Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ahmad Kamaludin

NIM : 3111417026

Matkul : Sejarah Lisan

DATA BUKU

Judul  : Sejarah Lisan di Asia Tenggara

Sub Judul : Teori dan Metode

Pengantar  : Asvi Warman Adam

Editor : P. Lim Pui Huen, James H. Morrison, Kwa Chong Guan

Penerbit  : LP3ES

Cetakan  : I, 2000

Tebal  : xxiii+311 halaman

ISBN  : 979-8391-87

Sejarah Lisan di Asia Tenggara: Teori dan Metode merupakan sebuah buku berisi
kumpulan esai yang sebagian besar pernah disajikan dalam Lokakarya Sejarah Lisan yang
diselenggarakan oleh ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies) pada 1990. Dengan ukuran
layaknya buku saku, buku ini berisi perihal teori serta metode dalam kerja-kerja penelitian
sejarah lisan dalam konteks Asia Tenggara. Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian, yakni
Pengantar, Teori, dan Metode. Sejarah lisan telah diakui sebagai suatu cara untuk
mendokumentasikan serta merekam suatu peristiwa dan perkembangan sejarah terutama dalam
suatu gejala sosial tertentu.Seperti peristiwa penting dalam Perang Dunia ke II yang menjadi titik
balik dalam sejarah di Asia Tenggara. Disana terdapat banyak sekali kekosongan terutama dari
segi kearsipan. Pasalnya arsip yang tersedia sangat sedikit. Jumlah surat kabar dan dokumen
yang dapat terkumpulkan terbilang begitu minim. Maka daripada itu, sejarah lisan mempunyai
peranan penting tersendiri dalam mengisi kekosongan tersebut, terkhusus dalam membantu
kearsipan. Bahkan sejarah lisan dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan lebih
menyeluruh mengenai masa lampau yang tekait dengan rasa jati diri dan masa depan bangsa
yang bersangkutan.Karena dengan sejarah lisan dapat tertangkap berbagai kenangan darimereka
yang pernah berjuang dan mengalami hal-hal demikian. Seperti bagaimana warna dan perasaan
dari pengalaman mereka yang dapat memperdalam pemahamam kita mengenai peristiwanya di
masa lalu. Dalam buku Sejarah Lisan di Asia Tenggara, Asvi Warman Adam sebagai pengantar
menulis ihwal perbedaan pandangan mengenai status sejarah lisan. Asvi mempertanyakan akan
status sejarah lisan apakah dapat dianggap sebagai “cabang” sejarah layaknya sejarah sosial,
sejarah pertanian, sejarah ekonomi, dan semacamnya, atau sejarah lisan hanya sekadar teknik
untuk mendapatkan datalisan?James H. Morrison dalam penjelasan Asvi lebih menyukai
pemakaian istilah “penelitian lisan” ketimbang “sejarah lisan”.

Menurut Morrison, yang menjadi penulis bab pertama dalam buku Sejarah Lisan di Asia
Tenggara, sejarah lisan mengesankan sebagian orang sebagai metode yang berdiri sendiri.
Padahal sumber lisan saja tidak lengkap, masih harus diperkaya dengan sumber lain, dalamhal
ini menurut Asvi lebih ke sumber tertulis. Sumber lisan hanya salah satudiantara banyak sumber
yang tersedia bagi seorang sejarawan.Menurut Morrison penelitian lisan dirumuskan sebagai,
“pengumpulan bahan-bahan melalui perbincangan atau wawancara dengan satu orang atau lebih
mengenai satu masalah yang sedang dipelajari oleh sang pewawancara.” Sejarah Lisan di Asia
Tenggara didalam isinya memiliki 10 tulisan yangmencangkup teori dan metode dalam
penerapan sejarah lisan, ditulis oleh 10 orangyang berbeda. Para penulisnya berasal dari
kalangan praktisi sejarah lisan dan juga para peneliti serta pakar.Dalam resensi kali ini saya akan
merangkumnya menjadi beberapa paragrafuntuk menyampaikan isi yang dianggap penitng yang
terkadung dalam setiap pembahasan tanpa bermaksud mengenyampingkan pembahasan yang
lain,diantaranya:Sebelum memasuki teori dan metode dari sejarah lisan, James H. Morrison
menulis tentang Perspektif Global Sejarah Lisan di Asia Tenggara. Morrison berpendapat bahwa
hakikat dalam mengukur upaya manfaat dari penelitian lisan dibagian dunia manapun setelah
menerapkan tolok ukur yang digunakan seorang peneliti, apakah itu sejarawan, ahli
antropologim ahli folklore, pada apa yang telah mereka pelajari. Metodologi wawancara, analisis
teks, dan subjeks dari catatan,serta membandingkan dengan hasil penelitian lisan lain, semuanya
penting.

Secara sederhana dalam sejarah lisan, mewawancarai para saksi dengan carayang kritis
menurut Kwa Chong Guan bisa dilakukan, seperti apa yang telah dilakukan Thucydides dan
banyak peneliti lain sesudahnya. Hal itu dapat memberikan kita jalan untuk menemukan kisah di
masa lampau. Namun, masa lampau sebagai suatu yang diungkapkan kembali bukan sekadar
kumpulan fakta yang muncul sebagai jawaban atas sejumlah pertanyaan.Sejarah lisan
mengandung pola-pola budaya serta makna dan nilai-nilai darimasa lampau. Hal tersebut
memberi bentuk pada persepsi sejarah dari individu dan komunitas, dan bahkan bisa menjadi
dorongan bagi rasionalisasi tindakan di masa mendatang.Menurut Kwa Chong Guan, perubahan-
perubahan teknologi dalam abadke-20 ini telah sangat mengurangi pentingnya catatan tertulis
yang banyak itu. Kinimakin terasa penting untuk menghadapkan teks dengan kisah lisan dalam
masyarakat kini. Dalam banjir kata-kata yang di alami sekarang, yang lisan danyang tertulis
sangat berkaitan untuk memahami masa lampau.

Salah satu penulis buku Sejarah Lisan di Asia Tenggara, Yos Santasombat.Menjelaskan
bahwa dengan kerangka konseptual hermeneutika dari Dithley,wawancara lisan bisa digunakan
untuk merekontruksi pengalaman hidup dariseorang aktor sosial- politik kedalam bentuk ‘teks’.
Ungkapan materi-materi sejarah lisan harus selalu dilihat sebagai suatu ‘potret diri’ , atau dapat
pula berupa presentasi diri yang diberikan pada kita oleh persoalan dan peristiwa sejarah yang
dideskripsikan dalam bentuk ‘kisah’. Kisah disini merupakan versi sejarah dari informan yang
dipilihnya dengan saksama, yang bisa tidak sejalan dengan fakta dan interpretasi sejarah
lain.Tujuannya adalah untuk memahami dan mejelaskan pengalaman yangdialami. Dalam hal ini
kita harus berusaha memahami subjek sebagai makhluk hidup dari apa yang mereka rasakan dari
pelbagai pengalamannya di berbagai titikwaktu dari pengalaman hidup mereka.Kita harus dapat
menanyakan banyak pertanyaan serta menjadi pendengar yang baik dari apa yang mereka
katakan baik dalam kata, dalam gambaran ataudalam tindakan mengenai hidup mereka. Menurut
Yos dalam melakukan wawacara sejarah lisan kita harus berusaha memahami tidak saja apa yang
mereka katakan, tetapi juga nilai-nlai budaya yangterkandung di dalam prilaku mereka; mengapa
mereka menganggap peran-perantertentu dan arah-arah tertentu secara psikologis lebih
memuaskan daripada yanglain; apa yang menjadi harapan dan kekhawatiran mereka; aspirasi
serta frustasi;nilai-nilai personal atau budaya mana dan harapan-harapan apa yang
menjadimotivasi mereka.Maka daripada itu sejarah lisan harus memfokuskan perhatian pada
pengalaman hidup yang dialami setiap individu. Sejarah lisan menampilkan hasilstudi dari
sejarah pengalaman hidup mereka, menceritakan kepada orang lain bagaimana mereka itu,
bagaimana mereka melukiskan potret diri mereka dan bagaimana mereka menyajikan diri
mereka sendiri. Dengan cara seperti itu, kitadapat memperoleh pandangan yang menarik dan
berharga dari persoalan dan perhatian manusia

Anda mungkin juga menyukai