Anda di halaman 1dari 21

TUGAS INDIVIDU MID

MAKALAH
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
“Kebudayaan Suku Bugis di Provinsi Sulawesi Selatan”

DISUSUN OLEH:

NAMA : ADELFILA
NIM : C201 17 195
RUANG : BTE 4

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU

1
2017KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-
Nya kami bisa menyelesaikan makalah berjudul “Kebudayaan Suku Bugis di
Provinsi Sulawesi Tengah” Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Palu, 13 November 2017

Penyusun

1
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................2
1.3 Tujuan ..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sosial Budaya......................................................................3
2.2 Kebudayaan Suku Bugis di Provinsi Sulawesi Selatan.........................3
2.2.1 Sejarah Suku
Bugis.........................................................................4
2.2.2 Perkembangan Suku
Bugis.............................................................5
2.2.3 Bahasa, Adat Istiadat, dan Kesenian Suku
Bugis...........................7
2.3 Faktor-Faktor Perubahan Sosial
Budaya...............................................12
2.4
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..........................................................................................16
3.2 Saran ....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA

2
3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bangsa Indonesia kaya akan keanekaragaman suku, agama, dan bahasa
Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang meliputipengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan serta kebiasaan yang
dipunyai manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan yang di hasilkan
manusia sebagai wujud. Tradisi anggota masyarakat berperilaku baik dalam
kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib dan
keagamaan.
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu.
Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia
tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berartiorang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yangterdapat di
Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La
Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada rajamereka. Di
sampingsuku asli, orang-orang Melayu dan Minangkabau yang merantau
dariSumatera ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi
danpedagang di kerajaan Gowa, juga dikategorikan sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus
penduduk tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak 6 juta jiwa. Kini suku Bugis
menyebar pula di propinsi Sulawesi Tenggara,Sulawesi Tengah, Papua,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, bahkan hingga manca negara. Bugis
merupakan salah satu suku yang taat dalam mengamalkan ajaran Islam. Semoga isi
daripemaparan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat melatarbelakangi penyusunan
makalah mengenai kebudayaan suku bugis di Provinsi Sulawesi Selatan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian sosial budaya?
2. Bagaimana kebudayaan suku bugis di Provinsi Sulawesi Selatan?
3. Apa saja faktor-faktor perubahan sosial budaya?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian sosial budaya.
2. Untuk memahami kebudayaan suku bugis di Provinsi Sulawesi
Selatan.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor perubahan sosial budaya.

BAB II
PEMBAHASAN

2
2.1 Pengertian Sosial Budaya
Menurut Enda (2010), sosial adalah cara tentang bagaimana para individu
saling berhubungan. Sedangkan menurut Daryanto (1998), sosial merupakan
sesuatu yang menyangkut aspek hidup masyarakat. Namun jika di lihat dari asal
katanya, sosial berasal dari kata ”socius” yang berarti segala sesuatu yang lahir,
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan secara bersama-sama.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) di artikan sebagai hal-
hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Menurut Koentjoroningrat
(1981), budaya berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus di
biasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekerti. Sedangkan
menurut Larry, dkk kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama,
pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau
kepemilikan yang di miliki dan di pertahankan oleh sekelompok orang atau suatu
generasi. Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang di aturkan atau di ajarkan
manusia kepada generasi berikutnya (Taylor, 1989) sedangkan menurut Sir
Eduarel Baylor (1871) dalam Andrew dan Boyle (1995), budaya adalah sesuatu
yang kompleks yang mengandung pengetahuan, kepercayaan seni, moral,
Universitas Sumatera Utara hukum, kebiasaan, dan kecakapan lain yang
merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota komunikasi setempat
2.2 Kebudayaan Suku Bugis di Provinsi Sulawesi Selatan
Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-
Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi
pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Penyebaran Suku Bugis di seluruh
Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang-orang bugis umumnya adalah
nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah
berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga
disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
2.2.1 Sejarah

3
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah
pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun”
(manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa
norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung,
tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap
orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan
komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang
Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan
negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya
Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika
rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja
mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-
orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘
Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan
beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar.
Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang
tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai,
Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

2.2.2 Perkembangan
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah
pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari dunia atas yang turun
(manurung) atau dari dunia bawah yang naik (tompo) untuk membawa norma

4
dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).Umumnya orang-orang
Bugis sangat meyakini akan hal to manurung,tidak terjadi banyak perbedaan
pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis
Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaankomunitasnya. Kata Bugis
berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.Penamaan "ugi" merujuk
pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di
jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo
saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan
dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya
sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La
Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan BataraLattu
ayahanda dari Sawerigading.Sawerigading sendiri adalah suami dari We
Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat
karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware (Yang Dipertuan Di Ware)
adalah kisah yangtertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi
masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi
masyarakat Luwuk Banggai, Kaili,Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di
Sulawesi seperti Buton.Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di
Indonesia, yang terletak dibagian selatan Sulawesi. Ibu kotanya adalah
Makassar, dahulu disebut ''Ujungpandang''. Sampai dengan Juni 2006,
jumlah penduduk di Sulawesi Selatan terdaftar sebanyak 7.520.204 jiwa,
dengan pembagian 3.602.000 laki-laki dan 63.918.204 orang perempuan dan
memiliki relief berupa jazirah-jazirah yang panjang serta pipih yang ditandai
fakta bahwa tidak ada titik daratan yang jauhnya melebihi 90 km dari batas
pantai. Kondisi yang demikian menjadikan pulau Sulawesi memiliki garis
pantai yang panjang dan sebagian daratannya bergunung-gunung.Provinsi
Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan116°48' - 122°36'
Bujur Timur. Luas wilayahnya 62.482,54 km². Provinsi ini berbatasan

5
dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan
Sulawesi Tenggara di timur, Selat Makassar di barat, dan Laut Flores di
selatan.Kombinasi ini meghamparkan alam yang mempesona dipandang
baik dari daerah pesisir maupun daerah ketinggian. Sekitar 30.000 tahun
silam, pulau Sulawesi telah dihuni oleh manusia. Peninggalan peradaban di
masa tersebut ditemukan di gua-gua bukit kapur daerah Maros kurang lebih
30 km dari Makassar, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Peninggalan
prasejarah lainnya yang berupa alat batu peeble dan flake serta fosil babi dan
gajah yang telah punah, dikumpulkan dari teras sungai di Lembah Wallanae,
diantara Soppeng danSengkang, Sulawesi Selatan.Pada masa keemasan
perdagangan rempah-rempah di abad ke 15 sampai dengan abad ke 19, Kerajaan
Bone dan Makassar yang perkasa berperan sebagaipintu gerbang ke pusat penghasil
rempah, Kepulauan Maluku. Sejarah itu telah memantapkan opini bahwa
Sulawesi Selatan memiliki peran yang sangat strategisbagi perkembangan
Kawasan Timur Indonesia.Penduduk Sulawesi Selatan terdiri atas empat suku
utama yaitu Toraja,Bugis, Makassar, dan Mandar. Suku Toraja terkenal
memiliki keunikan tradisiyang tampak pada upacara kematian, rumah
tradisional yang beratap melengkungdan ukiran cantik dengan warna natural.
Sedangkan suku Bugis, Makassar dan Mandar terkenal sebagai pelaut yang
patriotik. Dengan perahu layar tradisionalnya, Pinisi, mereka menjelajah
sampai ke utara Australia, beberapapulau di Samudra Pasifik, bahkan sampai
ke pantai Afrika.Hasil penelitian sejarahwan Australia Utara bernama Peter
G. Spillet M,mengungkapkan salah satu fakta yang tidak terbantahkan
bahwa orang Sulawesi 7 Selatan yang pertama mendarat di Australia dan
bukannya Abel Tasman (Belanda) atau James Cook (Inggris) tahun 1642.
Upaya pelurusan fakta sejarah tersebut dilakukan Peter yang kemudian
dijuluki Daeng Makulle dengan sangat hati-hati melalui jejak, buku-buku

6
sejarah berupa hubungan orang Makassar dengan orang Aborigin (Merege).
Orang Makassar tiba di sana dengan menggunakan transportasi perahu.
2.2.3 Bahasa, Adat Istiadat, dan Kesenian Suku Bugis
A. Bahasa
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di
SulawesiSelatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten
Maros, sebahagianKabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-
pare, Kabupaten Pinrang,sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian
kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang,
Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo,Kabupaten Bone, Kabupaten
Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan KabupatenBantaeng. Masyarakat
Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksaraLontara. Pada
dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segiaspek
budaya.Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai
Bahasa Bugis(Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi pula
di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis
mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak
berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah
aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta. Seperti
halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaantulisan pun
diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikanhasil-
hasil pemikiran mereka.
Menurut Coulmas, pada awalnya tulisan diciptakan untuk
mencatatkanfirman-firman tuhan, karena itu tulisan disakralkan dan
dirahasiakan. Namundalam perjalanan waktu dengan berbagai
kompleksitas kehidupan yang dihadapioleh manusia, maka pemikiran
manusia pun mengalami perkembangan demikianpula dengan tulisan

7
yang dijadikan salah satu jalan keluar untuk memecahkan problem
manusia secara umumnya.
Huruf lontara merupakan sebuah huruf yang sakral bagi
masyarakat bugis klasik. Itu dikarenakan epos la galigo di tulis menggunakanhuruf
lontara. Huruf lontara tidak hanya digunakan oleh masyarakat bugis
tetapihuruf lontara juga digunakan oleh masyarakat makassar dan
masyarakat luwu. Kala para penyair-penyair bugis menuangkan fikiran
dan hatinya di atas daunlontara dan dihiasi dengan huruf-huruf yang
begitu cantik sehingga tersusun katayang apik diatas daun lontara dan
karya-karya itu bernama I La Galigo. Begitu pula yang terjadi pada
kebudayaan di Indonesia. Ada beberapasuku bangsa yang memiliki huruf
antara lain. Budaya Jawa, Budaya Sunda,Budaya Bali, Budaya Batak, Budaya
Rejang, Budaya Melayu, Budaya Bugis DanBudaya Makassar. Di sulawesi
selatan ada 3 betuk macam huruf yang pernah dipakai secara bersamaan.
(1) Huruf Lontara, (2) Huruf Jangang-Jangang, dan (3) Huruf Seran
Sementara bila ditempatkan dalam kebudayaan bugis, Lontara
mempunyai dua pngertian yang terkandung di dalamnya. Lontara
sebagai sejarah dan ilmu pengetahuanb. Lontaraq sebagai tulisanKata
lontaraq berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar.
Pada awalnya tulisan tersebutdi tuliskan diatas daun lontar. Daun lontar
ini kira-kira memiliki lebar 1 cm sedangkan panjangnya tergantung dari
cerita yang dituliskan. Tiap-tiap daunlontar disambungkan dengan
memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu,yang bentuknya mirip
gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri kekanan. Aksara lontara
biasa juga disebut dengan aksara sulapaq eppaq. Karakter huruf bugis
ini diambil dari Aksara Pallawa (Rekonstruksi aksaradunia yang dibuat
oleh Kridalaksana). Memang terdapat bebrapa varian bantuk huruf bugis
di sulawesi selatan,tetapi itu tidaklah berarti bahwa esensi dasar dari

8
huruf bugis ini hilang, dan itu biasa dalam setiap aksara didunia ini.
Hanya ada perubahan dan penambahan sedikit yang sama sekali tidak
menyimpang dari bentuk dasar dari aksara tersebut.Varian itu
disebabkan antara lain penyesuaian antara bahasa dan bunyian yang diwakilinya
dan penyesuaian antara bentuk huruf dan sarana yang digunakan.
B. Adat Istiadat
Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang
cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang
Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu)
yang bernama Nenek Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan
keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara
dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan
hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya
Ade’e De’nakkeambo, de’to nakkeana. (Terjemahan: sesungguhnya adat
itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak). Kata bijaksana itu
dikeluarkan Nenek Mallomo’ Suku Bugis adalah suku yang sangat
menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari
tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau
martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan
yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh.
Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi
keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak
ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan
adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan.
Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan
dipatuhiketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada
putera Nenek Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga
sawahnya. Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan

9
dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang
Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen
padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo’ dalam
menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat
dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut
Tudang Sipulung (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat
diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para
Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat
adat. Melihat keberhasilan Tudang Sipulung yang pada mulanya
diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang sebelum
tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya. Masyarakat
Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka
kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan.
Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang.
Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan
menekuni bidang pendidikan
C. Kesenian
1. Alat Musik
a. Kecapi
Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan
khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar.
Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh
seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu
yang memiliki dua dawai,diambil karena penemuannya dari
tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara
penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan
pada hari ulang tahun.
b. Sinrili

10
Alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola
di mainkan dengan membaringkan di pundak sedang singrili di
mainkan dalam keedaan pemain duduk dan alat diletakkan
tegak di depan pemainnya.
c. Gendang
Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni
bulat panjang dan bundar seperti rebana.
d. Suling
Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu suling
panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis
ini telah punah, suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan
dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi,
dan suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih
terplihara di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan
pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan
tamu.
2. Tarian
a. Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari
meminta hujan.
b. Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang
Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara,
sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan
c. Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-
perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain.
Melambangkan kesabaran dan ketekunan perempuan-
perempuan Bugis.
d. Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh
calabai (waria), namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan
bahkan dikategorikan telah punah.
e. Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari
Pa’galung, dan tari Pabbatte(biasanya di gelar padasaat Pesta
Panen).

11
3. Permainan
Beberapa permainan khas yang sering dijumpai di
masyarakat Bugis (Pinrang): Mallogo, Mappadendang,
Ma’gasing, Mattoajang (ayunan), getong-getong, Marraga,
Mappasajang (layang-layang), Malonggak.
2.3 Faktor-Faktor Perubahan Sosial Budaya
Setiap individu yang hidup bermasyarakat selama ia hidup pasti
mengalami peubahan-perubahan, perubahan dalam arti yang tidak mencolok atau
tidak menarik, perubahan yang bersifat terbatas maupun yang tidak tidak
menarik, perubahan yang bersifat terbatas maupun yang luas, serta ada pula
perubahan yang lambat sekali, tetapi itu ada juga yang berjalan dengan cepat.
Perubahan-perubahan pada masyarakat atau individu hanya akan dapat dilihat
apabila seseorang sempat meneliti susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada
suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan kehidupan masyarakat
tersebut pada waktu yang lampau.
Perubahan-perubahan pada masyarakat tentu dapat mengenali nilai-nilai
sosial, norma-norma sosial, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekeuasaan dan wewenang,
interaksi sosial dan lain sebagainya.
Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami masa pancaroba yang
amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang
tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang
menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak,
tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya,
masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah
mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan
kebudayaan dewasa ini.
Perubahan sosial dan kebudayaan dapat dibedakan kedalam beberapa
bentuk, yaitu:

12
1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan secara lambat ini yang memerlukan waktu yang sangat
lama, dan rentetan-rentetan perubahan yang kecil yang saling mengikuti
dengan lambat di namakan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan
sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi
karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-
keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan
dengan pertumbuhan masyarakat. Sedangkan perubahan sosial yang
berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi
pokok kehidupan masyarakat ( yaitu lembaga-lembaga kemasyrakatan
lazimnya disebut ‘revolusi’ ).
2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur
struktur sosial yang Tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang
berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan kecil adalah perubahan mode
rambut atau perubahan mode pakaian. Perubahan besar adalah perubahan
yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa pengaruh
langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar
adalah dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola
kehidupan masyarakat.
3. Perubahan yang Dikehendaki atau Direncanakan dan Perubahan yang
Tidak Dikehendaki atau Tidak Direncanakan
Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan
yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-
pihak yang hendak mengadakan perubahan didalam masyrakat. Perubahan ini
dibuat oleh masyarakat sendiri yang menginginkan perubahan tersebut.
Sedangkan perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau direncanakan
merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa terjadi tanpa
dikehendaki, berlangsung diluar jangkauan dan pengawasan masyarakat dan
dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan

13
masyarakat. Dan apabila perubahan yang tidak direncanakan tersebut
berlangsung bersamaan dengan suatu perubahan yang dikehendaki, perubahan
tersebut mungkin mempunyai pengaruh yang demikian besarnya terhadap
perubahan-perubahan yang dikehendaki. Dengan demikian keadaan tersebut
tidak mungkin diubah tanpa mendapat halangan-halangan masyarakat itu
sendiri, atau dcara mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyakatan yang ada atau dengan cara membentuk yang baru. Sering kali
terjadi perubahan yang dikehendaki bekerja sama dengan perubahan yang
tidak dikehendaki dan kedua proses tersebut saling menghargai.
Adapun faktor-faktor perubahan sosial da budaya yaitu:
1. Sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri diantaranya
adalah bertambah dan berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru,
pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, dan terjadinya pemberontakan
atau revolusi didalam tubuh masyarakt itu sendiri
2. Sebab-sebab yang berasal dai luar masyarakat adalah sebab-sebab
yang berasal dari lingkungan fisik yang ada disekitar manusia, peperangan
dengan negara lain, dan pengaruh kebudayan masyrakat lain.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun keseimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan diatas merujuk
tujuan makalah adalah sebagai berikut:
1. Sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling
berhubungan yang menyangkut aspek hidup masyarakat. Namun jika di lihat
dari asal katanya, sosial berasal dari kata ”socius” yang berarti segala sesuatu
yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan secara bersama-sama.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) di artikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
2. Kebudayaan suku Bugis atau To Ugi adalah salah satu suku di antara
sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian
selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah
menyebar luas ke seluruh Nusantara. Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah

15
Air disebabkan mata pencaharian orang-orang bugis umumnya adalah nelayan
dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah
berdagang dan berusaha (massompe) di negeri orang lain. Hal lain juga
disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu
3. Perubahan sosial adalah suatu proses yang luas,lengkap yang
mencakup suatu tatanan kehidupan manusia. Perubahan sosial akan
mempengaruhi segala aktivitas maupun orientasi pendidikan yang berlangsung.
Sebagai bagian dari pranata sosial, tentunya pendidikan akan ikut terjaring
dalam hukum-hukum perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Sebaliknya, pendidikan sebagai wadah pengembangan kualitas manusia dan
segala pengetahuan tentunya menjadi agen penting yang ikut menentukan
perubahan social masyarakat ke depan.
3.2 Saran
Penulis menyarankan supaya semua pihak baik penulis maupun pembaca
agar mampu menjaga budaya kita dan janganlah menghilangkannya, karena itu
merupakan hal yang sangat berharga sekali. Penulis juga menyarankan kepada
pemerintah agar lebih memperhatikan masalah budaya khususnya di Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini. Budaya sangat erat sekali dengan kehidupan
kita di masyarakat. Kebudayaan ini pasti terdapat di dalam masyarakat di seluruh
belahan dunia. Oleh karena itu, marilah kita jaga bersama budaya yang telah kita
miliki dan janganlah kita serahkan kebudayaan ini kepada Negara lain.

16
DAFTAR PUSTAKA

Bukit, LM dan Simanihuruk, M. Jurnal Perspektif Sosiologi. Vol. 3 No.1, 2015.


Dimensi Budaya dan Penyebaran Penyakit HIV/AIDS di Perkumpulan Kasih
Rakyat. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Kamri, Ahmad. 1997. Budaya Bugis-Makassar Pembunuhan dan Pencemaran Nama


Balk Orang Lain.Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Mahmudia, Mega. Jurnal Sosial dan kebudayaan. 2015. Adat dan Kebudayaan Suku
Bugis. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Raha, Septian. 2013. Makalah Sosial Budaya. Universitas Indonesia. Jakarta

Sjafri Sairin, 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: Perspektif Antropologi.


Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Soelaeman, Munandar. 2005 Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Refika Aditama.

17

Anda mungkin juga menyukai