Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negeri Langkat terletak di bagian barat Provinsi Sumatera Utara

berbatasan dengan Provinsi Aceh. Batas wilayah Negeri Langkat meliputi: sebelah

utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Aceh, sebelah selatan berbatasan

dengan Tanah Karo, sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Deli, dan

sebelah barat berbatasan dengan Negeri Tamiang. Langkat sekarang menjadi nama

sebuah kabupaten, yang merupakan bagian dari wilayah provinsi Sumatera Utara.

Stabat adalah ibu kota Kabupaten Langkat Provinsi Sumatara Utara. Sebelumnya

ibu kota Kabupaten Langkat berkedudukan di Kotamadya Binjai, namun sejak

diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1982 kedudukan ibu kota

Kabupaten Langkat dipindahkan ke Stabat. Stabat merupakan kota kecamatan

terbesar sekaligus dengan jumlah penduduk terpadat di Kabupaten Langkat,

Kecamatan Stabat terdiri dari 6 Desa dan 6 Kelurahan.

Kecamatan ini dilalui oleh salah satu sungai terpanjang di Sumatra Utara

yakni Sungai Wampu yang sekaligus memisahkan kecamatan ini dengan

kecamatan wampu di sebelah barat. Berdasarkan tradisi lisan raja pertama di

daerah ini bernama “Wam Fu”. Ia diserang oleh Raja Cola yang berasal dari India

sehingga pusat kerajaan yang berkedudukan di Besitang itu hancur, maka Raja

terpaksa mengadakan pengungsian bersama dengan orang besarnya ke daerah

Gohor Lama dekat dengan kota Stabat sekarang. Itulah sebabnya sungai dekat

kota Stabat kemudian menjadi Sungai Wampu, yaitu mengambil nama dari Raja

tersebut (Tengku Admansyah, 1988: 40).


Berdasarkan sejarah, wilayah Stabat sebagai ibukota Kabupaten Langkat

merupakan wilayah Kerajaan Stabat. Peninggalan Langkat mulai dari awal berdiri

pada tahun 1500 oleh Dewa Syahdan sampai sebelum berdirinya Kesultanan

Langkat oleh Tengku Musa, hanya sedikit yang diketahui oleh masyarakat Stabat

khususnya dan masyarakat luas umumnya.

Langkat merupakan salah satu Kerajaan dari beberapa Kerajaan Melayu

yang berada di wilayah pesisir timur pulau Sumatra (sekarang disebut sebagai

Sumatera Utara). Kerajaan ini terletak di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera

Utara. Langkat merupakan salah satu kerajaan terkaya di Sumatra Timur, di

samping Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Silsilah Kerajaan Langkat

menyatakan bahwa nama leluhur Kerajaan Langkat yang terjauh diketahui adalah

Dewa Sahdan yaitu pada tahun 1500 M. Kemudian setelah Dewa Syahdan

meninggal tahta Pemimpin Langkat digantikan oleh Dewa Sakti dan sesudah

Dewa Sakti memerintah Marhum Guri. Tambo Langkat seterusnya mengatakan,

bahwa sesudah marhum Guri, memerintah Raja Kahar. Raja Kahar diganti oleh

anaknya Badiuzzaman. Ia mempunyai anak 4 orang, yaitu 1. Kejeruan Tuah

Hitam, 2. Raja Wan, 3. Syahdan dan 4. Indra Bongsu. Keempat putera ini

membantu ayahnya memerintah, sebagai orang-orang besar. Badiuzzaman

meninggal diganti oleh anaknya tertua, Kejeruan Tuah Hitam berkedudukan di

Jentera Malai, sebuah kampung dekat Kota Dalam (H. Mohammad Said, 1981:

613-615).

Pada pertengahan abad ke-19, kolonial Belanda mulai memasuki wilayah

Sumatera Timur. Alasan kedatangan Belanda ke Sumatera Timur, yang kelak

berimbas ke wilayah Langkat, adalah tembakau. Pada tahun 1861, seorang yang
mengaku dari keturunan kerajan Melayu bersama Said Abdullah menemui seorang

pedagang di Surabaya bernama Nienhuys. Abdullah mengaku bahwa ada sebuah

tempat yang memiliki tanah yang sangat bagus untuk ditanami tembakau. Ia

memberikan beberapa contoh tanaman tembakau yang dibawa langsung dari

tempatnya. Nienhuys tertarik dan pergi bersama Abdullah melihat lokasi yang

dimaksud.

Ternyata apa yang dikatakan Abdullah benar, tanah di pesisir timur

Sumatera cukup bagus untuk ditanami tembakai. Nienhuys pun memulai usahanya

penanaman tembakaunya dan cukup diminati oleh pasaran Eropa. Ekspansi

perkebunan pun dimulai. Konsesi tanah oleh raja Deli dilakukan untuk membuka

hutan-hutan menjadi perkebunan. Ekspansi tersebut meluas hingga ke wilayah

Langkat. Konsesi tak lagi hanya pada raja di Deli, melainkan pada raja-raja di

sekitarnya seperti Serdang, Asahan, dan khususnya Langkat.

Pada awalnya, menurut Jan Breman (1997) Langkat tak langsung tunduk

pada Belanda. Pada saat itu Langkat berada di bawah pengaruh Aceh dan Inggris

berada di belakang mereka. Namun setelah beberapa kali pameran militer dan

melihat keengganan Inggris untuk membantu, terutama ketika traktat London

terjadi, Langkat takluk juga kepada Belanda. Lalu dimulailah babak baru bagi

kesultanan Langkat.

Takluknya Kesultanan Langkat kepada Belanda memiliki dampak baik

bagi keluarga kerajaan. Konsesi tanah perkebunan memberikan keluarga kerajaan

kekayaan yang berlimpah ruah. Konon masyarakat juga yang sempat menikmati

kekuasaan Belanda di Langkat cukup bahagia karena kehidupan serba enak.


Konsesi perkebunan dianggap membawa kemakmuran oleh sebagian besar

wilayah Kesultanan Langkat.

Memasuki periode kemerdekaan Indonesia, kekuasaan Belanda di

Kesultanan Langkat terancam. Pada akhirnya memang kekuasaan Belanda

musnah, sebab proklamai kemerdekaan membuat seluruh kekuasaan Belanda yang

ada di Indonesia hilang. Termasuk juga kesultanan Langkat yang makmur.

Pada masa proklamasi tersebut tersiar kabar bahwa Kesultanan Langkat

enggan untuk berpisah dengan Belanda dan enggan untuk menjadi bagian wilayah

Indonesia. Pada tahun 1946 muncul sebuah peristiwa yang lahir dari keengganan

para kesultanan di Sumatera Timur untuk bergabung ke wilayah Indonesia.

Peristiwa itu adalah Revolusi Sosial yang terjadi pada 1946-1948.

Revolusi sosial merenggut nyawa sebagian besar keluarga kesultanan di

Sumatera Timur. Kesultanan Langkat juga mendapat terkenan dampak tersebut

dan menghancurkan Kesultanan Langkat, pemerintahannya, juga para

keluarganya. Banyak yang terbunuh dan kondisi Langkat menjadi tidak keruan.

Orang-orang Melayu, meskipun bukan anggota kerajaan, yang tidak bersepakat

juga dibantai. Hak kekuasaan jatuh ke tangan para kaum revolusioner tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik mengkaji

Runtuhnya Kerajaan Langkat Akibat Revolusi Sosial 1946.


1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan Uraian Latar Belakang yang telah dijelaskan sebelumnya,

terdapat beberapa pokok permasalahan yang dapat diidentifikasi, yaitu:

1. Perjalanan historis Langkat sebagai wilayah kesultanan di Sumatera Timur.


2. Hubungan Kesultanan Langkat dengan Belanda serta pengaruhnya

terhadap kemerdekaan Indonesia.


3. Jalinan kuasa antara Kesultanan Langkat dengan para kelompok organisasi

pro kemerdekaan (pelaku revolusi sosial) pada 1946-1948.

1.3 Batasan Masalah

Adapun batasan-batasan masalah yang dikaji oleh peneliti adalah:

1. Perkembang Langkat sebagai kesultanan.


2. Peran Belanda kepada Kesultanan Langkat.
3. Revolusi Sosial 1946-1948 dan dampaknya terhadap kehidupan sosial.
1.4 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan sebelumnya, terdapat beberapa pokok

masalah yang menjadi kajian peneliti. Masalah-masalah yang dikaji akan

dinyatakan dalam pernyataan-pernyataan operasional. Adapun rumusan Masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Bagaimana latar belakang berdirinya Kesultanan Langkat?
2. Bagaimana perkembangan hubungan antara Kesultanan Langkat dengan

pemerintah Kolonial Belanda?


3. Apa latar belakang dan dampak terjadi Revolusi Sosial di Kesultanan

Langkat?
1.5 Tujuan Penelitian
Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya revolusi sosial di Kesultanan

Langkat.
2. Mengidentifikasi dampak kehidupan sosial sebelum dan setelah terjadinya

revolusi sosial di Kesultanan Langkat.


1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Menambah literatur terhadap kajian Revolusi Sosial di Sumatera Timur.
2. Memberikan pemahaman kepada masyarakat dan khususnya kepada

kalangan sejarawan tentang perkembangan dan keruntuhan Kesultanan

Langkat.
3. Sebagai informasi dalam kajian sejarah lokal, khususnya di Sumatera

Utara.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Tulisan tentang sejarah Langkat di Stabat memang sangat sulit penulis

temukan,yang banyak penulis dapatkan hanya tulisan ataupun skripsi yang hanya

membahas secara umum mengenai Sejarah Langkat ataupun Langkat setelah

menjadi Kesultanan serta sejarah Langkat di tempat atau lokasi lain bukan di

Stabat. Seperti jurnal dari Sri Windari dengan judul Kesultanan Langkat di

Sumatera Utara pada masa Sultan Abdul Aziz (1827-1927 M). Dalam

pembahasannya hanya membahas Langkat setelah menjadi Kesultanan atau


setelah Sultan Musa menjadi penguasa pertama setelah Langkat menjadi

Kesultanan, dan hanya membahas secara umum tentang Negeri Langkat tidak

lebih mendalam apalagi mengenai jejak situs peninggalan Langkat di Stabat.

Maka dari itu penulis ingin menulis tentang Langkat di Stabat beserta jejak situs

peninggalannya, agar dapat memperjelas dan memberikan informasi yang lebih

khusu dan jelas serta mendalam mengenai jejak situs peninggalan Langkat di

Stabat.

Informasi tentang Langkat di Stabat banyak penulis dapatkan melalui

buku-buku yang berkaitan denganLangkat dan informan yang mengetahui tentang

sejarah Langkat di Stabat. Penulis akan menguraikan Sejarah dan situs

peninggalan Langkat di Stabat berdasarkan literatur yang sudah di dapat antara

lain:

Di dalam Buku tulisan dari John Anderson yang berjudul Mission to the

East Coast of Sumatra in 1823. Dalam perjalanannya di Sumatera Timur

umumnya dan khususnya di JenteraMalai (Stabat) dengan terlebih dahulu kehulu

Sungai Wampu John Anderson menemui Wan Sopan ayahanda Sutan Mat Syekh

dan telah menyaksikan bahwa Sungai Wampu pada saat itu dikawal 9 kapal

perang Jongkong yang berdinding kayu tebal dan berlapis besi dan hanya

mungkin dihancurkan dengan menggunakan peluru meriam seberat 6 pound (3

kilogram) yang berguna untuk menjaga keamanan negeri serta menjaga jalur-jalur

pelayaran Negeri Langkat yang pada masa itu mempunyai jalur perdagangan

dengan Inggris, Arab, Mesir dan Cina. Pada kunjungan John Anderson ini Sutan

Mat Syekh diperkirakan masih berusia kurang lebih 2 tahun.


Dinasti Langkat yang paling awal adalah Dewa Syahdan. Diperkirakan

masa kekuasaannya tahun 1500-1580. Dewa Syahdan mempunyai putera bernama

Dewa Sakti. Ia bergelar Kejeruan Hitam. Dewa Sakti mangkat digantikan oleh

puteranya, yang setelah mangkatnya bergelar Marhom Guri. Dimakamkan di

Buluh Cina, Hamparan Perak sekarang. Dewa Sakti hilang raib kemungkinan

tewas dalam penyerangan Aceh, peristiwa penyerangan ini diperkirakan pada

tahun 1539. Marhom Guri digantikan oleh puteranya Raja Kahar, anak-anaknya

yang lain ialah Sultan Husin keturunan Bangsawan Bahorok dan seorang puteri

bernama Dewi Tahrul. Raja Kahar pendiri Kerajaan Langkat dan berpusat di Kota

Dalam, daerah antara Stabat dengan Kampung Inai, kira-kira pertengahan abad

ke-18. Ia dimakamkan di Buluh Cina juga. Raja Kahar berputera Badiulzaman

bergelar Sutan Bendahara, seorang berpribadi kuat dan dengan cara damai telah

memperluas daerahnya. Ia dimakamkan di Punggai, bergelar Marhom Kaca Puri.

Badiulzaman mempunyai 4 orang anak laki-laki yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Wan

Jabar yang mendirikan Selesai, Syahban di Punggai dan Indra Bongsu yang tetap

bersama Kejeruan Hitam tinggal di Kota Dalam.

Ketika Badiuzzaman meninggal dunia ia digantikan oleh puteranya yang

tertua Kejeruan Tuah Hitam, ia menetap di Jentera Malai, sebuah kampung dekat

Kota Dalam. Keempat bersaudara ini memerintah dengan otonomi masing-masing

dengan Kejeruan Hitam sebagai pimpinan tertinggi hingga memasuki abad ke-19,

pada saat itu Langkat merupakan daerah taklukan Siak yang menyerang dan

menaklukkan Langkat peristiwa itu pada tahun 1815. Kejeruan Hitam bergabung

dengan Sultan Panglima Mengedar Alam dari Deli untuk merebut pemerintahan

kembali dari tangan Siak dan pergi ke Deli untuk keperluan itu guna mendapatkan
bantuan manusia, senjata dan amunisi. Setelah memperoleh bantuan lalu ia

menghilir sungai Deli untuk dibawa ke Langkat. Ia membawanya bersama

kawannya bernama Banding. Namun, ketika menghilir membawa bantuan itu

sejumlah mesiu meledak karena tidak pada ditempatnya. Tatkala itu mereka pun

sedang asik mandi. Akibat dari ledakan mesiu itu menewaskan mereka. Putranya

tertua, Raja Nobatsyah, ia seorang pemuda yang cekatan, bertekad merebut

pemerintahan dengan bantuan Sultan Panglima dari Deli. Oleh karena konflik itu

perdagangan di negeri ini banyak terganggu sehingga perkelahian antara kepala-

kepala daerah pun terjadi (T. Luckman Sinar 2006:100-101).

Raja Langkat yang keenam yaitu Raja Bendahara (Nobatsyah) merupakan

putera tertua Raja Tuah Hitam(Raja Langkat ke V) yang telah meninggal, menjadi

Raja Langkat yang keenam menggantikan ayahnya yang tewas. Pada saat itu

Langkat adalah wilayah taklukan Siak pada tahun 1815. Untuk jaminan kesetiaan

Langkat, dua orang putera Langkat yaitu putera dari Kejeruan Tuah Hitam

bernama Nobatsyah dan seorang putera dari Indera Bongsu bernama Raja Ahmad,

dibawa ke Siak untuk mendapatkan indoktrinasi (cuci otak). Di Siak mereka

dikawinkan dengan puteri keluarga Kesultanan Siak. Nobatsyah dikawinkan

dengan Tengku Fatimah dan Raja Ahmad kawin dengan Tengku Kanah.

Perkawinan Raja Ahmad inilah melahirkan seorang putera bernama Tengku Musa.

Tiada berapa lama kemudian Nobatsyah dan Raja Ahmad dikembalikan ke

Langkat untuk bersama-sama memerintah Langkat. Saudara sewali dari

Nobatsyah dan Ahmad yaitu salah seorang putera dari Wan Jabar (penguasa

daerah Selesai) telah menetap di Stabat dan menjadi Raja di Stabat. Anak Raja
Wan Jabar tersebut yaitu Wan Sopan yang bergelar Sutan Japura yang menjadi

Raja di Stabat.

Persaingan saling pengaruh antara Nobatsyah dan Raja Ahmad mulai

terjadi, tiada berapa lama terjadilah perebutan kekuasaan antara Nobatsyah dan

Ahmad pada tahun 1820. Kemudian Nobatsyah mati terbunuh, setelah wafatnya

Nobatsyah maka Raja Ahmad lah satu-satunya yang memerintah Langkat yang

diakui Kesultanan Siak. Pada tahun 1840 Raja Ahmad wafat di Kota Dalam

(Djohar Arifin Husin 2013:9-11).

Setelah wafatnya Raja Ahmad terjadi kekosongan di dalam Kerajaan

Langkat, belum ada langsung calon pengganti Raja Langkat. Tiada beberapa lama

setelah wafatnya Raja Ahmad maka Wan Sopan Raja Stabat meninggal dunia

pula. Ia digantikan oleh anaknya Sutan Mat Syekh (Djohar Arifin Husin 2013:17).

Sehubungan dengan inilah anak Raja Ahmad, Tengku Musa (Tengku

Ngah) yang dibesarkan dan sudah dewasa di Siak datang ke Langkat. Semula

menurut ketentuan Sultan Siak, anak Nobatsyah yang lahir di Siak (Tengku

Maharaja) akan mewarisi Langkat. Karena ia sudah meninggal, dapatlah Tengku

Ngah menduduki Kerajaan dengan pengakuan Sultan Siak. Kepadanya diberi oleh

Sultan Siak gelaran Sutan Bendahara. Tapi setelah Nobatsyah terbunuh masih ada

seorang paktuanya yang lain, yaitu Raja Wan Sopan, yang beranak laki-laki. Anak

Raja Wan Sopan, Sutan Muhammad Syekh (Mat Syekh) mewakili Stabat. Setelah

Raja Wan Sopan meninggal, Mat Syekh lah menggantikannya. Matseh ingin

menguasai Langkat seluruhnya menggantikan kursi Tengku Ngah. Dalam hal ini

Deli menyokong Mat Syekh, diantara sebabnya ialah bahwa saudara perempuan
Sultan Deli menjadi isteri Mat Syekh. Mula-mula Mat Syekh mempergunakan

jalan yang mudah. Seorang adik perempuannya dikawinkan dengan Tengku Ngah.

Kelihatannya maksud ini akan tercapai, tapi Tengku Ngah sadar kembali

sesudah istrinya (adik Mat Syekh) meninggal dunia. Tengku Ngah berusaha keras

mengatasi tekanan Mat Syekh, dalam mengahadapi itu Tengku Ngah tidak lagi

dapat mengaharapkan bantuan dari Siak, sebab Siak pun sedang kusut. Dalam

pada itu baiklah diingatkan bahwa perkembangan disekitar masa itu di Langkat

masa pancaroba disana. Pertama, perebutan kursi Kerajaan antara Tengku Ngah

dan Mat Syekh. Kedua, kegiatan beberapa Raja kecil lain untuk mendapat atau

mempertahankan kedudukannya. Dan ketiga, pergulatan masing-masing dalam

melancarkan siasatnya untuk menguasai perkembangan politik di Langkat itu.

Tengku Ngah adalah beribu puteri Siak, dibesarkan dan dididik disana. Tiada

mengherankan bahwa ia tidak akan pro-Aceh walaupun dari alur Ayahnya

beberapa tingkat keatas menegaskan bahwa ia adalah keturunan Marhum Guri.

Karena peristiwa ini terjadi dalam rangka kegiatan Belanda untuk merongrong

wilayah Aceh bagian pantai terjauh di sebelah timur, maka terasalah bahwa

kekusutan disana bertalian dengan kegiatan itu, dan kesibukan disanapun tidak

berdiri sendiri pula (H. Mohammad Said 1981:616-617).

Sutan Mat Syekh dilahirkan tahun 1821 di pusat Kerajaan Langkat yakni

Jentera Malai yang dikenal sekarang dengan nama Stabat ibu kota Kabupaten

Langkat. Kerajaan ini berbatas dengan Kerajaan Aceh. Sutan Mat Syekh adalah

satu-satunya pewaris tahta Kerajaan Langkat memerintah negeri ini dengan adil,

arif, dan bijaksana serta menjadi tumpuan harapan dan sanjungan rakyat, karena

negeri Melayu Langkat dikala itu sunggguh gemerlapan ibarat hamparan


permadani hijau bagaikan cahaya permata jambrut di sudut timur pulau Sumatera

dan mengandung banyak perhatian serta daya tarik yang sangat memikat

terrmasuk Belanda. Pada saat itu peradaban Negeri Langkat yang berpusat di

Jentera Malai berada dipinggir Sungai Wampu telah maju ditandainya dengan hilir

mudiknya kapal-kapal besar dan singgah di Pelabuhan Jentera Malai terbukti

dengan dikunjunginya negeri ini oleh Jhon Anderson salah seorang utusan

Gubernur Inggris di Penang. Pada kunjungan ini Sutan Mat Syekh diperkirakan

masih berusia lebih kurang 2 tahun ( MABMI Langkat 1996:1).

Negeri Langkat yang dipimpin oleh Sutan Mat Syekh memiliki daerah

yang amat subur yang kemudian dikenal dengan tumbuhnya tembakau Deli dikala

itu amatlah tersohor keseluruh penjuru dunia membuat Belanda sangat tergiur.

Namun bila ditinjau dari strategi perang, Langkat merupakan daerah yang amat

strategis sekali yang mau tidak mau mengundang selera Kerajaan Aceh dan

Belanda. Adapun kepentingan-kepentingan yang sangat mendesak oleh kedua ini

adalah sebagai berikut:

- Bagi Kerajaan Aceh Negeri Langkat adalah pintu gerbang utama Belanda

untuk menyerang Aceh, sehingga Langkat harus segera dikuasai dan

dijadikan benteng pertahanan yang utama.

- Bagi Belanda Negeri Langkat harus segera direbut dengan cara

bagaimanapun bila perlu dengan cara dalih dan tipu muslihat, Langkat

harus terlebih dahulu dikuasai untuk kemudian dijadikan basis pasukan

Belanda guna menyerang Aceh.

Saat itu Negeri Langkat merupakan sebuah bom waktu yang kelak akan

merupakan sebuah bom waktu yang akan meledakkan pertempuran-pertempuran


yang dahsyat di Negeri ini. Sutan Mat Syekh seorang bergama Islam, yang

mempunyai akidah yang kuat sudah dapat kita duga bahwa ia beserta rakyatnya

berpihak kepada Kerajaan Aceh. Setelah melihat kenyataan ini Belanda semakin

gelisah dan menyadari benar bahwa untuk merebut Negeri Langkat jalannya

tidaklah mudah seperti yang diharapakan, dengan segala macam usaha, dalih, dan

bial perlu dengan cara tipu muslihat agar Langkat dapat direbut dan dikuasai.

Seperti seorang yang mengantuk diberikan bantal, bak kata pepatah pucuk dicinta

ulam pun tiba, Kerajaan Siak memohon kepada Belanda untuk mengamankan

wilayah taklukannya pada tahun 1858 yang dikenal dengan nama “Traktat Siak”.

Adapun politik kontrak yang ditandatangani oleh Sultan Siak dengan

Belanda pada tanggal 1 Pebruari 1858 yang mana dimasukkan begitu saja

Sumatera Timur dan Tamiang menjadi sebahagian wilayah Siak, hanyalah tipuan

belaka dan tidak sah sama sekali baik ditinjau dari sudut de jure maupun de fakto

(H. Mohammad Said 1981:629).

Langkah awal Belanda merencankan stategi dalam mengusai Negeri

Langkat dengan menggunakan politik “Devide et Empera” yaitu dengan memecah

belah dan kemudian dikuasai. Belanda yang bersekutu dengan Siak pada saat itu

mulai gencar melakukan cara dan strategi untuk dapat menguasai Negeri Langkat.

Belanda mulai membentuk pemerintahan tandingan dengan mengangkat dan

mengutus seorang Raja yang dapat bekerjasama dengan Belanda dan Siak di

Negeri Langkat, sudah tentu ini merupakan tantangan yang berat bagi Sutan Mat

Syekh, sungguh ia benar-benar menyadari bahwa semua ini adalah tingkah pola

Belanda dan Siak untuk merongrong kewibawaan serta kekuasaan yang mutlak

atasnya di Negeri Langkat. Sebagai seorang Raja Sutan Mat Syekh adalah sangat
bijaksana, terlebih dahulu mencari jalan diplomasi politik dengan mengawinkan

adik kandung Sutan Mat Syekh dengan Raja utusan Belanda yaitu Tengku Musa

yang merupakan anak dari Raja Ahmad yang lama tinggal di Siak. Inilah tindakan

Sutan Mat Syekh yang amat bijaksana, namun usaha ditangan hamba tetapi Tuhan

jualah yang menentukan segalanya.

Setelah beberapa tahun meninggal pulalah adik perempuan Sutan Mat

Syekh menyebabkan suaminya sadar akan tugasnya. Hal ini menyebabkan

kembali bangkit niatnya untuk segera merebut tahta Negeri Langkat dari Sutan

Mat Syekh. Sutan Mat Syekh yang secara adat Melayu diakui sebagai Raja

Langkat ini pada saat itu sudah menjalin kerjasama yang baik dengan Tuanku

Hasyim (Panglima Mandala Kerajaan Aceh Wilayah Timur) mulai menggempur

Raja yang ingin merongrong Sutan Matsyekh sebagai Raja Langkat. Sutan Mat

Syekh yang didukung oleh berbagai pihak termasuk rakyat Langkat dan Aceh

dengan mudah mendesak Tengku Musa sampai ke daerah Tamiang, kemudian

Musa kembali ke Siak memohon bantuan Belanda dan Siak agar ia dapat merebut

tahta Kerajaan Langkat (MABMI Langkat 1996:6-7).

Belanda mencoba berupaya membujuk Sutan Mat Syekh, namun Sutan

Matsyekh dikenal tidak mau berkompromi dengan Belanda, pada tahun 1862

Belanda mengirim kontelirnya Cast Baron de Raet ke jentera Malai untuk

membujuk Sutan Matsyekh agar mau bekerjasama dengan Belanda namun

Matsyekh menolak dan mengusir serta menghina kontelir Belanda itu. Cast baron

de Raet merasa usahanya gagal bahkan menerima hinaan dari Sutan Mat Syekh

benar-benar merasa tersinggung dan langsung mengultimatum mengancam Sutan

mat Syekh. Ultimatum Belanda ini secara spontan dijawab oleh Sutan Mat Syekh
yaitu: KALAU LANGKAT HENDAK DIZARAH TUAN BAYAR DENGAN

DARAH.

Melihat gelagat perang sudah tampak mengambang menjelang datang,

Sutan Mat Syekh mempersiapkan sejak dini kekuatan serta membahas medan

pertempuran pada perang akbar yang akan dihadapi nanti serta menjaga daerah-

daerah yang merupakan kantung-kantung strategis dan cara berperang yang akan

dilaksanakan. Serta sistim penyaluran senjata dan perolehan makanan serta

dukungan dari Raja tetangga dengan Negeri Langkat terutama Kerajaan Aceh

memberi strategi serta siasat-siasat bila situasi perang dapat berubah sewaktu-

waktu dan kemungkinan yang akan terjadi maupun kebijaksanaan lain. Tekad dan

semboyan perang pun telah ditetapkan yaitu semangat fisabilillah,

mempertahankan tanah tumpah darah dari Belanda. Tiada kenal kata dan istilah

menyerah apalagi berkompromi dengan Belanda, biarlah mati syahid bersimbah

darah dari pada kalah dan menyerah serta terjajah (MABMI Langkat 1996:8).

Dengan demikian secara total seluruh rakyat Langkat siap bergolak

walaupun masih adanya terdapat perselisihan kecil di Langkat saat itu, namun

kesemuanya bersepakat dan bertekad tidak ingin tunduk dibawah kekuasaan

penjajah Belanda (H. Mohammad Said 1981:622).

Negeri Langkat yang berbatas dengan Kerajaan Aceh di diami dan di huni

oleh 5 suku bangsa seperti Melayu, Aceh, Karo, Alas dan Gayo terlihat

mengirimkan putra-putra terbaiknya untuk berkumpul membentuk pasukan

gabungan. Mobilisasi total untuk menghimpun kekuatan tempur didaratan

mencerminkan Negeri Langkat dikala itu diselimuti susasana perang.


Ultimatum Cast Baron de Raet rupanya bukan hanya sekedar gertak

sambal terhadap Sutan Mat Syekh hal ini ditandai dengan, Netscher (Agustus

1862) dengan kapal perangnya mencoba masuk ke Langkat, percobaannya gagal

oleh kekuatan pertahanan Tuanku Hasyim, penyerbuan dari daratpun tidak dapat

dilakukan (H. Mohammad Said 1981:624). Armada laut Netscher tercatat 4 kali

mencoba menjamah Langkat dari laut maupun daratan, akhirnya dengan perasaan

kekecewaan Belanda terpaksa pulang kekandang setelah menyadari kekuatan

gabungan Sutan Mat Syekh yang bertempur di darat dan Tuanku Hasyim dilaut

Kerajaan Aceh dipusatkan di Pulau Kampai yang sangat strategis serta dikawal

oleh lebih kurang 200 kapal perang yang diperlengkapi dan persenjatai dengan

meriam-meriam membuat Netscher kecut (MABMI Langkat 1996:10).

Melihat kemampuan pasukan tempur Sutan mat Syekh dengan semangat

perang yang tinggi mengalami banyak kemajuan di daratan Langkat dengan amat

tergesa-gesa Belanda segera meminta bantuan ke pusat Pemerintahan Hindia

Belanda di Batavia (Pulau Jawa). Karena sudah tidak dapat lagi menahan

nafsunya maka Belanda lalu mempersiapkan suatu ekspedisi militer lengkap

besar-besaran ke Sumatra Timur, untuk menundukkan Raja-Raja Melayu yang

masih ingkar mengakui pertuanannya, dan jika masih melawan Raja-Raja tersebut

akan dibuang, kampung-kampung akan dibumi hanguskan dan Kerajaannya

menjadi daerah langsung Hindia Belanda. Ekspedisi ini berangkat dari Betawi

dengan Beslit Gubernur Nomor 1 tanggal 25 Agustus 1865 dengan kekuatan

sebagai berikut:

1. Setengah batalion Infantri dengan staf satu detasemen terdiri 1 opsir

25 orang artileri, 2 veldhouwister, 2 mortir 12 inci, 2 Dokter dan


stafnya, 179 serdadu Belanda totok dan 227 orang serdadu Belanda

hitam.
2. Kapal-kapal perang dan transport terdiri dari kapal-kapal : Djambi,

Amsterdam, Montrade, Delfzijn dan beberapa Kruisboten.


3. Kapal-kapal perang Belanda tersebut mengangkut juga 1000 orang (T.

Luckman Sinar 1986:72).

Armada laut Belanda yang dilengkapi dengan ribuan serdadu dan peralatan

perang yang modern, akhirnya tiba di Pulau Kampai. Setelah bertempur dalam

beberapa hari akhirnya Belanda berhasil memukul mundur armada laut Kerajaan

Aceh, dan mendaratkan ribuan pasukannya dibumi Langkat. Walaupun Pulau

Kampai sudah jatuh ketangan Belanda, namun untuk menaklukkan Sutan Mat

Syekh bukanlah hal yang mudah, karena disamping masih mempunyai kekuatan

tempur darat yang handal Sutan Mat Syekh juga mendapat dukungan dari segenap

rakyat Langkat serta Raja-Rajayang bertetangga dengan Negeri Langkat

diperkirakan menghadapi pasukan tempur Sutan Mat Syekh akan jatuh korban

yang tidak sedikit dipihak Belanda. Sadar akan sulitnya menaklukkan Mat Syekh

serta menghindari besarnya jatuh korban dipihak Belanda, Belanda segera

mengambil jalan pintas menggunakan akal liciknya yaitu dengan jalan tipu

muslihat Sutan Mat Syekh harus dapat ditawan.

Belanda berhasil membujuk seorang yang sangat dihormati Sutan Mat

Syekh yang berada diluar Kerajaan Langkat, dan sengaja mengundang dan

menjamu Sutan Mat Syekh dalam acara adat perkawinan yang merupakan

perangkap ampuh untuk memancing Mat Syekh keluar dari Langkat lalu

kemudian dikepung dan di sergap. Karena bagi seorang Muslim sejati, undangan

adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi dengan kehadiran apalagi undangan
ini datang dari orang yang sangat dihormatinya. Tipu muslihat ini berhasil, Sutan

Mat Syekh akhirnya disergap di Hamparan Perak dan kemudian di tawan Belanda

pada tahun1865 (MABMI Langkat 1996: 13).

Sudah menjadi kesepakatan dipihak Belanda dikala itu bahwa apabila ada

seorang Raja yang melawan dan mempunyai pengaruh besar serta mampu

memberikan perlawanan sengit dan berarti serta dapat ditawan Belanda, maka

Belanda akan menjatuhkan hukuman “Buang” seperti halnya Pengeran

Diponegoro, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol dan lain sebagainya. Beradasarkan

Beslit Pemerintah Hindia Belanda tanggal 27 Mei tahun 1866 Nomor 7 Sutan Mat

Syekh dibuang ke Cilacap. Sutan Mat Syekh dibuang dengan menggunakan kapal

perang khusus Belanda bernama “Dassoon” dan sampai akhir hayatnya tetap tidak

mau berkompromi dengan Belanda ( Artikel Harian Waspada 8 Januari 1994

dengan judul Sutan Mat Syekh Pejuang Dari Stabat).

Di dalam Nota Politik Kontrak Langkat 1893 diakui bahwa Mat Syekh

adalah Raja Langkat (T. Luckman Sinar 1986:124).

2.2 Kerangka Konseptual


1. Revolusi Sosial
Revolusi sosial merupakan suatu doktrin diktator proletariat Trotskyisme

yang berasal dari Leon Trotsky yang juga dikenal sebagai paham dari Komunis

Internasional keempat terhadap struktur kelas serta penciptaan aturan-aturan sosial

yang baru. Dalam suatu pergolakan, maka akan terbuka suatu zaman baru dalam

kehidupan masyarakat dikarenakan terjadinya transformasi yang luas dan

fundamental.
Menurut Paul B. Horton (1984) Revolusi sosial berlangsung secara besar-

besaran dan tiba-tiba dengan menggunakan kekerasan. Pemberontakan yang


ditandai oleh perubahan penguasa tanpa ada perubahan sistem kelas sosial atau

distribusi kekuasaan dan pendapatan di kalangan kelompok masyarakat tidak

termasuk ke dalam revolusi sosial. Para orang revolusioner menentang pengikut

gerakan reformasi, karenan orang-orang ini berkeyakinan bahwa reformasi yang

berarti tidak mungkin tercipta bilamana sistem sosial yang ada tetap berlaku.

Mereka berpandangan bahwa perubahan mendasar hanya mungkin terlaksana bila

sistem sosial yang berlangsung dapat diganti dan kaum elit disingkirkan.

Penyingkiran kaum elit seringkali dilaksanakan dengan cara menghukum atau

mengasingkan mereka. Pada kebanyakan revolusi, beberapa kelompok bersatu

untuk meruntuhkan rezim penguasa. Setelah itu terjadilah persaingan sengit antar-

kelompok untuk memperebutkan kekuasaan.


Salah satu bentuk tindakan revolusi sosial yang dilakukan adalah

terorisme. Terorisme termasuk ke dalam pergerakan revolusi yang menggunakan

taktik pengeboman, penculikan, penyekapan, pembajakan dan pembunuhan.


2. Kehidupan Sosial
Di Indonesia kehidupan sosial dikenal sebagai sistem sosial budaya.

Sistem sosial budaya Indonesia adalah sebagai totalitas nilai, tata sosial, dan tata

laku manusia Indonesia harus mampu mewujudkan pandangan hidup dan falsafah

negara Pancasila ke dalam segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara

(Muttaqin, 2010: 15-30). Asas yang melandasi pola pikir, pola tindak, fungsi,

struktur, dan proses sistem sosial budaya Indonesia yang diimplementasikan

haruslah merupakan perwujudan nilai- nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945, transformasi serta pembinaan sistem social budaya harus tetap

berkepribadian Indonesia.
Raymond Firth mengemukakan bahwa konsep struktur sosial merupakan

alat analisis yang diwujudkan untuk membantu pemahaman tentang tingkah laku
manusia dalam kehidupan sosial. Dasar yang penting dalam struktur sosial ialah

relasi-relasi sosial yang jelas penting dalam menentukan tingkah laku manusia,

yang apabila relasi sosial itu tidak dilakukan, maka masyarakat itu tak terwujud

lagi. Struktur sosial juga dapat ditinjau dari segi status, peranan, nilai-nilai, norma,

dan institusi sosial dalam suatu relasi. Nilai adalah pembentukan mentaliatas yang

dirumuskan dari tingkah laku manusia sehingga menjadi sejumlah anggapan yang

hakiki, baik, dan perlu dihargai. Dari pendapat Raymond Firth dan Max Weber,

sistem nilai yang harus diwujudkan atau diselenggarakan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ditemukan dalam proses pertumbuhan

pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi Negara (Ritzer, 2012: 1031).
Jadi, struktur sistem sosial budaya Indonesia dapat merujuk pada nilai-nilai

yang terkandung dalam Pancasila yang terdiri atas tata nilai, seperti: nilai agama

(nilai kebenaran, nilai moral, nilai vital, nilai material), tata sosial, dan tata laku.

Dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka tata laku harus

berpedoman pada norma-norma yang berlaku, yaitu: norma agama, norma

kesusilaan/kesopanan, norma adat istiadat, norma hukum setempat, norma hukum

Negara.

2.3 Kerangka Berfikir

Perkembangan Kesultanan Langkat

Hubungan Kesultanan Langkat dengan Pemerintah


Kolonial Belanda
Revosil Sosial di Lankat: Latar Belakang dan Dampaknya
terhadap Kehidupan Sosial
Keterangan: Kerajaan Langkat merupakan salah satu dari beberapa dari

Kerajaan Melayu yang berada diwilayah pesisir timur pulau Sumatra (sekarang

disebut sebagai Sumatera Utara). Kerajaan ini terletak di wilayah Kabupaten

Langkat, Sumatera Utara. Kerajaan Langkat merupakan salah satu Kerajaan

terkaya di Sumatra Timur, disamping Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang.

Silsilah Kerajaan Langkat menyatakan bahwa nama leluhur Kerajaan Langkat

yang terjauh diketahui adalah Dewa Sahdan. Sampai saat ini asal usulnya masih

menjadi simpang siur. Menurut Tuanku Luckman Sinar dalam Bangun dan

Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (2006:100), “Teromba

Kesultanan Langkat menyatakan bahwa nama leluhur dinasti Langkat yang paling

awal adalah Dewa Syahdan. Diperkirakan masa kekuasaannya tahun 1500 sampai

1580. Menurut teromba Langkat, Dewa Syahdan datang dari arah pantai yang

berbatas dengan Kerajaan Aceh. Ia menjadi anak beru dari Sibayak Kota Buluh di

Tanah Karo.

Kemudian ia dikenal dengan gelar Sibayak Si Pintar Ukum oleh orang-

orang Karo, menurut pihak Karo ia merga Perangin-angin Kuta Buluh. Ia

mempunyai regalia rantai emas buatan Aceh dan kain buatan Minangkabau. Tiada

berapa lama kemudian ia turun ke Deli Tua, kemudian ia pindah ke Guri atau

Buluh Cina sekarang”. Kemudian setelah Dewa Syahdan meninggal tahta

Pemimpin Langkat digantikan oleh Dewa Sakti dan sesudah Dewa Sakti

memerintah Marhum Guri. Tambo Langkat seterusnya mengatakan, bahwa

sesudah marhum Guri, memerintah Raja Kahar. Raja Kahar diganti oleh anaknya

Badiuzzaman. Ia mempunyai anak 4 orang, yaitu 1. Kejeruan Tuah Hitam, 2. Raja

Wan, 3. Syahdan dan 4. Indra Bongsu. Keempat putera ini membantu ayahnya
memerintah, sebagai orang-orang besar. Badiuzzaman meninggal diganti oleh

anaknya tertua, Kejeruan Tuah Hitam berkedudukan di Jentera Malai, sebuah

kampung dekat Kota Dalam (H. Mohammad Said 1981:613-615).

Pada saat itu Langkat merupakan daerah taklukan Siak yang menyerang dan

menaklukkan Langkat peristiwa itu pada tahun 1815. Kejeruan Hitam bergabung

dengan Sultan Panglima Mengedar Alam dari Deli untuk merebut pemerintahan

kembali dari tangan Siak dan pergi ke Deli untuk keperluan itu guna mendapatkan

bantuan manusia, senjata dan amunisi. Setelah memperoleh bantuan lalu ia

menghilir sungai Deli untuk dibawa ke Langkat. Ia membawanya bersama

kawannya bernama Banding. Namun, ketika menghilir membawa bantuan itu

sejumlah mesiu meledak karena tidak pada ditempatnya. Tatkala itu mereka pun

sedang asik mandi. Akibat dari ledakan mesiu itu menewaskan mereka. Putranya

tertua, Raja Nobatsyah, ia seorang pemuda yang cekatan, bertekad merebut

pemerintahan dengan bantuan Sultan Panglima dari Deli. Oleh karena konflik itu

perdagangan di negeri ini banyak terganggu sehingga perkelahian antara kepala-

kepala daerah pun terjadi (T. Luckman Sinar 2006:100-101).

Raja Langkat yang keenam yaitu Raja Bendahara (Nobatsyah) merupakan

putera tertua Raja Tuah Hitam(Raja Langkat ke V) yang telah meninggal, menjadi

Raja Langkat yang keenam menggantikan ayahnya yang tewas. Pada saat itu

Langkat adalah wilayah taklukan Siak pada tahun 1815. Untuk jaminan kesetiaan

Langkat, dua orang putera Langkat yaitu putera dari Kejeruan Tuah Hitam

bernama Nobatsyah dan seorang putera dari Indera Bongsu bernama Raja Ahmad,

dibawa ke Siak untuk mendapatkan indoktrinasi (cuci otak). Di Siak mereka

dikawinkan dengan puteri keluarga Kesultanan Siak. Nobatsyah dikawinkan


dengan Tengku Fatimah dan Raja Ahmad kawin dengan Tengku Kanah.

Perkawinan Raja Ahmad inilah melahirkan seorang putera bernama Tengku Musa.

Tiada berapa lama kemudian Nobatsyah dan Raja Ahmad dikembalikan ke

Langkat untuk bersama-sama memerintah Langkat.

Dilihat dari peninggalan-peninggalan Kerajaan Langkat Di Stabat pada masa

sekarang sebagian peninggalan yang dulunya merupakan peninggalan Kerajaan

Langkat justru menghilang dan sebagian lagi dijadikan sebagai peninggalan

Kesultanan Langkat. Selain itu, masyarakat Stabat juga justru lebih mengetahui

peninggalan Kesultanan Langkat dibandingkan dengan peninggalan Kerajaan

Langkat yang dulunya berpusat di Stabat.

Banyak peninggalan-peninggalan Kerajaan Langkat di Stabat tidak diketahui

oleh masyarakat setempat. Peninggalan-peninggalan penting yang harusnya

menjadi identitas Kerajaan Langkat di Stabat justru menghilang yang

menyebabkan identitas Kerajaan Langkat di Stabat seakan menghilang

didaerahnya sendiri. Maka dari itu penulis ingin mengidentifikasi peninggalan

Kerajaan Langkat yang berpusat di Stabat pada tahun 1862-1865. Dengan

ditambah dengan literatur yang penulis baca bahwasanya Stabat pada saat itu

merupakan pusat Kerajaan Langkat pada tahun 1862-1865. Serta merupakan

Kerajaan yang maju dikarenakan letak yang berada dipinggiran sungai. Serta

banyak menjalin hubungan kerja sama dengan Kerajaan lain maupun pihak lain

yang mana pusat Kerajaan Langkat pada waktu itu yang berada di pinggiran

sungai wampu ramai dan berkembang.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian, maka penulis menggunakan metode

sejarah yang bersifat heuristik. Seperti yang dinyatakan Carrad dalam Sjamsudin

(2012:67) heuristik adalah sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk

mendapatkan data-data, atau materi sejarah atau evidensi sejarah.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

deskriptif kualitatif, yang mana sumber data yang diperoleh dari lapangan (field

research). Study Lapangan (field research) ini dilakukan dengan mencari dan

mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari data yang ada dilapangan, baik dari

responden ataupun dokumen yang mendukung. Untuk memperkuat data penelitian

maka dilakukan penelitian studi pustaka (library research) dengan mengumpulkan

literature maupun refrensi yang berkaitan langsung dengan penelitian.

3.2 Lokasi Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas untuk memperoleh data tentang

Runtuhnya Kerajaan Langkat Akibat Revolusi Sosial (1946-1948) maka peneliti


mengadakan kajian di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Tempat-

tempat yang menjadi identifikasi awal adalah arsip Pemkab Langkat yang ada di

Stabat.

3.3 Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah:

1. Data Primer

Gottschalk (1969:35) mengatakan bahwa sebuah sumber primer adalah

kesaksian dari pada seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan

pancaindera yang lain, atau dengan alat mekanis seperti diktafon, yakni orang atau

alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya (di sini selanjutnya secara

singkat disebut saksi mata).

Berhubung kejadian dalam peristiwa yang penulis bahas tidak ada satupun

seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau dengan panca indera hadir langsung

pada peristiwa ini hidup hingga sekarang dikarenakan jarak waktu yang cukup

lama hingga sekarang ini, maka yang penulis jadikan sumber primer dalam

penelitian ini adalah arsip-arsip yang menceritakan peristiwa pada kondisi itu.

2. Data Sekunder

Dalam Gottschalk (1969:35) menjelaskan bahwa “sumber skunder

merupakan kesaksian dari pada siapapun yang bukan merupakan saksi pandangan

mata, yakni seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya”.

Dalam penelitian ini peneliti mencari sumber informasi dari buku-buku atau

literatur yang berhubungan dengan peristiwa Revolusi Sosial 1946-1948 di


Langkat serta perkembangan Kesultanan Langkat dari awal berdiri hingga

keruntuhannya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melalui

beberapa teknik sebagai berikut :

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan langsung terhadap objek permasalahan

dengan maksud memperoleh dan mengetahui seluruh data-data yang diperlukan

dalam penelitian ini seperti situs makam dan peninggalan lainnya. Dalam hal ini

peneliti mengunjungi sisa-sisa peninggalan Kesultanan Langkat serta bertemu

keturunan atau anggota Kesultanan Langkat yang masih hidup.

2. Wawancara

Wawancara yaitu proses memperoleh keterangan dengan cara melakukan

tanya jawab langsung kepada tokoh masyarakat/narasumber yang mengetahui

keterangan-keterangan historis tentang Kesultanan Langkat dan peristiwa

Revolusi Sosial 1946-1948 di wilayah Langkat.

3. Dokumentasi

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan buku-buku,

arsip/dokumen, artikel atupun literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.

Dalam penelitian ini peneliti mencari gambaran dan fakta historis mengenai

Kesultanan Langkat dan peristiwa Revolusi Sosial 1946-1948.


3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data bertujuan untuk mengelola data agar akurat. Adapun teknis

analisis data yang dilakukan penulis dalam memperoleh hasil yang akurat yaitu:

1. Mengumpulkan Sumber (Heuristik)

Peneliti mengumpulkan data-data yang relevan dari hasil penelitian

dilapangan (field Research) berupa hasil wawancara, dokumen/arsip serta

literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian.

2. Kritik Sumber

Setelah selesai mengumpulkan sumber-sumber sejarah maka yang harus

dilaksanakan selanjutnya adalah kritik sumber. Data yang diperoleh dari literature

dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian hendaknya diuji terlebih dahulu

mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) sumber tersebut sehingga semua

data sesuai dengan fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya.

3. Interprestasi Data

Yaitu menafsirkan atau member makna kepada fakta-fakta atau bukti-bukti

sejarah. Bukti sejarah diperoleh dari hasil penelitian melalui wawancara dan

dokumen dengan studi pustaka melalui literature dan buku-buku yang

bersangkutan. Sehingga dapat diperoleh suatu rangkaian data yang menjadi suatu

informasi.

4. Historiografi (Penulisan)

Merupakan tahap penulisan dengan menggunakan keseluruhan data yang

sudah diperoleh kemudian dianalisis dan menuangkannya kedalam suatu laporan

hasil penelitian.
Daftar Pustaka

Admansyah, Tengku. Butir-butir Sejarah Suku Melayu Pesisir Sumatera Timur.


Medan : Yayasan Karya Budaya Nasional. 1988.
Anderson, Jhon. Mission to the East Coast of Sumatra. Edinburg. 1823.
Arifin, Djohar. Sejarah Kesultanan Langkat. Medan: Yayasan Bangun Langkat
Sejahtera. 2013.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
2008.
Haviland A., William. Antropologi. Jakarta : Erlangga. 1993.
Horton, Paul B., Sosiologi, Edisi Keenam. Bandung: Erlangga. 1984.
Koentjaningrat. Antropologi. Jakarta : Penerbit UI Press. 1987.
Luckman Sinar, Tengku. Bangun Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera
Timur. Medan : Yayasan Kesultanan Serdang. 2006.
Luckman Sinar, Tengku. Sari Sedjarah Serdang. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1986.
Luckman Sinar, Tengku. Sutan Matsyekh Pejuang Dari Stabat. Medan:
Percetakan dan Penerbit Harian Waspada. 1994.
MABMI Tingkat II Langkat. Riwayat Ringkas Sutan Matsyekh Pahlawan
Langkat. Stabat : MABMI Langkat. 1996.
Poerwadarminta W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Balai
Pustaka. 1976.
Said, H.M. Aceh Sepanjang Abad Jilid I. Medan : Percetakan dan Penerbit Harian
Waspada. 1981.
Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Ombak. 2012.
Zainal Muttaqin. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Banten: Universitas Serang
Raya. 2010.

Anda mungkin juga menyukai