sosial merupakan faktor-faktor pendorong timbulnya gerakan
reformasi. Bahkan krisis kepercayaan telah menjadi suatu indicator yang menentukan. Reformasi
dipandang sebagai gerakan yang tidak dapat ditawar lagi, oleh karena itu seluruh rakyat Indonesia
mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.

Dengan semangat reformasi rakyat menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai
langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Pergantian nasional diharapkan
dapat memperbaiki kehidupan ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indonesia harus dipimpin oleh
orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.

Persoalan pokok yang mendorong atau menyebab lahirnya gerakan reformasi adalah kesulitan warga
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga-harga sembilan bahan pokok (sembako), seperti
beras, terigu, minyak goring, minyak tanah, gula, susu, telur, ikan kering, dfan garam, mengalami
kenaikan yang tinggi.

Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam
kemakmuran, dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu tujuan
lahirnya gerakan reformasi adalah untuk memperbaiki tatanan perikehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.

Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan
konsekuan dalam melaksanakan cita - cita Orde Baru. Pada awal

kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahanan Orde
Baru banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Bahkan Pancasila
dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-
penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan
reformasi.

a. Krisis Politik

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik
pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemereintah Orde Baru selalu didasarkan
pada alasan pelaksanaan demikrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah merupakan upaya
memepertahankan kekuasaan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya.. Artinya demokrasi yang dijalankan
pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demopkrasi rekayasa. Bukan lagi
demokrasi dal;am pengertian dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi dari, oleh, dan untuk
penguasa.

Pada masa Orde Baru kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah
terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang dianggap kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif
adalah :

1) Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif
(menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).

2) Pelaksanaan Lima Paket UU Politgik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa. Lima
paket UU tersebut adalah UU No tahun 1985 tentang Pemilihan Umum, UU No.3 tahun 1985 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya, UU No.2 tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan anggota MPR-
DPR-DPRD yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.5 tahun 1995, UU No.8 tahun 1985 tentang
Organisasi masyarakat, dan UU No.2 thaun i985 tentang Referendum.

3) Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajelal dan masyarakat tidak memiliki
kebebasan untuk mengtrolnya.
4) Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga Negara (sipil untuk ikut
berpartisifasi dalam pemerintahan.

5) Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Soeharto dipilih menjadi presiden
melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.

b. Krisis Hukum

Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik saja,
dalam bidang hukumpun pemerintah melakukan intervensi. Artinya kekuasaan peradilan harus
dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa, dan bukan untuk melayani masyarakat dengan
penuh keadilan.

Hukum sering dijadikan alat pembenaran tindakan penguasa. Kenyataan tersebut sangat bertentangan
dengan ketentuan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kehakiman memiliki kekuasaan yang
merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif)”.

c. Krisis Moneter

Krisis moneter yang melanda Negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan
perekonomian Indonersia. Di tengah - tengah terjadinya kekisruhan kehidupan berbangsa dan bernegara,
pada bulan Juli 1997 Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter. Nilai rupiah terhadap uang asing,
terutama dolar Amerika, menurun secara drastis. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah dari
Rp.2,575.00 menjadi Rp.2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar
rupiah terhadap dollar Am,Erika Serikat turun menjadi Rp. 5,000.00 per dollar. Dan pada bullan Maret
1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah yaitu Rp. 16,000.oo per dollar.

Ketika nilai rupiah semakin melemah, timbul krisis di bidang perbankan. Kebijakan deregulasi yang
dilakukan sejak bulan Oktober 1988 telah memacu pertumbuhan bank yang luar biasa. Namun kebijakan
deregulasi ini telah menimbulkan bisnis perbankan yang tidak efesien. Akibatnya pemerintah melikuidasi
16 bank yang bermasalah pada akhir tahun 1977.

Untuk menyehatkan perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya. Dan pemerintah mengeluarkan Kredit Likuidasi Bank
Indonesia (KLBI) untuk menyehatkan bank-bank yang berada dibawah pembinaan BPPN. Namun di
dalam pelaksanaan KLBI terjadi praktek manipulasi besar-besaran. Pinjaman bank-bank bermasalah yang
tidak dapat dikembalikan semakin besar, sehingga pemerintah harus menanggung beban keuangan yang
semakin besar.
Dalam pada itu kepercayaan Internasional terhadap Indonesia menurun. Hal ini disebabkan karena
perusahaan-perusahaan Negara dan swasta banyak yang tidak mampu membayar utang luar negeri yang
telah jatuh tempo.

Kebijakan uang ketat dan suku bunga bank yang tinggi pada awal tahun 1998, tetap tidak mampu
mengatasi krisis moneter tersebut. Pemerintah akhirnya melakukan pembekuan kembali tujuh bank
pada bulan April 1998. Nilai rupiah terus melemah menembus angka Rp. 10.000,00 per dollar Amerika
Serikat. Pada saat krisis itu, tidakan para spekulan valuta asing baik dari dalam maupun luar negeri
semakin memperburuk kondisi ekonomi nasional. Krisis moneter tidak sekedar hanya menimbulkan
kesulitan keuangan Negara, melainkan mengakibatkan hancurnya system keuangan nasional.

d. Krisis Ekonomi

Penurunan nilai tukar rupiah ini telah menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi yang ditandai dengan
lesunya perekonomian, dan juga menyebabkan kerusakan pada institusi-institusi ekonomi penting.
Memasuki tahun anggaran 1998/1999 , krisis moneter berimbas juga pada aktivitas ekonomi yang lain.
Perusahaan Negara maupun swasta banyak yang tidak mampu membayar utang luar negeri yang telah
jatuh tempo. Dan banyak perusahaan yang bangkrut, sehingga angka pemutusan hubungan kerja (PHK)
meningkat. Akibatnya angka pengangguran semakin tinggi dan secara langsung berpengaruh terhadap
penurunan kemampuan daya beli serta kualitas hidup sebagian besar masyarakat. Ketimpangan
kemam[uan msyarakat yang telah terjadi sebelumnya menjadi semakin kritis sejak terjadinya krisis
ekonomi ini.

Pada akhir tahun 1997 persediaan barang-barang khusus sembilan bahan pokok di pasaran mulai
menipis di pasaran. Harga barang-barang naik tida terkendali, yang berarti biaya hidup juga semakin
tinggi. Pada awal tahun 1898 terjadi aksi memborong barang-barang oleh kelompok tertentu di berbagai
kota di Indonesia. Dan di berbagai tempat terjadi kelaparan dan

kekurangan pangan seperti di Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, bahkan di beberapa tempatr di pulau
Jawa.

Sementara itu pinjaman luar negeri yang telah disepakati dengan Internasional Moneter Fund ( IMF)
belum terealisasi meskipun pada bulan Januari 1998 Indonesia sudah menandatangani 50 butir
kesepakatan dengan lembaga keuangan Internasional tersebut. Selain itu semakin banyak ditemukan
bukti-bukti tentang praktek monopoli, nepotisme, korupsi, dan manipulasi yang dilakukan para penguasa
beserta kroninya dalam kehidupan ekonomi nasional.

e. Krisis Sosial
Krisis politik, hukum dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik
represif yang dijalankan pemerintahan Orde Baru dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik
politik maupun konflik antar etnis dan agama.

Ketimpangan perekonomian yang terjadi di Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap


timbulnya krisis sosial. Pengangguran, keterbatasan sembako, tingginya harga-harga sembako.
Rendahnya daya beli masyarakat, merupakan factor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sertra krisis ekonomi yang terjadi, mendorong
munculnya prilaku negatif dalam masyarakat. Misalnya perkelahian antar pelajar, budaya menghujat,
narkoba, kerusuhan masyarakat di Kalimantan Barat, pembantaian dengan isu dukun santet di
Banyuwangi dan Boyolali, serta kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan Solo pada tanggal 13-14 Mei 1998.
Akibat kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan Solo, perekonomian di kedua kota tersebut mengalami
kelumpuhan untuk beberapa waktu karena banyak swalayan, pertokoan, dan pabrik rusak dibakar dan
dijarah massa. Hal tersebut menyebabkan membengkaknya angka pengangguran.

Peristiwa-peristiwa tersebut mengakibatkan beban masyarakat semakin berat. Ketidakpastian kapan


krisis akan berakhir telah menyebabkan masyarakat frustasi. Kondisi ini sangat membahayakan karena
dapat memberikan ruang bagi pihak yang ingin mengacau untuk mengadudomba masyarakat, dan
menyulut massa untuk melakukan tindakan anarkis.

f. Krisis kepercayaan

Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonersia telah mengikis kepercayaan masyarakat
terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Kegagalan pemerintah dalam membangun kehidupan politik
yang demokratis, menegakan hukum, dan system peradilan, serta pelaksanaan pembangunan yang
berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.

Sikap pemerintah yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, dan merebaknya KKN, telah menyebabkan
timbulnya ketidak percayaan masyarakat terhadap para penguasa. Gejala ini tampak sejak pemilihan
umum tahun 1992 di mana perolehan suara Golkar berkurang secara drastis. Dan sejak tahun 1996
ketidakpercayaan masyarakat terhadap Orde Baru semakin terbuka. Muncullah tokoh seperti Amien Rais
yang vocal dan berani mengkritik pemerintah secara terbuka dan gerakan mahasiswa, semakin
memperbesar keberanian masyarakat untuk mengkritik pemerintahan Orde Baru.

Krisis multidimensional yang terjadi sebenarnya tidak terjadi begitu saja, melainkan sebagai akibat dari
berbagai kondisi yang tumbuh di Indonesia waktu itu, seperti :
1) Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi.
Meskipun hutang itu bukan sepenuhnya hutang Negara, tapi juga hutang swasta.

2) Kebijakan Industrialisasi. Pemerintahan Orde Baru ingin menjadikan Negara RI sebagai Negara industri,
dan keinginan itu tidak sesuai dengan kodisi nyata masyarakat Indonesia yang agrarais dan tingkat
pendidikannya masih rendah.

3) Pemerintahan yang Sentralistik. Pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik sifatnya, sehingga semua
kebijakan ditentukan oleh Pemerintah pusat di Jakrta. Oleh karena itu peranan pemerintah pusat sangat
menentukan, dan pemerintah daerah hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.

B. TUNTUTAN REFORMASI

1. Keadaan menjelang Reformasi

Setahun sebelum pemilihan umum yang direncanakan pada bulan Mei 1997, keadaan politik Indonesia
mulai memanas.Pemerintahan yang didukung Golkar, berusaha mempetahankan kemenangan mutlak
yang telah dicapai dalam lima kali pemilihan umum sebelumnya. Di lain pihak, tekanann terhadap
pemerintahan Orde Baru di dalam masyarakat semakin berkembang.

Tuntutan masyarakat akan adanya perubahan kebijakan politik, ekonomi, dan hukum, semakin sering
dikemukakan. Keberadaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), dianggap tidak mampu lagi memenuhi aspirasi politik sebagian
masyarakat.Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional, dianggap telah menimbulkan
ketimpangan ekonomi yang besar, monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi,
serta tidak mampu menghilangkan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat. Kehidupan masyarakat
dan pemerintahan dianggap masih dipenuhi oleh pelanggaran hukum dan hak asasi manusia oleh
penguasa.

Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa pemerintah telah menekan pihak oposisi.
Hal ini dapat dilihat pada perlakuan yang keras terhadap setiap orang atau kelompok yang melakukan
kritik terhadap kebijakan pemerintahan Orde Baru. Seseorang dengan mudah dituduh sebagai anti
pemerintah atau menghina kepala negar, hanya karena mengkritik sebuah kebijakan tertentu.
Keseragaman berpikir dan bertindak menjadi sebuah prinsip dasar yang harus diterima semua pihak.

Pemerintah juga melarang mendirikan partai politik lain kecuali ketiga partai politik yang sudah ada. Hal
ini berkaitan dengan diberlakukannyua lima paket UU politik, yaitu :

- Undang-Undang No.1 Tahun 1985 Tentang Pemilihan Umum

- Undang-Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Susunan dan Kedudukan anggota MPR, DPR, dan DPRD yang
kemudian disempurnakan menjadi UU No.5 Tahun 1995
- Undang-Undang No.3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya

- Undang-Undang No.8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan

- Undang-Undang No. 2 Tahun 1985 Tentang Referendum

Krisis moneter, ekonomi, politik, hukum, telah menyebabkan ketidakpercayaan mayarakat terhadap
pemerintah Presiden Suharto semakin kuat, terutama di kalangan masyarakat kampus. Pada bulan Maret
Tahun 1998 mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia mulai melakukan aksi menuntut agar
segera dilakukan reformasi total, khususnya di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Pada saat itu,
bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan mulai yang menimbulkan korban mulai terjadi di
banyak tempat di Indonesia.

Aksi damai yang merupakan bagian dari gerakan moral yang dilakukan mahasiswa di seluruh Indonesia
menghadapi tantangan baru. Memasuki bulan Mei 1998, aksi lain yang mengarah pada perusakan,
pembakaran, dan penjarahan mulai terjadi. Hal ini kemudian digunakan oleh pemerintah untuk
mendeskriditkan aksi damai mahasiswa, yang ternyata semakin mendapat banyak dukungan masyarakat.

Pengumuman pemerintah tentang kenaikan BBM dan ongkos angkutan tanggal 4 Mei 1998

semakin memperluas aksi demonstrasi mahasiswa. Agenda reformasi yang menjadi tutnutan para
mahasiswa mencakup beberal seperti :

- Adili Soeharto dan kroninya

- Laksanakan Amendemen UUD 1945

- Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya

- Tegakan Supremasi Hukum

- Ciptakan Pemerintahan yang bersih dari KKN

Pada tanggal 12 Mei 1998, aksi mahasiwa di Universitas Trisakti Jakrta berubah menjadi bentrokan fisik
yang penuh dengan kekerasan Akibatnya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia, Heri
Hertanto, Hendriawan, dan Hafidin Alifidin Royan, meninggal dunia.Selain itu ratusan mahasiswa
mengalami luka ringan dan luka parah. Kekerasan tersebut mendorong munculnya solideritas yang lebih
luas di dalam kampus maupun masyarakat umum, menentang kebijakan pemerintah yang tidak
demokratis.
Peristiwa Trisakti telah memicu terjadinya kerusuhan dan penjarahan yang memuncak pada tanggal 13
dan 14 Mei 1998 terutama di Jakarta dan sekitarnya serta Surakarta. Ribuan tempat tinggal, pertokoan,
kantor, dan kendaraan milik masyarakat Tionghoa dibakar. Ribuan orang mati terbakar di pusat-pusat
pertokoan. Seluruh masyarakatan terutama di perkotaan dicekam perasaan tidak aman. Hal ini kemudian
mendorong masyarakat keturunan Tionghoa pergi ke luar negeri secara besar-besaran demi keamanan.

Presiden Soeharto yang sedang menghadiri KTT G-15 di Kairo Mesir segera pulang ke Tanah Air pada
tanggal 15 Mei 1998. Tuntutan agar Presiden Soeharto segera mengundurkan diri semakin gencar
disuarakan masyarakat. Rencanma mahasiswa untuk berdialog dengan pimpinan DPR, berubah menjadi
aksi mimbar bebas.

Para mahasiswa kemudian memutuskan untuk tetap tinggal di gedung DPR/MPR, sampai tuntutan
reformasi total mereka dipenuhi. Kehadiran para mahasiswa di gedung DPR/MPR, mengundang
kedatang lebih banyak mahasiswa serta pendukung reformasi lainnya terutama sejak tanggal 18 Mei
1998.

Aksi mahasiswa tersebut mendapat dukungan spontan dari masyarakat, yang membawakan makanan
dan minuman bagi mereka. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan
agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Namnun pada malam harinya, pimpinan ABRI menganggap
bahwa himbauan agar Presiden Soeharto

mengundurkan diri itu merupakan pendapat individu pimpinan DPR/MPR yang disampaikan secara
kolektif.

Ketidak jelasan sikap para elit politik ini semakin memperbesar jumlah mahasiswa dan massa lainnya
yang datang ke gedung DPR/MPR. Namun gerakan massa oposisi yanbg berasal dari berbagai kelompok
itu tidak memiliki pimpinan yang jelas, walaupun pada saat itu terdapat beberapa orang individu yang
menonjol memperjuangkan reformasi.

Sementara itu pada tanggal 19 Mei 1998 nilai mata uang rupiah semakin melemah menembus Rp.
15,000.00 per dollar US. Pada hari itu juga Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan beberapa
tokoh agama dan tokoh masyarakat di Jakarta. Presiden Soeharto

kemudian mengumumkan tentang rencana pembentukan Komite Reformasi, melakukan perubahan


cabinet, dfan segera melakukan pemilihan umum serta tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai
presiden.

Tekanan terhadap Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri semakin besar. Pada peringatan hari
kebangkitan nasional 20 Mei 1998 di Yogyakarta, para mahasiswa berhasil melakukan aksi damai
menuntut reformasi total. Dalam perkembangan lain, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan
perubahan cabinet tidak berhasil. Sebagian besar mereka yang ditawari untuk duduk di kabinet menolak.

Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, dan BJ Habibie yang menjabat
wakil presiden disumpah oleh Mahkaman Agung sebagai presiden Republik Indonesia yang baru di
Intana negar. Pengangkatan Presiden BJ Habibie menggantikan Soeharto di luar Sidang MPR itu
didasarkan pada Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945.

2. Kronologi Peristiwa Reformasi

Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi di Indonesia tahun 1998 dapat dipaparkan sebagai
berikut :

a. Pada bulan Maret 1998 Sidang Umum MPR memilih Soeharto dan BJ Habibie sebagai Presiden dan
Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003. Presiden Soeharto membentuk dan melaktik Kabinet
Pembangunan VII.

b. Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi
dan melakukan aksi keprihatinan yang menuntut penurunan harga barang-barang kebutuhan pokok
(sembako), Penghapusan KKN, dan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan.

c. Pada tanbggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta terjadi
bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa tertembak hingga
tewas, dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka.

d. Pada tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan
sehingga kegiatan masyarakat mengalami kelumpuhan. Dalam pewristiwa itu puluhan took dibakar dan
isinya dijarah, dan ratusan orang mati terbakar.

e. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya
berhasil menduduki gedung MPR/DPR

f. Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi
anjuran agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.

g. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh
masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan
diketuai oleh Presiden Soeharto.

h. Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Intana Negara, Prtesiden Soeharto meletakan jabatannya
sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8
UUD 1945, kemudian Soeharto menyerahkan jabatannya kepada BJ Habibie sebagai Presiden RI. Pada
waktu itu juga BJ Habibie dilantik menjadi presiden RI oleh Ketua MA.

PEMERINTAHAN MASA REFORMASI


1. Pemerintahan Presiden BJ Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999)

Ketika BJ Habibie menjabat presiden hampir tiada hari tanpa demonstrasi. Para demonstran mendesak
BJ Habibie merespon tuntutan reformasi dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara,
seperti kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasan berserikat dan mendirikan partai politik, dan
kebebasan lainnya.

Pengalihan jabatan presiden dari Soeharto kepada BJ Habibie dinilai banyak mengundang kontroversial
berbagai pihak. Sebagian pihak menilai bahwa pengangkatan Presiden Habibie itu sah karena sesuai
dengan Pasal 8 UUD 1945, sedangkan pihak lain mengnggap bahwa pengangkatan Presiden Habibie tidak
sah karena Presiden harus disumpah di hadapan DPR. Selain itu Habibie dinilai sebagai orang dekatnya
Soeharto, sehingga dikuatirkan keadaan ini akan menghambat proses reformasi karena visi dan pola
kepemimpinan Orde Baru yang sarat dengan KKN akan berlanjut terus.

Presiden Habibie segera membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan, dan berusaha mendapatkan
dukungan dari International Monetery Fund (IMF) dan komunitas negera-negara donor untuk
mendukung program pemulihan ekonomi. Selain itu Habibie juga membebaskan tahanan politik dan
melonggarkan pengawasan terhadap media massa serta kebebasan berakspresi.

Salah satu kebijakan Presiden Habibie yang sangat mengagetkan masyarakat Indonesia adalah
mengadakan referendum bagi masyarakat Timor Timur untuk menentukan nasibnya. Presiden Habibie
menawarkan opsi merdeka atau tetapa bersatu dengan NKRI. Dan sebagian besar masyarakat Timor
Timur memilih opsi merdeka, maka lepaslah propinsi termuda Indonersia yang direbut dan dipertahan
dengan susah payah semasa pemerintahan Presiden Soeharto itu. Dan Presiden BJ Habibie dianggap
tidak mampu mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dilaksanakan Pemilihan Umum,
yang diikuti oleh 48 partai politik. PDIP, Partai Golkar, PKB, PPP, dan PAN merupakan lima partai utama
yang memperoleh suara terbanyak secara nasional. Golongan Karya yang menang secara mutlak di
seluruh Indonesia dalam enam kali pemilihan umum masa Orde Baru, mengalami kekalahan mutlak di
Pulau Jawa, Bali, dan beberapa wilayah di Sumatera pada Pemilihan Umum 1999.

Pemilihan Umum 1999 berdampak positif bagi nilai mata uang rupiah. Nilai uang rupiah yang sempat
merosot pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, menguat dan sempat mencapai nilai di bawah
Rp.7.000,00 per dollar Amerika Serikat pada bulan Juli 1999.

Namun secara umum, ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan yang berarti. Krisis perbankan
dan moneter terus berlangsung, nilai rupiah terhadap mata uang asing masih belum menentu, daya beli
sebagian besar masyarakat masih tetap rendah, dan investasi modal asing

masih sangat minim.

Setelah hanya sekitar setahun Presiden habibie memerintah, ia menyampaikan pertanggungjawabannya


di MPR, namun ditolak. Penolakan ini berhubungan dengan sikap Presiden Habibie yang dianggap tidak
serius melaksanakan agenda reformasi terutama mengusut kasus korupsi mantan Presiden Soeharto dan
kroninya, serta lepasnya Timor Timur dari kekuasaan Indonesia. Dengan demikian BJ Habibie tidak punya
kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan presiden berikutnya.

2. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001)

Walaupun PDIP meraih suara terbanyak sekitar 35 % dalam Pemilihan Umum tahun 1999, yang diangkat
menjadi presiden oleh MPR adalah Abdurarrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri
sebagai Ketua Umum PDIP ditunjukj menjadi Wakil Presiden.

Pergantian Pemerintahan Presiden Habibie ke Presiden Gus Dur tidak banyak mengubah keadaan. Gus
Dur tetap meneruskan proses demokrasi dan perkembangan ekonomi. Selain menghadapi
ketidakpastian ekonomi, Gus Dur juga harus menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama
di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Timur timbul masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar
akibat tindak kekacauan rakyat Timor Timur yang pro Indonesia.

Hubungan Presiden Gus Dur dengan DPR/MPR tidak begitu harmonis. Dan selama masa
pemerintahannya sering terjadi konflik. Mulai dari pemberhentian beberapa menteri yang berasal dari
Partai Golkar dan PDIP dalam Kabinet Persatuan, pengangkatan Ketua Mahkamah Agung, pengangkatan
Kapolri, sampai issue puncak dugaan keterlibatan Presiden dalam kasus Bulogate dan Bruneigate.

Pertama konflik antara Gus Dur dengan DPR terjadi pada kasus pengangkatan Ketua Mahkamah Agung
tahun 2000, Gus Dur menolak Muladi dan Bagir Manan yang dicalonkan DPR, karena kedua orang itu
memilki keterkaitan dengan Orede Baru. Untuk beberapa saat terjadi kekosongan Ketua MA, sehingga
tugas-tugas yang menjadi wewenang Ketua MA dijalankan oleh Wakil Ketua. Tetapi pada tanggal 20 Mei
2000 diangkat Bagis Manan sebagai Ketua Ma setelah Muladi mengundurkan diri.

Kedua konflik mengenai pengangkatan Kapolri Komjen (Pol) Chaerudin Ismail sebagai Kapolri tanpa
melalui persetujuan DPR. Dalam hal ini Gus Dur telah melanggar TAP MPR No.VII/MPR Tahun 2000
Tentang Peran TNI dan Kepolisian, Pasal 3 (3) dan Pasal 7 (3) yang menyebutkan “ Untuk pengangkatan
panglima TNI dan Kapolri harus dengan persetujuan DPR”. Terakhir issue sentral yang menjadi penyebab
lengsernya Presiden Gus Dur adalah kasus Bulogate dan Bruneigate. DPR membentuk Pansus untuk
menangani kasus Bulogate dan Bruneigate. Menurut Gus Dur Pansus itu ilegal, inkonstitusional, dan sarat
muatan politik. Sedang DPR bmenganggap Pansus tersebut legal dan sesuai dengan prosedur yang ada.
Akhir pada bulan awal Pebruari 2001 DPR menggelar Rapat Paripurna, dan memutuskan untuk
mengeluarkan Memorandum I kepada Presiden karena telah melanggap TAP MPR No. IV/MPR Tahun
1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Menanggapi hal
itu Presiden melalui juru bicaranya Wimar Witoelar menyatakan akan mempercepat reformasi terutama
dalam hal pemberantasan KKN dan penegakan hukum. Dan itu direalisasikan dengan ditetapkannya
beberapa pejabat Orde Baru yang terlibat KKN, antara lain Probosutedjo, Hendro Budiyanto, Ginandjar
Kartasasmita, dsb.
Tiga bulan setelah dikelurkannya Memorandum I kemudian DPR mengadakn Rapat Paripurna padfa
bulan April 2001 untuk menilai kinerja Pemerintah setelah turunnya Memorandum I. DPR memutuskan
bahwa belum ada usaha yang signifikan dari pemerintah untuk melakukan perubahan dalam
memberantas KKN dan menegakan hukum, sehingga keluarlah Memorandum II.

Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa dan menetapkan pemberhentian Gus
Dur dari jabatan Presiden RI. Sehari kemudian pada

tanggal 22 Juli 2001 Presiden Gus Dur mengeluarkan Dekrit yang menyatakan :

- Pembubran DPR/MPR,

- Pembekuan Partai Golkar, dan

- Percepatan Pemilu.

MA kemudian mengeluarkan fatwa untuk menolak Dekrit tersebut dan menyatakan Presiden telah
melampaui batyas kewenangannya dan berdasarkan UUD 1945 Presiden tidak berhak untuk
membubarkan DPR/MPR, pembekuan Partai Golkar, dan melakukan percepatan Pemilu.

3. Pemerintahan Presiden Megawati (23 Juli-20 Oktober 2004)

Pada tanggal 23 Juli 2001 melalui Sidang MPR, Megawati ditetapkan sebagai Presiden RI yang Ke-lima
menggantikan Gus Dur. Megawati dilantik di tengah-tengah harapan akan membawa perubahan bagi
Indonesi karena merupakan puti pertama Presiden Soekarno sebagai salah seorang pendiri Republik
Indonesia. Melalui program kerjanya Megawati berjanji akan menjalankan pemerintahan dengan
membangun kondisi dalam negeri yang kondusif dengan dukungan parlemen, TNI, POLRI, dan msyarakat,
pembangunan ekonomi kerakyatan dan memperkuat integritas bangsa.

Meski ekonomi Indonesia mengalami banyakn perbaikan, seperti stabnilnya nilai mata uang rupiah
terhadap uang asing, namun Indonesia pada masa pemerintahan Megawati tetap tidak menunjukan
perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lainnya.

Komitmen Presiden Megawati terhadap penegakan hukum seperti penyelesaian kasus tragdei Mei 1998
masih belum menunjukan tanda-tanda kemajuan. Megawati tidak sungguh-sungguh menindalanjuti
rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tragedi Mei. Hasil penemuan TGPF menyoroti adanya
pertemuan di Markas Komando Stratyegis AD ( MAKOSTRAD) tanggal 14 Mei 1998 yang diduga kuat ada
kaitannya dengan kasus Mei 1998.
Pemerintahan Megawati juga mendapat sorotan ketika penunjukan MA Rahman sebagai Jaksa Agung
menggantikan almarhum Baharudin Lopa. MA Rahman memiliki catatan kurang baik ketika menjabat
Ketua Tim Penyelidik Gabungan Kasus Pelanggaran HAM Timor Timur, Tanjung Periok, dan Abepura.

Di tengah-tengah gerakan msyarakat memberdayakan masyarakat sipil, Presiden Megawati kelihatannya


masih ragu-ragu untuk melepaskan militer dari kancah politik. Kecurigaan ini diperkuat dengan adanya
kesimpangsiuran tentang aliran dana Bantuan Presiden (Banpres) bagi perbaikan asrama TNI dan POLRI.
DPR mempertanyakan tujuan alairan dan asal sumber dana tersebut. Demikian dalam kasus KKN,
Megawati tidak menunjukan ketegasan. Bahkan yang lebih memalukan adalah keterlibatan Ketua
DPR/MPR Akbar Tanjung dalam kasus Bulogate.

Populeritas Megawati yang awalnya tinggi di mata msyarakat Indonesia, drastis menurun. Ditambah
dengan sikaponya yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat, sehingga dianggap sebagai pemimpin
yang dingin.

Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada
Pemilu Pemilihan Presiden tahun 2004 ia ikut mencalonkan diri sebagai Calon Presiden, dengan harapan
dapat mempertahankan kekuasaannya sebagai Presiden.

Namun dalam Pemilu tahun 2004, Presiden untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dipilih
langsung oleh rakyat. Megawati harus menghadapi ujian berat apakan rakyat

masih dapat menerima dan mau memlih dirinya sebagai Presiden? Namun ternyata rakyat lebih memilih
Susilo Bambang Yudoyono dari Partai Demokrat yang menjadi pesaing Megawati sebagai Presien RI yang
ke-enam.

4. Pemerintahan Presiden SBY (20 Oktober 2004-20 Oktober 2009)

a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah

“Bersama Kita Bisa” merupakan jargon yang digunakan pasangan calon Presiden Susilo Bambang Yudono
(SBY) dan Jusuf Kalla (JK) pada msa kampanye Pimilihan Presiden (pilpres) 2004. Begitu pasangan ini
terpilih dan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2004-2009, jargon tersebut kemudian
diwujudkan dalam program kerja Kabinet Indonesia Bersatu. Dngan agenda utama mengubah Indonesia
menjadi lebih aman, lebih adil, dan lebi sejahtera.

Pada awal masa Pemerintahan Presiden SBY banyak menekankan pada pertumbuhan, penciptaan
lapangan kerja, dan upaya pengentasan kemiskinan. Namun sejak tahun 2007 sebagaimana disampaikan
dalam pidato awal tahun, SBY mengenalkan kebijakan baru yang pro rakyat, yakni pningkatan
pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Kebijakan pro rakyat ini
merangkum semua keinginan Presiden SBY untuk mewujudkan perubahan seperti yang dijanjikan pada
masa kampanye.
Rencana besar pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009). RPJM ini menjadi acuan bagi daerah dalam
menyusun program kerja mereka. Presiden SBY sangat optimis mengenai progran kerja tersebut.

Pemerintah memang telah menyiapkan program yang pro rakyat., termasuk penyediaan anggaran untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang hidup di sektor pertanian dan perikanan. Mencanangkan
revitalisasi pertanian dan periakanan di Waduk Jatiluhur, yang ditindaklanjutio dengan peningkatan
produksi gabah sebanyak dua juta ton hingga akhir 2007. Kegiatan ini ditopang dengan pemberian bibit
unggul dsan benih unggul secara gratis kepada petani dan peternak ikan yang total anggarannya
mencapai Rp. 1 triliun. Dan untuk mempercepat swasembada gula juuga dilakukan revitalisasi pabrik-
pabrik gula.

Untuk menciptakan lapangan kerja, pemerintah mendorong pertumbuhan industri dalam negeri yang
didorong investasi baru di berbagai bidang, terutama di bidang infrastruktur pelabuhan, jalan tol, bandar
udara, waduk, dsan pembangkit tenaga listrik. Untuk mengurangi jumlah rakyat miskin, sejumlah
program digulirkan, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), permodalan untuk Usaha Kecil Menengah
(UKM), bantuan opereasional sekolah (BOS), serta jaminan asuransi kesehatanb bagi keluarga miskin
(ASKESKIN).

Mengantisipasi kenaikan harga BBM yang menelan subsidi yang begitu besar, pemerintah melakukan
konversi penggunaan minyak tanah ke gas elpiji yang dilakukan dengan memberikan jutaan tabung gas
dan kompor gas gratis kepada rakyat. Namun semua yang diupayakan pemerintah ini belum dirasakan
hasilnya oleh masyarakat luas. Karena adanya beberapa kendala yang dihadapi di lapangan terutama
yang terkait dengan birokrasi dan aparat pemerintah.

Di samping itu Pemerintahan Presiden SBY juga berhasil mengatasi berbagai konflik seperti di Ambon,
Sampit, dan Aceh. Pada tanggal 17 Juli 2005, tercapai kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan
Gerakan Aceh Merdeka,. Yang isinya antara lain mengakhiri konflik di Aceh yang telah berlangsung
selama 30 tahun.

Terlepas dari segala kekurangannya, pemerintahan SBY berhasil meletakan kembali dasar-dasar penting
sebagai prasyarat utama membangun masa depan bangsa. Di tengah berbagai persoalan globar,
keamanan dalam negeri jauh membaik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemberantasan korupsi
dengan segala dinamikanya, terus ditingkatkan dan diprioritaskan. Cadangan devisa Negara pada masa
pemerintahan SBY mencapai 60 milyar dollar US, sesuatu yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah
Indonesia. Hutang kepada

IMF dilunasi, tidak lagi melakukan import beras, bahkan produksi dalam negeri mengalami surplus.

Ketika pemerintahan SBY berjalan beberapa bulan, gelombang Tsunami yang maha dahsyat melanda
Aceh dan Nias, yang menyebabkanj ratusan ribu orang meninggal dan kerugian materi milyaran dollar.
Namun dengan adanya kepercayaan yang sangat tinggi dari
banyak Negara di dunia terhadap pemerintah, dan dengan penanganan yang terprogram, pemerintah
berhasil menangani persoalan-persoalan pasca bercana tersebut.

Kabinet Indonesia Bersatu secara bertahap dan terprogram,, telah berhasil menata kembali berbagai
prasyarat bagi pembangunan bangsa ke depan. Keberhasilan hasil kerja keras ini akan sia-sia apabila
dirusak oleh sikap dan perilaku yang hanya menempatkan kepentingan politik pribadi dan kelompok di
atas kepentingan bangsa dan Negara.

Reformasi harus selalu digunakan sebagai landasan positif dalam membangun kepentingan bangsa dan
Negara. Pembangunan bangsa harus berkelanjutan, karena itu bangsa ini butuh pemerintahan yang kuat
dan pemimpin yang teguh menjalani sumpah jabatannya untuk kepentingan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai