Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH BUDAYA

NUSA TENGGARA BARAT(BIMA)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


BAHASA INDONESIA

DISUSUN OLEH:

NAMA : JULHIJAH FEBRIANTI


PRODI : AERONAUTIKA
NIT :23012367

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI KEDIRGANTARAAN


YOGYAKARTA
2023/2024
Jl. Parantritis No.KM, RW.5, Druwo, Bangunharjo, Kec. Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta 55187
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmatnya karunianya
kayelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari makalah ini adalah
“Budaya Nusa Tenggara Barat (Bima)”.

Pada kesempatan ini kami megucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan makalah ini.

Kami jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari studi
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka
kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat
berguna bagi saya pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Yogyakarta, Oktober 2023


Tertanda,

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................
1.3 Tujuan........................................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................
2.1 Sejarah Kerajaan Bima.............................................................................................................
2.2 Sejarah Kota Bima....................................................................................................................
2.3 Mengenal Baju Adat Sambolo dan Rimpu..............................................................................
2.4 Sejarah Rimpu dan Jenis Rimpu..............................................................................................
2.5 Warisan Langka Mbojo Ntumbu Tuta..................................................................................
2.6 Makna Kalondo Wei................................................................................................................
2.7 Tradisi Peta Kapanca..............................................................................................................
8. Adat Perkawinan Masyarakat Bima........................................................................................
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................................
3.2 saran.........................................................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kefatalan generasi adalah ketika sejarah ditoreh secara tidak gamblang dan disadur
dengan tidak apa adanya. Lebih ironi lagi ketika sejarah tersebut diungkap secara tidak
transparan dan ditutup-tutupi keberadaannya. Dana Mbojo memiliki sejarah yang
panjang, dikenal sejak jaman Naka hingga jaman Modern saat ini. Namun banyak catatan
naskan kuno Dana Mbojo yang terbengkalai dimana-mana. Ada yang ditemukan di
Belanda, di Makassar, di Reo serta ada pula yang ditemukan di Singapura dan Afrika. Dari
naskah kuno serta artifak sejarah yang ditemukan, dilakukanlah perangkaian catatan
sejarah Dana Mbojo dari A sampai Z. namun memang perlu permaklumatan apabila
ditengah rangkaian tersebut terjadi miss antara cerita B ke C dan sebagainya. Namun
sangat tidak pantas dan merupakan kejahatan turun temurun apabila rangkaian sejarah
diendap demi pelanggengan kekuasaan semu.

budaya lokal menjadi sumber kekuatan untuk mengangkat budaya daerah yang begitu
kompleks. Agar budaya lokal tetap menjadi identitas pada suatu daerah. Tetapi tanpa di
sadari, pewarisan budaya dengan cara ini kurang begitu efektif. Karena tidak semua
generasi mau menerima warisan budaya dengan cara seperti ini. Apa lagi dalam kegiatan
festival budaya yang hanya mengenakan Rimpu sebagai simbolis saja guna mengingat
budaya yang sudah ada sejak generasi terdahulu.

Salah satu budaya lokal daerah yang ada di Indonesia yakni budaya Rimpu, kata Rimpu
sendiri berasal dari bahasa Bima yang berarti “ Menutup “.

Dalam sebuah wawancara pada tahun 2019, Muhammad Hasan sebagai Tokoh Adat
setempat mengatakan “Budaya Rimpu merupakan budaya yang sudah ada setelah
masuknya islam di tanah Bima (Mbojo) pada abad ke 16 M. Sejak dulu rimpu di gunakan
sebagai penutup aurat bagi kaum wanita dengan menggunakan Tembe dalam bahasa Bima
berarti “Sarung” atau “ Kain Tenun ”. Sarung atau kain tenun yang di gunakan pada saat
itu, di fungsikan sebagai penutup aurat bagi kaum wanita masih gadis atau wanita yang
berkeluarga pada saat itu. Sedang dalam sebuah wawancara pada tahun 2019, Alan malingi
sebagai pemerhati budaya mengatakan, “sarung atau kain tenun ( Tembe ) sudah ada

1
sebelum masuknya Islam keseluruhan di tanah Bima (Mbojo) pada abad ke 15 – 16 M tetapi
Rimpu ini sebenarnya asal usulnya masih di teliti sebab ada temuan bahwa Rimpu adalah
adat orang-orang melayu bedaya orang melayu menggunakan sarung sebagai tutup kepala
saja tidak menyerupai Jilbab”.

Berdasarkan apa yang telah di jelaskan tadi berarti Rimpu merupakan budaya turun
temurun sejak masuknya islam di tanah Bima (Mbojo). Dalam fungsi penggunaan, Rimpu
terbagi menjadi 2 fungsi yaitu Rimpu Cili dan Rimpu Colo. Makna dari penggunaan Rimpu
Cili yakni menutup kepala dengan melingkarkan sarung menyerupai Jilbab yang terlihat
hanya mata saja, Rimpu Cili di peruntukan bagi kaum wanita yang belum menikah atau
belum berkeluarga. Untuk Rimpu Colo yakni menutup kepala dengan melingkarkan sarung
menyerupai Jilbab yang terlihat hanya mata saja, Rimpu Colo di peruntukan bagi kaum
wanita yang sudah berkeluarga. Selain fungsi penggunaan sebagai penutup aurat dalam
ajaran islam, Rimpu juga di gunakan pada kegiatan sehari-hari wanita Bima (Mbojo). Seiring
berjalannya waktu masyarakat Bima (Mbojo) atau generasi pewaris, tentu akan mengalami
pergaulan dalam rangka pemenuhan hidupnya. Masyarakat Bima (Mbojo) akan
berhubungan dengan masyarakat dari daerah lain dari waktu ke waktu.

Dan terus berlangsung sepanjang kehidupannya. Kebudayaan Rimpu yang sudah ada
sejak masuknya islam akan mengalami perubahan dari generasi sebelumnya. Muncullah
upaya pewarisan kebudayaan pada generasi selanjutnya yang sudah mengenal adanya
jilbab atau hijab sebagai pengganti dari Rimpu tadi, berakibat akan terjadi pergeseran
penggunaan Rimpu . Maka penggunaan tidak sering di jumpai lagi, Muncul suatu upaya
dalam penggunaan Rimpu tadi pada kegiatan- kegiatan seperti acara festival budaya untuk
mengingat kembali akan adanya penggunaan Rimpu di masa awal masuknya islam di tanah
Bima (Mbojo).

Tetapi tanpa di sadari, pewarisan budaya dengan cara ini kurang begitu efektif.
Karena tidak semua generasi mau menerima warisan budaya dengan cara seperti ini. Apa
lagi dalam kegiatan festival budaya yang hanya mengenakan Rimpu sebagai simbolis saja
guna mengingat budaya yang sudah ada sejak generasi terdahulu.

Sebenarnya kita adalah Dou Bima (orang Bima) bukan Dou Mbojo (orang Mbojo).
Yang berhak menyandang gelar Dou Mbojo adalah masyarakat Donggo dan Sambori saja.

2
Sebab merekalah aslinya Dou Mbojo selama ini. Sedangkan Dou Bima adalah blesteran
dari berbagai asal keturunan (jawa, Makassar, Bugis, Gujarat, Cina, dll). Namun karena
Dou Mbojo lah kita “ada”. Dan karena Dana Mbojo lah kita diterima ditengah masyarakat.
Dana Mbojo telah menempa kita juga menjadi Dou Mbojo. Maka sudah sepantasnya kita
berbuat untuk Dana Mbojo. Sudah sewajarnya kita menghormati Dana Mbojo. Bukan
untuk merampoknya, bukan untuk menodainya, bukan untuk memalukannya dan lebih-
lebih untuk merampasnya. Inilah identitas kita sebagai Dou Bima yang tinggal di Dana
Mbojo.

1.2 Rumusan Masalah


1. Sejarah Kerajaan Bima
2. Sejarah kota Bima
3. Mengenal Baju Adat Sambolo dan Rimpu
4. Sejarah dan Jenis Rimpu
5. Warisan Langka Dana Mbojo Ntumbu Tuta
6. Makna Kalondo Wei
7. Tradisi Peta Kapanca
8. Adat Perkawinan Masyarakat Bima

1.3 Tujuan
a. Merangkum segi budaya dari dana mbojo yang semakin tersingkirkan dari daerah
bima.
b. menambah wawasan informasi kepada masyarakat pewaris budaya
mengenai Rimpu Bima (Mbojo).
c. Upaya dalam pewarisan budaya Rimpu Bima (Mbojo).

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kerajaan Bima

Kerajaan Bima terletak di Bima, Nusa Tenggara Barat. Kerajaan Bima merupakan
salah satu wilayah yang memiliki peranan penting dalam sejarah Islam di kawasan Nusa
Tenggara. Jauh sebelum proses pengislaman, Bima sudah menjadi daerah dengan
perkembangan perdagangan yang cukup pesat. Kerajaan Bima adalah kerajaan yang
pernah mengalami masa Hindu yang akhirnya berubah menjadi bercorak Islam. Menurut
catatan Bo Sangaji Kai (nasakah kuno milik Kerajaan Bima), cikal bakal daerah Bima
dirintis oleh pendatang dari Jawa, seorang musafir dan bangsawan Jawa yang bergelar
Sang Bima. Ia sekaligus pendiri kerajaan Bima. Kemudian, ia menikah dengan Putri Tasi
Sari Naga. Dari, hasil pernikahan tersebut lahir dua orang putera bernama Indra Zamrud
dan Indera Komala. Kedua anak tersebutlah yang menjadi cikal bakal ketuurunan raja-
raja Bima.

Pada saat itu, wilayah Bima telah terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah yang
disebut Ncuhi. Masa ncuhi merupakan ambang sejarah (proto sejarah), pada masa itu
masyarakat mulai hidup berkelompok, menetap, mengenal pertanian dan peternakan.
Masyarakat juga hidup teratur di bawah ncuhi. Ada lima ncuhi yang tergabung dalam
Federasi Ncuhi, yaitu Ncuhi Dara yang menguasi wilayah Bima bagian tengah atau pusat
pemerintahan.Ncuhi Parewa menguasai wilayah Bima bagian selatan. Ncuhi Padolo
menguasai wilayah Bima bagian barat, dan Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah Bima
bagian timur, dan Ncuhi Dorowuni menguasi wilayah utara. Federasi Ncuhi mengangkat
Bima sebagai pemimpin. Secara resmi, Sang Bima menerima pengangkatan tersebut,
tetapi pada pelaksanaannya ia menyerahkan kembali kekuasaannya pada Ncuhi Dara
untuk memerintah atas namanya.

4
Pada perkembangan selanjutnya, putera Sang Bima yang bernama Indra Zamrud dan
Indra Komala datang ke tanah Bima. Indra Zamrud menjadi Raja Bima pertama. Sejak saat
itu, Bima memasuki zaman kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya, Kerajaan Bima
menjadi kerajaan besar yang sangat berpengaruh dalam percaturan sejarah dan budaya
nusantara. Secara turun temurun, Kerajaan Bima telah diperintahkan sebanyak 16 raja,
hingga akhir abad ke 16.

2.2 Sejarah Kota Bima


Bima atau yang disebut juga dengan Dana Mbojo telah mengalami perjalanan
panjang dan jauh mengakar ke dalam Sejarah. Menurut Legenda sebagaimana termaktub
dalam Kitab BO (Naskah Kuno Kerajaan dan Kesultanan Bima), kedatangan salah seorang
musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima di Pulau Satonda merupakan cikal bakal
keturunan Raja-Raja Bima dan menjadi permulaan masa pembabakan Zaman pra
sejarah di tanah ini. Pada masa itu, wilayah Bima terbagi dalam kekuasaan pimpinan
wilayah yang disebut Ncuhi. Nama para Ncuhi terilhami dari nama wilayah atau gugusan
pegunungan yang dikuasainya.

Ada lima orang ncuhi yang tergabung dalam sebuah Federasi Ncuhi yaitu, Ncuhi Dara
yang menguasai wilayah Bima bagian tengah atau di pusat Pemerintah. Ncuhi Parewa
menguasai wilayah Bima bagian selatan, Ncuhi Padolo menguasai wilayah Bima bagian
Barat, Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah Bima bagian Timur, dan Ncuhi Dorowuni
menguasai wilayah Utara. Federasi tersebut sepakat mengangkat Sang Bima sebagai
pemimpin. Secara De Jure, Sang Bima menerima pengangkatan tersebut, tetapi secara de
Facto ia menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Ncuhi Dara untuk memerintah atas
namanya.

Pada perkembangan selanjutnya, putera Sang Bima yang bernama Indra Zamrud dan
Indra Komala datang ke tanah Bima. Indra Zamrut lah yang menjadi Raja Bima pertama.
Sejak saat itu Bima memasuki Zaman kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya menjadi
sebuah kerajaan besar yang sangat berpengaruh dalam percaturan sejarah dan budaya
Nusantara. Secara turun temurun memerintah sebanyak 16 orang raja hingga akhir abad
16.

5
Fajar islam bersinar terang di seluruh Persada Nusantara antara abad 16 hingga 17
Masehi. Pengaruhnya sagat luas hingga mencakar tanah Bima. Tanggal 5 Juli 1640 Masehi
menjadi saksi dan tonggak sejarah peralihan sistem pemerintahan dari kerajaan kepada
kesultanan. Ditandai dengan dinobatkannya Putera Mahkota La Ka’i yang bergelar
Rumata Ma Bata Wadu menjadi Sultan Pertama dan berganti nama menjadi Sultan Abdul
Kahir (kuburannya di bukit Dana Taraha sekarang). Sejak saat itu Bima memasuki
peradaban kesultanan dan memerintah pula 15 orang sultan secara turun menurun
hingga tahun 1951.

Masa kesultanan berlangsung lebih dari tiga abad lamanya. Sebagaimana ombak
dilautan, kadang pasang dan kadang pula surut. Masa-masa kesultanan mengalami
pasang dan surut disebabkan pengaruh imperialisme dan kolonialisme yang ada di Bumi
Nusantara. Pada tahun 1951 tepat setelah wafatnya sultan ke-14 yaitu sultan
Muhammad Salahudin, Bima memasuki Zaman kemerdekaan dan status Kesultanan Bima
pun berganti dengan pembentukan Daerah Swapraja dan swatantra yang selanjutnya
berubah menjadi daerah Kabupaten.

Pada tahun 2002 wajah Bima kembali di mekarkan sesuai amanat Undang-undang
Nomor 13 tahun 2002 melaui pembentukan wilayah Kota Bima. Hingga sekarang daerah
yang terhampar di ujung timur pulau sumbawa ini terbagi dalam dua wilayah
administrasi dan politik yaitu Pemerintah kota Bima dan Kabupaten Bima. Kota Bima saat
ini telah memliki 5 kecamatan dan 38 kelurahan dengan luas wilayah 437.465 Ha dan
jumlah penduduk 419.302 jiwa dengan kepadatan rata-rata 96 jiwa/Km².

Sebagai sebuah daerah yang baru terbentuk, Kota Bima memiliki karakteristik
perkembangan wilayah yaitu: pembangunan infrastruktur yang cepat, perkembangan
sosial budaya yang dinamis, dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi.

Sudah 13 tahun ini Kota Bima dipimpin oleh seorang Wali kota dengan peradaban
Budaya Dou Mbojo yang sudah mengakar sejak jaman kerajaan hingga sekarang masih
dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat Kota Bima dalam kesehariannya. Baik sosial,
Budaya dan Seni tradisional yang melekat pada kegiatan Upacara Adat, Prosesi
Pernikahan, Khataman Qur’an, Khitanan dan lain-lain serta bukti-bukti sejarah Kerajaan

6
dan Kesultanan masih juga dapat dilihat sebagai Situs, Kepurbakalaan dan bahkan
menjadi Objek Daya Tarik Wisata yang ada di Kota Bima dan menjadi objek kunjungan
bagi wisatawan lokal, nusantara bahkan mancanegara.

2.3 Mengenal Baju Adat Sambolo dan Rimpu

Gambar 1

Baju adat Suku Bima atau Duo Mbojo, memang tidak terlepas dari pengaruh kerajaan
Islam yang cukup tersohor kala itu. Sehingga adanya pakaian adat, tidak jauh karena
pengaruh sejarah perkembangan Islam pada masa lalu. Suku Mbojo terkenal dengan
kepemilikan pakaian adat Rimpu yang digunakan perempuan, juga ada Sambolo
dikenakan pria. Sambolo adalah bentuk ikat kepala, yang bahan pembuatan dari kain
tenun motif kain mirip sarung songket atau songke. Pakaian adat yang digunakan pria
Mbojo ini mengenakan jas putih dan destar songket. Bagian kancing baju menggunakan
bahan perunggu atau perak, sedang para bangsawan tinggi mengenakan kancing
berbahan emas. Sebutan Sambolo, lebih sering dikenal dengan Destar dari songke yang
berwarna dasar merah tua dan hitam, pada bagian bawah menggunakan celana hitam
ataupun sarung. Penggunaan sarung dengan memiliki motif dan warna yang beragam
seperti halnya rebung (kakando), pado waji (jajar genjang). Dengan hiasan sulaman
benang emas serta perak, namun sekarang ragamnya sudah banyak. Pada umumnya
Sambolo digunakan dengan berdasarkan status sosial pemakaian. Dengan demikian
terdapat 2 cara untuk memakai Sambolo.

7
Rimpu merupakan salah satu pakaian tradisional yang berasal dari Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB). Pakaian Rimpu adalah pakaian adat khas dari Suku Bima yang
mendiami wilayah NTB tepatnya di Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Rimpu
digambarkan dengan memakai sarung yang melingkar pada kepala dimana yang terlihat
hanya wajah pemakainya. Dikutip dari buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z
(1995) karya M. Junus Melalatoa, Rimpu adalah pakaian tradisional kaum wanita Mbojo
NTB yang memperhatikan kuatnya pengaruh Islam. Seorang gadis yang menggunakan
dua lembar kain sarung untuk menutupi tubuhnya sesuai dengan kaidah menutup aurat
menurut ajaran Islam. Di mana sarung yang satu dikenakan di bagian bawah dan sarung
satunya lagi dililitkan sebagai penutup bagian atas sedemikian rupa, sehingga hanya mata
yang terlihat. Pakaian dengan cara pemakaian semacam itu disebut rimpu sampela.
Namun, pada masa terakhir mereka sudah memperlihatkan seluruh wajahnya seperti
wanita yang sudah menikah. Kadang pada bagian bawahnya bukan lagi sarung melainkan
rok biasa. Sejarah Rimpu Masuknya tradisi Rimpu ke Bima NTB bersamaan dengan
masuknya Islam di wilayah tersebut. Dikutip dari buku Uniquely Lombok-Sumbawa (2013)
karya Gagas Ulung, pedagang Islam yang datang ke Bima terutama perempuan Arab
menjadi inspirasi bagi perempuan Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan
menggunakan Rimpu.

2.4 Sejarah Rimpu dan Jenis Rimpu


Masuknya tradisi Rimpu ke Bima NTB bersamaan dengan masuknya Islam di wilayah
tersebut. Dikutip dari buku Uniquely Lombok-Sumbawa (2013) karya Gagas Ulung, pedagang
Islam yang datang ke Bima terutama perempuan Arab menjadi inspirasi bagi perempuan Bima
untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan Rimpu.
Keberadaan Rimpu juga tidak lepas dari upaya pemerintah untuk memanfaatkan kaian
sarung atau kain tenun Bima yang telah menjadi komoditi perdagangan dunia sejak abad
ke-13. Saat itu semua perempuan yang sudah akil baliq diwajibkan memakai Rimpu
apabila hendak bepergian meninggalkan rumah untuk sesuatau urusan. Kalau tidak, berati
sudah melanggar hukum agama dan adat pada saat itu.

Jenis Rimpu

Bentuk Rimpu mirip seperti mukena. Di mana satu bagian kepala hingga perut dan
satu bagian lainnya menutupi perut hingga kaki. Dikutip dari buku Jaringan Ulama dan
Islamisasi Indonesia Timur (2020) karya Hilful Fudhul Sirajuddin Jaffar, salah satu model

8
busana perempuan Bima yang disebut Rimpu merupakan akulturasi kebudayaan Melayu
dengan kebudayaan Bima. Mode busana Rimpu adalah untuk menutup aurat. Terdapat
dua jenis Rimpu, yakni: Rimpu Colo dan Rimpu Mpida

1. Rimpu Colo

Rimpu Colo adalah sarung khas atau tembe nggoli yang dilingkarkan menjadi penutup
kepala. Di mana tanpa menutup wajah perempuan. Masyarakat Tembe Nggoli adalah kain
tenun sarung khas Bima yang terbuat dari benang kapas atau katun. Kain tenun sarung
tersebut memiliki beragam warna yang cerah dan bermotif khas sarung tenun tangan.
Biasanya busana tersebut dipakai pada perempuan yang sudah menikah.

Gambar 2 Rimpu Colo

2. Rimpu Mpida

Gambar 3

9
Rimpu Mpida merupakan busana menutup aurat perempuan hingga menutup wajah,
kecuali mata yang dibiarkan terbuka. Busana tersebut menjadi simbol bahwa pemakaian
adalah perempuan yang belum diperistrikan oleh seorang laki-laki. Dilansir dari situs
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud), adanya perbedaan penggunaan
Rimpu yang masih gadis dengan yang telah bersuami sebenarnya secara tidak langsung
menjelaskan kepada masyarakat terutama kaum pria tentang status wanita apakah
wanita tersebut sudah berkeluarga atau masih gadis. Inilah yang unik dari budaya Rimpu.
Rimpu merupakan budaya dalam busana pada masyarakat Bima. Baca juga: Cara
Menghargai Jasa Pahlawan dan Meneladani Sikapnya Budaya Rimpu sudah ada dan hidup
serta berkembang sejak masyarakat Kota Bima ada. Sekarang busana Rimpu hampir
punah karena masyarakat sekarang sudah jarang menggunakan Rimpu untuk menutup
aurat. Karena banyak busana penutup aurat yang lebih modern bermunculan seperti
jilbab atau kerudung.

2.5 Warisan Langka Mbojo Ntumbu Tuta


Adanya juga tradisi yang masih terjaga, seperti Sagele, menanam padi dengan iringan
musik serune. Pembuatan Mina Sambi dan suguhan makanan tradisonal Bima. Satu
warisan Bima yang juga diperagakan adalah, Ntumbu Tuta atau adu kepala. Tarian ini
diiringi dengan musik tradisional. Tidak hanya pengunjung lokal yang takjub. Namun,
tamu dari Jakarta. Bahkan, tim dokumentasi Kementerian Pariwisata, meminta prosesi
dari awal, sebelum Ntumbu Tuta dilakukan. Permintaan dari Kementerian Pariwisata RI
pun dipenuhi. Memulai dari prosesi awal di Desa Ntori. Di desa inilah asal muasal para
penari Ntumbu Tuta, hingga saat ini. Itu pun dari satu keturunan dan tidak bisa dilakukan
atau wariskan pada lainnya.

Ibrahim sebagai salah satu Pewaris Keahlian Ntumbu Tuta mengatakan keahlian itu
terus diturunkan pada setiap keturunan. Tujuannya agar tidak punah dan terus lestari.
“Kami sekeluarga saja yang bisa melakukan itu, orang lain tidak bisa,” katanya usai
pertunjukan di Uma Lengge, Ritual yang dilakukan, seperti memberikan air atau menyapi
air yang sudah dibacakan doa pada bagian sensitif kepala. Bagi yang sudah diusap dan
diajak terlibat bermain, harus beradu kepala. Jika tidak, maka akan mengalami gatal-gatal
hingga sepekan, kecuali sang guru mengusapkan lagi air di kepalanya.

10
Saat Ntumbu Tuta dilakukan, satu sama lain saling membenturkan kepala. Semua
awalnya menari-nari diiringi musik tradisional. Setelah itu, dua orang menyiapkan diri
mengadu kepala. Posisi menunduk dan memasang kuda-kuda. Penari Ntumbu Tuta
lainnya masih terus mengikuti irama musik, sehingga ada aba-aba siap membenturkan
kepalanya. Ada juga diantara mereka yang terlihat tidak puas, hingga tiap besi menjadi
sasaran. Meski beradu dengan besi, namun mereka tidak mengalami apa-apa. Usia
pemain Ntumbu Tuta tidak dibatasi, siapapun dari anggota keluarganya bisa langsung
diwariskan. Termasuk usia sekolah dasar. “Kalau ada yang lain mengaku kuat adu kepala,
ayo kita coba,” ujarnya.

Arief, salah satu keluarga yang ikut mewarisi tradisi ini mengaku kadang tidak mudah
mengumpulkan para pemain. Karena satu dan lain masing-masing memiliki kesibukan.
Olan Wardiansyah, salah satu penggagas Festival Uma Lengge mengatakan ini salah satu
upaya melestarikan kekayaan daerah. Meski penuh kekurangan, namun ini awal dari
kepedulian terhadap budaya daerah. Ume Lengge dipilih sebagai lokasi, karena menjadi
salah satu ikon yang masih ada. Kedepannya, akan diupayakan menjadi agenda tahunan.
Meskipun festival kali ini tidak ada dukungan dari pemerintah daerah, namun
kedepannya diharapkan kerinduan lestarinya budaya daerah tumbuh bersama. Antara
kalangan pemerintah dan kelompok peduli.

2.6 Makna Kalondo Wei


Kalondo Wei adalah salah salah satu rangkaian dari prosesi pernikahan adat Bima.
Secara harfiah Kalondo berarti menurunkan, sedangkan Wei berarti Istri. Tapi dalam
prakteknya, kegiatan Kalondo Wei adalah prosesi penjemputan calon pengantin wanita
oleh calon pengantin pria dari kediamannya menuju Uma Ruka atau Rumah Mahligai
untuk dilakukan upacara rias, kapanca dan lain-lain. Calon pengantin wanita di usung
dengan sebuah kursi oleh empat orang pemuda. Pada masa lalu, prosesi ini
menggunakan kursi rotan dan lampu Petromax karena biasa dilakukan pada malam hari
atau senja hari. Sebelum menuju kepada prosesi Kalondo Wei, ada baiknya dipaparkan
secara utuh prosesi perkawinan adat Mbojo pada masa lalu (Alan Malingi, 2010, hal 7).

11
Prosesi perkawinan dalam budaya Mbojo memang cukup panjang dan penuh liku.
Pada masa lalu, prosesinya tidak seperti yang dilakukan pada era sekarang yang
cenderung mengambil praktisnya dan memotong kompas. Ada beberapa prosesi
perkawinan Adat yang dilanggar atau memang sengaja tidak dilakukan karena situasi dan
kondisi maupun keadaan finansial. Padahal pada masa lalu, prosesi dan tahapan
perkawinan adat Mbojo tergolong murah karena dilaksanakan dengan semangat
kekeluargaan dan kegotongroyongan yang tinggi. unsur-unsur kebudayaan yang
universal yang meliputi sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian, dan sistem
teknologi dan peralatan.

2.7 Tradisi Peta Kapanca


Salah satu tradisi di Bima, di pernikahan ialah Peta Kapanca. Tradisi ini dilakukan,
satu hari sebelum akad nikah. Makna tradisi Peta Kapanca ialah, melumatkan daun pacar
pada kedua telapak tangan calon pengantin wanita. Secara bahasa Daerah Bima, "Peta"
sendiri berarti melumat dan "Kapanca" berarti Daun Pacar. Ini simbol calon pengantin
wanita, akan menjadi istri dari calon pengantin lelaki yang meminangnya. Dalam
pelaksanaan tradisi ini, calon pengantin wanita sebelumnya melakukan beberapa
rangkaian kegiatan. Dijelaskan, saat tradisi Peta Kapanca berlangsung ada rangkaian
lantunan syair dan zikir bernuansa Islami. Hal itu, dilakukan sebagai simbol pengharapan
agar calon pengantin wanita selalu mendapatkan berkah. Ibu-ibu dengan anak gadis
belum menikah, biasanya berebutan telur yang dihias berbentuk rangkaian bunga 99
butir.

Telur rias itu, sebagai simbol dari Asma’ul Husna atau 99 Nama kebesaran Sang
Maha Pencipta di Umat Islam. Hal itu dilakukan, agar anak gadis yang mendapatkan telur
akan secepatnya mendapatkan pasangan dan menikah. Hingga saat ini, tradisi Peta
Kapanca masih erat melekat dalam kehidupan masyarakat Bima pada umumnya. Peta
Kapanca, akan dipertahankan sebagai warisan Budaya yang terus dilestarikan.

8. Adat Perkawinan Masyarakat Bima

12
Pada umumnya, perkawinan di Bima dilangsungkan setelah musim panen. Juga
pada bulan-bulan yang bersejarah menurut agama Islam, misalnya: bulan Maulud, Rajab,
dan Zulhijjah. Adanya pemilihan bulan-bulan tersebut terletak pada faktor ekonomis, yaitu
ketepatan pada bulan-bulan tersebut terjadi musim panen. Dasar pertimbangan mereka
tersebut terletak pada faktor ekonomi, di mana sebelum bulan Zulqaidah mereka baru saja
mengadakan perayaan-perayaan sehingga perekonomian menipis dan dalam menghadapi
hari raya Qurban mereka juga memerlukan persiapan-persiapan seperlunya. Masyarakat
Bima mengenal dua bentuk perkawinan yang lazim menurut istilah setempat, yakni
perkawinan yang dikehendaki oleh adat dan bentuk yang menyimpang dari kehendak adat
pada umumnya.

Perkawinan yang diinginkan oleh adat dinamakan perkawinan yang baik disebut
“Londo Taho”. Londo Taho adalah perkawinan yang disepakati oleh kedua belah pihak
keluarga dengan didahului oleh pinangan pihak laki-laki kepada orang tua si gadis melalui
cara-cara yang telah ditentukan oleh adat. Sedangkan adat “ Londo Iha” sering disebut
“selarian”. Sebagai jalan keluar dari keadaan bilamana salah satu pihak keluarga tidak
menyetujui rencana perkawinan tersebut. Faktor dari selarian ini dilakukan seperti sang
gadis hamil terlebih dahulu atau sebaliknya pemuda meragukan keberhasilannya bila
pinangan dilaksanakan. Kalau di Lombok disebut Merarik suatu adat dimana seorang
laki-laki harus melarikan atau menculim si gadis sebelum melakukan ritual
pernikahan, merarik ini umum terjadi dikalangan masyarakat Sasak Lombok, merarik
biasanya dilakukan oleh penduduku desa yang masih memegang teguh tradisi. Proses
merarik ini didahului oleh calon pengantin laki-laki harus melarikan atau menculik si
gadis tampa diketahui oleh keluarga si gadis, proses ini kemudia dilanjutkan dengan
memberitahukan kepada keluarga bahwa mereka telah menculik si gadis. Informasi ini
harus diberikan sebelum tiga hari, yang kemudia dilanjutkan dengan pernikahan di
rumah laki-laki.

Sesungguhnya masyarakat Bima telah meletakkan syarat-syarat untuk kawin


sepenuhnya didasarkan pada hukum Islam. Akan tetapi, beberapa syarat yang telah
ditentukan merupakan persyaratan yang jauh lebih penting untuk dilaksanakannya
perkawinan. Syarat itu, dalam mengenai jumlah co’i atau mas kawin, sekalipun di dalam
Islam soal mas kawin tidak ditentukan jumlahnya; juga persetujuan pihak orang tua gadis

13
dapat dianggap sebagai syarat yang cukup menentukan dapat tidaknya suatu perkawinan
dilangsungkan. Namun, apabila pihak orang tua gadis yang kurang setuju terhadap
pemuda yang melamar anaknya, jelas untuk menolak lamaran secara terang-terangan
dianggap kurang menghormati perasaan. Maka dari itu, caranya adalah dengan
mengajukan permintaan pembayaran co’i yang tinggi. Jika tidak ada persetujuan jumlah
yang diminta, sudah dapat dipastikan perkawinan ditunda. Co’i dan persetujuan orang
tua si gadis dapat diterima atau tidak, dengan kata lain, kedudukan untuk menentukan
pilihannya memang dimungkinkan, tetapi pada akhirnya orang tua dan kerabatnyalah
yang menentukan apakah pilihan tersebut sesuai atau tidak.

Maka dalam hal ini, dapat dipahmi bahwa kebiasaan etnis Bima dalam hal memilih
jodoh, pada dasarnya seorang gadis memilih calon suaminya, tetapi kebebasan tersebut
akhirnya harus tunduk pada keputusan orang tua atau keluarga kedua belah pihak. Inilah
perkawinan sebaik-baiknya etnis Mbojo. Dalam uraian tentang mencari jodoh telah
dilangsungkan perkawinan dengan sebaik-baiknya di kalangan etnis Mbojo, bahwa
kebebasan memilih jodoh tunduk pada persetujuan orang tua serta keluarga dari kedua
belah pihak sebagai awal dari upacara adat sebelum perkawinan disebut “Panati” (juru
lamar).

Selanjutkan setelah proses pelamaran dilaksanakan tiba saatnya menentukan


“Waktu Karawi” dalam upacara perkawinan menyangkut kerabat dari pihak laki-laki dan
perempuan untuk ikut menentukan perencanaan waktu, pembiayaan, dan pelaksanaan
perkawinan yang menjadi tanggungjawab keluarga. Orang tua si pemuda mengundang
keluarga terdekat seperti saudara, nenek, serta kerabat lainnya untuk “Mbolo Keluarga”
atau bermusyawarah membicarakan waktu dan segala perlengkapan perkawinan. Dalam
musyawarah ini, juga dibicarakan sekitar keperluan atau biaya yang dibutuhkan yang
bertujuan untuk menimbulkan partisipasi semua anggota kerabat bergotong-royong
memikul biaya. Musyawarah keluarga tersebut akhirnya memutuskan pelaksanakan
keputusan keputusan tersebut segera disampaikan oleh Ompu Panati kepada pihak
keluarga si gadis. Dalam ungkapan bahasa Bima, kalimat-kalimat yang di lakukan Ompu
Panati sebagai berikut: “Mai kabouku nggahi ra wi’i kai warasi tadir Allah, bunesi ntika
nggahi ra wi’i de takalampa rawiku wura ake”, artinya lebih kurang bahwa “Kami datang

14
menyambung kata-kata yang disampaikan dan diniatkan bersama kemarin, sekiranya
Tuhan menghendakinya, maka alangkah baiknya kita melaksankan hajat (perkawinan)
pada bulan ini”. Dengan adanya pemberitahuan maksud tersebut, maka keluarga pihak
gadislah yang kemudian menentukan waktunya secara lebih terperinci mengenai hari
dan tanggal pelaksanaannya. Keputusan oleh pihak keluarga si gadis sangat penting
karena menyangkut persiapan hajat pernikahan tersebut.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dana Mbojo memiliki sejarah yang panjang, dikenal sejak jaman Naka hingga jaman
Modern saat ini. Namun banyak catatan naskan kuno Dana Mbojo yang terbengkalai
dimana-mana. Ada yang ditemukan di Belanda, di Makassar, di Reo serta ada pula yang
ditemukan di Singapura dan Afrika. Dari naskah kuno serta artifak sejarah yang
ditemukan, dilakukanlah perangkaian catatan sejarah Dana Mbojo dari A sampai Z.

Melestarikan budaya merupakan sebuah usaha yang tidak mudah, ada saja macam
yang menghalangi baik tiu dari sisi masyarakat atau dari yang lainnya, namun yang
terpenting adalah bagaimana kita bisa melestarikan budaya kita di depan khlayak umum
agar dunia tahu bahwa Bima punya yang unik.

3.2 saran
saran dan kritik untuk memperbaiki makalah selanjutnya sangat kami harapkan.

15

Anda mungkin juga menyukai