Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TENTANG : MASALAH TENTANG BUDAYA BIMA

GURU PEMBIMBING : ARFAH, S.Pd


DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK : IV ( EMPAT )
NAMA : MURNIANINGSIH ( KETUA )
ANGGOTA : NUR WAHIDAH
SUHADAH
FANI INDRA FADILAH

KELAS : X. MIA3

SMAS KAE WOHA BIMA


TAHUN AJARAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah senantiasa melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga kita semua dalam keadaan yang sehat walafiat dalam menjalankan
aktifitas sehari-hari. Kami juga panjatkan kehadiran Allah SWT. Karena hanya dengan
keridhohanya makalah dengan judul “Masalah Budaya Bima ”. Dapat terselesaikan.

Kami menyadari karena keterbatasan pengetahuan dan pemahaman kami Tentang


Budaya, menjadikan keterbatasan kami pula untuk memberikan penjabaran yang lebih
tentang masalah ini. oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Harapan kami, semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita semua, setidaknya
untuk membuka cara berpikir kita tentang kerajinan tangan, untuk menumbuhkan daya nalar,
kreatif tangan, dan pola pikir kami sajikan aktifitas yang menurut peran aktif dalam
melakukan kegiatan.

Woha, Oktober 2021

Kelompok IV
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………….……………...

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………...

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ……………………..…………………………………………


B. RUMUS MASALAH ………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

A. MASALAH BUDAYA BIMA …………………………………………………….….....


B. MACAM DAN JENIS KEBUDAYAAN BIMA ……………………………..................

A. I GUSTI KETUT JELANTIK…………………………………………….………………

a. LANGKAH KEHIDUPAN I GUSTI KETUT JELANTIK…………………………


b. MEMBANGUN PURA………………………………………………………………
c. SUKA DUKA SEBAGAI PETANI………………………………………………….
d. I GUSTI KETUT JELANTIK DALAM LINGKARAN SUKSESI…………………

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ………………………………………………………………………….
B. SARAN…………………………………………………………………………………..

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kefatalan generasi adalah ketika sejarah ditoreh secara tidak gamblang dan disadur
dengan tidak apa adanya. Lebih ironi lagi ketika sejarah tersrsebebuut diuiunngkap secara
tidadak trananspsparan dan ditutututup-tututuupi keberadaannya. Dana Mbojo memiliki
sejarah yang panjang, dikenal sejak jaman Naka hingga jaman Modern saat ini. Namun
banyak catatan naskan kuno Dana Mbojo yang terbengkalai dimana-mana. Ada yang
ditemukan di Belalanda, di Makakassssarar, di Reo sertrta ada pula yang ditemukan di
Singngapapurura dan Afrika. Dari naskah kuno serta artifak sejarah yang ditemukan,
dilakukanlah perangkaian catatan sejarah Dana Mbojo dari A sampai Z. namun memang
perlrlu permaklumatan apababilila ditetengngah rangkaian tersebut terjadi miss antara cerita
B ke C dan sebagainya. Namun sangat tidak pantas dan merupakan kejahatan turun temurun
apabila rangkaian sejarah diendap demi pelanggengan kekuasaan semu.

B. Rumusasan Masasalah
Sebenarnya kita adalah Dou Bima (orang Bima) bukan Dou Mbojo (orang Mbojojo).
Yang berhak menynyanandang gelar Dou Mbojo adalalah masyarakat Donggo dan Sambori
saja. Sebab merekalah aslinya Dou Mbojo selama ini. Sedangkan Dou Bima adalah blesteran
dari berbagai asal keturunan (jawa, Makassar, Bugis, Gujarat, Cina, dll). Namun karena Dou
Mbojo lah kita “ada”. Dan karena Dana Mbojo lah kita diterima ditengah masyarakat. Dana
Mbojo telah menempa kita juga menjadi Dou Mbojo. Maka sudah sepantasnya kita berbuat
untuk Dana Mbojo. Sudah sewajarnya kita menghormati Dana Mbojo. Bukan untuk
merampoknya, bukan untuk menodainya, bukan untuk memalukannya dan lebih-lebih untuk
merampasnya. Inilah identitas kita sebagai Dou Bima yang tinggal di Dana Mbojo.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Masalah kebudayaan bima


Suku Bima merupakan suku yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Sukun ini telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pemukiman
orang Bima biasa disebut kampo atau Kampe yang dikepalai orang seorang pemimpin yang
disebut dengan Ncuhi. Jumlah Ncuhi yang terdapat di Suku Bima adalah tujuh Ncuhi yang
pemimpin di setiap daerah.

Ncuhi dibantu oleh golongan kerabat yang tua dan dihormati. Kepemimpinan diwariskan
turun temurun di antara keturunan nenek moyang pendiri desa. Setiap daerah menamakan
dirinya sebagai bagian dari Bima, meski pada kenyataannya tidak ada pemimpin tunggal
yang menguasai kepemerintahan tanah Bima.
Berbagai versi menyebutkan asal mula kata Bima menjadi suku tersebut. Ada yang
mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”. Hal ini karena
mayoritas suku Bima beragama Islam. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama
raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.
Legenda tersebut tertulis dalam Kibat Bo’. Ceritanya berawal dari kedatangan seorang
pengembara dari Jawa yang bernama Bima tadi. Bima merupakan seorang Pandawa Lima
yang melarikan diri ke Bima pada masa pemberontakan di Majapahit. Dia melarikan diri
melalui jalur selatan agar tidak diketahui oleh para pemberontak, lalu berlabuh di Pulau
Satonda.
Bima menikah dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, dan memiliki anak.
Bima memiliki karakter yang kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah
mencurigai orang lain. Lalu, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah
tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima. Sang Bima dianggap sebagai
raja Nima pertamanya.
Hanya saja, Sang Bima meminta kepada para Ncuhi supaya anaknya yang diangkat sebagai
raja. Sementara dia sendiri kembali lagi ke Jawa dan menyuruh dua anaknya untuk
memerintah di Kerajaan Bima. Oleh karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang
masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.
Nama Bima sendiri sebenarnya adalah sebutan dalam bahasa Indonesia, semnetara
orang Bima sendiri menyebutnya Mbojo. Saat menggunakan bahasa Indonesia untuk merujuk
“Bima”, yang digunakan tetap harus mengucapkan kata “Bima”. Tetapi bila menggunakan
bahasa daerah Bima untuk merujuk”Bima”, kata yang digunakan secara tepat adalah
“Mbojo”. Mbojo ini merupakan salah satu suku Bima karena dalam suku Bima sendiri ada
dua suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo. Suku Donggo atau orang Donggo dianggap
sebagai orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.
Saat ini, mayoritas suku Bima menganut agama Islam yang kini mencapai 95% lebih,
di samping sebagian kecil juga menganut agama Kristen dan Hindu. Tetapi, ada satu
kepercayaan yang masih dianut oleh suku Bima yang disebut dengan Pare No Bongi, yaitu
kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Pare No Bongi merupakan kepercayaan asli orang
Bima. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan
yang sangat besar sebagai penguasa.
Kemudian ada lagi Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang
tinggal di pohon, gunung yang sangat besar dan berkuasa untuk mendatangkan penyakit,
bencana, dan lainnya. Mereka juga percaya adanya sebatang pohon besar di Kalate yang
dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal para Batara dan
dewi-dewi.
Dalam seni tradisional khas Bima, mereka memiliki tarian khas buja kadanda yang saat ini
hampir punah. Namun kini telah mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah. Selain itu
juga ada tari perang khas suku bima. Ada lagi tarian kalero yang berasal dari daerah Donggo
lama. Kalero adalah tarian dan nyanyian yang berisi ratapan, pujian, pengharapan dan
penghormatan terhadap arwah. Perlombaan balap kuda juga merupakan wujud kesenian
lainya dari suku bima.
Adapun bahasa yang digunakan suku Bima adalah Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo. Bahasa
ini terdiri atas berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan Sangiang. Bahasa yang
mereka pakai ini termasuk rumpun Bahasa Melayu Polinesia. Dalam dialek bahasanya,
mereka sering menggunakan huruf hidup dalam akhiran katanya, jarang menggunakan huruf
hidup. Misalnya kata “jangang” diucapkan menjadi “janga”.
Mata pencaharian utamanya masyarakat suku Bima adalah bertani dan sempat menjadi
segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena
itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua
kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.  
Mereka juga berladang, berburu dan berternak kuda yang berukuran kecil tapi kuat. Orang
menyebut kuda tersebut dengan Kuda Liar. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah diekspor ke
Pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakkan kuda yang
penting. Mereka memiliki sistem irigasi yang disebut Ponggawa. Para wanita Bima membuat
kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan "tembe nggoli" yang
terkenal.

B. Macam Dan Jenis Kebudayaan Bima/Mbojo


1. Uma Lengge

Rumah tradisional uma Lengge merupakan rumah peninggalan nenek moyang suku


Mbojo yang berada di Bima, Nusa Tenggara Barat. Seiring dengan kemajuan zaman, uma
Lengge tidak lagi dijadikan tempat tinggal, melainkan hanya digunakan untuk menyimpan
hasil perkebunan.

2. Rimpu
Rimpu merupakan tradisi berbusana untuk kaum perempuan suku Bima dengan
menggunakan sarung tenun khas Bima yaitu “Tembe Nggoli”. Cara pemakaiannya
membutuhkan dua lembar kain, yaitu satu lembar kain pertama yang dililitkan ke kepala dan
menyisakan bagian terbuka untuk wajah, lalu sisa kain dijulurkan hingga ke perut menutupi
lengan dan telapak tangan. Kemudian untuk kain kedua dikenakan dengan cara melipatkan
kain di pinggang hingga ke bawah seperti penggunaan kain sarung pada umumnya.

Konon, tradisi berbusana ini sudah ada sejak jaman Kesultanan Bima. Meskipun tradisi
berbusana rimpu ini sudah mulai jarang digunakan oleh generasi muda suku Bima sekarang,
namun kini mulai sering diperkenalkan kembali pada acara-acara kebudayaan yang diadakan
oleh dinas kebudayaan setempat.

3. Peta Kapanca
Salah satu tradisi yang masih berjalan saat ini ditengah masyarakat suku Bima adalah Peta
Kapanca. Peta Kapanca adalah ritual khusus bagi calon pengantin wanita suku Bima sebelum
menikah. Ritual Peta Kapanca dilakukan satu hari sebelum prosesi akad atau pesta
pernikahan.

Pada ritual ini, kapanca atau daun pacar yang sudah dihaluskan akan ditempelkan di kedua
telapak tangan calon pengantin wanita secara bergilir oleh ibu-ibu pemuka adat, tokoh
masyarakat dan tokoh agama.

Makna filosifis dari tradisi Peta Kapanca ini yaitu, daun pacar yang dilumatkan dan
ditempelkan pada kedua telapak tangan sang calon pengantin wanita sebagai simbol bahwa
sebentar lagi calon pengantin wanita tersebut akan menjadi seorang istri dari calon pengantin
pria yang sudah meminangnya. Hingga kini, tradisi ini masih terus dipertahankan oleh
masyarakat suku Bima.

4. Tenun Tembe Nggoli

Zaman dahulu, para wanita dari suku Bima diwajibkan memiliki keahlian dalam menenun.
Keahlian menenun ini lalu diwariskan secara turun-temurun kepada anak-anak sejak usia
belia oleh para Ibu mereka dan terus diturunkan ke generasi selanjutnya hingga kini.

Salah satu hasil kain tenun tradisional khas dari Bima ini adalah Tembe Nggoli. Bagi
masyarakat Bima, sarung tenun Tembe Nggoli ini adalah warisan budaya yang harus dijaga
dan dilestarikan hingga kini.

5. Jenis Tari Tradisional


1.    Atraksi Gantao
Jenis tarian ini berasal dari Sulawesi Selatan dengan nama asli Kuntao. Namun di
Bima diberi nama Gantao. Atraksi seni yang mirip pencak silat ini berkembang pesat sejak
abad ke-16 Masehi. Karena pada saat itu hubungan antara kesultanan Bima dengan Gowa dan
Makasar sangat erat. Atraksi ini dapat dikategorikan dalam seni Bela diri (silat), dan dalam
setiap gerakan selalu mengikuti aturan musik tradisional Bima (Gendang, Gong, Tawa-tawa
dan Sarone). Pada zaman dahulu setiap acara-acara di dalam lingkungan Istana Gantao selalu
digelar dan menjadi ajang bertemunya para pendekar dari seluruh pelosok, hingga saat ini
Gantao masih tetap lestari detengah-tengah masyarakat Bima dan selalu digelar pada acara
sunatan maupun perkawinan).
2.      Tari Wura Bongi Monca

Seni budaya tradisional Bima berkembang cukup pesat pada masa pemerintahan
sultan Abdul Kahir Sirajuddin, sultan Bima ke-2 yang memerintah antara tahun 1640-1682
M.
Salah satunya adalah Tarian Selamat Datang atau dalam bahasa Bima dikenal dengan Tarian
Wura Bongi Monca. Gongi Monca adalah beras kuning. Jadi tarian ini adalah Tarian
menabur Beras Kuning kepada rombongan tamu yang datang berkunjung.
     Tarian ini biasanya digelar pada acara-acara penyabutan tamu baik secara formal maupun
informal. Pada masa kesultanan tarian ini biasa digelar untuk menyambut tamu-tamu sultan.
Tarian ini dimainkan oleh 4 sampai 6 remaja putri dalam alunan gerakan yang lemah lembut
disertai senyuman sambil menabur beras kuning kearah tamu, Karena dalam falsafah
masyarakat Bima tamu adalah raja dan dapat membawa rezeki bagi rakyat dan negeri.

3.       Tari Lenggo
Tari Lenggo ada dua jenis yaitu Tari Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo. Lenggo
Melayu diciptakan oleh salah seorang mubalig dari Pagaruyung Sumatera Barat yang
bernama Datuk Raja Lelo pada tahun 1070 H. Tarian ini memang khusus diciptakan untuk
upacara Adat Hanta UA Pua dan dipertunjukkan pertama kali di Oi Ule (Pantai Ule sekarang)
dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Lenggo Melayu juga dalam
bahasa Bima disebut Lenggo Mone karena dibawakan oleh 4 orang remaja pria.

4.      Rawa Mbojo
Salah satu seni budaya Mbojo yang merupakan ajang hiburan masyarakat tempo dulu adalah
Rawa Mbojo. Seni ini adalah salah satu media penyampaian pesan dan nasehat yang
disuguhkan terutama pada malam hari saat-saat penen sambil memasukkan padi di lumbung.
Senandung Rawa Mbojo yang di-iringi gesekan Biola berpadu dengan syair dan pantun yang
penuh petuah adalah pelepasan lelah dan pembeli semangat kepada warga yang melakukan
aktifitas di tiap-tiap rumah. Sebagai selingan, dihadirkan pula seorang pawang cerita yang
membawakan dongeng-dongeng yang menarik dan penuh makna kehidupan.
5.      Hadrah Rebana

Jenis atraksi kesenian ini telah berkembang pesat sejak abad ke-16. Hadrah Rebana
merupakan jenis atraksi yang telah mendapat pengaruh ajaran islam. Syair lagu yang
dinyanikan adalah lagu-lagu dalam bahasa Arab dan biasanya mengandung pesan-pesan
rohani. Dengan berbekal 3 buah Rebana dan 6 sampai 12 penari, mereka mendendangkan
lagu-lagu seperti Marhaban dan lain-lain. Hadrah Rebana biasa digelar pada acara WA’A
CO’I (Antar Mahar), Sunatan maupun Khataman Alqur’an. Hingga saat ini Hadrah Rebana
telah berkembang pesat sampai ke seluruh pelosok. Hal yang menggembirakan adalah
Hadrah Rebana ini terus berkembang dan dikreasi oleh seniman di Bima. Dan banyak sekali
karya-karya gerakan dan lagu-lagu yang mengiringi permainan Hadrah Rebana ini.

6.  Pacuan Kuda
Di Desa Panda, Kabupaten Bima, tidak jauh dari Polres Kabupaten Bima hanya sekitar 1 km,
terdapat event Lomba Pacuan Kuda yang digelar dua kali dalam setahun tiap musim kemarau.

Dan joki-jokinya masih anak-anak TK hingga SD umur 6-10 tahun.


Dalam mendapatkan joki-joki kecil berbakat para pemilik kuda ada yang menggunakan
sistem kontrak dan ada juga yang menggunakan sistem sekali pacu. Tarif dan bonus yang
dijanjikan pemilik kuda bagi joki-joki kecil dalam pacuan sangatlah menggiurkan, mulai dari
200 ribu sekali pacuan hingga bonus hingga 3 juta apabila memenangkan pacuan. Bahkan
menurut pengakuan pemilik kuda yang menggunakan sistem kontrak, ada joki yang dikontrak
hingga 15 juta dalam sekali perlombaan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dana Mbojo memiliki sejarah yang panjang, dikenal sejak jaman Naka hingga jaman
Modern saat ini. Namun banyak catatan naskan kuno Dana Mbojo yang terbengkalai dimana-
mana. Ada yang ditemukan di Belanda, di Makassar, di Reo serta ada pula yang ditemukan di
Singapura dan Afrika. Dari naskah kuno serta artifak sejarah yang ditemukan,, dilakukanlah
perangkaian catatan sejarah Dana Mbojo dari A sampai Z.
Melestarikan budaya merupakan sebuah usaha yang tidak mudah, ada saja macam
yang menghalangi baik tiu dari sisi masyarakat atau dari yang laininnya, namun yang
terprpenenting adalah bagaimana kita bisa melestarikan budaya kita di depan khlayak umum
agar dunia tahu bahwa Bima punya yang unik.
B.. saran
saran dan kritik untuk memperbaiki makalah selanjutnya sangat kami harapkan.

Anda mungkin juga menyukai