4415092418
1.Pendahuluan
Nama holing mungkin masih asing ditelinga bagi orang yang baru mempelajari sejarah.
Sayapun merasa demikian. Pengetahuan saya tentang holing sangat minim. Tapi karena
ketidak tahuan ini saya jadi tertarik untuk mempelajari lebih jauh tentang holing. Para
sejarawan banyak yang beranggapan bahwa holing adalah suatu kerajaan.Tapi dewasa
ini hal tersebut banyak dipertanyakan oleh para ahli. Yang alasannya akan dipaparkan
lebih lanjut dalam diskusi ini. Selain eksistensinya holing juga menjadi permasalahan
pelik dalam penentuan lokasinya. Ada yang mengatakan holing terletak dijawa, atau
tepatnya wilayah antara pekalongan dan plawagan1, ada juga yang mengatakan di
pesisir Sumatra2, bahkan ada juga yang mengatakan dipantai timur kalimantan3.
Terlepas dari kontroversi yang ada holing tetap menjadi bagian penting dalam
perkembangan agama budha diindonesia. Selain itu holing juga banyak disebut dalam
berita0berita dari cina. Tidak mungkin bila sesuatu yang dianggap ditidak penting oleh
bangsa cina sampai ditulis dalam beberapa buku. Hal ini mengindikasikan holing
adalah salah satu wilayah yang cukup berpengaruh pada waktu itu. Menarik kiranya
untuk membahas kontroversi seputar holing, untuk menambah pengetahuan kita. Dalam
diskusi ini saya mencoba memaparkan mengapa eksistensi holing tidaklah jelas dan
masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Dan mencoba menentukan dimana letak
kerajaan holing yang sebenarnya.
1
2.Holing dalam berbagai catatan
Karena tidak adanya bukti arkeologis yang cukup tentang holing maka
informasi tentang holing banyak didapat dari pemberitaan para pendeta dan
penjiarah yang pertah singgah disana juga. Berita cina termaksud sumber yang
cukup banyak menyebut holing, Ada dua versi yang memuat tentang holing.
Menurut berita dari dinasti Tang yang lama menyebutkan bahwa holing terletak
berbatasan dengan Laut Sebelah Selatan, disebelah timur Sumatra dan disebelah
barat po-li(bali). Jika keutara menuju kamboja dan jika keselatan menuju lautan4
Selain tentang letaknya berita dari dinasti Tang yang lama juga membahas
tentang aspek kehidupan disana seperti Raja tinggal dibangunan besar
bertingkat,beratapkan daun palem, dan ia duduk di atas bangku yang terbuat dari
gading. Kalau makan orang tidak menggunakan senduk atau sumpit, tetapi dengan
tangan saja. Penduduknya mengenal tulisan dan sedikit tentang ilmu perbintangan5.
Namun sejarah baru dinasti Tang juga terdapat berita yang memuat holing. Dalam
berita tersebut holing dikenal dengan nama Cho-po (jawa), berbatasan dengan Laut
Sebelah Selatan, Ta-Hen-La (Kamboja) di sebelah utara, Po-Li (Bali) sebelah Timur
dan To-Po-Teng di sebelah Barat.
Sama seperti berita dari dinasti Tang yang lama berita ini juga menuliskan
aktivitas masyarakat holing serta informasi-informasi yang kiranya dapat
mendeskripsikan holing. Ada satu bagian dimana tertulis jika pada puncak musim
panas sebuah gnomon ( tiang penunjuk waktu pada jam matahari) setinggi delapan kai
didirikan, bayangannya akan berada disisi selatan dan memilikipanjang dua kaki empat
inci6Pemberitaan ini jelas mengundang para ahli untuk melakukan penelusuran lebih
lanjut demi menemukan letak dari holing.
Sedangkan I-Tsing dalam bukunya yang berjudul memoire menyebutkan bahwa
seorang temannya bernama Hui-Ning dengan pembantunya bernama Yunki pergi ke
Holing tahun 664/665 M untuk mempelajari ajaran agama Budha. Ia juga
menterjemahkan kitab suci agama Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina.
Dalam menerjemahkan kitab itu, ia dibantu oleh pendeta agama Budha dari Holing
yang bernama Jnanabhadra. Menurut keterangan dari Dinasti Sung, kitab yang
2
diterjemahkan oleh Hui-Ning adalah bagian terakhir kitab Parinirvana yang
mengisahkan tentang pembukaan jenazah Sang Budha.
Gambaran tentang holing juga terdapat dalam Kao seng Shuan (biografi para
Pendeta malang), yang ditulis 519 M9. Sebuah bab tentang kehidupan seorang pendeta
yang bernama Gunavarman, putra mahkota raja Kashmiri. Berdasarkan tulisian ini
Holing mungkin menjadi pusat kaum Buddha dan menjadi tempat lahir salah satu guru
ajaran Buddha yang masyur bernama Janabhadra.
3
Sampai sekarang komunitas lokal di dataran tinggi Bali disusun dalam sebuah sistem
yang disebut banua dan dipimpin oleh dewan desa.7
Sedangakan mandala menurut Zoetmulder yaitu dalam bahasa sansekerta
mandala dapat berarti anything round, disk, circle, globe, ring, circum, disrtict, teritory,
provience, country, multitude, collection, wholebody. Dalam teks-teks Tibet
diterjemahkan sebagai “pusat” atau “apa yang mengelilingi”. Di China diterjemahkan
sebagai mant’u-lo atau t’an yang berarti ‘teras, panggung, dunia, arena” atau yang
diterjemahkan sebagai Tao tch’ang yang artinya sama dengan Bodhimandala. Mandala
adalah pusat dunia, sebuah arca yang batas-batasnya telah ditentukan atau semacam
“pagar suci”. Mandala adalah totalitas, suatu tanda kesempurnaan dan kemuliaan8
Munoz membagi proses pembangunan kekuasaan diasia tenggara mencadi beberapa
tahap. Diantaranya adalah.: Tahap Lokal. Pada tahap ini konsolidasi kekuasaan terbatas
pada wilayah yang kecil, yang sering merupakan jaringan pemukiman yang terorganisir
pada suatu wilayah. Para pemimpin lokal nya belum memiliki kemampuan penaklukan
militer terhadap komunitas tetangganya, tetapi dapat melakukan serbuan-serbuan
singkat untuk melakukan perampasan-perampasan.
Tahap Regional. Pada tahap ini para pemimpin daerah sudah mampu meperluas
kekuasaannya ke daerah tetangga melalui penaklukan militer. Walaupun begitu
penaklukan ini tidak diikuti dengan asimilasi ataupun penghancuran, tetapi penguasa
taklukan tetap dibiarkan berkuasa dengan kewajiban membayar upeti dan tunduk pada
perintah penguasa penakluk. Penguasa taklukan (Rakai, Datu, dll.) masih memiliki
kekuasaan atas wilayah adatnya. Pada fase ini terjadi perubahan yang dinamis dari
komposisi dinasti penguasa, lokasi pusat kekuasaan, dan batas wilayah kekuasaan yang
amorphous. Sistem semacam ini, Munoz memberikan istilah kekuasaan “mandala”,
yaitu suatu wilayah pengaruh (daerah adat-istiadat tanpa batas daerah yang jelas) atau
juga wilayah kekuasaan yang khusus (mis. suatu pelabuhan dan area pemukimannya,
suatu pertanian dan area pemukimannya, dll.)9Berdasarkan beberapa pengertian diatas
mandala dapat kita artika sebagai sekumpulan dari beberapa watak. Atau dengan kata
lain kesatuan politik.
4
Holing yang oleh beberapa sejarawan diyakini merupakan kerajaan yang
cukup besar dan berpengaruh dimasanya masih menyimpan suatu tanda Tanya
terkait keberadaannya. Apa mungkin suatu kerajaan yang cukup besar dan
berpengaruh itu tidak meninggalkan satupun peninggalan arkeologis yang
bernilai ? Bila dipikirkan secara logis memiliki kemungkinan yang kecil suatu
kerajaan seperti holing tidak memiliki peninggalan arkeologis yang dapat
ditemukan sampai saat ini. Jika dibandingkan dengan sriwijaya yang notabenya
berdiri dimasa yang tidak jauh berbeda. Sriwijaya memiliki peninggalan
arkeologis yang amat kaya, mulai dari prasasti hingga candi membuktikan
eksistensi sriwijaya sebagai suatu kerajaan.
Berdasarkan kekurangan bukti arkeologis ini keberadaan holing mulai
dipertanyakan. Namun menurut saya pribadi apapun bentuknya wilayah yang
bernama holing benar-benar ada.Perihal mengenai belum ditemukannya bukti
arkeologis dari holing mungkin dapat disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan
termudah dan yang paling banyak dikemukakan adalah tidak ditemukannya
peninggalan arkeologis dari holing bukan berarti holing tidak meninggalkan
peninggalan, namun peninggalan itu belum ditemukan, dan perlu diadakannya
penelitian dan penggalian dibeberapa situs-situs kuno. Alasan lain yang
mungkin menyebabkan peninggalan arkeologis holing tidak ditemukan adalah
holing belum berbentuk kerajaan, tetapi hanya sekedar mandala saja.
Seperti yang sudah saya uraikan diatas mandala adalah kumpulan
beberapa watak Kulke pernah bernalisis tentang komunitas-komunitas yang
bermukim di Jawa Tengah. Analisi tersebut menunjukan perkembangan dalam
proses menyatukan para tuan tanah local (Rakai) yang notabenya dalah
pemimpin dari suatu watak. Dan berawal dari kesepakatan dari para rakai sangat
berkemungkinan membentuk suatu kesatuan yang lebih besar dari watak.
Kesatuan ini hampir menyerupai kerajaan tapi belum memenuhi syarat untuk
menjadi kerajaan, hanya sebatas kesatuan politik saja .
Analis bahwa holing adalah suatu mandala selain memecahkan
pertanyaan mengenai eksistensi holing. Jika holing merupakan suatu mandala
maka tidak aneh bila mereka tidak meninggalkan bukti arkeologis yang cukup
5
berarti. Bila pertanyaan tentang eksistensi dan bentuk holing sudah terjawab
maka kita dapat berlanjut ke satu pertanyaan lainnya, yaitu letak dari holing itu.
5. Keterangan Yang Bertentangan Satu Sama Lain
Perdebatan sengit para sejarawan mengenai letak holing dikarenakan
oleh beberapa penyebab.Penyebab pertama dikarenakan para sejarawan
menggunakan pendekatan yang berbeda dalam menentukan letak dari holing.
Coedes yang membuat analisa dari daerah pelayaran dan perdagangan yang
memungkinkan mengatakan bahwa letak holing terdapat di semenanjung
Malaysia (selat malaka) yang merupakan pintu perdagangan yang besar pada
waktu itu. Slamet muljana dalam bukunya yag berjdudl sriwijaya mencoba
mencari letak holing melalui catatan dari I tsing dan Chia-tan. Dalam uraiannya
Chi-tan menulis :
Perjalanan itu melalui pulau Hai nan menuju pantai indo-Cina, terus
menyusur pantai sampai di tempat yang bernama kun-t u-nung. Dari situ
berlayar lima hari lagi, maka sampai lah pada selat yang namanya chih.
Lebarnya dari utara keselatan 100 li. Di pantai selatan terdapat kerajaan fo-
shih.
Sebelah timur kerajaan fo-shih, kira-kira sejauh lima hari
pelayaran,orang mencapai kerajaan holing. Tempat ini pulau terbesar di
selatan. Kemudian tiga hari berlayar dari dari selat itu orang mencapai
kerajaan ko-ko-chih,terletak disebuah pulau disudut barat laut fo-shih.
Penduduknya banyak yang menjadi perompak,penumpang perahu banyak
menjadi mangsanya. Di pantai utara terletak kerajaan ko-lo. Sebelah barat ko-
lo ialah kerajaan ko-ku-lo.
Berdasarkan uraian tersebut Slamet Muljana membuat beberapa analisis.
Diantaranya beliau mengatakan bahwa holing teletak dipantai barat Kalimantan.
Dia menggunakan pulau terbesar di selatan sebagai patokan.
Sedangakan Takakusu yang mengadakan penelitian tentang
welacarakan yang terdapat dalam catatan dinasti Tang yang menyebutkan
gnomon setinggi 8 kai bayangannya akan jatuh keselata dan panjangnya dua kai
empat inchi pada puncak musim panas. Hasil penelitian takakusu menunjukan
6
holing seharusnya terletak pada 6o 8o LU. Namun titik yang ditunjukan
merupakan lautan. Jadi Takakusu membuat catatan bahwa pemberitaan itu agak
kacau. Mungkin yang maksud Hsin-Tang shu melakukan kesalahan. Seharusnya
waktu melihat bayangan gnomon tersebut dalah musim dingin, sehingga
menunjukan 6o 8o LS yang merupakan lokasi pantai utara dijawa.
Sejalan dengan Takakusu Munoz dalam bukunya menulis bahwa letak
holing yang di semarang ( antara Pekalongan dan Plawagan) lebih dapat
diterima. Dia memaparkan bahwa letak holing di jawa memecahkan banyak
masalah yang meluputi lokasi lainnya, seperti letak holing di jawa barat, yang
menurut Munoz mana mungkin terdapat dua kekuasaan diwilayah dan masa
yang bersamaan.
7
dengan jawa, bahkan chopo yang di identifikasi sebagai ibu kota holing berarti
jawa dalam bahasa cina.
7. Kesimpulan
Berdasarkan diskusi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa holing benar-
benar ada, walau tidak berbentuk suatu kerajaan melainkan hanya sekedar
mandala tapi eksistensi holing tidak diragukan lagi. Dan mengenai letaknya
setelah meninjau kembali analisis para ahli dan mencoba meninjau kelebihan
dan kekurangan dari analisi tersebut saya menyimpulkan holing terletak di
pantai utara pulau jawa.
Catatan
1. Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian
Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions
Didier Millet, pages 171. ISBN 981-4155-67-5.
2.
Marwati, dkk. 1993 . Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta:
Balai Pustaka
3.
Slamet Muljana, Sriwijaya . Yogjakarta : LKIS
8
Daftar Pustaka
1. . Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the
Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore:
Editions Didier Millet, pages 171. ISBN 981-4155-67-5.
2.
Marwati, dkk. 1993 . Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta:
Balai Pustaka
3.
Slamet Muljana, Sriwijaya . Yogjakarta : LKIS
4. W.P. Groenevedt. 2009 Nusantara dalam Catatan Thionghoa:
Komunitas Bambu
5. Casparis, J.G. de 1950 Inscripties uit de cailendra-tijd.
Bandung: A.C. Nix.
6. Coedès, G. 1968 The Indianized states of Southeast Asia.
Canberra: Australian National University Press.
7. Hall, D.G.E. 1981 A history of South-east Asia. 4th ed.
London: Macmillan
8.
kulke, H. 1990 The early and the imperial kingdom in
Southeast Asian history
9. Lombard, Denys, 1990 Nusa Jawa Silang Budaya 3 Jakarta
Gramedia
10.
http://www.wacananusantara.org/content/view/category/2/id/38
6
11.
http://konservasiborobudur.org/?p=7
12.
http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/3
97
13. http://groups.yahoo.com/group/sa-roha/message/1115
14. http://jowo.jw.lt/pustaka/buku/Sejarah/Makalah%20Sejarah%20Tentang%20Kerajaan
%20Singhasari%20Kerajaan%20Holing%20dan%20Kerajaan%20Mataram
%20Islam_txt.txt
15. http://www.mandailing.org/ind/rencana18.html
16. http://sejarawan.wordpress.com/2007/10/05/kerajaan-pada-masa-awal-hindu-budha/