Anda di halaman 1dari 12

REVIEW BUKU SEJARAH LISAN

“SEJARAH LISAN DI ASIA TENGGARA

TEORI DAN METODE”

Dosen Pengampu

Eni Sugiarti S.S., M.Hum.

Disusun Oleh

Vella Dwi Aryanti Pungki

121911433037

UNIVERSITAS AIRLANGGA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lisan ini dapat tersusun hingga selesai.
Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya sehingga
makalah ini selesai tepat waktu.

Dan harapan penulis semoga makalah yang berjudul Review Buku Sejarah Lisan
“Sejarah Lisan Di Asia Tenggara Teori Dan Metode” ini dapat menambah wawasan
dan pengetahuan bagi para pembaca.

Saya berharap kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
ini agar menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, Desember 2021

Penulis
IDENTITAS BUKU

Judul : Sejarah Lisan di Asia Tenggara

Sub Judul : Teori dan Metode

Pengantar : Asvi Warman Adam

Editor : P. Lim Pui Huen, James H. Morrison, Kwa Chong Guan

Penerbit : LP3ES

Cetakan : I, 2000

Tebal : xxiii+311 halaman

ISBN : 979-8391-87-X

Harga : Rp 35.500,-
LATAR BELAKANG

Sejarah lisan banyak diakui sebagai suatu cara untuk merekam dan
mendokumentasikan perkembangan sejarah dan gejala sosial tertentu. Sejarah Lisan
juga dilihat sebagai usaha untuk menangkap warna dan perasaan dari pengalaman
manusia yang dapat memperdalam pemahaman mengenai masa lampau. Dengan
menangkap kenangan dari mereka yang pernah mengalami hal-hal itu, sejarah lisan
menjalin hubungan antara masa kini dan masa lampau. Sejak 1960-an, banyak perhatian
dan kegiatan dicurahkan pada sejarah lisan di Asia Tenggara.

Sejumlah lembaga Arsip Nasional di wilayah ini sangat aktif dalam kegiatan itu
dan program sejarah lisan telah diawali di Malaysia dalam tahun 1963, Thailand tahun
1977, dan Indonesia tahun 1978. Di Singapura, Institute of Southeast Asian Studies
(ISEAS) pada 1972 memelopori sebuah proyek yang memusatkan perhatian pada
peristiwa Perang Dunia II dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudahnya. Tetapi baru
pada 1979, sejarah lisan menjadi lebih penting dengan dibentuknya Pusat Sejarah Lisan
di Arsip Nasional Singapura. Selama periode 1985-1993, yang barangkali merupakan
periode paling aktif dalam sejarahnya, unit itu dibentuk sebagai suatu Departemen
Sejarah Lisan (Department of Oral History) yang mandiri.

Kegiatan dalam tradisi lisan diawali oleh Museum Sarawak pada tahun 1957,
Dewan Bahasa dan Pustaka di Kuala Lumpur pada 1961, serta Museum Brunei pada
1965. Sekalipun tidak terkoordinasi, perkembangan yang ada sangat mempengaruhi
kepentingan sejarah lisan, dan sejumlah konferensi sejarah lisan telah dilangsungkan di
berbagai tempat dan dalam waktu yang berbeda-beda di Asia Tenggara. Kegiatan ini
telah menghasilkan sejumlah penerbitan, umpamanya pengalaman hidup yang direkam,
buku-buku penuntun sejarah lisan, news letter, dan katalogus wawancara. Sementara
orang-orang Asia Tenggara bergiat dalam bidang ini, tidak banyak muncul penerbitan
mengenai state of the art di wilayah ini. Dari segi teori dan kerangka metodologi, para
praktisi di wilayah ini masih bergantung pada kreasi para sarjana Barat.
TENTANG BUKU

Secara garis besar, buku ini menjelaskan mengenai peran sejarah lisan yang
mampu mengisi kekosongan peristiwa bersejarah dalam lingkup Asia Tenggara.
Bagaimana sejarah lisan adalah suatu cara untuk merekam masa silam, melalui
wawancara, yang mampu menangkap emosi dari pengalaman manusia. Para penulis
menjelaskan bahwa bukunya bertujuan untuk mengisi kekosongan bahan bacaan dengan
cara memusatkan perhatian pada konsep dan metodologi serta masalah-masalah khas
dalam usaha menerapkannya dalam konteks Asia Tenggara.

Bab-bab berikut mencerminkan jangkauan dari kegiatan yang dilakukan sebagai


sejarah lisan, mulai dari penyusunan secara sistematis dokumen sejarah lisan hingga
berbagai metode wawancara yang digunakan oleh orang-orang tertentu. Para penulisnya
berasal dari kalangan praktisi sejarah lisan dan juga para peneliti serta pakar.

Buku ini ditujukan untuk siapa saja yang ingin mengetahui lebih jejak
perkembangan sejarah lisan di Asia Tenggara, terutama para civitas akademik sejarah
maupun dari ilmu-ilmu sosial lain. Secara istilah, para penulis menyebutkan bahwa
teori-teori dan metode-metode yang terdapat pada isi buku, diharapkan dapat
memperkaya literature sejarah lisan dan menampilkan beberapa petunjuk bagi para
praktisi sejarah dan para peneliti yang tertarik pada Asia Tenggara.

Buku Sejarah Lisan Di Asia Tenggara Teori dan Metode terdiri dari satu bab dan
dua bagian, yang masing-masing bagian masih terdapat sub bahasan. Pada bab satu,
membahas mengenai Perspektif Global Sejarah Lisan. Lalu pada Bagian I berisi Teori
terdapat dua sub bahasan, yaitu Manfaat Kesaksian Lisan: Teks dan Kelisanan dalam
Rekonstruksi Masa Lampau; serta Ideologi dan Lembaga Sejarah Lisan di Asia
Tenggara. Bagian II berisi Metode terdapat tujuh sub bahasan, yaitu Metodologi
Sejarah Lisan: Pendekatan Pengalaman Hidup; Mewawancarai Para Elite Bisnis dan
Politik di Singapura: Metode dan Problem; Sejarah Lisan dan Potret Diri:
Mewawancarai Elite Thai; Proses Wawancara Naratif; Pengalaman dan Persoalan
Penelitian Lapangan Lintas-Budaya di Singapura; Rekonstruksi Sejarah Pengalaman
Masa Hidup; Penulisan Biografi Tan Sri Fatimah Hashim.
ISI BUKU

Dalam buku Sejarah Lisan di Asia Tenggara Teori dan Metode, Asvi Warman
Adam memiliki pandangan mengenai status sejarah lisan. Asvi mempertanyakan,
apakah sejarah lisan dapat dianggap sebagai “cabang” sejarah, seperti halnya sejarah
ekonomi, sejarah pertanian, sejarah diplomasi, dan seterusnya atau sejarah lisan
hanyalah sekedar teknik untuk mendapatkan data lisan?

James H. Morisson⸺penulis bab pertama dalam buku ini⸺dalam penjelasan


Alvi, lebih menyukai pemakaian istilah “penelitian lisan” daripada “sejarah lisan”.
Menurut Morisson, sejarah lisan mengesankan sebagian orang sebagai metode yang
berdiri sendiri. Padahal sumber lisan saja tidak lengkap untuk melengkapi isi sebuah
penelitian, melainkan sumber-sumber lisan tersebut harus diperkaya dengan sumber-
sumber lain, dalam hal ini berupa sumber tertulis/dokumen. Sumber lisan hanya salah
satu di antara banyak sumber yang tersedia bagi seorang sejarawan. Penelitian lisan
dirumuskan oleh Morisson sebagai “pengumpulan bahan-bahan melalui perbincangan
atau wawancara dengan satu orang atau lebih mengenai satu masalah yang sedang
dipelajari oleh sang pewawancara”.
Bab 1 Perspektif Global Sejarah Lisan di Asia Tenggara. Morisson
beranggapan bahwa Asia Tenggara hidup dalam sumber lisan. Kekayaan yang tidak
terhingga di wilayah ini dalam hal folklore, tradisi lisan, keterangan lisan, merupakan
bukti dari suatu budaya lisan yang hidup dan sedang menemukan dirinya serta
menemukan tempatnya di antara masyarakat lain di berbagai belahan bumi yang
memiliki dan menghargai sumber lisan. Bab ini membahas penelitian lisan dalam
konteks sejarah, beberapa kecenderungan mutakhir dalam penelitian di bagian lain dari
dunia ini, serta menempatkan pengalaman Asia Tenggara dalam perspektif global. Bab
ini juga merupakan pengantar bagi bab-bab lain dalam buku ini, yang kebanyakan
dikemukakan untuk pertama kalinya dalam suatu lokakarya sejarah lisan yang
diselenggarakan oleh Institute of Southeast Asian Studie (ISEAS) di Singapura pada
Januari 1990. Sebagian besar bab dalam buku ini, Morisson menggunakan istilah
“sejarawan lisan” atau “sejarah lisan”.

Sebelum memasuki teori dan metode dari sejarah lisan, James H. Morrison
menulis tentang Perspektif Global Sejarah Lisan di Asia Tenggara. Morrison
berpendapat bahwa hakikat dalam mengukur upaya manfaat dari penelitian lisan
dibagian dunia manapun setelah menerapkan tolok ukur yang digunakan seorang
peneliti, apakah itu sejarawan, ahli antropologim ahli folklore, pada apa yang telah
mereka pelajari. Metodologi wawancara, analisis teks, dan subjeks dari catatan, serta
membandingkan dengan hasil penelitian lisan lain, semuanya penting.

Bagian I: TEORI. Kwa Chong Guan memaparkan salah satu komentar kritis
mengenai kegunaan kesaksian lisan yang dikemukakan pada 404 SM oleh Thucydides,
salah satu sejarawan kontemporer pertama. Berbeda dengan pendahulunya, Herodotus
mengkisahkan peristiwa-peristiwa, yang jarak waktu dan tempat kejadiannya jauh dari
dirinya, terutama dalam tulisannya mengenai Perang Persia, Thucydides memilih untuk
menulis peristiwa-peristiwa yang disaksikan dan dialaminya sendiri, yaitu Perang
Peloponnesia. Ketika membuat garis besar metode yang digunakan dalam bukunya yang
berjudul History of War Fought between Athens and Sparta, Thucydides menuliskan:

“Dan menyangkut pelaporan faktual yang saya buat mengenai perang itu, saya
mengikuti prinsip untuk tidak mencatat cerita yang langsung saya dengan, bahkan
tidak juga mengikuti kesan pertama saya sendiri, saya harus berada pada kejadian
yang saya catat atau mendengar dari para saksi mata yang laporannya telah saya
bandingkan selengkap mungkin. Namun demikian, tidak berarti kebenaran dengan
mudah dapat ditemukan, saksi mata yang satu memberi keterangan lain dari saksi
mata yang lain mengenai peristiwa yang sama dengan memihak atau karena
kenangan yang tidak sempurna.”1

Secara sederhana dalam sejarah lisan, mewawancarai para saksi dengan cara yang
kritis menurut Kwa Chong Guan bisa dilakukan, seperti apa yang telah di lakukan
Thucydides dan banyak peneliti lain sesudahnya. Hal itu dapat memberikan kita jalan
untuk menemukan kisah di masa lampau. Namun, masa lampau sebagai suatu yang
diungkapkan kembali bukan sekadar kumpulan fakta yang muncul sebagai jawaban atas
sejumlah pertanyaan.

Sejarah lisan mengandung pola-pola budaya serta makna dan nilai-nilai dari masa
lampau. Hal tersebut memberi bentuk pada persepsi sejarah dari individu dan
komunitas, dan bahkan bisa menjadi dorongan bagi rasionalisasi tindakan di masa
mendatang. Menurut Kwa Chong Guan, perubahan-perubahan teknologi dalam abad ke-
20 ini telah sangat mengurangi pentingnya catatan tertulis yang banyak itu. Kini makin
terasa penting untuk menghadapkan teks dengan kisah lisan dalam masyarakat kini.
Dalam banjir kata-kata yang di alami sekarang, yang lisan dan yang tertulis sangat
berkaitan untuk memahami masa lampau.

Kesimpulannya, mewawancarai para saksi dengan cara yang kritis bisa dilakukan,
seperti yang sudah dilakukan oleh Thucydides dan banyak peneliti lain sesudahnya,
membuat kita dapat menemukan dan merasakan masa lampau. Namun, masa lampau
sebagai sesuatu yang diungkapkan kembali, bukan sekedar kumpulan fakta yang
muncul sebagai jawaban atas sejumlah pertanyaan, seperti halnya sejarah dokumenter
bukan sekedar fakta dari kata-kata yang tercatat di dalamnya. Catatan lisan Sejarah
Melayu sebagai contoh memberikan suatu tradisi lisan yang merefleksikan dua
penggunaan historiografis yang berbeda. Selanjutnya, kisah lisan mengandung pola-pola
budaya serta makna dan nilai dari masa lampau. Akhirnya, perubahan-perubahan
teknologi dalam abad ke-20 ini telah sangat mengurangi pentingnya catatan tertulis
sebagai sumber sejarah.
1
Thucydides: History of The Peloponnesian War, diterjemahkan oleh R. Warner, Harmondsworth:
Penguin Books, 1954, hal. 24.
Bagian II: METODE. Menurut Daniel Chew⸺salah satu penulis buku Sejarah
Lisan di Asia Tenggara Teori dan Metode⸺menjelaskan bahwa di Singapura, sejarah
lisan sebagai metodologi dan sebagai alat penelitian lebih banyak berkembang di
lembaga=lembaga arsip nasional dan pusat-pusat penelitian, seperti Pusat Sejarah Lisan
(Oral History Centre), Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), dan Military
Heritage Branch di bawah Departemen Pertahanan daripada di universitas-universitas.
Dalam bab ini, Daniel membicarakan aplikasi metodologi sejarah lisan dipandang dari
sudut lembaga penyimpanan Pusat Sejarah Lisan.

Pusat Sejarah Lisan adalah sebuah tempat penyimpanan milik pemerintah yang
bertugas mengadakan pengumpulan, dokumentasi, pelestarian, serta penyebaran
rekaman sejarah lisan sebagai arsip nasional. Dikatakan bahwa di Pusat Sejarah Lisan,
pembahasan metodologi tidak mencakup peneliti perorangan yang menggunakan teknik
sejarah lisan sebagai cara mengumpulkan informasi, atau mereka yang memanfaatkan
hasil-hasil rekaman yang tersimpan untuk kepentingan penelitian mereka. Arsip lisan
yang dikumpulkan dan digunakan oleh para peneliti perorangan pada umumnya menjadi
milik pribadi dan tidak dapat digunakan oleh umum atau diperiksa oleh para pakar.
Sekalipun tujuan Pusat Sejarah Lisan sangat jelas, metodologi yang ingin Daniel
kemukakan di sini adalah untuk menciptakan dan mengumpulkan arsip sejarah lisan,
yaitu penggunaan teknik wawancara dalam penelitian sejarah.

Selain metodologi yang sudah dijelaskan oleh Daniel Chew, salah satu penulis
buku Sejarah Lisan di Asia Tenggara, Yos Santasombat juga menjelaskan mengenai
sebuah metode bahwa dengan kerangka konseptual hermeneutika dari Dithley,
wawancara lisan bisa digunakan untuk merekontruksi pengalaman hidup dari seorang
aktor sosial-politik kedalam bentuk ‘teks’.

Ungkapan materi-materi sejarah lisan harus selalu dilihat sebagai suatu ‘potret
diri’, atau dapat pula berupa presentasi diri yang diberikan pada kita oleh persoalan dan
peristiwa sejarah yang dideskripsikan dalam bentuk ‘kisah’. Kisah disini merupakan
versi sejarah dari informan yang dipilihnya dengan saksama, yang bisa tidak sejalan
dengan fakta dan interpretasi sejarah lain. Tujuannya adalah untuk memahami dan
mejelaskan pengalaman yang dialami. Dalam hal ini kita harus berusaha memahami
subjek sebagai makhluk hidup dari apa yang mereka rasakan dari pelbagai
pengalamannya di berbagai titik waktu dari pengalaman hidup mereka.

Menurut Yos dalam melakukan wawacara sejarah lisan kita harus berusaha
memahami tidak saja apa yang mereka katakan, tetapi juga nilai-nlai budaya yang
terkandung di dalam prilaku mereka; mengapa mereka menganggap peran-peran
tertentu dan arah-arah tertentu secara psikologis lebih memuaskan daripada yang lain;
apa yang menjadi harapan dan kekhawatiran mereka; aspirasi serta frustasi; nilai-nilai
personal atau budaya mana dan harapan-harapan apa yang menjadi motivasi mereka.

Maka daripada itu sejarah lisan harus memfokuskan perhatian pada pengalaman
hidup yang dialami setiap individu. Sejarah lisan menampilkan hasil studi dari sejarah
pengalaman hidup mereka, menceritakan kepada orang lain bagaimana mereka itu,
bagaimana mereka melukiskan potret diri mereka dan bagaimana mereka menyajikan
diri mereka sendiri. Dengan cara seperti itu, kita dapat memperoleh pandangan yang
menarik dan berharga dari persoalan dan perhatian manusia.

Kesimpulannya, dalam proyek yang dilaksanakan oleh Pusat Sejarah Lisan, semua
usaha dilakukan untuk melaksanakan wawancara yang sangat terstruktur untuk
menjamin konsistensi dan mutu wawancara. Penting untuk mempertahankan
pendekatan yang disiplin, karena wawancara tersebut dilaksanakan bukan oleh satu
pewawancara saja, tetapi oleh sebuah tim pewawancara yang bekerja penuh waktu dan
paruh waktu. Namun demikian, pendekatan itu bisa bervariasi dari pendekatan yang
tematis atau terfokus sampai dengan pendekatan pengalaman hidup.

Lalu, dengan kerangka konseptual hermeneutika dari Dilthey, bab ini berusaha
mengemukakan sebuah contoh mengenai bagaimana materi-materi sejarah pengalaman
hidup yang dikumpulkan melalui wawancara lisan bisa digunakan untuk merekonstruksi
pengalaman hidup dari seorang tokoh sosial atau politik. Kita berusaha memahami tidak
saja apa yang mereka lakukan, tetapi nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam
perilaku mereka; mengapa mereka menganggap peran-peran tertentu dan arah-arah
tertentu secara psikologis lebih memuaskan daripada yang lain; apa yang menjadi
harapan dan kekhawatiran mereka, aspirasi serta frustasi; nilai-nilai personal atau
budaya mana dan harapan-harapan apa yang memotivasi mereka.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU

Kelebihan di dalam buku ini, yaitu pembahasan teori dan metodologi yang global
sehingga dapat dijadikan referensi dalam penulisan penelitian dengan menggunakan
teknik lisan. Isi yang terkandung juga lengkap, banyak menjelaskan mengenai apa yan
sudah saya tahu dari kelas mata kuliah Sejarah Lisan, dan ketika saya membaca buku
ini, wawasan saya menjadi lebih luas bahwa sejarah lisan memiliki pengaruh yang
signifikan dalam peristiwa sejarah, terutama dari para kaum minoritas yang jarang
ditunjukkan eksistensi mereka di dalam sumber dokumen. Dan juga, teori-teori dan
metode-metode yang ditulis oleh para praktisi, sejarawan, dan pakar sejarah lisan
sendiri sudah tidak diragukan lagi keautentikannya, bisa dipastikan bahwa penulisan
mereka benar. Dari segi penulisan juga cukup mudah dipahami alih-alih buku ini
awalnya merupakan buku terjemahan yang kadang-kadang masih ada beberapa terjemah
yang kurang pas ketika dibaca.

Kekurangan di dalam buku ini, yaitu mungkin terletak dari segi terjemahan yang
telah saya jelaskan, lalu ada pula penggunaan-penggunaan istilah yang cukup sulit
dimengerti (yang dikarenakan buku ini adalah buku terjemahan, jadi saya rasa wajar
jika masih ada istilah yang masih membuat saya bingung).
KESIMPULAN

Sejarah lisan sebetulnya telah berkembang sejak lama. Dari awal penulisan buku
Thucydides yang berjudul History of War Fought between Athens and Sparta, dapat
dikatakan bahwa sejarah lisan membawa pengaruh yang sangat signifikan bagi
perkembangan penulisan sejarah. Meskipun sejarah lisan pernah mengalami pasang
surut pada abad ke-17 hingga abad ke-19 karena mendapat kritik dari seorang ahli yang
mengatakan “…no documents, no history”, sejarah lisan mencapai kembali kejayaannya
pada abad ke-20 di Amerika Serikat dengan dilakukannya penelitian besar-besaran
mengenai kenangan bekas para budak Hitam, dan satu dekade lebih kemudian, 1948,
Allan Nevins mendirikan pusat sejarah lisan yang pertama di Universitas Columbia,
New York. Hingga akhirnya, sejarah lisan terus mengalami dinamika dan berkembang
di Asia Tenggara sebagai sebuah "Penelitian Lisan”.

Anda mungkin juga menyukai